Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
حُيِّيتُم
kamu dihormati
بِتَحِيَّةٖ
dengan penghormatan
فَحَيُّواْ
maka hormatilah
بِأَحۡسَنَ
dengan yang lebih baik
مِنۡهَآ
daripadanya
أَوۡ
atau
رُدُّوهَآۗ
kembalikan ia
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٍ
sesuatu
حَسِيبًا
perhitungan
وَإِذَا
dan apabila
حُيِّيتُم
kamu dihormati
بِتَحِيَّةٖ
dengan penghormatan
فَحَيُّواْ
maka hormatilah
بِأَحۡسَنَ
dengan yang lebih baik
مِنۡهَآ
daripadanya
أَوۡ
atau
رُدُّوهَآۗ
kembalikan ia
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٍ
sesuatu
حَسِيبًا
perhitungan
Terjemahan
Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu.
Tafsir
(Apabila kamu diberi salam dengan suatu salam penghormatan) misalnya bila dikatakan kepadamu, "Assalamu'alaikum!" (maka balaslah) kepada orang yang memberi salam itu (dengan salam yang lebih baik daripadanya) yaitu dengan mengatakan, "Alaikumus salaam warahmatullaahi wabarakaatuh." (atau balaslah dengan yang serupa) yakni dengan mengucapkan seperti apa yang diucapkannya. Artinya salah satu di antaranya menjadi wajib sedangkan yang pertama lebih utama. (Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu) artinya membuat perhitungan dan akan membalasnya di antaranya ialah terhadap membalas salam. Dalam pada itu menurut sunah, tidak wajib membalas salam kepada orang kafir, ahli bidah dan orang fasik. Begitu pula kepada orang Islam sendiri yakni orang yang sedang buang air, yang sedang berada dalam kamar mandi dan orang yang sedang makan. Hukumnya menjadi makruh kecuali pada yang terakhir. Dan kepada orang kafir jawablah, "Wa`alaikum." Artinya: juga atasmu.
Tafsir Surat An-Nisa': 84-87
Maka berperanglah kamu (Muhammad) pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak (mematahkan) serangan orang-orang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa-Nya.
Barang siapa yang memberikan syafaat (pertolongan) yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah membuat perhitungan atas segala sesuatu.
Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kalian di hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada Allah?
Ayat 84
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad ﷺ) untuk ikut terjun ke dalam kancah peperangan, berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang menolak, tidak ikut berperang, maka tiada paksaan atas dirinya untuk mengikuti peperangan. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri.” (An-Nisa: 84)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Anir ibnu Nabih, telah menceritakan kepada kami Hakkam, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah Al-Kindi, dari Abu Ishaq yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Barra ibnu Azib tentang seorang lelaki yang menghadapi musuh sebanyak seratus orang, tetapi ia tetap berperang melawan mereka, yang pada akhirnya dia termasuk orang yang disebut di dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195) Maka Al-Barra ibnu Azib menjawab bahwa Allah ﷻ telah berfirman pula kepada Nabi-Nya, yaitu: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An-Nisa: 84) Dengan kata lain, lelaki tersebut tidak termasuk ke dalam larangan yang disebutkan ayat di atas.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui Sulaiman ibnu Daud, dari Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Abu Ishaq yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Barra mengenai seorang lelaki yang maju sendirian melawan orang-orang musyrik yang jumlahnya banyak, apakah dia termasuk orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan? Al-Barra menjawabnya tidak, karena sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya dan berfirman kepadanya: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri.” (An-Nisa: 84) Sesungguhnya hal yang kamu sebutkan hanyalah menyangkut masalah nafkah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy dan Ali ibnu Abu Saleh, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra dengan lafal yang sama.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Nadr Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abdur Rahman Al-Harsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Himyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan As'-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kepada Nabi ﷺ ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An-Nisa: 84), hingga akhir ayat. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada sahabat-sahabatnya: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk berperang. Karena itu, berperanglah kalian.” Hadis ini berpredikat gharib.
Firman Allah ﷻ: “Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An-Nisa: 84)
Artinya, bangkitkanlah semangat untuk berperang, kobarkanlah semangat mereka, dan tanamkanlah keberanian mereka untuk berperang. Seperti yang beliau ﷺ katakan kepada para sahabatnya dalam Perang Badar ketika beliau sedang merapikan saf mereka: “Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas bumi dan langit!” Banyak hadits yang diriwayatkan mengenai masalah ini, yaitu anjuran berperang di jalan Allah, antara lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa bulan Ramadan, maka sudah semestinya bagi Allah memasukkannya ke dalam surga, baik ia hijrah di jalan Allah ataupun tetap tinggal di tempat kelahirannya.” Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga terdapat seratus derajat (tingkatan) yang telah disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad dijalan Allah; jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi. Apabila kalian memohon kepada Allah, mintalah kepadaNya surga Firdaus, karena sesungguhnya surga Firdaus adalah tengah-tengah surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya terdapat Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, dan dari surga Firdaus mengalirlah semua sungai surga.”
Diriwayatkan hal yang serupa melalui hadits Ubadah, Mu'az, dan Abu Darda.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Abu Sa'id, barang siapa yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi (panutannya), maka pastilah ia masuk surga.” Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa mendengar hal itu Abu Sa'id merasa takjub, lalu bertanya, "Ulangilah lagi kepadaku, wahai Rasulullah." Abu Sa'id mengucapkan demikian sebanyak tiga kali, kemudian baru Rasulullah ﷺ bersabda lagi: “Dan (amalan) yang lain menyebabkan Allah mengangkat seorang hamba karenanya seratus derajat (tingkatan) di dalam surga; jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi.” Abu Sa'id Al-Khudri bertanya, "Wahai Rasulullah, amalan apakah itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” Hadis riwayat Imam Muslim.
Firman Allah ﷻ: “Mudah-mudahan Allah mematahkan serangan orang-orang kafir itu.” (An-Nisa: 84)
Yaitu berkat upayamu dalam mengobarkan semangat mereka untuk berjihad, maka bangkitlah semangat mereka untuk melawan musuh-musuh mereka, membela negeri Islam dan para pemeluknya, serta berjuang melawan mereka dengan penuh keteguhan dan kesabaran.
Firman Allah ﷻ: “Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa-(Nya).” (An-Nisa: 84)
Artinya, Dia berkuasa terhadap mereka di dunia dan di akhirat.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Demikianlah, apabila Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain.” (Muhammad: 4), hingga akhir ayat.
Ayat 85
Adapun firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya.” (An-Nisa: 85) Maksudnya, barang siapa yang berusaha (memberi contoh teladan) dalam suatu urusan, lalu ia menghasilkan hal yang baik darinya, maka dia memperoleh bagian darinya.
“Dan barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya.” (An-Nisa: 85)
Yakni dia memperoleh dosa dari urusan tersebut yang diusahakannya (memberi contoh buruk) dan telah diniatkannya sejak semula. Seperti yang disebutkan di dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Berikanlah syafaat, niscaya kamu beroleh pahala, dan Allah memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki-Nya.”
Mujahid ibnu Jabr mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan syafaat orang-orang yang diberikan oleh sebagian mereka untuk sebagian yang lain.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang memberikan syafaat.” (An-Nisa: 85) Dalam ayat ini tidak disebutkan barang siapa yang beroleh syafaat.
Firman Allah ﷻ: “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisa: 85) Menurut Ibnu Abbas, ‘Atha’, Atiyyah, Qatadah, dan Matar Al-Warraq, yang dimaksudkan adalah Yang Maha Memelihara.
Menurut Mujahid, maksudnya adalah Maha Menyaksikan. Menurut riwayat yang lain darinya, makna yang dimaksud ialah Maha Menghitung.
Sa'id ibnu Jubair, As-Suddi, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Yang Maha Kuasa.
Menurut Abdullah ibnu Kasir, makna yang dimaksud ialah Yang Maha Mengawasi.
Menurut Adh-Dhahhak, al-muqit artinya Yang Maha Memberi Rezeki.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Mutarrif, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Ismail, dari seorang lelaki, dari Abdullah ibnu Rawwahah, bahwa ia pernah ditanya oleh seorang lelaki tentang makna firman-Nya: “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisa: 85) Maka ia menjawab bahwa Allah membalas setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
Ayat 86
Firman Allah ﷻ: “Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa.” (An-Nisa: 86) Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah salamnya itu dengan salam yang lebih baik darinya, atau balaslah ia dengan salam yang sama. Salam lebihan hukumnya sunat, dan salam yang serupa hukumnya fardu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnus Sirri Al-Intaki, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Lahiq, dari Asim Al-Ahwal, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu ia mengucapkan, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah (semoga keselamatan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah)." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan atas dirimu.” Kemudian datang pula lelaki yang lain dan mengucapkan, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah, warahmatullahi (semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah)." Maka beliau ﷺ menjawab: “Semoga keselamatan dan rahmat serta berkah Allah terlimpahkan atas dirimu.” Lalu datang lagi lelaki yang lain dan mengucapkan, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah, warahmatullahi wabarakatuh (semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah)." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Hal yang sama semoga terlimpahkan kepadamu.” Maka lelaki yang terakhir ini bertanya, "Wahai Nabi Allah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, telah datang kepadamu si anu dan si anu, lalu keduanya mengucapkan salam kepadamu dan engkau menjawab keduanya dengan jawaban yang lebih banyak dari apa yang engkau jawabkan kepadaku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Karena sesungguhnya engkau tidak menyisakannya buatku barang sedikit pun, Allah ﷻ telah berfirman, ‘Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa’. (An-Nisa: 86) maka aku menjawabmu dengan salam yang serupa.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim secara mu'allaq. Untuk itu ia mengatakan, telah diriwayatkan dari Ahmad ibnul Hasan dan Imam At-Tirmidzi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnus Sirri Abu Muhammad Al-Intaki, bahwa Abul Hasan (seorang lelaki yang saleh) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Lahiq, lalu ia mengetengahkan berikut sanadnya dengan lafal yang serupa.
Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi ibnu Qani', telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Lahiq Abu Usman, lalu ia mengetengahkan hadits yang serupa, tetapi aku tidak melihatnya di dalam kitab musnad.
Hadis ini mengandung makna yang menunjukkan bahwa tidak ada tambahan dalam jawaban salam yang bunyinya mengatakan, "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Seandainya disyariatkan salam yang lebih banyak dari itu, niscaya Rasulullah ﷺ menambahkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir (saudara lelaki Sulaiman ibnu Kasir), telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Abu Raja Al-Utaridi, dari Imran ibnul Husain yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu mengucapkan, "Assalamu 'al'aikum, ya Rasulullah," lalu Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan jawaban yang sama, kemudian beliau duduk dan bersabda, "Sepuluh." Kemudian datang lelaki lainnya dan mengucapkan, "Assalamu 'alaikum warahmatullahi, ya Rasulullah," lalu Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan jawaban yang sama, kemudian duduk dan bersabda, "Dua puluh." Lalu datang lelaki lainnya dan bersalam, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," maka Nabi ﷺ membalasnya dengan salam yang serupa, kemudian duduk dan bersabda, "Tiga puluh."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari Muhammad ibnu Kasir.
Imam At-Tirmidzi mengetengahkannya, begitu pula Imam An-Nasai dan Al-Bazzar yang juga melalui hadits Muhammad ibnu Kasir. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat gharib bila ditinjau dari sanadnya. Dalam bab yang sama diriwayatkan pula hadits dari Abu Sa'id, Ali, dan Sahl ibnu Hanif. Al-Bazzar mengatakan bahwa hal ini telah diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ melalui berbagai jalur, dan hadits ini merupakan hadits yang paling baik sanadnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Abdur Rahman Ar-Rawasi, dari Al-Hasan ibnu Saleh, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Barang siapa yang mengucapkan salam kepadamu dari kalangan makhluk Allah, jawablah salamnya, sekalipun dia adalah seorang Majusi." Demikian itu karena Allah ﷻ telah berfirman: “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa.” (An-Nisa: 86)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya.” (An-Nisa: 86) Yakni kepada orang-orang muslim (yang mengucapkan salam kepadamu).
“Atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa." (An-Nisa: 86) ditujukan kepada kafir zimmi. Akan tetapi, takwil ini masih perlu dipertimbangkan, atas dasar hadits di atas tadi yang menyatakan bahwa makna yang dimaksud ialah membalas salam penghormatan dengan yang lebih baik. Apabila seorang muslim mengucapkan salam penghormatan dengan lafal salam yang maksimal dari apa yang disyariatkan, maka balasannya adalah salam yang serupa.
Terhadap ahli zimmah (kafir zimmi), mereka tidak boleh dimulai dengan salam; dan jawaban terhadap mereka tidak boleh dilebihkan, melainkan hanya dibalas dengan yang singkat, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Apabila orang Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, maka sebenarnya yang diucapkan seseorang dari mereka adalah, ‘As-Samu'alaikum’ (kebinasaan semoga menimpa kamu), maka katakanlah, ‘Wa'alaika (dan semoga kamu pun mendapat yang serupa)’."
Di dalam Sahih Muslim disebut melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian memulai salam kepada orang Yahudi dan orang Nasrani, dan apabila kalian berjumpa dengan mereka di jalan, maka desaklah mereka ke tempat yang paling sempit.”
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari seorang laki-laki, dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa mengucapkan salam hukumnya sunat, sedangkan menjawabnya adalah wajib. Pendapat yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri ini juga dikatakan oleh semua ulama, bahwa menjawab salam hukumnya wajib bagi orang yang ditujukan salam kepadanya. Maka berdosalah dia jika tidak melakukannya, karena dengan begitu berarti dia telah melanggar perintah Allah yang ada di dalam firman-Nya: “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (An-Nisa: 86)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian tidak dapat masuk surga sebelum beriman, dan kalian belum beriman sebelum saling mengasihi. Maukah aku tunjukkan kalian kepada satu amalan yang apabila kalian melakukannya, niscaya kalian akan saling mengasihi, yaitu: ‘Tebarkanlah salam di antara kalian’."
Ayat 87
Firman Allah ﷻ: “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia.” (An-Nisa: 87)
Ini merupakan pemberitahuan tentang keesaan-Nya dan hanya Dialah Tuhan semua makhluk. Ungkapan ini mengandung qasam (sumpah) bagi firman selanjutnya, yaitu: “Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kalian di hari kiamat, yang tidak ada keraguan padanya.” (An-Nisa: 87) Huruf lam yang terdapat pada lafal merupakan pendahuluan bagi qasam.
Dengan demikian, maka firman-Nya: “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia.” (An-Nisa: 87) merupakan kalimat berita dan sekaligus sebagai sumpah yang menyatakan bahwa Dia kelak akan menghimpun semua manusia dari yang awal hingga yang terakhir di suatu padang (mahsyar), yakni pada hari kiamat nanti. Lalu Dia memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal sesuai dengan amalnya masing-masing.
Firman Allah ﷻ: “Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (An-Nisa: 87)
Yakni tiada seorang pun yang lebih benar daripada Allah dalam perkataan, berita, janji, dan ancamanNya. Maka tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Penguasa selain Dia.
Dan apabila kamu dihormati oleh siapa saja dengan suatu salam penghormatan, baik dalam bentuk perbuatan atau perlakuan, maka balaslah dengan segera penghormatan itu dengan penghormatan yang lebih baik, atau balaslah penghormatan itu yang sepadan dengan penghormatan yang diberikan-nya. Sungguh, Allah memperhitungkan segala sesuatu menyangkut cara dan kualitas penghormatan balasan yang telah diberikan. Jika kita perhatikan, ayat salam penghormatan ini terletak di tengahtengah ayat perang. Ini bisa bermaksud menunjukkan prinsip Islam yang asasi yaitu salam yang bermakna keselamatan dan kedamaian. Ia melaksanakan perang hanya untuk menetapkan kedamaian dan keselamatan di muka bumi dengan makna yang luas dan menyeluruh Orang-orang yang beriman dengan sesungguhnya pasti meyakini bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya dan tidak ada tuhan selain Dia, tidak ada yang patut disembah kecuali Dia. Oleh sebab itu, janganlah kaum muslim lalai berbakti dan mengabdi kepada-Nya, patuhlah terhadap perintah-perintah-Nya dan tinggalkanlah laranganlarangan-Nya, karena Dia pasti akan mengumpulkan kamu pada hari kiamat. Tidak satu pun yang sanggup membangkitkan dan mengumpulkan kalian selain Allah, untuk mempertanggungjawabkan semua amal yang telah kalian lakukan. Hari itu merupakan hari yang tidak diragukan terjadinya. Pada hari itu tidak ada manfaat harta kekayaan dan anak-anak kalian untuk menjadi penolong bagi kalian, dari azab Allah. Yang akan aman dari azab Allah hanyalah orang-orang yang beramal saleh sewaktu berada di dunia. Oleh sebab itu, manusia harus percaya kepada firman Allah tentang kedatangan hari Kiamat itu. Siapakah yang lebih dapat dipercaya ucapannya dan benar perkataan-nya daripada Allah' Ketahuilah bahwa informasi yang bukan berasal dari Allah tidak dapat dipastikan kebenarannya, karena berita-berita itu mengandung kemungkinan benar atau kemungkinan salah. Sedangkan informasi yang bersumber dari Allah pasti benar.
.
Perintah untuk berlaku sopan santun dalam pergaulan, agar terpelihara hubungan persaudaraan dengan jalan mengadakan tata tertib yang dilakukan ketika bertemu dengan seseorang. Seseorang harus membalas penghormatan yang diberikan kepadanya berupa salam yang diterimanya dengan balasan yang setimpal atau dengan cara lebih baik. Balasan yang setimpal atau yang lebih baik dapat berbentuk ucapan yang menyenangkan atau dengan suara yang lemah lembut atau dengan gerak-gerik yang menarik hati, memperhatikan kehidupan dalam menegakkan sopan santun yang memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.
Allah memperhatikan segala sesuatu termasuk memperhatikan kehidupan manusia dalam menegakkan sopan santun yang bisa memperkuat hubungan persaudaraan antara sesama mereka.
Sejalan dengan ayat itu terdapat hadis-hadis sebagai berikut
Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah ﷺ bersabda, "Hendaklah orang yang berkendaraan memberi salam kepada orang yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki memberi salam kepada orang yang duduk, kelompok orang yang sedikit memberi salam kepada kelompok yang banyak, kelompok orang yang muda memberi salam kepada kelompok yang tua." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dari Abdullah bin 'Amr, dia berkata, "bahwasannya seseorang bertanya kepada Rasulullah, mana ajaran Islam yang terbaik? Rasulullah ﷺ menjawab, "(yaitu) memberi makan (kepada fakir miskin) dan memberi salam kepada orang yang engkau kenal dan orang yang belum engkau kenal. (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SYAFAAT
Ayat yang akan kita tafsirkan ini membicarakan tentang syafaat. Kata-kata syafaat ini telah terpakai dalam kalangan agama di negeri kita. Seorang ayah yang kematian anaknya di waktu kecil, ketika orang takziyah ke-padanya, selalu orang berkata, “Moga-moga anak saudara yang meninggal itu akan menjadi syafaat saudara di akhirat kelak!"
Artinya bahwa kematian anak itu akan menolong meringankan adzab siksaan si ayah yang patut diterimanya sebab dia sabar atas kematian anaknya.
Lebih terkenal lagi tentang hadits syafaat, yaitu bahwa Rasulullah di akhirat kelak akan membela dan memohonkan kepada Allah agar beberapa manusia dibebaskan dari tuntutan.
Satu kali terjadi perselisihan rumah tangga di antara seorang perempuan merdeka bernama Barirah dengan suaminya. Sedang suaminya itu budak. Perempuan itu tidak suka lagi kepada suaminya sampai dia meninggalkan rumah tangganya. Si suami yang masih cinta kepada istri yang telah membencinya itu berjalan di belakang Barirah sambil menangis, memohon sudilah kiranya Barirah berdamai kembali dengan dia, supaya dia pulang kembali. Tetapi Barirah tidak mau. Lalu suaminya datang kepada Rasulullah ﷺ meminta agar beliau sudi menjadi perantara untuk mendamaikan mereka. Permohonan si suami dikabulkan oleh Rasulullah, lalu si Barirah beliau panggil dan beliau bujuk agar dia mau kembali berdamai dengan suaminya. Kata beliau, “Alangkah baiknya kalau kau sudi berkembalian dengan suamimu." Lalu Barirah menyambut, “Apakah Rasulullah memerintahkan daku?"
Nabi menjawab,
“Aku hanya semata-mata memberi jasa-jasa baik. “
Barirah menjawab, “Tidakada keinginanku lagi kepadanya." (HR Bukhari)
Karena Barirah menolak, syafaat Nabi tidak berhasil!
Lantaran itu syafaat bisa diartikan menolong. Bisa pula diartikan memberikan jasa-jasa baik atau menjadi orang tengah yang tidak memutuskan.
Dimisalkan seseorang membeli sesuatu barang di satu kedai, kebetulan uang pembayarannya tidak cukup. Lalu kita datang dan kita genapkan bilangan yang kurang itu dengan uang kita sendiri. Perbuatan kita menolong teman itu pun dinamai syafaat. Oleh sebab itu, syafaat juga diartikan menggenapi.
Di dalam beberapa tafsir yang dikarang oleh bangsa Indonesia telah terdapat dua tiga macam makna untuk kalimat syafaat ini. A. Hasan di dalam Tafsir aI-Furqan memberi arti syafaat dengan menggenapi. Sebab memang syafi' artinya genap sebagai timbalan dari watri yang berarti ganjil. (Lihat surah al-Fajr ayat 3) Tetapi al-Ustadz Zainuddin Hamidiy dan Fachruddin H.S. dalam tafsirnya memberikan arti syafaat dengan memberi pertolongan. Tetapi penafsir Qur'an dan terjemahannya dari Departemen Agama terus saja mengambil langsung perkataan itu. Di sana dituliskan, “Barang-siapa yang memberikan syafaat yang baik."
Penulis tafsir ini cenderung kepada apa yang dipilih oleh para penafsir dari Kemen-terian Agama. Sebab kata-kata syafaat memang mengandung arti menolong, mengetengahi dua orang yang berselisih supaya damai, pemberi jasa-jasa baik, menggenapkan mana yang ganjil, menambah mana yang kurang, melengkapkan mana yang timpang. Seorang yang lemah dan takut menghadap pembesar tinggi, lalu seorang lain yang dekat dengan orang berkedudukan tinggi itu menyediakan diri jadi orang perantara; perbuatan menjadi perantara itu dinamai juga syafaat.
Sekarang datanglah ayat,
Ayat 85
“Barangsiapa yang memberikan syafaat baik, niscaya dia akan memperoleh keuntungan daripadanya."
Setelah diketahui arti dan makna dari syafaat yang telah kita sebutkan di atas tadi, dapatlah dipahamkan bahwa maksud ayat meliputi semua arti itu. Barangsiapa yang sudi menjadi orang tengah di antara dua orang yang berselisih, kalau dia mengetengahi dengan jujur, dia akan dapat keuntungan pahala. Demikian juga seorang yang pemberi jasa-jasa baik suami istri yang berkelahi sebagaimana Nabi Muhammad menjadi pembawa syafaat di antara Barirah dan suaminya. Atau seorang yang sudi menyambungkan di antara seorang yang berkedudukan kecil dengan orang atasan. Semuanya akan memperoleh keuntungan darinya. Terutama keuntungan budi. Sebaliknya pula, “Dan barangsiapa yang memberikan syafaat yang buruk, niscaya dia akan menanggungkan daripadanya." Artinya bahwa siapa yang telah menyalahgunakan syafaat yang diberikannya itu, menjadi orang perantara tetapi tidak jujur, memberikan jasa-jasa baik, padahal jasa buruk, sehingga yang berselisih tambah selisih, yang katanya mendamaikan tetapi memaksakan jalan yang tidak adil. Atau menjadi orang perantara misalnya mempertemukan orang berzina, orang semacam itu akan menanggungkan dosa atas ketidakjujurannya. Di suku pertama syafaat yang baik disebutkan akan mendapat nashib, yang kita artikan keuntungan pahala.
Sebaliknya orangyangmemberikansyafaat buruk akan mendapat kiflun, kita artikan akan menanggungkan. Yaitu menanggungkan akibat dari perbuatan buruknya. Kedua kata-kata itu selalu terpakai di dalam bahasa Melayu atau Indonesia. Orang yang berbuat baik akan mendapat keuntungan, itulah pahala. Dan yang berbuat buruk akan menanggung sendiri akibat dari keburukan maksudnya. Sesuai dengan pantun Melayu,
Awak dengan baju buruk awak gantungkanlah., ampaikanlah.
Awak dengan laku buruk awak, tanggungkanlah, rasaikanlah.
“Dan Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah serba sanggup."
Dia sanggup dan Dia berkuasa menyediakan pahala yang pantas bagi barangsiapa yang memberikan syafaat yang baik kepada sesama hamba Allah, dan Dia pun serba sanggup, tidak pernah kekurangan buat menyediakan siksaan yang akan ditanggungkan oleh barangsiapa yang memberikan syafaat yang tidak jujur. Boleh juga diartikan Penyaksi dan Pemelihara dan selalu mengawasi.
Hubungan di antara ayat 85 ini dan ayat 84 sebelumnya rapat sekali.
Sudah dinyatakan bahwa Rasulullah seorang dirilah yang diperintahkan Allah buat berperang menghadapi musuh, walaupun tidak dibantu oleh orang lain, dan dia selalu bersedia melaksanakan perintah Allah. Kalau dia pergi juga seorang diri, niscaya dia berjalan ganjil (watri) Setelah perintah kepada dirinya sendiri itu beliau terima, beliau disuruh mengerahkan orang-orang yang beriman supaya turut pula ke medan perang. Maka siapakah di antara orang-orang beriman itu yang tidak mau membiarkan Rasulullah pergi sendirian saja (ganjil)? Adakah yang sampai hati berpangku tangan padahal kerahan Rasul sudah datang?
Datanglah ayat ini menyatakan bahwa siapa yang sudi menggenapkan yang ganjil, menyamai Rasul dalam perjuangannya sebab dia sendiri yang mula-mula diperintahkan Allah, maka orang yang menggenapkan panggilan itu dengan baik, niscaya akan mendapat keuntungan atau nasib. Tetapi barangsiapa yang menggenapkan itu tidak baik, tidak jujur, setengah hati, mundur di tengah jalan, atau hanya mau enaknya saja, niscaya dia akan menanggung dan dia akan menderita tersebab syafaat yang buruk itu.
Berkata jarullah az-Zamakhsyari di dalam tafsirnya, “Syafaat yang baik ialah yang digunakan untuk memelihara hak sesama Muslim. Menolak kejahatan dan meraih kebaikan, dan dalam semua sikap langkah hanya satu yang diharapkan, yaitu wajah Allah, bukan karena mengharapkan rasywah (uang sogok) Hendaklah yang disyafaatkan itu dalam perkara yang dibolehkan oleh syara' bukan di dalam usaha melanggar batas-batas yang ditentukan Allah, atau melangkahi batas-batas kebenaran."
Tersebut di dalam satu riwayat bahwa Masruq pada suatu hari pernah memberikan syafaat jasa-jasa baiknya kepada seseorang. Usaha Masruq itu berhasil baik. Lantaran itu sebagai tanda terima kasih, orang itu meng-hadiahkan kepada beliau seorang jariyah (budak perempuan) Bukan main marah beliau menerima hadiah itu sehingga beliau kembalikan di saat itu juga. Lalu beliau berkata, “Kalau aku tahu apa yang ada dalam hatimu waktu itu, sungguh tidaklah hajatmu yang engkau minta tolongkan kepadaku itu akan aku urus."
Jadi jelaslah bahwa syafaat dalam hal ini adalah menolong karena Allah, bukan karena mengharapkan ada udang di balik batu, kalau akan demikian lebih baik terang-terang minta upah saja. Kalau hal itu aku urus berapa engkau bayar. Menolong syafaat bukanlah kantor advokat.
Sebab itu Rasulullah berkata,
“Barangsiapa yang memberikan suam syafaat kepada saudaranya, dan saudaranya itu memberinya hadiah, lalu diterimanya, maka sesungguhnya dia telah membuka satu pintu besar dari pintu-pintu dosa besar." (HR Abu Dawud dari Abu Umamah)
Patutlah kita perhatikan hadits Nabi ini dan kita teropong diri kita sendiri, akan sanggupkah kita menempuh jalan iman seperti ini? Menolong orang lain, memberikan syafaat kepada orang lain, janganlah mengharapkan supaya dibalasnya. Hadits Nabi ini telah menunjukkan bahwasanya seorang yang menolong orang lain dengan menggunakan jasa-jasa baik dan pengaruhnya sehingga urusan orang itu jadi mudah dan berhasil, lalu orang yang ditolong itu memberikan hadiah. Kalau hadiah itu diterima, berarti kita telah membuka sua-tu pintu dari pintu-pintu dosa yang besar. Alangkah jauhnya dari budi Islam seseorang yang mempergunakan jasa-jasa baik itu buat menerima hadiah? Buat menerima uang semir, rasywah, (uang pelancar urusan) Apalah artinya jasa baik, kalau jasa itu sudah mulai dibayar?
Sebuah hadits Nabi,
“Dari Aisyah (radhiallahu anha), berkata dia, berkata Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa yang menghubungkan untuk saudaranya sesama Muslim kepada orang yang mempunyai kuasa, untuk menyampaikan satu jasa atau mempermudah suatu yang sukar, akan ditolong dia oleh Allah memudahkan ketika melalui Shirath di hari Kiamat seketika telapak kaki mulai meniti.'" (HR Thabrani dari lbnu Hibban)
Seorang Muslim yang memberikan syafaat kepada orang lain, bukanlah mengharapkan hadiah orang yang disyafaati dalam dunia ini juga. Tetapi yang diharapkannya ialah pertolongan Allah dalam memudahkan langkah-nya seketika mulai meniti Shirathal Mustaqim di akhirat kelak.
Dalam hal ini teringatlah kita akan satu kisah yang terjadi pada sahabat-sahabat Rasulullah. Al-Qur'an telah memberikan pujian kepada kaum Anshar di Madinah bahwa untuk menerima kawan sepaham orang Muhajirin yang pindah ke Madinah karena mempertahankan keyakinan mereka, kaum Anshar yang menerima mereka di Madinah itu telah menyambut dengan budi bahasa yang hanya bertemu pada orang beriman. “Bahkan mereka melebihutamakan kawan yang baru pindah itu, daripada diri sendiri, meskipun mereka dalam kesusahan." (Lihat surah al-Hasyr ayat 9) Pujian yang demikian dari Allah, dengan wahyu kepada kaum Anshar menyebabkan mereka memupuk terus pujian itu dalam diri mereka sendiri sehingga termasyhurlah dermawan dan kesudian memberi syafaat kaum Anshar di seluruh tanah Arab di zaman itu dan kini dipelihara pula oleh anak cucu mereka.
Qais bin Sa'ad bin ‘Ubadah adalah seorang putra orang Anshar yang terkenal dermawan. Ayahnya Sa'ad bin ‘Ubadah di kalangan Anshar sama dengan kedudukan Abu Bakar dalam kalangan Muhajirin. Sa'ad terkenal karena dermawannya dan kedermawanannya ini menurun kepada anaknya, Qais, malahan lebih. Kerap kali orang yang terdesak berutang kepadanya, diberinya utang. Kadang-kadang utang itu tidak terbayar, namun beliau tidak pernah menagihnya.
Pada suatu hari Qais bin Sa'ad bin ‘Ubadah ditimpa sakit agak berat. Dia tercengang karena banyak teman sahabatnya tidak datang melihatnya dalam keadaan dia sakit (‘iyaa-dah) Lalu dia bertanya kepada anak-anaknya, apa sebab teman sejawat tak datang melihatnya, padahal sudah begini sakitnya? Anak-anaknya menjawab, kebanyakan mereka malu untuk menjenguknya sakit sebab mereka itu banyak berutang kepadanya dan utang itu tidak terbayar. Mendengar itu dia berkata, “Celakalah harta benda, kalau harta benda itu akan menghambat ikhwan berziarah,"
Setelah itu disuruhnyalah orang-orangnya menyerukan di muka umum, “Barangsiapa yang merasa berutang kepada Qais bin Sa'ad, mulai hari ini sekalian utang itu telah dimaaf-kannya, tak usah dibayar lagi!"
Mendengar seruan demikian, belum lagi hari petang sudah patah bendul rumahnya karena banyaknya orang berziarah. Dan beliau tambah terkenal karena pemurahnya. Pada suatu hari ada orang yang bertanya kepada Qais karena dia sudah terkenal pemurah, pernahkah di dalam hidupnya dia bertemu orang yang lebih pemurah daripadanya? Beliau menjawab, “Ada!" Lalu orang itu bertanya, “Di mana?" Qais bercerita, “Pada suatu hari kami dalam perjalanan. Setelah letih berjalan, berhentilah kami pada rumah seorang Badwi. Yang kami dapati hanya seorang perempuan dengan anaknya, sedang suaminya tidak ada di rumah. Belum berapa lama kami berhenti, datanglah suami perempuan itu, lalu dilaporkannya kepada suaminya bahwa ada tetamu dua orang. Mendengar itu suaminya menyuruh potong seekor unta betina muda untuk makanan kami. Setelah hari pagi besoknya, dia memotong lagi seekor unta muda buat makanan.
Lalu saya berkata, “Saudara terlalu memberati diri karena menyelenggarakan kami. Lebih unta yang saudara sembelih kemarin, belum habis kami makan, saudara telah menyembelih lagi unta yang lain." Dia men-jawab, “Sudah kebiasaan saya dari dahulu tidak mau memberikan kepada tetamuku makanan yang sudah bermalam." Demikianlah kami telah menjadi tetamunya dua atau tiga hari, hujan turun, dan dia setiap hari menyembelih unta yang baru buat kami. Biasanya setelah selesai menyembelih dan menghidangi kami, dia keluar beberapa waktu ke tempat pekerjaannya dan petang hari baru dia pulang.
Sedang dia tidak ada di rumah, kami berangkat Kami minta sampaikan salam dan terima kasih kami kepadanya. Tatkala akan berangkat, kami letakkan uang 100 dinar (emas) dalam rumahnya dan kami pun pergi.
Kami berangkat pagi-pagi melanjutkan perjalanan kami. Tetapi sebelum matahari tergelincir ke sebelah barat, dari belakang kami kedengaranlah suara laki-laki itu menyeru kami dan menyuruh berhenti. Kendaraan kami, kami hentikan dan kami tunggu dia. Lalu kedengaran dia berkata dengan nada orang marah, “Berhenti! Kalian tetamu yang tidak mengenal budi! Terima uang ini kembali, atau kalau tidak, akan aku tusuk perut kalian dengan tombakku ini." Lalu dicampakkannya pundi-pundi berisi 100 dinar itu ke hadapan kami. Terpaksa kami ambil. Dia pun pergi dengan tidak menegur kami lagi."
Ketika menceritakan hal ini, Imam Ibnu Qayyim di dalam kitabnya Madariyus Salikin telah berkata, “Begitulah ketinggian budi orang Anshar dan kemurahannya, namun dalam hati mereka tidak ada ingatan hendak meminta penghargaan atas jasa mereka." Meskipun sepeninggal Rasul ﷺ wafat, orang lain telah memperebutkan kemewahan dan kekuasaan duniawi, orang Anshar umumnya tidaklah mendapat apa-apa dari pembagian pangkat, namun Anshar tidaklah peduli akan hal itu. Mereka tetap berbuat baik kepada orang lain, mendatangkan gembira pada hati sesama Muslim. Bilamana jasa mereka hendak dibeli dengan benda, niscaya mereka akan murka sebagai-mana murkanya orang Badwi di desa padang pasir itu seketika jamuannya yang diberikannya dengan tutus ikhlas hendak dibayar.
Bagi mereka hal yang demikian adalah malu yang besar, menyinggung kehormatan dan harga diri. Maka kalau kita perbandingkan pekerti orang Anshar dengan kita zaman sekarang, malulah kita kepada diri. Entah apa penyakit mental dan moral yang menimpa kita sehingga kerap kali syafaat atau pertolongan yang kita berikan kepada seseorang kita, meminta upah. Sehingga selalu terjadi korupsi. Korupsi benda yang timbul daripada korupsi jiwa.
SALAM
Sekarang ayat seterusnya,
Ayat 86
“Dan apabila kamu diberi hormat dengan sesuatu penghormatan."
Artinya, apabila orang mengucapkan salam kepadamu, memohon kepada Allah mudah-mudahan selamat keadaanmu, selamat badanmu, terpelihara dari segala macam malapetaka, dengan mengucapkan “Assalamu-'alaikum."
“Maka balaslah hormat itu dengan yang lebih baik daripadanya." Artinya, kalau misalnya orang mengucapkan “Assalamu'alaikum" balaslah dengan, “Wa'alaikumus salam wa rahmatullah"
Dan kalau salam orang itu ditambahkan lagi dengan, “WarahmatuIlahi," balaslah dengan tambahan lagi, “Wabarakatuh."
Berkata ar-Raghib, “Kalimat tahiyah, sebagai penghormatan artinya ialah doa agar yang dihormati hidup sehat umur panjang."
Orang Arab di zaman dahulu kalau bertemu dengan temannya memberi hormat dengan “Hayakallah," Moga-moga hidupmu dipelihara Allah atau umur panjang. Serupa juga dengan yang telah biasa dilakukan oleh orang Indonesia yang tidak mengerti aturan Islam yang mengucapkan, “Hidup?" Sebagai tanda hormat. Demi setelah datang agama Islam diajarkanlah ucapan selamat dan penghormatan yang lebih mendalam artinya, yaitu, “Assalamu'alaikum" yang berarti moga-moga selamat dan bahagia meliputi diri kamu.
Salam, berarti damai, bahagia, dan selamat. Sehat walafiat juga berarti salam. Sebab itu dalam kata “Assalamu'alaikum" terkandunglah pengharapan yang banyak sekali. Kalau misalnya ucapan hormat kepada orang lain hanya kata-kata “Hidup" apalah artinya hidup. Meskipun dengan doa hidup, terkabul umur panjang, apalah artinya hidup lama di dunia kalau hati kosong dari rasa damai dan selamat.
Selain dari ucapan selamat hidup di dunia, di akhirat, atau di surga, Salam itu meliputi segala kehidupan surga, (surah Ibraahiim ayat 23, atau surah al-Ahzaab ayat 44, dan lain-lain) Sedang surga itu sendiri bernama “Darus Salam" (surah al-An'aam ayat 127—surah Yuunus ayat 25) Dan salah satu dari nama Allah yang 99 ialah as-Salam (surah al-Hasyr ayat 23)
Salam adalah ucapan malaikat ketika menziarahi orang yang beriman yang telah selamat masuk surga bersama kaum kerabatnya (surah ar-Ra'd ayat 23—24) Ucapan selamat dari Allah kepada Nuh setelah selamat dari taufan hebat dan akan turun ke darat (surah Huud ayat 48) Ucapan Ibrahim seketika menyuruh ayahnya
memeluk tauhid (surah Maryam ayat 47) Ucapan malaikat utusan Allah kepada Ibrahim seketika mereka menziarahinya menyampaikan kabar suka cita karena dia akan dianugerahi anak, yaitu Ishaq dan jawaban Ibrahim kepada Malaikat itu (surah Huud ayat 69) Ucapan selamat Allah kepada Nabi-Nya, Yahya (surah Maryam ayat 15) Ucapan Allah untuk Muhammad dan seluruh Anbiya yang telah dipilih Allah (surah an-Naml ayat 59) Pengharapan Isa al-Masih sendiri agar kiranya Allah memberikan selamat untuk dirinya (surah Maiyam ayat 33) Ucapan sambutan Muhammad ﷺ atas kedatangan orang yang menyatakan iman (surah al-An'aam ayat 54) Dan seruan tegas dari Musa dan Harun kepada Fir'aun, bahwa dia akan selamat asal mau menuruti jalan yang benar (surah Thaahaa ayat 47).
Semuanya itu beredar di sekitar salam, bahagia, sehat walafiat pada ruhani dan jasmani, pada dunia dan akhirat.
lantaran itu jika datang orang yang mengucapkan salam, balaslah dengan yang lebih baik. Tandanya di dalam berbuat baik di antara engkau dan dia, hendaklah berlomba. Sebagaimana juga kalau seorang memberikan hadiah sesuatu kepadamu sebagai tanda persahabatan, balasilah dengan yang lebih mahal atau yang lebih diperlukan oleh sahabat itu. Kemudian datanglah lanjutan ayat,
“Atau hendaklah kamu balas (sama) dengan dia." Artinya balas salam itu sama dengan yang diberikannya. Misalnya diucapkannya “Assalamu'alaikum" balaslah dengan “Wa'alai-kum salam."
Berkata Qatadah, “Perintah Allah membalas dengan yang lebih baik daripada salam-an ialah terhadap sesama Muslim. Atau kembalikan sebanyak yang diterima ialah terhadap orang dzimmah!' Yaitu menganut agama lain yang berlindung di bawah kekuasaan pemerintahan Islam. Lantaran penafsiran Qatadah itu berkatalah al-Mawardi, “Kalau ahli dzimmah memulai salamnya kepadamu,
hendaklah jawab dengan “Wa Rahmatullah!' Paham al-Mawardi ini adalah menuruti an-Nawawi dan az-Zamakhsyari pun berpendapat demikian pula dalam tafsirnya. Tetapi asy-Sya'bi berpendapat kalau sekiranya orang Nasrani mengucapkan salam, tidaklah ada salahnya kalau dijawab dengan tambahan “Wa Rahmatullah." Lalu orang tanyakan, “Mengapa begitu?" Dia jawab, “Bukankah mereka pun hidup lantaran rahmat Allah?"
Tetapi di dalam satu hadits yang shahih riwayat Bukhari dan Muslim memang ada dijelaskan bahwa kalau Ahlul Kitab mengucapkan “Assalamu'alaikum" kepadamu, jawablah “Wa'alaikum" (yang berarti buat kamu juga) Apa sebab penafsiran ini merembet kepada Ahlul Kitab?
Untuk ini hendaklah kita pahami bahwasanya ayat 86 ini tidaklah lepas sama sekali dengan rangka ayat 85 sebelumnya dan ayat-ayat yang serumpun, yaitu berkenaan dengan berperang. Seorang Muslim dalam suatu ang-katan perang Islam pergi memerangi satu negeri. Sesampai di dalam negeri itu, penduduknya langsung mengucapkan salam, padahal salam adalah mengandung kata damai dan hormat dan memuliakan orang yang datang. Kalau salam telah terdengar, sudah terlarang keras membunuh orang itu langsung, melainkan selidiki tujuan salam itu. Mungkin yang mengucapkan salam itu telah Islam. Nanti akan ada peraturannya dan denda bagi barangsiapa yang membunuh sesamanya Islam. Atau yang mengucapkan salam itu belum Islam, tetapi dengan mengucapkan salam ada tanda-tanda bahwa orang itu hendak tunduk dan berdamai. Uluran tangan perdamaiannya itu harus diteliti dengan saksama. Itulah sebabnya ujung ayat ini berkata dengan tegas,
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Penghitung Cermat."
Artinya bahwa Allah menghitung dengan cermat dan teliti, yang maksudnya supaya kamu orang Islam jangan tergopoh-gopoh memerangi atau membunuh orang kalau salam telah diucapkannya. Lekas jawab, sebab kamu diizinkan Allah pergi berperang bukanlah karena hendak membunuh orang yang hendak berdamai. Kalau perang dapat dielakkan, terlebih baik jika dielakkan. Pendeknya, segala salam hendaklah disambut dengan salam pula.
Dalam ayat ini pun jelas lagi bahwa kalau telah pergi berperang, janganlah kamu yang terlebih dahulu mengucapkan kepada penduduk negeri yang akan diperangi itu. Sebab kalau kamu yang mengucapkan terlebih dahulu, berarti bahwa kamulah yang telah memulai damai.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Sesungguhnya Allah Ta ‘aala telah menjadikan salam itu sebagai suatu penghormatan bagi umat kami dan sebagai suatu tanda aman bagi ahli dzimmah kami." (HR Thabrani dan Baihaqi dari hadits Abu Umamah)
Selain dari penafsiran yang tersebut tadi, yaitu yang mengatakan bahwa sambutan salam yang lebih baik untuk sesama Islam dan sambutan yang sama untuk pemeluk agama lain, mungkin dapat juga ditafsirkan bahwa perubahan salam di antara yang lebih baik dan yang biasa ialah setelah menilik cara dan sikapnya yang memberikan salam. Tidak memandang agama. Kalau pihak Islam sendiri yang memberikan salam, tetapi dalam sikapnya terbayang kemunafikan dijawab dengan sambutan yang sama. Walaupun pihak agama lain yang mengucapkan salam, tetapi dalam sikapnya ternyata benar-benar ingin berdamai, boleh juga dijawab dengan salam yang lebih baik.
Setelah kita selesai meninjau ayat ini seraya menilik hubungannya dengan perang, sekarang dapatlah kita menjelaskan bahwasanya salam adalah salah satu di antara hak kewajiban orang Islam sesama Islam. Sedangkan di waktu perang lagi diperintahkan menjawab salam, apatah lagi di waktu damai! Niscaya salam menjadi salah satu dari tiang kedamaian hidup. Sampai tersebut dalam satu hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, demikian sabda Nabi,
“Sesungguhnya perangai Islam yang paling mulia dan paling baik ialah memberi makan (menjamu) dan membacakan salam, kepada orang-orang yang engkau kenal dan kepada orang yang tidak engkau kenal pun." (HR Bukhari dan Muslim)
Dan sabda Nabi pula,
“Sebar-sebarkanlah salam, niscaya akan timbul dnta-mencintai di antara kamu." (HR al-Hakim dari Abu Musa al-Asy'ari)
Dan sabdanya pula,
“Tiga perkara, barangsiapa yang mengumpulkannya, dia sudah mengumpulkan seluruh iman. Insaf terhadap dirimu sendiri, dan menyebarkan salam kepada seluruh Islam, dan men dermakan harta benda dari kekikiran." (HR Bukhari dan Muslim dari Amar bin Yasir)
Dan banyak lagi hadits-hadits yang lain.
Ketika Rasulullah ﷺ mulai masuk ke Madinah, beliau telah berpidato. Di antara yang mendengar pidato permulaan itu ialah seorang Yahudi yang bernama Abdullah bin Salam. Dialah yang merawikan hadits ini, “Bahwa tatkala Rasulullah telah datang itu, manusia pun ribut-ribut. Mereka berkata, ‘Rasulullah datang! Rasulullah datang! Rasulullah datang!' Aku pun turut dibawa arus orang banyak untuk melihat wajah beliau. Setelah aku dapat berdiri di hadapan beliau, aku renungilah wajahnya. Maka tahulah aku bahwa wajah beliau bukanlah wajah seorang pendusta. Lalu aku dengarkan beliau berpidato,
‘Wahai sekalian manusia, sebarkanlah salam, hidangkanlah makanan, hubungkanlah kasih sayang dan shalatlah di tengah malam sedang manusia lain tidur nyenyak, niscaya kamu semuanya akan masuk ke dalam surga dengan bahagia.'" (HR Tirmidzi)
Perkataan Rasulullah yang demikian itulah yang menyebabkan pada hari itu juga Abdullah bin Salam datang menghadap Rasulullah ﷺ dan menyatakan dirinya masuk Islam.
KAIFIYAT SALAM
Menulis Imam an-Nawawi di dalam kitab Riyadhus Shalihin, “Amat mustahab orang yang memulai memberi salam mengucapkan “Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Bara-katuh" yaitu datang dengan dhamir jama'
memakai Kum meskipun yang diberi salam itu hanya satu orang. Dan yang menjawab hendaklah mengucapkan, “Wa'alaikumus Salam wa Rahmatullahi wa Barakatuh" yaitu dipakainya waw ‘athaf di muka ‘alaikum. Artinya, ucapkanlah kum untuk orang banyak, jangan ka untuk seorang, sebab kum untuk orang banyak itu lebih hormat daripada … Kecuali kepada Allah!
Tentang membalas salam dengan yang lebih baik, kalau misalnya yang mengucapkan salam mula-mula tadi telah memberikan salam lengkap, “Assalamu'alaikum wa Rahmatullahi wa Barakatuh," sambutlah dengan salam yang serupa tetapi dengan menunjukkan muka yang gembira atau lekas sambut tangan yang mengucapkan salam itu. Itu sebabnya banyak kita lihat si penyambut salam mencium wajah tetamunya. Dan kalau misalnya sedang duduk, datang orang mengucapkan salam, lekaslah berdiri sehingga si tetamu merasa gembira karena salamnya lekas disambut. Kalau misalnya seorang yang bukan Islam datang mengucapkan salam “Selamat pagi," sambutlah misalnya dengan, “Selamat pagi dan bahagia sepanjang hari." Atau biasa juga orang mengatakan, “Apa kabar?" jawablah, “Kabar baik, mudah-mudahan saudara pun dalam kebaikan pula," dan sebagainya.
Al-Bazzaar merawikan dari Umar bin Khaththab bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
“Apabila berjumpa dua orang Islam, lalu yang seorang mengucapkan salam kepada yang lain, maka yang paling dicintai oleh Allah di antara keduanya ialah barangsiapa yang mukanya lebih berseri-seri. Dan apabila mereka bersalam, Allah
“Dari al-Baraa' bin Azib r.a. berkata dia, ‘Rasulullah ﷺ telah menyuruh kami dengan tujuh. (1) Menjenguk orang sakit. (2) Mengiringkan jenazah. (3) Menjawab bersin. (4) Membela orang yang lemah. (5) Menolong orang yang teraniaya. (6) Menyebarkan salam. (7) Menebus i sumpah. “ (HR Bukhari dan Muslim)
menurunkan 100 rahmat. Untuk yang memulai mengulurkan tangan diberikan 90 dan untuk yang menyambut tangan yang diulurkan itu dapat 10." (HR al-Bazzar)
Menurut hadits Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib, menurut sabda Nabi kalau ada orang berjalan ramai-ramai, cukup seorang saja yang mengucapkan salam, dan kalau orang ramai-ramai duduk, cukup satu orang saja yang menjawabnya.
Menurut hadits Abu Dawud, ada seorang pemuda membawa salam ayahnya kepada Rasulullah ﷺ. Maka beliau menjawab, “Alaika wa Abikas salam." (Untuk engkau dan untuk ayahmu Salam)
Menurut riwayat Bukhari Muslim dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ menuntunkan bahwa orang yang berkendaraan mengucapkan salam lebih dahulu kepada yang berjalan kaki, dan orang yang berjalan kaki kepada orang yang duduk, dan orang yang sedikit kepada orang yang banyak.
Menurut riwayat Bukhari Muslim dari Anas bin Malik bahwa Anas mengucapkan salam kepada kanak-kanak yang sedang ramai bermain. Kata Anas, “Aku lihat Rasulullah ﷺ berbuat begitu." Ibnu Sunni meriwayatkan bahwa salam Rasulullah ﷺ kepada kanak-kanak ialah “Assalamu'alaikum ya shib-yan." (Assalamu'alaikum hai anak-anak)
Dari hadits Abu Dawud dari Asma' binti Yazid, bahwa Nabi pun mengucapkan salam kepada perempuan-perempuan.
Sebagaimana di atas telah diterangkan, bahwa menurut riwayat Bukhari dan Muslim dari Anas, Rasulullah menuntunkan, kalau Ahlul Kitab mengucapkan salam kepadamu, hendaklah jawab dengan “Wa ‘alaikum." (Dan atas kamu pun) Perintah Rasulullah ﷺ seperti ini bukanlah umum untuk seluruh Ahlul Kitab, melainkan karena telah pernah terjadi orang Yahudi di Madinah menyalahgunakan kelapangan dada dan kebaikan budi itu. “Assalamu'alaikum," mereka hilangkan lamnya
menjadi, “Assaamu'alaikum," yang berarti celakalah kamu atau mati kena racunlah kamu. Rasulullah melarang menjawab dengan “Wa ‘alaikumus Saam" karena kata yang nista tidak boleh keluar dari mulut orang yang beriman. Jawab sajalah dengan “Wa ‘alaikum" yang berarti, kalau yang diucapkannya itu maksud jahat, biarlah kembali kepada dirinya dan kalau maksud baik kembali pula pada dirinya. Dengan demikian nyatalah kalau “Assalamu'alaikum," itu diucapkannya dengan jelas jujur, baiklah disambut dengan, “Wa'alaikumus salam."
Kalau satu waktu hendak mengucapkan salam atau hormat kepada orang dzimmi terlebih dahulu janganlah dipakai “Assalamu‘alaikum" melainkan pakailah apa yang biasa mereka pakai, “Selamat pagi, selamat sore, selamat malam," dan boleh juga “Hadakallah" moga-moga Allah memberimu hidayah.
Berkata Syekh Hasan al-Bishri, “Memulai mengucapkan salam adalah sunnah (Tathawwu') dan membalas salam adalah wajib. Ulama-ulama yang lain boleh dikatakan sama sepaham dengan beliau dalam perkara ini. Sebab pada ayat tadi telah tertulis dengan jelas, “maka sambutlah salam itu dengan yang lebih baik atau yang sama." Lantaran itu sifatnya menjadi amar, yaitu perintah. Dan suatu perintah pada pokoknya wajib dijalankan. Tegasnya, berdosalah siapa yang tidak menjawab salam. Apatah lagi kalau salam seseorang tidak dijawab, berarti memandang enteng dan menghina kepada yang mengucapkan salam itu. Menghina sesama Islam adalah haram.
Lantaran itu berkata Ibnu Katsir, “Sebab itu sunnahlah bagi seluruh orang banyak menjawab salam seorang yang baru datang dengan serentak, guna menunjukkan penghormatan yang lebih gembira kepadanya, meskipun pada asalnya apabila seorang saja yang menjawab sudah cukup."
Berdasar kepada kesan yang dikemukan oleh Imam an-Nawawi di dalam kitab Riyadhus
Shalihin, yaitu bahwa kepada orang seorang pun kita pakai juga dhamir jama' sebagai ucapan kehormatan, maka kepada perempuan juga kita pakai dhamir jama' yang untuk laki-laki. Sebab itu tidaklah Rasulullah ﷺ mengucapkan “Assalamu'alikunna," kepada perempuan, melainkan “Assalamu'alaikum" juga. Pada masa akhir-akhir ini karena orang hendak lancang mengadakan ijtihad padahal tidak didalaminya bahasa Arab dan adat istiadat pemakaian bahasa itu. Pernah terdengar orang mengucapkan salam di hadapan satu majelis yang dihadiri oleh banyak laki-laki dan banyak perempuan, “Assalamu'alaikum wa'alaikunnas salam warahmatullahi wa barakatuh." inilah satu pemakaian bahasa yang amat janggal! Yang akan mengetahui kejanggalan itu ialah orang yang mengerti balaaghah bahasa Arab, dan inilah satu pemakaian salam yang ditambah dari yang diajarkan Nabi. Rupanya mereka beranggapan bahwa salam yang diajarkan Nabi itu belum cukup sebab perempuan tidak diistimewakan. Sebab Nabi Muhammad tidak hendak meniru adat orang Barat yang memuliakan perempuan dengan satu macam salam, buatan zaman modern— La haula wala quwata ilia billahl Semuanya ini tanda pikiran kacau!
DAMAI SAMPAI KE AKHIRAT
Ayat 87
“Allah! Tidak ada Allah melainkan Dia."
Setelah Allah menerangkan berbagai peraturan itu, sampai kepada sikap di waktu ada peperangan, sampai pun bagaimana cara menerima salam dan menyambutnya, di waktu perang atau di waktu damai, maka datanglah ayat 87 mengembalikan kita ke pangkalan tempat kita tegak. Baik perang atau damai, atau menyatakan taat kepada Allah dan Rasul, melakukan syafaat kepada sesama Muslim dan sebagainya itu, malahan sampai kepada mengembalikan amanah kepada ahlinya dan menjalankan hukum dengan adil. Pangkalan semuanya itu adalah satu belaka, yaitu Allah, tidak ada Allah melainkan Dia!
Dari mana pun seorang Muslim memandang dan apa pun yang dipandangnya, urusan perang dan damai, urusan menyusun pemerintahan dan menegakkan keadilan, semuanya ialah dengan mengingat Allah, tidak ada Allah melainkan Dia. Urusan dunia yang mana pun yang kita hadapi, kita insaf, “Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu pada hari Kiamat." Sejauh-jauh kamu berjalan, secerdik-cerdik kamu berurusan, ingatlah olehmu satu perkara, yaitu kamu akan kembali kepada Allah dan kamu akan dikumpulkan di hari Kiamat, amalanmu akan diperhitungkan dengan teliti.
Oleh sebab itu, janganlah kamu berlaku curang. Hari depan itu, hari Kiamat, hari diperhitungkan, hari dipertimbangkan, dan hari menerima balasan, adalah hari yang benar, “Tidak ada keraguan lagi pada-Nya." Apabila engkau telah percaya bahwa Allah Ada, engkau pun wajib percaya akan datangnya hari itu. Apabila kamu ragu akan adanya hari Pembalasan, kehidupanmu pun akan diliputi keraguan belaka. Itulah yang akan membawa celaka dan kecewa kamu. Dan yang mengatakan bahwa hari Kiamat bukanlah hari yang patut diragukan, adalah Allah Ta'aala sendiri,
“Dan siapakah yang akan terlebih benar ucapannya, selain dari Allah?"
Inilah pertanyaan Allah (istifham) yang berupa tantangan (inkari), Siapa?
Coba cari dan coba tunjukkan. Siapa di antara manusia ini yang omongannya dapat dipegang? Mana kata yang lebih benar daripada kata Allah?
Kita akan tertipu terpedaya kalau kita ikut dan turuti kata manusia, apatah lagi kalau setan yang memperdayakan. Usia kita akan habis meraba-raba dalam kelam kalau perkataan Ailah kita abaikan. Sejarah selalu jadi pelajaran kita, bahwasanya yang selamat dan yang meninggalkan jejak baik hanyalah kata manusia yang berdasar kepada perkataan Allah. Kalau manusia telah menyeleweng dari perkataan Allah, segala rencananya akan gagal dan dia akan mati sesudah melalui jalan buntu.