Ayat
Terjemahan Per Kata
فَقَٰتِلۡ
maka berperanglah
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
لَا
tidak
تُكَلَّفُ
kamu dibebani
إِلَّا
kecuali/melainkan
نَفۡسَكَۚ
dirimu sendiri
وَحَرِّضِ
dan kobarkanlah semangat
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
orang-orang mukmin
عَسَى
mudah-mudahan
ٱللَّهُ
Allah
أَن
akan
يَكُفَّ
menolak
بَأۡسَ
kekuatan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْۚ
kafir/ingkar
وَٱللَّهُ
dan Allah
أَشَدُّ
sangat
بَأۡسٗا
kekuatan
وَأَشَدُّ
dan sangat
تَنكِيلٗا
keras
فَقَٰتِلۡ
maka berperanglah
فِي
di
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
لَا
tidak
تُكَلَّفُ
kamu dibebani
إِلَّا
kecuali/melainkan
نَفۡسَكَۚ
dirimu sendiri
وَحَرِّضِ
dan kobarkanlah semangat
ٱلۡمُؤۡمِنِينَۖ
orang-orang mukmin
عَسَى
mudah-mudahan
ٱللَّهُ
Allah
أَن
akan
يَكُفَّ
menolak
بَأۡسَ
kekuatan
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْۚ
kafir/ingkar
وَٱللَّهُ
dan Allah
أَشَدُّ
sangat
بَأۡسٗا
kekuatan
وَأَشَدُّ
dan sangat
تَنكِيلٗا
keras
Terjemahan
Maka, berperanglah engkau (Nabi Muhammad) di jalan Allah. Tidaklah engkau dibebani (tanggung jawab), kecuali (yang terkait) dengan dirimu sendiri. Kobarkanlah (semangat) orang-orang mukmin (untuk berperang). Semoga Allah menolak serangan orang-orang yang kufur itu. Allah sangat dahsyat kekuatan-Nya dan sangat keras siksaan-Nya.
Tafsir
(Maka berperanglah kamu) hai Muhammad (di jalan Allah kamu tidaklah dibebani kecuali dengan kewajibanmu sendiri) maka janganlah pedulikan keengganan mereka dalam berperang itu. Artinya, berperanglah kamu walau seorang diri, karena kamu telah dijamin akan beroleh kemenangan (dan kerahkanlah orang-orang mukmin) anjurkan mereka buat bertempur dan kobarkan semangat mereka (semoga Allah menahan kekerasan) artinya serangan (orang-orang kafir itu. Dan Allah lebih keras lagi) dari mereka (dan lebih hebat lagi siksa-Nya). Maka sabda Nabi ﷺ, "Demi Tuhan yang diri saya berada dalam kekuasaan-Nya, saya akan pergi walaupun hanya seorang diri!" Lalu pergilah ia bersama 70 orang berkuda ke Badar Shughra sehingga Allah pun menolak serangan orang-orang kafir itu dengan meniupkan ketakutan ke dalam hati mereka dan menahan Abu Sofyan supaya tidak keluar sebagaimana telah disebutkan dalam surah Ali Imran.
Tafsir Surat An-Nisa': 84-87
Maka berperanglah kamu (Muhammad) pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang). Mudah-mudahan Allah menolak (mematahkan) serangan orang-orang kafir itu. Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa-Nya.
Barang siapa yang memberikan syafaat (pertolongan) yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya. Dan barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa. Sesungguhnya Allah membuat perhitungan atas segala sesuatu.
Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kalian di hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataannya daripada Allah?
Ayat 84
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba dan Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad ﷺ) untuk ikut terjun ke dalam kancah peperangan, berjihad di jalan Allah. Barang siapa yang menolak, tidak ikut berperang, maka tiada paksaan atas dirinya untuk mengikuti peperangan. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri.” (An-Nisa: 84)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Anir ibnu Nabih, telah menceritakan kepada kami Hakkam, telah menceritakan kepada kami Al-Jarrah Al-Kindi, dari Abu Ishaq yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Barra ibnu Azib tentang seorang lelaki yang menghadapi musuh sebanyak seratus orang, tetapi ia tetap berperang melawan mereka, yang pada akhirnya dia termasuk orang yang disebut di dalam firman-Nya: “Dan janganlah kalian menjatuhkan diri kalian sendiri ke dalam kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195) Maka Al-Barra ibnu Azib menjawab bahwa Allah ﷻ telah berfirman pula kepada Nabi-Nya, yaitu: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An-Nisa: 84) Dengan kata lain, lelaki tersebut tidak termasuk ke dalam larangan yang disebutkan ayat di atas.
Imam Ahmad meriwayatkannya melalui Sulaiman ibnu Daud, dari Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Abu Ishaq yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Barra mengenai seorang lelaki yang maju sendirian melawan orang-orang musyrik yang jumlahnya banyak, apakah dia termasuk orang yang menjatuhkan dirinya ke dalam kebinasaan? Al-Barra menjawabnya tidak, karena sesungguhnya Allah mengutus Rasul-Nya dan berfirman kepadanya: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri.” (An-Nisa: 84) Sesungguhnya hal yang kamu sebutkan hanyalah menyangkut masalah nafkah.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy dan Ali ibnu Abu Saleh, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra dengan lafal yang sama.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Nadr Al-Askari, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Abdur Rahman Al-Harsi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Himyar, telah menceritakan kepada kami Sufyan As'-Sauri, dari Abu Ishaq, dari Al-Barra yang menceritakan bahwa ketika diturunkan kepada Nabi ﷺ ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Maka berperanglah kamu pada jalan Allah, tidaklah kamu dibebani melainkan atas dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An-Nisa: 84), hingga akhir ayat. Lalu Nabi ﷺ bersabda kepada sahabat-sahabatnya: “Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk berperang. Karena itu, berperanglah kalian.” Hadis ini berpredikat gharib.
Firman Allah ﷻ: “Kobarkanlah semangat orang-orang mukmin (untuk berperang).” (An-Nisa: 84)
Artinya, bangkitkanlah semangat untuk berperang, kobarkanlah semangat mereka, dan tanamkanlah keberanian mereka untuk berperang. Seperti yang beliau ﷺ katakan kepada para sahabatnya dalam Perang Badar ketika beliau sedang merapikan saf mereka: “Bangkitlah kalian menuju surga yang luasnya seluas bumi dan langit!” Banyak hadits yang diriwayatkan mengenai masalah ini, yaitu anjuran berperang di jalan Allah, antara lain adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan puasa bulan Ramadan, maka sudah semestinya bagi Allah memasukkannya ke dalam surga, baik ia hijrah di jalan Allah ataupun tetap tinggal di tempat kelahirannya.” Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, bolehkah kami menyampaikan berita gembira ini kepada orang-orang?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di dalam surga terdapat seratus derajat (tingkatan) yang telah disediakan oleh Allah bagi orang-orang yang berjihad dijalan Allah; jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi. Apabila kalian memohon kepada Allah, mintalah kepadaNya surga Firdaus, karena sesungguhnya surga Firdaus adalah tengah-tengah surga dan surga yang paling tinggi. Di atasnya terdapat Arasy Tuhan Yang Maha Pemurah, dan dari surga Firdaus mengalirlah semua sungai surga.”
Diriwayatkan hal yang serupa melalui hadits Ubadah, Mu'az, dan Abu Darda.
Dari Abu Sa'id Al-Khudri, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Abu Sa'id, barang siapa yang rela Allah sebagai Tuhannya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad sebagai Rasul dan Nabi (panutannya), maka pastilah ia masuk surga.” Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa mendengar hal itu Abu Sa'id merasa takjub, lalu bertanya, "Ulangilah lagi kepadaku, wahai Rasulullah." Abu Sa'id mengucapkan demikian sebanyak tiga kali, kemudian baru Rasulullah ﷺ bersabda lagi: “Dan (amalan) yang lain menyebabkan Allah mengangkat seorang hamba karenanya seratus derajat (tingkatan) di dalam surga; jarak antara tiap-tiap dua derajat sama dengan jarak antara langit dan bumi.” Abu Sa'id Al-Khudri bertanya, "Wahai Rasulullah, amalan apakah itu?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Berjihad di jalan Allah.” Hadis riwayat Imam Muslim.
Firman Allah ﷻ: “Mudah-mudahan Allah mematahkan serangan orang-orang kafir itu.” (An-Nisa: 84)
Yaitu berkat upayamu dalam mengobarkan semangat mereka untuk berjihad, maka bangkitlah semangat mereka untuk melawan musuh-musuh mereka, membela negeri Islam dan para pemeluknya, serta berjuang melawan mereka dengan penuh keteguhan dan kesabaran.
Firman Allah ﷻ: “Allah amat besar kekuatan dan amat keras siksa-(Nya).” (An-Nisa: 84)
Artinya, Dia berkuasa terhadap mereka di dunia dan di akhirat.
Perihalnya sama dengan makna yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Demikianlah, apabila Allah menghendaki, niscaya Allah akan membinasakan mereka, tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian dengan sebagian yang lain.” (Muhammad: 4), hingga akhir ayat.
Ayat 85
Adapun firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang memberikan syafaat yang baik, niscaya ia akan memperoleh bagian (pahala) darinya.” (An-Nisa: 85) Maksudnya, barang siapa yang berusaha (memberi contoh teladan) dalam suatu urusan, lalu ia menghasilkan hal yang baik darinya, maka dia memperoleh bagian darinya.
“Dan barang siapa yang memberi syafaat yang buruk, niscaya ia akan memikul bagian (dosa) darinya.” (An-Nisa: 85)
Yakni dia memperoleh dosa dari urusan tersebut yang diusahakannya (memberi contoh buruk) dan telah diniatkannya sejak semula. Seperti yang disebutkan di dalam hadits sahih dari Nabi ﷺ, bahwa beliau ﷺ pernah bersabda: “Berikanlah syafaat, niscaya kamu beroleh pahala, dan Allah memutuskan melalui lisan Nabi-Nya apa yang dikehendaki-Nya.”
Mujahid ibnu Jabr mengatakan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan syafaat orang-orang yang diberikan oleh sebagian mereka untuk sebagian yang lain.
Al-Hasan Al-Basri mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang memberikan syafaat.” (An-Nisa: 85) Dalam ayat ini tidak disebutkan barang siapa yang beroleh syafaat.
Firman Allah ﷻ: “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisa: 85) Menurut Ibnu Abbas, ‘Atha’, Atiyyah, Qatadah, dan Matar Al-Warraq, yang dimaksudkan adalah Yang Maha Memelihara.
Menurut Mujahid, maksudnya adalah Maha Menyaksikan. Menurut riwayat yang lain darinya, makna yang dimaksud ialah Maha Menghitung.
Sa'id ibnu Jubair, As-Suddi, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah Yang Maha Kuasa.
Menurut Abdullah ibnu Kasir, makna yang dimaksud ialah Yang Maha Mengawasi.
Menurut Adh-Dhahhak, al-muqit artinya Yang Maha Memberi Rezeki.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Mutarrif, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Ismail, dari seorang lelaki, dari Abdullah ibnu Rawwahah, bahwa ia pernah ditanya oleh seorang lelaki tentang makna firman-Nya: “Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (An-Nisa: 85) Maka ia menjawab bahwa Allah membalas setiap orang sesuai dengan amal perbuatannya.
Ayat 86
Firman Allah ﷻ: “Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa.” (An-Nisa: 86) Apabila seorang muslim mengucapkan salam kepada kalian, maka balaslah salamnya itu dengan salam yang lebih baik darinya, atau balaslah ia dengan salam yang sama. Salam lebihan hukumnya sunat, dan salam yang serupa hukumnya fardu.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnus Sirri Al-Intaki, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Lahiq, dari Asim Al-Ahwal, dari Abu Usman An-Nahdi, dari Salman Al-Farisi yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu ia mengucapkan, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah (semoga keselamatan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah)." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan atas dirimu.” Kemudian datang pula lelaki yang lain dan mengucapkan, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah, warahmatullahi (semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah)." Maka beliau ﷺ menjawab: “Semoga keselamatan dan rahmat serta berkah Allah terlimpahkan atas dirimu.” Lalu datang lagi lelaki yang lain dan mengucapkan, "Assalamu 'alaika, ya Rasulullah, warahmatullahi wabarakatuh (semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah)." Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Hal yang sama semoga terlimpahkan kepadamu.” Maka lelaki yang terakhir ini bertanya, "Wahai Nabi Allah, demi ayah dan ibuku yang menjadi tebusanmu, telah datang kepadamu si anu dan si anu, lalu keduanya mengucapkan salam kepadamu dan engkau menjawab keduanya dengan jawaban yang lebih banyak dari apa yang engkau jawabkan kepadaku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Karena sesungguhnya engkau tidak menyisakannya buatku barang sedikit pun, Allah ﷻ telah berfirman, ‘Apabila kalian diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa’. (An-Nisa: 86) maka aku menjawabmu dengan salam yang serupa.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim secara mu'allaq. Untuk itu ia mengatakan, telah diriwayatkan dari Ahmad ibnul Hasan dan Imam At-Tirmidzi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnus Sirri Abu Muhammad Al-Intaki, bahwa Abul Hasan (seorang lelaki yang saleh) mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Lahiq, lalu ia mengetengahkan berikut sanadnya dengan lafal yang serupa.
Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan pula, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi ibnu Qani', telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Lahiq Abu Usman, lalu ia mengetengahkan hadits yang serupa, tetapi aku tidak melihatnya di dalam kitab musnad.
Hadis ini mengandung makna yang menunjukkan bahwa tidak ada tambahan dalam jawaban salam yang bunyinya mengatakan, "Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Seandainya disyariatkan salam yang lebih banyak dari itu, niscaya Rasulullah ﷺ menambahkannya.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Kasir (saudara lelaki Sulaiman ibnu Kasir), telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Auf, dari Abu Raja Al-Utaridi, dari Imran ibnul Husain yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu mengucapkan, "Assalamu 'al'aikum, ya Rasulullah," lalu Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan jawaban yang sama, kemudian beliau duduk dan bersabda, "Sepuluh." Kemudian datang lelaki lainnya dan mengucapkan, "Assalamu 'alaikum warahmatullahi, ya Rasulullah," lalu Rasulullah ﷺ menjawabnya dengan jawaban yang sama, kemudian duduk dan bersabda, "Dua puluh." Lalu datang lelaki lainnya dan bersalam, "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," maka Nabi ﷺ membalasnya dengan salam yang serupa, kemudian duduk dan bersabda, "Tiga puluh."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, dari Muhammad ibnu Kasir.
Imam At-Tirmidzi mengetengahkannya, begitu pula Imam An-Nasai dan Al-Bazzar yang juga melalui hadits Muhammad ibnu Kasir. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat gharib bila ditinjau dari sanadnya. Dalam bab yang sama diriwayatkan pula hadits dari Abu Sa'id, Ali, dan Sahl ibnu Hanif. Al-Bazzar mengatakan bahwa hal ini telah diriwayatkan pula dari Nabi ﷺ melalui berbagai jalur, dan hadits ini merupakan hadits yang paling baik sanadnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Harb Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Humaid ibnu Abdur Rahman Ar-Rawasi, dari Al-Hasan ibnu Saleh, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, "Barang siapa yang mengucapkan salam kepadamu dari kalangan makhluk Allah, jawablah salamnya, sekalipun dia adalah seorang Majusi." Demikian itu karena Allah ﷻ telah berfirman: “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa.” (An-Nisa: 86)
Qatadah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya.” (An-Nisa: 86) Yakni kepada orang-orang muslim (yang mengucapkan salam kepadamu).
“Atau balaslah penghormatan itu dengan yang serupa." (An-Nisa: 86) ditujukan kepada kafir zimmi. Akan tetapi, takwil ini masih perlu dipertimbangkan, atas dasar hadits di atas tadi yang menyatakan bahwa makna yang dimaksud ialah membalas salam penghormatan dengan yang lebih baik. Apabila seorang muslim mengucapkan salam penghormatan dengan lafal salam yang maksimal dari apa yang disyariatkan, maka balasannya adalah salam yang serupa.
Terhadap ahli zimmah (kafir zimmi), mereka tidak boleh dimulai dengan salam; dan jawaban terhadap mereka tidak boleh dilebihkan, melainkan hanya dibalas dengan yang singkat, seperti yang disebutkan di dalam kitab Shahihain melalui Ibnu Umar, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Apabila orang Yahudi mengucapkan salam kepada kalian, maka sebenarnya yang diucapkan seseorang dari mereka adalah, ‘As-Samu'alaikum’ (kebinasaan semoga menimpa kamu), maka katakanlah, ‘Wa'alaika (dan semoga kamu pun mendapat yang serupa)’."
Di dalam Sahih Muslim disebut melalui Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Janganlah kalian memulai salam kepada orang Yahudi dan orang Nasrani, dan apabila kalian berjumpa dengan mereka di jalan, maka desaklah mereka ke tempat yang paling sempit.”
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari seorang laki-laki, dari Al-Hasan Al-Basri yang mengatakan bahwa mengucapkan salam hukumnya sunat, sedangkan menjawabnya adalah wajib. Pendapat yang dikatakan oleh Al-Hasan Al-Basri ini juga dikatakan oleh semua ulama, bahwa menjawab salam hukumnya wajib bagi orang yang ditujukan salam kepadanya. Maka berdosalah dia jika tidak melakukannya, karena dengan begitu berarti dia telah melanggar perintah Allah yang ada di dalam firman-Nya: “Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa).” (An-Nisa: 86)
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud berikut sanadnya yang sampai kepada Abu Hurairah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, kalian tidak dapat masuk surga sebelum beriman, dan kalian belum beriman sebelum saling mengasihi. Maukah aku tunjukkan kalian kepada satu amalan yang apabila kalian melakukannya, niscaya kalian akan saling mengasihi, yaitu: ‘Tebarkanlah salam di antara kalian’."
Ayat 87
Firman Allah ﷻ: “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia.” (An-Nisa: 87)
Ini merupakan pemberitahuan tentang keesaan-Nya dan hanya Dialah Tuhan semua makhluk. Ungkapan ini mengandung qasam (sumpah) bagi firman selanjutnya, yaitu: “Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kalian di hari kiamat, yang tidak ada keraguan padanya.” (An-Nisa: 87) Huruf lam yang terdapat pada lafal merupakan pendahuluan bagi qasam.
Dengan demikian, maka firman-Nya: “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia.” (An-Nisa: 87) merupakan kalimat berita dan sekaligus sebagai sumpah yang menyatakan bahwa Dia kelak akan menghimpun semua manusia dari yang awal hingga yang terakhir di suatu padang (mahsyar), yakni pada hari kiamat nanti. Lalu Dia memberikan balasan kepada setiap orang yang beramal sesuai dengan amalnya masing-masing.
Firman Allah ﷻ: “Dan siapakah yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (An-Nisa: 87)
Yakni tiada seorang pun yang lebih benar daripada Allah dalam perkataan, berita, janji, dan ancamanNya. Maka tidak ada Tuhan selain Dia, dan tidak ada Penguasa selain Dia.
Maka berperanglah engkau, Nabi Muhammad dan kaum muslim, di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan ingatlah bahwa engkau tidaklah dibebani melainkan atas kewajiban yang diletakkan pada dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang di jalan Allah. Mudah-mudahan Allah menolak dengan cara mematahkan serangan orang-orang yang kafir itu. Allah sangat besar kekuatan-Nya untuk mengalahkan para penentang agama Allah itu dan sangat keras siksaan-Nya bagi kedurhakaan orang-orang munafik ituBarang siapa memberi pertolongan, kapan pun dan di mana pun, dengan sebuah pertolongan yang baik, niscaya dia akan memperoleh bagian pahala dari pahala orang yang mengerjakan-nya. Dan barang siapa memberi pertolongan dengan sebuah pertolongan yang buruk, niscaya dia akan memikul bagian dosa dari dosa orang yang mengerjakannya. Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.
Perintah perang untuk menahan serangan pihak kafir ini ditujukan langsung oleh Allah kepada Nabi-Nya dan Allah menghendaki pelaksanaan perintah perang ini atas dasar ketaatan dan berserah diri kepada-Nya tanpa menggantungkan harapan kepada orang-orang munafik yakni dengan mengharap bantuan kaum munafik. Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan kepada orang-orang mukmin untuk ikut memerangi orang-orang kafir. Sejarah membuktikan pada Perang Uhud betapa ketabahan Rasulullah menjalankan perintah Allah meskipun pasukan Muslimin berada dalam keadaan kacau balau. Dalam ayat ini Allah menjanjikan akan melemahkan kekuatan orang-orang kafir, karenanya sudah sewajarnya kaum Muslimin tidak merasa khawatir, bahkan hendaknya semakin patuh kepada Rasulullah dengan memenuhi anjurannya untuk turut memerangi orang-orang kafir dengan keyakinan bahwa Allah Mahakuat dan memenuhi janji-Nya, memberikan kemenangan kepada Rasulullah beserta orang-orang mukmin.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setengah dari perangai orang banyak ialah suka sekali membicarakan soal-soal kenegaraan dan mengambil kesimpulan sendiri. Bukan karena adanya rasa tanggung jawab, melainkan kadang-kadang hanya untuk menunjukkan bahwa mereka pun tahu. Di sinilah pangkal bisik-desus yang tidak berujung berpangkal sehingga kabar yang sehasta jadi sedepa. Dan bagaimanapun teraturnya jalan pemerintahan, golongan yang tidak puas mesti ada. Walaupun yang mereka rasakan tidak puas itu ialah memikul kewajiban mesti mereka pikul kalau mereka hendak bernegara dan bermasyarakat. Misalnya tentang berperang. Kalau musuh telah mengancam, negara mesti siap perang, bahkan mesti perang. Orang-orang yang jiwanya terbelakang memandang perang itu mengusik kesenangan mereka. Mereka ini pun mengeluh, lama-lama berbisik-bisik mencari teman yang sama-sama tidak puas. Di sinilah sebabnya banyak soal negara yang penting menjadi buah bisik golongan yang tidak puas, ini ada di mana-mana, baik dahulu ataupun sekarang. Ini pun ada di zaman Nabi!
Perbuatan ini dalam pandangan agama termasuk munafik. Inilah yang akan dicela pada ayat yang telah kita tafsirkan ini.
Ayat 83
“Dan apabila datang kepada mereka suatu hal, daiihal keamanan ataupun darihal kecemasan, mereka siar-siarkan dia."
Selama 10 tahun Rasulullah ﷺ berada di Madinah, tidaklah sunyi-sunyi dari berita yang menyenangkan atau mencemaskan. Sebab tidak henti-hentinya pergi berperang atau akan diserang musuh dari luar. Seibarat suatu negeri yang dalam keadaan siap siaga (SOB) Kadang-kadang Rasulullah ﷺ mengirimkan angkatan perang menantang musuh di satu tempat. Kadang-kadang sebelum mereka kembali sudah sampai berita bahwa mereka akan pulang membawa kemenangan yang besar dan rampasan yang banyak. Ini pun namanya kabar keamanan yang menimbulkan gembira.
Kadang-kadang datang pula kabar yang mencemaskan. Misalnya bahwa kaum Quraisy telah berangkat dari Mekah dengan pimpinan Abu Sufyan, sekian banyak jumlah orangnya. Mereka akan menyerbu Madinah. Atau orang Rum telah sampai ke perbatasan dengan satu angkatan perang besar.
Orang banyak di mana-mana suka sehati menyebarkan kabar-kabar begini. Karena tidak ada tanggung jawab, bisa saja dilebih-lebihi. Padahal penyebaran kabar berantai sebagaimana demikian, baik kabar yang me-nyenangkan atau kabar aman, ataupun kabar yang mencemaskan, keduanya itu tidak ada faedahnya. Kabar aman bisa saja menimbulkan pengharapan yang berlebih-lebihan. Bisa pula menimbulkan gelisah pihak musuh munafik yang ada dalam kota Madinah. Apatah lagi kalau kemudian ternyata bahwa kabar itu hanya bohong belaka. Niscaya kepercayaan orang kepada Rasul akan berkurang. Sebaliknya kalau tersiar kabar yang mencemaskan, nis-caya pihak munafik yang ada dalam kota akan sangat gembira mendengar berita itu, yang menimbulkan dendam dalam hati orang yang telah beriman. Maka pada pangkal ayat ini tegaslah dicela penyebar-nyebar kabar berita beranting itu. Sebab satu berita yang demikian bentuknya lebih banyak dilebih-lebihi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,
“Padahal kalau mereka kembalikan dia kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa daripada mereka, niscaya diketahuilah akan hal itu oleh orang yang menyelidikinya dari mereka." Tegasnya kalau diterima kabar-kabar seperti itu, baik yang membawa keamanan maupun yang membawa kecemasan, hendaklah segera kembalikan kepada Rasul sebagai pimpinan tertinggi dan kepada pemegang pekerjaan, ulil amri, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang utama yang berada di sekeliling beliau. Artinya lekas laporkan, jangan dibawa dahulu ke pasar untuk disiar-siarkan dengan tidak bertanggung jawab. Maka di antara penguasa-penguasa tadi, yang semuanya adalah dari diri kamu sendiri, atau pemimpinmu, ada kelak yang akan menilai perkabaran itu tentang benar atau tidaknya. Atau hanya semata-mata bisik-desus yang tidak berujung pangkal yang bisa saja menimbulkan kacau, membawa perpecahan atau melemahkan semangat, atau memecah-belah penduduk kota yang sedang bertahan. Dalam kata sekarang, kabar itu akan dicek kebenarannya! Kemudian datanglah sambungan ayat yang menyatakan bahaya dari penyebaran kabar-kabar seperti itu,
“Dan kalau bukanlah Kurunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya, sesungguhnya kamu semua telah mengikuti setan, kecuali sedikit."
Di sini dijelaskan bahwasanya kabar-kabar yang datang kepada kamu itu lalu kamu siar-siarkan sebelum dinilai oleh ahlinya tentang kebenaran berita itu, dengan tidak kamu sadari kamu telah mengikuti setan. Yang menjadi setan pertama ialah penyiar pertama dari kabar itu atau yang mengarangkannya. Kemudian berturut-turut timbul setan yang lain-lain, yaitu penambah dan pembumbu kabar itu sehingga orang jadi kacau. Biasanya yang tertarik oleh provokasi hasutan setan itu ialah orang banyak. Orang banyak yang tidak bertanggung jawab. Orang banyak yang bisa saja dibawa oleh gelombang bisik desus umum. Kabar yang masih meragukan bisa saja mereka terima sebagai suatu kebenaran. Inilah yang di zaman kita disebut psywar, perang urat saraf, atau isu-isu yang membuat kacau pikiran. Tukang-tukang membuat bisik desus dan isu-isu itu adalah setan belaka. Hanya sedikit orang yang tidak akan terkena oleh kabar-kabar semacam itu, yaitu orang yang masih berpikiran sehat. Adapun orang banyak, payahlah membebaskan diri dari pengaruh kabar-kabar yang orang banyak itu sendiri telah tenggelam ke dalamnya.
Itulah perlunya bila datang suatu berita baik yang mengamankan pikiran atau yang mendatangkan cemas supaya lekas dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Orang-orang yang ditentukan untuk menyelidiki berita itu akan menilainya. Orang-orang yang menyelidiki itu disebut di dalam ayat Alladzina Yastanbithunahu. Yasthanbithunahu adalah fi'il mudahri', dari pokok kata (mashdar) Isthin-baath, yang boleh juga diartikan ahli analisis. Dari ayat ini kita telah mendapat kesan pula bahwa pemerintahan yang teratur mengadakan badan intelijen, yang selalu mencari berita, dan menilai berita itu, dan menjaga pengaruhnya kepada umum.
Dari sini seorang yang mengaku beriman kepada Allah mendapat pengajaran bahwa tidaklah layak segala yang didengar lalu dibicarakan kepada orang lain sebab siar-me-nyiarkan itu saja sudah boleh dimasukkan dalam berdusta. Dengan menyebar-nyebarkan suatu kabar ganjil seseorang hendak menyatakan suatu keistimewaan dirinya daripada orang lain, bahwa dia segala tahu. Dia berdekat dengan “orang di atas" Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda,
“Cukuplah seseorang menjadi pendusta kalau dia hendak membicarakan segala yang didengarnya." (HR Muslim)
Dari ayat ini juga as-Sayuthi dapat mengambil kesimpulan bahwa sesuatu perkara yang datang itu, baik yang mengamankan ataupun yang mencemaskan, disuruh segera mengembalikannya kepada Rasul dan ulilamri, adalah menjadi pokok terbesar bagi membuka pintu ijtihad dan istinbaath. Sebagaimana juga al-Muhasyammi mengatakan, “Kalau di dalam Al-Qur'an terdapat perkara yang menimbulkan perselisihan pendapat, wajiblah mereka mencari tafsirnya kepada Rasul dan kepada ulama-ulama. Sebab ulama-ulama itulah yang sebenar uli! amri, sesudah Rasul. Supaya ulama itu mengajarkan kepada mereka hasil ijtihad dalam mengistinbaathkan hukum yang sesuai.
NABI YANG DI MUKA SEKALI
Kemudian datanglah perintah berjuang kepada Rasul,
Ayat 84
“Maka berperanglah engkau pada jalan Allah, tidaklah diberati melainkan diri engkau sendiri."
Di dalam ayat ini kita dapat melihat betapa beratnya tanggung jawab seorang Rasul. Menurut penelitian ahli tafsir, susunan wahyu di ayat ini ada hubungannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Sekarang itu terdapat bukan sedikit orang yang munafik. Meskipun demikian, namun perjuangan dan peperangan mesti diteruskan. Jangan ragu melihat keadaan demikian. Engkau sendiri terlebih dahulu mengerahkan dirimu. Jangan dahulu engkau mengajak orang lain, sebelum engkau sadari benar-benar bahwa engkau adalah orang pertama yang akan memimpin. Asal telah engkau bulatkan tekadmu, bahwa perang ini akan engkau lanjutkan jua, walaupun seorang diri, niscaya Allah akan menolong engkau. Bukan bergantung kepada bilangan tentara, melainkan kepada pertolongan Allah sendiri. Dengan demikian walaupun ada yang munafik, engkau tidak akan merasa kecewa sebab dirimu telah mempunyai tekad yang bulat. Kalau hatimu sudah sampai demikian bulatnya, dengan sendirinya kelak dari kalangan pengikutmu yang banyak itu akan ada yang bersedia berdiri di sampingmu menghadapi segala bahaya; itulah orang yang beriman. Tetapi kalau engkau mulai menyatakan diri, kawan yang sepaham itu tidak akan timbul sehingga kemunafikan juga yang akan memengaruhi suasana.
Setelah tekad diri sendiri bulat, datanglah kelanjutan, “Dan kerahkanlah orang-orang yang beriman." Melihat tekad bulat pimpinannya, orang-orang yang beriman tidak akan ragu-ragu lagi mengikut apabila mereka di-kerahkan. Di saat itu suara si munafik dan ke-pengecutan mereka tidak akan bisa lagi memengaruhi suasana.
Ayat ini memberi ajaran kita pula betapa pentingnya kebesaran semangat pemegang komando tertinggi dalam suatu peperangan. Pemimpin sendiri orang satu-satunya yang ingin melanjutkan perang walaupun sendirian. Di dalam sekalian sejarah peperangan Nabi, dapat kita lihat betapa beliau sendirilah yang menjadi orang pertama memegang inisiatif dan di barisan muka. Dalam Perang Badar beliau langsung mengerahkan orang-orang yang ber-iman menyerbu musuh yang tiga kali lebih banyak. Dalam Peperangan Uhud keluarlah perkataan beliau yang terkenal, “Kalau seorang Rasul telah melekatkan pakaian perangnya, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah menentukan siapa di antara kedua belah pihak yang akan menang."
Dalam Peperangan Khandak beliau sendiri tutur menggali lubang (parit) pertahanan yang penting itu. Meskipun usia beliau telah meningkat 60 tahun, namun peperangan ke Tabuk yang terkenal betapa kesukaran yang dihadapi, beliau sendiri yang memimpinnya. Ingatlah perkataan beliau ketika hendak memenuhi janji dengan Abu Sufyan sesudah Peperangan Uhud, bahwa tahun depan mereka akan bertemu kembali di Badar. Nabi menyanggupi janji itu. Tetapi beberapa orang di antara tentaranya mundur hatinya karena dipertakut-takuti oleh Nu'aim bin Mas'ud al-Asy'ari yang mendapat upah menyebar berita menakut-nakuti oleh Abu Sufyan. Waktu itulah Nabi bersabda, “Demi Allah yang memegang diriku dalam tangan-Nya. Aku mesti pergi menemui Abu Sufyan di Badar walaupun seorang diriku." (Lihat Tafsir Juz 3 surah Aali ‘Imraan ayat 173)
Berkata ar-Razi dalam tafsirnya, “Ayat ini membuktikan bahwa Rasulullah memang yang segagah-gagah hamba Allah dan orang yang paling arif taktik peperangan. Tidaklah Allah akan mendatangkan wahyu demikian, menyuruh pergi perang walaupun sendirian, melainkan karena Allah Mahatahu bahwa Nabi-Nya memang seorang yang gagah perkasa."
Selanjutnya kata ar-Razi, “Dan kegagah-perkasaan beliau ini diteladan langsung oleh Abu Bakar ketika beliau memutuskan hendak memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Waktu itu diucapkannya pula, walaupun seorang diri, dia akan memerangi mereka. Memang seseorang yang telah tahu bahwa segala perkara di dunia ini adalah di tangan Allah, dan tidak sesuatu yang akan dapat dicapai kecuali dengan ketentuan Allah, merasa mudah berkata demikian," sekian ar-Razi.
Setelah itu, yaitu setelah Rasul bersedia menghadapi peperangan seorang diri dan kaum yang beriman telah padat pula semangatnya mengikuti Rasul, Allah berfirman, “Mudah-mudahan Allah akan menyekat kegagahan orang-orang yang kafir itu" Di lanjutan ayat ini jelas kita lihat bahwa yang amat diperlukan ialah bahwa Rasul sebagai orang pertama dan kaum yang beriman sebagai pengikut yang setia, semuanya sama-sama sudi mati karena mempertahankan yang hak. Di sini terjadilah pertempuran di antara dua semangat. Dengan semangat kaum Muslimin yang begitu besar, mudah-mudahan Allah dapat membendung penyerbuan orang kafir itu. Artinya semangat kafir akan lemah dan mereka akan mundur. Sebab yang mereka pertahankan bukanlah kebenaran. Hal ini tidak bergantung kepada banyak atau sedikitnya bilangan. Kemenangan di Badar dengan 300 kaum Muslimin dan kekalahan musyrikin yang 1.000 orang adalah kesaksian yang nyata dalam hal ini. Demikian juga kemunduran Abu Sufyan menghadapi janji pertemuan di Badar yang kedua kali.
Penutup ayat berkata, “Dan Allah adalah terlebih gagah." Sebab seluruh kekuatan di dalam alam ini adalah di tangan Allah belaka. Allah lebih gagah daripada kaum musyrikin itu. Allah menguasai hujan dan panas, menguasai medan dan cuaca dan juga menguasai hati manusia. Semuanya itu tidak terdapat pada musyirikin Quraisy yang menantang Allah.
“Dan terlebih ngeri siksaan-Nya “
Sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tafsir Ibnu Katsir, “Allah sanggup menjatuhkan balasan-Nya yang ngeri sejak dari dunia ini lalu ke akhirat"
Maka di dalam ayat ini diingatkan kepada Rasul dan orang-orang yang beriman bahwa selama dalam perjuangan (jihad) dan di mana saja pun menghadapi musuh, hendaklah dipegang teguh niat bahwa yang diperjuangkan sampai bersabung nyawa, ialah Sabilillah— Jalan Allah. Bukan jalan untuk kepentingan diri sendiri. Apabila orang berperang karena sabilillah, yang akan membantunya ialah Allah. Allah yang tidak dapat dilawan dan ditantang oleh siapa jua pun.
Di dalam ayat ini bertemulah perangsang kegagahperkasaan untuk Rasul dan umatnya, dan penggentar bagi musyrikin yang melawannya.