Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَئِنۡ
dan sungguh jika
أَصَٰبَكُمۡ
menimpa kamu (kamu memperoleh)
فَضۡلٞ
karunia
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
لَيَقُولَنَّ
tentu ia mengatakan
كَأَن
seakan-akan
لَّمۡ
tidak
تَكُنۢ
pernah ada
بَيۡنَكُمۡ
antara kamu
وَبَيۡنَهُۥ
dan antara ia
مَوَدَّةٞ
kasih sayang
يَٰلَيۡتَنِي
Wahai kiranya saya ada
كُنتُ
adalah aku
مَعَهُمۡ
bersama-sama mereka
فَأَفُوزَ
tentu saya mendapat kemenangan
فَوۡزًا
kemenangan
عَظِيمٗا
besar
وَلَئِنۡ
dan sungguh jika
أَصَٰبَكُمۡ
menimpa kamu (kamu memperoleh)
فَضۡلٞ
karunia
مِّنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
لَيَقُولَنَّ
tentu ia mengatakan
كَأَن
seakan-akan
لَّمۡ
tidak
تَكُنۢ
pernah ada
بَيۡنَكُمۡ
antara kamu
وَبَيۡنَهُۥ
dan antara ia
مَوَدَّةٞ
kasih sayang
يَٰلَيۡتَنِي
Wahai kiranya saya ada
كُنتُ
adalah aku
مَعَهُمۡ
bersama-sama mereka
فَأَفُوزَ
tentu saya mendapat kemenangan
فَوۡزًا
kemenangan
عَظِيمٗا
besar
Terjemahan
Sungguh, jika kamu mendapat karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu dengan dia, “Aduhai, sekiranya aku dahulu bersama mereka, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung (pula).”
Tafsir
(Dan sungguh jika) lam menunjukkan sumpah (kamu beroleh karunia dari Allah) seperti kemenangan atau harta rampasan (tentulah dia akan berkata) sambil menyesal (seolah-olah) ditakhfifkan sedangkan isimnya dibuang dan diperkirakan berbunyi kaannahu artinya seolah-olah (belum pernah ada) pakai ya atau ta (di antaramu dengannya kasih sayang) artinya perkenalan dan persahabatan. Dan ini kembali kepada ucapannya tadi, 'Aku telah memberi nikmat kepadaku,' yang diselangnya di antara ucapan itu dengan perkataannya sekarang ini, yaitu (Wahai) sebagai kata peringatan (sekiranya aku berada bersama mereka tentu aku akan mendapat keberuntungan yang besar pula.") maksudnya beroleh harta rampasan yang banyak. Firman Allah ﷻ:.
Tafsir Surat An-Nisa': 71-74
Wahai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kalian, dan majulah (ke medan perang) berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama (secara serentak)!
Dan sesungguhnya di antara kalian ada orang yang sangat enggan (ke medan perang). Lalu jika kalian ditimpa musibah, ia berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama-sama mereka."
Dan sungguh jika kalian beroleh karunia (kemenangan) dari Allah, tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kalian dengan dia, "Wahai, sekiranya aku ikut bersama-sama mereka, tentu aku mendapat kemenangan yang besar (pula)."
Karena itu, hendaklah (orang mukmin) berperang di jalan Allah melawan orang-orang yang menjual akhirat untuk dunia. Barang siapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.
Ayat 71
Allah ﷻ memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman agar bersikap waspada terhadap musuh-musuh mereka. Hal ini tentu saja menuntut adanya kesiagaan untuk menghadapi mereka dengan mempersiapkan semua persenjataan dan pasukan serta memperbanyak pasukan dengan mengadakan mobilitas umum untuk berjihad di jalan Allah. Yang dimaksud dengan lafal subatin ialah berkelompok-kelompok, sekumpulan demi sekumpulan, dan satuan pasukan demi satuan pasukan, Subat adalah bentuk jamak dari sabatun, tetapi adakalanya lafal as-sabah ini dijamakkan menjadi sibina.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-kelompok.” (An-Nisa: 71) Yaitu kelompok demi kelompok. Dengan kata lain, berpencar menjadi beberapa satuan pasukan.
“Atau majulah bersama-sama (secara serentak)!” (An-Nisa: 71)
Maksudnya, kalian semuanya maju menjadi satu dalam medan pertempuran. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, As-Suddi, Qatadah, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Khurrasani/Muqatil ibnu Hayyan, dan Al-Khasif Al-Jazari.
Ayat 72
Firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya di antara kalian ada orang yang sangat enggan (ke medan pertempuran).” (An-Nisa: 72)
Menurut Mujahid, makna yang dimaksud ialah bukan hanya seorang; ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang munafik.
Menurut Muqatil ibnu Hayyan, makna firman-Nya: “Benar-benar dia sangat enggan (ke medan pertempuran).” (An-Nisa: 72) Yakni dia tidak ikut berjihad. Tetapi dapat pula diinterpretasikan bahwa makna yang dimaksud ialah dia bersikap lamban dalam menanggapi anjuran berjihad. Dengan kata lain, enggan melakukan jihad dan menganjurkan orang lain untuk enggan berjihad. Seperti yang dilakukan oleh Abdullah ibnu Ubay ibnu Salul, semoga Allah mengutuk perbuatannya; dia tidak mau ikut jihad, bahkan menghalang-halangi orang lain untuk ikut berjihad. Demikianlah menurut pendapat Ibnu Juraij dan Ibnu Jarir. Sikap orang munafik tersebut digambarkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya:
“Maka jika kalian ditimpa musibah.” (An-Nisa: 72)
Yakni ada yang gugur dan mati syahid serta musuh dapat mengalahkan kalian, karena ada hikmah Allah dalam hal tersebut yang hanya diketahui oleh Dia.
Dia berkata, "Sesungguhnya Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepadaku karena aku tidak ikut berperang bersama-sama mereka." (An-Nisa: 72)
Yakni karena aku tidak ikut bersama mereka dalam pertempuran, dia menganggap bahwa hal tersebut merupakan nikmat Allah kepadanya. Padahal ia tidak mengetahui pahala yang terlewatkan olehnya, yaitu pahala bersabar dalam peperangan atau mati syahid jika gugur.
Ayat 73
“Dan sungguh jika kalian beroleh karunia dari Allah.” (An-Nisa: 73)
Yakni kemenangan, keberhasilan, dan ghanimah.
“Tentulah dia mengatakan seolah-olah belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kalian dengan dia.” (An-Nisa: 73)
Seakan-akan dia bukan dari kalangan yang seagama dengan kalian.
“Wahai, sekiranya saja aku bersama-sama mereka, tentu aku mendapat kemenangan yang besar (pula).” (An-Nisa: 73)
Maksudnya dia mendapat satu bagian ghanimah sama dengan mereka dan berhasil meraihnya, dan memang itulah tujuan utama dan cita-citanya dalam berjihad.
Ayat 74
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Karena itu, hendaknya berperanglah.” (An-Nisa: 74)
Artinya, orang mukmin yang telah terdaftar hendaknya berperang.
“Di jalan Allah (untuk memerangi) orang-orang yang menjual akhirat mereka dengan dunia.” (An-Nisa: 74)
Yaitu mereka yang menjual agama mereka dengan harga yang sangat murah untuk perbendaharaan dunia (betapapun besarnya harta dunia bila dibandingkan dengan pahala akhirat sangat kecil dan tak berarti, pent). Hal itu tiada lain karena kekufuran mereka dan ketiadaan iman mereka.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang berperang di jalan Allah, lalu gugur atau memperoleh kemenangan, maka kelak akan Kami berikan kepadanya pahala yang besar.” (An-Nisa: 74)
Semua orang yang berperang di jalan Allah, baik ia gugur ataupun dikalahkan, maka baginya di sisi Allah terdapat pahala yang besar dan imbalan yang berlimpah.
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadits yang mengatakan bahwa Allah menjamin bagi orang yang berjihad di jalan-Nya lalu gugur syahid bahwa Dia akan memasukkannya ke dalam surga, atau (jika selamat) mengembalikannya ke tempat tinggalnya dengan memboyong pahala atau ghanimah (bila beroleh kemenangan).
Dan sungguh, jika kamu mendapat karunia dari Allah berupa kemenangan dalam perang dan memperoleh ganimah tentulah dia mengatakan dengan sangat menyesal bercampur keinginan mendapatkan ganimah, seakan-akan belum pernah ada hubungan kasih sayang antara kamu, kaum muslim, dengan dia, orang munafik, Wahai, sekiranya aku bersama mereka ikut dalam peperangan, tentu aku akan memperoleh kemenangan yang agung pula, yakni bangga sebagai pemenang perang dan memperoleh harta rampasan perangSetelah ayat-ayat yang lalu mengecam perilaku orang-orang munafik yang selalu berkelit bila diajak berperang, ayat-ayat berikut membangkitkan semangat untuk maju ke medan perang menghadapi musuh. Karena itu, hendaklah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya menjual dalam arti menukar dan mengorbankan kehidupan dunia yang mereka miliki untuk mendapatkan kebahagiaan pada kehidupan akhirat, dengan cara berperang di jalan Allah menegakkan keadilan dan kebenaran. Dan barang siapa di antara kalian yang ikut berperang di jalan Allah, lalu gugur menjadi syahid karena dikalahkan oleh musuh atau memperoleh kemenangan selamat dari gugur di medan perang, maka kelak akan Kami berikan pahala dengan nikmat yang besar kepadanya.
Ayat ini menambah penjelasan tentang sikap kaum munafik dan orang yang lemah iman. Jika kaum Muslimin memperoleh kemenangan dalam peperangan melawan orang kafir maka mereka ini berkata, "Andaikata saya ikut dengan mereka dalam peperangan, tentulah saya mendapat keuntungan yang besar dengan memperoleh harta rampasan yang banyak."
Ucapan seperti ini menggambarkan seakan-akan mereka adalah orang lain yang tidak mempunyai hubungan silaturrahmi sedikit pun dengan kaum Muslimin, padahal mereka telah bergabung dengan kaum Muslimin dan telah hidup bersama mereka dalam suasana yang aman dan baik, tetapi dalam hati mereka tersimpan rasa hasad dan dengki yang mendalam.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AWAS DAN WASPADA
Dengan ayat-ayat yang lalu kaum yang beriman telah diperintahkan menyusun diri di bawah pimpinan Rasul ﷺ. Taat dan patuh menjunjung tinggi perintah, memegang teguh amanah, dan menegakkan keadilan. Menaati keputusan Rasul jika ada perselisihan dan tidak boleh separuh-separuh. Menyusun ketaatan atas tiga tingkat. Kepada Allah, kepada Rasul dan ulil amri.
Tetapi harus awas dan waspada selalu. Sebab apabila kekuatan kaum yang beriman telah tersusun, musuh tidaklah akan ber-senang hati. Iman kepada Allah dan Rasul telah bertumbuh menjadi suatu kekuasaan. Kaum penyembah berhala tidak senang.
Kaum Yahudi tidak senang. Kerajaan Romawi yang telah menguasai sebelah Utara pun tidak senang, dan Kerajaan Persia di sebelah Timur pun tidak senang. Kalau tidak awas dan waspada, pasti dihancurkan. Sebab itu sekarang datanglah ayat menyuruh selalu bersedia,
Ayat 71
“Wahai orang-orang yang beriman! Ambillah persediaan kamu."
Bersedia dan awas terus dengan segala cabang persediaan. Bersedia senjata, belajar taktik berperang, adakan penjagaan, adakan patroli. Ketahui kekuatan musuh, adakan mata-mata (intelligent/spion) untuk menyelidiki gerak-gerik musuh. Kalau musuh itu ada di dua tiga jurusan, ketahui adakah perbedaan dan pertikaian mereka.
Salah satu perintah Rasulullah ﷺ setelah berpindah ke Madinah supaya para sahabat berternak atau memelihara kuda-kuda yang tangkas karena kuda penting untuk peperangan.
Mengetahui juga keadaan negeri musuh, kampung-kampungnya, jalan-jalannya, hutannya, dan lain-lain. Di dalam surah al-Anfaal ayat 61, bertambah jelas lagi perintah persediaan itu, dengan menyediakan berbagai kekuatan (senjata), dan kuda-kuda kendaraan untuk perang sehingga musuh takut. Dan pemimpin-pemimpin sendiri, terutama Rasulullah ﷺ selalu . siap dan waspada. Sehingga pada suatu malam, Abu Bakar mendengar suara kaki kuda berlari. Beliau terbangun lalu siap keluar lengkap dengan senjata dan terus pergi ke rumah Umar. Dia datang, dilihatnya Umar sudah siap pula karena dia pun mendengar suara kaki kuda banyak itu. Keluarlah mereka berdua dari rumah masing-masing, lengkap dengan senjata pergi keluar kota hendak mengetahui derap kaki kuda musuh dari mana itu. Ketika itu terang bulan. Setelah mereka berkendaraan belum berapa lama berjalan, tiba-tiba mereka melihat satu orang yang tengah kembali menuju mereka. Sebelum
mereka bercakap, orang itu telah berkata, “Tidak apa-apa! Rupanya kuda-kuda terkejut, mereka lari bersama-sama. Aku sudah tahu pasti!" Orang itu tidak lain melainkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Ini suatu contoh kewaspadaan Rasul.
Kemudian datang sambungan ayat,
“Lalu majulah berkelompok-kelompok, atau majulah bersama-sama."
Terlebih dahulu datang perintah wajib bersedia dan bersiap, lengkapkan senjata dan persediaan, perteguh disiplin dan ketaatan, lengkapkan segala syarat dan rukun perang! Sebab itu orang Arab menamai terompet pang-gilan perang: Nafir. Penyerbuan perang boleh berkelompok-kelompok dan boleh perang total. Semua turut memanggul senjata atau menjadi tenaga perang.
Berkelompok-kelompok, baik kelompok kecil maupun lebih besar yang total semuanya bergantung kepada keadaan musuh yang dihadapi, dan menurut pertimbangan komando tertinggi. Yang terang ialah kalau musuh su-dah masuk ke dalam negeri, menjadi fardhu ‘ain bagi semua orang isi negeri, laki-laki dan perempuan bersiap menghadapi musuh.
Kalau akan menyerang negeri musuh, berapa ribukah yang akan pergi atau berpuluh ribukah, hendaklah bersiap mana-mana yang telah ditentukan oleh pimpinan tertinggi.
Inilah ayat yang penting bagi membentuk kekuatan perang dalam Islam, disertai lagi ayat 61 dari surah al-Anfaal. Bukan maksudnya karena Islam akan disiarkan dengan pedang sebagaimana fitnahan penyebar-penyebar Kristen, tetapi kebenaran ilahi wajib dibela dengan pedang. Ini pun dapat dirasakan di tiap-tiap zaman. Satu negara yang hendak terjamin kemerdekaannya, haruslah utuh tenaga angkatan perangnya. Dalam Islam hal ini sudah bukan semata-mata kemestian yang wajar, tetapi sudah menjadi kewajiban agama. Bangsa-bangsa yang memeluk Islam masyhur sejak zaman purbakala sebagai suatu umat yang gagah berani menghadapi peperangan karena bersiap perang adalah perintah agama. Dan keberanian saja tidaklah cukup, melainkan dengan senjata yang lengkap.
Kegagahan tentara Turki di abad kesembilan belas tidaklah mencukupi lagi, karena telah ketinggalan oleh ilmu perang bangsa-bangsa Eropa sesudah kemajuan tentara Prusia dan tentara Napoleon, sebagaimana yang telah kita ceritakan. Sebelum itu, ketika negeri-negeri Islam dihancurkan oleh kekuatan bangsa Mongol dan Tartar karena di zaman itu semangat perang telah kendur sebab penyakit kemewahan sehingga mereka hancur.
Rasulullah ﷺ mempunyai taktik-taktik perang buat zaman beliau yang termasuk istimewa. Hanya dengan memakai tenaga seorang mata-mata beliau dapat memecah-belahkan persekutuan musuh yang hendak menyerang Madinah di Perang Khandaq.
Beliau pun menanam mata-mata di Mekah untuk mengetahui gerak-gerik musuh sehingga setelah orang Quraisy mengkhianati janji Hu-daibiyah, Rasulullah sudah tahu terlebih dahulu sebelum Abu Sufyan datang ke Madinah dengan niat hendak menutup-nutupi kesalahan mereka sehingga tidak menunggu lama negeri Mekah pun dikepung dan ditaklukkan. Beliau pun mengetahui berapa bilangan tentara musuh ketika Peperangan Badar dengan menanyakan kepada khadam yang tertawan berapa mereka menyembelih unta setiap hari.
Pelajaran Rasulullah diteruskan oleh khalifah-khalifah yang datang di belakang. Ketika mengirim Khalid bin Walid menjadi panglima perang menaklukkan pemberontak di Yamamah, yaitu nabi palsu Musailamah al-Kadzdzab, Abu Bakar berkata kepada Khalid, “Perangi mereka dengan alat perang seperti yang mereka pakai. Mereka dengan pedang, kita pun dengan pedang. Mereka dengan panah, kita pun dengan panah." Kata Abu Bakar ini penting diperluas untuk zaman seterusnya,
“Mereka dengan mitraliur, kalian pun dengan mitraliur. Mereka dengan meriam kanon, kalian pun dengan meriani kanon. Mereka memakai kapal udara dan kalian pun memakai kapal udara," dan seterusnya.
Salah satu kata yang terlukis dalam hati pula ialah perkataan Umar bin Khaththab, “Ajarlah anak-anakmu berenangdan melempar, hendaklah mereka pandai melompat ke atas kuda sekali lompat!"
Oleh sebab itu, ketika Sa'ad bin Abu Waqqash meminta izin dari Khalifah Umar mendirikan Kaufah, beliau menyatakan persetujuan atas maksud itu. Beliau pesankan pula bahwa ada dua tempat yang terlebih dahulu wajib didirikan, yaitu masjid tempat bershalat dan tanah lapang tempat latihan perang.
Dengan ini dapat diambil kesimpulan bahwasanya agama memujikan apabila segala macam olahraga untuk meningkatkan kesehatan bangsa dimajukan. Di zaman kita sekarang ini seluruh bangsa di dunia memajukan segala macam atletik sehingga badan pemuda senantiasa sehat. Sehat tubuh menyebabkan sehatnya jiwa dan cerdasnya pikiran, selalu bersedia, siap, dan waspada apabila sewaktu-waktu negara memanggil.
Di zaman kita ini pula terkenallah Zawiyah kaum Sanusi yang tersebar di Afrika Utara, ketika bangsa Arab di sana bangkit hendak mempertahankan Islam dari bahaya ancaman musuh-musuhnya. Di tiap Zawiyah ada pondok tempat belajar agama Islam, tetapi di samping itu diadakan pula sekali latihan perang. Itu sebabnya mereka dapat bertahan berpuluh tahun lamanya dari penindasan bangsa Italia yang merebut kemerdekaan negeri mereka di tahun 1912. Mereka bertahan terus dan berperang terus melawan penjajah, menempuh berbagai pasang-naik pasang-turu, sehingga akhirnya sehabis Perang Dunia ke-II mereka mencapai kemerdekaannya kembali dan pemimpin agama mereka, Sayyid Idris as-Sanusi, menjadi Raja bagi Libya.
JIWA TERBELAKANG
Ayat 72
“Dan sesungguhnya di antara kamu ada yang sungguh-sungguh terbelakang."
Peringatan kepada orang-orang yang teguh iman, yang bersedia mati kalau perintah Allah datang, bahwa mereka jangan tercengang jika ada yang takut menghadapi perang itu. Yaitu orang-orang yang masih sangat terbelakang imannya, atau lamban sekali kemajuan jiwanya sehingga jika orang-orang yang lain telah maju sekian ratus meter, dia masih di sana ke di sana juga. Yang kata orang sekarang ialah mereka yang masih berjiwa reaksioner bukan iman yang revolusioner. Kalau orang-orang yang berjiwa “ketinggalan kereta api" ini diajak berperang, mereka terlebih dahulu akan mengingat bahaya yang akan menimpa, bukan mengingat kejadian yang akan dicapai. Kalau peperangan diteruskan, ternyata ada kerugian, sebab perang ialah membunuh atau terbunuh, mereka senang sekali kalau tidak ikut. Ini yang diterangkan pada sambungan ayat,
“Maka jika menimpa kepada kamu satu bahaya, dia berkata, ‘Sesunggguhnya Allah telah memberi nikmat kepadaku, karena aku tidak turut menyaksikan bersama mereka.'“
Itulah bayangan dari kebanggaan orang yang penakut. Atau jiwa terbelakang. Karena mereka tidak ikut, mereka merasa bangga dengan tidak ikut itu sebab perang yang sekali itu tidak membawa kemenangan, sebagaimana telah pernah terjadi dalam Perang Uhud.
Di waktu ada rugi, mereka gembira karena tidak turut. Tetapi pastilah kalau kemenangan tercapai, mereka mengomel, mengapa mereka tidak dibawa serta. Padahal sejak semula, pintu buat mendaftarkan diri senantiasa ter-buka. Omelan mereka pada waktu mereka melihat kemenangan telah tercapai itu, yang mengandung penyesalan seakan-akan mereka “ditinggalkan" membayangkan seakan-akan belum pernah ada hubungan cinta dengan mereka. Padahal mereka dicintai, mereka pun kawan. Melainkan jiwa merekalah yang terbelakang dan banyak prasangka. Padahal kalau kawan setia, yang sudah sama-sama cinta, tentu sanggup menghadapi rugi bersama-sama dan beruntung bersama-sama. Merekalah yang dalam hati mereka tidak ada cinta, sebab kalau kekalahan datang, mereka gembira oleh karena tidak diikutsertakan. Kalau menang, mereka berbisik desus karena ditinggalkan.
4. Lantaran itu, berperanglah pada jalan Allah orang yang menjual hidup dunia dengan akhirat. Dan barangsiapa yang berperang pada jalan Allah, lalu dia terbunuh atau menang, maka akan Kami berikan untuknya ganjaran yang besar.
Ayat 73
“Akan tetapi jika kamu mendapat satu karunia dari Allah, sesungguhnya dia akan berkata seakan-akan tidak ada di antara kamu dan di antara mereka hubungan cinta. Alangkah baiknya jika aku ada bersama mereka, tentu aku pun akan beruntung dengan keuntungan yang besar."
Orang-orang yang seperti ini senantiasa ragu-ragu sebab jiwa mereka “terbelakang".