Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
حَضَرَ
hadir
ٱلۡقِسۡمَةَ
pembagian itu
أُوْلُواْ
kelompok
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينُ
dan orang-orang miskin
فَٱرۡزُقُوهُم
maka berilah mereka rezki
مِّنۡهُ
dari padanya/harta
وَقُولُواْ
dan katakanlah
لَهُمۡ
kepada mereka
قَوۡلٗا
perkataan
مَّعۡرُوفٗا
yang baik/patut
وَإِذَا
dan apabila
حَضَرَ
hadir
ٱلۡقِسۡمَةَ
pembagian itu
أُوْلُواْ
kelompok
ٱلۡقُرۡبَىٰ
kerabat
وَٱلۡيَتَٰمَىٰ
dan anak-anak yatim
وَٱلۡمَسَٰكِينُ
dan orang-orang miskin
فَٱرۡزُقُوهُم
maka berilah mereka rezki
مِّنۡهُ
dari padanya/harta
وَقُولُواْ
dan katakanlah
لَهُمۡ
kepada mereka
قَوۡلٗا
perkataan
مَّعۡرُوفٗا
yang baik/patut
Terjemahan
Apabila (saat) pembagian itu hadir beberapa kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin, berilah mereka sebagian dari harta itu dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Tafsir
(Dan apabila pembagian harta warisan dihadiri oleh karib kerabat) yakni dari golongan yang tidak beroleh warisan (dan anak-anak yatim serta orang-orang miskin, maka berilah mereka daripadanya sekadarnya) sebelum dilakukan pembagian (dan ucapkanlah) hai para wali (kepada mereka) yakni jika mereka masih kecil-kecil (kata-kata yang baik) atau lemah-lembut, seraya meminta maaf kepada kaum kerabat yang tidak mewarisi itu, bahwa harta peninggalan ini bukan milik kalian tetapi milik ahli waris yang masih kecil-kecil. Ada yang mengatakan bahwa hukum ini yakni pemberian kepada kaum kerabat yang tidak mewarisi telah dinasakhkan/dihapus. Tetapi ada pula yang mengatakan tidak, hanya manusialah yang mempermudah dan tidak melakukannya. Berdasarkan itu maka hukumnya sunah, tetapi Ibnu Abbas mengatakannya wajib.
Tafsir Surat An-Nisa': 7-10
Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada pula hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.
Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat, anak yatim, dan orang miskin, maka berilah mereka dari harta itu (sekadamya) dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik.
Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim sebenarnya mereka itu menelan api ke dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
Ayat 7
Sa'id ibnu Jubair dan Qatadah mengatakan bahwa dahulu orang-orang musyrik memberikan hartanya kepada anak-anaknya yang besar-besar saja, dan mereka tidak mewariskannya kepada wanita dan anak-anak kecil. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Bagi anak laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya.” (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Maksudnya semuanya sama dalam hukum Allah ﷻ. Mereka mempunyai hak waris, sekalipun terdapat perbedaan menurut bagian-bagian yang ditentukan oleh Allah ﷻ bagi masing-masing dari mereka sesuai dengan kedudukan kekerabatan mereka dengan si mayat, atau hubungan suami istri, atau hubungan al-wala (loyalitas). Karena sesungguhnya hubungan wala itu merupakan daging yang kedudukannya sama dengan daging yang senasab (sedarah).
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Ibnu Hirasah, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Aqil, dari Jabir yang menceritakan bahwa Ummu Kahhah datang menghadap Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai dua orang anak perempuan yang bapaknya telah mati, sedangkan keduanya tidak memperoleh warisan apa pun (dari ayahnya)." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabat.” (An-Nisa: 7), hingga akhir ayat.
Hadits ini akan diterangkan nanti dalam pembahasan kedua ayat tentang pembagian warisan.
Ayat 8
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat”. (An-Nisa: 8)
Menurut suatu pendapat makna yang dimaksud ialah apabila di saat pembagian warisan dihadiri oleh kaum kerabat yang bukan dari kalangan ahli waris.
“Anak yatim dan orang miskin.” (An-Nisa: 8)
Maka hendaklah mereka diberi bagian sekadarnya sebagai hadiah. Sesungguhnya hal tersebut diwajibkan pada permulaan Islam.
Menurut pendapat yang lain hal itu adalah sunat. Para ulama berselisih pendapat, apakah hal ini dimansukh ataukah tidak; ada dua pendapat mengenainya.
Imam Al-Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abdullah Al-Asyja'i, dari Sufyan, dari Asy-Syaibani, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini. Dikatakan bahwa ayat ini muhkamah (tetap berlaku hukumnya) dan tidak dimansukh (direvisi).
Pendapat Imam Al-Bukhari ini diikuti oleh Sa'id yang meriwayatkannya juga dari Ibnu Abbas.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Abbad ibnul Awwam, dari Al-Hajjaj, dari Al-Hakam, dari Miqsam, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini masih tetap berlaku dan dipakai.
Ats-Tsauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Nujaih, dari Mujahid sehubungan dengan ayat ini, bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib atas ahli waris si mayat dalam jumlah yang disetujui oleh mereka dan mereka rela memberikannya.
Hal yang sama diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud, Abu Musa, Abdur Rahman ibnu Abu Bakar, Abul Aliyah, Asy-Sya'bi, dan Al-Hasan. Ibnu Sirin, Sa'id ibnu Jubair, Makhul, Ibrahim An-Nakha'i.
‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Az-Zuhri, dan Yahya ibnu Ya'mur mengatakan bahwa pemberian tersebut hukumnya wajib.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari Abu Sa'id Al-Asyaj, dari Ismail ibnu Ulayyah, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Ibnu Sirin yang mengatakan bahwa Ubaidah mengurus suatu wasiat; ia memerintahkan agar didatangkan seekor kambing, lalu kambing itu disembelih, kemudian ia memberi makan orang-orang yang disebutkan dalam hadits ini, lalu berkata, "Seandainya tidak ada ayat ini, niscaya biayanya diambil dari hartaku."
Imam Malik dalam suatu riwayat yang ia ketengahkan di kitab tafsir di bagian dari satu juz yang terhimpun dalam Muwatha mengatakan bahwa Urwah pernah memberi orang-orang dari harta Mus'ab ketika ia membagikan harta (yang ditinggalkan)nya.
Az-Zuhri mengatakan bahwa ayat ini muhkam (masih tetap berlaku).
Telah diriwayatkan dari Abdul Karim, dari Mujahid yang mengatakan bahwa pemberian tersebut adalah suatu hak yang wajib dalam batas yang disetujui oleh orang-orang yang bersangkutan.
Alasan orang-orang yang berpendapat bahwa pemberian bagian tersebut merupakan perintah wasiat yang ditujukan kepada mereka yang bersangkutan. Abdur Razzaq mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Asma binti Abdur Rahman ibnu Abu Bakar As-Siddiq dan Al-Qasim ibnu Muhammad; keduanya telah menceritakan kepadanya bahwa Abdullah ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Bakar pernah membagikan harta warisan ayahnya (yaitu Abdur Rahman) yang saat itu Siti Aisyah masih hidup.
Selanjutnya Abdullah tidak membiarkan seorang miskin pun, tidak pula seorang kerabat, melainkan diberinya bagian dari harta peninggalan ayahnya. Lalu keduanya membacakan firman Allah ﷻ: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat.” (An-Nisa: 8) Al-Qasim mengatakan bahwa lalu aku ceritakan hal tersebut kepada Ibnu Abbas, maka ia berkata, "Kurang tepat, sebenarnya dia tidak usah melakukan hal itu. Sesungguhnya hal itu hanyalah berdasarkan wasiat, dan ayat ini hanyalah berkenaan dengan wasiat yang dikehendaki oleh si mayat buat mereka." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Alasan orang yang berpendapat bahwa ayat ini dimansukh secara keseluruhan. Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Muhammad ibnus Saib Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir.” (An-Nisa: 8), hingga akhir ayat. Bahwa ayat ini dimansukh.
Ismail ibnu Muslim Al-Makki meriwayatkan dari Qatadah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan sehubungan dengan ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat.” (An-Nisa: 8) Bahwa ayat ini dimansukh oleh ayat sesudahnya, yaitu oleh firman-Nya: “Allah mensyariatkan bagi kalian tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anak kalian.” (An-Nisa: 11)
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan ini, yaitu firman-Nya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir kerabat.” (An-Nisa: 8) Hal ini berlaku sebelum turunnya ayat tentang bagian-bagian tertentu dalam harta pusaka.
Sesudah itu Allah menurunkan ayat bagian-bagian tertentu dan memberikan kepada ahli waris haknya. Kemudian sedekah diadakan menurut apa yang disebutkan oleh si mayat (sewaktu masih hidupnya). Semua itu diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Muhammad ibnus Sabah, telah menceritakan kepada kami Hajaj, dari Ibnu Juraij dan Usman ibnu Ati, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir anak yatim dan orang miskin.” (An-Nisa: 8) Ayat ini dimansukh oleh ayat tentang pembagian harta pusaka.
Maka Allah menjadikan bagi setiap ahli waris bagiannya yang tertentu dari harta peninggalan ibu bapaknya dan kaum kerabatnya, ada yang mendapat sedikit dan ada yang mendapat banyak.
Telah menceritakan kepada kami Usaid ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Amir, dari Hammam, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab; ia pernah mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh.
Sebelum ada ayat yang menentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris, sebagian dari harta peninggalan seorang lelaki diberikan kepada anak yatim, orang fakir miskin, dan kaum kerabat apabila mereka menghadiri pembagiannya. Selanjutnya ini dimansukh oleh ayat yang menentukan bagian-bagian tertentu bagi ahli waris, maka Allah menetapkan bagi tiap-tiap ahli waris yang layak didapatnya. Wasiat diambil dari sebagian harta peninggalan si mayat yang ia wasiatkan buat kaum kerabat yang dikehendakinya.
Malik meriwayatkan dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab yang mengatakan bahwa ayat ini telah dimansukh oleh ayat mawaris dan ayat mengenai wasiat. Hal yang sama diriwayatkan dari Ikrimah, Abusy Sya'sa, Al-Qasim ibnu Muhammad, Abu Saleh dan Abu Malik, juga oleh Zaid ibnu Aslam, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Khurrasani, Muqatil ibnu Hayyan, dan Rabi'ah ibnu Abu Abdur Rahman.
Disebutkan bahwa mereka mengatakan ayat ini telah dimansukh. Hal ini merupakan mazhab jumhur ulama fiqih, Imam yang empat dan para pengikutnya masing-masing. Sehubungan dengan masalah ini Ibnu Jarir memilih satu pendapat yang aneh sekali. Kesimpulannya menyatakan bahwa makna ayat menurutnya adalah: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir.” (An-Nisa: 8) Yakni apabila pembagian harta wasiat itu dihadiri oleh kaum kerabat mayat.
“Maka berilah mereka dari harta itu, dan ucapkanlah oleh kalian.” (An-Nisa: 8) kepada anak-anak yatim dan orang-orang miskin bila mereka menghadirinya, “Perkataan yang benar.” (An-Nisa: 8)
Demikianlah makna yang disimpulkan oleh Ibnu Jarir sesudah pembicaraan yang bertele-tele dan berulang-ulang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila sewaktu pembagian itu hadir.” (An-Nisa: 8) Yaitu pembagian warisan.
Demikianlah yang dikatakan tidak hanya seorang ulama, dan makna inilah yang dinilai benar, bukan seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir tadi. Makna yang dimaksud ialah apabila dalam pembagian tersebut hadir orang-orang fakir dari kerabat si mayat, yaitu mereka yang tidak mempunyai hak waris, serta hadir pula orang-orang miskin, anak-anak yatim, sedangkan harta peninggalan yang ditinggalkan melimpah jumlahnya. Maka akan timbul keinginan untuk mendapatkan sesuatu dari harta tersebut ketika mereka melihat yang ini menerima dan yang itu menerima warisan, sedangkan mereka tidak mempunyai harapan untuk mendapatkan seperti apa yang mereka terima. Maka Allah ﷻ Yang Maha Pengasih dan Penyayang memerintahkan agar diberikan kepada mereka suatu pemberian dari harta warisan tersebut dalam jumlah yang sekadarnya, sebagai sedekah buat mereka, dan sebagai kebaikan serta silaturahmi kepada mereka, sekaligus untuk menghapuskan ketidakberdayaan mereka. Seperti pengertian yang terkandung di dalam firman Allah ﷻ: “Makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya kepada fakir miskin.” (Al-An'am: 141) Allah ﷻ mencela orang-orang yang mengangkut harta dengan sembunyi-sembunyi agar tidak kelihatan oleh orang-orang miskin dan orang-orang yang berhajat kepadanya. Seperti yang diberitakan oleh Allah ﷻ tentang para pemilik kebun, yaitu melalui firman-Nya: “Ketika mereka bersumpah bahwa mereka sungguh-sungguh akan memetik (hasil)nya di pagi hari.” (Al-Qalam: 17) Makna yang dimaksud ialah di malam hari. Allah ﷻ berfirman: “Maka pergilah mereka seraya saling berbisik-bisik: ‘Pada hari ini janganlah ada seorang miskin pun masuk ke dalam kebun kalian’." (Al-Qalam: 23-24) Maka sebagai akibatnya mereka dibinasakan, seperti yang dinyatakan di dalam firman-Nya yang lain, yaitu: “Allah telah. rnenimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (Muhammad: 10) Barang siapa yang ingkar terhadap hak Allah, niscaya Allah akan menghukumnya dengan menimpakan malapetaka terhadap barang milik yang paling disayanginya.
Karena itulah maka disebutkan di dalam sebuah hadits: “Tidak sekali-kali harta zakat mencampuri suatu harta, melainkan ia pasti merusaknya.” Dengan kata lain, tidak menunaikan zakat merupakan penyebab bagi ludesnya harta tersebut secara keseluruhan.”
Ayat 9
Firman Allah ﷻ: “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya meninggalkan di belakang mereka.” (An-Nisa: 9), hingga akhir ayat.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ayat ini berkenaan dengan seorang lelaki yang sedang rnenjelang ajalnya, lalu kedengaran oleh seorang lelaki bahwa dia mengucapkan suatu wasiat yang menimbulkan mudarat (keburukan) terhadap ahli warisnya.
Maka Allah ﷻ memerintahkan kepada orang yang mendengar wasiat tersebut agar ia bertakwa kepada Allah, membimbing si sakit serta meluruskannya ke jalan yang benar. Hendaknya si sakit memandang kepada keadaan para ahli warisnya sebagaimana diwajibkan baginya berbuat sesuatu untuk ahli warisnya, bila dikhawatirkan mereka akan terlunta-lunta. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang.
Di dalam sebuah hadits dalam kitab Shahihain disebutkan seperti berikut: Ketika Rasulullah ﷺ masuk ke dalam rumah Sa’d ibnu Abu Waqqas dalam rangka menjenguknya, maka Sa'd bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku mempunyai harta, sedangkan tidak ada orang yang mewarisiku kecuali hanya seorang anak perempuan. Maka bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tidak boleh." Sa'd bertanya, “Bagaimana kalau separonya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Jangan." Sa'd bertanya, "Bagaimana kalau sepertiganya?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Sepertiganya sudah cukup banyak." Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya bila kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan adalah lebih baik daripada kamu membiarkan mereka dalam keadaan miskin meminta-minta kepada orang.”
Di dalam kitab shahih dari Ibnu Abbas mengatakan, "Seandainya orang-orang menurunkan dari sepertiga ke seperempat, maka sesungguhnya Rasulullah ﷺ bersabda, 'Sepertiganya sudah cukup banyak'."
Para ahli fiqih mengatakan, "Jika ahli waris si mayat adalah orang-orang yang berkecukupan, maka si mayat disunatkan berwasiat sebanyak sepertiga dari hartanya secara penuh. Jika ahli warisnya adalah orang-orang yang miskin maka wasiatnya kurang dari sepertiga."
Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud oleh ayat ialah takutlah kalian kepada Allah dalam memegang harta anak-anak yatim. Dan janganlah kalian makan harta anak yatim lebih dari batas keperluan dan janganlah kalian tergesa-gesa (membelanjakannya). (An-Nisa: 6)
Demikianlah yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur Al-Aufi dari Ibnu Abbas. Hal ini merupakan pendapat yang baik lagi mengukuhkan makna ancaman yang terdapat dalam ayat berikutnya sehubungan dengan memakan harta anak-anak yatim secara zalim.
Dengan kata lain, sebagaimana kamu menginginkan bila keturunanmu sesudahmu diperlakukan dengan baik, maka perlakukanlah keturunan orang lain dengan perlakuan yang baik pula bila kamu memelihara mereka.
Ayat 10
Kemudian Allah ﷻ memberitahukan kepada mereka bahwa orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim sesungguhnya ia menelan api ke dalam perutnya. Karena itulah maka Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api ke dalam perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)” (An-Nisa: 10) bila mereka makan harta anak yatim tanpa alasan yang dibenarkan. Sesungguhnya yang mereka makan itu adalah api yang menyala-nyala di dalam perut mereka di hari kiamat kelak.
Di dalam kitab Shahihain melalui hadits Sulaiman ibnu Bilal, dari Tsaur ibnu Zaid, dari Salim Abul Gais, dari Abu Hurairah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Jauhilah oleh kalian tujuh macam dosa yang membinasakan." Ditanyakan, "Apa sajakah dosa-dosa itu, wahai Rasulullah?" Beliau ﷺ menjawab, "Mempersekutukan Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan alasan yang benar, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari dari medan perang, menuduh berzina wanita-wanita mukmin yang memelihara kehormatannya."
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaidah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdus Samad Al-Ama, telah menceritakan kepada kami Abu Harun Al-Abdi, dari Abu Said Al-Khudri yang mengatakan bahwa kami pernah bertanya, “Wahai Rasulullah, apa sajakah yang telah engkau lihat sewaktu engkau melakukan isra?" Nabi ﷺ menjawab, "Aku dibawa ke arah sekumpulan makhluk Allah yang jumlahnya banyak, semuanya terdiri atas kaum laki-laki. Masing-masing dari mereka memegang sebuah pisau besar seperti yang digunakan untuk menyembelih unta. Mereka ditugaskan untuk menyiksa sejumlah orang yang terdiri atas kaum laki-laki. Mulut seseorang dari mereka dibedah, lalu didatangkan sebuah batu besar dari neraka, kemudian dimasukkan ke dalam mulut seseorang di antara mereka hingga batu besar itu keluar dari bagian bawahnya, sedangkan mereka menjerit dan menggeram (karena sakit yang sangat). Lalu aku bertanya. 'Wahai Jibril, siapakah mereka?’ Jibril menjawab: 'Mereka adalah orang-orang yang memakan harta anak-anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya, dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)'."
As-Suddi mengatakan bahwa di hari kiamat kelak pemakan harta anak yatim dibangkitkan, sedangkan dari mulut dan telinganya, kedua lubang hidung dan kedua matanya keluar api; setiap orang yang melihatnya mengetahui bahwa dia adalah pemakan harta anak yatim.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Uqbah ibnu Makram, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Ziad ibnul Munzir, dari Nafi' ibnul Haris, dari Abu Barzah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Dibangkitkan di hari kiamat satu kaum dari kuburan mereka, sedangkan dari mulut mereka keluar api yang menyala-nyala.” Ketika ditanyakan, "Wahai Rasulullah, siapakah mereka?" Beliau bersabda, "Tidakkah kamu membaca firman-Nya yang mengatakan: 'Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim'.” (An-Nisa: 101) hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan dari ibnu Makram. Ibnu Hibban mengetengahkannya di dalam kitab shahih-nya, dari Ahmad ibnu Ali ibnul Musanna, dari Uqbah ibnu Makram.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Isam, telah menceritakan kepada kami Abu Amir Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Jafar Az-Zuhri Muhammad, dari Al-Maqbari, dari abu Hurairah bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku enggan terhadap harta dua orang yang lemah, yaitu wanita dan anak yatim.”
Makna yang dimaksud ialah 'aku berwasiat kepada kalian agar menjauhi harta kedua orang tersebut'.
Telah diketengahkan di dalam surat Al-Baqarah sebuah atsar melalui jalur ‘Atha’ ibnus Saib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ketika diturunkan firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim.” (An-Nisa: 10), hingga akhir ayat. Maka berangkatlah orang-orang yang di dalam pemeliharaannya terdapat anak yatim, lalu ia memisahkan makanannya dengan makanan anak yatimnya, begitu pula antara minumannya dengan minuman anak yatimnya, sehingga akibatnya ada sesuatu dari makanan itu yang berlebih tetapi makanan tersebut disimpan buat si anak yatim hingga si anak yatim memakannya atau makanan itu menjadi basi. Maka hal tersebut terasa amat berat bagi mereka, lalu mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim, katakanlah ‘mengurus urusan mereka secara patut adalah baik’." (Al-Baqarah: 220), hingga akhir ayat. Maka mereka kembali mencampurkan makanan dan minurnan mereka dengan makanan dan minurnan anak-anak yatimnya.
Setelah menjelaskan ketentuan hak warisan bagi kaum perempuan, maka pada ayat ini Allah memberi peringatan agar memperhatikan pula kerabat lain yang tidak memeroleh harta warisan dan kebetulan hadir ketika harta warisan itu dibagikan. Dan apabila sewaktu pembagian harta warisan itu hadir atau diketahui oleh beberapa kerabat yang tidak mendapatkan harta warisan, baik mereka yang hadir adalah anak-anak yatim dan orang-orang miskin yang masih ada hubungan kerabat atau tidak, maka hendaknya berilah mereka dari harta warisan itu sekadarnya yang dapat menghibur hati mereka, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik dan benar serta perlakukanlah mereka dengan bijaksana. Setelah menjelaskan anjuran berbagi sebagian dari harta warisan yang didapat kepada kerabat yang tidak mendapatkan bagian, ayat ini memberi anjuran untuk memperhatikan nasib anak-anak mereka apabila menjadi yatim. Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan di kemudian hari anakanak yang lemah dalam keadaan yatim yang belum mampu mandiri di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan-nya lantaran mereka tidak terurus, lemah, dan hidup dalam kemiskinan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka para wali bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar, penuh perhatian dan kasih sayang terhadap anak-anak yatim dalam asuhannya.
Dan apabila pada waktu diadakan pembagian harta warisan ikut hadir pula kaum kerabat yang tidak berhak mendapat warisan, begitu juga para fakir miskin atau anak yatim, maka kepada mereka sebaiknya diberikan juga sedikit bagian sebagai hadiah menurut keikhlasan para ahli waris agar mereka tidak hanya menyaksikan saja ahli waris mendapat bagian. Dan kepada mereka seraya memberikan hadiah tersebut diucapkan kata-kata yang menyenangkan hati mereka. Ini sangat bermanfaat sekali untuk menjaga silaturahmi dan persaudaraan agar tidak diputuskan oleh hasad dan dengki. Di samping itu, bagi para ahli waris hal ini menunjukkan rasa syukur kepada Allah.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KETENTUAN WARISAN
Ayat 7
“Untuk laki-laki ada bagian dari yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan keluanga yang dekat; dan untuk perempuan-perempuan pun ada bagian dari yang ditinggalkan oleh ibu bapak dan keluarga yang dekat."
Ayat ini mulailah memberikan ketentuan yang tegas bahwa apabila seseorang meninggal dunia, harta benda miliknya yang dia tinggalkan, hendaklah dibagi kepada ahli warisnya yang tinggal. Laki-laki mendapat dan perempuan pun sama mendapat. Baik yang mati ibu maupun bapak, atau keluarga karib yang lain, yaitu saudara satu keturunan, yang kelak akan dijelaskan berapa dan betapa pembagian itu. Dalam ayat ini disebutkan ayah dan bunda, atau ibu dan bapak, kemudian disusul dengan keluarga yang karib sehingga jika anak yang mati—karena keluarga karibnya adalah ayah dan bundanya dan saudara-saudaranya—tentu mereka pun mendapat pula. Kelak akan datanglah peraturan waris pusaka menerangkan mana yang langsung mendapat dan mana yang terdinding; misalnya saudara kandung terdinding dengan adanya anak. Nenek terdinding dengan adanya ayah, cucu terdinding dengan adanya anak, dan sebagainya. Namun pokok peraturan telah dijelaskan dalam ayat ini, yaitu bahwa laki-laki mendapat bagian dan perempuan pun mendapat bagian. Dengan sendirinya diubahlah kebiasaan zaman jahiliyyah, yang perempuan tidak mendapat apa-apa dan anak yang belum dewasa pun tidak mendapat apa-apa.
Kemudian, datang sambungan ayat, “Dan (peninggalan) yang sedikit ataupun banyak." Sebagai pepatah orang Melayu, “Sedikit diagih bercecah, banyak diagih berumpuk." Sehingga jangan sampai ada pihak yang dirugikan atau membulut sendiri harta benda yang ada, dan jangan ada yang berlaku curang. Tegasnya
menjadi perbuatan yang haram kalau ada pihak yang merasa dirinya menjadi ahli waris, yang menggelapkan waris yang lain yang sama berhak. Dijelaskan lagi di ujung ayat bahwa bagian itu adalah,
“Bagian yang sudah ditetapkan."
Artinya, yang menentukan bagian ini ialah Allah, tidak seorang pun yang boleh mengubahnya. Misalnya jika seseorang akan mati, menentukan bagian yang lebih banyak kepada anak yang lebih dikasihinya dan sedikit untuk anak yang dibencinya, atau istri yang lebih dicintai dan istri yang kurang disenangi, dengan perbuatan itu dia telah melanggar ketentuan Allah. Dirawikan Qatadah dan Ibnu Zaid, bahwa zaman jahiliyyah kalau ada yang me-ninggal dunia, dari harta peninggalannya tidak ada bagian untuk pewaris-pewaris yang perempuan. Ibnu Zaid menambahkan, “Anak-anak pun tidak dipedulikan orang tentang bagiannya." Dihantam sajalah harta itu oleh sau-dara-saudara dan paman-pamannya.
Menurut riwayat yang dikeluarkan oleh Abusy-Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitabnya al-Faraidh diterima dari al-Kalbi, Abu Shalih, dan Ibnu Abbas, berkata dia (Ibnu Abbas), “Orang pada zaman jahiliyyah tidak memberi warisan kepada anak-anak perempuan dan tidak pula anak laki-laki yang masih kecil-kecil, sampai mereka telah ada pengertian. Pada suatu hari, meninggallah seorang dari kalangan Anshar, namanya Aus bin Tsabit. Dia meninggalkan dua anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang masih kecil. Datanglah dua orang anak dari paman si mati. Namanya Khalid dan Arthafah, lalu diambilnya saja segala harta warisan semaunya untuk mereka berdua.
Melihat keadaan demikian, datanglah istri si mati menghadap Rasulullah mengadukan nasib ketiga anaknya. Lalu Rasulullah ﷺ menyuruh perempuan itu menanti sebab beliau belum tahu apa hukum yang akan diberikannya, menanti wahyu.
Kata ahli-ahli hadits, riwayat Abu Shalih dari Ibnu Abbas ini sangat lemah (sangat dhatf).
Menurut keterangan Ibnu Jarir dalam tafsirannya yang diterimanya dari Ibnu Juraij dari Ikrimah, ayat ini diturunkan berkenaan dengan Ummi Kahiah, anak perempuan Kahlah, Tsalabah, dan Aus bin Suwaid, yang semuanya dari kalangan Anshar. Tsalabah suami Ummi Kahlah dan Aus adalah paman anaknya. Istri Tsalabah datang mengadu kepada Rasulullah bahwa suaminya mati, dia dan anaknya ditinggalkan, sedang harta benda suaminya diambil oleh paman anaknya Aus, padahal dia tidak turut berusaha dalam menghasilkan harta itu.
Sebab-sebab turun ayat ini, mana pun yang benar, dapatlah kita jadikan penjelasan bahwa ayat ini masih belum lepas dari rangka pembelaan atas anak yatim yang masih kecil dan perempuan yang tidak mendapat apa-apa. Ayat menjelaskan bahwa laki-laki tetap mendapat warisan dari peninggalan ayah bundanya dan mendapat bagian juga dari warisan keluarganya yang dekat. Akan tetapi, bukan saja laki-laki, bahkan perempuan pun juga mendapat. Inilah yang dijelaskan oleh ayat ini.
Dengan peratuan yang ditentukan Allah ini, sebagaimana perinciannya akan disebutkan kelak, jelaslah bahwa agama Islam bukanlah semata-mata serentetan upacara-upacara ibadah, melainkan tergabung juga di dalamnya peraturan-peraturan yang sekarang kita namai hukum-hukum sipil atau perdata. Bukan saja urusan hubungan jiwa antara seseorang dengan Tuhannya, melainkan juga mengenai kedamaian di dalam masyarakat. Bagaimana pun salehnya seseorang, tekun shalat lima waktu, pernah naik haji, tetapi terhitung berdosa besar kalau pembagian waris tidak diaturnya menurut yang ditentukan oleh Allah.
PEMBERIAN PENGOBAT HATI
Ayat 8
“Dan apabila hadir tatkala membagi-bagi itu kenabat, anak-anak yatim dan orang-orang miskin, beri rezekilah mereka dari harta itu."
Ayat ini menunjukkan bahwa apabila seseorang telah meninggal, wajiblah harta benda peninggalannya dibagi, sebagaimana tersebut di atas. Ahli waris laki-laki mendapat, ahli waris perempuan pun mendapat. Ayat ini memberi petunjuk pula kepada kita bahwa pembagian (qismah) hendaklah ditentukan waktunya dan disaksikan keluarga yang patut-patut, baik yang menerima warisan dengan langsung maupun yang di dalam daftar ketentuan syara' namanya tidak tersebut atau tidak berhak. Misalnya jika seorang ayah mati, anaknya dan istrinya (istri-istrinya) saja, bersama ayah dan bundanya yang berhak menerima waris. Adapun saudara-saudaranya, paman-paman, dan cucu-cucu si penerima waris, tidaklah mendapat. Orang-orang ini di Dzawil Qurba, artinya keluarga yang hampir. Atau anak-anak yatim, anak keluarga yang dekat atau anak yatim yang lain, ataupun tetangga-tetangga apatah lagi ada hubungan kekeluargaan, yang ternyata miskin pula, hendaklah pewaris-pewaris yang telah mendapat bagian memberi rezeki pula. Itu adalah hal yang wajar dan patut dalam menegakkan kekeluargaan. Sebab, mereka telah turut menyaksikan keluarga yang telah ke-matian itu mendapat rezeki tertumpuk yang datang dengan tiba-tiba, yang tidak didapat dengan susah payah dan kadang-kadang tidak disangka-sangka.
Misalnya ada seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan di Medan. Lalu dengan perempuan itu dia mendapat seorang anak perempuan. Ketika anak itu masih kecil, dia pun merantau ke Jakarta. Karena kesulitan hidup, istrinya yang di Medan diceraikannya. Lalu dia menikah lagi dengan seorang perempuan di Jakarta dan dapat pula seorang anak laki-laki. Jandanya yang di Medan telah bersuami orang lain, anak perempuannya yang di Medan telah besar dan telah menikah pula.
Mereka telah lama terpisah. Si ayah pun telah mati. Anak laki-lakinya yang di Jakarta telah baik untungnya dan telah kaya pula. Dia hidup dalam asuhan ibunya. Dengan saudara perempuannya yang di Medan hubungan sudah lama terputus karena berjauhan tempat dan belum pernah bertemu. Tiba-tiba dia mati. Harta bendanya hendak dibagi. Ibunya dapat seperenam, saudara perempuannya dapat separuh. Harta dibagi enam, ibunya dapat seperenam, artinya satu bagian, saudara perempuannya yang di Medan dapat separuh, artinya tiga bagian. Tinggal dua bagian lagi. Yang dua bagian jatuh pula kepada saudara perempuannya sebagai ‘ashabah sebab dia tidak beranak. Padahal yang mengasuhnya dari kecil ibunya itu. Sangat kasarlah saudara perempuannya yang di Medan kalau dia tidak memberikan apa-apa pengobat hati ibu saudara laki-lakinya, padahal dia adalah ibu kandung mendiang saudaranya, dan bagi dirinya sendiri hanya ibu tiri. Dia telah mendapat rezeki laksana “durian runtuh" yang tidak disangka-sangka.
Setengah ulama mengatakan perintah far-zuquhum, beri rezekilah mereka, adalah perintah nadab atau sunnah saja. Karena kalau wajib, niscaya ada ketentuan berapa kerabat yang dekat mesti mendapat. Akan tetapi, Said bin Jubair berpendapat bahwa perintah ini adalah wajib. Setengah ulama mengatakan bahwa ayat ini sudah mansukh; dinasikhkan oleh ayat yang telah menentukan berapa bagian-bagian waris. Akan tetapi, kita lebih con-dong kepada pendapat yang dikemukakan Said bin Jubair itu, yaitu wajib dan ayatnya adalah muhkamah, jelas dan jitu.
Demikian juga kepada anak yatim orang miskin, terutama dari kalangan keluarga, tetapi mereka tidak berhak menerima waris. Obatlah hati mereka dan usahakanlah menghilangkan rasa iri hati mereka karena mereka menjadi penonton orang membagi-bagi rezeki dengan tiba-tiba karena kematian seseorang.
Kemudian, datanglah ujung ayat yang lebih menjelaskan lagi maksud perintah ini, yaitu,
“Dan katakanlah kepada mereka kata-kata yang sepatutnya."
Selain pemberian harta benda, ada lagi yang lebih penting, yaitu mulut yang manis, kata yang dapat mengobat hati. Karena manusia kadang-kadang lebih puas hatinya jika diberi kata-kata yang patut. Misalnya jika pemberian itu sedikit, mintalah kerelaan mereka, sebab hanya sekian yang dapat diberikan. Bukankah mulut yang manis dan tutur kata yang timbul dari budi yang tinggi, lebih besar kesannya di hati manusia daripada harta yang apabila dipakai akan habis juga akhir kelaknya?
Berkatalah setengah ulama yang patut diberikan ialah berupa barang-barang yang bisa diangkat dan dibawa, misalnya kain baju, jangan rumah atau sawah ladang. Akan tetapi, ayat sendiri tidaklah masuk ke perincian yang berkecil-kecil, malahan semuanya diserahkan kepada iman orang-orang yang bersangkutan sendiri. Misalkanlah pada zaman peralihan sekarang ini, ada seorang laki-laki anak Minangkabau meninggal dunia. Ahli warisnya ialah istrinya, ibu bapaknya, dan ‘ashabah pada anak-anaknya. Ketika pembagian Tarikah, ke-menakan-kemenakan turut hadir. Tidaklah pantas kalau si pewaris tidak memberikan apa-apa tanda kenangan mamaknya yang telah mati untuk dilihat-lihatnya. Padahal dalam “adat jahiliyyah Minang" kemenakan itulah yang mendapat. Pada pendapat penulis tafsir ini, tidaklah ada salahnya dan tidaklah termasuk meratapi orang yang telah mati, jika sehabis pembagian (qismah) harta peninggalan, diadakan jamuan makan ala kadarnya, yang di sana dapat dikeluarkan kata-kata yang ma'ruf, bermaaf-maafan antara keluarga yang tinggal; sebab dengan matinya beliau, boleh dikatakan telah hilang pusat jala pumpunan ikan yang mematrikan kekeluargaan pada zaman yang lampau. Dengan matinya beliau kita telah terpisah jauh, dibawa untung masing-masing, entah tidak akan bertemu lagi.
WASIAT YANG TEGAS
Ayat 9
“Hendaklah orang-orang metasa cemas seandainya meninggalkan keturunan yang lemah, yang mereka khawatir atas mereka."
Ayat ini masih bersangkut dengan ayat-ayat yang sebelumnya; masih dalam rangka pemeliharaan anak yatim. Kalau di ayat-ayat yang tadi diberi perintah kepada orang-orang yang menjadi wali pengawas anak yatim yang belum dewasa, supaya harta anak yatim jangan dicurangi, lalu datang ayat menegaskan bahwa laki-laki dapat bagian dan perempuan pun dapat bagian, dan kemudian datang pula perintah kalau ada anak yatim dan orang-orang miskin hadir ketika tarikah dibagi hendaklah mereka diberi rezeki juga, sekarang ayat ini adalah peringatan kepada orang-orang yang akan mati, dalam hal mengatur wasiat atau harta benda yang akan ditinggalkannya.
Untuk menjelaskan ayat ini, kita nukilkan cerita tentang sahabat Nabi yang terkemuka, yaitu Sa'ad bin Abu Waqqash. Pada suatu hari dia ditimpa sakit, padahal harta bendanya banyak. Lalu dia meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ karena dia bermaksud hendak mewasiatkan harta benda seluruhnya bagi kepentingan umum. Mulanya beliau hendak mewasiatkan seluruh harta bendanya, tetapi dilarang Rasulullah. Kemudian, dia berniat hendak memberikan separuh saja; itu pun dilarang Rasulullah ﷺ Kemudian, hendak diberikan sebagai wasiat sepertiga saja, lalu berkatalah Rasulullah ﷺ,
“Sepertiga? Dan sepertiga uu pun sudah banyak! Sesungguhnya jika engkau tinggalkan pewaris-pewaris engkau itu di dalam keadaan mampu, lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia." (HR Bukhari dan Muslim)
Lalu, datanglah lanjutan ayat, sebagai bimbingan agar jangan meninggalkan ahli waris, terutama anak-anak dalam keadaan lemah, yaitu,
“Maka bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang tepat."
Lebih dahulu ingatlah dan janganlah hendaknya sampai waktu engkau meninggal dunia, anak-anakmu telantar. Janganlah sampai anak-anak yatim kelak menjadi anak-anak melarat. Sebab itu, bertakwalah kepada Allah, takutlah kepada Allah ketika engkau mengatur wasiat, jangan sampai karena engkau hendak menolong orang lain, anakmu sendiri engkau telantarkan. Di dalam mengatur wasiat, hendaklah memakai kata yang terang, jelas dan jitu, tidak menimbulkan keraguan bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Ayat ini telah memberi kita tuntunan, sebagaimana tersebut juga dalam surah al-Baqarah ayat 180,181, dan 182 (Juz 2) bahwa berwasiat sangat dipentingkan sehingga kelak ketika membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan pembagian warisan, dijelaskan Allah bahwa harta tarikah dibagi ialah setelah lebih dahulu dikeluarkan segala barang yang telah diwasiatkan atau utang-utang. Akan tetapi, dalam anjuran berwasiat ditekankan lagi jangan sampai wasiat merugikan ahli waris sendiri, terutama dzurriyah, yaitu anak cucu.
Engkau usahakanlah semasa masih hidup jangan sampai anak dan cucumu kelak hidup telantar. Biarlah ada harta peninggalanmu yang akan mereka jadikan bekal penyambung hidup. Orang kaya secara kayanya, orang mis-kin secara miskinnya.
Akhirnya diperingatkan sekali lagi tentang harta anak yatim, untuk menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat Muslimin. Baik wali pengasuh anak itu maupun kekuasaan negara yang akan menjadi pengawas keamanan umum. Demikian firman Allah.
MEMAKAN HARTA ANAK YATIM
Ayat 10
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta benda anak-anak yatim dengan aniaya, lain tidak melainkan menelan api ke dalam perut mereka."
Ayat ini menanamkan sedalam-dalamnya dalam jiwa kita rasa belas kasihan kepada anak-anak yatim. Yang pada saat perlu asuhan ayahnya, tiba-tiba ayahnya mati. Ada harta peninggalan ayahnya, dia sendiri belum dapat menguasainya karena masih kecil. Terletaklah tanggung jawab ke atas pundak pengasuh yang tinggal, entah pamannya sendiri atau abang-abangnya yang lebih tua yang tidak patut dinamai yatim lagi sebab sudah dewasa. Ayat ini mengandung pula ancaman kepada orang-orang yang bertanggung jawab di keliling anak yatim supaya menjaga jangan sampai ada kecurangan. Kecurangan terhadap harta anak yatim berarti memakan api, memenuhi perut sendiri dengan api. Memakai harta anak yatim dengan curang akan membakar puia harta lain yang bukan harta anak yatim. Hidup si curang akan selalu laksana terbakar karena keluhan anak yang teraniaya. Datang lagi ujung ayat menjelaskan,
“Dan mereka akan masuk ke api yang bernyala-nyala."
Dalam ancaman pertama dikatakan bahwa harta itu akan berupa api yang mereka suap dan mereka makan, lalu masuk ke perut mereka. Sekarang datang pula lanjutan, yaitu kemudian diri mereka sendiri seluruhnya masuk ke api. Mereka akan berpakaian api. Yang masuk perut' ialah makanan ataupun pangan; yang dibawa masuk ke api bernyala ialah badan diri, artinya sandang, pakaian. Bagaimana pun pada lahir kelihatan mereka kaya dengan harta aniaya, tetapi mereka telah terbakar dan akhirnya pasti hangus. Di dunia akan berlaku kebakaran batin, sebab kejujuran tidak ada lagi. Di akhirat adzab Allah telah menanti di neraka.
Tersebutlah dalam salah satu hadits rangkaian kisah Mi'raj bahwa Rasulullah ﷺ melihat orang-orang yang disuruh memakan batu granit yang telah hangus merah berapi, lalu mereka makan, sehingga merintihlah mereka sebab perut mereka telah hangus terbakar. Beranyalah Rasulullah kepada Jibril, “Apa sebab, begini dahsyatnya siksaan yang mesti diterima orang ini?" Lalu Jibril menjawab, “Beginilah siksaan yang akan diterima oleh orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan aniaya!"
Oleh sebab itu, bertali dengan ayat 9 di atas, jika seseorang yang akan meninggal merasa takut anak cucunya akan telantar lemah setelah dia tinggalkan, karena dia tahu bahwa keluarga yang karib tidak jujur, tidak ada salahnya jika semasa hidupnya dia sendiri yang menentukan orang yang dipercayai untuk menjadi wali pengawas harta anak yang akan ditinggalkan yatim. Kalau anak banyak, ada yang telah dewasa dan ada yang masih kecil, sedang yang telah dewasa ada yang kurang dipercayainya untuk memegang amanah adik-adiknya, bolehlah dia menentukan salah seorang antara mereka yang lebih dipercayainya untuk menjadi wali adik-adiknya. Tidak juga ada salahnya kalau dia meminta perlindungan negara, sebagai yang pada zaman Belanda kita namai Weeskamer.
***
(11) Allah mewajibkan kamu terhadap anak-anak kamu; untuk seorang anak laki-laki sama dengan dua bagian anak perempuan. Jika perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika hanya seorang (anak perempuan), maka untuknya separuh. Dan bagi kedua ibu bapaknya (si mati), masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika si mati mempunyai anak. Jika tidak mempunyai anak, sedang ahli warisnya itu hanya kedua ibu bapaknya, maka untuk ibunya sepertiga. Jika si mati mempunyai beberapa saudara, untuk ibunya seperenam, (yaitu) sesudah wasiatnya dipenuhi dan atau utangnya dibayarkan. Bapak-bapak kamu ataupun anak-anak kamu tidaklah kamu ketahui siapakah antara mereka yang lebih manfaatnya bagimu. (Semuanya ini adalah) ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana.
(12) Dan untuk kamu separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka mempunyai anak, maka untukmu seperempat dari harta yang mereka tinggalkan, (yaitu) sesudah wasiat mereka dipenuhi, ataupun utang mereka dibayarkan. Dan untuk mereka seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak. Akan tetapi, jika kamu mempunyai anak, maka untuk mereka (istri itu) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan, (yaitu) sesudah wasiat dipehuni atau utang dibayarkan. Dan jika seorang laki-laki atau perempuan yang diwarisi itu Kalalah (tidak mempunyai ibu, bapak, dan anak), tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka untuk mereka itu masing-masing seperenam. Akan tetapi, jika mereka lebih dari itu, maka bersekutulah mereka pada yang sepertiga itu, (yaitu) sesudah wasiatnya dipenuhi ataupun utangnya dibayarkan, (dengan) tidak menyusahkan. Ketetapan dari Allah dan Allah „ Maha Mengetahui lagi Maha Penyabar.
(13) Yang demikian itulah batas-batas Allah. Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya akan dimasukkarvNya ke surga, mengalir air sungai di bawahnya; mereka kekal di dalamnya. Yang demikianlah kejayaan yang besar.
(14) Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar akan batas-batas-Nya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam neraka, kekal di dalamnya, dan baginya adzab yang menghinakan.
PEMBAGIAN HARTA WARIS (FARAIDH)
Sampai 10 ayat permulaan ini, sebagian besar isinya memulihkan penghargaan terhadap anak yatim. Antara ayat yang 10 itu memperingatkan bahwa kaum perempuan pun wajib mendapat penghargaan, wajib mendapat bagian dari harta pusaka. Setelah segala sesuatu yang berhubungan dengan pemeliharaan anak yatim diuraikan dan setelah adat jahiliyyah yang tidak memandang sebelah mata terhadap kaum perempuan diperingatkan, sekarang datanglah lanjutan wahyu Allah tentang harta pusaka yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal.
Datang firman Allah,
Ayat 11
“Allah mewajibkan kamu terhadap anak-anak kamu."
Dalam ayat permulaan peraturan tarikah (harta peninggalan) jelas bahwa yang pertama sekali dijelaskan ialah tentang bagian yang wajib diterima oleh anak. Yang memikul kewajiban ini ialah kamu, yaitu tiap-tiap orang yang mengaku dirinya beriman dan Islam. Karena kata yang dipakai ialah kamu, jelaslah bahwa pembagian waris di bawah pengawasan masyarakat yang ada di sekelilingnya. Kalau perlu kekuasaan negara.
Ahli waris banyak, yaitu anak, ibu, bapak, saudara, istri, menurut garisnya yang telah ditentukan. Yang pertama menjadi perhatian ialah anak. Sebab, anaklah yang akan melanjutkan ketururannya dengan langsung. Oleh sebab itu, jika seseorang meninggal, padahal anaknya telah terlebih dahulu mati dari dia, cuculah anak dari anak yang telah lebih dahulu mati itu yang menggantikan tempat anak.
Demikianlah seterusnya ke bawah. Berdasar kepada sebuah ayat dalam surah Huud ayat 46, yaitu bahwa Nabi Nuh tidak dapat membawa anak kandungnya sendiri masuk ke bahtera Nuh yang terkenal sebab anak itu tidak beramal saleh, tegasnya berlain agama dengan ayahnya, sepakatlah ahli-ahli fiqih Islam bahwasanya seorang anak yang telah murtad dari Islam putus hubungan waris dengan ayahnya!" Demikian juga seorang anak yang membunuh ayahnya. Dia pun tidak berhak lagi mendapat waris ayahnya yang dibunuhnya.
Datang pula lanjutan ayat tentang berapa jumlah bagian itu, “Untuk seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan."
Tadi pada ayat 7 telah dijelaskan bahwa laki-laki mendapat bagian dari harta peninggalan ayahnya atau kerabatnya. Susunan ayat 7 menjelaskan dua kali kata yang sama. Tidaklah dikatakan misalnya “dan perempuan seperti laki-laki pula," agar perhatian kepada bagian harta untuk perempuan ini jangan dianggap enteng saja. Dalam ayat ini terdapat lagi kata-kata yang meminta perhatian khusus terhadap perempuan. Dikatakan, “Untuk anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan." Tidak dikatakan misalnya “Untuk seorang anak perempuan separuh dari bagian seorang anak laki-laki." Tandanya perempuan terlebih didahulukan.
Sebagaimana telah kita ketahui pada riwayat-riwayat yang telah kita salinkan ketika menafsirkan ayat 7 di atas, dalam zaman jahiliyyah perempuan tidak mendapat bagian sama sekali, sampai kepada zaman kita ini, di beberapa negeri di Eropa undang-undang sipilnya belumlah memberikan hak bagian waris kepada perempuan. Sedang dalam agama Kristen tidak ada peraturan demikian. Lantaran itu apabila mengenai hukum-hukum sipil menyerahlah keagamaan kepada hukum pemerintahan. Sedang dalam Islam terang dan jelaslah suatu peraturan yang datang dari Allah bahwa perempuan wajib diutamakan ketentuan bagiannya.
Dalam ayat-ayat yang mengenai waris ini (ayat 11 dan 12) kelihatan jelas bahwa perempuan, baik dalam kedudukannya sebagai anak, atau saudara, atau ibu, atau istri mendapat bagian yang tertentu dan wajib dipenuhi oleh yang diberi tanggung jawab.
Bagian laki-laki ialah dua kali bagian perempuan. Dengan melengahkan bahwa peraturan Islam menentukan perempuan dapat bagian, ada orang yang tidak menyenangi Islam mengemukakan bantahannya, “Mengapa laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan, mengapa tidak disamakan saja?" Kalau orang berpikir secara objektif, kita tanyai, “Mengapa di dalam beberapa bangsa di Eropa—Kristen, sampai zaman sekarang ini perempuan tidak berhak atas waris?" Niscaya mereka akui bahwa tanggung jawab laki-laki dalam negara yang semodern-modennya sekalipun, lebih berat daripada tanggung jawab perempuan.
Islam pun mengakui bahwa dalam pergaulan hidup manusia di dunia, di mana saja, tanggung jawab laki-laki dalam harta benda jauh lebih berat daripada tanggung jawab perempuan. Meskipun pada zaman modern ini hak-hakperempuansudah diberikan lebihmaju daripada zaman purbakala, tetapi persediaan ruhani jasmani untuk menghasilkan harta tidak juga sama dengan laki-laki. Meskipun tidak sama, Islam telah menentukan bahwa pe-rempuan pun mendapat hak sepadan dengan keadaan tenagarya. Seorang perempuan di segala zaman tidaklah terlepas dari tanggung jawab dan perlindungan laki-laki. Pada waktu kecil di bawah perlindungan ayahnya yang membelanjai hidupnya. Setelah dewasa dia bersuami. Sebagai istri dia di bawah tanggungan suaminya. Kalau suaminya telah tua atau mati dan dia sendiri pun telah tua pula, dia di bawah tanggungan anak-anaknya laki-laki. Oleh sebab itu adalah wajar dan adil kalau bagian untuk laki-laki dua kali sebanyak yang didapat oleh perempuan. Sebab, kalau misalnya harta waris yang diterimanya dari ayahnya telah habis, dia kembali lagi ke dalam tanggungan saudara laki-lakinya, yang akan membelanjainya pula dengan sebagian dari waris yang diterimanya dari ayahnya.
Kita melihat pada setengah tafsir, ahli-ahli tafsir mengeluarkan pendapat bahwa hikmah bagian laki-laki dua kali dari bagian perempuan ialah karena akal perempuan kurang; akalnya hanya separuh akal laki-laki. Katanya pula, syahwat perempuan lebih keras daripada syahwat laki-laki sehingga kalau dia diberi banyak, harta warisnya hanya akan dipergunakannya untuk membeli perhiasan, guna pelagak. Alasan yang pertama kita bantah keras. Karena kalau kita pelajari dengan saksama, nyata sekali bahwa akal laki-laki dan perempuan, kedua-duanya sama-sama kurang. Barulah akan cukup, kalau kedua akal itu digabungkan. Pengalaman-pengalaman dalam rumah tangga yang bahagia, membuktikan bahwa kerap kali ternyata seorang suami tidak dapat mengambil keputusan yang tepat sebelum mendapat petunjuk dari istrinya. Istri pun kerap kali salah mengambil keputusan karena tidak bermusyawarah dengan suaminya. Dalam Perjanjian Hudaibiyah jelas sekali bahwa nasihat Ummi Salamahlah yang melepaskan Rasulullah dari suatu kesulitan.
Demikian juga alasan atau hikmah yang kedua tadi, yang mengatakan syahwat perempuan lebih keras dari syahwat laki-laki sehingga kalau diberi harta banyak, dia akan memboroskan harta untukmemenuhi syahwat. Ini pun tidak boleh ditelan saja. Lebih banyak laki-laki menghamburkan uang dan kekayaan, baik dari waris atau dari yang lain untuk penawan hati seorang perempuan daripada perempuan berbuat begitu kepada laki-laki yang dicintainya karena syahwatnya. Kalau ada perempuan lacur berdiri tengah malam di tepi jalan adalah karena dia tahu bahwa laki-laki hidung belang akan mencarinya dan melepaskan syahwat kepadanya. Laki-laki-lah yang merayu perempuan dengan berbagai bujukan supaya mau menyerahkan kehormatan kepadanya. Banyak kali kita lihat perempuan budiman yang menanggalkan perhiasannya dari emas dan permata untuk membantu suaminya yang kesusahan.
Kalauadaorangberkatabahwaperempuan itu pemboros dalam hal membeli perhiasan, akan banyak pula laki-laki yang dapat menceritakan bahwa sejak diserahkannya kepada istrinya, memegang uang, rumah tangga mereka telah dapat berhemat karena istrinya pandai berhemat dan menyimpan.
Dapatlah diringkaskan bahwa Islam telah memberikan ketentuan hukum, yaitu bukan saja laki-laki yang mendapat waris, meskipun tanggung jawabnya lebih besar. Perempuan pun mendapat. Laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang didapat perempuan sebab perempuan itu—menurut Islam—tidak boleh lepas dari tanggung jawab laki-laki.
Kemudian, datang ketentuan seterusnya, “Jika perempuan lebih dari dua, bagi mereka dua pertiga dari yang ditinggalkan." Tadi telah diterangkan, kalau anak-anak yang ditinggalkan terdiri atas laki-laki dan perempuan, laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh yang perempuan. Misalnya anak yang ditinggalkan itu 2 orang laki-laki dan 3 orang perempuan, niscaya harta peninggalan dibagi tujuh; menjadi 2 kali 2 dan 3 kali satu. Demikian seterusnya.
Tetapi kalau anak-anak perempuan semuanya dan bilangan mereka dua atau lebih, untuk merekalah dikeluarkan terlebih dahulu, banyaknya dua pertiga dari seluruh harta peninggalan. Yang selebihnya (sepertiga) dibagi-lah untuk ahli waris yang lain, menurut yang telah ditentukan syara'. Yang harus dikerjakan terlebih dahulu ialah mengeluarkan bagian yang dua pertiga untuk perempuan yang dua orang atau lebih itu supaya dibaginya sama rata.
“Jika hanya seorang (anak perempuan), maka untuknya separuh." Dengan dasar keterangan ini dapatlah dipahamkan bahwa jika seseorang mati meninggalkan seorang anak laki-laki saja, tidak ada saudaranya yang lain, baik sama-sama laki-laki atau saudara perempuan, seluruh harta peninggalan jatuhlah kepadanya semua. Seorang anak perempuan saja, yang mendapat separuh harta, sisa yang separuh lagi dibagikan pulalah kepada ahli waris yang lain menurut peraturan yang telah ditentukan oleh syara'.
BAGIAN UNTUK IBU DAN BAPAK
Sambungan ayat, “Dan bagi kedua ibu bapaknya," yaitu ibu bapak orang yang telah meninggal itu, “masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika si mati mempunyai anak."
Tadi sudah diterangkan perincian bagian bagi anak, kalau yang tinggal hanya anak saja. Sekarang diteruskan pula, bagaimana kalau yang ditinggalkan ialah ayah dan bunda bersama anak-anak. Dalam hal yang seperti ini diterangkan bahwa ibu dan bapak mendapat sama banyak, yaitu sama-sama seperenam. Yang selebihnya dari yang dua perenam menjadi empatperenam, dibagikanlah kepada anak-anak sebagai ‘ashabah. Yaitu seorang laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang didapat seorang perempuan. Di sini teranglah bahwa harta ini terlebih dahulu dibagi enam.
“Jika tidak mempunyai anak, sedang ahli warisnya itu hanya kedua ibu bapaknya, maka untuk ibunya sepertiga." Di sini berlaku kembali terhadap kedua ibu bapak peraturan yang pokok bermula tadi, yaitu “laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan." Kalau diberikan kepada ibu sepertiga, niscaya yang untuk ayah ialah dua pertiga. Hal ini jelas berbeda dengan keadaan kalau si mati meninggalkan anak, sebagai tersebut terdahulu. Kalau ada ibu bapak dan ada anak, ibu bapak sama-sama mendapat seperenam. Sebab, dalam hal seperti ini mereka keduanya mendapat kehormatan yang sama, dibandingkan dengan anak-anak tadi. Sebab, setelah dua kali seperenam itu dikeluarkan, seluruh harta sudah untuk anak. Kalau anak tidak ada, kedudukan ayah dua kali lipat dari kedudukan ibu. Itu sudah dapat dirasakan.
Bagaimana kalau ayah telah mati terlebih dahulu, sedangkan nenek (ayah dari ayah) masih hidup? Jawabnya ialah bahwa neneklah yang menerima bagian yang tadinya akan diterima oleh ayah.
Seperenam kalau ada anak si mati, dua pertiga kalau yang tinggal hanya ibunya. Demikian seterusnya. Sebab, ayah, nenek, dan moyang sampai ke atas; atau anak, cucu dan piut sampai ke bawah adalah hubungan darah langsung dari si mati.
“Jika si mati mempunyai beberapa saudara, untuk ibunya seperenam."
Tadi sudah dijelaskan mengenai seseorang mati meninggalkan anak bersama ibu bapak. Waktu itu anak mengemasi seluruh harta peninggalan, sesudah bagian ayah dan ibu dikeluarkan seperenam-seperenam. Ketika itu tidak ada disebut saudara-saudara. Sebab, saudara-saudara terdinding oleh anak. Kemudian, tersebut pula bahwa ibu dapat sepertiga dan bapak dapat dua pertiga. Yaitu kalau saudara si mati tidak ada dan anak tidak ada. Sekarang terdapat si mati meninggalkan ibu dan beberapa saudara. Di sini dijelaskan bahwa pada waktu itu ibu mendapat seperenam dan sisa yang tinggal dibagi-bagilah oleh saudara-saudara tadi, laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Di sini harus diperhatikan bahwa yang menyebabkan ibu mendapat seperenam ialah adanya saudara, yaitu kalau saudara itu banyak. Kalau saudara yang ditinggalkan hanya satu orang, ibu tetap mendapat sepertiga. Dengan meninggalkan saudara banyak, baik saudara seibu sebapak, atau saudara sebapak atau saudara seibu, meskipun ayah tidak disebutkan lagi, sudah terang bahwa ayah mendapat seperenam pula.
Semuanya akan dibagi menurut pokok pembagian. Jika yang tinggal hanya anak-anak saja, sudah mudahlah pembagian, atas dasar anak laki-laki mendapat sama dengan dua bagian perempuan. Pokok pembagian yang jelas bagi ibu bapak ialah satu pertiga ibu dan dua pertiga ayah, kalau mereka hanya tinggal berdua saja; anak tak ada dan saudara pun tak ada. Jadi keduanya masing-masing mendapat seperenam, kalau ada pula anak. Dan saudara-saudara terdinding.
Semuanya itu akan dibagi segera, “(yaitu) sesudah wasiatnya dipenuhi dan atau utangnya dibayarkan." Artinya, sebelum bagian yang menjadi hak ahli waris dibagi-bagikan, hendaklah terlebih dahulu dikeluarkan apa-apa yang telah diwasiatkannya. Setelah selesai wasiatnya dipenuhi, hendaklah diselesaikan pula utang-utangnya. Sehabis membayar wasiat dan utang, barulah dibagikan harta menurut yang telah disebutkan tadi.
Tentang wasiat sudahlah kita ketahui dalam keterangan-keterangan yang telah lalu bahwasanya kita dianjurkan ketika badan masih sehat, supaya memperbanyak wasiat, yaitu berpesan kepada orang yang masih hidup, misalnya, “Jika aku meninggal dunia esok, hendaklah hartaku yang di sana diberikan kepada si Fulan atau wakaf untukmasjid atau sebagian untuk sekolah dan sebagainya, dengan catatan jangan sampai wasiat itu membuat melarat ahli waris sendiri yang telah ditentukan. Kalau misalnya ada seorang kaya raya, ayah bunda dan anak-anaknya kaya raya pula, sehingga kalau sebagian harta yang akan diwariskannya telah diwasiatkannya terlebih dahulu kepada orang lain, tidak akan merugikan mereka yang akan ditinggalkan, amat layaklah jika banyak-banyak harta yang diwasiatkan. Akan tetapi, kalau keadaan miskin dan anak-anak atau ahli waris akan miskin pula, kira-kira sajalah berapa wasiat yang patut diberikan. Yang terang, wasiat jangan mengandung niat yang akan merugikan ahli waris dan paling banyak jangan lebih dari sepertiga jumlah harta. Kalau berwasiat dalam sakit yang berlaku hanya sepertiga.
Perihal utang-utang sebaiknya didamaikan dengan sungguh-sungguh dengan orang tempat berutang. Kalau tidak, dan kalau utang terlalu banyak, mungkin ahli waris hanya menerima “angin" saja. Itu sebabnya Rasulullah saw, menyuruh kita berdoa selalu kepada Allah agar kita jangan sampai dibelenggu utang.
Kemudian, Allah menjelaskan lagi hikmah diatur demikian sehingga bukan anak saja yang mendapat, bahkan ayah pun mendapat. Kalau keduanya sama-sama ada, keduanya sama mendapat, “Bapak-bapak kamu ataupun anak-anak kamu tidaklah kamu ketahui siapakah antara mereka yang lebih manfaatnya bagimu." Ini diperingatkan supaya berpikir secara zaman jahiliyyah disingkirkan jauh-jauh. Belum tentu apa yang akan terjadi kelak. Seseorang mati meninggalkan anak dan ayah. Kalau anak saja yang mendapat waris, sedang ayah, artinya nenek anak-anak tidak mendapat, mungkin sekali bahwa anak-anak yatim yang masih kecil akan kembali ke dalam asuhan dan didikan neneknya. Kalau ayah saja mendapat, anak tidak, besar kemungkinan usia nenek akan panjang, sampai tua dan sampai pikun. Tidak ada orang lain yang akan membela dan menyelenggarakan hari tuanya. Yang lebih dekat kepadanya, hanya cucu-cucunya. Hal-hal seperti ini selalu kejadian dalam berkeluarga. Sebab itu, Allah memberi mereka semua bagian yang patut. Semuanya ini adalah, “Ketetapan dari Allah." Yaitu ketentuan yang tidak boleh diubah-ubah lagi. Siapa yang melanggar akan ditimpa dosa yang besar dan dia sudah menjadi hukum Allah dirumuskan di dalam undang-undang suatu negara yang penduduknya lebih banyak beragama Islam, sebagai negara kita ini bahwa, “Hukum faraidh berlaku di Indonesia bagi pemeluk-pemeluk agama Islam." Sehingga barangsiapa yang melanggar dapat dikenakan sanksi (pandahan) hukum.
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Mahabijaksana."
Mengapa ujung ayat ini pertama menyebut ‘Aliim yang berarti Maha Mengetahui? Karena Allah mengerti benar apa isi hati manusia.
Semuanya ingin hendak mendapat bagian dari rezeki yang tiba-tiba. Hanya sebentar orang bersedih karena kematian. Tidak berapa lama kemudian masing-masing sudah bertanya, mula-mula dalam hati sendiri, makin lama makin menjadi bisik desus, kadang-kadang menjadi perkara. Siapa yang berhak menerima atau mendapat bagian dari harta? Malahan Allah mengetahui bahwa ada seorang istri lekas-lekas menyimpan uang suaminya (curang dan curi) sebelum ahli waris yang lain tahu. Oleh sebab itulah, Allah mengatur sendiri harta peninggalan dengan sifat-Nya yang Mahabijaksana. Sehingga masing-masing mendapat menurut patutnya. Kalau seseorang meninggal, semua ahli waris sudah tahu berapa bagiannya dan tahu pula siapa yang tidak patut mendapat. Tak perlu orang lain campur tangan lagi. Barangsiapa yang melanggar ketentuan Allah, berdosalah dia.
BAGIAN SUAMI ATAU ISTRI
Setelah terlebih dahulu diterangkan bagian yang mesti diterima oleh anak-anak, ibu, bapak dan saudara, seterusnya Allah menentukan pula bagian suami dan istri. Allah berfirman,
Ayat 12
“Dan untuk kamu separuh dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak."
Di sini teranglah bahwa seorang suami mendapat separuh dari harta istrinya, jika istri meninggal dunia. Yaitu kalau istri tidak mempunyai anak-anak. Bagi anak-anaknya, karena pernikahan dengan suaminya, ataupun anaknya dengan suaminya yang dahulu. “jika mereka mempunyai anak." Seorang ataupun lebih, laki-laki atau perempuan, baik anaknya dengan suaminya yang sekarang maupun anaknya dengan suaminya yang dahulu. “Maka untukmu seperempat dari harta yang mereka tinggalkan." Kamu atau suami, mendapat seperempat kalau istri mempunyai anak, baik anaknya dengan kamu sebagai suami yang ditinggalkannya, maupun anaknya dengan sua-minya yang dahulu. “(Yaitu) sesudah wasiat mereka dipenuhi, ataupun utang mereka dibayarkan." Hal wasiat diperingatkan kembali, demikian juga utang. Karena wasiat yang pernah diberikannya ketika hidupnya wajib dihormati oleh yang tinggal dan utangnya wajib dibayarkan lebih dahulu, karena itu bukan hartanya melainkan harta orang lain.
“Dan untuk mereka seperempat dari harta yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak mempunyai anak." Ayat ini ialah kebalikan dari pangkalnya tadi. Dahulu jika istri yang meninggal, sekarang jika suami yang mening-gal. Kalau si suami yang tidak mempunyai anak, istri mendapat seperempat. “Tetapi jika kamu mempunyai anak, untuk mereka (istri itu) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." Anak kamu ialah anakmu dengan istri yang lain atau anakmu dengan istri yang telah kamu ceraikan, atau anakmu dengan istrimu yang telah meninggal terlebih dahulu; pendeknya anak kandungmu. Adapun anak tiri, yaitu anak laki-laki lain yang kamu dapati dengan istri, tidaklah mendapat apa-apa dari peninggalanmu dan tidak masuk hitungan di sini.
“(Yaitu) sesudah wasiat dipenuhi, ataupun utang dibayarkan." Di sini kita mendapat dua kesan yang nyata. Pertama, dalam hal suami dan istri jelaslah bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan berlaku juga. Itu pun dapat dipahamkan, kalau kita ingat bahwa seorang istri yang telah ditinggal mati oleh suaminya, jika dia beranak, tanggung jawab perlindungan atasnya telah jatuh kepada anaknya yang telah dewasa.
Jika dia masih muda dan belum beranak, sementara dia akan kembali ke dalam tanggungan ayah bundanya, kalau nasib baik dia pun akan menikah lagi dengan laki-laki lain. Adapun seorang suami yang ke matian istri, apabila datang waktunya dia pun akan memikul kewajiban, mendapat dua kali bagian yang diterima perempuan.
Dalam ayat ini kita bertemu lagi suatu rahasia yang lain. Yaitu, walaupun istri dua orang, atau tiga orang atau empat, mereka semuanya hanya mendapat yang seperempat atau yang seperdelapan saja. Bggi-bagilah yang seperempat atau seperdelapan sama banyak. Di sini kita mendapat rahasia bahwa yang lebih baik ialah beristri hanya satu. Kalau ada orang perempuan “merampas" suami orang lain karena mengharapkan kekayaannya atau warisnya jika dia mati, harapan itu akan hampalah adanya.
Mungkin ada seseorang yang berlebih kasihnya kepada satu istri dan kurang kepada yang lain, lalu dia membuat wasiat khusus untuknya sehingga istri yang kurang dikasihi dirugikan. Ini pun telah ditutup pintunya ter-lebih dahulu pada ayat 9 di atas, supaya seorang Mukmin merasa cemas, kalau dia meninggalkan keturunan yang lemah, telantar, yang dikhawatirkan mereka akan ditimpa sengsara sepeninggal ayahnya. Sebab itu, kalau meninggalkan wasiat hendaklah disertai takwa kepada Allah. Niscaya ayat ini pun berlaku di dalam meninggalkan wasiat untuk istri. Perincian hal itu diserahkan kepada kebijaksanaan masing-masing kita dengan tuntunan pelita iman yang ada dalam dada.
Tentang cara berwasiat ini di ayat seterusnya akan diperingatkan lagi.