Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَا
dan tidak
كَانَ
boleh
لِمُؤۡمِنٍ
bagi seorang mukmin
أَن
yang
يَقۡتُلَ
membunuh
مُؤۡمِنًا
seorang mukmin
إِلَّا
kecuali
خَطَـٔٗاۚ
bersalah
وَمَن
dan barang siapa
قَتَلَ
membunuh
مُؤۡمِنًا
seorang mukmin
خَطَـٔٗا
bersalah
فَتَحۡرِيرُ
maka hendaklah memerdekakan
رَقَبَةٖ
hamba sahaya
مُّؤۡمِنَةٖ
yang beriman
وَدِيَةٞ
dan membayar diyat/ganti rugi
مُّسَلَّمَةٌ
diserahkan
إِلَىٰٓ
kepada
أَهۡلِهِۦٓ
keluarganya
إِلَّآ
kecuali
أَن
akan
يَصَّدَّقُواْۚ
mereka memberikan
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
مِن
dari
قَوۡمٍ
kaum
عَدُوّٖ
permusuhan
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَهُوَ
dan ia
مُؤۡمِنٞ
seorang mukmin
فَتَحۡرِيرُ
maka hendaklah memerdekakan
رَقَبَةٖ
hamba sahaya
مُّؤۡمِنَةٖۖ
yang beriman
وَإِن
dan jika
كَانَ
ada
مِن
dari
قَوۡمِ
kaum
بَيۡنَكُمۡ
diantara kamu
وَبَيۡنَهُم
dan diantara mereka
مِّيثَٰقٞ
perjanjian
فَدِيَةٞ
maka membayar diyat/ganti rugi
مُّسَلَّمَةٌ
diserahkan
إِلَىٰٓ
kepada
أَهۡلِهِۦ
keluarganya
وَتَحۡرِيرُ
dan memerdekakan
رَقَبَةٖ
hamba sahaya
مُّؤۡمِنَةٖۖ
yang beriman
فَمَن
maka barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَجِدۡ
mendapatkan
فَصِيَامُ
maka berpuasa
شَهۡرَيۡنِ
dua bulan
مُتَتَابِعَيۡنِ
berturut-turut
تَوۡبَةٗ
taubat
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۗ
Allah
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمٗا
Maha Bijaksana
وَمَا
dan tidak
كَانَ
boleh
لِمُؤۡمِنٍ
bagi seorang mukmin
أَن
yang
يَقۡتُلَ
membunuh
مُؤۡمِنًا
seorang mukmin
إِلَّا
kecuali
خَطَـٔٗاۚ
bersalah
وَمَن
dan barang siapa
قَتَلَ
membunuh
مُؤۡمِنًا
seorang mukmin
خَطَـٔٗا
bersalah
فَتَحۡرِيرُ
maka hendaklah memerdekakan
رَقَبَةٖ
hamba sahaya
مُّؤۡمِنَةٖ
yang beriman
وَدِيَةٞ
dan membayar diyat/ganti rugi
مُّسَلَّمَةٌ
diserahkan
إِلَىٰٓ
kepada
أَهۡلِهِۦٓ
keluarganya
إِلَّآ
kecuali
أَن
akan
يَصَّدَّقُواْۚ
mereka memberikan
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
مِن
dari
قَوۡمٍ
kaum
عَدُوّٖ
permusuhan
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَهُوَ
dan ia
مُؤۡمِنٞ
seorang mukmin
فَتَحۡرِيرُ
maka hendaklah memerdekakan
رَقَبَةٖ
hamba sahaya
مُّؤۡمِنَةٖۖ
yang beriman
وَإِن
dan jika
كَانَ
ada
مِن
dari
قَوۡمِ
kaum
بَيۡنَكُمۡ
diantara kamu
وَبَيۡنَهُم
dan diantara mereka
مِّيثَٰقٞ
perjanjian
فَدِيَةٞ
maka membayar diyat/ganti rugi
مُّسَلَّمَةٌ
diserahkan
إِلَىٰٓ
kepada
أَهۡلِهِۦ
keluarganya
وَتَحۡرِيرُ
dan memerdekakan
رَقَبَةٖ
hamba sahaya
مُّؤۡمِنَةٖۖ
yang beriman
فَمَن
maka barang siapa
لَّمۡ
tidak
يَجِدۡ
mendapatkan
فَصِيَامُ
maka berpuasa
شَهۡرَيۡنِ
dua bulan
مُتَتَابِعَيۡنِ
berturut-turut
تَوۡبَةٗ
taubat
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۗ
Allah
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمٗا
Maha Bijaksana
Terjemahan
Tidak patut bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin, kecuali karena tersalah (tidak sengaja). Siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin dan (membayar) tebusan yang diserahkan kepada keluarganya (terbunuh), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) membebaskan pembayaran. Jika dia (terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal dia orang beriman, (hendaklah pembunuh) memerdekakan hamba sahaya mukminat. Jika dia (terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, (hendaklah pembunuh) membayar tebusan yang diserahkan kepada keluarganya serta memerdekakan hamba sahaya mukminah. Siapa yang tidak mendapatkan (hamba sahaya) hendaklah berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai (ketetapan) cara bertobat dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Dan tidak sepatutnya seorang mukmin membunuh seorang mukmin) yang lain; artinya tidak layak akan timbul perbuatan itu dari dirinya (kecuali karena tersalah) artinya tidak bermaksud untuk membunuhnya. (Dan siapa yang membunuh seorang mukmin karena tersalah itu) misalnya bermaksud melempar yang selainnya seperti binatang buruan atau pohon kayu tetapi mengenai seseorang dengan alat yang biasanya tidak menyebabkan kematian hingga membawa ajal (maka hendaklah memerdekakan) membebaskan (seorang hamba sahaya yang beriman beserta diat yang diserahkan) diberikan (kepada keluarganya) yaitu ahli waris yang terbunuh (kecuali jika mereka bersedekah) artinya memaafkannya. Dalam pada itu sunah menjelaskan bahwa besar diat itu 100 ekor unta, 20 ekor di antaranya terdiri dari yang dewasa, sedang lainnya yang di bawahnya, dalam usia yang bermacam-macam. Beban pembayaran ini terpikul di atas pundak `ashabah sedangkan keluarga-keluarga lainnya dibagi-bagi pembayarannya selama tiga tahun, bagi yang kaya setengah dinar, dan yang sedang seperempat dinar pada tiap tahunnya. Jika mereka tidak mampu maka diambilkan dari harta baitulmal, dan jika sulit maka dari pihak yang bersalah. (Jika ia) yakni yang terbunuh (dari kaum yang menjadi musuh) musuh perang (bagimu padahal ia mukmin, maka hendaklah memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman) jadi bagi si pembunuh wajib kafarat tetapi tidak wajib diat yang diserahkan kepada keluarganya disebabkan peperangan itu. (Dan jika ia) maksudnya yang terbunuh (dari kaum yang di antara kamu dengan mereka ada perjanjian) misalnya ahli dzimmah (maka hendaklah membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya) yaitu sepertiga diat orang mukmin, jika dia seorang Yahudi atau Nasrani, dan seperlima belas jika ia seorang Majusi serta memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman) oleh si pembunuhnya. (Siapa yang tidak memperolehnya) misalnya karena tak ada budak atau biayanya (maka hendaklah berpuasa selama dua bulan berturut-turut) sebagai kafarat yang wajib atasnya. Mengenai pergantian dengan makanan seperti pada zihar, tidak disebutkan oleh Allah ﷻ Tetapi menurut Syafii, pada salah satu di antara dua pendapatnya yang terkuat, ini diberlakukan (untuk penerimaan tobat dari Allah) mashdar yang manshub oleh kata kerjanya yang diperkirakan. (Dan Allah Maha Mengetahui) terhadap makhluk-Nya (lagi Maha Bijaksana) mengenai pengaturan-Nya terhadap mereka.
Tafsir Surat An-Nisa': 92-93
Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja); dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat (tebusan) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga si terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah) si pembunuh memerdekakan budak yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian, maka (hendaklah) si pembunuh membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan budak yang beriman. Barang siapa yang tidak mendapatkannya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut agar diterima tobatnya oleh Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya.
Ayat 92
Allah ﷻ berfirman bahwa seorang mukmin tidak boleh membunuh saudaranya yang mukmin dengan alasan apa pun. Seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak halal darah seorang muslim yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan aku adalah utusan Allah, kecuali karena salah satu dari tiga perkara, yaitu membunuh jiwa balasannya dibunuh lagi, duda yang berzina, orang yang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jamaah. Kemudian jika terjadi satu dari ketiga hal tersebut, maka tiada hak atas setiap individu masyarakat untuk menghukumnya, melainkan yang berhak menghukumnya hanyalah imam atau wakilnya.”
Firman Allah ﷻ: “Terkecuali karena tersalah (tidak sengaja).” (An-Nisa: 92) Mereka mengatakan bahwa istisna dalam ayat ini merupakan istisna munqati', perihalnya sama dengan pengertian yang terdapat pada ucapan seorang penyair yang mengatakan: “Dari telurnya (burung unta itu) tidak pernah pergi jauh dan tidak pernah pula menyentuh tanah kecuali karena cuaca dingin yang memaksanya harus pergi mengungsi.”
Bukti-bukti yang membenarkan pengertian ini cukup banyak. Mengenai asbabun nuzul ayat ini masih diperselisihkan, untuk itu Mujahid dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ayyasy ibnu Abu Rabi'ah. Abu Rabi'ah adalah saudara laki-laki seibu dengan Abu Jahal; ibunya bernama Asma binti Makhramah. Pada mulanya Ayyasy membunuh seorang lelaki yang menyiksa dirinya bersama saudaranya karena Ayyasy masuk Islam; lelaki itu bernama Al-Haris ibnu Yazid Al-Gamidi. Dalam hati Ayyasy masih terpendam niat hendak membalas saudara Al-Haris itu. Tetapi tanpa sepengetahuan Ayyasy, saudara Al-Haris tersebut masuk Islam dan ikut hijrah. Ketika terjadi Perang Fathu Mekah, tiba-tiba Ayyasy melihat lelaki tersebut, maka dengan serta merta ia langsung menyerangnya dan membunuhnya karena ia menduga bahwa lelaki tersebut masih musyrik. Maka Allah menurunkan ayat ini.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Darda, karena ia membunuh seorang lelaki yang telah mengucapkan kalimat iman (yaitu syahadatain), di saat ia mengangkat senjata padanya. Sekalipun lelaki itu telah mengucapkan kalimat iman, Abu Darda tetap mengayunkan pedang kepadanya, hingga matilah ia. Ketika peristiwa tersebut diceritakan kepada Nabi ﷺ, Abu Darda beralasan bahwa sesungguhnya lelaki itu mau mengucapkan kalimat tersebut hanyalah semata-mata untuk melindungi dirinya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Apakah kamu telah membelah dadanya?” Hadis ini terdapat di dalam kitab Sahih, tetapi bukan melalui Abu Darda.
Firman Allah ﷻ: “Dan barang siapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (An-Nisa: 92)
Kedua sanksi tersebut wajib dalam kasus pembunuhan tidak sengaja, yang salah satunya adalah membayar kifarat untuk menghapus dosa besar yang dilakukannya, sekalipun hal tersebut ia lakukan secara tidak sengaja. Di antara syarat kifarat ini ialah memerdekakan seorang budak yang mukmin; tidak cukup bila yang dimerdekakannya itu adalah budak yang kafir.
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy-Sya'bi, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hasan Al-Basri, bahwa mereka mengatakan, "Tidak mencukupi sebagai kifarat memerdekakan budak yang masih kecil, mengingat anak yang masih kecil masih belum menjadi pelaku iman."
Diriwayatkan melalui jalur Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Qatadah yang mengatakan bahwa di dalam mushaf sahabat Ubay ibnu Ka'b terdapat keterangan, "Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang beriman," dalam kifarat ini masih belum mencukupi bila yang dimerdekakannya adalah budak yang masih kecil.
Tetapi Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan, "Jika si budak yang masih kecil itu dilahirkan dari kedua orang tua yang kedua-duanya muslim, sudah mencukupi untuk kifarat. Tetapi jika bukan dilahirkan dari kedua orang tua yang muslim, hukumnya tidak mencukupi." Pendapat yang dikatakan oleh jumhur ulama mengatakan, "Apabila budak yang dimerdekakan adalah orang muslim, maka sah dimerdekakan sebagai kifarat, tanpa memandang apakah ia masih kecil atau sudah dewasa." .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abdullah ibnu Abdullah, dari seorang lelaki, dari kalangan Anshar yang menceritakan hadits berikut: Bahwa ia datang dengan membawa seorang budak perempuan yang berkulit hitam, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku terkena kewajiban memerdekakan seorang budak yang mukmin. Untuk itu apabila menurutmu budak ini mukmin, maka aku akan memerdekakannya." Rasulullah ﷺ bertanya kepada budak perempuan itu, "Apakah engkau telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah?" Budak perempuan itu menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Apakah engkau telah bersaksi pula bahwa aku adalah utusan Allah?" Si budak menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Apakah engkau beriman dengan hari berbangkit sesudah mati?" Si budak menjawab, "Ya." Rasulullah ﷺ bersabda, "Merdekakanlah dia!"
Sanad hadits ini sahih. Mengenai nama sahabat yang tidak disebutkan dengan jelas, tidak mengurangi predikat hadits ini.
Di dalam kitab Muwatta' Imam Malik, kitab Musnad Imam Syafii, kitab Musnad Imam Ahmad, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, dan Sunan An-Nasai disebutkan sebuah hadits melalui jalur Hilal ibnu Abu Maimunah, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Mu'awiyah ibnul Hakam: Bahwa ketika ia datang membawa budak wanita hitam itu kepada Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada budak itu, "Di manakah Allah?" Ia menjawab, "Di langit." Rasulullah ﷺ bertanya lagi, "Siapakah aku ini?" Ia menjawab, "Utusan Allah." Rasulullah ﷺ bersabda: “Merdekakanlah dia, sesungguhnya dia beriman.”
Firman Allah ﷻ: “Dan membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu).” (An-Nisa: 92)
Kewajiban yang kedua yang dibebankan kepada si pembunuh ialah yang menyangkut kepentingan keluarga si terbunuh, yaitu pembayaran diyat kepada mereka, sebagai kompensasi yang diperuntukkan buat mereka akibat terbunuhnya keluarga mereka. Diyat ini hanyalah diwajibkan dalam bentuk lima bentuk, seperti yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan para pemilik kitab sunnah melalui hadits Al-Hajjaj ibnu Artah, dari Zaid ibnu Jubair, dari Khasyf ibnu Malik, dari Ibnu Mas'ud yang menceritakan: .
Rasulullah ﷺ telah memutuskan terhadap diyat kasus pembunuhan secara tidak sengaja dibayar dalam bentuk dua puluh ekor bintu makhad, dua puluh ekor bani makhad, dua puluh ekor bintu labun, dua puluh ekor jaz'ah, dan dua puluh ekor hiqqah. Lafal hadits ini berdasarkan apa yang ada pada Imam An-Nasai. Imam At-Tirmidzi mengatakan, "Kami tidak mengetahui predikat marfu'nya kecuali melalui jalur sanad ini."
Namun diriwayatkan pula hal yang sama secara mauquf dari Abdullah Ibnu Mas'ud, begitu pula dari Ali dan sejumlah sahabat lainnya.
Tetapi menurut pendapat yang lain, diyat harus dibagi menjadi empat macam. diyat ini hanya diwajibkan atas aqilah (saudara terdekat) si pembunuh, bukan dibebankan kepada harta si pembunuh.
Imam Syafii mengatakan, "Aku belum pernah mengetahui ada yang menentang bahwa Rasulullah ﷺ telah memutuskan diyat ditanggung oleh aqilah (saudara terdekat) si pembunuh. Hal ini jauh lebih banyak daripada hadits yang khusus." Hal yang diisyaratkan oleh Imam Syafii ini memang terbukti banyak hadits yang menerangkan tentangnya. Antara lain adalah hadits yang disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui Abu Hurairah yang menceritakan: Bahwa ada dua orang wanita dari kalangan Bani Huzail berkelahi, lalu salah seorang darinya melempar lawannya dengan batu hingga membunuhnya berikut janin yang dikandungnya. Kemudian kedua keluarga yang bersangkutan mengadukan kasus mereka kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan bahwa diyat janin si terbunuh ialah memerdekakan seorang budak laki-laki atau budak perempuan, sedangkan keputusan mengenai diyat ibunya dibebankan kepada aqilah (saudara terdekat) si pembunuh.
Dapat ditarik kesimpulan dari hadits ini bahwa hukum membunuh mirip dengan sengaja sama dengan hukum membunuh secara keliru adalah dalam hal diyatnya. Akan tetapi, dalam kasus serupa dengan sengaja diyatnya hanya terbagi menjadi tiga macam.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebut sebuah hadits melalui Abdullah ibnu Umar: Bahwa Rasulullah ﷺ mengirimkan Khalid ibnul Walid (bersama sejumlah pasukan yang dipimpinnya) ke tempat orang-orang Bani Juzaimah. Lalu Khalid menyeru mereka dan mengajak mereka masuk Islam, tetapi mereka tidak dapat mengatakan, "Kami masuk Islam." Yang mereka katakan hanyalah, "Kami masuk agama Sabiah, kami masuk agama Sabiah." Maka Khalid membunuh mereka. Ketika Rasulullah ﷺ mendengar hal tersebut, beliau mengangkat kedua tangannya, lalu berdoa: “Ya Allah, sesungguhnya aku berlepas diri dari-Mu terhadap apa yang diperbuat oleh Khalid.” Lalu Rasulullah ﷺ mengutus Ali untuk membayar diyat mereka yang terbunuh dan mengganti harta mereka yang dirusak tanpa ada sedikit pun yang tertinggal. Dari hadits ini dapat ditarik kesimpulan bahwa kekeliruan yang ditimbulkan oleh pihak imam atau wakilnya, kerugiannya dibebankan kepada Baitul Mal.
Firman Allah ﷻ: “Kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah.” (An-Nisa: 92)
Dalam kasus pembunuhan tidak sengaja diyat harus diserahkan kepada keluarga si terbunuh, kecuali jika keluarga si terbunuh menyedekahkannya (memaafkannya), maka hukum diyat tidak wajib lagi.
Firman Allah ﷻ: “Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhi kalian, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan budak yang beriman.” (An-Nisa: 92)
Bilamana si terbunuh adalah orang mukmin, tetapi semua keluarganya adalah orang-orang kafir harbi yang bermusuhan dengan kalian, maka tidak ada diyat bagi mereka, dan si pembunuh diwajibkan memerdekakan seorang budak yang mukmin, tanpa ada sanksi lainnya lagi.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kalian.” (An-Nisa: 92)
Jika keluarga si terbunuh adalah orang-orang kafir zimmi, atau yang ada perjanjian perdamaian dengan kalian, maka mereka mendapat diyatnya. Jika si terbunuh adalah orang mukmin, maka diyatnya lengkap; demikian pula jika si terbunuh kafir, menurut pendapat segolongan ulama. Tetapi menurut pendapat yang lain, bila si terbunuhnya adalah orang kafir, maka diyatnya hanya separuh diyat orang muslim. Menurut pendapat yang lain lagi, sepertiganya. Rincian mengenai masalah ini dibahas dalam kitab-kitab fiqih. Si pembunuh diwajibkan pula memerdekakan seorang budak yang mukmin selain diyat tersebut.
“Barang siapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut.” (An-Nisa: 92)
Tidak boleh berbuka barang sehari pun di antara dua bulan itu, melainkan ia lakukan puasanya secara berturut-turut dan langsung hingga bulan yang kedua. Untuk itu jika ia berbuka tanpa uzur sakit atau haid atau nifas, maka ia harus memulainya lagi dari permulaan.
Para ulama sehubungan dengan masalah ini berbeda pendapat mengenai orang yang dalam perjalanan, apakah orang yang bersangkutan boleh memutuskannya atau tidak. Ada dua pendapat mengenai masalah ini.
Firman Allah ﷻ: “Agar diterima tobatnya oleh Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 92)
Dengan kata lain, begitulah tobat orang yang melakukan pembunuhan tidak disengaja, yaitu apabila ia tidak mendapatkan budak untuk dimerdekakannya, hendaklah ia berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai gantinya.
Para ulama berselisih pendapat mengenai orang yang tidak kuat melakukan puasa, apakah ia wajib memberi makan enam puluh orang miskin, sebagaimana dalam kifarat zihar? Ada dua pendapat mengenainya. Pendapat pertama mengiyakan, karena disamakan dengan kifarat dalam masalah zihar. Sesungguhnya alternatif ini tidak disebutkan di dalam ayat, karena kedudukan ayat mengandung makna ancaman, peringatan, dan menakut-nakuti. Maka tidaklah serasi bila disebutkan padanya masalah memberi makan sebagai alternatif lain, karena akan tersirat pengertian mempermudah dan menganggap ringan. Pendapat yang kedua mengatakan tidak boleh berpindah kepada kifarat memberi makan, karena sesungguhnya jika alternatif memberi makan ini hukumnya wajib, niscaya keterangan mengenainya tidak diakhirkan dari saat dibutuhkan.
“Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 92)
Tafsir mengenai ayat yang berbunyi demikian sering dikemukakan.
Ayat 93
Setelah Allah ﷻ menjelaskan hukum pembunuhan secara tidak sengaja, kemudian dijelaskan hukum membunuh dengan sengaja. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” (An-Nisa: 93)
Ayat ini mengandung makna ancaman yang keras dan peringatan yang tidak mengenal ampun terhadap orang yang melakukan dosa besar ini, yang disebut oleh Allah bergandengan dengan perbuatan syirik dalam banyak ayat dari Kitabullah. Di dalam surat Al-Furqan, Allah ﷻ berfirman:
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar.” (Al-Furqan: 68)
Dalam ayat lainnya Allah ﷻ telah berfirman: “Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia’." (Al-An'am: 151)
Ayat-ayat dan hadits-hadits yang mengharamkan pembunuhan banyak sekali, antara lain ialah sebuah hadits yang disebut di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Mas'ud, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Mula-mula perkara yang diputuskan di antara manusia pada hari kiamat ialah mengenai masalah darah.”
Di dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud melalui riwayat Amr ibnul Walid ibnu Abdah Al-Masri, dari Ubadah ibnus-Samit, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Orang mukmin itu masih tetap dalam keadaan berjalan cepat dan baik, selagi ia tidak mengalirkan darah yang diharamkan. Apabila ia mengalirkan darah yang diharamkan, maka terhentilah jalannya (karena lelah dan lemah). Sesungguhnya lenyapnya dunia ini lebih ringan di sisi Allah daripada membunuh seorang lelaki muslim. Seandainya bersatu semua penduduk langit dan penduduk bumi dalam membunuh seorang lelaki muslim, niscaya Allah mencampakkan mereka semua ke dalam neraka. Barang siapa ikut terlibat dalam membunuh seorang muslim sekalipun dengan sepatah kata kelak di hari kiamat ia akan datang dalam keadaan di antara kedua matanya tertulis kalimat ‘Orang yang dijauhkan dari rahmat Allah’."
Ibnu Abbas mempunyai pendapat tiada tobat (yang diterima) bagi pembunuh orang mukmin dengan sengaja.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Adam, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Al-Mughirah ibnun Nu'man yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Jubair mengatakan, "Ulama Kufah berselisih pendapat mengenai masalah membunuh orang mukmin dengan sengaja. Maka aku (Ibnu Jubair) berangkat menemui Ibnu Abbas, lalu aku tanyakan masalah ini kepadanya. Ia menjawab bahwa telah diturunkan ayat berikut, yaitu firman-Nya: ‘Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam’.” (An-Nisa: 93) Ayat ini merupakan ayat yang paling akhir diturunkan (berkenaan dengan masalah hukum, pent.) dan tiada suatu ayat lain pun yang me-mansukh-nya (merevisinya).
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Bukhari, Imam Muslim, dan Imam An-Nasai melalui berbagai jalur dari Syu'bah dengan lafal yang sama.
Imam Abu Dawud meriwayatkannya dari Imam Ahmad ibnu Hambal, dari Ibnu Mahdi, dari Sufyan As-Sauri, dari Mughirah ibnun Nu'man, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam.” (An-Nisa: 93) Ibnu Abbas mengatakan bahwa tiada sesuatu pun yang menasakh (merevisi) ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Basysyar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sa'id ibnu Jubair yang mengatakan bahwa Abdur Rahman ibnu Abza menceritakan bahwa Ibnu Abbas pernah ditanya mengenai firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahanam.” (An-Nisa: 93), hingga akhir ayat. Ibnu Abbas menjawab bahwa ayat ini tiada yang menasakh (merevisi)nya.
Ibnu Abbas mengatakan sehubungan dengan ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah.” (Al-Furqan: 68), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang musyrik.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Mansur, telah menceritakan kepadaku Sa'id ibnu Jubair; atau telah menceritakan kepadaku Al-Hakam, dari Sa'id ibnu Jubair yang pernah mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Abbas mengenai firman-Nya: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam.” (An-Nisa: 93) Maka Ibnu Abbas menjawab, "Sesungguhnya seorang lelaki itu apabila telah mengetahui Islam dan syariat-syariat (hukum-hukum)nya, kemudian ia membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah Jahanam dan tiada tobat baginya." Ketika aku (Sa'id ibnu Jubair) beritahu jawaban tersebut kepada Mujahid, maka Mujahid mengatakan, "Kecuali orang yang menyesali perbuatannya (yakni bertobat)." .
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid dan Ibnu Waki'; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Jarir, dari Yahya Al-Jabiri, dari Salim ibnu Abul Ja'd yang mengatakan, "Ketika kami berada di dalam rumah Ibnu Abbas sesudah kedua matanya mengalami kebutaan, maka datanglah seorang lelaki, lalu bertanya kepadanya, 'Wahai Abdullah Ibnu Abbas, bagaimanakah menurutmu tentang seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja?' Maka Ibnu Abbas menjawab, 'Balasannya ialah neraka Jahanam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya serta melaknatinya dan menyediakan baginya azab yang besar.' Lelaki itu bertanya lagi, 'Bagaimanakah menurutmu, bila si pembunuh itu bertobat dan beramal saleh serta menempuh jalan hidayah?' Ibnu Abbas menjawab, 'Semoga ibunya kehilangan dia (kata-kata cacian), mana mungkin tobatnya diterima dan dapat memperoleh hidayah? Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku pernah mendengar Nabi kalian bersabda: ‘Semoga ibunya kehilangan dia, yaitu pembunuh seorang mukmin dengan sengaja. Kelak di hari kiamat si terbunuh dengan leher yang berlumuran darah datang seraya membawa si pembunuh dengan tangan kanan atau tangan kirinya ke hadapan Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah. Si terbunuh memegang si pembunuh dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya memegang kepala si pembunuh; si terbunuh berkata: ‘Ya Tuhanku, tanyakanlah kepadanya, kenapa dia membunuhku?’ Demi Tuhan yang jiwa Abdullah ini berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya sejak ayat ini diturunkan, tiada ayat lain yang me-mansukh-nya (merevisinya) hingga Nabi kalian wafat, dan sesudah turunnya ayat ini tiada suatu bukti pun yang merevisinya'." .
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, bahwa ia pernah mendengar Yahya ibnul Mujiz menceritakan hadits berikut dari Salim, dari Ibnu Abul Ja'd, dari Ibnu Abbas, bahwa ada seorang lelaki datang kepadanya, lalu bertanya, "Bagaimanakah pendapatmu tentang seorang lelaki yang membunuh lelaki lain (yang mukmin) dengan sengaja?" Ibnu Abbas menjawabnya dengan membacakan firman Allah ﷻ: “Maka balasannya adalah Jahanam, kekal ia di dalamnya.” (An-Nisa: 93) Lelaki itu bertanya lagi, bahwa ayat ini merupakan ayat (hukum) yang paling akhir diturunkan, tiada suatu ayat pun yang me-mansukh-nya hingga Rasulullah ﷺ wafat, dan memang tiada wahyu yang turun sesudah kepergian beliau ﷺ. “Bagaimanakah pendapatmu jika ternyata si pembunuh itu bertobat, beriman, dan beramal saleh serta mendapatkan hidayah?" Ibnu Abbas menjawab, "Mana mungkin tobatnya diterima? Sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda, Semoga ibunya kehilangan dia, yaitu seorang lelaki yang membunuh lelaki lain dengan sengaja, kelak di hari kiamat si terbunuh akan membawa pembunuhnya dengan tangan kanan atau tangan kirinya memegang kepala si pembunuh sedangkan dia sendiri dalam keadaan berlumuran darah pada lehernya. Dia datang ke hadapan Arasy, lalu berkata, ‘Wahai Tuhanku, tanyailah hamba-Mu ini, mengapa dia membunuhku’."
Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Qutaibah dan Ibnu Majah, dari Muhammad ibnus Sabbah, dari Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ammar Az-Zahabi dan Yahya Al-Jabiri serta Sabit As-Samali, dari Salim ibnu Abul Ja'd, dari Ibnu Abbas. Lalu ia mengetengahkan hadits ini. Hal ini diriwayatkan pula melalui berbagai jalur, dari Ibnu Abbas.
Di antara ulama Salaf yang berpendapat tidak ada tobat bagi si pembunuh dengan sengaja ialah Zaid ibnu Sabit, Abu Hurairah, Abdullah ibnu Umar, Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, Ubaid ibnu Umair, Al-Hasan, Qatadah, dan Adh-Dhahhak ibnu Muzahim. Demikianlah menurut apa yang dinukil oleh Ibnu Abu Hatim. Banyak hadits yang menerangkan bab ini, antara lain ialah apa yang telah diriwayatkan oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya sebagai berikut: .
Telah menceritakan kepada kami Da'laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Sa'id Al-Busyanji, telah menceritakan pula kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Fahd; keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Ubaid ibnu Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman, dari ayahnya, dari Al-A'masy, dari Abu Amr ibnu Syurahbil berikut sanadnya, dari Abdullah ibnu Mas'ud, dari Nabi ﷺ yang bersabda: Kelak di hari kiamat orang yang terbunuh datang dengan membawa pembunuhnya seraya memegang kepala si pembunuh dengan tangan yang lainnya, lalu berkata, "Wahai Tuhanku, tanyailah orang ini, mengapa dia membunuhku?" Maka si pembunuh menjawab, "Aku membunuhnya untuk membela keagungan-Mu." Maka Allah berfirman, "Sesungguhnya keagungan itu adalah milik-Ku." Lalu didatangkan lagi orang lain yang menyeret pembunuhnya, kemudian ia berkata, "Wahai Tuhanku, tanyakanlah kepada orang ini, mengapa dia membunuhku." Si pembunuh menjawab, "Aku telah membunuhnya untuk membela keagungan si Fulan." Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya si Fulan tidak memiliki keagungan, maka pikullah dosanya." Lalu si pembunuh dicampakkan ke dalam neraka dan jatuh ke dalamnya selama tujuh puluh musim gugur (tahun).
Imam An-Nasai meriwayatkannya dari Ibrahim ibnul Mustamir Al-Aufi, dari Amr ibnu Asim, dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan lafal yang sama.
Hadis lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu Aun, dari Abu Idris yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muawiyah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Nabi ﷺ bersabda: “Semua dosa masih mempunyai harapan untuk diampuni oleh Allah, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, dari Muhammad ibnul Musanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafal yang sama.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Simawaih, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la ibnu Mishar, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Dihqan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Zakaria; ia pernah mendengar Ummu Darda mengatakan, "Aku pernah mendengar Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Semua dosa mudah-mudahan Allah ampuni kecuali orang yang mati dalam keadaan musyrik, atau orang yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja'."
Ditinjau dari sanad ini, hadits berpredikat gharib jiddan (sangat aneh), karena hadits yang terkenal dan dihafal adalah hadits Mu'awiyah tadi.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Baqiyyah ibnul Walid, dari Nafi' ibnu Yazid, telah menceritakan kepadaku Ibnu Jubair Al-Ansari, dari Daud Al-Husain, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, berarti ia telah kafir terhadap Allah ﷻ.”
Hadis ini berpredikat munkar (diriwayatkan oleh perawi yang sering lupa, sering melakukan kesalahan, dan berbuat fasik terang-terangan); di dalam sanadnya masih banyak hal yang diragukan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami An-Nadr, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Humaid, telah datang kepadanya Abul Aliyah yang saat itu sedang bersama seorang temannya. Maka Abul Aliyah berkata kepada kami berdua, "Kemarilah kamu berdua, kamu berdua lebih muda daripada aku dan lebih kuat hafalan hadisnya dibandingkan diriku." Lalu Abul Aliyah membawa kami kepada Bisyr ibnu Asim. Sesampainya di rumah Bisyr ibnu Asim, Abul Aliyah berkata kepadanya, "Ceritakanlah haditsmu kepada kedua orang ini." Maka Bisyr ibnu Asim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Malik Al-Laisi hadits berikut: Rasulullah ﷺ mengirimkan suatu pasukan khusus untuk memerangi suatu kaum. Lalu ada seorang lelaki bergabung dengan kaum tersebut, yang segera diikuti oleh seorang lelaki dari kalangan pasukan Sariyyah seraya menghunus pedangnya. Lelaki dari kalangan kaum itu berkata, "Sesungguhnya aku adalah seorang muslim." Tetapi lelaki dari Sariyyah itu tidak mempedulikan kata-katanya, melainkan langsung memukulnya dengan pedang hingga ia terbunuh. Kemudian kejadian itu sampai kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau ﷺ mengucapkan kata-kata yang berat terhadap peristiwa itu. Ketika si pembunuh sampai, yang saat itu Rasulullah ﷺ sedang berkhotbah, maka si pembunuh itu berkata, "Demi Allah, tidak sekali-kali si terbunuh itu mengucapkan kata-kata pengakuannya, melainkan hanya ingin menyelamatkan dirinya dari pembunuhan." Rasulullah ﷺ berpaling darinya, juga dari orang-orang yang ada di belakang lelaki itu, lalu beliau melanjutkan khotbahnya. Kemudian lelaki itu berkata lagi, "Wahai Rasulullah, tidak sekali-kali dia mengucapkan kata-katanya itu melainkan hanya untuk menyelamatkan diri dari pembunuhan." Rasulullah ﷺ berpaling darinya, juga dari orang-orang yang datang bersamanya, lalu melangsungkan khotbahnya. Lelaki itu tidak sabar hingga ia berkata untuk yang ketiga kalinya, "Demi Allah wahai Rasulullah, tidak sekali-kali ia mengucapkan kata-katanya itu melainkan hanya ingin menyelamatkan dirinya dari pembunuhan." Maka kali ini Rasulullah ﷺ menghadapkan wajahnya ke arah lelaki itu, sedangkan wajah beliau ﷺ tergambar rasa penyesalan yang sangat. Lalu beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya Allah menolak (tobat) orang yang membunuh seorang mukmin.” Sabda ini diulangnya hingga tiga kali.
Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Sulaiman ibnul Mughirah. Tetapi pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama dari kalangan ulama Salaf dan Khalaf ialah pendapat yang mengatakan bahwa seorang pembunuh masih mempunyai harapan untuk bertobat antara dia dan Allah ﷻ. Untuk itu, jika ia benar-benar tobat dan kembali ke jalan yang benar serta bersikap khusyuk, tawaduk, dan beramal saleh, maka Allah akan mengganti keburukannya dengan kebaikan, memberikan ganti kepada si terbunuh dengan diambil perbuatan-perbuatan zalimnya, hingga Allah rida kepadanya dan mengampuni dosa-dosanya. Allah ﷻ telah berfirman: “Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah.” (Al-Furqan: 68) sampai dengan firman-Nya: “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh.” (Al-Furqan: 70)
Ini merupakan hadits yang tidak boleh dimansukh (direvisi), sedangkan mengenai interpretasi hal ini ditujukan kepada orang-orang musyrik, dan ayat surat An-Nisa diinterpretasikan kepada orang-orang mukmin merupakan hal yang bertentangan dengan makna lahiriah ayat, dan masih diperlukan adanya dalil yang menunjukkan kepada takwil tersebut (yang mengatakan bahwa pelaku berdosa besar, masuk neraka, dan tiada tobat baginya).
Firman Allah ﷻ: “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah’." (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Makna ayat ini umum mencakup semua dosa, seperti kekufuran, kemusyrikan, keraguan, munafik, membunuh jiwa, perbuatan fasik dan lain-lain. Dengan kata lain, barang siapa yang bertobat dari hal-hal tersebut, niscaya Allah menerima tobatnya. Dalam ayat yang lain Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48 dan 116) Ayat ini umum pengertiannya mencakup semua jenis dosa selain dosa menyekutukan Allah. Ayat yang bermakna demikian disebutkan dalam surat An-Nisa, sesudah dan sebelum ayat ini (ayat 93), untuk memperkuat harapan.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah kisah di kalangan kaum Bani Israil di masa silam, yaitu seorang lelaki dari kalangan mereka sempat membunuh seratus orang. Lalu ia bertanya kepada orang yang alim dari kalangan mereka, "Apakah masih ada tobat bagiku?" Orang alim itu menjawab, "Tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi antara kamu dan tobat." Selanjutnya orang alim itu menunjukkan kepadanya sebuah kampung yang penduduknya menyembah Allah ﷻ, dan menganjurkannya untuk pindah ke kampung tersebut. Maka si lelaki tersebut hijrah ke kampung yang dimaksud; tetapi di tengah jalan, maut merenggutnya. Pada akhirnya lelaki itu dibawa oleh malaikat rahmat, seperti yang sering kami kisahkan di tempat yang lain.
Apabila hal semacam ini bisa terjadi di kalangan kaum Bani Israil, maka tentu akan lebih diterima lagi tobat yang dilakukan oleh umat ini, karena Allah ﷻ telah melepaskan semua beban dan belenggu dari umat ini tidak seperti yang terjadi pada umat-umat terdahulu, dan Allah ﷻ mengutus Nabi kita dengan membawa syariat yang cenderung kepada kebenaran dan penuh dengan toleransi.
Adapun mengenai makna firman-Nya yang mengatakan: “Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” (An-Nisa: 93), hingga akhir ayat. Maka sahabat Abu Hurairah dan sejumlah ulama Salaf mengatakan bahwa memang demikianlah balasannya, jika Allah hendak mengazabnya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan atsar ini berikut sanadnya secara marfu' melalui jalur Muhammad ibnu Jami' Al-Attar, dari Al-Ala ibnu Maimun Al-Anbari, dari Hajjaj Al-Aswad, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abu Hurairah secara marfu'.
Akan tetapi, tidak sah bila makna ayat ini diartikan bahwa memang itulah balasannya jika dibalaskan kepadanya. Demikian pula halnya dalam semua ancaman atas suatu perbuatan dosa. Tetapi memang demikian keadaannya karena adanya penghalang berupa amal-amal saleh yang mencegah sampainya balasan tersebut kepada pelakunya; demikian menurut kedua pendapat yang terdapat di dalam kitab Muwazanah dan kitab Al-Ihbat.
Pendapat terakhir ini merupakan jalan keluar yang paling baik dalam menerangkan Bab Wa'id (ancaman). Bilamana diinterpretasikan bahwa pelaku pembunuhan dimasukkan ke dalam neraka, maka menurut pendapat Ibnu Abbas dan para pendukungnya, pengertian ini diinterpretasikan ‘tidak ada tobat baginya.’ Atau kalau menurut pendapat jumhur ulama dengan interpretasi ‘dia tidak mempunyai amal saleh yang dapat menyelamatkan dirinya’ maka yang tersimpul dari semua pendapat menunjukkan bahwa si pembunuh tidak kekal di dalam neraka, melainkan istilah kekal di sini hanya menunjukkan pengertian masa tinggal yang sangat lama.
Sebagai buktinya banyak hadits mutawatir dari Rasulullah ﷺ yang menyatakan bahwa kelak akan dikeluarkan dari neraka orang-orang yang di dalam kalbunya terdapat iman yang beratnya lebih kecil daripada biji sawi (biji zarrah). Adapun mengenai hadits Mu'awiyah yang mengatakan: “Semua dosa mudah-mudahan Allah mengampuninya, kecuali seorang lelaki yang mati dalam keadaan kafir, atau seorang lelaki yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.” Pengertian lafal asa dalam ayat ini menunjukkan makna tarajji (harapan). Apabila pengertian tarajji pada kedua gambaran tersebut tidak ada, bukan berarti meniadakan terjadinya tarajji pada salah satu dari kedua gambaran itu.
Yang dimaksud ialah membunuh, karena adanya banyak dalil, seperti yang telah kami kemukakan di atas. Orang yang mati dalam keadaan kafir, menurut nas dinyatakan bahwa Allah sama sekali tidak akan memberikan ampunan baginya. Mengenai tuntutan si terbunuh terhadap si pembunuh kelak di hari kiamat, sesungguhnya hal ini termasuk hak-hak yang menyangkut anak Adam di antara sesama mereka. Hal ini jelas tidak dapat dihapus dengan tobat, melainkan sudah merupakan suatu keharusan urusannya dikembalikan kepada mereka yang bersangkutan. Dalam hal ini tidak ada bedanya antara orang yang terbunuh dan orang yang dicuri, orang yang digasab dan orang yang dituduh berbuat zina, dan semua hak yang menyangkut anak Adam. Karena sesungguhnya ijma' telah sepakat bahwa hak-hak anak Adam tidak dapat digugurkan oleh tobat, melainkan harus dikembalikan kepada mereka yang berhak agar tobatnya diterima.
Jika pengembalian hak ini tidak dapat dilaksanakan di dunia, pasti di hari kiamat akan dituntut. Tetapi adanya tuntutan ini tidak memastikan adanya pembalasan, karena barangkali si pembunuh mempunyai banyak amal saleh yang keseluruhan atau sebagiannya dapat dibayarkan kepada si terbunuh. Kemudian dengan sisa amal saleh yang masih dimilikinya, akhirnya ia dapat masuk surga karenanya. Atau barangkali Allah memberikan kepada si terbunuh ganti rugi menurut apa yang dikehendaki-Nya dari kemurahan-Nya, yaitu berupa gedung-gedung di dalam surga berikut semua kenikmatan yang ada di dalamnya, dan derajatnya ditinggikan di dalamnya, serta lain sebagainya yang serupa.
Selanjutnya bagi pelaku pembunuhan secara sengaja terdapat ketentuan-ketentuan hukumnya di dunia dan ketentuan-ketentuan hukumnya di akhirat. Mengenai ketentuan hukumnya di dunia adalah ia diserahkan kepada para wali si terbunuh, sebagaimana yang dinyatakan di dalam firman-Nya: “Dan barang siapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya.” (Al Isra: 33), hingga akhir ayat. Kemudian ahli waris si terbunuh disuruh memilih antara membunuh si pembunuh, atau memaafkan atau menerima diyat berat yang terdiri atas tiga macam, yaitu tiga puluh ekor unta hiqqah, tiga puluh ekor unta jaz'ah, dan empat puluh ekor unta khilfah, seperti yang diterangkan di dalam kitab-kitab fiqih.
Para imam berbeda pendapat mengenai masalah memerdekakan seorang budak, berpuasa dua bulan berturut-turut ataukah memberi makan, menurut salah satu pendapat di antara dua pendapat, seperti ketentuan yang telah disebutkan dalam keterangan kifarat membunuh secara tersalah (tidak sengaja). Ada dua pendapat mengenainya. Menurut pendapat Imam Syafii, semua muridnya, dan segolongan ulama, kifarat hukumnya wajib atas si pembunuh. Karena jika dalam kasus pembunuhan secara tidak disengaja ia diwajibkan membayar kifarat, maka terlebih lagi dalam kasus pembunuhan secara sengaja.
Mereka mengkiaskan hal ini dengan masalah sumpah palsu, dan mengemukakan alasannya dengan menyebutkan masalah qada shalat yang ditinggalkan secara sengaja; bahwa menurut kesepakatan mereka, wajib pula mengqadha shalat yang ditinggalkan secara tidak sengaja. Murid-murid Imam Ahmad dan lain-lainnya mengatakan bahwa pembunuhan secara disengaja terlalu berat dosanya bila dihapus dengan kifarat. Maka tidak ada kifarat dalam kasus pembunuhan disengaja.
Hal yang sama dikatakan pula terhadap kasus sumpah palsu, dan tiada jalan untuk membedakan antara kedua masalah tersebut dan masalah meninggalkan shalat dengan sengaja, karena sesungguhnya mereka mengatakan wajib meng-qada shalat bila ditinggalkan dengan sengaja. Orang-orang yang berpendapat wajib membayar kifarat dalam kasus pembunuhan secara sengaja berpegang kepada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Amir ibnul Fadl, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Garif ibnu Ayyasy, dari Wailah ibnul Asqa' yang menceritakan bahwa segolongan orang dari Bani Sulaim datang kepada Nabi ﷺ, lalu mereka bertanya, "Sesungguhnya seorang teman dari kalangan kami yang pasti masuk neraka karena pernah membunuh." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Maka hendaklah ia memerdekakan seorang budak yang akan ditebus oleh Allah setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka.”
Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Damrah ibnu Rabi'ah, dari Ibrahim ibnu Abu Ablah, dari Al-Garif Ad-Dailami yang menceritakan, "Kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa', lalu kami berkata, 'Ceritakanlah kepada kami sebuah hadits yang pernah engkau dengar dari Rasulullah ﷺ'." Wasilah mengatakan, "Kami datang kepada Rasulullah ﷺ sehubungan dengan seorang teman kami yang telah melakukan perbuatan dosa besar (membunuh) yang memastikannya masuk neraka. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Merdekakanlah oleh kalian seorang budak untuknya, niscaya Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka'.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam An-Nasai melalui hadits Ibrahim ibnu Abu Ablah dengan lafal yang sama.
Menurut lafal Imam Abu Dawud, dari Al-Garif Ad-Dailami, disebutkan seperti berikut: Kami datang kepada Wasilah ibnul Asqa', lalu kami berkata kepadanya, "Ceritakanlah sebuah hadits yang tidak kamu tambah-tambahi dan tidak pula kamu kurangi kepada kami." Maka Wasilah marah dan mengatakan, "Rupanya seseorang dari kalian biasa membaca Al-Qur'an yang ia gantungkan di dalam rumahnya, lalu ia menambah-nambah dan mengurangi bacaannya." Kami berkata, "Sesungguhnya kami hanya bermaksud sebuah hadits yang engkau dengar secara langsung dari Rasulullah ﷺ sendiri." Wasilah menjawab, "Kami pernah menghadap Rasulullah ﷺ sehubungan dengan seorang teman kami yang wajib masuk neraka (karena telah membunuh seseorang). Maka Rasulullah ﷺ bersabda: 'Merdekakanlah seorang budak oleh kalian untuknya, niscaya Allah akan menebus setiap anggota tubuhnya dengan setiap anggota tubuh budak itu dari neraka'."
Dan tidak patut, bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin yang lain, kecuali terjadi karena tersalah dan tidak sengaja, sebab keimanan akan menghalangi mereka untuk berbuat demikian. Barang siapa membunuh seorang mukmin, kecil atau dewasa, laki-laki atau perempuan, karena tersalah, maka wajiblah dia memerdekakan atau membebaskan seorang hamba sahaya yang beriman, yakni membebaskannya dari sistem perbudakan walau dengan jalan menjual harta yang dimilikinya untuk pembebasannya serta membayar tebusan (diat) yang diserahkan dengan baik-baik dan tulus kepada keluarganya, yakni keluarga si terbunuh itu, kecuali jika mereka, keluarga si terbunuh memberikan maaf kepada si pembunuh dengan membebaskannya dari pembayaran itu. Jika dia, yakni si terbunuh, berasal dari kaum kafir yang memusuhimu padahal dia mukmin, maka yang diwajibkan kepada si pembunuh itu hanyalah memerdekakan hamba sahaya yang beriman, tidak disertai tebusan. Dan jika dia, si terbunuh, adalah kafir dari kaum kafir yang ada, yakni memiliki perjanjian damai dan tidak saling menyerang antara mereka dengan kamu, maka wajiblah bagi si pembunuh itu membayar tebusan yang diserahkan dengan baik-baik dan tulus kepada keluarganya si terbunuh akibat adanya perjanjian itu serta diwajibkan pula memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa tidak mendapatkan hamba sahaya yang disebabkan karena tidak menemukannya, padahal kemampuannya ada atau karena tidak memiliki kemampuan materi untuk membebaskannya, maka hendaklah dia, si pembunuh, berpuasa selama dua bulan berturut-turut sebagai gantinya. Allah mensyariatkan hal demikian kepada kalian sebagai tobat kalian kepada Allah. Dan Allah Maha Mengetahui segala yang kalian lakukan,Mahabijaksana untuk menetapkan hukum dan hukuman bagi kalian. Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan sengaja yakni dengan niat dan terencana, maka balasannya yang pantas dan setimpal ialah neraka Jahanam yang sangat mengerikan, dia kekal di dalamnya dalam waktu yang lama disertai dengan siksaan yang amat mengerikan. Di samping hukuman itu, Allah murka kepadanya dan melaknatnya yakni menjauhkannya dan tidak memberinya rahmat, serta menyediakan azab yang besar baginya selain dari azab-azab yang disebutkan di atas di akhirat.
Ayat ini menerangkan bahwa tidaklah layak bagi seorang mukmin untuk membunuh mukmin yang lain dengan sengaja.
Kemudian dijelaskan hukum pembunuhan sesama mukmin yang terjadi dengan tidak sengaja. Hal ini mungkin terjadi dalam berbagai kasus, dilihat dari keadaan mukmin yang terbunuh dan dari kalangan manakah mereka berasal. Dalam hal ini ada 3 kasus:
Pertama: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga yang mukmin. Maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus memerdekakan hamba sahaya yang mukmin, disamping membayar diat (denda) kepada keluarga yang terbunuh, kecuali jika mereka merelakan dan membebaskan pihak pembunuh dari pembayaran diat tersebut.
Kedua: Mukmin yang terbunuh itu berasal dari kaum atau keluarga bukan mukmin, tetapi keluarganya memusuhi kaum Muslimin. Maka dalam hal ini hukuman yang berlaku terhadap pihak yang membunuh ialah harus memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin tanpa membayar diat.
Ketiga: Mukmin yang terbunuh tanpa sengaja itu berasal dari keluarga bukan mukmin, tetapi mereka itu sudah membuat perjanjian damai dengan kaum Muslimin, maka hukumannya ialah pihak pembunuh harus membayar diat yang diserahkan kepada keluarga pihak yang terbunuh di samping itu harus pula memerdekakan seorang hamba sahaya yang mukmin. Jadi hukumannya sama dengan kasus yang pertama tadi.
Mengenai kewajiban memerdekakan "hamba sahaya yang mukmin" yang tersebut dalam ayat ini: ada kemungkinan tidak dapat dilaksanakan oleh pihak pembunuh, karena tidak diperolehnya hamba sahaya yang memenuhi syarat yang disebutkan itu; atau karena sama sekali tidak mungkin mendapatkan hamba sahaya, misalnya pada zaman sekarang ini; atau hamba sahaya yang beriman, tetapi pihak pembunuh tidak mempunyai kemampuan untuk membeli dan memerdekakannya. Dalam hal ini, kewajiban untuk memerdekakan hamba sahaya dapat diganti dengan kewajiban yang lain, yaitu si pembunuh harus berpuasa dua bulan berturut-turut, agar tobatnya diterima Allah. Dengan demikian ia bebas dari kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman.
Mengenai "ketidaksengajaan" dalam pembunuhan yang disebut dalam ayat ini, ialah ketidak sengajaan yang disebabkan karena kecerobohan yang sesungguhnya dapat dihindari oleh manusia yang normal. Misalnya apabila seorang akan melepaskan tembakan atau lemparan sesuatu yang dapat menimpa atau membahayakan seseorang, maka ia seharusnya meneliti terlebih dahulu, ada atau tidaknya seseorang yang mungkin menjadi sasaran pelurunya tanpa sengaja. Kecerobohan dan sikap tidak berhati-hati itulah yang menyebabkan pembunuh itu harus dikenai hukuman, walaupun ia membunuh tanpa sengaja, agar dia dan orang lain selalu berhati-hati dalam berbuat terutama yang berhubungan dengan keamanan jiwa manusia lainnya.
Adapun diat (diyat) atau denda yang dikenakan kepada pembunuh, dapat dibayar dengan beberapa macam barang pengganti kerugian, yaitu dengan seratus ekor unta, atau dua ratus ekor sapi, atau dua ribu ekor kambing, atau dua ratus lembar pakaian atau uang seribu dinar atau dua belas ribu dirham.
Dalam suatu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Jabir, dari Rasulullah ﷺ disebutkan sebagai berikut:
"Bahwasanya Rasulullah ﷺ telah mewajibkan diat itu sebanyak seratus ekor unta kepada orang yang memiliki unta, dan dua ratus ekor sapi kepada yang memiliki sapi dan dua ribu ekor kambing kepada yang memiliki kambing, dan dua ratus perhiasan kepada yang memiliki perhiasan" (Riwayat Abu Dawud).
Kewajiban memerdekakan hamba sahaya yang beriman atau berpuasa dua bulan berturut-turut adalah kewajiban yang ditimpakan kepada si pembunuh dan 'aqilah (keluarga), yang juga disebut "asabah"-nya. Dalam kitab hadis al-Muwatta "Kitab al-Uqud" dari Imam Malik disebutkan bahwa Umar bin al-Khattab pernah menetapkan diat kepada penduduk desa, sebanyak seribu dinar kepada yang memiliki uang emas dan dua belas ribu dirham kepada yang memiliki uang perak, dan diat ini hanyalah diwajibkan kepada 'aqilah dari si pembunuh.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MEMBUNUH MUKMIN TAK SENGAJA
Ayat 92
“Dan tidaklah ada bagi seorang Mukmin bahwa membunuh akan seorang Mukmin, kecuali karena keliru."
Ketika terjadi peperangan dengan kafir itu niscaya terjadilah membunuh atau dibunuh. Kalau bukan begitu, bukan perang namanya. Di luar peperangan tidak boleh ada pembunuhan, kecuali pembunuhan menurut hukum (kehendak hakim atau seizin hakim) Terutama lagi tidak ada Mukmin yang akan sampai hati membunuh saudaranya sama-sama Mukmin. Kalau hal demikian terjadi juga, tentu karena kekeliruan. Misalnya di zaman perang, seorang Mukmin disangka musuh, lalu dibunuh kemudian ternyata bahwa dia seorang Mukmin adanya.
Ini pernah kejadian. Menurut riwayat Ibnu Jarir dari Ikrimah, bahwa al-Harits bin Yazid, di zaman Mekah bersama-sama dengan Abu Jahal pernah menyiksa lyash bin Abu Rabi'ah. Kemudian lyash telah hijrah bersama Nabi ke Madinah. Setelah Perang Badar banyak pemuka musyrikin telah tewas, di antaranya Abu Jahal, dan beberapa orang bekas kawannya lalu insaf dan tobat dan hijrah pula secara diam-diam ke Madinah, Di antaranya ialah al-Harits bin Yazid yang pernah menganiaya lyash. Di tengah jalan akan hijrah, kebetulan lyash melihat bekas musuhnya itu, disangkanya masih kafir. Terus ditikamnya al-Harits dengan pedangnya sehingga mati. Perbuatannya itu dengan segera dilaporkannya kepada Rasulullah. Maka sangat duka cita lyash mendengar dari Rasulullah sendiri bahwa al-Harits telah Islam, lyash diperintahkan oleh Rasul memerdekakan seorang budak sebagai tebusan kesalahannya membunuh karena kurang usul periksa itu.
Riwayat lain lagi dari Ibnu Zaid, bahwa dalam satu peperangan sahabat Nabi ﷺ Abud Darda' telanjur pula membunuh orang, padahal ternyata orang itu mengucapkan dengan keras “Laa Ilaha Mallah," namun dibu-nuhnya juga. Perbuatannya itu disalahkan oleh Nabi.
Diterangkan di dalam ayat ini denda dari membunuh sesama Mukmin karena kekeliruan itu. “Dan barangsiapa membunuh seorang Mukmin dengan keliru, maka hendaklah memerdekakan seorang budak yang Mukmin, dan diyat yang diserahkan kepada keluarganya." Dia telah menghilangkan satu jiwa, hendaklah digantinya dengan jiwapula.Seorangyangtelah menjadi budak, telah hilang kemerdekaannya. Hilang kemerdekaan sama dengan hilang diri. Sekarang karena satu jiwa telah dia hilangkan, hendaklah dia timbulkan buat gantinya suatu jiwa pula yang telah seumpama hilang karena selama ini diperbudak. Dan hendaklah yang dimerdekakan itu budak yang beriman pula, sebab jiwa yang dia hilangkan adalah jiwa seorang yang beriman. Jiwa hilang, jiwa pula pengganti; Mukmin hilang, Mukmin pengganti.
Selain dari denda memerdekakan budak ditambah lagi dengan diyat yaitu ganti kerugian yang wajib diserahkan kepada keluarga orang terbunuh karena keliru itu. Di dalam ayat tidak disebutkan berapa mestinya diyat itu dibayar, sebab hal itu kembali kepada per-timbagar-pertimbangan hakim melihat keadaan masyarakat di waktu itu, dan taksiran kesanggupan yang akan membayarnya.
Membayar diyat ini ditanggungkan kepada ‘aqilah yaitu seluruh keluarga si pembunuh suku atau kabilahnya, bukan semata-mata ditanggungkan kepada anak istrinya, atau ayahnya. Artinya menjadi pikulan sekaum.
Ahli hukum dan ahli syari'at Islam, almarhum Syahid Abdulkadir Audah (wafat 1954), membincangkan juga masalah ‘aqilah ini di zaman kita sekarang. Banyak negeri Islam zaman sekarang sistem suku sudah habis. Orang sekampung belum tentu seketurunan, apatah lagi di satu kota. Orang datang dari berbagai daerah dan berbagai keturunan. Adalah memberatkan sekali, kalau diyat mesti dibayar oleh si pembunuh tak sengaja itu sendiri sebab umumnya mereka orang miskin. Dan lebih berat lagi kalau diyat itu dikenakan kepada orang lain yang tidak ada kena-mengena, bahkan tidak kenal-mengenal di kota besar. Abdulkadir Audah—yang luas pandangan dan ilmu itu—mengatakan kalau masyarakat Islam berdiri di negeri itu, pemerintah berhak atau berwenang mengadakan semacam pungutan pajak atau denda, yang hasilnya digunakan untuk pembela orang-orang yang melarat dan teraniaya, maka pemerintah pun dapat pula mempergunakan hasil untuk dijadikan diyat, pembela nasib waris yang ditinggalkan oleh orang yang mati teraniaya itu.
Menurut Dr. Abdulkadir Audah pada beberapa Kerajaan Eropa telah dipakai orang pikiran ini, yaitu di Jerman Barat, Italia, dan Yugoslavia. Di sana pemerintah membangun suatu jawatan khusus untuk mengumpul denda-denda yang dipungut atau ongkos-ongkos perkara, yang hasilnya dipergunakan untuk mengganti kerugian orang yang teraniaya, cacat ataupun mati, karena kesalahan yang tidak disengaja atau disengaja. Dengan syarat bahwa harta benda orang yang keliru menganiaya itu tidak cukup untuk mengganti kerugian waris orang yang teraniaya. Kata beliau, “Apa salahnya kalau ini kita bangunkan pula di negeri-negeri Islam, sebab dasar ini sudah ada pada kita dahulu? Dan berapa diyat itu harus dibayar?"
Menurut riwayat Abu Bakar Ibnu Hazm, dari ayahnya, dari neneknya, bahwa Rasulullah pernah mengirimkan surat menentukan peraturan diyat ini kepada ahli Yaman yang isinya menerangkan bahwa diyat dengan unta ialah 100 ekor unta. Dan tertulis pula bahwa kalau diganti dengan emas ialah 1.000 dinar. Menurut riwayat Abu Dawud dari Jabir bin Abdullah, bahwa Nabi ﷺ mengatur diyat dengan unta 100 ekor, kalau dengan sapi 200 ekor, kalau dengan kambing 1.000 kambing. Diyat yang dibayar dengan pakaian ialah 200 setel pakaian baru. Semuanya dibagikan kepada waris orang terbunuh itu, menurut hukum faraidh.
Di dalam kitab al-Muwaththa' (Imam Malik) tersebut bahwa di zaman pemerintahan Umar bin Khaththab kalau diganti dengan perak ialah 10.000 dirham.
Lanjutan ayat, “Kecuali jika mereka bersedekah." Artinya, diyat itu bisa dihapuskan saja, kalau sekiranya ahli kerabat dari yang meninggal itu menyedekahkan saja, artinya merelakan dengan hati yang jujur. Pemberian maaf keluarga yang meninggal terhadap orang yang membunuh manusia yang mereka cintai itu, di dalam ayat ini disebut bersedekah (sedekah) Dan kita pun tahu arti yang mendalam daripada sedekah, yaitu pemberian dengan hati yang jujur. Hati yang tidak ada dendam. Memang memberi maaf sangat dianjurkan oleh agama. Supaya hi-langlah dendam kasumat yang sangat bersimaharajalela di zaman jahiliyyah itu. Yang dendam darah bisa turun temurun.
Berkata as-Sayuthi, “Dalam ayat ini dapatlah kita memahami betapa Allah mengambil berat atas hilangnya jiwa seorang yang beriman dan tetap ada juga dosanya sehingga terbunuh dengan keliru itu meskipun tidak dapat diadakan qishash namun qishash diganti dengan kafarat (denda) yaitu memerdekakan seorang budak yang beriman disertai membayar diyat. Dan diyat itu diserahkan kepada ahlinya, kecuali kalau ahli (keluarga) itu sudi memaafkan."
Dalam hal ini timbullah beberapa hasil renungan ahli fiqih. Kalau tidak membunuh dengan keliru itu anak kecil atau orang gila, mereka hanya membayar kafarat. Yang dibayarkan oleh keluarganya pula, (‘aqilah) Diyat perempuan separuh dari diyat laki-laki.
Di zaman kita sekarang ini, meskipun peraturan syari'at Islam tidak atau belum berlaku di beberapa negeri Islam, terutama bekas jajahan, termasuk Indonesia, niscaya umat Islam sendiri harus berusaha agar hukum ini berlaku dalam masyarakat mereka. Berpuluh kali kejadian pembunuhan dengan tidak sengaja, terutama karena orang ditubruk mobil di jalan raya. Adalah terlalu meringankan perikemanusiaan kalau sopir atau pembawa mobil itu hanya dihukum 6 bulan penjara karena dia menggiling orang tidak dengan sengaja. Bagi mereka hukuman 6 bulan bukan hukuman. Tidak lebih daripada istirahat, dan makan minum dan tempat tinggal ditanggung oleh pemerintah.
Rasa perikemanusiaan mengatakan bahwa hukum demikian terlalu ringan, terhadap menghilangkan jiwa manusia. Hakim boleh memanggil dan mendamaikan dua pihak yang berselisih itu, dan dianjurkan keduanya kembali ke dalam hukum Islam, membayar kafarat dan diyat. Dan menerima baik dengan senang hati jika keluarga yang mati merelakan diyat itu, namun kafarat (denda) pemerintah memerdekakan seorang budak, yang dibayar dengan uang sebab budak tidak ada lagi, adalah hal pemerintah.
Kalau sekiranya kita masih hendak meniru Barat juga, apatah salahnya kalau kita meniru apa yang telah dilakukan di Jerman Barat, Italia, dan Yugoslavia. Sebagaimana yang diterangkan oleh Syahid Abdulkadir Audah tadi.
“Akan tetapi jika adalah dia (yang terbunuh) itu." Yaitu dia yang terbunuh dengan keliru atau tidak dengan sengaja itu, “Dari kaum yang jadi musuh bagi kamu, padahal dia itu seorang Mukmin, maka hendaklah memerdekakan seorang budak yang Mukmin pula."
Arti dan tegasnya ialah jika kamu berperang dengan segolongan musuh, sedang dalam kelompok itu terdapat seorang Mukmin, yang rupanya belum dapat membebaskan dirinya dari lingkungan keluarganya yang masih memusuhi Islam. Dia terpaksa mesti turut berperang bersama mereka atau dia masih tinggal di kampung itu karena belum dapat membebaskan diri karena berbagai sebab. Seketika negerinya diserang atau berhadapan dalam peperangan, kebetulan turut terbunuhlah seorang yang nyata telah memeluk agama Islam. Hukumnya ialah supaya yang membunuh tidak dengan sengaja itu memerdekakan seorang budak yang beriman pula, tetapi dia tidak dikenakan diyat. Sebab seluruh kaum keluarga atau ahli si mati belum Islam.
Al-Hakim meriwayatkan daripada Ibnu Abbas bahwa pernah seorang lak-laki datang kepada Nabi dan dia telah nyata memeluk Islam. Kemudian dia pun kembali kepada kaumnya, sedang kaumnya itu masih musyrik. Dalam satu peperangan dengan kaumnya itu, dia pun turut terbunuh. Maka dikenakan ka-farat kepada yang membunuh dengan keliru itu, yaitu memerdekakan seorang budak yang telah beriman.
“Dan jika adalah dia (si terbunuh) itu “Yaitu. orang yang terbunuh dengan keliru itu. “Dari suatu kaum yang di antara kamu dan di antara mereka ada suatu perjanjian." Biasa diperbuat suatu perjanjian damai, tidak akan serang-menyerang di antara kaum Muslimin dengan mereka, kaum musyrikin atau Ahlul Kitab yang dinamai kaum dzimmi, atau perjanjian aman dan berdamai. Lalu ada di kalangan mereka yang terbunuh oleh pihak Islam dengan tidak disengaja atau terkeliru, entah karena tersangka masih bermusuh, karena yang melakukan bunuh itu tidak mengetahui keadaan yang sebenarnya. “Maka',' hukumannya ialah, “diyat yang diserahkan kepada keluarganya, dan memerdekakan seorang budak yang Mukmin,' Diyat ganti kerugian yang akan diterima keluarganya dan kafarat memerdekakan budak Mukmin sebagai hak yang wajib dibayar kepada Allah.
Kata ahli tafsir, di dalam hal terbunuh dengan tidak sengaja ini, meskipun hukum terhadap Mukmin yang terbunuh dengan dzimmi yang terbunuh, didahulukan menyebut diyat daripada memerdekakan budak, ialah sebagai peringatan bahwa Islam sekali-kali tidak mengabaikan janji yang telah diikat dengan pihak yang belum memeluk agama Islam. Karena mereka telah mengikat janji dengan kaum Muslimin, perlakuan terhadap mereka dalam hal penghormatan jiwa ini adalah sama.
Ini telah dikuatkan oleh sebuah hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwasanya Nabi ﷺ telah melakukan secara demikian; terhadap dua orang yang terbunuh dengan keliru oleh Amer bin Umayyah adh-Dhamri, sedang keduanya telah ada perlindungan janji dengan Rasulullah ﷺ yang Amer tidak mengetahuinya. Terhadap kematian keduanya telah dilakukan diyat sebagaimana yang telah dilakukan kepada orang Mukmin. Dan menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Baihaqi dan az-Zuhri bahwa diyat orang Yahudi dan Nasrani di zaman Nabi adalah diyat sebagai Muslimin juga. Demikian juga di zaman Abu Bakar, Umar, dan Utsman. Cuma di zaman Mu'awiyah diubahnya, yaitu dibayarkan separuh diyat untuk orang itu dan separuh lagi disuruh masukkan ke dalam Baitul Maal.
“Tetapi barangsiapayang tidak mendapat." Artinya orang yang tidak mendapat budak yang akan dimerdekakannya, baik karena dia tidak mempunyainya atau tidak ada harta buat memerdekakan, atau budak itu tidak ada lagi sebagaimana di zaman kita sekarang ini, “Maka dengan puasa dua bulan berturut-turut" Puasa dua bulan berturut-turut sebagai ganti daripada memerdekakan budak, yaitu tidak boleh umpang sehari juga. Sehinga sekiranya telah sampai misalnya 59 hari, lalu di hari ke-60 terlepas dengan sengaja, mestilah diulang kembali dimulai dengan hari pertama. Karena kesalahan mengumpangkan itu nyatalah dari sebab hati yang masih kotor dan tidak berhasil membersihkannya. (Demikian penafsiran dari al-Mahaymmai) Tetapi kalau dapat halangan lain, yaitu karena sakit atau musafir, niscaya berlakulah sebagai ketinggalan hari-hari bulan puasa Ramadhan juga. Sebab dalam segala hal Allah tidaklah memberati manusia lebih daripada kekuatannya. (Ini adalah pendapat penafsir ini)
Semuanya itu adalah, “sebagai tobat daripada Allah." Artinya dengan melakukan puasa dengan khusyu karena tidak sanggup mengadakan dan memerdekakan budak sehingga sampai berturut dua bulan, nyatalah bahwa yang membunuh dengan keliru itu benar-benar membersihkan jiwanya dan membuktikan tobatnya. Niscaya akan datanglah kurnia tobat dari Allah terhadap dirinya, dan bersihlah jiwanya dari tekanan batin karena menghilangkan jiwa sesama manusia, baik sesama manusia seagama, atau sesama manusia berlain agama yang telah mengikat janji damai dengan penguasa Islam.
“Dan adalah Allah itu Mahatahu." Artinya lebih tahulah Allah itu siapa-siapa hamba-Nya yang benar-benar membunuh dengan keliru itu, dan Mahatahu pula siapa-siapa hamba-Nya yang tidak sanggup membayar pemerdekaan budak tersebut. Dengan sabda seperti ini, meskipun misalnya seorang yang membunuh telah diselidiki dengan saksama oleh hakim sehingga terbukti bahwa memang dia membunuh dengan keliru, lalu dapatlah dia hukum ringan, yaitu membayar diyat dan memerdekakan budak, atau menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut, namun hakikat yang sebenarnya Allah jualah yang tahu. Orang bisa menang di muka hakim, namun di hadapan Allah tidaklah ada sesuatu yang tersembunyi.
“Dan Bijaksana
Dengan kebijaksanaan Allah menentukan hukum-Nya, terpelihara jugalah jiwa setiap orang daripada lancang tangan dan kekeliruan. Tidaklah dapat dihabisi dengan meminta maaf saja kalau terjadi pembunuhan yang keliru atau tidak sengaja. Dalam ketiga kejadian itu, ketiganya mendapat hukum yang langsung sebagai suatu denda dan dendanya itu dibayar kepada Allah, yaitu memerdekakan budak. Tak dapat membayar dengan memerdekakan budak, wajib puasa dua bulan berturut-turut. Memang di dalam satu hadits yang shahih, Rasulullah bersabda bahwa puasa adalah utang langsung kepada Allah, yang wajib dibayar kepada Allah. Sedang diyat yang dibayar kepada ahli si korban, bisa saja dihabisi dengan maaf.
MEMBUNUH DENGAN SENGAJA
Pada ayat yang disebut di atas telah dijelaskan bahwa membunuh dengan keliru atau tidak sengaja, masih ada hukumannya, meskipun bukan qishash, yaitu kafarat dan diyat. Bagaimana pula kalau membunuh dengan senjaga?
Ayat 93
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal di dalamnya dan … Allah atasnya dan Dia laknat akan dia, dan Dia sediakan untuknya siksaan yang besar."
Membunuh manusia secara sengaja adalah dosa yang paling besar. Dia termasuk dalam tujuh dosa besar. Dosa yang paling besar sekali ialah mempersekutukan Allah dengan yang lain. Di bawah itu adalah dosa membunuh. Dijelaskan di sini bahwasanya pembunuh dengan sengaja, diancam dengan empat ancaman besar. Pertama, kekal dalam neraka jahannam. Kedua, ditimpa oleh Allah dengan kemurkaan-Nya. Ketiga, dilaknat atau dikutuk hidupnya. Keempat, disediakan lagi siksaan yang besar buatnya.
Tidak ada dosa lain yang diancam dengan ancaman sampai 4 macam itu, melainkan dosa membunuh orang Mukmin inilah. Ancaman yang sampai empat macam itu hanya bertemu terhadap membunuh Mukmin dengan se-ngaja. Imam Ibnu Katsir berkata, “Inilah satu ancaman sangat besar bagi barangsiapa yang berbuat dosa yang amat besar ini. Dan berdekatan dengan dosa mempersekutukan yang lain dengan Allah, sebagaimana yang tersebut di dalam surah al-Furqaan, Al-Qur'an ayat 68. Di ayat itu disejajarkan dia dengan mempersekutukan Allah. Di dalam surah al-An'aam ayat 151 dia dijadikan larangan yang keras.
Di samping ayat-ayat Al-Qur'an terdapatlah berpuluh hadits yang mengancam keras membunuh sesama manusia dengan sengaja.
Di dalam satu hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah ada tersebut bahwasanya seorang yang menolong atas membunuh seorang Muslim walaupun dengan satu kalimat saja, dia akan datang di hari Kiamat, sedang di keningnya tertulis, “Orang ini tidak ada harapan akan mendapat rahmat Allah."
Jadi kalau ada orang yang sengaja hendak membunuh seorang Muslim bertanya kepada seseorang, “Bagaimana kalau orang ini aku bunuh?" Lalu dia menjawab misalnya, ‘Terserah!" Artinya dia telah menyepakati perbuatan yang sangat besar dosanya itu, maka dia pun akan dicabut rahmat Allah darinya. Sedangkan hanya menyatakan setuju dengan satu kata lagi dicabut rahmat, apatah lagi kalau turut membantu dengan yang lebih dari itu.
Di dalam satu hadits yang dirawikan oleh Bukhari, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang membunuh seorang yang bukan Islam, yang telah mengikat persetujuan dengan kekuasaan Islam, maha tidaklah si pembunuh itu akan membaui asap surga. Jaraknya dengan asap surga itu adalah sejarak 40 tahun." (HR Bukhari)
Sedangkan membunuh orang berlain agama yang telah mendapat perlindungan dari kekuasaan Islam lagi dijauhkan dari asap surga sejarak 40 tahun, apatah lagi membunuh seorang Muslim.
Oleh sebab itu, Ibnu Abbas sampai berpendapatan bahwasanya tobat orang yang membunuh dengan sengaja itu tidak akan diterima oleh Allah.
Dalam satu hadits yang dirawikan oleh an-Nasa'i dari Buraidah dan an-Nasa'i juga dari hadits Ibnu Amr, dan oleh Ibnu Majah dari hadits al-Bara' pernah Rasulullah ﷺ bersabda,
“Hilangnya seluruh dunia ini hanya perkara kecil bagi Allah daripada terbunuhnya seorang Muslim." (HR an-Nasa'i dan Ibnu Majah)
Oleh sebab itu, Ibnu Abbas di antara sahabat-sahabat Rasulullah berpendapat bahwasanya orang yang membunuh sesamanya manusia dengan sengaja, bukan karena menjalankan hukum dan bukan pula karena ke-izinan membunuh di dalam peperangan, terutama membunuh seorang Muslim, tidaklah akan diberi tobat oleh Allah. Tertutup pintu tobat baginya selama-lamanya. Pendapat Ibnu Abbas ini sampai menjadi perbincangan panjang lebar dan secara mendalam di antara ulama-ulama tafsir, ahli-ahli hadits dan ahli fiqih. Diterima tobatnya atau tidak?
Ibnu Qayyim berkata di dalam kitabnya al-Jawabul Kafi, “Setelah nyata bahwa kezaliman dan sifat permusuhan sangat bertentangan dengan keadilan—yang dengan keadilan itulah semua langit dan bumi ini ditegakkan oleh Allah—dan karena sudah terang pula bahwa Allah Ta'aala mengutus rasul-rasul-Nya dengan diberi kitab-kitab suci untuk menegakkan keadilan di antara sesama manusia, maka kezaliman itu nyatalah termasuk yang sebesar-besar dosa besar, dan tingkat besarnya dosa itu ialah menurut besar bahayanya pada dirinya. Lantaran itu membunuh seorang manusia yang beriman adalah termasuk yang sekeji-keji kezaliman."
Sebab itulah tersebut dalam surah al-Maa'idah ayat 32 perintah Allah kepada Bani Israil bahwa barangsiapa yang membunuh suatu diri bukan karena melakukan hukuman karena membunuh pula, yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh keputusan hakim, maka samalah artinya perbuatan itu dengan membunuh sekalian manusia yang hidup ini, dan barangsiapa yang menghidupkan seorang manusia samalah dengan menghidupkan manusia seluruhnya.
Sampai tersebut pula dalam satu hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Mas'ud, bahwasanya perkara yang mula-mula akan dibuka di hari Kiamat ialah perkara pembunuhan. Pendeknya, banyak lagi hadits lain yang kalau kita salinkan dengan asli bahasa Arabnya sekali, akan penuhlah berhelai -helai halaman dari tafsir ini.
Tadi kita katakan, sampai Ibnu Abbas menyatakan bahwa tobat seorang pembunuh dengan sengaja tidak akan diterima selama-lamanya.
Pendapat Ibnu Abbas yang jadi perbincangan ulama-ulama ini dapat kita pahamkan menilik bagaimana rusak binasanya jiwa seorang yang telah membunuh orang. Sudah berkali-kali kita menyaksikan dengan mata kepala sendiri bahwa orang yang telah pernah membunuh orang, meskipun dia shalat, meskipun dia puasa, jiwanya berubah jadi buas, matanya menunjukkan mata orang gila, dia mudah saja menyentak pisau atau mencabut pistolnya, buat menghilangkan nyawa sesamanya manusia. Inilah satu alamat bahwa memang tobat orang ini telah tidak diterima lagi oleh Allah. Na'udzu billahi min dzalik.
Kalau kita hanya mendapat keterangan dari Ibnu Abbas dan orang-orang yang sepaham dengan beliau, akan gelaplah hidup ini, dunia dan akhirat bagi setiap orang yang telah pernah membunuh dengan sengaja, saking besarnya ancaman Allah atas perbuatan ganas ini. Syukurlah kita berjumpa juga satu tafsiran yang membuka sedikit pintu, yaitu keterangan dari ‘Allamah az-Zamakhsyari pengarang Tafsir al-Kasysyaaf.
Kata beliau, “Dalam ayat ini terdapat ancaman keras, mengguruh menggeledek, karena dia adalah satu kejahatan sangat besar dan nista yang amat ngeri. Sehingga terdapat satu riwayat dari ibnu Abbas bahwa tobat pembunuh dengan sengaja tidak akan diterima dan satu keterangan lagi dari Sufyan bahwa ketika beliau-beliau itu menuruti Sunnah Allah dan Rasul-Nya di dalam keras ancamannya terhadap dosa ini. Padahal tidak ada satu dosa betapa pun besarnya yang tidak diampuni oleh Allah, kalau orang tobat dengan sungguh-sungguh. Sedangkan syirik saja sebagai dosa yang lebih besar daripada membunuh, lagi dapat diberi tobat oleh Allah, sebagaimana tersebut di dalam dalil-dalil yang nyata." Demikian az-Zamakhsyari.
Berkata pula Ibnu Qayyim di dalam o/-Jawabul Kafi, “Hasil penyelidikan dalam perkara ini ialah bahwa suatu pembunuhan adalah bersangkutan dengan tiga kewajiban. Pertama, hak Allah. Kedua, hak orang yang terbunuh itu sendiri. Ketiga, hak dari wali (penguasa negara) Apabila si pembunuh segera menyerahkan diri kepadanya dengan segala ketundukan dan kemauan sendiri, menyesal atas perbuatannya itu, disertai takut akan Allah, dan disertai dengan tobat nashuha, maka dia telah membalaskan kewajiban kepada Allah dengan tobat itu, dan dia telah membayarkan kewajibannya kepada penguasa dengan segera menyerahkan diri, maka hakimlah yang memutuskan hukum apa yang akan diterimanya, entah berdamai dengan keluarga si korban atau adanya pemaafan. Tinggal satu hak lagi, yaitu kewajibannya terhadap si pembunuh sendiri. Yang niscaya Allah sendiri yang akan mengganti kerugiannya di hari Kiamat tersebab kesalahan hamba-Nya yang telah tobat itu, dan Allah akan mendamaikan di antara dua hamba-Nya. Dengan demikian hak si korban tidak akan disia-siakan Allah dan tobat hamba-Nya yang tobat pun tidak pula akan ditolak." Demikian Ibnu Qayyim.
Jelaslah bahwa masalah membunuh dengan sengaja adalah satu perkara besar, sebesar langit dan bumi, sehingga ada hadits yang dirawikan oleh Tirmidzi daripada Abu Said al-Khudri dan Abu Hurairah, bahwa kalau sentana seluruh penduduk semua langit dan penduduk bumi ini semuanya bersekongkol membunuh seorang Mukmin, maka semuanya yang bersalah itu akan dihamburkan Allah masuk neraka.
Ayat ini turun dalam rangka ayat-ayat yang sebelumnya, dan ayat-ayat yang mengikutinya yaitu dalam suasana perang. Kita tahu bahwa di dalam perang menurut syarat-syarat yang tertentu sudah dihalalkan membunuh musuh sampai tewas. Sampai di dalam surah Muhammad ayat 4, dibuka keizinan membunuh musuh tersebab perang, dengan memotong lehernya dengan tepat, artinya menyegerakan matinya, atau mendesak mengobarkan perang sampai musuh itu tunduk dan tertawan. Dan kalau perang selesai yang tertawan itu boleh menebus diri atau ditebus oleh keluarganya. Memang begitulah kalau telah perang. Tetapi betapa pun hebatnya suasana perang, karena menjaga jangan sampai terjadi pembunuhan dengan keliru sebagaimana tersebut di ayat atas tadi, baik keliru kepada sesama Islam, atau keliru kepada orang yang belum Islam tetapi perlindungan dengan janji, apatah lagi jangan sampai terjadi pembunuhan dengan sengaja karena melepaskan sakit hati atau tamak akan harta benda rampasan misalnya, maka datanglah lanjutan ayat,
Ayat 94
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu pergi (berperang) pada jalan Allah, maka telitilah!"
Artinya janganlah sembrono, terburu nafsu, tidak terkendali. Melainkan hendaklah teliti dan hati-hati. Jangan sampai terbunuh terpancung leher orang yang tidak patut diperlakukan demikian. Misalnya dia seorang Islam, tetapi belum sampai hijrah ke dalam masyarakat Islam karena sebab-sebab yang dapat dipahami, “Dan janganlah kamu katakan kepada orang yang memberi salam kepada kamu, ‘Engkau bukan orang Mukmin!'“ Apabila orang telah mengucapkan salam, tandanya dia meminta damai, engkau perangi juga. Padahal maksud Islam bukanlah berperang semata berperang, melainkan mengutamakan damai. Apatah lagi kalau dia mengucapkan dia orang Islam. Orang yang telah mengucapkan itu jangan kamu katakan bahwa dia tidak Islam. Janganlah kamu katakan bahwa dia mengucapkan itu hanya dengan mulutnya saja, sedang hatinya tidak Islam. Engkau tidaklah dapat mengetahui apa yang dalam hati orang.
Janganlah kamu berlaku demikian terhadap orang yang telah memberi salam, “Karena kamu mengharapkan kehidupan dunia." Ini adalah celaan yang keras tetapi dilakukan dengan cara halus oleh Allah. Yaitu jangan kamu terburu-buru membunuh orang yang telah mengucapkan salam kepadamu lalu menuduhnya belum Islam karena kamu mengharapkan dengan sebab kematiannya itu hendak merampas harta bendanya. Sebab di dalam peperangan halai mengambil harta-rampasan kepunyaan musuh (ghanimah) Janganlah sampai kamu terburu menghilangkan jiwa karena mengharapkan harta rampasan karena harta hanyalah kekayaan sementara dunia ini saja. Dia tidak akan kekal; yang kekal hanyalah takwa dan amal saleh jua, “Padahal di sisi Allah-lah harta yang banyak." Tidak saja dari rampasan perang kamu akan mendapat harta (ghanimah) Allah dapat membukakan lagi banyak pintu lain sebagai sumber dari harta itu, yang akan kamu dapat dengan usaha bersungguh-sungguh.
“Begitulah juga keadaan kamu dahulu." Artinya, bahwasanya orang-orang yang telah mengucapkan Islamnya di antara kaumnya yangmasih kafir. Janganlah kamu bunuh mereka dengan terburu karena menyangka mereka belum Islam. Sebab di dalam kalanganmu sendiri pun di zaman dahulu pernah juga kejadian demikian pada diri orang-orang yang mula-mula masuk Islam, bukan orang-orang penting. Bukankah orang-orang yang telah menyatakan Islam pada permulaan datangnya dakwah Islam mengerjakan agamanya dengan sembunyi-sembunyi. Sampai kalau akan mengadakan pengajian dengan Rasulullah, dengan sembunyi-sembunyi di rumah Arqam bin Abil Arqam, Barulah mereka berani mengerjakan Islam dengan terang-terangan setelah Umar bin Khaththab menyatakan diri memeluk Islam."Maka memberi kumialah Allah kepadamu," yaitu dengan membukakan jalan buat hijrah ke Madinah, Setelah terbuka pintu hijrah ke Madinah itu, bukankah orang Islam menderita selama di Mekah?
Itu adalah penafsiran pertama. Penafsiran kedua ialah, “Bukankah kamu sendiri dahulunya kafir penyembah berhala? Seperti orang yang kamu tuduh masih kafir itu? Kemudian kamu telah diberi kurnia pertunjuk oleh Allah? Bukankah kamu masuk Islam memang berbagai ragam juga. Ada yang betul-betul dari keinsafan dan kesadaran, dan ada juga yang masuk Islam mulanya karena memelihara diri dari serangan tentara Islam, lama-lama menjadi Islam betul? Kalau demikian keadaanmu dahulu, janganlah kamu buru-buru mencap kafir orang yang telah mengucapkan salam kepadamu. Susunan ayat Allah ini dapatlah kita misalkan dengan teguran kepada seorang dewasa yang nyinyir, memarahi kanak-kanak yang nakal. Lalu diberi ingat kepadanya, “Bukankah engkau pun dahulunya kanak-kanak dan ugal-ugalan juga?"
Setelah peringatan Allah ini disampaikan, diulangilah kembali peringatan di permulaan ayat, “Sebab itu telitilah." Jangan terburu-buru, selidikilah dan jelasilah sebelum melakukan bunuh. Bila telah datang seseorang mengucapkan salam atau mengucapkan kalimat syahadat, jangan langsung dibunuh. Sebab di serata-rata tanah Arab yang belum menyatakan takluk kepada Rasulullah ﷺ memang ada orang-orang yang telah Islam dengan sembunyi-sembunyi. Sekarang datang tentara dari kawan seagamanya, tentu kepada kawan itu dengan segera dia menyatakan diri dengan mengucapkan tanda-tanda dari orang Islam yaitu salam,
“Sesungguhnya Allah adalah Amat Tahu apa yang kamu kerjakan."
Ujung ayat ini penting sekali untuk memberi peringatan jangan sampai terjadi percampur aduk nafsu inginkan harta rampasan dengan alasan yang dicari-cari untuk membunuh seseorang yang telah mengucapkan salam. Karena meskipun dengan lidah boleh didinding “aku tidak tahu" namun hakikat yang sebenarnya Allah lebih tahu. Kalau dalam jiwamu tersimpan maksud membunuh karena harapkan harta rampasan, kamu bisa mendapat dosa mahabesar yang telah diperingatkan pada ayat yang sebelumnya tadi, yaitu membunuh orang Mukmin dengan sengaja, yang diancam dengan empat ancaman besar, yaitu kekal dalam neraka Jahannam, mendapat kemurkaan besar dari Allah, lagi dikutuk dilaknati, dan akan mendapat siksaan yang besar. Manusia bisa diperdayakan dengan alasan lidah, namun Allah tidak! Engkau bisa terlepas dari hukuman yang dijatuhkan manusia, namun dari hukum dan murka dan kutuk Allah tidaklah akan terlepas. Selidikilah terlebih dahulu!
Di dalam ayat ini dua kali diulang menyuruh menyelidiki, Fa Tabayyanu! Dengan ini dapat pula dipahamkan betapa pentingnya “Badan Penyelidik" dalam satu angkatan perang yang selain dari mengetahui keadaan negeri yang akan diserbu, gunung dan bukitnya, lembah dan ngarainya, sungai, jalan-jalan besar dan jalan-jalan kecilnya, lebih penting pula mengetahui keadaan penduduk. Adakah agaknya di sana golongan tertindas yang harus dibela, yang sangat mengharapkan untuk dibebaskan dari kezaliman penguasa dalam negeri yang akan dimasuki itu?
Terdapat beberapa riwayat tentang sebab turunnya ayat ini.
Satu, ialah riwayat Bukhari yang diterimanya daripada Atha dan Atha menerima dari Ibnu Abbas. Katanya, “Dalam satu penyerangan ke salah satu negeri musuh, terdapatlah seorang laki-laki dengan harta bendanya. Orang itu segera mengucapkan, ‘Assalamu'alaikum.' Tetapi patroli itu tidak memedulikan salam orangitu, dia terus dibunuh. Hal ini disampaikan kepada Rasulullah ﷺ dan harta bendanya diserahkan kepada beliau. Maka turunlah ayat ini, di antaranya yang menyinggung harta itu, ‘Karena kamu mengharapkan harta dunia."‘
Menurut riwayat dari Imam Ahmad dan Ikrimah, dari Ibnu Abbas dia berkata, ‘Ada seorang laki-laki dari Bani Salim sedang menggembalakan sekawan kambing-kambingnya. Sampailah ke tempat itu Sariyah (patroli) yang dikirim Rasulullah. Orang itu langsung mengucapkan salam. Tetapi sahabat-sahabat Rasulullah itu berkata sesama mereka, “Dia mengucapkan salam hanya untuk melindungkan diri." Lalu orang itu dibunuh dan kambing-nya digiring menghadap Rasulullah ﷺ Lalu turunlah ayat ini. Tirmidzi meriwayatkan pula hadits lain yang sama maksudnya.
Ada pula satu hadits agak panjang yang dirawikan oleh Abu Bakar al-Bazzar, dari Said bin Jubair, dan Said bin Jubair menerima dari gurunya Ibnu Abbas, demikian riwayatnya, “Pada satu waktu Rasulullah mengirim satu Sariyah (patroli yang tidak dipimpin Nabi) ke sebuah negeri. Di antara anggota Sariyah itu terdapat al-Miqdad bin al-Aswad. Setelah mereka sampai ke tempat kaum yang hendak ditaklukkan itu, didapati mereka telah ber-cerai-berai. Hanya tinggal seorang raja. Orang itu mempunyai harta benda (kambing) dan dia tidak turut meninggalkan tempat itu. Setelah dilihatnya kaum Muslimin datang, dia pun mengucapkan, ‘Asyhadu alia ilaaha Ulatlah." Tetapi al-Miqdad tidak mempedulikan ucapan itu, melainkan langsung membunuh orang itu. Lalu dia ditegur oleh salah seorang kawannya, “Mengapa engkau bunuh seorang yang telah mengucapkan Asyhadu alia itaha illallah? Demi Allah, hal ini akan aku sampaikan kepada Rasulullah." Setelah mereka sampai kembali ke hadapan Rasulullah ﷺ, hal itu mereka sampaikan kepada beliau, “Seorang yang mengucapkan Laa ilaha illallah, dibunuh oleh si Miqdad!" Lalu Rasulullah ﷺ bersabda, “Mana si Miqdad, suruh dia kemari!" (Miqdad pun datang) Bertanyalah beliau, “Hai Miqdad! Engkau bunuh seorang yang telah mengucapkan Laa ilaha illallah? Bagaimana jawabanmu nanti di hadapan Allah di hari Kiamat?" Lalu turunlah ayat ini! Selanjutnya berkatalah Rasulullah kepada Miqdad, “Orang itu adalah seorang Mukmin yang menyembunyikan imannya di antara orang-orang yang masih kafir. Karena kalian datang, dia pun menyatakan imannya di hadapan kalian, lalu engkau bunuh! Ingatlah Miqdad bahwa di Mekah dahulu, engkau pun menyembunyikan iman!"
Di dalam hadits ini ditegaskan at-Tsalabi dari Ibnu Abbas dan riwayat Abd bin Humaid dari Qatadah diterangkan pula nama yang terbunuh itu, yaitu Mirdas bin Nuhaik, dan Komandan Sariyah itu bernama Ghaiib bin Fadhalah al-Laits. Tetapi di sini disebutkan yang membunuh bukan al-Miqdad, melainkan Usamah bin Zaid.
Yang mana pun yang lebih shahih di antara riwayat itu, namun puncak kejadian dan jalan riwayat adalah sama. Yaitu tentang terjadinya pembunuhan dengan keliru. Di dalam riwayat yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Abu Hadrad, diceritakan pula telah terjadi kekeliruan seperti demikian terhadap seorang yang bernama Amir bin al-Adhbath al-Asyja'i. Dia telah mengucapkan salam, dan mengucapkan syahadat pula, namun dia dibunuh juga oleh Muhallim bin Jatstsamah dan harta bendanya dirampas, lalu dibawa ke hadapan Rasulullah ﷺ.
Bukan main sedih. Rasulullah menerima berita itu, sampai beliau berkata kepada Muhallim yang telanjur membunuh itu, “Dosamu tidak akan diampuni Allah." Mendengar itu sangat sedih hati Muhallim, sampai dia menangis tersedu-sedu di hadapan Nabi menyesali perbuatannya. Tujuh hari kemudian Muhallim meninggal dunia karena kesedihan. Maka dia pun dikuburkan. Tetapi heran sekali! Dia dimuntahkan oleh bumi. Hal itu disampaikan orang kepada Nabi ﷺ Lalu beliau berkata, “Jangankan dia, sedangkan orang yang lebih jahat dari dia diterima bumi juga. Dia dimuntahkan Allah dari bumi adalah untuk memberikan nasihat kepada kamu. Maka mayat yang dimuntahkan bumi itu diangkut orang ke celah-celah dua bukit, lalu ditimbun dengan batu-batu besar."
Dari semua cerita sebab-sebab turun ayat ini, dapatlah kita mengambil perhatian sebesar-besarnya tentang nilai-nilai budi yang ditegaskan dalam perang, menurut aturan Islam.
Begitulah terdapat berbagai ragam riwayat tentang sebab turunnya ayat ini. Semuanya itu mungkin kejadian. Al-Qaffal berkata, “Tidaklah ada penafian di antara riwayat-riwayat ini. Mungkin sekali ayat-ayat ini turun sesuai dengan tiap-tiap kejadian. Maka tiap-tiap kelompok menyangka bahwa ayat turun tersebab kejadian yang mereka alami."
Dapatlah diambil kesimpulan dari semua ayat itu bahwasanya tidaklah boleh kita terburu-buru menghukumkan kafir atas orang yang telah mengucapkan kalimat as-Salam atau orang yang telah mengucapkan dua kalimat syahadat. Karena besar sekali kemungkinan di dalam pergaulan negeri yang masih kafir itu telah ada orang yang Islam, cuma takut menyatakan keislamannya. Dia baru berani setelah datang temannya seagama menaklukkan negeri itu. Bukanlah berarti seseorang Yahudi atau Nasrani yang telah mengucapkan “Assalamu'alaikum" atau membaca “Syahadat" bahwa kita langsung saja menumpahkan kepercayaan kepadanya, ingatlah Prof. Snouck Hourgronye yang sengaja mukim ke negeri Mekah beberapa tahun, lalu menukar namanya dengan Islam: Abdul Ghaffar Snouck al-Holandi. Ditukarnya pakaian Eropanya dengan pakaian Islam, berjubah dan berserban dan selalu thawaf keliling Ka'bah. Kemudian ternyata bahwa dia masuk Islam adalah untuk kepentingan pemerintah Kolonial Belanda dan hendak mengetahui dari mana sumber kekuatan Islam di tanah Aceh yang di waktu itu sedang diperangi.
Demikian juga seketika pada tahun 1965 terjadi pemberontakan kaum Komunis yang gagal di Indonesia. Ketika kaum Muslimin di beberapa daerah membasmi habis kaum Komunis, ada beberapa orang di antara mereka yang seketika akan dibunuh mengucapkan syahadat. Maka banyaklah syahadat yang mereka ucapkan itu tidak dipedulikan orang karena orang tahu bahwa belum ada sejarah menyatakan di dalam dunia ini, bahwa ada satu kaum yang lebih jahat tipu dayanya daripada kaum Komunis. Mereka mudah saja mengucap salam atau syahadat, asai maksud mereka dapat tercapai. Oleh sebab itu, kebanyakan syahadat yang mereka ucapkan itu tidaklah dipercayai orang. Tidaklah dapat kata ulama itu bahwa kaum Komunis disamakan dengan Yahudi atau Nasrani atau kaum musyrikin yang menyembah berhala. Sebab kaum Komunis nyata-nyata murtad dari agama yang mereka peluk. Dan menentang segala agama yang ada di dunia ini. Karl Marx pada mulanya ialah seorang pemeluk Agama Yahudi. Lenin keturunan Pendeta. Aidit di Indonesia dari keluarga Islam yang teguh memegang agama di Pulau Belitung. Apabila mereka telah menganut paham Komunis, bukan sajalah mereka itu non-agama (tidak beragama), bahkan membenci segala yang ada sangkut paut dengan agama. Oleh sebab itu, kalau ada orang Komunis mengucap syahadat seketika ditangkap, beratlah pendapat kita bahwasanya itu adalah penipuan belaka. Kecuali kalau mereka kembali ke dalam agama pada waktu yang tenang, bukan waktu ditangkap, dan tampak jelas bahwa mereka mengerjakan segala perintah agama (shalat, puasa, zakat, dan haji). Moga-mogalah diterima Allah tobat mereka.