Ayat
Terjemahan Per Kata
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَعۡلَمُ
mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
مَا
apa
فِي
di dalam
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
فَأَعۡرِضۡ
maka berpalinglah kamu
عَنۡهُمۡ
dari mereka
وَعِظۡهُمۡ
dan berilah mereka pelajaran
وَقُل
dan katakanlah
لَّهُمۡ
kepada mereka
فِيٓ
dalam
أَنفُسِهِمۡ
diri/jiwa mereka
قَوۡلَۢا
perkataan
بَلِيغٗا
berbekas
أُوْلَٰٓئِكَ
mereka itu
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَعۡلَمُ
mengetahui
ٱللَّهُ
Allah
مَا
apa
فِي
di dalam
قُلُوبِهِمۡ
hati mereka
فَأَعۡرِضۡ
maka berpalinglah kamu
عَنۡهُمۡ
dari mereka
وَعِظۡهُمۡ
dan berilah mereka pelajaran
وَقُل
dan katakanlah
لَّهُمۡ
kepada mereka
فِيٓ
dalam
أَنفُسِهِمۡ
diri/jiwa mereka
قَوۡلَۢا
perkataan
بَلِيغٗا
berbekas
Terjemahan
Mereka itulah orang-orang yang Allah ketahui apa yang ada di dalam hatinya. Oleh karena itu, berpalinglah dari mereka, nasihatilah mereka, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas pada jiwanya.
Tafsir
(Mereka itu adalah orang-orang yang diketahui Allah isi hati mereka) berupa kemunafikan dan kedustaan mereka dalam mengajukan alasan (maka berpalinglah kamu dari mereka) dengan memberi mereka maaf (dan berilah mereka nasihat) agar takut kepada Allah (serta katakanlah kepada mereka tentang) keadaan (diri mereka perkataan yang dalam) artinya yang berbekas dan mempengaruhi jiwa, termasuk bantahan dan hardikan agar mereka kembali dari kekafiran.
Tafsir Surat An-Nisa': 60-63
Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thaghut itu. Dan setan bermaksud menyesatkan mereka dengan kesesatan yang sejauh-jauhnya.
Apabila dikatakan kepada mereka, "Marilah kalian (tunduk) kepada hukum yang telah Allah turunkan dan kepada hukum Rasul," niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.
Maka bagaimanakah halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna."
Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka. Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka, dan berilah mereka pelajaran, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.
Ayat 60
Allah ﷻ menolak orang yang mengakui dirinya beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah kepada Rasul-Nya, juga kepada para nabi terdahulu, padahal di samping itu ia berkeinginan dalam memutuskan semua perselisihan merujuk kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Seperti yang disebutkan di dalam asbabun nuzul ayat ini.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki dari kalangan Ansar dan seorang lelaki dari kalangan Yahudi, yang keduanya terlibat dalam suatu persengketaan. Lalu si lelaki Yahudi mengatakan, "Antara aku dan kamu Muhammad sebagai pemutusnya." Sedangkan si lelaki Ansar mengatakan, "Antara aku dan kamu Ka'b ibnul Asyraf sebagai hakimnya."
Menurut pendapat yang lain, ayat ini diturunkan berkenaan dengan sejumlah orang munafik dari kalangan orang-orang yang hanya lahiriahnya saja Islam, lalu mereka bermaksud mencari keputusan perkara kepada para hakim Jahiliah.
Dan menurut pendapat yang lainnya, ayat ini diturunkan bukan karena penyebab tersebut. Pada kesimpulannya makna ayat lebih umum daripada semuanya itu, yang garis besarnya mengatakan celaan terhadap orang yang menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, lalu ia menyerahkan keputusan perkaranya kepada selain Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, yaitu kepada kebatilan. Hal inilah yang dimaksud dengan istilah tagut dalam ayat ini seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Mereka hendak berhakim kepada thaghut.” (An-Nisa: 60), hingga akhir ayat.
Ayat 61
Adapun firman Allah ﷻ: “Mereka (orang-orang munafik) menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati) kamu.” (An-Nisa: 61) Dengan kata lain, mereka berpaling darimu dengan sikap menjauh sejauh-jauhnya, seperti halnya sikap orang yang sombong terhadapmu. Sebagaimana yang digambarkan oleh Allah ﷻ perihal kaum musyrik, melalui firman-Nya: “Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Ikutlah apa yang telah diturunkan Allah,’ mereka menjawab, ‘(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami’." (Al-Baqarah: 170) Sikap mereka berbeda dengan sikap kaum mukmin yang disebut oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka, ialah ucapan, ‘Kami mendengar dan kami patuh’." (An-Nur: 51), hingga akhir ayat.
Ayat 62
Kemudian Allah ﷻ berfirman dalam rangka mencela orang-orang munafik melalui firman-Nya: “Maka bagaimanakah halnya apabila mereka ditimpa sesuatu musibah karena perbuatan tangan mereka sendiri.” (An-Nisa: 62) Yakni apakah yang akan dilakukan mereka apabila takdir menggiring mereka untuk mengangkatmu menjadi hakim mereka dalam menanggulangi musibah-musibah yang menimpa mereka disebabkan dosa-dosa mereka sendiri, lalu mereka mengadukan hal tersebut kepadamu. kemudian mereka datang kepadamu sambil bersumpah, "Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna." (An-Nisa: 62) Yaitu mereka meminta maaf kepadamu dan bersumpah, "Kami tidak mau pergi mengadukan hal ini kepada selainmu dan meminta keputusan hukum kepada musuh-musuhmu, karena kami menginginkan penyelesaian yang baik dan keputusan yang sempurna." Dengan kata lain, hal itu mereka utarakan sebagai bahasa diplomasi dan menjilat, bukan atas dasar keyakinan mereka akan kebenaran dari keputusannya.
Sebagaimana yang diceritakan oleh Allah ﷻ mengenai perihal mereka melalui firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) seraya berkata, ‘Kami takut akan mendapat bencana’." (Al-Maidah: 52) sampai dengan firman-Nya: “Maka karena itu mereka menjadi menyesal terhadap apa yang mereka rahasiakan dalam diri mereka.” (Al-Maidah: 52)
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zaid Ahmad ibnu Yazid Al-Hauti, telah menceritakan kepada kami Abul Yaman, telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Umar, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa dahulu Abu Barzah Al-Aslami adalah seorang tukang ramal; dialah yang memutuskan peradilan di antara orang-orang Yahudi dalam semua perkara yang diperselisihkan di kalangan mereka. Lalu kaum musyrik pun ikut-ikutan berhakim kepadanya. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengakui dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu?” (An-Nisa: 60) sampai dengan firman-Nya: “Kami sekali-kali tidak menghendaki selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna.” (An-Nisa: 62)
Ayat 63
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Mereka itu adalah orang-orang yang Allah mengetahui apa yang di dalam hati mereka.” (An-Nisa: 63) Mereka adalah orang-orang munafik, Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, dan kelak Allah akan memberikan balasan terhadap mereka atas hal tersebut. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi bagi Allah. Karena itu, serahkanlah urusan mereka kepada Allah, wahai Muhammad, sebab Dia Mengetahui lahiriah mereka dan apa yang mereka sembunyikan.
Dalam firman selanjutnya disebutkan: “Karena itu, berpalinglah kamu dari mereka.” (An-Nisa: 63) Maksudnya, janganlah kamu bersikap kasar terhadap kemunafikan yang ada di dalam hati mereka.
“Dan berilah mereka pelajaran.” (An-Nisa: 63)
Yakni cegahlah mereka dari kemunafikan dan kejahatan yang mereka sembunyikan di dalam hati mereka.
“Dan katakanlah kepada mereka perkataan yang berbekas pada jiwa mereka.” (An-Nisa: 63)
Nasihatilah mereka dalam semua perkara yang terjadi antara kamu dengan mereka, yaitu dengan perkataan yang membekas dalam jiwa mereka lagi membuat mereka tercegah dari niat jahatnya.
Ayat ini membantah pengakuan orang-orang munafik, sembari memberi umat Islam petunjuk tentang cara menghadapi kebohongan orang-orang munafik itu. Mereka itu adalah orang-orang yang sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatinya. Karena itu berpalinglah kamu dari mereka, yakni jangan hiraukan mereka dan jangan percaya pada ucapan dan sumpah mereka, dan berilah mereka nasihat yang menyentuh hati mereka, dan katakanlah kepada mereka perkataan yang membekas dan menghunjam pada jiwa mereka Ayat ini menjelaskan kewajiban taat kepada Allah dan Rasul sembari mencela perilaku orang-orang munafik yang mencari hakim terhadap thagut. Dan juga Kami tidak mengutus seorang rasul dari semua rasul yang telah diutus, melainkan dengan membawa bukti-bukti untuk ditaati dengan izin dan perintah Allah. Dan sungguh, sekiranya mereka setelah menzalimi dirinya dengan cara berhakim kepada thagut, lalu mereka datang kepadamu, Muhammad, lalu selanjutnya mereka memohon ampunan kepada Allah dengan sepenuh hati, dan Rasul pun memohonkan ampunan untuk mereka atas kesalahan yang telah mereka perbuat, niscaya mereka mendapati Allah Maha Penerima tobat atas kesalahan mereka, dan juga Maha Penyayang kepada orang-orang yang bertaubat.
Demikianlah kelicikan dari orang-orang munafik, tetapi ayat ini menyatakan dengan tegas bahwa mereka itu adalah orang-orang yang telah diketahui apa yang tersimpan di dalam hati mereka, yaitu sifat dengki dan keinginan untuk melakukan tipu muslihat yang merugikan kaum Muslimin. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah dan kaum Muslimin agar jangan mempercayai mereka dan jangan terpedaya oleh tipu muslihat mereka. Di samping itu hendaklah mereka diberi peringatan dan pelajaran dengan kata-kata yang dapat mengembalikan mereka kepada kesadaran dan keinsafan sehingga mereka bebas dari sifat kemunafikan, dan benar-benar menjadi orang yang beriman.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 60
“Tidakkah engkau lihat kepada orang-orang yang berkata bahwa mereka telah beriman dengan apa yang ditunaikan kepada engkau dan apa yang diturunkan sebelum engkau, padahal mereka meminta hukum kepada Thagut, sedang mereka sudah diperintah supaya jangan percaya kepadanya!"
Dalam ayat-ayat yang lalu telah diterangkan kesalahan-kesalahan orang-orang yang diberi sebagian dari Kitab, mereka percaya kepada jibti dan thagut. Kemudian telah datang pula perintah supaya menunaikan amanah kepada ahlinya dan berlaku adil dalam menghukum di antara manusia.
Kemudian datang pula ayat menyuruh supaya taat kepada Allah dan Rasul dan ulil amri. Ayat sekarang ini menerangkan lagi celaan atas orang yang beriman separuh-separuh. Mereka mengaku beriman kepada Allah, percaya kepada yang diturunkan kepada Muhammad, yaitu Al-Qur'an, dan percaya pula kepada yang diturunkan sebelum Muhammad, yaitu Taurat dan Injil. Orang telah mengakui percaya kepada kitab-kitab, Taurat, Zabur, Injil, dan Al-Qur'an, artinya ialah orang yang telah mengaku dirinya Islam. Tetapi ganjil sekali sikap orang itu. Dia mengakui percaya kepada undang-undang Allah, yang diturunkan kepada nabi-nabi, tetapi apabila mereka meminta hukum, mereka datang kepada thagut, tegasnya mereka tinggalkan peraturan Allah dan mereka pakai peraturan atau undang-undang buatan manusia yang berlaku sewenang-wenang. Padahal sudah nyata bahwa Allah memerintahkan bahwa peraturan thagut tidak boleh diikut.
“Dan inginlah setan hendak menyesatkan mereka, sesat sejauh-jauhnya."
Keinginan setan ialah supaya orang itu jangan bulatpercaya kepada Allah. Janganyakin bahwa peraturan Allah adalah sumber telaga dari segala peraturan. Sedang hukum-hukum buatan manusia, kalau tidak bersumber dari peraturan Allah adalah membawa sesat bagi
si pengikutnya. Memang keinginan setan agar jiwa seseorang menjadi belah, porak-poranda. Mengaku beriman kepada Allah dalam separuh hati, tetapi mengingkari Allah dalam banyak hal yang lain. Mengakui umat Muhammad dalam hal ibadah, tetapi mengingkari peraturan Muhammad di dalam pergaulan. Kadang-kadang ada yang memandang bahwa agama hanya hubungan pribadi tiap-tiap orang dengan Allah. Adapun jika mengenai hukum atau muamalat (pergaulan sesama manusia), tidak perlu tunduk kepada Allah, dan tidak salah kalau melanggar kehendak Allah.
Kita sudah tahu, yang menjadi setan itu bukan yang halus saja. Manusia juga ada yang menjadi setan. Negeri-negeri penjajah kerap sekali menjadi setan, merayu kaum Muslimin yang dijajah agar jangan memakai peraturan Allah.
Ayat 61
“Dan apabila dikatakan kepada mereka, ‘Kemarilah, kepada apa yang diturunkan Allah dan kepada Rasul.' Engkau lihatlah orang-orang yang munafik itu berpating dari engkau sebenar-benar berpaling."
Di ayat 59 sudah diserukan, jika terjadi pertikaian pikiran, pulangkanlah kepada Allah dan Rasul, niscaya perselisihan dan pertikaian pikiran itu akan habis dan akan mendapat kata sepakat Tetapi orang yang munafik tidak mau begitu. Mereka hanya mau kembali kepada Allah dan Rasul kalau ada keuntungan untuk diri sendiri dan kalau akan merugikan bagi diri mereka, mereka tidak mau. Mereka turut bersorak, mendabik dada mengatakan percaya kepada Allah, tetapi di saat dibawa kepada Allah, mereka enggan menurut.
Ayat 62
“Maka betapalah (halnya) apabila menimpa kepada mereka suatu bahaya, lantaran perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian itu mereka datang kepada engkau, mereka bersumpah, “Demi Allah! Maksud kami tidak lain hanyalah kebaikan dan perdamaian.
Rasulullah ﷺ telah memperingatkan kalau taat kepada Allah, hendaklah taat dalam keseluruhan, jangan taat separuh-separuh. Jangan misalnya, kalau hendak beribadah shalat, menurut peraturan Allah. Tetapi kalau mengenai yang lain, menurut peraturan thagut. Dalam agama misalnya shalat lima waktu taat juga mengerjakan, tetapi apabila datang ajakan orang supaya pergi bersimpuh memuja-muja kubur, dituruti pula. Atau dalam berdoa meminta kepada Allah, tetapi kalau kehilangan suatu barang, meminta tolong carikan kepada seorang tukang tenung. Atau misalnya dalam pemerintahan di negeri Islam, undang-undang yang diambil ialah undang-undang Romawi atau pengaruh Kristen. Kemudian karena peraturan Allah tidak dijalankan, melainkan peraturan thagut, timbullah celaka. Timbullah akibat yang tidak baik. Orang-orang yang hanya mulutnya mengakui percaya kepada peraturan Allah itu, melihat sendiri betapa kerusakan akibat karena bukan peraturan dan hukum Allah yang dijalankan.
Mereka pun menyesal, tetapi nasi sudah jadi bubur keadaan sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Ketika itu mereka datang kepada Nabi, “mencuci tangan" membersihkan diri dan bersumpah bahwa maksud mereka adalah baik, maksud mereka adalah mencari perdamaian supaya jangan banyak perselisihan. Mereka menenggang jangan sampai ada selisih, mereka telah berani membekukan hukum Allah. Tidak mereka insafi bahwa itulah yang membawa selisih dan sengketa.
Ayat 63
“Mereka itu adalah orang-orang yang telah diketahui oleh Allah apa yang ada dalam hati mereka."
Meskipun bagaimana mereka membersihkan diri, hendak mengelakkan tanggung jawab dari akibat perbuatan yang telah dimulai dengan niat salah. Sebab jiwa mereka sudah lama menjauh dari kepercayaan akan kebenaran peraturan Allah. Apa pun alasan yang dikemukakan, namun Allah tahu apa yang sebenarnya dalam hati mereka. Penglihatan Allah menembus sampai ke dalam batin. Oleh sebab Allah berfirman kepada Rasul-Nya, “Maka berpalinglah engkau dari mereka." Maksudnya hendaklah Rasul memperlihatkan dalam sikapnya bahwa perbuatan mereka itu beliau salahkan. Sekali-kali jangan tampak pada Nabi sikap memberi maaf atau misalnya tidak mengapa karena sudah telanjur. Karena kalau Rasul sedikit saja menunjukkan muka manis kepada mereka, meskipun secara siasat untuk menarik, mereka tidak juga akan insaf bahwa langkah yang mereka tempuh itu adalah kesalahan besar. Sebab sudah terang bahwa sikap atau roman muka beliau akan tetap jadi pedoman mereka. Niscaya kalau mereka lihat muka beliau tidak berubah, mereka akan berkata kepada teman-teman mereka, “Beliau tidak marah! Masih senang saja beliau melihat kita." Setelah memperlihatkan muka yang demikian sehingga mereka insaf, barulah datang perintah Allah yang kedua kepada Rasul ﷺ,
“Dan beri pengajaranlah mereka."
Sesudah menunjukkan muka yang tidak senang itu, barulah masukkan pengajaran, diinsafkan mereka atas kesalahan perbuatan mereka bahwasanya peraturan Allah hendaklah ditaati seratus persen, jangan dicampur-aduk dengan hukum thagut yang membawa kesesatan. Karena kalau sedikit saja terbelok di permulaan jalan, akibat yang ujung akan jauh sekali daripada tujuan yang benar.
“Dan katakanlah kepada mereka kata yang membekas. (Ke dalam hati mereka)"
Kata-kata yang membekas sampai ke dalam hati sanubari, tentu saja kata-kata yang oleh yang mengucapkannya pun keluar dari lubuk hati sanubari pula. Qaulan balighhan artinya kata yang sampai ke dalam lubuk hati, yaitu kata yang mengandung Fashahat dan Balaghat. Kefasihan berkata-kata dan memilih butir-butir kata adalah keistimewaan seorang pemimpin. Apatah lagi Rasul ﷺ selain daripada menerima wahyu yang penuh dengan fashahat dan balaghat. Itu sebabnya Musa a.s. ketika mulai menerima pelantikan Allah untuk menjadi Rasul, menyatakan terus terang kepada Allah bahwa dia tidak ahli dalam memilih kata-kata, lidahnya agak kelu bercakap. Sebab itu, kadang-kadang dia cepat marah sehingga Fir'aun pun pernah mencemoohkan kekurangan beliau itu. (Lihat ayat 52 surah az-Zukhruf) Itu sebab dia diberi pembantu utama oleh Allah, yaitu saudaranya, Harun. Maka Nabi kita Muhammad ﷺ yang berdiam di masa mudanya di Mekah, tempat berkumpulnya kabilah-kabilah Arab tiap tahun, mengertilah beliau pelat lidah tiap-tiap persukuan Arab. Sebab pelat (langgam) Quraisy lain, langgam orang Madinah lain, langgam suku-suku dari Hadramaut dan Yaman di sebelah selatan, dan langgam suku-suku Kindah dan Taghlib di utara pun lain. Beliau mengenal semua langgam itu sehingga apabila berhadapan dengan mereka, beliau bisa masuk ke dalam hati sanubari mereka, dengan memakai langgam mereka. Tetapi sebagai langgam pemersatu ialah langgam Quraisy, yang telah ditentukan Allah menjadi dasar (standar) umum bahasa Arab, sampai sekarang ini, dengan dipilihnya menjadi bahasa wahyu.
Di zaman kita ini pun, karena perbedaan daerah, terdapat juga perbedaan langgam di antara bangsa Arab. Lain langgam Yaman, lain langgam Hejaz, Hadramaut, Nejd, Syam, Mesir dan Afrika Utara. Tetapi bahasa Al-Qur'an tetap menjadi bahasa pemersatu mereka. Malahan kita bangsa-bangsa pemeluk Islam yang bukan Arab pun dapat bercakap dengan mereka dalam bahasa Al-Qur'an sebagai pemersatu, yang kadang-kadang bagi mereka pun mengagumkan.
Di dalam ayat ini Allah menyuruhkan Nabi-Nya, khusus di dalam meladeni orang-orang yang lemah iman, ragu-ragu, pikiran bercabang itu, hendaklah diberi ajaran dengan memakai kata-kata yang ber-balaaghah. Hal ini bukanlah supaya Nabi lebih dahulu belajar ilmu balaaghah kepada ahli syair atau belajar ilmu retorika kepada ahli-ahli pidato yang lain-lain, sebab dengan tuntunan wahyu dan ilham. Kitab dan Hikmat, Rasulullah ﷺ itu sendiri sudah menjadi sumber telaga balaaghah.
Balaaghah sebagai ilmu belum ada di zaman Nabi, retorika, ilmu bagaimana berpidato yang menarik tidak pernah dipelajari Nabi kepada orang lain. Syair-syair secara jahiliyyah pun beliau tidak paham dan tidak ada minat. Tetapi wahyu telah menuntun beliau menjadi ahli balaaghah utama sehingga dapat mengumpulkan tidak kurang dari 124.000 mujahidin yang kelak akan mengembangkan Islam ke Timur dan ke Barat.
Sekarang kita kembali kepada maksud ayat dan sebab turunnya ayat-ayat dari ayat 60 sampai ayat 63 ini, untuk dijadikan perbandingan.
Menurut as-Sayuthi di dalam tafsirnya Lubaabun Nuqul Ibnu Abi Hatim dan ath-Thabrani dengan isnad yang shahih menerima dari Ibnu-Abbas bahwa di kala itu ada seorang kahin (tukang tenung), yang selalu memberikan hasil tenungnya kepada orang-orang Yahudi. Rupanya ada beberapa orang yang telah mengaku Islam datang kepada tukang tenung itu meminta nasihatnya. Itulah sebab turun ayat ini.
Menurut Ibnu Abi Hatim lagi, melalui Ikrimah atau Sa'id bin Jubair, keterangan Ibnu Abbas juga, “Adalah al-Jallas bin Shamit dan Mat'ab bin Qusyair, dan Rafi' bin Zaid, dan Bisyar telah mengakui diri mereka Islam. Karena suatu perselisihan, beberapa orang dari kaum mereka yang telah Islam pula mengajak mereka menghadap Nabi ﷺ supaya beliau yang memutuskan perselisihan itu, tetapi orang-orang tersebut berpendapat lebih baik ditemui saja kahin-kahin yang di zaman jahiliyyah biasa tempat meminta hukum. Melihat sikap mereka yang demikianlah turun ayat ini."
Menurut riwayat Ibnu Jarir dari asy-Sya'bi, terjadi perselisihan di antara beberapa orang Yahudi dengan beberapa orang yang telah mengakui diri Islam. Orang-orang Yahudi itu sendiri mengajak, mari kita meminta hukum kepada Nabi kalian. Sebab orang-orang Yahudi itu percaya betul kepada Nabi dalam hal akan adilnya menjatuhkan keputusan dan tidak diharapkan rasywah (uang suap) Tetapi orang-orang yang telah mengakui Islam itu tidak mau meminta hukum kepada Nabi, melainkan lebih suka juga kepada kahin-kahin jahiliyyah. Akhirnya didapatlah persetujuan minta hukum kepada seorang tukang tenung dari Juhdinah. Maka turunlah ayat ini.
Nyatalah bahwa orang-orang itu telah dicap oleh ayat ini sebagai orang yang munafik. Tidak bulat hati meminta hukum Allah dan Rasul, melainkan masih percaya juga kepada hukum thagut.
Berkata al-Hafizh Ibnu Katsir mengenai ayat-ayat ini, “Ayat ini adalah satu penegasan bahwa Allah tidak mau menerima kalau ada orang yang mengaku beriman kepada perintah yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya dan kepada rasul-rasul yang dahulu, padahal ketika akan mengambil keputusan suatu hukum dalam hal yang mereka perbantahkan, mereka ambil hukum di luar dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya."
Berkata pula ahli-ahli tafsir yang lain, “Ayat ini memberikan petunjuk bahwa menerima keputusan hukum dari Allah adalah wajib dan wajib pula ridha menerima syari'atnya. Ayat ini menunjukkan pula dengan pasti bahwa orang Islam tidak dibolehkan menerima hukum selain dari syari'at Islam."
Berkata setengah ahli fiqih, “Apabila dua orang berperkara, lalu yang seorang ridha menerima hukum ketentuan syari'at Allah, yang seorang enggan menerima hukum itu, lalu dia suka menerima hukum dari hakim-hakim yang mengingkari peraturan Allah, yang enggan itu kafirlah!"
Lantaran itu, dengan ayat ini kita mendapat pengajaran bahwasanya percaya kepada hukum Allah dan Rasul janganlah separuh-separuh. Dalam masyarakat kita sekarang, kita telah mengakui beragama Islam. Tetapi misalnya kalau kehilangan sesuatu barang, janganlah datang kepada tukang tenung tunjukkan siapa yang mencuri barang itu. Islam yang berintikan tauhid, sekali-kali tidaklah mau dicampuri dengan kepercayaan-kepercayaan syirik, mempercayai jibti dan thagut. Orang Yahudi di zaman Nabi, mengakui memeluk agama ajaran Nabi Musa, tetapi mereka masih mencampur-aduk dengan jibti dan thagut. Janganlah orang Islam setelah jauh dari Nabi Muhammad ﷺ mengakui umat Muhammad padahal kepercayaannya bersimpang siur kepada yang lain, kepada jibti dan thagut, kepada kubur dan kayu, kepada batu dan tukang ramal. Jangan pula dalam ibadah menurut perintah Allah, tetapi di dalam urusan yang lain meniru peraturan yang bukan bersumber dari Allah.
Segi menegakkan pemerintahan pun demikian pula. Oleh karena pengaruh penjajahan beratus-ratus tahun dan karena bangsa-bangsa yang menjajah telah menyingkirkan dengan secara teratur segala hukum yang bersumber Allah yang dahulu berlaku dalam negeri-negeri Islam. Tumbuhlah golongan orang yang mengakui beragama Islam dan beribadah, tetapi tidak yakin lagi akan syari'at Islam. Merekalah yang keras menantang tiap gagasan hendak meletakkan dasar hukum syari'at Islam di dalam negeri yang penduduknya terbanyak orang Islam. Bahkan ada yang berkata, “Saya ini orang Islam, tetapi saya tidak mau kalau dalam negara ini diperlakukan syari'at Islam. Bahkan saya tidak mau, walaupun hukum syari'at Islam hanya akan dijalankan untuk rakyat yang beragama Islam saja."
Daripada menerima hukum syari'at Islam mereka lebih suka menyalin kitab hukum pusaka penjajah atau menyalin hukum negara-negara Barat yang lain.
Sedangkan orang yang kasar sikapnya kepada anak yatim dan tidak ada rasa iba kasihan kepada fakir miskin, lagi dikatakan mendustakan agama. Sedangkan orang yang shalat karena hanya mengambil muka kepada masyarakat (riya), lagi dikatakan akan merasakan siksaan neraka wailun, apatah lagi orang yang shalat menyembah Allah, tetapi menolak hukum-hukum Allah! Rangga satu ayat lagi, yaitu di ayat 65 akan kita baca penegasan Allah, dengan sumpah bahwa orang yang tidak mau menerima Tahkim dari Allah dan Rasui-Nya, tidaklah termasuk orang yang beriman, “Walau shallaa, walau shaama!" Walaupun dia shalat, walaupun dia puasa.