Ayat
Terjemahan Per Kata
أَفَلَا
maka apakah tidak
يَتَدَبَّرُونَ
mereka memperhatikan
ٱلۡقُرۡءَانَۚ
Al Qur'an
وَلَوۡ
dan jika
كَانَ
adalah ia
مِنۡ
dari
عِندِ
sisi
غَيۡرِ
selain/bukan
ٱللَّهِ
Allah
لَوَجَدُواْ
tentu mereka mendapati
فِيهِ
di dalamnya
ٱخۡتِلَٰفٗا
pertentangan
كَثِيرٗا
banyak
أَفَلَا
maka apakah tidak
يَتَدَبَّرُونَ
mereka memperhatikan
ٱلۡقُرۡءَانَۚ
Al Qur'an
وَلَوۡ
dan jika
كَانَ
adalah ia
مِنۡ
dari
عِندِ
sisi
غَيۡرِ
selain/bukan
ٱللَّهِ
Allah
لَوَجَدُواْ
tentu mereka mendapati
فِيهِ
di dalamnya
ٱخۡتِلَٰفٗا
pertentangan
كَثِيرٗا
banyak
Terjemahan
Tidakkah mereka menadaburi Al-Qur’an? Seandainya (Al-Qur’an) itu tidak datang dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.
Tafsir
(Apakah mereka tidak memperhatikan) merenungkan (Al-Qur'an) dan makna-makna indah yang terdapat di dalamnya. (Sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah akan mereka jumpai di dalamnya pertentangan yang banyak) baik dalam makna maupun dalam susunannya.
Tafsir Surat An-Nisa': 82-83
Maka apakah mereka tidak mentadaburi (menghayati/merenungkan) Al-Qur'an? Seandainya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri). Kalau tidaklah karena karunia dan rahmat Allah kepada kalian, tentulah kalian mengikut setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).
Ayat 82
Allah ﷻ memerintahkan kepada mereka untuk memperhatikan apa yang terkandung di dalam Al-Qur'an, juga melarang mereka berpaling darinya dan dari memahami makna-maknanya yang muhkam (jelas/pasti) serta lafal-lafaznya yang mempunyai paramasastra (tata bahasa) yang tinggi. Allah ﷻ memberitahukan kepada mereka bahwa tidak ada pertentangan, tidak ada kelabilan, dan tidak ada perbedaan di dalam Al-Qur'an karena Al-Qur'an diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Al-Qur'an adalah kebenaran dari Tuhan Yang Maha Benar. Karena itulah dalam ayat lain disebutkan melalui firman-Nya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an ataukah hati mereka terkunci?” (Muhammad: 24)
Kemudian Allah ﷻ berfirman: ‘Seandainya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah. (An-Nisa: 82) Seandainya Al-Qur'an itu dibuat-buat sendiri, seperti yang dikatakan oleh sebagian kaum musyrik dan kaum munafik yang bodoh dalam hati mereka.
“Tentulah mereka menemukan banyak pertentangan di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Yaitu niscaya ditemukan banyak pertentangan dan kelabilan. Sedangkan Al-Qur'an itu ternyata bebas dari pertentangan; hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur'an itu dari sisi Allah. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat yang lain, menyitir perkataan orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu melalui firman-Nya: “Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami.” (Ali Imran: 7) Baik yang muhkam (jelas) maupun yang mutasyabih (samar/belum jelas), semuanya benar. Karena itulah mereka mengembalikan (merujukkan) yang mutasyabih kepada yang muhkam, dan akhirnya mereka mendapat petunjuk.
Sedangkan orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, mereka mengembalikan yang muhkam kepada yang mutasyabih; akhirnya mereka tersesat. Karena itulah dalam ayat ini Allah memuji sikap orang-orang yang mendalam ilmunya dan mencela orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Iyad, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang menceritakan bahwa ia dan saudaranya duduk di sebuah majelis yang lebih ia sukai daripada memiliki ternak unta yang unggul. Ketika dia dan saudaranya telah berada di dalam majelis itu, tiba-tiba beberapa sesepuh dari kalangan sahabat Nabi ﷺ berada di sebuah pintu dari pintu-pintu yang biasa dilalui oleh Nabi ﷺ. Kami tidak suka untuk menyuruh mereka bergeser, sehingga kami terpaksa duduk di pinggir. Saat itu mereka sedang membicarakan suatu ayat dari Al-Qur'an, lalu mereka berdebat mengenainya hingga suara mereka saling menegang. Maka Rasulullah ﷺ keluar dalam keadaan marah hingga raut wajahnya kelihatan merah, lalu beliau menaburkan debu kepada mereka yang berdebat itu dan bersabda: “Tenanglah wahai kaum, karena hal inilah umat-umat terdahulu sebelum kalian binasa, yaitu karena pertentangan mereka dengan nabi-nabi mereka dan mengadu-adukan sebagian dari isi Al-Kitab dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya Al-Qur'an tidak diturunkan untuk menyanggah sebagian darinya terhadap sebagian yang lain. Tetapi ia diturunkan untuk membenarkan sebagian daripadanya terhadap sebagian yang lain. Karena itu, apa yang kalian ketahui dari Al-Qur'an, amalkanlah ia; dan apa yang kalian tidak mengerti darinya, maka kembalikanlah ia kepada yang mengetahuinya.”
Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui Abu Mu'awiyah, dari Daud ibnu Abu Hindun, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya yang mengatakan bahwa pada suatu hari Rasulullah ﷺ keluar, yaitu ketika para sahabat sedang memperbincangkan masalah takdir. Saat itu wajah beliau seakan-akan seperti biji delima yang merah karena marah. Lalu beliau ﷺ bersabda kepada mereka: “Mengapa kalian mengadu sebagian dari Kitabullah dengan sebagian yang lain? Hal inilah yang menyebabkan orang-orang sebelum kalian binasa.” Perawi mengatakan bahwa sejak saat itu tiada suatu majelis pun yang di dalamnya ada Rasulullah ﷺ yang lebih ia sukai daripada majelis tersebut. Sekiranya dia tidak menyaksikannya, tentu amat kecewalah dia.
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Daud ibnu Abu Hindun dengan sanad yang sama dan dengan lafal yang serupa.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Abu Imran Al-Juni yang mengatakan bahwa Abdullah ibnu Rabbah pernah menulis surat kepadanya, menceritakan sebuah hadits yang ia terima dari Abdullah ibnu Amr. Disebutkan bahwa pada suatu siang hari Abdullah ibnu Amr berangkat menemui Rasulullah ﷺ. Saat itu ketika dia dan yang lainnya sedang duduk, tiba-tiba ada dua orang berselisih pendapat tentang makna sebuah ayat, hingga suara mereka berdua menjadi mengeras dan bersitegang. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya penyebab yang membinasakan orang-orang sebelum kalian hanyalah karena pertentangan mereka mengenai Al-Kitab.”
Imam Muslim dan Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui hadits Hammad ibnu Zaid dengan lafal yang sama.
Ayat 83
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan atau ketakutan, mereka lalu menyiarkannya.” (An-Nisa: 83)
Hal ini merupakan bantahan terhadap orang yang tergesa-gesa dalam menanggapi berbagai urusan sebelum meneliti kebenarannya, lalu ia memberitakan dan menyiarkannya, padahal belum tentu hal itu benar.
Imam Muslim mengatakan di dalam mukadimah (pendahuluan) kitab shahihnya: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Hafs, telah menceritakan kepada kami Syu'bah.dari Habib ibnu Abdur Rahman, dari Hafs ibnu Asim, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Cukuplah kebohongan bagi seseorang bila dia menceritakan semua apa yang didengarnya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud di dalam Kitabul Adab, bagian dari kitab sunnahnya, dari Muhammad ibnul Husain ibnu Isykab, dari Ali ibnu Hafs, dari Syu'bah secara musnad.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadits Mu'az ibnu Hisyam Al-Anbari dan Abdur-Rahman ibnu Mahdi. Begitu juga Imam Abu Dawud, meriwayatkannya melalui hadits Hafs ibnu Amr An-Namiri. Ketiga-tiganya dari Syu'bah, dari Habib, dari Hafs ibnu Asim dengan lafal yang sama secara mursal.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan dari Al-Mugirah ibnu Syu'bah hadits berikut, bahwa Rasulullah ﷺ telah melarang perbuatan qil (katanya) dan qal (berkata dia). Makna yang dimaksud ialah melarang perbuatan banyak bercerita tentang apa yang dibicarakan oleh orang-orang tanpa meneliti kebenarannya, tanpa menyeleksinya terlebih dahulu, dan tanpa membuktikannya.
Di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Seburuk-buruk lisan seseorang adalah (mengatakan) bahwa mereka menduga (anu dan anu).”
Di dalam kitab sahih disebutkan hadits berikut, yaitu: “Barang siapa yang menceritakan suatu kisah, sedangkan ia menganggap bahwa kisahnya itu bohong, maka dia termasuk salah seorang yang berbohong.”
Dalam kesempatan ini kami ketengahkan sebuah hadits dari Umar ibnul Khattab yang telah disepakati kesahihannya: Ketika Umar ibnul Khattab mendengar berita bahwa Nabi ﷺ menceraikan istri-istrinya, maka ia datang dari rumahnya, lalu masuk ke dalam masjid, dan ia menjumpai banyak orang yang sedang memperbincangkan berita itu. Umar tidak sabar menunggu, lalu ia meminta izin menemui Nabi ﷺ dan menanyakan kepadanya apakah memang benar beliau menceraikan semua istrinya? Ternyata jawaban Rasulullah ﷺ negatif (yakni tidak). Maka ia berkata, "Allahu Akbar (Allah Maha Besar)," hingga akhir hadits. Menurut lafal yang ada pada Imam Muslim: aku (Umar) bertanya, "Apakah engkau menceraikan mereka semua?" Nabi ﷺ menjawab, "Tidak." Aku bangkit dan berdiri di pintu masjid, lalu aku berkata dengan suara keras, menyerukan bahwa Rasulullah ﷺ tidak menceraikan istri-istrinya. Lalu turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).” (An-Nisa: 83) Aku (kata Umar) termasuk salah seorang yang ingin mengetahui kebenaran perkara tersebut.
Maknanya adalah seharusnya menyimpulkan suatu berita langsung dari sumbernya. Dikatakan “lelaki itu menggali mata air dan mengeluarkan air dari dasarnya.”
Firman Allah ﷻ: “Tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (An-Nisa: 83)
Ali ibnu Abu Talhah mengatakan dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah orang-orang mukmin.
Abdur-Razzak mengatakan, dari Ma'mar, dari Qatadah, bahwa firman Allah berikut: “Tentulah kalian mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kalian).” (An-Nisa: 83) Makna yang dimaksud ialah kalian semuanya niscaya akan mengikuti langkah setan. Orang yang mendukung pendapat ini (yakni yang mengartikan semuanya) memperkuat alasannya dengan ucapan At-Tirmah ibnu Hakim dalam salah satu bait syairnya ketika memuji Yazid ibnul Muhallab, yaitu: “Aku mencium keharuman nama orang yang sangat dermawan, tiada cela dan tiada kekurangan baginya.” Makna yang dimaksud ialah tidak ada cela dan tidak ada kekurangannya, sekalipun diungkapkan dengan kata sedikit cela dan kekurangannya.
Maka tidakkah mereka menghayati, mendalami petunjuk dan ajaran yang terdapat dalam Al-Qur'an' Sekiranya Al-Qur'an itu bukan wahyu yang turun dari Allah, pastilah mereka akan menemukan banyak sekali hal yang bertentangan di dalamnya Dan apabila sampai kepada mereka, orang-orang munafik itu, suatu berita yang belum dapat dibuktikan kebenarannya, baik tentang keamanan ataupun ketakutan, mereka langsung menyiarkannya dengan tujuan untuk menimbulkan kerancuan dan kekacauan. Padahal, apabila sebelum menyebarkan berita itu mereka menyerahkannya terlebih dahulu kepada Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya secara resmi dari mereka, yakni Rasul dan Ulil Amri. Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu berupa ajaran dan tuntunan hidup, tentulah kamu mengikuti langkah-langkah setan, kecuali sebagian kecil saja di antara kamu yang mengikuti petunjuk Rasul.
Orang-orang kafir dan kaum munafik tersebut dicela karena mereka tidak mengerti tentang kerasulan Muhammad dan tidak mau memahami Al-Qur'an yang menjelaskan tentang kerasulan Nabi Muhammad. Kalau mereka mau mengerti dan mau memperhatikan, niscaya mereka mengetahui bahwa kerasulan Muhammad dan Al-Qur'an itu memang sebenarnya dari Tuhan. Janji Allah kepada orang mukmin dan ancaman-Nya kepada orang kafir dan orang munafik sebagaimana yang disampaikan oleh Muhammad adalah suatu hal yang pasti sebagaimana pasti benarnya ayat-ayat yang disampaikan oleh Muhammad tentang isi hati yang dikandung oleh orang munafik dan orang kafir. Demikian pula pasti benarnya ayat-ayat yang dibawa Muhammad tentang nasib buruk mereka di akhirat nanti, karena kalau Al-Qur'an dibuat Muhammad, bukan datang dari Allah yang mengutus niscaya mereka akan menemui dalam Al-Qur'an ayat-ayat yang saling bertentangan satu sama lain.
Menurut al-Maragi, hal-hal yang berikut ini adalah sebagai bukti bahwa Al-Qur'an bukan bikinan Muhammad, tetapi wahyu dari Allah:
1. Tidak seorang makhluk pun yang dapat menggambarkan hakikat dari sesuatu sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur'an tanpa adanya pertentangan antara satu dengan yang lain.
2. Al-Qur'an menceritakan kejadian masa lalu yang tidak pernah disaksikan oleh Muhammad dan sebagiannya tidak terdapat pula dalam sejarah. Al-Qur'an juga menceritakan hal-hal yang akan datang dan ternyata sesuai dengan kenyataan, juga diceritakan yang sudah terjadi dan tersembunyi di dalam hati sanubari sebagian manusia sebagaimana Al-Qur'an menceritakan tentang siasat yang diatur oleh segolongan manusia yang menentang Rasul (lihat ayat 77 yang berhubungan dengan ayat 81 pada ayat yang lalu).
3. Tidak seorang pun yang dapat membuat tandingan Al-Qur'an dalam menguraikan pokok-pokok akidah, kaidah-kaidah syariah, siasat suku-suku dan golongan secara tepat tanpa ada pertentangan satu sama lain.
4. Tidak seorang pun dapat menandingi Al-Qur'an dalam mengemukakan undang-undang kemasyarakatan atau nilai-nilai kemakmuran, untuk masing-masing agama dan penganutnya dengan mengemukakan alasan yang kongkrit beserta contoh-contoh dan perbandingan. Satu cerita yang disebut berulang kali dalam ungkapan yang berbeda, dengan mengesankan dan meyakinkan tanpa lepas dari bentuk nasihat dan pengajaran. Semuanya diterangkan tanpa adanya pertentangan antara satu dengan yang lain.
5. Tidak seorang pun dapat mendatangkan tandingan Al-Qur'an dalam membicarakan tentang kejadian alam ini dengan menguraikan sesuatu yang dikandung oleh bumi dan langit seperti binatang, angin, laut, tumbuh-tumbuhan dan hikmah masing-masing dengan bahasa sastra yang tinggi meskipun dikemukakan secara berulang-ulang tetapi tidak membosankan. Bahkan masing-masing ayat saling memperkuat pengertian dan mengesankan.
6. Al-Qur'an memberitakan tentang yang gaib, hari kemudian, dan segala sesuatu yang berhubungan dengan adanya perhitungan terhadap perbuatan manusia dan pembalasan yang setimpal. Pemberitaan semacam ini termaktub dalam ayat yang berlainan penguraiannya tetapi satu tujuannya.
Jadi, memperhatikan keistimewaan Al-Qur'an adalah jalan untuk memperoleh petunjuk, bahwa memang Al-Qur'an itu datang dari Allah dan wajib diikuti. Segala sesuatu yang dikandungnya dapat diterima akal, sesuai dengan fitrah, sejalan dengan kemaslahatan dan hanya dalam Al-Qur'an terdapat jalan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TAAT KEPADA ALLAH DAN RASUL
Pada ayat 59 sudah diterangkan tentang wajib taat kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada ulil amri. Di ayat 64 diterangkan pula bahwasanya Rasul diutus untuk ditaati, dan di ayat 65 ditegaskan lagi bahwa belumlah berarti iman mereka, sebelum perselisihan di antara mereka diminta keputusannya kepada Rasul dan diterima dengan taat apa yang beliau putuskan itu. Kemudian pada ayat 69 diberi janji oleh Allah, bahwasanya orang yang taat kepada Allah dan Rasul akan mendapat tempat yang mulia, bersama nabi-nabi dan shiddiqin dan syuhada dan shalihin di surga. Sekarang datang menerangkan darihal taat kepada Rasul, penjelasan lain,
Ayat 80
“Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah."
Tentu seorang Mukmin yang telah mendalam perasaan tauhid telah dapat memahamkan bahwa dengan firman Allah yang seperti ini bukanlah berarti bahwa Rasul ﷺ telah bersekutu dengan Allah. Sama juga dengan perkataan ahli-ahli tasawuf yang terkenal,
“Barangsiapa yang mengenal akan dirinya, sesungguhnya telah kenallah dia akan Tuhannya. “
Bukanlah berarti dengan demikian bahwa diri telah jadi Tuhan.
Dengan firman Allah tersebut, dapatlah dipahamkan bahwasanya jika orang telah taat kepada Rasul, berarti dia telah taat kepada Allah. Sebab apa yang disampaikan oleh Rasul tidak lain dari perintah Allah. Rasul telah diambil Allah sebagai saluran untuk menyampaikan perintah-Nya kepada manusia. Sebab manusia sendiri, masing-masingnya tidaklah akan kuat menerima strom wahyu dari malaikat Jibril. Sedangkan Rasul, tiap-tiap wahyu datang, senantiasa mengeluarkan keringat karena beratnya. Pernah beliau duduk menghimpitkan kakinya kepada Zaid yang sedang duduk dekat beliau, ketika wahyu datang. Oleh Zaid sendiri terasa betapa sangat beratnya tubuh Rasululah ﷺ, menimpa bagian badannya, di waktu itu. Setelah selesai wahyu dan Jibril telah pergi, barulah Zaid dapat menarik napas dengan lapang kembali karena telah ringan.
Oleh sebab itu, para ulama memberi perincian tentang ketaatan kepada Rasul. Pertama, ialah wahyu yang beliau terima, yang bernama Al-Qur'an dan sekarang telah berkumpul menjadi mushaf. Dia datang kepada kita melalui Rasul ﷺ dan keluar dari mulut beliau. Maka wahyu yang beliau sampaikan ini wajib ditaati dengan tidak memakai syarat. Malahan sejak zaman Rasul sampai kepada kita sekarang ini tidak ada orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an sabda Rasul ﷺ, melainkan firman Allah, meskipun sampainya kepada kita dengan melalui mulut Rasul.
Kedua, yang wajib ditaati lagi ialah penafsiran beliau dengan sunnahnya atas segala perintah Allah yang telah disampaikan dengan wahyu itu, baik penafsiran dengan perkataan (aqwal) maupun dengan perbuatan (afaaf), atau perbuatan orang lain yang beliau tahu, tetapi tidak beliau salahkan (taqrir)
Ketiga, ialah pendapat-pendapat pribadi, yang beliau sendiri mengakui sebagai manusia beliau pun bisa khilaf dan bisa salah. Misalnya ketika beliau menyatakan pendapat dalam mempertimbangkan Peperangan Uhud, mana yang baik bertahan dalam kota atau menyerbu ke luar kota. Pendapat pribadi beliau lebih baik bertahan saja, tetapi pendapat golongan terbanyak dari angkatan muda, ialah berperang di lapangan terbuka.
Beliau tinggalkan pendapatnya tadi dan beliau ikuti pendapat suara terbanyak. Demikian pula dalam Perang Badar, beliau menyuruh berhenti dan memasang kemah di suatu tempat yang jauh dari air. Seorang sahabat bertanya, apakah berlabuh di sini ini pendapat beliau sendiri atau wahyu? Beliau jawab, “Pendapat sendiri!" Maka sahabat yang meminta penjelasan itu menyatakan bahwa tempat ini tidak tepat buat tempat berhenti sebab jauh dari air. Lebih baik kita pindah ke tempat itu, (lalu dia menunjukkan satu tempat yang lebih baik), karena tempat itu ada air, sehingga kalau musuh datang, kita terlebih dahulu telah menguasai tempat yang ada airnya. Rasulullah ﷺ menurut kepada pendapat sahabatnya itu.
Dalam urusan duniawi beliau sendiri pun menjelaskan bahwa “kamu lebih tahu". Kamu itu ialah bersama-sama. Sebab itu beliau selalu mengajak musyawarah dalam urusan demikian. Tetapi pimpinan tetap beliau pegang.
Perkataan beliau “kamu lebih tahu" ialah sesudah pada suatu ketika beliau mencampuri suatu soal yangtidakberkenaan dengan wahyu, yaitu tentang mengadakan pengawinan bibit kurma jantan dan betina. Ahli-ahli pertanian kurma berpengalaman bahwa sebelum bibit itu ditanam, dikawinkan dahulu dengan cara-cara yang khas. Beliau menyatakan bahwa hal itu tidak perlu. Karena taat kepada Rasul, petani itu terus menanamkannya, dan beberapa waktu kemudian ternyata yang tidak melalui syarat itu tumbuh juga tetapi tidak berbuah, sedang yang dikawinkan terlebih dahulu itu berbuah dengan lebatnya. Waktu itulah beliau berkata bahwa sebagai manusia, beliau bisa khilaf. Malahan dapat kita ingat kembali penafsiran tentang seorang yang bertanya akan keadaan bulan, yang mula-mula kecil laksana sabit, kemudian penuh jadi purnama, kemudian melancip kecil lagi, lalu Allah me-nuntun beliau memberikan jawab menurut tugas beliau, yaitu bahwa pergantian bulan sabit dengan purnama ialah untuk menghitung waktu-waktu dan membilang-bilang jika akan mengerjakan haji, dan beliau suruh supaya orang masuk rumah dari pintunya (surah al-Baqarah ayat 189), yang menurut setengah ahli tafsir, hendaklah menanyakan sesuatu kepada ahlinya, sedang Rasul bukanlah ahli ilmu falak dan ilmu hisab.
Sungguh pun demikian, para sahabat beliau, untuk ta'abbud banyak juga meniru perbuatan-perbuatan pribadi beliau. Terutama Abdullah bin Umar, terkenal bahwa shalat dan ibadahnya yang lain, persis menuruti cara beliau dalam segala hal, bahkan di mana biasa tempat beliau berhenti, berteduh kepanasan dan sebagainya. Ibnu Umar pun berhenti dan berteduh di situ. Lantaran itu ulama-ulama memasukkan hal yang demikian kepada man-dub atau mustahab atau sunnah. Misalnya ketika beliau menganjurkan memakai madu lebah menjadi obat. Atau kalau lalat masuk minuman, hendaklah benamkan terlebih dahulu seluruh badannya, kemudian baru buang-kan lalatnya dan minuman itu boleh diminum terus. Ulama mengatakan bahwa dalam hal ini seyogianya diikuti anjuran beliau, tetapi tidak termasuk kepada wajib, melainkan sangat baik (mustahab).
Beliau sendiri kerap kali pula menjelaskan terlebih dahulu tentang suka tak suka pribadi itu. Misalnya pada suatu hari Khalid bin Walid membawa seekor dhab (semacam Beng-karung) yang telah dikeringkan. Khaiid bin Walid suka makan dhab, lalu dia menawarkan, apakah Rasulullah suka. Terus terang beliau menyatakan bahwa beliau sendiri, pribadi, tidak menyukainya, tetapi tidak melarang orang yang memakannya. Lantaran itu beberapa ulama mengeluarkan pendapat bahwa memakan dhab itu makruh, kurang disukai. (Kata Sahibul Hikayat dhab kalau dimakan dapat membangkitkan syahwat kelamin. Wallahu a'lam).
Jadi dengan serba sedikit keterangan ini dapatlah kita pahami apa maksudnya. Yaitu bahwa taat kepada Rasul, artinya ialah telah taat kepada Allah. Bukan karena kita mempersekutukan Rasul dengan Allah, tetapi karena Rasul diperintah Allah buat memimpin kita menjalankan perintah Allah. Sama juga dengan apabila kita taat kepada seorang alat negara yang menyampaikan panggilan kepada kita supaya menghadap instansi yang lebih tinggi. Kita taat. Karena yang disampaikan kepada kita itu adalah perintah dari atasannya.
“Tetapi barangsiapa yang berpaling." Artinya barangsiapa yang tidak patuh dan taat kepada perintah-Ku yang Aku suruh engkau menyampaikannya kepada mereka.
“Maka tidaklah Kami utus engkau atas mereka sebagai pemelihara."
Artinya jika mereka tidak mau taat kepada perintah-Ku yang Aku seru engkau menyampaikannya itu, Kami akan melakukan hukum Kami. Yang melanggar akan Kami jatuhi hukum yang setimpal, dia menjadi berdosa, dan engkau tidaklah akan memelihara atau mempertahankan mereka dari hukuman Kami itu. Kewajiban engkau adalah semata-mata menyampaikan perintah, bukan turut menentukan hukum dengan kehendak sendiri dan bukan pula berkuasa buat membela dan memelihara mereka.
Dan mereka itu berkata,
Ayat 81
Taat!' Tetapi apabila mereka telah benpisah daripada engkau, berbisik malam segolongan dari mereka itu, berlain dari yang mereka katakan."
Yakni ketika bermuka-muka siang hari dengan Rasulullah ﷺ semua mengatakan, “Taat" “Setia", “Patuh". Semuanya serentak menyatakan kepatuhan. Serentak betul-betul taat, dengan mulutnya saja mengaku taat, sedang hatinya tidak. Sebab, kemudian pada malam hari, mereka yang hatinya tidak taat telah berkumpul lagi memperbisikkan dalih mereka, yang berbeda sama sekali dari apa yang mereka ucapkan siang hari. “Maka Allah akan menuliskan apa yang mereka perbisikkan malam hari itu." Tingkah laku mereka yang tidak jujur, yang munafik, tidaklah terlepas dari catatan Allah, Allah mengetahui bahwa mereka tidak jujur.
Ketika berhadapan mulutnya manis, balik belakang lain bicara....
Orang-orang begini ada dalam catatan Allah. Berfirmanlah Allah selanjutnya, “Lantaran itu, berpalinglah engkau dari mereka." Jangan terlalu dihadapkan perhatian sehingga menyebabkan susah hati karena tingkah laku mereka itu. “Dan bertawakallah kepada Allah." Karena pertolongan Allah bukanlah akan bergantung kepada ada atau tidaknya orang yang seperti itu,
“Dan cukuplah dengan Allah sebagai Pembela."
Tentang adanya orang-orang yang demikian, yang mengucap taat ketika berhadapan dan apabila telah beralih tempat, mereka berbisik lagi yang menunjukkan tidak taat, bahkan kadang-kadang mencemooh, perlu di-ketahui oleh Rasul. Asal tahu saja, untuk me
nyeragamkan pimpinan, tetapi jangan diambil berat. Sebab jaminan Allah tetap ada, Allah akan membelamu.
Ayat 82
“Maka apakah tidak mereka mau merenungkan Al-Qur'an?"
Sebagai wahyu Ilahi yang disampaikan oleh Rasul ﷺ sehingga dia wajib ditaati. Renungkanlah dia baik-baik. Kamu sendiri akan merasakan bahwa ini bukanlah Rata manusia, bukan karangan ahli syair dan bukan re-nungan ahli tenung (kahin), dan bukan kata dari Muhammad sendiri,
“Dan kalau adalah dia dari sisi yang selain Allah, sesungguhnya akan mereka dapati di dalamnya perselisihan yang banyak."
Al-Qur'an turun dari Allah. Dia bukan kata-kata ucapan manusia. Bukan kata susunan Muhammad, walaupun keluar melalui mulutnya. Mereka sendiri, sebagai umat yang mula-mula menerima dakwah dari Al-Qur'an, kalau suka merenungkan dan suka jujur, akan mengakui tidakadayanglain yang akan sanggup menyusun kata sebagai demikian. Kalau dia dari yang lain, tentu akan timbul perselisihan yang banyak di dalamnya, baik di dalam pemakaian bahasa atau dalam pengutaraan pikiran.
Dua susun kata sebagai keahlian orang Arab sejak purbakala, sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus Allah. Pertama kata-kata hikmat, kedua kata-kata syair. Kata hikmat pujangga masih dapat ditandingi oleh pujangga lain, kata ahli syair yang ternama dapat ditunj ukkan kelemahannya oleh ahli kritik, meskipun diakui bagus susunannya, tetapi kurang pada makna. Atau bagus maknanya tetapi kaku irama syairnya. Akan datang orang lain berkata, kalau kalimat ini ditukar dengan itu, kalau ini didahulukan dan itu dikemudiankan, kalau dikurangi sedikit, kalau ditambah sedikit. Sayang sekali di sini kekurangannya! Ini syair bagus, tetapi....
Sehingga kata hikmat atau syair jika telah diulang membacanya berkali-kali, timbul kebosanan. Sekarang cobalah renungkan Al-Qur'an. Kamu akan mendapati di dalamnya kata bukan sembarang kata, kalimat bukan sembarang kalimat. Bertambah kamu kaji dia, bertambah berasalah i'jaz, lemah dirimu menghadapinya. Satu ayat tidak berlawan dengan yang lain, satu sabda tidak selisih dengan sabda yang lain, bahkan yang satu menggenapkan yang lain, ayat ini ditafsirkan oleh ayat itu.
Ajakan Allah menyuruh merenungkan Al-Qur'an telah dilakukan oleh bangsa Arab setelah mereka menerima Islam. Seorang ahli syair besar dan disayangi oleh Rasulullah ﷺ, yakni Hassan bin Tsabit. Syair-syairnya telah dipakai oleh Rasulullah untuk alat dakwah. Kalau ada utusan-utusan dari seluruh Arab menghadap Rasulullah di Madinah untuk menanyakan tentang Islam, dan mereka membawa ahli syair dari kabilah mereka, sebagai pelengkap-pelengkap perutusan di zaman itu, Rasulullah ﷺ menyambut mereka dengan ahli syair pula. Hassan bin Tsabit. Sampai Rasulullah mendoakan kepada Allah, semoga Hassan bin Tsabit disokong dengan Ruhul Qudus. Tetapi setelah zaman penyambutan itu berlalu, kian lama syair Hassan bin Tsabit kian mundur. Ilham syairnya tidak bangkit lagi. Orang bertanya kepada Hassan bin Tsabit apa sebab jadi demikian. Terus terang dia mengakui bahwa jiwanya telah dipesona oleh Al-Qur'an.
Sudah 14 abad sampai sekarang, Al-Qur'an masih tetap begitu. Pujangga-pujangga Arab, termasuk juga yang bukan beragama Islam, sebab mereka mendapat perlindungan (dzim-mah) yang luas sekali dari Islam, mengakui bahwa tidak bisa seseorang menjadi pujangga Arab kalau dia tidak mengenal Al-Qur'an.
Ungkapannya senantiasa mengesankan (aktual), tidak basi karena perubahan zaman. Di zaman dahulu seorang pujangga bernama
Abdul Qahir al-)urjani, telah mengarang sebuah buku bernama l'jazul Al-Qur'an, diuraikan satu demi satu ayat itu, bagaimana lemah lunglainya manusia untuk menjaminnya, usahkan mengatasinya. Di zaman kita ini pun seorang pujangga yang lain, misalnya Mushtafa Shadiq ar-Rafil mengarang lagi buku dengan nama yang sama, untuk menjelaskan lagi betapa lemahnya kita manusia buat menyamainya usahkan mengatasinya. Nyatalah dia dari Allah, tidak dari yang lain, tidak ilham setan atau jin kepada seorang penyair. Apatah lagi tidaklah dia itu kata-kata Muhammad ﷺ. Kalau dia dari manusia, usahkan sampai 14 abad, 14 tahun saja sudah habislah kuasanya. Herannya demikian sukar bahasa Arab, namun bangsa yang bukan Arab jika menjadi Islam dan mempelajarinya, pun akan kena oleh strom singagarnya. Sehingga dihitung-hitung orang, banyak sekali ahli Al-Qur'an yang bukan Arab, tetapi menjadi guru dari orang Arab. Sebab itu, ulama-ulama Islam di zaman modern, sebagai Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, dan Syekh Hasan al-Banna, dan beberapa pemuka Islam yang lain lagi, berkeyakinan bahwa untuk membangkitkan semangat Islam yang hidup di dalam jiwa kita, sesudah sekian ratus tahun melempem, jalan satu-satunya ialah kembali meneguk tirta rasa dari Al-Qur'an.
Untuk mengenai Al-Qur'an, sekali lagi diingatkan, taatilah Rasul.
Dari ayat ini juga, menurut ar-Razi, dapat dipahami bahwa kita wajib memandangnya dengan tekun dan sanggup mengambil dalil. Di sini juga kita dapat tahu bahwa taqiid (menurut saja kepada orang lain) dengan tidak mengetahui dalilnya adalah satu kesalahan.
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar, “Barangsiapa yang dengan teliti merenungi Al-Qur'an dengan makna yang terkandung di dalamnya, serta memelihara tafsirnya yang didapat dari sunnah Rasulullah ﷺ dan dari sahabat-sahabatnya, yang telah turut hadir seketika
ayat-ayat diturunkan dan dapat menghasilkan hukum dari memerhatikan manthuq-nya (yang tersurat) dan mafhum-nya (yang tersirat), demikian juga makna yang terkandung dalam sunnah, menyaring mana yang dapat dijadikan hujjah. Orang itulah yang terpuji dan dapat mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Itulah usaha dari ahli-ahli fiqih di kota-kota besar, baik tabi'in-tabi'in atau ulama-ulama yang sesudah mereka," Sekian Ibnu Hajar.
Lantaran itu bukanlah Al-Qur'an buat semata-mata dilagukan, melainkan buat dipahamkan dan direnungkan sehingga dapat diambil inti sarinya.