Ayat
Terjemahan Per Kata
مَّن
barang siapa
يُطِعِ
mentaati
ٱلرَّسُولَ
Rasul
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
أَطَاعَ
dia mentaati
ٱللَّهَۖ
Allah
وَمَن
dan barang siapa
تَوَلَّىٰ
dia berpaling
فَمَآ
maka tidak
أَرۡسَلۡنَٰكَ
Kami mengutusmu
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
حَفِيظٗا
pemelihara
مَّن
barang siapa
يُطِعِ
mentaati
ٱلرَّسُولَ
Rasul
فَقَدۡ
maka sesungguhnya
أَطَاعَ
dia mentaati
ٱللَّهَۖ
Allah
وَمَن
dan barang siapa
تَوَلَّىٰ
dia berpaling
فَمَآ
maka tidak
أَرۡسَلۡنَٰكَ
Kami mengutusmu
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
حَفِيظٗا
pemelihara
Terjemahan
Siapa yang menaati Rasul (Muhammad), maka sungguh telah menaati Allah. Siapa yang berpaling, maka Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad) sebagai pemelihara mereka.
Tafsir
(Siapa menaati Rasul, maka sesungguhnya ia telah menaati Allah, dan siapa yang berpaling) artinya tak mau menaatinya, maka bukan menjadi urusanmu (maka Kami tidaklah mengutusmu sebagai pemelihara) atau penjaga amal-amal perbuatan mereka, tetapi hanyalah sebagai pemberi peringatan sedangkan urusan mereka terserah kepada Kami dan Kami beri ganjaran dan balasannya. Ini sebelum datangnya perintah berperang.
Tafsir Surat An-Nisa': 80-81
Barang siapa yang menaati rasul, sesungguhnya dia telah menaati Allah. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. Dan mereka mengatakan, "(Kewajiban kami hanyalah) taat." Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu, sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi.
Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu, maka berpalinglah kamu dari mereka dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.
Ayat 80
Allah ﷻ memberitahukan perihal hamba dan Rasul-Nya (yaitu Nabi Muhammad ﷺ), bahwa barang siapa yang menaatinya, berarti ia taat kepada Allah. Barang siapa yang durhaka kepadanya, berarti ia durhaka kepada Allah. Hal tersebut tidak lain karena apa yang diucapkannya itu (Al-Qur'an) bukan menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang taat kepadaku, berarti ia taat kepada Allah; dan barang siapa yang durhaka kepadaku, berarti ia durhaka kepada Allah. Barang siapa yang menaati amir(ku), berarti ia taat kepadaku; dan barang siapa yang durhaka kepada amir(ku), berarti ia durhaka kepadaku.”
Hadits ini disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui riwayat Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Firman Allah ﷻ: “Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (An-Nisa: 80)
Tugasmu bukan untuk itu (menjadi pemelihara bagi mereka) melainkan hanyalah menyampaikan. Maka barang siapa yang mengikutimu, maka berbahagia dan selamatlah ia, sedangkan bagimu ada pahala yang serupa dengan pahala yang diperolehnya. Barang siapa yang berpaling darimu, maka rugi dan kecewalah dia, sedangkan kamu tidak dikenai beban sedikit pun karena keberpalingannya.
Makna ayat ini sama dengan apa yang disebut oleh sebuah hadits yang mengatakan: “Barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, berarti ia telah mendapat petunjuk; dan barang siapa yang durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya dia tidak membahayakan selain hanya dirinya sendiri.
Ayat 81
Firman Allah ﷻ: “Dan mereka mengatakan, ‘(Kewajiban kami hanyalah) taat’." (An-Nisa: 81)
Allah ﷻ menceritakan tentang kaum munafik, bahwa mereka menampakkan setuju dan taat hanya pada lahiriahnya saja.
“Tetapi apabila mereka telah pergi dari sisimu.” (An-Nisa: 81)
Yakni pergi dan tidak kelihatan olehmu.
“Sebagian dari mereka mengatur siasat di malam hari (mengambil keputusan) lain dari yang telah mereka katakan tadi.” (An-Nisa: 81)
Yaitu dengan diam-diam di malam harinya mereka mengatur siasat di antara sesama mereka yang bertentangan dengan apa yang mereka lahirkan di hadapanmu.
Maka Allah ﷻ berfirman: “Allah mencatat siasat yang mereka atur di malam hari itu.” (An-Nisa: 81) Allah mengetahui dan mencatatnya ke dalam buku catatan amal perbuatan mereka. Hal ini dilakukan oleh para malaikat pencatat amal perbuatan yang ditugaskan oleh Allah ﷻ untuk menanganinya terhadap semua hamba-Nya.
Di dalam firman ini terkandung ancaman yang tersimpulkan dari pemberitahuan Allah yang menyatakan bahwa Dia mengetahui semua yang tersimpan di dalam hati mereka, semua hal yang mereka rahasiakan di antara sesamanya, dan semua makar yang mereka sepakati di malam hari (yaitu makar untuk menentang Rasulullah ﷺ dan mendurhakainya), sekalipun pada lahiriahnya mereka bersikap menampakkan ketaatan dan sikap setuju. Kelak di hari kemudian Allah akan membalas mereka disebabkan perbuatan mereka itu. Keadaan mereka sama dengan yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan mereka berkata, ‘Kami telah beriman Kepada Allah dan rasul, dan kami menaati (keduanya)’." (An-Nur: 47), hingga akhir ayat.
Mengenai firman Allah ﷻ: “Maka berpalinglah kamu dari mereka.” (An-Nisa: 81) Dengan kata lain, maafkanlah mereka dan bersabarlah terhadap mereka; janganlah kamu hukum mereka, janganlah kamu sebarkan perihal mereka (orang-orang munafik itu) di kalangan orang banyak, jangan pula kamu merasa takut terhadap ancaman mereka.
“Dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah menjadi Pelindung.” (An-Nisa: 81)
Dengan kata lain, cukuplah Allah sebagai Penolong, Pelindung, dan Pembantu bagi orang yang bertawakal dan berserah diri kepada-Nya.
Barang siapa menaati Rasul dan mengikuti ajaran-ajarannya, maka sesungguhnya dia telah menaati Allah karena Allah yang telah mengutusnya. Dan barangsiapa berpaling dari ketaatan itu, maka ketahuilah bahwa Kami tidak mengutusmu, wahai Nabi Muhammad, untuk menjadi pemelihara mereka sebagai orang yang bertanggung jawab dan menjamin mereka untuk tidak berbuat kesalahan Dan mereka, orang-orang munafik, mengatakan, Kewajiban kami hanyalah sepenuhnya untuk selalu taat kepadamu, Muhammad. Tetapi, apabila mereka telah pergi dari sisimu, Nabi Muhammad tidak lagi berada bersamamu, sebagian dari mereka, yakni para pemimpin mereka mengatur siasat di malam hari mengambil keputusan untuk sesuatu yang lain dari yang telah mereka katakan tadi. Allah melalui penugasan para malaikat-Nya mencatat setiap rencana dan siasat yang mereka atur di malam hari itu. Oleh sebab itu, maka berpalinglah dari mereka, jangan hiraukan sedikit pun, dan bertawakallah kepada Allah. Cukuplah Allah Yang Mahaperkasa yang menjadi pelindung dari tipu daya mereka.
Perintah dan larangan Rasul yang tidak menyangkut urusan keagamaan umpamanya yang berhubungan dengan keduniaan seperti urusan pertanian dan pertahanan, maka Rasul sendiri bersedia menerima pendapat dari sahabatnya yang lebih mengetahui masalahnya.
Menurut sejarah, dalam menjaga kesopanan terhadap Rasul para sahabat bertanya lebih dahulu apakah hal itu datangnya dari Allah atau pendapat Rasul sendiri. Jika ditegaskan oleh Rasul bahwa ini adalah dari Allah maka mereka menaati tanpa ragu-ragu dan jika dikatakan bahwa ini pendapat Muhammad maka para sahabat mengemukakan pula pendapat mereka. Peristiwa ini pernah terjadi ketika sahabat menghadapi perintah Rasul dalam memilih suatu tempat yang dekat ke mata air untuk kepentingan strategi pertahanan ketika perang Badar.
Ketika menerangkan sebab turunnya ayat ini Muqatil meriwayatkan bahwa ketika Nabi bersabda:
"Barang siapa mencintai aku sesungguhnya ia mencintai Allah. Dan barang siapa yang menaati aku sesungguhnya ia menaati Allah. Orang munafik berkata, "Tidakkah kamu mendengar kata laki-laki ini (Muhammad)? Sesungguhnya ia telah mendekati syirik. Sesungguhnya ia melarang kita menyembah selain Allah dan ia menghendaki kita menjadikannya tuhan sebagaimana orang-orang Nasrani menjadikan Isa tuhan. Maka Allah menurunkan ayat ini." (Riwayat Muqatil).
Menaati Rasul tidak dapat dikatakan perbuatan syirik, karena Rasul penyampai perintah Allah. Dengan demikian menaati Rasul adalah menaati Allah, bukan mempersekutukannya dengan Allah.
Di dalam Tafsir al-Maragi dijelaskan bahwa syirik itu terdiri dari dua macam. Pertama, syirik uluhiyah, yaitu mempercayai adanya sesuatu selain Allah yang mempunyai kekuatan gaib dan dapat memberi manfaat dan memberi mudarat. Kedua, syirik rububiyah, mempercayai bahwa ada sesuatu selain Allah yang mempunyai hak menetapkan hukum haram dan halal, sebagaimana orang Nasrani memandang hak tersebut ada pada pendeta-pendeta mereka.
Orang mukmin sejati berpendirian: Tunduk hanya kepada Allah sebagai Pencipta dan tiada makhluk yang mempunyai kekuatan gaib yang dapat memberi manfaat dan mudarat, dan tidak ada di antara makhluk yang berhak menetapkan hukum haram dan halal, karena semua makhluk tunduk kepada kehendak-Nya.
Allah menghendaki agar Rasul-Nya (Muhammad) tidak mengambil tindakan kekerasan atau paksaan terhadap orang yang tidak menaatinya, karena ia diutus hanya sekedar menyampaikan berita gembira dan peringatan keras. Keimanan manusia pada kerasulannya tidak digantungkan kepada paksaan, tetapi kepada kesadaran setelah menggunakan pikiran.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TAAT KEPADA ALLAH DAN RASUL
Pada ayat 59 sudah diterangkan tentang wajib taat kepada Allah, kepada Rasul, dan kepada ulil amri. Di ayat 64 diterangkan pula bahwasanya Rasul diutus untuk ditaati, dan di ayat 65 ditegaskan lagi bahwa belumlah berarti iman mereka, sebelum perselisihan di antara mereka diminta keputusannya kepada Rasul dan diterima dengan taat apa yang beliau putuskan itu. Kemudian pada ayat 69 diberi janji oleh Allah, bahwasanya orang yang taat kepada Allah dan Rasul akan mendapat tempat yang mulia, bersama nabi-nabi dan shiddiqin dan syuhada dan shalihin di surga. Sekarang datang menerangkan darihal taat kepada Rasul, penjelasan lain,
Ayat 80
“Barangsiapa yang taat kepada Rasul, maka sesungguhnya dia telah taat kepada Allah."
Tentu seorang Mukmin yang telah mendalam perasaan tauhid telah dapat memahamkan bahwa dengan firman Allah yang seperti ini bukanlah berarti bahwa Rasul ﷺ telah bersekutu dengan Allah. Sama juga dengan perkataan ahli-ahli tasawuf yang terkenal,
“Barangsiapa yang mengenal akan dirinya, sesungguhnya telah kenallah dia akan Tuhannya. “
Bukanlah berarti dengan demikian bahwa diri telah jadi Tuhan.
Dengan firman Allah tersebut, dapatlah dipahamkan bahwasanya jika orang telah taat kepada Rasul, berarti dia telah taat kepada Allah. Sebab apa yang disampaikan oleh Rasul tidak lain dari perintah Allah. Rasul telah diambil Allah sebagai saluran untuk menyampaikan perintah-Nya kepada manusia. Sebab manusia sendiri, masing-masingnya tidaklah akan kuat menerima strom wahyu dari malaikat Jibril. Sedangkan Rasul, tiap-tiap wahyu datang, senantiasa mengeluarkan keringat karena beratnya. Pernah beliau duduk menghimpitkan kakinya kepada Zaid yang sedang duduk dekat beliau, ketika wahyu datang. Oleh Zaid sendiri terasa betapa sangat beratnya tubuh Rasululah ﷺ, menimpa bagian badannya, di waktu itu. Setelah selesai wahyu dan Jibril telah pergi, barulah Zaid dapat menarik napas dengan lapang kembali karena telah ringan.
Oleh sebab itu, para ulama memberi perincian tentang ketaatan kepada Rasul. Pertama, ialah wahyu yang beliau terima, yang bernama Al-Qur'an dan sekarang telah berkumpul menjadi mushaf. Dia datang kepada kita melalui Rasul ﷺ dan keluar dari mulut beliau. Maka wahyu yang beliau sampaikan ini wajib ditaati dengan tidak memakai syarat. Malahan sejak zaman Rasul sampai kepada kita sekarang ini tidak ada orang yang mengatakan bahwa Al-Qur'an sabda Rasul ﷺ, melainkan firman Allah, meskipun sampainya kepada kita dengan melalui mulut Rasul.
Kedua, yang wajib ditaati lagi ialah penafsiran beliau dengan sunnahnya atas segala perintah Allah yang telah disampaikan dengan wahyu itu, baik penafsiran dengan perkataan (aqwal) maupun dengan perbuatan (afaaf), atau perbuatan orang lain yang beliau tahu, tetapi tidak beliau salahkan (taqrir)
Ketiga, ialah pendapat-pendapat pribadi, yang beliau sendiri mengakui sebagai manusia beliau pun bisa khilaf dan bisa salah. Misalnya ketika beliau menyatakan pendapat dalam mempertimbangkan Peperangan Uhud, mana yang baik bertahan dalam kota atau menyerbu ke luar kota. Pendapat pribadi beliau lebih baik bertahan saja, tetapi pendapat golongan terbanyak dari angkatan muda, ialah berperang di lapangan terbuka.
Beliau tinggalkan pendapatnya tadi dan beliau ikuti pendapat suara terbanyak. Demikian pula dalam Perang Badar, beliau menyuruh berhenti dan memasang kemah di suatu tempat yang jauh dari air. Seorang sahabat bertanya, apakah berlabuh di sini ini pendapat beliau sendiri atau wahyu? Beliau jawab, “Pendapat sendiri!" Maka sahabat yang meminta penjelasan itu menyatakan bahwa tempat ini tidak tepat buat tempat berhenti sebab jauh dari air. Lebih baik kita pindah ke tempat itu, (lalu dia menunjukkan satu tempat yang lebih baik), karena tempat itu ada air, sehingga kalau musuh datang, kita terlebih dahulu telah menguasai tempat yang ada airnya. Rasulullah ﷺ menurut kepada pendapat sahabatnya itu.
Dalam urusan duniawi beliau sendiri pun menjelaskan bahwa “kamu lebih tahu". Kamu itu ialah bersama-sama. Sebab itu beliau selalu mengajak musyawarah dalam urusan demikian. Tetapi pimpinan tetap beliau pegang.
Perkataan beliau “kamu lebih tahu" ialah sesudah pada suatu ketika beliau mencampuri suatu soal yangtidakberkenaan dengan wahyu, yaitu tentang mengadakan pengawinan bibit kurma jantan dan betina. Ahli-ahli pertanian kurma berpengalaman bahwa sebelum bibit itu ditanam, dikawinkan dahulu dengan cara-cara yang khas. Beliau menyatakan bahwa hal itu tidak perlu. Karena taat kepada Rasul, petani itu terus menanamkannya, dan beberapa waktu kemudian ternyata yang tidak melalui syarat itu tumbuh juga tetapi tidak berbuah, sedang yang dikawinkan terlebih dahulu itu berbuah dengan lebatnya. Waktu itulah beliau berkata bahwa sebagai manusia, beliau bisa khilaf. Malahan dapat kita ingat kembali penafsiran tentang seorang yang bertanya akan keadaan bulan, yang mula-mula kecil laksana sabit, kemudian penuh jadi purnama, kemudian melancip kecil lagi, lalu Allah me-nuntun beliau memberikan jawab menurut tugas beliau, yaitu bahwa pergantian bulan sabit dengan purnama ialah untuk menghitung waktu-waktu dan membilang-bilang jika akan mengerjakan haji, dan beliau suruh supaya orang masuk rumah dari pintunya (surah al-Baqarah ayat 189), yang menurut setengah ahli tafsir, hendaklah menanyakan sesuatu kepada ahlinya, sedang Rasul bukanlah ahli ilmu falak dan ilmu hisab.
Sungguh pun demikian, para sahabat beliau, untuk ta'abbud banyak juga meniru perbuatan-perbuatan pribadi beliau. Terutama Abdullah bin Umar, terkenal bahwa shalat dan ibadahnya yang lain, persis menuruti cara beliau dalam segala hal, bahkan di mana biasa tempat beliau berhenti, berteduh kepanasan dan sebagainya. Ibnu Umar pun berhenti dan berteduh di situ. Lantaran itu ulama-ulama memasukkan hal yang demikian kepada man-dub atau mustahab atau sunnah. Misalnya ketika beliau menganjurkan memakai madu lebah menjadi obat. Atau kalau lalat masuk minuman, hendaklah benamkan terlebih dahulu seluruh badannya, kemudian baru buang-kan lalatnya dan minuman itu boleh diminum terus. Ulama mengatakan bahwa dalam hal ini seyogianya diikuti anjuran beliau, tetapi tidak termasuk kepada wajib, melainkan sangat baik (mustahab).
Beliau sendiri kerap kali pula menjelaskan terlebih dahulu tentang suka tak suka pribadi itu. Misalnya pada suatu hari Khalid bin Walid membawa seekor dhab (semacam Beng-karung) yang telah dikeringkan. Khaiid bin Walid suka makan dhab, lalu dia menawarkan, apakah Rasulullah suka. Terus terang beliau menyatakan bahwa beliau sendiri, pribadi, tidak menyukainya, tetapi tidak melarang orang yang memakannya. Lantaran itu beberapa ulama mengeluarkan pendapat bahwa memakan dhab itu makruh, kurang disukai. (Kata Sahibul Hikayat dhab kalau dimakan dapat membangkitkan syahwat kelamin. Wallahu a'lam).
Jadi dengan serba sedikit keterangan ini dapatlah kita pahami apa maksudnya. Yaitu bahwa taat kepada Rasul, artinya ialah telah taat kepada Allah. Bukan karena kita mempersekutukan Rasul dengan Allah, tetapi karena Rasul diperintah Allah buat memimpin kita menjalankan perintah Allah. Sama juga dengan apabila kita taat kepada seorang alat negara yang menyampaikan panggilan kepada kita supaya menghadap instansi yang lebih tinggi. Kita taat. Karena yang disampaikan kepada kita itu adalah perintah dari atasannya.
“Tetapi barangsiapa yang berpaling." Artinya barangsiapa yang tidak patuh dan taat kepada perintah-Ku yang Aku suruh engkau menyampaikannya kepada mereka.
“Maka tidaklah Kami utus engkau atas mereka sebagai pemelihara."
Artinya jika mereka tidak mau taat kepada perintah-Ku yang Aku seru engkau menyampaikannya itu, Kami akan melakukan hukum Kami. Yang melanggar akan Kami jatuhi hukum yang setimpal, dia menjadi berdosa, dan engkau tidaklah akan memelihara atau mempertahankan mereka dari hukuman Kami itu. Kewajiban engkau adalah semata-mata menyampaikan perintah, bukan turut menentukan hukum dengan kehendak sendiri dan bukan pula berkuasa buat membela dan memelihara mereka.
Dan mereka itu berkata,
Ayat 81
Taat!' Tetapi apabila mereka telah benpisah daripada engkau, berbisik malam segolongan dari mereka itu, berlain dari yang mereka katakan."
Yakni ketika bermuka-muka siang hari dengan Rasulullah ﷺ semua mengatakan, “Taat" “Setia", “Patuh". Semuanya serentak menyatakan kepatuhan. Serentak betul-betul taat, dengan mulutnya saja mengaku taat, sedang hatinya tidak. Sebab, kemudian pada malam hari, mereka yang hatinya tidak taat telah berkumpul lagi memperbisikkan dalih mereka, yang berbeda sama sekali dari apa yang mereka ucapkan siang hari. “Maka Allah akan menuliskan apa yang mereka perbisikkan malam hari itu." Tingkah laku mereka yang tidak jujur, yang munafik, tidaklah terlepas dari catatan Allah, Allah mengetahui bahwa mereka tidak jujur.
Ketika berhadapan mulutnya manis, balik belakang lain bicara....
Orang-orang begini ada dalam catatan Allah. Berfirmanlah Allah selanjutnya, “Lantaran itu, berpalinglah engkau dari mereka." Jangan terlalu dihadapkan perhatian sehingga menyebabkan susah hati karena tingkah laku mereka itu. “Dan bertawakallah kepada Allah." Karena pertolongan Allah bukanlah akan bergantung kepada ada atau tidaknya orang yang seperti itu,
“Dan cukuplah dengan Allah sebagai Pembela."
Tentang adanya orang-orang yang demikian, yang mengucap taat ketika berhadapan dan apabila telah beralih tempat, mereka berbisik lagi yang menunjukkan tidak taat, bahkan kadang-kadang mencemooh, perlu di-ketahui oleh Rasul. Asal tahu saja, untuk me
nyeragamkan pimpinan, tetapi jangan diambil berat. Sebab jaminan Allah tetap ada, Allah akan membelamu.
Ayat 82
“Maka apakah tidak mereka mau merenungkan Al-Qur'an?"
Sebagai wahyu Ilahi yang disampaikan oleh Rasul ﷺ sehingga dia wajib ditaati. Renungkanlah dia baik-baik. Kamu sendiri akan merasakan bahwa ini bukanlah Rata manusia, bukan karangan ahli syair dan bukan re-nungan ahli tenung (kahin), dan bukan kata dari Muhammad sendiri,
“Dan kalau adalah dia dari sisi yang selain Allah, sesungguhnya akan mereka dapati di dalamnya perselisihan yang banyak."
Al-Qur'an turun dari Allah. Dia bukan kata-kata ucapan manusia. Bukan kata susunan Muhammad, walaupun keluar melalui mulutnya. Mereka sendiri, sebagai umat yang mula-mula menerima dakwah dari Al-Qur'an, kalau suka merenungkan dan suka jujur, akan mengakui tidakadayanglain yang akan sanggup menyusun kata sebagai demikian. Kalau dia dari yang lain, tentu akan timbul perselisihan yang banyak di dalamnya, baik di dalam pemakaian bahasa atau dalam pengutaraan pikiran.
Dua susun kata sebagai keahlian orang Arab sejak purbakala, sebelum Nabi Muhammad ﷺ diutus Allah. Pertama kata-kata hikmat, kedua kata-kata syair. Kata hikmat pujangga masih dapat ditandingi oleh pujangga lain, kata ahli syair yang ternama dapat ditunj ukkan kelemahannya oleh ahli kritik, meskipun diakui bagus susunannya, tetapi kurang pada makna. Atau bagus maknanya tetapi kaku irama syairnya. Akan datang orang lain berkata, kalau kalimat ini ditukar dengan itu, kalau ini didahulukan dan itu dikemudiankan, kalau dikurangi sedikit, kalau ditambah sedikit. Sayang sekali di sini kekurangannya! Ini syair bagus, tetapi....
Sehingga kata hikmat atau syair jika telah diulang membacanya berkali-kali, timbul kebosanan. Sekarang cobalah renungkan Al-Qur'an. Kamu akan mendapati di dalamnya kata bukan sembarang kata, kalimat bukan sembarang kalimat. Bertambah kamu kaji dia, bertambah berasalah i'jaz, lemah dirimu menghadapinya. Satu ayat tidak berlawan dengan yang lain, satu sabda tidak selisih dengan sabda yang lain, bahkan yang satu menggenapkan yang lain, ayat ini ditafsirkan oleh ayat itu.
Ajakan Allah menyuruh merenungkan Al-Qur'an telah dilakukan oleh bangsa Arab setelah mereka menerima Islam. Seorang ahli syair besar dan disayangi oleh Rasulullah ﷺ, yakni Hassan bin Tsabit. Syair-syairnya telah dipakai oleh Rasulullah untuk alat dakwah. Kalau ada utusan-utusan dari seluruh Arab menghadap Rasulullah di Madinah untuk menanyakan tentang Islam, dan mereka membawa ahli syair dari kabilah mereka, sebagai pelengkap-pelengkap perutusan di zaman itu, Rasulullah ﷺ menyambut mereka dengan ahli syair pula. Hassan bin Tsabit. Sampai Rasulullah mendoakan kepada Allah, semoga Hassan bin Tsabit disokong dengan Ruhul Qudus. Tetapi setelah zaman penyambutan itu berlalu, kian lama syair Hassan bin Tsabit kian mundur. Ilham syairnya tidak bangkit lagi. Orang bertanya kepada Hassan bin Tsabit apa sebab jadi demikian. Terus terang dia mengakui bahwa jiwanya telah dipesona oleh Al-Qur'an.
Sudah 14 abad sampai sekarang, Al-Qur'an masih tetap begitu. Pujangga-pujangga Arab, termasuk juga yang bukan beragama Islam, sebab mereka mendapat perlindungan (dzim-mah) yang luas sekali dari Islam, mengakui bahwa tidak bisa seseorang menjadi pujangga Arab kalau dia tidak mengenal Al-Qur'an.
Ungkapannya senantiasa mengesankan (aktual), tidak basi karena perubahan zaman. Di zaman dahulu seorang pujangga bernama
Abdul Qahir al-)urjani, telah mengarang sebuah buku bernama l'jazul Al-Qur'an, diuraikan satu demi satu ayat itu, bagaimana lemah lunglainya manusia untuk menjaminnya, usahkan mengatasinya. Di zaman kita ini pun seorang pujangga yang lain, misalnya Mushtafa Shadiq ar-Rafil mengarang lagi buku dengan nama yang sama, untuk menjelaskan lagi betapa lemahnya kita manusia buat menyamainya usahkan mengatasinya. Nyatalah dia dari Allah, tidak dari yang lain, tidak ilham setan atau jin kepada seorang penyair. Apatah lagi tidaklah dia itu kata-kata Muhammad ﷺ. Kalau dia dari manusia, usahkan sampai 14 abad, 14 tahun saja sudah habislah kuasanya. Herannya demikian sukar bahasa Arab, namun bangsa yang bukan Arab jika menjadi Islam dan mempelajarinya, pun akan kena oleh strom singagarnya. Sehingga dihitung-hitung orang, banyak sekali ahli Al-Qur'an yang bukan Arab, tetapi menjadi guru dari orang Arab. Sebab itu, ulama-ulama Islam di zaman modern, sebagai Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syekh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, dan Syekh Hasan al-Banna, dan beberapa pemuka Islam yang lain lagi, berkeyakinan bahwa untuk membangkitkan semangat Islam yang hidup di dalam jiwa kita, sesudah sekian ratus tahun melempem, jalan satu-satunya ialah kembali meneguk tirta rasa dari Al-Qur'an.
Untuk mengenai Al-Qur'an, sekali lagi diingatkan, taatilah Rasul.
Dari ayat ini juga, menurut ar-Razi, dapat dipahami bahwa kita wajib memandangnya dengan tekun dan sanggup mengambil dalil. Di sini juga kita dapat tahu bahwa taqiid (menurut saja kepada orang lain) dengan tidak mengetahui dalilnya adalah satu kesalahan.
Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar, “Barangsiapa yang dengan teliti merenungi Al-Qur'an dengan makna yang terkandung di dalamnya, serta memelihara tafsirnya yang didapat dari sunnah Rasulullah ﷺ dan dari sahabat-sahabatnya, yang telah turut hadir seketika
ayat-ayat diturunkan dan dapat menghasilkan hukum dari memerhatikan manthuq-nya (yang tersurat) dan mafhum-nya (yang tersirat), demikian juga makna yang terkandung dalam sunnah, menyaring mana yang dapat dijadikan hujjah. Orang itulah yang terpuji dan dapat mengambil manfaat dari Al-Qur'an. Itulah usaha dari ahli-ahli fiqih di kota-kota besar, baik tabi'in-tabi'in atau ulama-ulama yang sesudah mereka," Sekian Ibnu Hajar.
Lantaran itu bukanlah Al-Qur'an buat semata-mata dilagukan, melainkan buat dipahamkan dan direnungkan sehingga dapat diambil inti sarinya.