Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّا
sesungguhnya
كَتَبۡنَا
Kami perintahkan
عَلَيۡهِمۡ
atas/kepada mereka
أَنِ
bahwa
ٱقۡتُلُوٓاْ
bunuhlah mereka
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
أَوِ
atau
ٱخۡرُجُواْ
keluarlah kamu
مِن
dari
دِيَٰرِكُم
kampungmu
مَّا
tidak
فَعَلُوهُ
mereka melakukannya
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٞ
sedikit/sebagian kecil
مِّنۡهُمۡۖ
dari mereka
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
فَعَلُواْ
(mereka) melaksanakan
مَا
apa/pelajaran
يُوعَظُونَ
diberikan
بِهِۦ
dengannya
لَكَانَ
tentulah ia/demikian itu
خَيۡرٗا
lebih baik
لَّهُمۡ
bagi mereka
وَأَشَدَّ
dan sangat/lebih
تَثۡبِيتٗا
menguatkan
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّا
sesungguhnya
كَتَبۡنَا
Kami perintahkan
عَلَيۡهِمۡ
atas/kepada mereka
أَنِ
bahwa
ٱقۡتُلُوٓاْ
bunuhlah mereka
أَنفُسَكُمۡ
diri kalian sendiri
أَوِ
atau
ٱخۡرُجُواْ
keluarlah kamu
مِن
dari
دِيَٰرِكُم
kampungmu
مَّا
tidak
فَعَلُوهُ
mereka melakukannya
إِلَّا
kecuali
قَلِيلٞ
sedikit/sebagian kecil
مِّنۡهُمۡۖ
dari mereka
وَلَوۡ
dan kalau
أَنَّهُمۡ
sesungguhnya mereka
فَعَلُواْ
(mereka) melaksanakan
مَا
apa/pelajaran
يُوعَظُونَ
diberikan
بِهِۦ
dengannya
لَكَانَ
tentulah ia/demikian itu
خَيۡرٗا
lebih baik
لَّهُمۡ
bagi mereka
وَأَشَدَّ
dan sangat/lebih
تَثۡبِيتٗا
menguatkan
Terjemahan
Seandainya Kami perintahkan kepada mereka (orang-orang munafik), “Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu,” niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Seandainya mereka melaksanakan pengajaran yang diberikan kepada mereka, sungguh itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).
Tafsir
(Dan seandainya Kami wajibkan kepada mereka) an sebagai penafsiran ("Bunuhlah dirimu," atau, "Keluarlah kamu dari kampungmu,") sebagaimana telah Kami lakukan terhadap Bani Israel (tidaklah mereka akan melakukannya) apa yang diharuskan itu (kecuali sebagian kecil) dibaca marfu` sebagai badal dan manshub sebagai mustatsna (di antara mereka. Dan sekiranya mereka melakukan apa yang dinasihatkan kepada mereka itu) yakni menaati Rasul (tentulah hal itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan) lebih memantapkan keimanan mereka.
Tafsir Surat An-Nisa': 66-70
Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, "Bunuhlah diri kalian atau keluarlah kalian dari kampung kalian," niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka mengamalkan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).
Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami,
Dan pasti Kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.
Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-Nya, mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid. dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.
Yang demikian itu adalah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.
Ayat 66
Allah ﷻ menceritakan perihal kebanyakan umat manusia, bahwa mereka itu seandainya diperintahkan mengerjakan hal-hal yang dilarang mereka untuk melakukannya, niscaya mereka tidak akan mematuhinya karena watak mereka yang buruk telah diciptakan dalam keadaan mempunyai naluri untuk menentang perintah.
Hal ini merupakan bagian dari pengetahuan Allah ﷻ terhadap hal yang belum terjadi, atau hal yang telah terjadi, lalu bagaimana kelanjutannya di masa mendatang. Karena itulah Allah ﷻ dalam ayat ini berfirman: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah diri kalian’.” (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Mutsanna, telah menceritakan kepadaku Ishaq, telah menceritakan kepada kami Al-Azar, dari Ismail, dari Abu Ishaq As-Zubai'i sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah diri kalian’.” (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat. Bahwa tatkala ayat ini diturunkan, ada seorang lelaki mengatakan, "Sekiranya kita diperintahkan untuk itu, niscaya kami benar-benar akan melakukannya, tetapi segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan kita dari perintah itu." Ketika hal tersebut sampai kepada Nabi ﷺ, maka beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya di antara umatku benar-benar terdapat banyak lelaki yang iman di dalam hati mereka lebih teguh lagi lebih kokoh daripada gunung-gunung yang terpancangkan dengan kokohnya.”
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Munir, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Al-Hasan berikut sanadnya, dari Al-A'masy yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah diri kalian’.” (An-Nisa: 66). hingga akhir ayat. Ketika ayat ini diturunkan, ada segolongan orang dari sahabat Nabi ﷺ yang mengatakan, "Sekiranya kita diperintahkan oleh Tuhan kita untuk itu, niscaya kita benar-benar akan melakukannya." Maka sampailah perkataan itu kepada Nabi ﷺ, lalu beliau bersabda: “Iman benar-benar lebih kokoh di dalam hati para pemiliknya daripada gunung-gunung yang dipancangkan dengan kokohnya.”
As-Suddi mengatakan bahwa Sabit ibnu Qais ibnu Syammas saling berbangga diri dengan seorang lelaki Yahudi. Lelaki Yahudi itu mengatakan, "Allah telah memerintahkan kepada kami untuk bunuh diri, lalu kami bunuh diri kami (yakni di masa Nabi Musa a.s.)." Maka Sabit berkata, "Demi Allah, sekiranya Allah memerintahkan kepada kami untuk membunuh diri kami, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: ‘Bunuhlah diri kalian!’ (An-Nisa: 66) niscaya kami benar-benar akan melakukannya." Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Mahmud ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnus Sirri, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Sabit, dari pamannya (yaitu Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair) yang mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah diri kalian atau keluarlah kalian dari kampung kalian,’ niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka.” (An-Nisa: 66) Ketika ayat ini diturunkan, maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Seandainya perintah itu diturunkan niscaya Ibnu Ummi Abdin termasuk dari mereka (yang menaati-Nya).”
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ayyasy, dari Safwan ibnu Amr, dari Syuraih ibnu Ubaid yang menceritakan bahwa ketika Rasulullah membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka, ‘Bunuhlah diri kalian'." (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat. Maka beliau mengisyaratkan tangannya menunjukkan ke arah Abdullah ibnu Rawwahah, lalu bersabda: “Seandainya Allah memerintahkan hal tersebut, niscaya orang ini termasuk dari mereka yang sedikit itu.” Yang dimaksud ialah Abdullah ibnu Rawwahah.
Firman Allah ﷻ: “Dan sesungguhnya kalau mereka mengamalkan pelajaran yang diberikan kepada mereka.” (An-Nisa: 66)
Maksudnya sekiranya mereka mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka dan meninggalkan apa yang dilarang mereka untuk melakukannya.
“Tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka.” (An-Nisa: 66)
Yakni lebih baik daripada menentang perintah dan mengerjakan larangan-larangan.
“Dan lebih menguatkan (iman mereka).” (An-Nisa: 66)
Menurut As-Suddi, makna yang dimaksud ialah lebih percaya.
Ayat 67
“Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka dari sisi Kami.” (An-Nisa: 67)
Yaitu dari perbendaharaan Kami.
“Pahala yang besar.” (An-Nisa: 67)
Pahala yang besar itu adalah surga.
Ayat 68
“Dan pasti kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-Nisa: 68)
Yakni di dunia dan akhirat.
Ayat 69
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69)
Dengan kata lain, barang siapa yang mengerjakan apa yang diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, serta meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya Allah ﷻ akan menempatkannya di dalam rumah kehormatan-Nya (yakni surga) dan menjadikannya berteman dengan para nabi, orang-orang yang kedudukannya di bawah mereka yaitu para siddiqin, lalu orang-orang yang mati syahid, dan semua kaum mukmin, yaitu mereka yang saleh lahir dan batinnya.
Kemudian Allah ﷻ memuji mereka melalui firman selanjutnya: “Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69)
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Hausyab, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari ayahnya, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tiada seorang nabi pun yang mengalami sakit melainkan ia disuruh memilih antara dunia dan akhirat.”
Tersebutlah pula bahwa ketika Nabi ﷺ dalam sakit yang membawa kepada kewafatannya, beliau terserang rasa sakit yang sangat dahsyat, lalu Siti Aisyah mendengarnya mengucapkan kalimat berikut: “Bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.” Maka Siti Aisyah mengetahui bahwa saat itu Nabi ﷺ sedang disuruh memilih oleh Allah ﷻ.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Syu'bah, dari Sa'd ibnu Ibrahim dengan lafal yang sama. Hadis di atas merupakan makna dari sabdanya yang menyebutkan: “Ya Allah, (aku memilih) bersama-sama Rafiqul A'la.” Kalimat tersebut beliau ucapkan sebanyak tiga kali, kemudian wafatlah beliau. Semoga shalawat dan salam yang paling utama dilimpahkan kepadanya.
Pembahasan mengenai latar belakang turunnya ayat yang mulia ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Humaid, telah menceritakan kepada kami Ya'qub Al-Qummi, dari Ja'far ibnu Abul Mugirah, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa seorang lelaki dari kalangan Ansar datang menghadap Rasulullah ﷺ dalam keadaan sedih. Lalu Nabi ﷺ bertanya kepadanya, "Wahai Fulan, mengapa kulihat kamu dalam keadaan sedih?" Lelaki itu menjawab, "Wahai Nabi Allah, ada sesuatu hal yang sedang kupikirkan." Nabi ﷺ bertanya, "Apakah yang sedang kamu pikirkan?" Dia menjawab, "Kami setiap pagi dan petang selalu berangkat menemuimu dan memandang wajahmu serta duduk satu majelis denganmu, tetapi besok (di hari akhirat) engkau diangkat bersama para nabi. Maka kami tidak akan bisa bersamamu lagi." Nabi ﷺ diam, tidak menjawab sepatah kata pun. Lalu datanglah Malaikat Jibril kepadanya menyampaikan firman-Nya: “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi.” (An-Nisa: 69), hingga akhir ayat. Maka Nabi ﷺ mengirimkan utusan kepada lelaki tersebut, lalu berita gembira itu disampaikan kepadanya.
Atsar ini telah diriwayatkan secara mursal dari Masruq, Ikrimah, Amir Asy-Sya'bi, Qatadah, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. Atsar ini memiliki sanad yang paling baik.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Ja'far, dari ayahnya, dari Ar-Rabi' sehubungan dengan firman-Nya: “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya).” (An-Nisa: 69), hingga akhir ayat. Para sahabat Nabi ﷺ mengatakan, "Kami mengetahui bahwa Nabi ﷺ mempunyai keutamaan di atas semua orang yang beriman kepadanya dari kalangan orang-orang yang mengikutinya dan percaya kepadanya di dalam tingkatan surga nanti. Maka bagaimanakah caranya apabila mereka berkumpul di dalam surga untuk dapat saling melihat antara sebagian dari mereka kepada sebagian yang lain?" Maka Allah menurunkan ayat ini, dan Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang berada di tingkatan yang paling tinggi (dari kalangan ahli surga) turun menemui orang-orang yang menempati tingkatan di bawah mereka, lalu mereka berkumpul di dalam taman-taman surga dan memperbincangkan perihal nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepada mereka seraya memuji-Nya. Dan orang-orang yang berada di tingkatan yang tinggi turun menemui mereka (yang berada di tingkatan paling bawah), lalu membawakan buat mereka semua apa yang diinginkan dan didambakan oleh mereka. Mereka semuanya berkumpul di dalam suatu taman sambil bergembira ria dan bersenang-senang di dalamnya.”
Hadis ini diriwayatkan secara marfu' melalui jalur yang lain oleh Abu Bakar ibnu Mardawaih. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim ibnu Muhammad ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Ahmad ibnu Usaid, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Imran, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Iyad, dari Mansur, dari Ibrahim, dari Al-Aswad, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa pernah seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau benar-benar lebih aku cintai daripada diriku sendiri, dan lebih aku cintai daripada keluargaku, serta lebih aku cintai daripada anakku. Sesungguhnya bila aku berada di dalam rumah, lalu aku teringat kepadamu, maka aku tidak sabar lagi sebelum bertemu denganmu dan melihatmu. Tetapi bila aku ingat akan kematianku dan kematianmu, maka aku mengetahui jika engkau dimasukkan ke dalam surga pasti diangkat kedudukanmu bersama para nabi. Jika aku masuk surga, aku merasa khawatir bila tidak dapat melihatmu lagi." Nabi ﷺ diam, tidak menjawab, hingga turunlah firman-Nya: “Dan barang siapa yang menaati Allah dan Rasul-(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu nabi-nabi, para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.” (An-Nisa: 69)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Abu Abdullah Al-Maqdisi di dalam kitabnya yang berjudul Sifatul Jannah melalui jalur Imam Ath-Thabarani, dari Ahmad ibnu Amr ibnu Muslim Al-Khallal, dari Abdullah ibnu Imran Al-Abidi dengan lafal yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa menurut dia sanad hadits ini tidak mengandung kelemahan.
Ibnu Mardawaih mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Fadl Al-Isqati, telah menceritakan kepada kami Abu Ba-kar ibnu Sabit, dari ibnu Abbas Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Khalid ibnu Abdullah, dari ‘Atha’ ibnus Saib, dari Amir Asy-Sya'bi, dari ibnu Abbas, bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintaimu, sehingga bila aku berada di dalam rumah benar-benar tetap mengingatmu dan ini sangat berat bagiku. Dan aku menginginkan agar bersama-sama denganmu dalam satu derajat (tingkatan di surga nanti)." Nabi ﷺ tidak menjawab sepatah kata pun kepadanya. Maka Allah ﷻ menurunkan ayat ini.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui ibnu Humaid, dari Jarir, dari ‘Atha’, dari Asy-Sya'bi secara mursal. Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui hadits Hiql ibnu Ziyad, dari Al-Auza'i, dari Yahya ibnu Abu Kasir, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Rabi'ah ibnu Ka'b Al-Aslami yang menceritakan hadits berikut: " Aku menginap di rumah Nabi ﷺ dan aku mendatangkan (menyiapkan) air wudunya serta keperluannya, lalu beliau bersabda kepadaku, "Mintalah." Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, aku meminta kepadamu supaya dapat menemanimu di surga." Nabi ﷺ bersabda, "Mintalah selain itu." Aku menjawab, "Hanya itulah yang kuminta." Nabi ﷺ bersabda, "Maka bantulah aku untuk membantu dirimu dengan memperbanyak sujud (shalat)."
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami lbnu Luhaiah, dari Abdullah ibnu Abu Ja'far, dari Isa ibnu Talhah, dari Amr ibnu Murrah Al-Juhani yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, aku telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan bahwa engkau adalah utusan Allah, dan aku mengerjakan shalat lima waktu, menunaikan zakat, dan puasa bulan Ramadan." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang mati dalam keadaan demikian, maka ia akan bersama-sama dengan nabi-nabi, para siddiqin, dan orang-orang yang mati syahid kelak di hari kiamat, seperti ini - seraya mengacungkan kedua jarinya - selagi dia tidak menyakiti kedua orang tuanya.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abu Said maula Abu Hasyim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Ziyad ibnu Qaid, dari Sahl ibnu Mu'az ibnu Anas, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang membaca seribu ayat di jalan Allah, maka kelak di hari kiamat ia akan dihimpun bersama-sama para nabi para siddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh; dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya, Insya Allah.”
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari jalur Sufyan As-Sauri, dari Abu Hamzah, dari Al-Hasan Al-Basri, dari Abu Sa'id yang menceritakan, Rasulullah ﷺ bersabda: “Pedagang yang jujur lagi dipercaya akan (dihimpun) bersama-sama dengan para nabi, para siddiqin, dan orang-orang yang mati syahid.” Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, kami tidak mengenalnya kecuali dari jalur ini. Abu Hamzah nama aslinya adalah Abdullah ibnu Jabir, seorang guru di Basrah.
Yang lebih dahsyat dari semuanya adalah sebuah berita gembira yang disebutkan di dalam kitab-kitab sahih dan musnad serta kitab-kitab hadits lain melalui berbagai jalur yang mutawatir dari sejumlah sahabat yang menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai seorang lelaki yang mencintai suatu kaum (ulama), tetapi kedudukan si lelaki itu tidak dapat menyusul mereka. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Seseorang itu akan bersama-sama dengan orang yang dicintainya.” Anas mengatakan bahwa kaum muslim belum pernah merasa gembira seperti kegembiraan mereka dengan hadits ini.
Menurut riwayat lain dari Anas, disebutkan bahwa ia pernah mengatakan, "Sesungguhnya aku benar-benar mencintai Rasulullah ﷺ dan cinta pula kepada Abu Bakar dan Umar radiyallahu anhuma, dan aku berharap semoga Allah membangkitkan aku bersama-sama mereka, sekalipun aku belum dapat beramal seperti amal mereka."
Imam Malik ibnu Anas meriwayatkan dari Safwan ibnu Sulaim, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya penduduk surga itu benar-benar memandang penduduk guraf (kedudukan yang tertinggi di dalam surga) yang berada di atas mereka, sebagaimana kalian memandangi bintang-bintang gemerlapan yang jauh berada di ufuk timur atau di ufuk barat, karena adanya perbedaan keutamaan di antara mereka.” Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, tempat itu adalah tempat kediaman para nabi yang tidak dapat dicapai selain mereka." Rasulullah ﷺ menjawab: “Tidak, demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, (mereka adalah) kaum laki-laki yang beriman kepada Allah dan percaya kepada para rasul.”
Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim di dalam kitab Shahihain melalui hadits Malik, lafal hadits berdasarkan apa yang ada pada Sahih Muslim.
Imam Ahmad meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Fazzarah, telah menceritakan kepadaku Fulaih, dari Hilal (yakni Ibnu Ali), dari ‘Atha’, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya penduduk surga benar-benar saling memandang sebagaimana kamu memandang bintang-bintang gemerlapan yang berada jauh di ufuk yang tinggi karena adanya perbedaan keutamaan dalam hal tingkatan di antara mereka).” Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, mereka yang tinggal di tempat yang tinggi itu adalah para nabi tentunya." Nabi ﷺ bersabda: “Tidak demikian, demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, (mereka adalah) kaum laki-laki yang beriman kepada Allah dan percaya kepada rasul-rasul.”
Menurut Al-Hafidzh Ad-Diyaul Maqdisi disebutkan bahwa hadits ini dengan syarat Imam Bukhari.
Al-Hafidzh Abul Qasim Imam Ath-Thabarani mengatakan di dalam kitab Mu'jamul Kabir: Telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ammar Al-Mausuli, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Afif ibnu Salim, dari Ayyub bin Atabah, dari ‘Atha’, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa datanglah seorang lelaki dari Habsyah menghadap kepada Rasulullah ﷺ untuk bertanya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Bertanyalah dan mintalah pemahaman (kepadaku)." Lelaki itu berkata, "Wahai Rasulullah, engkau diberi keutamaan di atas kami berkat bentuk, warna kulit, dan kenabian." Kemudian lelaki Habsyah (yang hitam kulitnya) berkata lagi, "Bagaimanakah menurutmu, jika aku beriman kepada apa yang engkau imani dan mengamalkan amalan seperti yang engkau amalkan, apakah aku dapat bersama-sama denganmu di dalam surga nanti?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Ya, demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya sinar dari warna hitam itu benar-benar dapat menerangi sejauh perjalanan seribu tahun di dalam surga.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Barang siapa yang mengucapkan, ‘Tidak ada Tuhan selain Allah,’ maka kalimat tersebut membuatnya memperoleh janji Allah. Dan barang siapa yang mengucapkan: ‘Subhanallahi wabihamdihi’ (Maha Suci Allah dan dengan memuji-Nya), maka dicatatkan baginya seratus ribu kebaikan dan dua puluh empat ribu kebaikan. Lalu ada seorang lelaki berkata, "Bagaimanakah jika kami mati sesudah itu, ya Rasulullah ﷺ?" Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang lelaki datang di hari kiamat dengan membawa pahala amal perbuatan; seandainya amal itu diletakkan di atas sebuah bukit, niscaya bukit itu keberatan dengannya. Kemudian dibangkitkan suatu nikmat dari nikmat-nikmat Allah, maka hampir saja nikmat dari Allah itu dapat menghabiskan semua amal itu kecuali bila Allah meliputinya dengan rahmat-Nya.” Lalu turunlah ayat-ayat berikut, yakni firman-Nya: “Bukankah telah datang kepada manusia suatu waktu dari masa, sedangkan sampai dengan firman-Nya: “Berbagai macam kenikmatan dan kerajaan yang besar.” (Al-Insan: 20) Lalu orang Habsyi itu berkata, "Apakah kedua mataku ini benar dapat pula melihat apa yang dilihat oleh kedua matamu di dalam surga?" Nabi ﷺ menjawab, "Ya." Maka lelaki Habsyah itu menangis hingga meninggal dunia. Ibnu Umar mengatakan, "Sesungguhnya aku melihat Rasulullah ﷺ menurunkan jenazahnya ke liang lahatnya."
Hadis ini mengandung garabah (keanehan) dan nakarah (hal-hal yang diingkari), lagi pula sanadnya dha’if.
Ayat 70
Firman Allah ﷻ: “Yang demikian itu adalah karunia dari Allah.” (An-Nisa: 70)
Yakni dari sisi Allah; berkat rahmat-Nya-lah yang menjadikan mereka dapat memperoleh hal tersebut, bukan karena amal perbuatan mereka.
“Dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui.” (An-Nisa: 70)
Dia Maha Mengetahui siapa yang berhak mendapat hidayah dan taufik-Nya.
Pada ayat-ayat yang lalu diperingatkan bahwa orang-orang munafik itu sebenarnya tidak mau menerima Nabi sebagai hakim, walaupun ketentuan itu diwajibkan oleh Allah atas diri mereka. Pada ayat-ayat berikut digambarkan sikap mereka bahwa apa pun perintah tidak akan mereka lakukan disebabkan kemunafikan mereka. Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, orang-orang munafik itu, Bunuhlah dirimu, sebagaimana dulu pernah ditetapkan sanksi semacam ini terhadap orang-orang Yahudi, atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslim dulu dari Mekah ke Madinah, ternyata mereka, orang-orang munafik, tidak akan melakukannya karena lemahnya iman mereka, kecuali sebagian kecil saja dari mereka. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah dan pengajaran yang diberikan oleh Allah dan Rasul, niscaya itu lebih baik bagi mereka dari apa yang mereka lakukan selama ini, dan lebih menguatkan iman mereka yang selama ini terombang ambing dalam kemunafikanApabila mereka meksanakan perintah dan pengajaran yang diberikan oleh Allah dan Rasul itu, dan dengan demikian, pasti Kami berikan kepada mereka anugerah yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya, serta pahala yang besar dari sisi Kami.
Ayat ini menjelaskan berbagai sikap manusia pada umumnya dalam mematuhi perintah Allah. Kebanyakan mereka apabila diperintahkan hal-hal yang berat, mereka enggan bahkan menolak untuk melaksanakannya seperti halnya orang-orang munafik dan mereka yang lemah imannya.
Adapun orang yang benar-benar beriman selalu menaati segala yang diperintahkan Allah bagaimanapun beratnya perintah itu, walaupun perintah itu meminta pengorbanan jiwa, harta atau meninggalkan kampung halaman. Hal ini terbukti dari sikap kaum Muslimin pada waktu diperintahkan hijrah ke Madinah dan pada waktu diperintahkan berperang melawan musuh yang amat kuat, berlipat ganda jumlahnya dan lengkap persenjataannya. Inilah yang digambarkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam sabdanya yang tersebut di atas.
Sebenarnya kalau manusia itu melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dan meninggalkan apa yang di larang-Nya, itulah yang lebih baik bagi mereka, karena dengan demikian iman mereka bertambah kuat dan akan menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji pada diri mereka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sehubungan dengan orang-orang yang hatinya pecah tadi, yang masih saja bertahkim kepada thogut—padahal Rasul telah diutus, dan dia yang wajib ditaati—Allah berfirman selanjutnya,
Ayat 66
“Dan kalau kiranya Kami wajibkan atas mereka, supaya ‘bunuhlah diri kamu, atau keluanlah kamu dari kampung-kampung kamu, tidaklah akan mereka lakukan, kecuali sedikit saja dari mereka."
Tadi sudah dinyatakan, demi Allah, belum beriman kamu sebelum taat kepada Rasul dan ridha menerima hukumnya. Bahkan kalau masih ada agak sedikit pun rasa sanggahan dalam hati, meskipun tidak dinyatakan, ma-sihlah iman itu belum sempurna. Untuk menguji sudahkah iman kepada Allah dan taat kepada Rasul benar-benar telah memenuhi jiwa! Perintah Allah akan datang. Bunuhlah diri kamu! Siapakah kamu buat mati? Atau keluarlah dari negerimu, tinggalkan kampung halaman buat berjuang dan tanda taat setia kepada Rasul. Sudahkah kamu bersedia? Niscaya maksud ayat ini bukan membunuh diri karena memang sudah diharamkan.
Tetapi kalau disuruh pergi ke medan perang, bukankah itu menghadang maut? Mati ialah perceraian nyawa dan badan. Meninggalkan kampung halaman ialah perceraian badan dan yang dicintai. Sudahkah kamu bersedia? Allah menerangkan bahwa hanya sedikit yang suka dan banyak yang ragu-ragu. Sebab mereka hanya mau taat kalau tidak akan memberatkan. Inilah tanda-tanda dari nifaq, dari jiwa yang belah! Padahal, “Dan kalau mereka kerjakan apa yang diajarkan kepada mereka/ di antaranya bersedia mati kalau datang perintah, bersedia hijrah kalau datang ajakan Rasul, tanda ketaatan yang tidak ada keraguan lagi.
“Niscaya itulah yang terlebih baik bagi mereka dan itulah yang terlebih tepat."
Artinya, kalau jiwa tidak ragu-ragu lagi, disuruh mati sedia mati, disuruh hijrah sedia hijrah, namun kalau belum mati kata Allah, tidaklah akan mati. Orang yang telah bersedia mati karena menegakkan ketaatan kepada Allah dan Rasul, akan mati hanya sekali jua, kini mati seakan mati. Orang yang hijrah, akan meninggalkan kampung halaman karena ada tujuan suci yang dituju, akan mendapat pribadi yang lebih teguh dan kukuh. Orang ini akan beroleh kegembiraan hidup lahir dan batin sebab terang apa yang diperjuangkan. Nilai hidupnya ditentukan oleh kemuliaan cita-citanya. Tidak ada lagi suatu cita pun di dalam hidup ini, yang lebih mulia daripada menunjukkan taat setia kepada Allah dan Rasul. Adapun sikap yang ragu-ragu, daripada pergi surut yang lebih, adalah meremuk meredamkan jiwa sendiri atau meruntuh mutu diri.
“Maukah engkau mati untuk agama Allah?" Dengan tidak ragu dia menjawab, “Mau!"
“Maukah engkau meninggalkan kampung halaman, sengsara, terasing?" Dia menjawab dengan tidak ragu-ragu, “Mau!"
Allah pun tidak ragu-ragu, bahkan Allah tidak pernah ragu di dalam memberikan janji,
Ayat 67
“Dan di waktu itu, niscaya Kami berikan kepada mereka, dari sisi Kami ganjaran yang besar."
Ganjaran itu besar dan banyak. Di antaranya ialah baiknya nilai diri kita dalam perasaan kita sendiri. Penyakit yang sangat meremukkan jiwa di dalam hidup ini ialah ketakutan. Kalau Allah sudah berkenan meng-anugerahi keberanian hidup dan keberanian mati, dan keberanian sengsara karena cita-cita menegakkan agama, sudahlah kita mendapat ganjaran yang paling besar dalam hidup ini. Dan Allah menuruti lagi janji yang kedua,
Ayat 68
“Dan niscaya Kami beri mereka petunjuk jalan yang lurus."
Ini tingkat ganjaran yang kedua. Bagaimana pun sukar jalan, namun Allah memasangkan pelita dalam jiwanya sehingga dia tahu jalan lurus yang akan ditempuhnya. Dia tegak, lurus, dan tetap. Hanya menuju satu tujuan: ridha Allah.
Kedua ganjaran ini ialah di dunia. Bagaimana pula di akhirat? Inilah janji Allah yang ketiga,
Ayat 69
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul, maka mereka beserta dengan orang-orang yang diberi nikmat oleh Allah, dari nabi-nabi dan shiddigin, dan syuhada dan shalihin. Yang sebaik-baiknyalah mereka itu menjadi kawan tepat."
Untuk meresapkan betapa besar artinya ayat ini, kita salinkan suatu riwayat dari ath-Thabrani dan Ibnu Mardawaihi dengan sanad-nya, yang menurut keterangan as-Sayuthi. Hadits ini laa ba ‘sa bihi, artinya isnadnya “boleh jugalah"—dari Aisyah, “Suatu hari datanglah seorang laki-laki kepada Rasulullah ﷺ, lalu dia berkata, ‘Ya, Rasulullah! Engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri, engkau lebih aku cintai daripada anakku sendiri. Sedang aku duduk seorang diri dalam rumahku, teringat aku akan dikau, maka tidaklah tertahankan olehku sebelum aku datang kepada engkau dan melihat wajah engkau. Teringat pula aku jika aku mati dan engkau pun mati. Aku mengerti, setelah masuk ke surga niscaya engkau akan diangkat ke tempat nabi-nabi. Jika pun aku masuk ke dalam surga, aku takut, aku tidak akan dapat melihat engkau lagi!' Kata Rawi, Nabi terdiam, tidak dapat menjawab kata yang mengharukan itu, sampai datanglah Jibril membawa ayat ini, ‘Barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul....'“
Ada pula riwayat lain yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, diterimanya dari Masruq bahwa beberapa sahabat Rasulullah ﷺ berkata, “Ya Rasulullah, memang kami tidak pantas berpisah dengan engkau selama-lamanya, tetapi di sana kelak (di akhirat) sedang kami mengiringkan engkau, engkau pun diangkat jauh dan kami, dan kami tidak akan melihat-lihat engkau lagi"
Menurut riwayat Ikriinah pula, seorang anak muda datang kepada Nabi, lalu berkata, “Ya Nabi Allah! Hanya sedang di dunia ini kami akan dapat melihat engkau. Kalau sudah di akhirat, tentu kami tidak akan dapat melihat engkau lagi sebab tempatmu di surga tentu di derajat yang tinggi sekali"
Tibalah ayat ini, menerangkan bahwasanya orang yang taat kepada Allah dan Rasul, tempatnya tidak akan diletakkan di bawah, melainkan akan bersama dengan nabi-nabi. Mereka merasa sedih kalau tidak akan bertemu lagi dengan Nabi Muhammad ﷺ yang dicintai, namun wahyu menyatakan bukan saja dengan nabi-nabi, bahkan juga bersama-sama dengan shiddiqin, yaitu orang-orang yang selalu menerima dan membenarkan segala apa yang diperintahkan Allah, dengan yakin, percaya, dan jujur, tidak pernah berbelah hati dan tidak pernah ragu.
Laksana Ibrahim menerima tauhid, laksana Maryam, ibu Isa, ketika diterangkan kepadanya bahwa dia akan hamil dengan tidak melalui jalan biasa. Bahkan laksana Abu Bakar ash-Shiddiq, sampai menjadi gelarnya “ash-Shiddiq" sebab tulusnya menerima apa saja yang dikatakan Rasul. Sampai Nabi berkata, “Tadi malam aku Isra' ke Baitul Maqdis dan Mi'raj ke langit," dia menjawab, “Saya percaya!" Dengan tidak bertanya lagi bagaimana caranya. Bersama pula dengan syuhada yaitu orang-orang yang telah menjadi syahid, telah memberikan kesaksian atas kebenaran agama Allah dengan segenap pengorbanan yang ada padanya.
Berkata ar-Razi dalam tafsirnya, “Kata-kata syuhada di sini lebih umum dan tinggi artinya daripada semata orang-orang yang mati syahid. Sebab ada juga orang banyak dosa karena dia mati syahid di medan perang, dosanya diampuni. Ada juga orang mati syahid tersebab yang lain, perempuan karena mati bungkus atau seorang mati dalam pelayaran, atau mati kena tikam, mati lulus terbenam, dan sebagainya." Syuhada di sini menurut ar-Razi, bermaksud lebih mulia dari itu, yaitu orang-orang yang telah memberikan kesaksian atas benarnya agama Allah, kalau perlu dengan hujjah dan keterangan dan kalau perlu lagi dengan pedang dan senjata. Sebab itu syu-hada di sini ialah orang-orang yang telah menegakkan neraca keadilan. Yang di dalam surah Aali Tmraan ayat 18, martabat mereka sudah ditinggikan,
“Telah menyaksikan Allah bahwasanya Dia, tidak ada tuhan melainkan Dia, dan malaikat dan orang-orang yang berilmu, yang tegak dengan keadilan." (Aali Tmraan: 18)
Allah telah mengangkat ahli-ahli ilmu ke derajat yang tinggi sekali, bersama dengan malaikat, diangkat Allah ke dekat-Nya, bahkan bersama Allah, menyaksikan “Tidak ada tuhan melainkan Allah!" Makanya orang yang mati syahid di medan perang menegakkan agama Allah, dinamai syahid, sebab dia telah mati mengurbankan dirinya membela agama Allah, naik saksi bahwa Allah-lah yang benar dan yang lain adalah batil. Orang-orang itu pula yang menjadi Ummatan Wasathan, umat yang di tengah, yang menjadi kesaksian bagi seluruh manusia di alam ini.
Pendeknya, walaupun bersilang siur bahaya di hadapannya, namun dia masih tetap. Apa pun yang akan terjadi, dia terima. Entah karena keyakinannya itu dia akan sengsara, mati terbunuh, atau terbuang, di medan pe-rang atau di medan jihad yang lebih luas, namun keyakinannya tidak ada suatu makhluk pun yang kuasa mengubahnya. Itulah syuhada (banyak) dan syahid (seorang).
Dan akan bertempat pula bersama dengan shalihin, yaitu orang yang baik jiwanya dan baik amalnya. Mungkin derajatnya dalam kegiatan hidup tidak sampai sebagai syuhada. Entah karena kurang ilmu, atau kesanggupan, atau kesempatan. Mungkin tidak ada atau tidak sanggup menyentak pedang buat memerangi musuh, tidak tajam pikiran buat menciptakan pendapat baru, tidak fasih lidah buat mengajak, tetapi berjalan dia mengiringi, beriur dia mengisi. Seorang alim besar di suatu negeri mengajak umat bergotong royong membangun sebuah masjid besar, yang kaya mengorbankan uang sebanyak-banyaknya, yang tukang mengorbankan kepandaiannya dalam bertukang, dan ada orang yang uang tidak ada, kepandaian tak ada. Dia hanya mengangkut batu dari sungai, sebuah demi sebuah. Tetapi hatinya baik, budinya baik, amalnya baik; itulah shalihin.
Bagaimana cita-cita seorang nabi seperti Muhammad ﷺ diiringkan oleh seorang shiddiq seperti Abu Bakar akan dapat tercapai, kalau tidak ada orang-orang shalih, yang kadang-kadang nama mereka tidak terkenal, akan tetapi terdapat dalam 124.000 sahabat Rasulullah ﷺ yang menyokong dan menyambutnya. Bagaimana sebuah pohon beringin besar akan kelihatan rindang menjulang langit, kalau kiri kanannya tidak ada rumputhijau yang subur?
Orang yang telah menyediakan diri taat kepada Allah dan Rasul, meskipun tidak dapat mencapai derajat nubuwwat—sebab nubuw-wat adalah pengangkatan dari atas dengan susah payah—mungkin dia dapat mencapai derajat shiddiq, atau di bawah sedikit, mencapai syuhada atau menjadi shalih pun jadilah, namun tempat yang disediakan Allah bersama dengan orang-orang yang mulia itu, telah ada buat mereka.
“Yang sebaik-baiknyalah mereka itu menjadi kawan tepat."
Sejak dari dunia ini, kalau diri telah bersedia taat kepada Allah dan Rasul, sudah terang bahwa segala orang yang duduk dalam martabat yang mulia, itulah kawan. Meskipun sekarang ini tidak bertemu muka, jiwa telah berkawan sebab cita-cita yang dijalankan ialah cita-cita mereka. Sampai di akhirat mereka pulalah kawan. Alangkah bahagianya kalau nabi-nabi, shiddiqin, syuhada, dan shalihin yang menjadi kawan.
Ayat 70
“Yang demikian itulah kurunia dari Allah."
Diberikan kesempatan yang luas mempersiapkan diri mencari kawan, dalam perjalanan yang jauh ini, perjalanan menuju pulang kembali kepada Allah. Alangkah bahagianya kalau dari setingkat demi setingkat, segala derajat itu berhasil kita capai, kecuali nubuwwat karena tidak ada Nabi sesudah Muhammad ﷺ yang telah dimulai dari pintu gerbang pertama, yaitu kesediaan taat kepada Allah dan Rasul.
Di dalam hal duniawi, sebagai insan, kita menginginkan martabat dan pangkat yang tinggi, mengapa dalam perjalanan menuju ridha Allah kita tidak akan menginginkan itu? Padahal dalam perjalanan dunia kerap kali terjadi perebutan, tumbuk-menumbuk, dan runtuh-meruntuhkan. Mengapa kita tidak menyediakan dalam jiwa kita menempuh jalan mulia ini? Yang selalu lapang dan terbuka? Dari mulai kecil melihat dunia, ditanamkan kepada kita cinta dan rindu hendak melihat wajah Rasulullah dan seluruh nabi, termasuk Musa dan Isa dan yang lain-lain. Mengapa kita tidak akan bersiap dari sekarang agar sampai ke tempat itu?
“Dan cukuplah dengan Allah yang Maha Mengetahui."
Maha Mengetahuilah Allah gerak hati kita, jalan manakah yang hendak kita tempuh, ketaatankah, kebulatan kepercayaankah, kesediaan mati untuk agama Allahkah, kesediaan keluar dari kampung halamankah karena menegakkan agama Rasulkah, atau keragu-raguankah, atau munafik atau setengah hati?
Allah mengetahui itu semuanya, asal Allah tahu, cukuplah. Walaupun manusia tidak tahu atau tidak mau tahu. Kepada-Nya kita berlindung dan memohon agar diberi-Nya petunjuk hati dan dimudahkan menuju jalan yang diridhai-Nya. Aamiin.
Adapun ketiga riwayat sebab turunnya ayat tadi, baik kisah seorang laki laki atau kisah sahabat-sahabat Rasulullah yang bertanya itu maupun kisah anak muda yang jalan ceritanya hampir sama, yaitu duka cita kalau-kalau di akhirat tidak akan pernah lagi melihat wajah Nabi karena tempat akan berjauhan, meskipun sama-sama di surga, sehingga datang ayat ini menjelaskan, menurut ilmu had its sanadnya tidak ada yang kuat. Meskipun begitu, pengertian yang terkandung dalam ketiga kisah ini menjadi kuatlah, yang satu telah menguatkan yang lain sebab memang ada sebuah hadits yang shahih riwayat Imam Ahmad, Bukhari, dan Muslim, dari hadits Anas bin Malik, Rasulullah bersabda,
“Manusia akan berada bersama orang yang dicintainya." (HR Bukhari, Muslim, dan Imam Ahmad)
Tegasnya, kalau engkau cinta kepada Rasulullah, niscaya engkau akan bertemu dengan beliau di akhirat kelak, dalam surga Jannatun Na'im.
Berkata Anas bin Malik, “Jaranglah kegembiraan meliputi hati kaum Muslimin yang menyamai kegembiraan mereka pada hari hadits ini diucapkan Rasulullah ﷺ."