Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
جَآءَهُمۡ
datang kepada mereka
أَمۡرٞ
perkara/berita
مِّنَ
dari
ٱلۡأَمۡنِ
keamanan
أَوِ
atau
ٱلۡخَوۡفِ
ketakutan
أَذَاعُواْ
mereka menyiarkan
بِهِۦۖ
dengannya
وَلَوۡ
dan jikalau
رَدُّوهُ
mereka mengembalikan/menyerahkannya
إِلَى
kepada
ٱلرَّسُولِ
Rasul
وَإِلَىٰٓ
dan kepada
أُوْلِي
ulil
ٱلۡأَمۡرِ
amri
مِنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
لَعَلِمَهُ
tentu akan mengetahuinya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ
(mereka) menyelidikinya
مِنۡهُمۡۗ
dari/diantara mereka
وَلَوۡلَا
dan kalau tidak
فَضۡلُ
karunia
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَرَحۡمَتُهُۥ
dan rahmatNya
لَٱتَّبَعۡتُمُ
tentu kamu mengikuti
ٱلشَّيۡطَٰنَ
syaitan
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٗا
sedikit
وَإِذَا
dan apabila
جَآءَهُمۡ
datang kepada mereka
أَمۡرٞ
perkara/berita
مِّنَ
dari
ٱلۡأَمۡنِ
keamanan
أَوِ
atau
ٱلۡخَوۡفِ
ketakutan
أَذَاعُواْ
mereka menyiarkan
بِهِۦۖ
dengannya
وَلَوۡ
dan jikalau
رَدُّوهُ
mereka mengembalikan/menyerahkannya
إِلَى
kepada
ٱلرَّسُولِ
Rasul
وَإِلَىٰٓ
dan kepada
أُوْلِي
ulil
ٱلۡأَمۡرِ
amri
مِنۡهُمۡ
dari/diantara mereka
لَعَلِمَهُ
tentu akan mengetahuinya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ
(mereka) menyelidikinya
مِنۡهُمۡۗ
dari/diantara mereka
وَلَوۡلَا
dan kalau tidak
فَضۡلُ
karunia
ٱللَّهِ
Allah
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
وَرَحۡمَتُهُۥ
dan rahmatNya
لَٱتَّبَعۡتُمُ
tentu kamu mengikuti
ٱلشَّيۡطَٰنَ
syaitan
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٗا
sedikit
Terjemahan
Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu).
Tafsir
(Dan apabila datang kepada mereka suatu berita) mengenai hasil-hasil yang dicapai oleh ekspedisi tentara Nabi ﷺ (berupa keamanan) maksudnya kemenangan (atau ketakutan) maksudnya kekalahan (mereka lalu menyiarkannya). Ayat ini turun mengenai segolongan kaum munafik atau segolongan orang-orang mukmin yang lemah iman mereka, dan dengan perbuatan mereka itu lemahlah semangat orang-orang mukmin dan kecewalah Nabi ﷺ (Padahal kalau mereka menyerahkannya) maksudnya berita itu (kepada Rasul dan kepada Ulil amri di antara mereka) maksudnya para pembesar sahabat, jika mereka diam mengenai berita itu menunggu keputusannya (tentulah akan dapat diketahui) apakah hal itu boleh disiarkan atau tidak (oleh orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya) artinya yang mengikuti perkembangannya dan dituntut untuk mengetahuinya, mereka adalah orang-orang yang berhak menyiarkan berita itu (dari mereka) yakni Rasul dan Ulil amri (Dan kalau bukanlah karena karunia Allah kepadamu) yakni dengan agama Islam (serta rahmat-Nya) kepadamu dengan Al-Qur'an (tentulah kamu sekalian akan mengikuti setan) untuk mengerjakan kekejian-kekejian yang diperintahkannya (kecuali sebagian kecil saja di antaramu) yang tidak.
Tafsir Surat An-Nisa': 82-83
Maka apakah mereka tidak mentadaburi (menghayati/merenungkan) Al-Qur'an? Seandainya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).
Ayat 82
Allah ﷻ memerintahkan kepada mereka untuk memperhatikan apa yang terkandung di dalam Al-Qur'an, juga melarang mereka berpaling darinya dan dari memahami makna-maknanya yang muhkam (jelas/pasti) serta lafal-lafaznya yang mempunyai paramasastra (tata bahasa) yang tinggi. Allah ﷻ memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada pertentangan, tidak ada kelabilan, dan tidak ada perbedaan di dalam Al-Qur'an karena Al-Qur'an diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Al-Qur'an adalah kebenaran dari Tuhan Yang Maha Benar. Karena itulah dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
Kemudian Allah ﷻ berfirman: ‘Seandainya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah. (An-Nisa: 82) Seandainya Al-Qur'an itu dibuat-buat sendiri, seperti yang dikatakan oleh sebagian kaum musyrik dan kaum munafik yang bodoh dalam hati mereka.
“Tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Yaitu niscaya ditemukan banyak pertentangan dan kelabilan. Sedangkan Al-Qur'an itu ternyata bebas dari pertentangan; hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an itu dari sisi Allah. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, menyitir perkataan orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu melalui firman-Nya: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali Imran: 7) Baik yang muhkam (jelas) maupun yang mutasyabih (samar/belum jelas), semuanya benar. Karena itulah mereka mengembalikan (merujukkan) yang mutasyabih kepada yang muhkam, dan akhirnya mereka mendapat petunjuk.
Sedangkan orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengembalikan yang muhkam kepada yang mutasyabih; akhirnya mereka tersesat. Karena itulah dalam ayat ini Allah memuji sikap orang-orang yang mendalam ilmunya dan mencela orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Iyad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ia dan saudaranya duduk di sebuah majelis yang lebih ia sukai daripada memiliki ternak unta yang unggul. Ketika dia dan saudaranya telah berada di dalam majelis itu, tiba-tiba beberapa sesepuh dari kalangan sahabat Nabi ﷺ berada di sebuah pintu dari pintu-pintu yang biasa dilalui oleh Nabi ﷺ. Kami tidak suka untuk menyuruh mereka bergeser, sehingga kami terpaksa duduk di pinggir. Saat itu mereka sedang membicarakan suatu ayat dari Al-Qur'an, lalu mereka berdebat mengenainya hingga suara mereka saling menegang. Maka Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan marah hingga raut wajahnya kelihatan merah, lalu beliau menaburkan debu kepada mereka yang berdebat itu dan bersabda: “Tenanglah wahai kaum, karena hal inilah umat-umat terdahulu sebelum kalian binasa, yaitu karena pertentangan mereka dengan nabi-nabi mereka dan mengadu-adukan sebagian dari isi Al-Kitab dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya Al-Qur'an tidak diturunkan untuk menyanggah sebagian darinya terhadap sebagian yang lain. Tetapi ia diturunkan untuk membenarkan sebagian daripadanya terhadap sebagian yang lain. Karena itu, apa yang kalian ketahui dari Al-Qur'an, amalkanlah ia; dan apa yang kalian tidak mengerti darinya, maka kembalikanlah ia kepada yang mengetahuinya.”
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui Abu Mu'awiyah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ keluar, yaitu ketika para sahabat sedang memperbincangkan masalah takdir. Saat itu wajah beliau seakan-akan seperti biji delima yang merah karena marah. Lalu beliau ﷺ bersabda kepada mereka: “Mengapa kalian mengadu sebagian dari Kitabullah dengan sebagian yang lain? Hal inilah yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa.” Perawi mengatakan bahwa sejak saat itu tiada suatu majelis pun yang di dalamnya ada Rasulullah ﷺ yang lebih ia sukai daripada majelis tersebut. Sekiranya dia tidak menyaksikannya, tentu amat kecewalah dia.
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Daud ibnu Abu Hindun dengan sanad yang sama dan dengan lafal yang serupa.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Abu Imran Al-Juni yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Rabbah pernah menulis surat kepadanya, menceritakan sebuah hadits yang ia terima dari Abdullah ibnu Amr. Disebutkan bahwa pada suatu siang hari Abdullah ibnu Amr berangkat menemui Rasulullah ﷺ. Saat itu ketika dia dan yang lainnya sedang duduk, tiba-tiba ada dua orang berselisih pendapat tentang makna sebuah ayat, hingga suara mereka berdua menjadi mengeras dan bersitegang. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya penyebab yang membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah karena pertentangan mereka mengenai Al-Kitab.”
Imam Muslim dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Hammad ibnu Zaid dengan lafal yang sama.
Ayat 83
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.” (An-Nisa: 83)
Hal ini merupakan bantahan terhadap orang yang tergesa-gesa dalam menanggapi berbagai urusan sebelum meneliti kebenarannya, lalu ia memberitakan dan menyiarkannya, padahal belum tentu hal itu benar.
Imam Muslim mengatakan di dalam mukadimah (pendahuluan) kitab shahihnya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Syu'bah.dari Habib ibnu Abdur Rahman, dari Hafs ibnu Asim, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Cukuplah kebohongan bagi seseorang bila dia menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di dalam Kitabul Adab, bagian dari kitab sunnahnya, dari Muhammad ibnul Husain ibnu Isykab, dari Ali ibnu Hafs, dari Syu'bah secara musnad.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadits Mu'az ibnu Hisyam Al-Anbari dan Abdur-Rahman ibnu Mahdi. Begitu juga Imam Abu Dawud, meriwayatkannya melalui hadits Hafs ibnu Amr An-Namiri. Ketiga-tiganya dari Syu'bah, dari Habib, dari Hafs ibnu Asim dengan lafal yang sama secara mursal.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan dari Al-Mugirah ibnu Syu'bah hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ telah melarang perbuatan qil (katanya) dan qal (berkata dia). Makna yang dimaksud ialah melarang perbuatan banyak bercerita tentang apa yang dibicarakan oleh orang-orang tanpa meneliti kebenarannya, tanpa menyeleksinya terlebih dahulu, dan tanpa membuktikannya.
Di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Seburuk-buruk lisan seseorang adalah (mengatakan) bahwa mereka menduga (anu dan anu).”
Di dalam kitab sahih disebutkan hadits berikut, yaitu: “Barang siapa yang menceritakan suatu kisah, sedangkan ia menganggap bahwa kisahnya itu bohong, maka dia termasuk salah seorang yang berbohong.”
Dalam kesempatan ini kami ketengahkan sebuah hadits dari Umar ibnul Khattab yang telah disepakati kesahihannya: Ketika Umar ibnul Khattab mendengar berita bahwa Nabi ﷺ menceraikan istri-istrinya, maka ia datang dari rumahnya, lalu masuk ke dalam masjid, dan ia menjumpai banyak orang yang sedang memperbincangkan berita itu. Umar tidak sabar menunggu, lalu ia meminta izin menemui Nabi ﷺ dan menanyakan kepadanya apakah memang benar beliau menceraikan semua istrinya? Ternyata jawaban Rasulullah ﷺ negatif (yakni tidak). Maka ia berkata, "Allahu Akbar (Allah Maha Besar)," hingga akhir hadits. Menurut lafal yang ada pada Imam Muslim: aku (Umar) bertanya, "Apakah engkau menceraikan mereka semua?" Nabi ﷺ menjawab, "Tidak." Aku bangkit dan berdiri di pintu masjid, lalu aku berkata dengan suara keras, menyerukan bahwa Rasulullah ﷺ tidak menceraikan istri-istrinya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).” (An-Nisa: 83) Aku (kata Umar) termasuk salah seorang yang ingin mengetahui kebenaran perkara tersebut.
Maknanya adalah seharusnya menyimpulkan suatu berita langsung dari sumbernya. Dikatakan “lelaki itu menggali mata air dan mengeluarkan air dari dasarnya.”
Firman Allah ﷻ: “Tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (An-Nisa: 83)
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang mukmin.
Abdur-Razzak mengatakan, dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa firman Allah berikut: “Tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (An-Nisa: 83) Makna yang dimaksud ialah kalian semuanya niscaya akan mengikuti langkah setan. Orang yang mendukung pendapat ini (yakni yang mengartikan semuanya) memperkuat alasannya dengan ucapan At-Tirmah ibnu Hakim dalam salah satu bait syairnya ketika memuji Yazid ibnul Muhallab, yaitu: “Aku mencium keharuman nama orang yang sangat dermawan, tiada cela dan tiada kekurangan baginya.” Makna yang dimaksud ialah tidak ada cela dan tidak ada kekurangannya, sekalipun diungkapkan dengan kata sedikit cela dan kekurangannya.
Dan apabila sampai kepada mereka, orang-orang munafik itu, suatu berita yang belum dapat dibuktikan kebenarannya, baik tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung menyiarkannya dengan tujuan untuk menimbulkan kerancuan dan kekacauan. Padahal, apabila sebelum menyebarkan berita itu mereka menyerahkannya terlebih dahulu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya secara resmi dari mereka, yakni Rasul dan Ulil Amri. Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu berupa ajaran dan tuntunan hidup, tentulah kamu mengikuti langkah-langkah setan, kecuali sebagian kecil saja di antara kamu yang mengikuti petunjuk RasulMaka berperanglah engkau, Nabi Muhammad dan kaum muslim, di jalan Allah untuk menegakkan kebenaran dan keadilan, dan ingatlah bahwa engkau tidaklah dibebani melainkan atas kewajiban yang diletakkan pada dirimu sendiri. Kobarkanlah semangat orang-orang beriman untuk berperang di jalan Allah. Mudah-mudahan Allah menolak dengan cara mematahkan serangan orang-orang yang kafir itu. Allah sangat besar kekuatan-Nya untuk mengalahkan para penentang agama Allah itu dan sangat keras siksaan-Nya bagi kedurhakaan orang-orang munafik itu.
Orang yang lemah iman dan orang munafik suka menyiarkan berita-berita yang mereka ketahui terutama dalam keadaan perang yaitu berita-berita yang dibocorkan dari pihak markas tentara, tentang rahasia peperangan, dalam negeri atau luar negeri yang tidak wajar diketahui oleh khalayak umum.
Maksud mereka menyiarkan berita-berita itu adalah untuk mengacaukan keadaan. Tetapi kalau mereka bermaksud baik dan mereka mengembalikan berita itu kepada Rasul sebagai pimpinan tertinggi atau mereka kembalikan kepada ulil amri yaitu pemimpin dan orang-orang pemerintahan tentulah mereka akan mengetahui persoalan berita yang sebenarnya; mereka akan mendapat keterangan dari pemimpin dan orang pemerintahan. Dengan demikian keamanan umum tidak sempat terganggu.
Masyarakat akan terpengaruh oleh orang yang menyiarkan berita secara provokatif, kecuali orang yang kuat imannya yang selamat dari berita provokasi tersebut. Dengan rahmat dan karunia Allah kaum Muslimin terpelihara dari perangkap semacam itu karena mereka patuh pada Allah dan Rasul, serta mengembalikan segala urusan kepada pimpinan yang dipercayai.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setengah dari perangai orang banyak ialah suka sekali membicarakan soal-soal kenegaraan dan mengambil kesimpulan sendiri. Bukan karena adanya rasa tanggung jawab, melainkan kadang-kadang hanya untuk menunjukkan bahwa mereka pun tahu. Di sinilah pangkal bisik-desus yang tidak berujung berpangkal sehingga kabar yang sehasta jadi sedepa. Dan bagaimanapun teraturnya jalan pemerintahan, golongan yang tidak puas mesti ada. Walaupun yang mereka rasakan tidak puas itu ialah memikul kewajiban mesti mereka pikul kalau mereka hendak bernegara dan bermasyarakat. Misalnya tentang berperang. Kalau musuh telah mengancam, negara mesti siap perang, bahkan mesti perang. Orang-orang yang jiwanya terbelakang memandang perang itu mengusik kesenangan mereka. Mereka ini pun mengeluh, lama-lama berbisik-bisik mencari teman yang sama-sama tidak puas. Di sinilah sebabnya banyak soal negara yang penting menjadi buah bisik golongan yang tidak puas, ini ada di mana-mana, baik dahulu ataupun sekarang. Ini pun ada di zaman Nabi!
Perbuatan ini dalam pandangan agama termasuk munafik. Inilah yang akan dicela pada ayat yang telah kita tafsirkan ini.
Ayat 83
“Dan apabila datang kepada mereka suatu hal, daiihal keamanan ataupun darihal kecemasan, mereka siar-siarkan dia."
Selama 10 tahun Rasulullah ﷺ berada di Madinah, tidaklah sunyi-sunyi dari berita yang menyenangkan atau mencemaskan. Sebab tidak henti-hentinya pergi berperang atau akan diserang musuh dari luar. Seibarat suatu negeri yang dalam keadaan siap siaga (SOB) Kadang-kadang Rasulullah ﷺ mengirimkan angkatan perang menantang musuh di satu tempat. Kadang-kadang sebelum mereka kembali sudah sampai berita bahwa mereka akan pulang membawa kemenangan yang besar dan rampasan yang banyak. Ini pun namanya kabar keamanan yang menimbulkan gembira.
Kadang-kadang datang pula kabar yang mencemaskan. Misalnya bahwa kaum Quraisy telah berangkat dari Mekah dengan pimpinan Abu Sufyan, sekian banyak jumlah orangnya. Mereka akan menyerbu Madinah. Atau orang Rum telah sampai ke perbatasan dengan satu angkatan perang besar.
Orang banyak di mana-mana suka sehati menyebarkan kabar-kabar begini. Karena tidak ada tanggung jawab, bisa saja dilebih-lebihi. Padahal penyebaran kabar berantai sebagaimana demikian, baik kabar yang me-nyenangkan atau kabar aman, ataupun kabar yang mencemaskan, keduanya itu tidak ada faedahnya. Kabar aman bisa saja menimbulkan pengharapan yang berlebih-lebihan. Bisa pula menimbulkan gelisah pihak musuh munafik yang ada dalam kota Madinah. Apatah lagi kalau kemudian ternyata bahwa kabar itu hanya bohong belaka. Niscaya kepercayaan orang kepada Rasul akan berkurang. Sebaliknya kalau tersiar kabar yang mencemaskan, nis-caya pihak munafik yang ada dalam kota akan sangat gembira mendengar berita itu, yang menimbulkan dendam dalam hati orang yang telah beriman. Maka pada pangkal ayat ini tegaslah dicela penyebar-nyebar kabar berita beranting itu. Sebab satu berita yang demikian bentuknya lebih banyak dilebih-lebihi dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,
“Padahal kalau mereka kembalikan dia kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa daripada mereka, niscaya diketahuilah akan hal itu oleh orang yang menyelidikinya dari mereka." Tegasnya kalau diterima kabar-kabar seperti itu, baik yang membawa keamanan maupun yang membawa kecemasan, hendaklah segera kembalikan kepada Rasul sebagai pimpinan tertinggi dan kepada pemegang pekerjaan, ulil amri, yaitu sahabat-sahabat Nabi yang utama yang berada di sekeliling beliau. Artinya lekas laporkan, jangan dibawa dahulu ke pasar untuk disiar-siarkan dengan tidak bertanggung jawab. Maka di antara penguasa-penguasa tadi, yang semuanya adalah dari diri kamu sendiri, atau pemimpinmu, ada kelak yang akan menilai perkabaran itu tentang benar atau tidaknya. Atau hanya semata-mata bisik-desus yang tidak berujung pangkal yang bisa saja menimbulkan kacau, membawa perpecahan atau melemahkan semangat, atau memecah-belah penduduk kota yang sedang bertahan. Dalam kata sekarang, kabar itu akan dicek kebenarannya! Kemudian datanglah sambungan ayat yang menyatakan bahaya dari penyebaran kabar-kabar seperti itu,
“Dan kalau bukanlah Kurunia Allah atas kamu dan rahmat-Nya, sesungguhnya kamu semua telah mengikuti setan, kecuali sedikit."
Di sini dijelaskan bahwasanya kabar-kabar yang datang kepada kamu itu lalu kamu siar-siarkan sebelum dinilai oleh ahlinya tentang kebenaran berita itu, dengan tidak kamu sadari kamu telah mengikuti setan. Yang menjadi setan pertama ialah penyiar pertama dari kabar itu atau yang mengarangkannya. Kemudian berturut-turut timbul setan yang lain-lain, yaitu penambah dan pembumbu kabar itu sehingga orang jadi kacau. Biasanya yang tertarik oleh provokasi hasutan setan itu ialah orang banyak. Orang banyak yang tidak bertanggung jawab. Orang banyak yang bisa saja dibawa oleh gelombang bisik desus umum. Kabar yang masih meragukan bisa saja mereka terima sebagai suatu kebenaran. Inilah yang di zaman kita disebut psywar, perang urat saraf, atau isu-isu yang membuat kacau pikiran. Tukang-tukang membuat bisik desus dan isu-isu itu adalah setan belaka. Hanya sedikit orang yang tidak akan terkena oleh kabar-kabar semacam itu, yaitu orang yang masih berpikiran sehat. Adapun orang banyak, payahlah membebaskan diri dari pengaruh kabar-kabar yang orang banyak itu sendiri telah tenggelam ke dalamnya.
Itulah perlunya bila datang suatu berita baik yang mengamankan pikiran atau yang mendatangkan cemas supaya lekas dilaporkan kepada pihak yang berwajib. Orang-orang yang ditentukan untuk menyelidiki berita itu akan menilainya. Orang-orang yang menyelidiki itu disebut di dalam ayat Alladzina Yastanbithunahu. Yasthanbithunahu adalah fi'il mudahri', dari pokok kata (mashdar) Isthin-baath, yang boleh juga diartikan ahli analisis. Dari ayat ini kita telah mendapat kesan pula bahwa pemerintahan yang teratur mengadakan badan intelijen, yang selalu mencari berita, dan menilai berita itu, dan menjaga pengaruhnya kepada umum.
Dari sini seorang yang mengaku beriman kepada Allah mendapat pengajaran bahwa tidaklah layak segala yang didengar lalu dibicarakan kepada orang lain sebab siar-me-nyiarkan itu saja sudah boleh dimasukkan dalam berdusta. Dengan menyebar-nyebarkan suatu kabar ganjil seseorang hendak menyatakan suatu keistimewaan dirinya daripada orang lain, bahwa dia segala tahu. Dia berdekat dengan “orang di atas" Tersebutlah di dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Muslim dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda,
“Cukuplah seseorang menjadi pendusta kalau dia hendak membicarakan segala yang didengarnya." (HR Muslim)
Dari ayat ini juga as-Sayuthi dapat mengambil kesimpulan bahwa sesuatu perkara yang datang itu, baik yang mengamankan ataupun yang mencemaskan, disuruh segera mengembalikannya kepada Rasul dan ulilamri, adalah menjadi pokok terbesar bagi membuka pintu ijtihad dan istinbaath. Sebagaimana juga al-Muhasyammi mengatakan, “Kalau di dalam Al-Qur'an terdapat perkara yang menimbulkan perselisihan pendapat, wajiblah mereka mencari tafsirnya kepada Rasul dan kepada ulama-ulama. Sebab ulama-ulama itulah yang sebenar uli! amri, sesudah Rasul. Supaya ulama itu mengajarkan kepada mereka hasil ijtihad dalam mengistinbaathkan hukum yang sesuai.
NABI YANG DI MUKA SEKALI
Kemudian datanglah perintah berjuang kepada Rasul,
Ayat 84
“Maka berperanglah engkau pada jalan Allah, tidaklah diberati melainkan diri engkau sendiri."
Di dalam ayat ini kita dapat melihat betapa beratnya tanggung jawab seorang Rasul. Menurut penelitian ahli tafsir, susunan wahyu di ayat ini ada hubungannya dengan ayat-ayat yang sebelumnya. Sekarang itu terdapat bukan sedikit orang yang munafik. Meskipun demikian, namun perjuangan dan peperangan mesti diteruskan. Jangan ragu melihat keadaan demikian. Engkau sendiri terlebih dahulu mengerahkan dirimu. Jangan dahulu engkau mengajak orang lain, sebelum engkau sadari benar-benar bahwa engkau adalah orang pertama yang akan memimpin. Asal telah engkau bulatkan tekadmu, bahwa perang ini akan engkau lanjutkan jua, walaupun seorang diri, niscaya Allah akan menolong engkau. Bukan bergantung kepada bilangan tentara, melainkan kepada pertolongan Allah sendiri. Dengan demikian walaupun ada yang munafik, engkau tidak akan merasa kecewa sebab dirimu telah mempunyai tekad yang bulat. Kalau hatimu sudah sampai demikian bulatnya, dengan sendirinya kelak dari kalangan pengikutmu yang banyak itu akan ada yang bersedia berdiri di sampingmu menghadapi segala bahaya; itulah orang yang beriman. Tetapi kalau engkau mulai menyatakan diri, kawan yang sepaham itu tidak akan timbul sehingga kemunafikan juga yang akan memengaruhi suasana.
Setelah tekad diri sendiri bulat, datanglah kelanjutan, “Dan kerahkanlah orang-orang yang beriman." Melihat tekad bulat pimpinannya, orang-orang yang beriman tidak akan ragu-ragu lagi mengikut apabila mereka di-kerahkan. Di saat itu suara si munafik dan ke-pengecutan mereka tidak akan bisa lagi memengaruhi suasana.
Ayat ini memberi ajaran kita pula betapa pentingnya kebesaran semangat pemegang komando tertinggi dalam suatu peperangan. Pemimpin sendiri orang satu-satunya yang ingin melanjutkan perang walaupun sendirian. Di dalam sekalian sejarah peperangan Nabi, dapat kita lihat betapa beliau sendirilah yang menjadi orang pertama memegang inisiatif dan di barisan muka. Dalam Perang Badar beliau langsung mengerahkan orang-orang yang ber-iman menyerbu musuh yang tiga kali lebih banyak. Dalam Peperangan Uhud keluarlah perkataan beliau yang terkenal, “Kalau seorang Rasul telah melekatkan pakaian perangnya, pantang baginya menanggalkannya sebelum Allah menentukan siapa di antara kedua belah pihak yang akan menang."
Dalam Peperangan Khandak beliau sendiri tutur menggali lubang (parit) pertahanan yang penting itu. Meskipun usia beliau telah meningkat 60 tahun, namun peperangan ke Tabuk yang terkenal betapa kesukaran yang dihadapi, beliau sendiri yang memimpinnya. Ingatlah perkataan beliau ketika hendak memenuhi janji dengan Abu Sufyan sesudah Peperangan Uhud, bahwa tahun depan mereka akan bertemu kembali di Badar. Nabi menyanggupi janji itu. Tetapi beberapa orang di antara tentaranya mundur hatinya karena dipertakut-takuti oleh Nu'aim bin Mas'ud al-Asy'ari yang mendapat upah menyebar berita menakut-nakuti oleh Abu Sufyan. Waktu itulah Nabi bersabda, “Demi Allah yang memegang diriku dalam tangan-Nya. Aku mesti pergi menemui Abu Sufyan di Badar walaupun seorang diriku." (Lihat Tafsir Juz 3 surah Aali ‘Imraan ayat 173)
Berkata ar-Razi dalam tafsirnya, “Ayat ini membuktikan bahwa Rasulullah memang yang segagah-gagah hamba Allah dan orang yang paling arif taktik peperangan. Tidaklah Allah akan mendatangkan wahyu demikian, menyuruh pergi perang walaupun sendirian, melainkan karena Allah Mahatahu bahwa Nabi-Nya memang seorang yang gagah perkasa."
Selanjutnya kata ar-Razi, “Dan kegagah-perkasaan beliau ini diteladan langsung oleh Abu Bakar ketika beliau memutuskan hendak memerangi orang-orang yang enggan mengeluarkan zakat. Waktu itu diucapkannya pula, walaupun seorang diri, dia akan memerangi mereka. Memang seseorang yang telah tahu bahwa segala perkara di dunia ini adalah di tangan Allah, dan tidak sesuatu yang akan dapat dicapai kecuali dengan ketentuan Allah, merasa mudah berkata demikian," sekian ar-Razi.
Setelah itu, yaitu setelah Rasul bersedia menghadapi peperangan seorang diri dan kaum yang beriman telah padat pula semangatnya mengikuti Rasul, Allah berfirman, “Mudah-mudahan Allah akan menyekat kegagahan orang-orang yang kafir itu" Di lanjutan ayat ini jelas kita lihat bahwa yang amat diperlukan ialah bahwa Rasul sebagai orang pertama dan kaum yang beriman sebagai pengikut yang setia, semuanya sama-sama sudi mati karena mempertahankan yang hak. Di sini terjadilah pertempuran di antara dua semangat. Dengan semangat kaum Muslimin yang begitu besar, mudah-mudahan Allah dapat membendung penyerbuan orang kafir itu. Artinya semangat kafir akan lemah dan mereka akan mundur. Sebab yang mereka pertahankan bukanlah kebenaran. Hal ini tidak bergantung kepada banyak atau sedikitnya bilangan. Kemenangan di Badar dengan 300 kaum Muslimin dan kekalahan musyrikin yang 1.000 orang adalah kesaksian yang nyata dalam hal ini. Demikian juga kemunduran Abu Sufyan menghadapi janji pertemuan di Badar yang kedua kali.
Penutup ayat berkata, “Dan Allah adalah terlebih gagah." Sebab seluruh kekuatan di dalam alam ini adalah di tangan Allah belaka. Allah lebih gagah daripada kaum musyrikin itu. Allah menguasai hujan dan panas, menguasai medan dan cuaca dan juga menguasai hati manusia. Semuanya itu tidak terdapat pada musyirikin Quraisy yang menantang Allah.
“Dan terlebih ngeri siksaan-Nya “
Sebagaimana yang dikatakan oleh ahli tafsir Ibnu Katsir, “Allah sanggup menjatuhkan balasan-Nya yang ngeri sejak dari dunia ini lalu ke akhirat"
Maka di dalam ayat ini diingatkan kepada Rasul dan orang-orang yang beriman bahwa selama dalam perjuangan (jihad) dan di mana saja pun menghadapi musuh, hendaklah dipegang teguh niat bahwa yang diperjuangkan sampai bersabung nyawa, ialah Sabilillah— Jalan Allah. Bukan jalan untuk kepentingan diri sendiri. Apabila orang berperang karena sabilillah, yang akan membantunya ialah Allah. Allah yang tidak dapat dilawan dan ditantang oleh siapa jua pun.
Di dalam ayat ini bertemulah perangsang kegagahperkasaan untuk Rasul dan umatnya, dan penggentar bagi musyrikin yang melawannya.