Ayat
Terjemahan Per Kata
دَرَجَٰتٖ
beberapa derajat
مِّنۡهُ
daripadaNya
وَمَغۡفِرَةٗ
dan ampunan
وَرَحۡمَةٗۚ
dan rahmat
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمًا
Maha Penyayang
دَرَجَٰتٖ
beberapa derajat
مِّنۡهُ
daripadaNya
وَمَغۡفِرَةٗ
dan ampunan
وَرَحۡمَةٗۚ
dan rahmat
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
غَفُورٗا
Maha Pengampun
رَّحِيمًا
Maha Penyayang
Terjemahan
(Yaitu,) beberapa derajat dari-Nya, serta ampunan dan rahmat. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Tafsir
(Yaitu beberapa tingkat daripada-Nya) yang sebagiannya lebih mulia dari lainnya (dan keampunan serta rahmat) manshub disebabkan kedua fi'ilnya yang diperkirakan (dan Allah Maha Pengampun) bagi para wali-Nya (lagi Maha Penyayang) terhadap ahli taat-Nya.
Tafsir Surat An-Nisa': 95-96
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar,
(Yaitu) beberapa derajat dari-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Ayat 95
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang mengatakan bahwa ketika diturunkan ayat berikut: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk.” (An-Nisa: 95) Maka Rasulullah ﷺ memanggil Zaid untuk menulisnya, lalu datanglah Ibnu Ummi Maktum yang mengadukan tentang uzurnya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Yang tidak mempunyai uzur.” (An-Nisa: 95)
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, dari Israil, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang).” (An-Nisa: 95) Lalu Nabi ﷺ bersabda, "Panggilkanlah si Fulan!" Maka datanglah orang yang dimaksud dengan membawa tinta, lembaran (lauh), dan pena; lalu Rasulullah ﷺ memerintahkannya untuk menulis ayat berikut: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang berjihad dijalan Allah.” Saat itu di belakang Nabi ﷺ terdapat Ibnu Ummi Maktum. Maka Ibnu Ummi Maktum berkata, "Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang tuna netra." Lalu turunlah ayat berikut sebagai gantinya, yaitu firman-Nya: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.” (An-Nisa: 95)
Imam Bukhari mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abdullah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnu Sad, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab, "Telah menceritakan kepadaku Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi, bahwa ia melihat Marwan ibnul Hakam di dalam masjid. Lalu ia datang kepadanya dan duduk di sebelahnya. Kemudian ia menceritakan kepada kami bahwa Zaid ibnu Sabit pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ pernah memerintahkan kepadaku untuk mencatat firman-Nya: 'Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah." Lalu datanglah kepada beliau ﷺ Ibnu Ummi Maktum, yang saat itu beliau sedang mendiktekannya kepadaku. Maka dengan serta merta Ibnu Ummi Maktum berkata, 'Wahai Rasulullah, demi Allah, seandainya aku mampu berjihad di jalan Allah, niscaya aku akan berjihad.' Ibnu Ummi Maktum adalah orang yang tuna netra.
Maka turunlah kepada Rasulullah ﷺ wahyu lainnya, yang saat itu paha beliau ﷺ berada di atas pahaku, maka terasa amat berat bagiku hingga aku merasa khawatir bila pahaku menjadi patah karenanya (beratnya wahyu yang sedang turun kepada Nabi ﷺ). Setelah beliau ﷺ selesai dari menerima wahyu, maka beliau ﷺ membacakan ayat yang diturunkan, yaitu firman-Nya: 'Yang tidak mempunyai uzur (halangan)'." (An-Nisa: 95)
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari, tanpa Imam Muslim.
Telah diriwayatkan melalui jalur lain oleh Imam Ahmad, dari Zaid; untuk itu ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Daud, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman, dari Abuz Zanad, dari Kharijah ibnu Zaid yang mengatakan bahwa sahabat Zaid ibnu Sabit pernah menceritakan hadits berikut, "Ketika aku sedang duduk di sebelah Nabi ﷺ, tiba-tiba turunlah wahyu kepadanya dan sakinah (ketenangan) menguasai dirinya." Zaid ibnu Sabit melanjutkan kisahnya, "Ketika Nabi ﷺ dikuasai oleh ketenangan, beliau mengangkat pahanya dan meletakkannya di atas pahaku." Zaid ibnu Sabit menceritakan, "Demi Allah, aku belum pernah merasakan sesuatu yang lebih berat daripada paha Rasulullah ﷺ. Setelah wahyu selesai darinya, beliau bersabda, 'Wahai Zaid, tulislah!' Maka aku mengambil lembaran dan beliau memerintahkan kepadaku untuk mencatat firman berikut, yaitu: ‘Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah’
sampai dengan firman-Nya: ‘pahala yang besar’.” (An-Nisa: 95) Lalu aku menulis ayat tersebut pada selembar tulang paha. Ketika Ibnu Ummi Maktum mendengarnya, maka ia bangkit, sedangkan dia adalah seorang yang tuna netra; ia bangkit karena mendengar keutamaan orang-orang yang berjihad di jalan Allah, lalu ia berkata, 'Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan orang yang tidak mampu berjihad dan orang yang tuna netra serta yang mengalami hal-hal yang serupa?'." Zaid melanjutkan kisahnya, "Demi Allah, sebelum ucapan Ibnu Ummi Maktum selesai atau begitu Ibnu Ummi Maktum selesai dari ucapannya, maka Nabi ﷺ dikuasai oleh sakinah lagi, dan pahanya berada di atas pahaku. Maka aku merasakan pahanya berat sekali karena wahyu, seperti yang telah kurasakan semula. Kemudian wahyu selesai darinya, lalu beliau bersabda, 'Bacalah!' Maka aku membacakan kepadanya firman berikut: 'Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.' Maka Nabi ﷺ bersabda membacakan pengecualiannya, yaitu firman-Nya: 'yang tidak mempunyai uzur' (An-Nisa: 95)." Zaid ibnu Sabit mengatakan, "Lalu aku menyusulkannya (menyisipkannya). Demi Allah, seakan-akan aku melihat sisipannya itu berada pada bagian yang retak dari lembaran tulang paha itu."
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Sa'id ibnu Mansur, dari Abdur Rahman ibnu Abuz Zanad, dari ayahnya, dari Kharijah ibnu Zaid ibnu Sabit, dari ayahnya dengan lafal yang serupa.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Az-Zuhri, dari Qubaisah ibnu Zua-ib, dari Zaid ibnu Sabit yang menceritakan bahwa dia adalah juru tulis wahyu Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ pada suatu hari memerintahkan kepadanya untuk mencatat firman berikut, yaitu: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) dan orang-orang yang berjihad dijalan Allah.” Lalu datanglah Ibnu Ummi Maktum, dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku ingin berjihad di jalan Allah, tetapi aku mempunyai cacat seumur hidup seperti yang engkau lihat sendiri, indra penglihatanku telah tiada." Zaid ibnu Sabit melanjutkan kisahnya, "Maka terasa berat lagi paha Rasulullah ﷺ di atas pahaku, hingga aku merasa khawatir bila tulang pahaku patah karenanya. Setelah wahyu selesai darinya, maka beliau memerintahkan kepadaku untuk mencatat ayat berikut, yaitu firman-Nya: 'Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah' (An-Nisa: 95)."
Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Abdul Karim (yaitu Ibnu Malik Al-Jariri), bahwa Miqsam maula Abdullah ibnul Haris pernah menceritakan kepadanya bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang).” (An-Nisa: 95) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Perang Badar dan orang-orang yang berangkat menuju medan peperangan Badar.
Hadis ini hanya diriwayatkan oleh Imam Bukhari tanpa Imam Muslim. Imam At-Tirmidzi telah meriwayatkannya melalui jalur Hajjaj dari Ibnu Juraij, dari Abdullah Karim, dari Miqsam, dari ibnu Abbas yang telah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah.” (An-Nisa: 95) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Perang Badar dan orang-orang yang berangkat menuju medan peperangan Badar.
Ketika diturunkan ayat mengenai Perang Badar, maka Abdullah ibnu Jahsy dan Ibnu Ummi Maktum berkata, "Sesungguhnya kami adalah dua orang yang tuna netra, wahai Rasulullah. Apakah ada keringanan bagi kami?" Maka turunlah firman-Nya: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur.” (An-Nisa: 95) Allah melebihkan orang-orang yang berjihad di jalan-Nya atas orang-orang yang duduk tidak ikut berperang satu derajat. Mereka yang duduk tidak ikut berperang itu adalah selain yang mempunyai uzur (halangan).
“Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat.” (An-Nisa: 95)
Yakni orang-orang yang duduk tidak ikut berperang dari kalangan orang-orang mukmin selain mereka yang mempunyai uzur (halangan). Demikianlah menurut lafal yang ada pada Imam At-Tirmidzi, kemudian Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan gharib bila ditinjau dari segi jalur sanadnya.
Firman Allah ﷻ: “Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang).” (An-Nisa: 95) bermakna mutlak. Dan ketika diturunkan wahyu yang singkat, yaitu firman Nya: “Yang tidak mempunyai uzur.” (An-Nisa: 95) Maka hal ini mengandung keringanan dan jalan keluar bagi orang-orang yang mempunyai uzur yang membolehkannya untuk tidak ikut berjihad, seperti tuna netra, pincang, dan sakit; hingga kedudukan mereka tetap sama dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya.
Setelah itu Allah memberitakan perihal keutamaan yang dimiliki oleh orang-orang yang berjihad, bahwa keutamaan mereka berada di atas orang-orang yang duduk tidak ikut berperang satu derajat. Menurut Ibnu Abbas, selain dari mereka yang mempunyai uzur. Memang demikianlah seharusnya, seperti yang dinyatakan di dalam kitab Sahih Bukhari melalui jalur Zuhair ibnu Mu'awiyah, dari Humaid ibnu Anas, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sesungguhnya di Madinah terdapat orang-orang yang tidak sekali-kali kalian berjalan, dan tidak pula menempuh suatu lembah, melainkan mereka selalu bersama kalian padanya.” Ketika mereka bertanya, "Apakah mereka tetap tinggal di Madinah, wahai Rasulullah?" Nabi ﷺ menjawab: “Ya, mereka terhalang oleh uzur (hingga tidak ikut bersama kalian).”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ahmad melalui Muhammad ibnu Addi, dari Humaid, dari Anas, dengan lafal yang sama. Imam Bukhari men-ta'liq-nya secara majzum.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Hammad ibnu Salamah, dari Humaid dari Musa ibnu Anas ibnu Malik, dari ayahnya, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya kalian meninggalkan di Madinah orang-orang yang tidak sekali-kali kalian menempuh suatu perjalanan dan tidak sekali-kali kalian menginfakkkan sesuatu, tidak sekali-kali kalian menempuh satu lembah melainkan mereka selalu bersama kalian di dalamnya” Mereka (para sahabat) bertanya, "Bagaimanakah mereka dapat bersama kami, wahai Rasulullah?" Nabi ﷺ menjawab: “Ya, mereka tertahan oleh uzur.”
Demikianlah menurut lafal yang ada pada Imam Abu Dawud.
Semakna dengan pengertian ini, ada seorang penyair yang mengatakan: “Wahai orang-orang yang berangkat ke Baitullah Al-'Atiq (Ka'bah), sesungguhnya kalian berangkat dengan jasad kalian, sedangkan kami hanya berangkat dengan arwah kami. Sesungguhnya kami tinggal di tempat karena uzur dan takdir; dan barang siapa yang tinggal karena uzur, berarti sama saja dengan orang yang berangkat (haji).”
Firman Allah ﷻ: “Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik.” (An-Nisa: 95)
Yang dimaksud dengan pahala yang baik ialah surga dan pahala yang berlimpah. Di dalam ayat ini terkandung makna yang menunjukkan bahwa jihad itu bukanlah fardu ain, melainkan fardu kifayah.
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (An-Nisa: 95)
Ayat 96
Kemudian Allah ﷻ memberitakan anugerah yang diberikan kepada mereka berupa tingkatan-tingkatan pahala di dalam gedung-gedung surga yang tinggi, semua dosa dan kesalahan diampuni, rahmat serta berkah Allah meliputi diri mereka; semua itu sebagai kebaikan dan kemurahan dari Allah ﷻ buat mereka. Hal ini diungkapkan melalui firman-Nya: “(Yaitu) beberapa derajat dari-Nya, ampunan serta rahmat. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 96)
Di dalam kitab Sahihain telah disebutkan melalui Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga terdapat seratus derajat (tingkatan) yang disediakan oleh Allah untuk orang-orang yang berjihad di jalan-Nya, jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi.”
Al-A'masy meriwayatkannya dari Amr ibnu Murrah, dari Abu Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang melepaskan anak panah (di jalan Allah), baginya pahala satu derajat. Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah derajat itu?" Nabi ﷺ menjawab: “Ingatlah, sesungguhnya derajat itu bukan tangga naik yang ada pada pintu rumah ibumu, jarak antara dua derajat adalah seratus tahun (perjalanan)."
Tidaklah sama derajat yang diperoleh antara orang beriman yang duduk, yakni yang tidak turut berperang tanpa mempunyai uzur atau halangan, yakni alasan yang dibenarkan agama, dan orang yang berjihad menegakkan agama-Nya di jalan Allah dengan harta dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orangorang yang duduk, tidak ikut berperang tanpa halangan yang dibenarkan agama dengan kelebihan satu derajat. Kepada masing-masing dari dua kelompok tadi, Allah menjanjikan pahala yang baik berupa surga, dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad, baik dengan harta atau dengan jiwa saja atas orang yang duduk dengan pahala yang besar, yaitu beberapa derajat yang didapatnya daripada-Nya, serta ampunan atas dosa-dosa mereka dan rahmat yang selalu tercurah kepada mereka. Allah Maha Pengampun atas dosa-dosa mereka, Maha Penyayang dengan curahan rahmat-Nya kepada merekaSesungguhnya orang-orang yang dimatikan atau dicabut nyawanya oleh malaikat maut setelah sampai ajal yang telah ditetapkan oleh Allah kepada mereka dalam kehidupan di dunia ini, sementara mereka sebelumnya berada dalam keadaan menzalimi diri mereka sendiri karena enggan melakukan tuntunan agama padahal mereka mempunyai kesanggupan, mereka, para malaikat pencabut nyawa mereka itu, bertanya kepada mereka, Dalam keadaan bagaimana kamu dahulu ketika kalian hidup sehingga tidak melakukan tuntunan agama, tidak berjihad dan tidak pula berhijrah' Mereka menjawab, Kami dulu adalah orang-orang yang tertindas dan tak berdaya di bumi Mekah. Mereka, para malaikat, berkata untuk menolak alasan mereka, Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah atau berpindah di bumi itu dari daerah kufur ke daerah lain di mana kalian dapat melakukan tuntunan agama' Maka Allah menyatakan bahwa mereka yang dimatikan dalam keadaan menzalimi diri sendiri itu adalah orang-orang yang tempatnya di neraka Jahanam dan mendapat siksaan yang amat pedih, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali.
Ayat ini merupakan lanjutan dan keterangan bagi ayat yang lalu, karena akhir ayat yang lalu menyebutkan bahwa Allah akan memberikan pahala yang lebih besar kepada mereka yang berjihad, tetapi belum dijelaskan apa wujud pahala yang besar itu. Maka ayat ini menjelaskan bahwa pahala yang paling besar ialah: keunggulan martabat mereka beberapa derajat di sisi Allah Yang Maha Pengampun serta ampunan dan rahmat-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TINGKAT MARTABAT KARENA PERJUANGAN
Ayat 95
Arti jihad ialah kerja keras, bersungguh-sungguh ataupun berjuang. Agama tidaklah akan tegak kalau tidak ada semangat berjuang. Kadang-kadang arti jihad dikhususkan kepada menghadapi peperangan. Setelah berhijrah ke Madinah datanglah perintah jihad, yang telah berkhusus artinya kepada berperang. Tetapi di zaman Rasulullah ﷺ perintah berperang barulah umum saja kepada barangsiapa yang ada kesanggupan berkorban, dengan me-ngorbankan harta dan dituruti juga dengan mengorbankan jiwa. Kerap kali terjadi kepada seluruh mujahidin yang akan pergi berperang itu diminta terlebih dahulu mengeluarkan pengorbanan harta untuk belanja perang. Bahkan alat senjata yang dibawa pergi berperang hendaklah diusahakan sendiri.
Ulama-ulamaahlifiqih menetapkan hukum bahwasanya pergi berjihad ke medan perang setelah nafiri panggilan perang berbunyi adalah fardhu kifayah hukumnya. Artinya telah terlepas kewajiban itu dari pundak semua umat, apabila telah ada yang menyanggupinya. Tetapi apabila musuh masuk ke dalam negeri, jihad menjadi fardhu ‘ain; artinya semua orang dengan sendirinya menjadi mujahid, menjadi tentara memanggul senjata. Pada masa itu tentara belum diatur sebagaimana sekarang, yang dinamai pertahanan wajib. Oleh sebab itu, sebelum ayat yang kita tafsirkan ini turun, kalau ada orang yang tidak pergi, padahal dia tidak berhalangan, mendapat saja celaan batin dari masyarakat zaman Rasul, tetapi belum ada teguran. Oleh karena belum ada teguran, maka orang yang pemalas pun bisa mencari atau mengemukakan berbagai dalil mengapa dia tidak berkorban harta benda dan jiwa.
Maka datanglah ayat ini, “Orang-orang yang duduk dari kalangan orang-orang yang beriman yang tidak berhalangan, tidaklah sama dengan orang-orang yang berjihad pada jalan Allah dengan harta benda mereka dan diri-diri mereka."
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari, ayat ini turun ketika akan terjadi Peperangan Badar. Kita dapat memahami apabila kita tinjau riwayat Peperangan Badar, mengapa ayat ini turun. Rasulullah sendiri pada mulanya berat sangkaan beliau bahwasanya seluruh Muhajirin akan sudi turut berperang ke Badar menghadapi musyrikin yang telah mengusir mereka dari kampung halaman mereka. Tetapi kaum Anshar belum dapat dipastikan oleh Rasulullah ﷺ apakah mereka akan turut berperang atau tidak. Sebab dalam perjanjian semula, dalam Bai'atul Aqabah, tidak tersebut bahwa orang Madinah pun (Anshar) akan suka pula turut dalam peperangan itu, kalau akan pergi mengeluari orang Quraisy, jauh ke luar kota Madinah. Tetapi dalam pertemuan bersama, pimpinan-pimpinan telah menegaskan, walaupun merenangi lautan, mereka pun akan sudi pergi menurut Rasul, dan mereka tidak akan membiarkan beliau sendirian, sebagaimana Bani Israil pernah mengatakan kepada Nabi Musa, “Pergilah engkau bersama Allah engkau, dan biarkanlah kami duduk di sini!"
Maka ayat ini telah menunjukkan bahwa apabila seruan perang telah datang, hendaklah sekalian Mukminin, sebagai akibat yang wajar dari iman, bersedia berjuang dengan harta benda dan dengan nyawa sekalipun. Barang-siapa yang turut pergi berjuang, maka derajatnya akan lebih tinggi daripada yang tidak pergi. Ayat ini berkesan amat dalam di hati seluruh Mukmin di zaman itu, laki-laki dan perempuan, bahkan kanak-kanak pun bersedia untuk berperang. Sampai mereka disuruh bergumul oleh Nabi, diuji mana yang lebih kuat untuk dibawa dan yang belum kuat disuruh sabar untuk dibawa di lain waktu.
Menurut sebuah hadits Bukhari pula, ketika ayat ini turun, seorang Muhajirin yang buta, yaitu Ibnu Ummi Maktum mengatakan di hadapan Nabi bahwa dia pun ingin ikut serta pergi berjihad. Sebab dia ingin mendapat derajat kelebihan sebagai mujahid, daripada hanya duduk saja di rumah. Tetapi kata riwayat itu Rasulullah ﷺ telah menjelaskan suku ayat tadi, yaitu, “Yang tidak berhalangan." Oleh sebab itu, orang buta, orang pincang, ataupun orang sakit adalah berhalangan; tidaklah kena dalam ayat ini. Meskipun mereka tidak pergi berjihad, tidaklah rendah derajat mereka, sebagai derajat orang yang tinggal duduk saja.
Maka datanglah sambungan ayat, “Allah telah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta benda mereka dari diri-diri mereka itu, daripada orang-orang yang duduk, satu derajat." Ayat ini telah menjelaskan, walau bagaimana, namun orang yang pergi berperang, berkorban dengan harta benda, dan menyediakan diri sendiri buat mati lantaran menegakkan Agama Allah ini, pasti lebih tinggi derajatnya daripada orang yang hanya duduk saja, walaupun yang duduk itu mengaku beriman juga. “Tetapi untuk tiap-tiap satu dari keduanya." Yaitu yang turut pergi berperang danyangduduksajadi rumah. “Telah dijanjikan Allah kebaikan." Tegasnya, yang berjihad dan yang duduk saja, sama-sama mendapat pahala juga dari Allah, tetapi sudah terang bahwa derajat pahala yang diterima oleh orang yang pergi berjihad itu tentu lebih tinggi. Dapatlah dipahami bahwa orang yang duduk, tidak pergi berjihad itu tentu ada halangan lain yang tidak memungkinkannya turut pergi. Tetapi sungguh pun dia tidak turut pergi, dia tetap beriman juga. Bahkan ada yang tetap hendak pergi juga, tetapi apa boleh buat, ada sesuatu hal yang menghalangi. Misalnya seorang yang tengah memelihara ayah atau anaknya yang sedang sakit keras.
Ketika Rasulullah ﷺ memimpin Perang Tabuk, di tengah jalan beliau berkata bahwa di Madinah masih tinggal beberapa kaum, yang bukit mana pun yang kamu daki, lembah mana pun yang kamu lalui, namun mereka ada bersama kamu. Lalu sahabat-sahabat bertanya, “Bagaimana demikian, ya Rasul Allah? Padahal mereka tinggal di Madinah?" Beliau menjawab, “Mereka ingin pergi, tetapi ada halangan yang menghambat." Malahan ada yang telah siap dengan segala senjata dan perbekalan, tetapi terpaksa disuruh pulang, dan mereka menangis seketika disuruh pulang. Sebab kendaraan tidak cukup buat membawa mereka. Satu unta hanya memuat dua orang, paling banyak tiga.
Dalam ayat ini disebutkan bahwasanya berjihad itu adalah dengan dua cara. Pertama dengan harta. Kedua dengan diri sendiri; yaitu turut pergi dan sedia mati, syahid fii Sabilillah.
Maka datanglah janji ketegasan dari Allah sekali lagi, bahwa walaupun yang pergi dan yang tidak pergi sama juga mendapat pahala karena sama beriman, namun yang pergi berjihad mendapat derajat yang istimewa juga.
“Dan Allah telah melebihkan orang-orang mujahidin, daripada orang-orang yang duduk (dengan) ganjaran yang besar."
Oleh sebab itu, kalau tidak ada halangan yang besar, lebih baiklah pergi. Apalah artinya iman, kalau tidak ada kesanggupan berjihad. Di dalam satu hadits riwayat Bukhari dan
Muslim dari Abu Said al-Khudri, ada tersebut bahwasanya di dalam surga itu ada 100 derajat (tingkat) yang telah disediakan Allah untuk orang-orang yang berjihad pada jalan Allah. Jarak di antara satu tingkat dengan yang lain, sejauh jarak langit dan bumi. Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh an-Nasa'i, dari Abdullah bin Mas'ud, satu panah yang dipanahkan kepada musuh telah dapat mencapai satu derajat. Apakah lagi apabila sege-nap tenaga telah dicurahkan, pedang telah dihunus, tombak telah diangkat, kuda sudah diserbukan; esa hilang dua terbilang!
Ayat 96
Oleh sebab itu, datanglah ayat selanjutnya menjelaskan lagi apakah ganjaran yang besar itu, “(Yaitu) beberapa derajat daripadanya." Yaitu menurut derajat dan tingkat-tingkat iman ketika berjuang, diikuti oleh tenaga yang dicurahkan, “Dan ampunan segala dosa diampuni oleh Allah karena perjuangan itu nyata tumbuh dari iman. Yang kecil-kecil telah diberi ampun dengan sendirinya, sebab si hamba telah sanggup memberikan pengor-banan yang besar, yaitu harta dan jiwanya; “Dan rahmat" Yaitu kasih dan sayang Allah dan nikmat kurnia yang tiada tepermanai. Kalau umur panjang, tidak tewas dalam peperangan dan beroleh kemenangan, tercapailah mati yang semulia-mulianya, yaitu mati syahid. Karena sudah nyatalah dalam edaran hidup manusia, bahwasanya nilai kehidupan yang telah ditempuh, selalu ditentukan oleh sifat kematian. “Dan adalah Allah itu Pengampun," bagi kelalaian dan keteledoran dan, “lagi Penyayang." Bila Allah menunjukkan kedua asma-Nya yang tinggi itu, yaitu Ghafur dan Rahim, maksudnya ialah guna menguatkan janji-Nya bahwa bagi mujahidin Dia akan melimpahkan ampunan dan rahmat.
Dalam Perang Uhud, ada diriwayatkan bahwa seorang pemuda melalui malam pertama perkawinan. Pagi-pagi sebelum dia mandi janabat, terdengar olehnya di halaman tentara Islam telah berangkat. Lalu dilekatkan celananya, disandangnya alat senjata dan dikejarnya angkatan perang itu, lalu pergi bersama-sama berjuang dan dia mati syahid dalam perjuangan itu. Di waktu itu Allah tidak menyuruh periksa lagi mengapa dia belum mandi janabat; dosanya telah diampuni!
Dalam peperangan penaklukkan benteng Yahudi di Khaibar, seorang budak hitam pe-ngembala telah masuk Islam pagi-pagi dan turut berjuang tengah hari. Sebelum dia sempat mengerjakan shalat Zhuhur dia telah mencapai syahidnya. Tidak sempat mengerjakan shalat Zhuhur. Hal kecil-kecil telah habis apabila orang telah membuktikan imannya dengan kesanggupan jihadnya, apatah lagi kalau nyawa yang telah dia berikan.
Dalam satu hadits yang shahih Rasulullah pernah mengatakan bahwasanya segala dosa di antara seorang hamba dan Tuhannya, telah diampuni Allah apabila hamba itu telah syahid pada jalan Allah, kecuali hanya utangnya kepada manusialah yang tidak dibebaskan oleh Allah, sebab itu adalah sangkut-pautnya dengan manusia. Maka seorang yang beriman, apabila dibacanya ayat ini, diketahuinya bahwa Allah Pengampun dan Penyayang telah memberi ampun dan kasih sayang pula kepada orang itu. Mengapa pula dia akan keberatan meniru sifat Allah, yaitu memberi ampun dan menyayangi, memberi maaf dan melepaskannya dari utang?