Ayat
Terjemahan Per Kata
فَلَا
maka
وَرَبِّكَ
dan/demi Tuhanmu
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
حَتَّىٰ
hingga
يُحَكِّمُوكَ
mereka menjadikan kamu hakim
فِيمَا
terhadap apa/perkara
شَجَرَ
perselisihan
بَيۡنَهُمۡ
diantara mereka
ثُمَّ
kemudian
لَا
tidak
يَجِدُواْ
mereka mendapatkan
فِيٓ
dalam
أَنفُسِهِمۡ
diri/hati mereka
حَرَجٗا
keberatan
مِّمَّا
terhadap apa
قَضَيۡتَ
kamu putuskan
وَيُسَلِّمُواْ
dan mereka menerima
تَسۡلِيمٗا
penerima sepenuhnya
فَلَا
maka
وَرَبِّكَ
dan/demi Tuhanmu
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
beriman
حَتَّىٰ
hingga
يُحَكِّمُوكَ
mereka menjadikan kamu hakim
فِيمَا
terhadap apa/perkara
شَجَرَ
perselisihan
بَيۡنَهُمۡ
diantara mereka
ثُمَّ
kemudian
لَا
tidak
يَجِدُواْ
mereka mendapatkan
فِيٓ
dalam
أَنفُسِهِمۡ
diri/hati mereka
حَرَجٗا
keberatan
مِّمَّا
terhadap apa
قَضَيۡتَ
kamu putuskan
وَيُسَلِّمُواْ
dan mereka menerima
تَسۡلِيمٗا
penerima sepenuhnya
Terjemahan
Demi Tuhanmu, mereka tidak beriman hingga bertahkim kepadamu (Nabi Muhammad) dalam perkara yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian, tidak ada keberatan dalam diri mereka terhadap putusan yang engkau berikan dan mereka terima dengan sepenuhnya.
Tafsir
(Maka demi Tuhanmu) la menjadi tambahan (mereka tidaklah beriman sebelum menjadikanmu sebagai hakim tentang urusan yang menjadi pertikaian) atau sengketa (di antara mereka kemudian mereka tidak merasakan dalam hati mereka suatu keberatan) atau keragu-raguan (tentang apa yang kamu putuskan dan mereka menerima) atau tunduk kepada putusanmu itu (dengan sepenuhnya) tanpa bimbang atau ragu.
Tafsir Surat An-Nisa': 64-65
Dan Kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan untuk ditaati dengan izin Allah. Sesungguhnya kalau mereka - setelah menzalimi dirinya - datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.
Ayat 64
Firman Allah ﷻ: “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul pun melainkan untuk ditaati.” (An-Nisa: 64)
Artinya, kaum yang diutus kepada mereka seorang rasul diwajibkan taat kepadanya.
Mengenai firman-Nya: “Dengan izin Allah.” (An-Nisa: 64)
Menurut pendapat Mujahid, makna yang dimaksud ialah tiada seorang pun yang taat kepadanya kecuali dengan izin-Ku. Dengan kata lain, tiada seorang pun yang taat kepada rasul kecuali orang yang telah Aku berikan kepadanya taufik untuk itu.
Perihalnya sama dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan sesungguhnya Allah lelah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya.” (Ali Imran: 152) Yakni atas perintah dari Allah dan berdasarkan takdir dan kehendak-Nya serta pemberian kekuasaan dari Allah kepada kalian untuk mengalahkan mereka.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya kalau mereka setelah menzalimi dirinya.” (An-Nisa: 64), hingga akhir ayat.
Melalui firman-Nya ini Allah memberikan bimbingan kepada orang-orang durhaka yang berdosa, bila mereka terjerumus ke dalam kesalahan dan kemaksiatan, hendaknya mereka datang menghadap Rasul ﷺ, lalu memohon ampun kepada Allah di hadapannya dan meminta kepadanya agar mau memohonkan ampun kepada Allah buat mereka. Karena sesungguhnya jikalau mereka melakukan hal tersebut, niscaya Allah menerima tobat mereka, merahmati mereka, dan memberikan ampunan bagi mereka. Karena itulah dalam firman berikutnya disebutkan:
“Tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 64)
Sejumlah ulama antara lain Syekh Abu Mansur As-Sabbag di dalam kitabnya Asy-Syamil mengetengahkan kisah yang terkenal dari Al-Atabi yang menceritakan bahwa ketika ia sedang duduk di dekat kubur Nabi ﷺ, datanglah seorang Arab Badui, lalu ia mengucapkan, "Assalamu'alaika, ya Rasulullah (semoga kesejahteraan terlimpahkan kepadamu, wahai Rasulullah). Aku telah mendengar Allah berfirman: 'Sesungguhnya kalau mereka - setelah menzalimi dirinya - datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang' (An-Nisa: 64). Sekarang aku datang kepadamu, memohon ampun bagi dosa-dosaku (kepada Allah) dan meminta syafaat kepadamu (agar engkau memohonkan ampunan bagiku) kepada Tuhanku."
Kemudian lelaki Badui tersebut mengucapkan syair berikut yaitu: “Wahai sebaik-baik orang yang dikebumikan di lembah ini lagi paling agung, maka menjadi harumlah dari pancaran keharumannya semua lembah dan pegunungan ini. Diriku sebagai tebusan kubur yang engkau menjadi penghuninya; di dalamnya terdapat kehormatan, kedermawanan, dan kemuliaan.”
Kemudian lelaki Badui itu pergi, dan dengan serta-merta mataku terasa mengantuk sekali hingga tertidur. Dalam tidurku itu aku bermimpi berjumpa dengan Nabi ﷺ, lalu beliau ﷺ bersabda, "Wahai Atabi, susullah orang Badui itu dan sampaikanlah berita gembira kepadanya bahwa Allah telah memberikan ampunan kepadanya!"
Ayat 65
Firman Allah ﷻ: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa: 65)
Allah ﷻ bersumpah dengan menyebut diri-Nya Yang Maha Mulia lagi Maha Suci, bahwa tidaklah beriman seseorang sebelum ia menjadikan Rasul ﷺ sebagai hakimnya dalam semua urusannya. Semua yang diputuskan oleh Rasul ﷺ adalah kebenaran dan wajib diikuti lahir dan batin. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (An-Nisa: 65)
Dengan kata lain, apabila mereka meminta keputusan hukum darimu, maka mereka menaatinya dengan tulus ikhlas sepenuh hati mereka, dan dalam hati mereka tidak terdapat suatu keberatan pun terhadap apa yang telah engkau putuskan; mereka tunduk kepadanya secara lahir batin serta menerimanya dengan sepenuh hatinya, tanpa ada rasa yang mengganjal, tanpa ada tolakan, dan tanpa ada sedikit pun rasa menentangnya.
Seperti yang dinyatakan di dalam sebuah hadits yang mengatakan: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang di antara kalian beriman sebelum keinginannya mengikuti keputusan yang telah ditetapkan olehku.”
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Urwah yang telah menceritakan bahwa Az-Zubair pernah bersengketa dengan seorang lelaki dalam masalah pengairan di lahan Harrah (Madinah). Maka Nabi ﷺ bersabda: “Wahai Zubair, airilah lahanmu, kemudian salurkan airnya kepada lahan tetanggamu!” Kemudian lelaki yang dari kalangan Ansar itu berkata, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan demikian karena dia adalah saudara sepupumu." Maka raut wajah Rasulullah ﷺ memerah (marah), kemudian bersabda lagi: “Airilah lahanmu, wahai Zubair, lalu tahanlah airnya hingga berbalik ke arah tembok, kemudian alirkanlah ke lahan tetanggamu.” Dalam keputusan ini Nabi ﷺ menjaga hak Az-Zubair dengan keputusan yang gamblang karena orang Ansar tersebut menahan air itu. Nabi ﷺ memberikan saran demikian ketika keduanya melaporkan hal tersebut kepadanya, dan ternyata keputusannya itu mengandung keadilan yang merata. Az-Zubair mengatakan, "Aku merasa yakin ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut." Yang dimaksud olehnya adalah firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan.” (An-Nisa: 65), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam bab ini, yakni di dalam kitab tafsir, bagian kitab shahihnya, melalui hadits Ma'mar.
Dalam kitab yang membahas masalah minuman ia riwayatkan melalui hadits Ibnu Juraij, juga melalui Ma'mar. Sedangkan di dalam kitab yang membahas masalah suluh (perdamaian) ia meriwayatkannya melalui hadits Syu'aib ibnu Abu Hamzah. Ketiga-tiganya (yakni Ma'mar, Ibnu Juraij, dan Syu'aib) bersumber dari Az-Zuhri, dari Urwah. Lalu Imam Bukhari mengetengahkan hadits ini. Menurut lahiriahnya hadits ini berpredikat mursal, tetapi secara maknawi berpredikat muttasil. Imam Ahmad meriwayatkannya melalui sanad ini, maka ia menyebutkan dengan jelas perihal ke-mursal-annya. Untuk itu ia mengatakan:
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair; Az-Zubair pernah menceritakan hadits berikut kepadanya, bahwa dirinya pernah bersengketa dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar yang pernah ikut Perang Badar, yaitu dalam masalah pengairan lahan di Syarajul Harrah. Ketika keduanya melaporkan hal tersebut kepada Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ bersabda kepada Az-Zubair: “Siramilah lahanmu, kemudian alirkanlah airnya ke tetanggamu!” Tetapi orang Ansar itu marah dan berkata, "Wahai Rasulullah, apakah karena ia saudara sepupumu?" Maka wajah Rasulullah ﷺ memerah, kemudian beliau bersabda: “Airilah lahanmu, wahai Zubair, kemudian tahanlah airnya hingga berbalik ke tembok.”
Kali ini Nabi ﷺ memperhatikan kepentingan Az-Zubair, padahal pada mulanya beliau memberikan saran kepada Az-Zubair suatu pendapat yang di dalamnya mengandung keleluasaan bagi orang Ansar. Akan tetapi, setelah orang Ansar itu hanya mementingkan kepentingan dirinya, maka Rasulullah ﷺ memberikan keputusan yang di dalamnya jelas terkandung pemeliharaan terhadap hak Az-Zubair. Az-Zuhri mengatakan, "Urwah melanjutkan kisahnya, bahwa Az-Zubair mengatakan, 'Demi Allah, aku yakin ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut'," yakni firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (An-Nisa: 65)
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadis ini dalam sanadnya terdapat mata rantai yang terputus antara Urwah dan ayahnya (yaitu Az-Zubair), karena sesungguhnya Urwah belum pernah menerima hadits dari ayahnya. Tetapi dapat dipastikan bahwa Urwah mendengar hadits ini dari saudara lelakinya yang bernama Abdullah ibnuz Zubair, karena sesungguhnya Abu Muhammad alias Abdur Rahman ibnu Abu Hatim meriwayatkannya seperti itu dalam kitab tafsirnya.
Ibnu Abu Hatim menyebutkan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Al-Al-Laits dan Yunus, dari Ibnu Syihab, bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa saudaranya yang bernama Abdullah ibnuz Zubair pernah menceritakan hadits berikut dari ayahnya (yaitu Az-Zubair ibnul Awwam). Disebutkan bahwa Az-Zubair pernah bertengkar dengan seorang lelaki Ansar yang telah ikut dalam Perang Badar bersama Nabi ﷺ. Lalu Az-Zubair mengadukan perkaranya itu kepada Rasulullah ﷺ. Masalah yang dipersengketakan mereka berdua adalah mengenai parit yang ada di Al-Harrah. Keduanya mengairi kebun kurmanya dari parit tersebut. Orang Ansar itu berkata, "Lepaskanlah air parit itu biar mengalir ke kebunnya." Tetapi Az-Zubair menolak. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Zubair, airilah kebunmu terlebih dahulu, kemudian kirimkanlah air itu untuk mengairi tetanggamu!” Orang Ansar itu salah tanggap dan marah, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, engkau putuskan demikian karena dia adalah anak bibimu, bukan?" Maka raut muka Rasulullah ﷺ berubah marah, lalu bersabda: “Airilah kebunmu, wahai Zubair, kemudian bendunglah airnya agar kembali lagi ke hulunya!” Dalam keputusannya kali ini Rasulullah ﷺ berpihak kepada Az-Zubair.
Pada mulanya beliau ﷺ sebelum ada sanggahan dari orang Ansar itu, berupaya untuk memelihara hak keduanya dan memberikan keleluasaan bagi orang Ansar, juga bagi Az-Zubair. Tetapi setelah orang Ansar itu membandel, tidak mau tunduk kepada putusan Rasulullah ﷺ, maka Rasulullah ﷺ memihak kepentingan Az-Zubair dalam keputusan berikutnya secara terang-terangan. Maka Az-Zubair berkata bahwa dia merasa yakin ayat berikut diturunkan berkenaan dengan kasusnya, yaitu firman Allah ﷻ: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam had mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuh hatinya.” (An-Nisa: 65)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui hadits Ibnu Wahb dengan lafal yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya, begitu pula semua jamaah, melalui hadits Al-Al-Laits dengan lafal yang sama. Hadis ini dikategorikan oleh murid-murid Al-Atraf ke dalam musnad Abdullah Ibnuz Zubair. Hal yang sama dikatakan pula oleh Imam Ahmad, yaitu dimasukkan ke dalam musnad Abdullah ibnuz Zubair.
Hal yang sangat aneh dari Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi ialah dia meriwayatkan hadits ini melalui jalur keponakanku (yaitu Ibnu Syihab), dari pamannya, dari Urwah, dari Abdullah ibnuz Zubair, dari Az-Zubair, lalu ia menyebutkan hadits ini, kemudian mengatakan bahwa sanad hadits ini sahih, padahal keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya. Kukatakan demikian karena sesungguhnya aku tidak mengetahui seorang pun yang menyandarkan sanad ini kepada Az-Zuhri dengan menyebutkan Abdullah ibnuz Zubair selain keponakanku, sedangkan dia berpredikat dha’if.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali Abu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Al-Fadl ibnu Dakin, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr ibnu Dinar, dari Salamah (seorang lelaki dari kalangan keluarga Abu Salamah) yang menceritakan bahwa Az-Zubair pernah bersengketa dengan seorang lelaki di hadapan Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ memutuskan untuk kemenangan Az-Zubair. Kemudian lelaki itu berkata, "Sesungguhnya dia memutuskan untuk kemenangannya karena dia adalah saudara sepupunya." Lalu turunlah ayat ini, yaitu firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman.” (An-Nisa: 65), hingga akhir ayat.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Usman, telah menceritakan kepada kami Abu Haiwah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abdul Aziz, dari Az-Zuhri, dari Sa'id ibnul Musayyab sehubungan dengan firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman.” (An-Nisa: 65) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Az-Zubair ibnul Awwam dan Hatib ibnu Abu Balta'ah; keduanya bersengketa dalam masalah air. Maka Nabi ﷺ memutuskan agar air disiramkan ke tempat yang paling tinggi terlebih dahulu, kemudian tempat yang terbawah. Hadis ini mursal, tetapi mengandung faedah, yaitu dengan disebutkannya nama lelaki Ansar tersebut secara jelas. Penyebab lain yang melatarbelakangi turunnya ayat ini, berdasarkan riwayat yang gharib jiddan (aneh sekali).
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la secara qiraah, telah menceritakan kepada kami Wahb, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, dari Al-Aswad yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki mengadukan persengketaan yang terjadi di antara keduanya kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memberikan keputusan peradilan yang seimbang di antara keduanya. Kemudian pihak yang dikalahkan mengatakan, "Kembalikanlah perkara kami ini kepada Umar ibnul Khattab." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Baiklah," lalu keduanya berangkat menuju tempat Umar ibnu Khattab.
Ketika keduanya sampai pada Umar, maka lelaki yang mempunyai usul tadi mengatakan, "Wahai Ibnul Khattab, Rasulullah ﷺ telah memutuskan perkara kami untuk kemenangan orang ini. Maka kukatakan, 'Kembalikanlah kami kepada Umar ibnul Khattab.' Maka beliau mengizinkan kami untuk meminta keputusan hukum darimu." Umar bertanya, "Apakah memang demikian?" Si lelaki itu berkata, "Ya." Umar berkata, "Kalau demikian, tetaplah kamu berdua di tempatmu, hingga aku keluar menemuimu untuk memutuskan perkara di antara kamu berdua." Maka Umar keluar menemui keduanya seraya menyandang pedangnya, lalu dengan serta-merta ia memukul pihak yang mengatakan kepada Rasulullah ﷺ, "Kembalikanlah kami kepada Umar," dengan pedang itu hingga mati seketika itu juga.
Sedangkan lelaki yang lain pergi dan datang menghadap Rasulullah ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, demi Allah Umar telah membunuh temanku. Seandainya saja aku tidak mempunyai kemampuan menghadapinya, niscaya dia akan membunuhku pula." Rasulullah ﷺ bersabda, "Aku tidak menduga bahwa Umar berani membunuh seorang mukmin." Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) belum beriman hingga menjadikan kamu hakim mereka.” (An-Nisa: 65), hingga akhir ayat.
Dengan demikian, tersia-sialah darah lelaki itu dan bebaslah Umar dari tuntutan membunuh lelaki itu. Akan tetapi, Allah tidak suka bila hal ini dijadikan sebagai teladan nanti. Maka diturunkan-Nyalah firman-Nya: “Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka ‘Bunuhlah diri kalian’." (An-Nisa: 66), hingga akhir ayat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur Ibnu Luhai'ah, dari Abul Aswad, dengan lafal yang sama. Tetapi atsar ini gharib lagi mursal, dan Ibnu Luhai'ah orangnya dha’if.
Jalur lain. Al-Hafidzh Abu Ishaq Ibrahim ibnu Abdur Rahman ibnu Ibrahim ibnu Duhaim mengatakan di dalam kitab tafsirnya: Telah menceritakan kepada kami Syu'aib, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Atabah ibnu Damrah, telah menceritakan kepadaku ayahku, bahwa ada dua orang lelaki melaporkan persengketaan yang terjadi di antara keduanya kepada Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ memutuskan perkara untuk kemenangan pihak yang benar dan mengalahkan pihak yang salah.
Maka orang yang dikalahkan berkata, "Aku kurang puas." Lalu lawannya berkata, "Apa lagi kemauanmu?" ia menjawab, "Mari kita berangkat menuju Abu Bakar As-Siddiq," lalu keduanya pergi menghadap Abu Bakar. Maka berkatalah orang yang menang, "Sesungguhnya kami telah mengadukan perkara kami kepada Nabi ﷺ, dan Nabi ﷺ memutuskan untuk kemenanganku." Abu Bakar menjawab, "Kamu berdua harus mengikuti apa yang telah diputuskan oleh Rasulullah ﷺ" Tetapi orang yang dikalahkan menolak dan masih kurang puas. Maka Abu Bakar memberikan sarannya agar keduanya pergi kepada Umar ibnul Khattab.
Sesampainya di tempat Umar ibnul Khattab, orang yang menang mengatakan, "Sesungguhnya kami telah mengadukan perkara kami kepada Nabi ﷺ, dan beliau memutuskan untuk kemenanganku atas dia, tetapi dia ini menolak dan kurang puas." Lalu Umar bertanya kepada pihak yang kalah, "Apakah memang benar demikian?" Dan pihak yang kalah mengatakan hal yang sama. Maka Umar masuk ke dalam rumahnya, lalu keluar lagi seraya membawa sebilah pedang di tangannya yang dalam keadaan terhunus, lalu ia langsung memenggal kepala pihak yang menolak lagi tidak puas dengan keputusan Nabi ﷺ hingga mati seketika itu juga. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman.” (An-Nisa: 65)
Setelah menjelaskan bahwa Rasul diutus untuk ditaati dan tobat orang-orang munafik dapat diterima dengan syarat harus melalui permohonan Nabi kepada Allah, ayat ini menjelaskan makna yang terdalam dari ketaatan kepada Rasul. Maka demi Tuhanmu Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, mereka pada hakikatnya tidak beriman dengan iman yang sesungguhnya yang dapat diterima Allah, sebelum mereka menjadikan engkau, Muhammad, sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan atau dalam masalah yang tidak jelas dalam pandangan mereka, sehingga kemudian setelah tidak ada rasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau berikan dalam kedudukanmu sebagai hakim, dan mereka menerima keputusanmu dengan penerimaan yang sepenuhnyaPada ayat-ayat yang lalu diperingatkan bahwa orang-orang munafik itu sebenarnya tidak mau menerima Nabi sebagai hakim, walaupun ketentuan itu diwajibkan oleh Allah atas diri mereka. Pada ayat-ayat berikut digambarkan sikap mereka bahwa apa pun perintah tidak akan mereka lakukan disebabkan kemunafikan mereka. Dan sekalipun telah Kami perintahkan kepada mereka, orang-orang munafik itu, Bunuhlah dirimu, sebagaimana dulu pernah ditetapkan sanksi semacam ini terhadap orang-orang Yahudi, atau keluarlah kamu dari kampung halamanmu, sebagaimana yang dilakukan oleh kaum muslim dulu dari Mekah ke Madinah, ternyata mereka, orang-orang munafik, tidak akan melakukannya karena lemahnya iman mereka, kecuali sebagian kecil saja dari mereka. Dan sekiranya mereka benar-benar melaksanakan perintah dan pengajaran yang diberikan oleh Allah dan Rasul, niscaya itu lebih baik bagi mereka dari apa yang mereka lakukan selama ini, dan lebih menguatkan iman mereka yang selama ini terombang ambing dalam kemunafikan.
Ayat ini menjelaskan dengan sumpah bahwa walaupun ada orang yang mengaku beriman, tetapi pada hakikatnya tidaklah mereka beriman selama mereka tidak mau bertahkim kepada Rasul. Rasulullah ﷺ pernah mengambil keputusan dalam perselisihan yang terjadi di antara mereka, seperti yang terjadi pada orang-orang munafik. Atau mereka bertahkim kepada Rasul tetapi kalau putusannya tidak sesuai dengan keinginan mereka lalu merasa keberatan dan tidak senang atas putusan itu, seperti putusan Nabi untuk az-Zubair bin Awwam ketika seorang laki-laki dari kaum Ansar yang tersebut di atas datang dan bertahkim kepada Rasulullah.
Jadi orang yang benar-benar beriman haruslah mau bertahkim kepada Rasulullah dan menerima putusannya dengan sepenuh hati tanpa merasa curiga dan keberatan. Memang putusan seorang hakim baik ia seorang rasul maupun bukan, haruslah berdasarkan kenyataan dan bukti-bukti yang cukup.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Untuk menjelaskan betapa besar kesalahan mengikuti hukum Allah dengan separuh-separuh itu, sampai orangnya dicap munafik, datanglah lanjutan penjelasan Allah tentang kedudukan Rasul-Nya.
Ayat 64
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang Rasul pun, melainkan supaya ditaati, dengan izin Allah."
Kedatangan Rasul bukanlah semata buat dipuja-puja, padahal pimpinannya tidak dituruti. Orang yang mengakui Rasul, tetapi ajarannya tidak diikut adalah munafik. Sekalian Rasul, bukan Muhammad saja, bahkan sejak pimpinan agama diturunkan Allah, semua diutus Allah adalah buat dipatuhi. Barangsiapa yang mengelak-elak atau separuh-separuh keluarlah dia dari lingkungan aturan Allah. Di ujung diberi ikatnya, yaitu dengan izin Allah. Diberi “ikat" dengan kata “izin Allah" supaya jelas bahwa yang ditaati bukanlah zat dari Rasul, dengan tidak bersyarat Rasul ditaati sebab dia menjalankan perintah Allah. Sebab itu menaati syari'at yang dipimpinkan Rasul, berarti menaati Allah. Karena itu diizinkan taat kepada Rasul. Mendurhakai Rasul artinya mendurhakai Allah. Sebab Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan perintah Allah.
“Dan jikalau mereka itu, sesudah aniaya atas diri mereka, datang kepada engkau, lalu mereka memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun (pula) buat mereka, niscaya akan mereka dapati Allah itu adalah pemberi tobat lagi Penyayang."
Kalau mereka pernah telanjur bersalah, telah membuat suatu dosa atau pelanggaran, yang berarti dengan demikian itu mereka telah menganiaya diri sendiri sebab mereka pasti dimurkai Allah karena kesalahan itu, lalu mereka akhirnya insaf dan datang mengakui kesalahan kepada Rasul, dan memohonkan ampun kepada Allah. Rasul pun memohon ampun pula kepada Allah untuk mereka sebab Rasul telah tahu bahwa orang ini tobat betul-betul dari kesalahannya, tidak lagi akan menyeleweng dari jalan yang digariskan Allah, tidak lagi meminta hukum kepada thagut, tetapi seratus persen mulai saat itu akan tunduk kepada hukum Allah, maka Allah bersedia memberi ampun mereka. Sebab Allah selalu bersedia menerima hamba-Nya yang kembali (tobat) dan Allah amatlah kasih sayang kepada orang yang benar-benar menyesali kesalahannya.
Dapatlah diperbandingkan perbedaan kedatangan orang-orang yang tersebut di ayat 63 di atas tadi dengan orang-orang yang disebut di ayat ini. Orang yang datang kepada Rasul pada ayat 63 di atas, datangnya ialah membela diri, membasuh tangan, mengemukakan berbagai alasan mengapa dia menempuh jalan yang salah itu. Sudah terang salah mereka dan mereka pun telah merasai akibat kesalahan itu, namun mereka masih saja mengemukakan berbagai alasan. Terhadap orang begini, Nabi dilarang menunjukkan muka senang. Tunjukkan bahwa perbuatan mereka tidak beliau setujui dengan sikap muka. Kemudian ajari mereka, jelaskan betapa bahayanya perbuatan mereka dan pilihlah kata-kata yang dapat menimbulkan insaf dalam hati mereka. Adapun di ayat ini ialah sambutan kepada orang yang mengakui bahwa dia memang salah, dia tobat, dia hendak kembali ke jalan yang benar. Untuk itu mereka minta ampun kepada Allah. Setelah Rasul mengetahui bahwa orang-orang ini benar-benar tobat, Rasul pun disuruh memintakan ampun buat mereka kepada Allah. Allah bersedia mengampuni. Ampunan Allah amat bergantung kepada pengakuan Rasul bahwa memang orang-orang ini telah tobat. Sebab Allah telah menjelaskan bahwa Rasul diutus buat ditaati. Dengan kata ini Allah menjunjung tinggi kedudukan Rasul-Nya.
Penjunjungan tinggi Allah atas Rasul-Nya ini dikuatkan Allah pula dengan firman selanjutnya,
Ayat 65
“Maka sungguh tidak, demi Allah engkau! Tidaklah mereka itu beriman, sehingga mereka berhakim kepada engkau pada hal-hal yang berselisih di antara mereka."
Itulah tanda mengakui pimpinan Rasul. Karena di antara umat sesama umat sewaktu-waktu akan terjadi perselisihan pendapat, perbedaan kepentingan, perlainan pikiran. Kadang-kadang karena bermaksud baik, tetapi jalan pikiran berbeda. Sebab cara memandang dan menilai soal tidak sama, kadang-kadang karena nafsu. Padahal Allah memberi kebebasan pikiran dan menganjurkan ijtihad sehingga timbul berbagai aliran atau madzhab. Masing-masing menyangka bahwa pihak merekalah yang benar. Atau masing-masing mencari manakah yang lebih benar. Hal ini bisa membawa bahaya yang berlatut-larut, meretakkan kesatuan umat bahkan membuat pecah, kalau tidak ada yang suka bertahkim, meminta keputusan hukum kepada Rasul. Sebab Rasulullah yang telah ditentukan Allah buat ditaati, buat penyambung kehendak yang diwahyukan Allah kepada umat manusia. Sebab itu asal ada selisih, lekaslah bertahkim kepada Rasul. Kalau tidak mau begitu, tandanya tidak beriman. Allah berfirman bahwa orang yang tidak mau memutuskan perselisihannya kepada Rasul, tidaklah orang yang beriman,
“Kemudian itu tidak mereka dapati di dalam diri mereka keberatan atas apa yang engkau putuskan, dan mereka pun menyerahkan dengan penyerahan yang sungguh-sungguh."
Apabila keputusan Rasul ﷺ sudah keluar, mereka tunduk kepada keputusan itu dan menyerah sebenar-benar menyerah. Tidak ada dalam hati tersimpan rasa tidak puas atas keputusan itu. Sehingga kalau masih ada yang hanya mulutnya saja yang menerima, sedang hatinya membantah, tandanya imannya kepada Allah masih juga munafik, dan rumah sudah tokok berbunyi, api padam puntung berasap.
Niscaya inilah yang jadi pegangan kaum Muslimin sampai ke akhir zaman. Orang yang sezaman dengan Rasul kalau berselisih bisa langsung meminta hukum kepada Rasul dan langsung pula menerima keputusan. Sekarang Rasul telah lama meninggal. Maka ketaatan kita kepada keputusan hukum beliau setelah beliau wafat, sama juga dengan ketaatan orang yang hidup di zaman beliau. Al-Qur'an sebagai sumber hukum telah terkumpul menjadi mushaf dan Sunnah atau hadits Rasulullah ﷺ sudah tercatat pula selengkap-lengkapnya. Ulama-ulama yang dahulu telah menyalin pula hadits-hadits itu, menyisih dan menapis, mana yang mutawatir dan mana yang masyhur, dan mana yang aahad. Dan mana yang shahih, mana yang hasan, mana yang dhaif dan mana yang maudhu' (palsu) Rasulullah ﷺ pun ketika dekat akan meninggal dunia telah menjamin bahwa kita umatnya tidaklah akan beliau tinggalkan dengan sia-sia,
“Telah aku tinggalkan pada kamu dua hal yang penting. Sekali-kali tidaklah kamu akan tersesat selama kamu masih berpegang kepada keduanya, yaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya." (hadits shahih; HR Bukhari dan Muslim dan beberapa ulama hadits yang lain)
Guru dan ayah saya, Dr, Syekh Abdulkarim Amrullah, mengatakan di dalam kitab beliau yang bernama Pedoman Guru, Pembetulan Qiblat Faham Yang Keliru bahwa di zaman kita ini akan lebih mudahlah mempelajari agama dan lebih mudahlah berijtihad daripada di zaman-zaman dahulu kalau kita mau. Sebab baik Al-Qur'an ataupun Hadits tidak sesukar di zaman dahulu lagi untuk mendapatnya. Jika dahulu ditulis dengan tangan, sekarang telah dicetak dan berlipat-lipat ganda banyaknya.
Bukanlah maksudnya supaya semua orang paham ilmu-ilmu agama dengan mendalam sehingga semua sanggup menjadi mujtahid sebab semua sudah ulama. Bahkan di zaman sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ, yang ketika beliau wafat menurut perhitungan ahli, adalah 124.000 sahabat yang beliau tinggalkan! Tidaklah semuanya ulama. Tidak juga sampai 1.000 orang yang ulama. Tetapi Al-Qur'an, sebagaimana tersebut di dalam surah at-Taubah (surah 9) ayat 123, telah memerintahkan pembagian pekerjaan, mesti ada dari tiap-tiap golongan itu yang menyediakan diri untuk tafaqquh fid dini, memperdalam pendidikannya tentang hukum-hukum dan ilmu Agama. Inilah yang kita rebut di zaman sekarang spesialisasi. Orang-orang yang mengistimewakan perhatiannya kepada ilmu-ilmu agama belaka untuk tempat orang bertanya.
Di kalangan sahabat Rasulullah, sahabat-sahabat yang besar seperti Abu Bakar dan Umar, tidaklah penyelidikan mereka dalam hal hukum diketahui oleh Ibnu Abbas dan Abu Hurairah dan Ibnu Mas'ud dan Aisyah lebih banyak daripada yang diketahui oleh Abu Bakar dan Umar. Bahkan mereka itulah yang bertanya kepada orang-orang alim itu. Dalam beberapa hal khalifah yang besar-besar itu bertanya kepada Ali bin Abi Thalib karena beliau ini masih mempunyai kesempatan menyelidiki, sedang yang lebih tua lebih banyak waktu beliau-beliau terpakai dalam urusan negara.
Dan hal faraidh misalnya, yang tua-tua itu bertanya kepada Zaid bin Tsabit. Bahkan dalam mengetahui penyakit-penyakit jiwa yang bisa membawa kepada munafik. Umar bin Khaththab bertanya kepada Huzaifah bin al-Yaman.
Oleh sebab itu, untuk menjaga supaya umat tetap bertahkim kepada Rasul, kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah dalam menyelesaikan pertikaian pendapat, perlulah selalu ada yang tafaqquh fid dini, yang mengkhususkan penyelidikannya dalam soal-soal agama, akan tempat bertahkim jika ada selisih. Malahan di dalam satu hadits,
“Ulama adalah penerima pusaka nabimabi. “
Tampillah ulama-ulama besar, sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Ahman bin Hambal dan lain-lain menyediakan diri jadi ulama, ber-tafaqquh fid dini, bukan hanya semata-mata dengan menghafal Hadits Rasulullah ﷺ dan mencipta ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqih, tetapi terutama sekali mereka selalu berusaha siang dan malam menyesuaikan kehidupan pribadi mereka dengan kehidupan Nabi sehingga budi pekerti dan sopan santun mereka pun menjadi penjawat pusaka dari Nabi. Untuk menjadi contoh pula bagi kita yang datang di belakang, bagaimana menjadi ulama. Bahkan Imam Malik pernah mengatakan,
“Ulama itu adalah pelita dari zamannya."
Tandanya, selain dari mengetahui ilmu-ilmu agama yang mendalam, ulama hendaklah pula tahu keadaan makaan (ruang) dan za m a an (waktu) sehingga dia tidak membeku (jumud) Karena dengan jumud dan beku, mereka tidak akan dapat memberikan tahkim yang jitu sebagai penerima waris dari Rasulullah ﷺ kepada masyarakat yang selalu berkembang.