Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَأۡمُرُكُمۡ
Dia menyuruh
أَن
untuk
تُؤَدُّواْ
menyampaikan
ٱلۡأَمَٰنَٰتِ
amanat
إِلَىٰٓ
kepada
أَهۡلِهَا
yang berhak menerimanya
وَإِذَا
dan apabila
حَكَمۡتُم
kamu menetapkan hukum
بَيۡنَ
diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
أَن
supaya
تَحۡكُمُواْ
kamu menetapkan hukum
بِٱلۡعَدۡلِۚ
dengan adil
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
نِعِمَّا
sebaik-baiknya
يَعِظُكُم
Dia memberi pelajaran kepadamu
بِهِۦٓۗ
dengannya
إِنَّ
sesunguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adlah Dia
سَمِيعَۢا
Maha Mendengar
بَصِيرٗا
Maha Melihat
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
يَأۡمُرُكُمۡ
Dia menyuruh
أَن
untuk
تُؤَدُّواْ
menyampaikan
ٱلۡأَمَٰنَٰتِ
amanat
إِلَىٰٓ
kepada
أَهۡلِهَا
yang berhak menerimanya
وَإِذَا
dan apabila
حَكَمۡتُم
kamu menetapkan hukum
بَيۡنَ
diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
أَن
supaya
تَحۡكُمُواْ
kamu menetapkan hukum
بِٱلۡعَدۡلِۚ
dengan adil
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
نِعِمَّا
sebaik-baiknya
يَعِظُكُم
Dia memberi pelajaran kepadamu
بِهِۦٓۗ
dengannya
إِنَّ
sesunguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adlah Dia
سَمِيعَۢا
Maha Mendengar
بَصِيرٗا
Maha Melihat
Terjemahan
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada pemiliknya. Apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu tetapkan secara adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang paling baik kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Tafsir
(Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk menyampaikan amanat) artinya kewajiban-kewajiban yang dipercayakan dari seseorang (kepada yang berhak menerimanya) ayat ini turun ketika Ali r.a. hendak mengambil kunci Kakbah dari Usman bin Thalhah Al-Hajabi penjaganya secara paksa yakni ketika Nabi ﷺ datang ke Mekah pada tahun pembebasan. Usman ketika itu tidak mau memberikannya lalu katanya, "Seandainya saya tahu bahwa ia Rasulullah tentulah saya tidak akan menghalanginya." Maka Rasulullah ﷺ pun menyuruh mengembalikan kunci itu padanya seraya bersabda, "Terimalah ini untuk selama-lamanya tiada putus-putusnya!" Usman merasa heran atas hal itu lalu dibacakannya ayat tersebut sehingga Usman pun masuk Islamlah. Ketika akan meninggal kunci itu diserahkan kepada saudaranya Syaibah lalu tinggal pada anaknya. Ayat ini walaupun datang dengan sebab khusus tetapi umumnya berlaku disebabkan persamaan di antaranya (dan apabila kamu mengadili di antara manusia) maka Allah menitahkanmu (agar menetapkan hukum dengan adil. Sesungguhnya Allah amat baik sekali) pada ni`immaa diidgamkan mim kepada ma, yakni nakirah maushufah artinya ni`ma syaian atau sesuatu yang amat baik (nasihat yang diberikan-Nya kepadamu) yakni menyampaikan amanat dan menjatuhkan putusan secara adil. (Sesungguhnya Allah Maha Mendengar) akan semua perkataan (lagi Maha Melihat) segala perbuatan.
Tafsir Surat An-Nisa': 58
Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.
Allah ﷻ memberitahukan bahwa Dia memerintahkan agar amanat-amanat itu disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Di dalam hadits Al-Hasan, dari Samurah, disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Sampaikanlah amanat itu kepada orang yang mempercayaimu, dan janganlah kamu berkhianat terhadap orang yang berkhianat kepadamu.” Hadis riwayat Imam Ahmad dan semua pemilik kitab sunan.
Makna hadits ini umum mencakup semua jenis amanat yang diharuskan bagi manusia untuk menyampaikannya. Amanat tersebut antara lain yang menyangkut hak-hak Allah ﷻ atas hamba-hamba-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, kifarat, semua jenis nazar, dan lain sebagainya yang semisal yang dipercayakan kepada seseorang dan tiada seorang hamba pun yang melihatnya. Juga termasuk pula hak-hak yang menyangkut hamba-hamba Allah sebagian dari mereka atas sebagian yang lain, seperti semua titipan dan lain-lainnya yang merupakan subjek titipan tanpa ada bukti yang menunjukkan ke arah itu. Maka Allah ﷻ memerintahkan agar hal tersebut ditunaikan kepada yang berhak menerimanya. Barang siapa yang tidak melakukan hal tersebut di dunia, maka ia akan dituntut nanti di hari kiamat dan dihukum karenanya. Sebagaimana yang disebutkan di dalam sebuah hadits shahih, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya semua hak itu benar-benar akan disampaikan kepada pemiliknya hingga kambing yang tidak bertanduk diperintahkan membalas terhadap kambing yang bertanduk (yang dahulu di dunia pernah menyeruduknya).”
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Ahmasi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan, "Sesungguhnya syahadat itu menghapus semua dosa kecuali amanat." Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa di hari kiamat kelak seseorang diajukan (ke hadapan pengadilan Allah). Jika lelaki itu gugur di jalan Allah, dikatakan kepadanya, "Tunaikanlah amanatmu." Maka lelaki itu menjawab, "Bagaimanakah aku akan menunaikannya, sedangkan dunia telah tiada?" Maka amanat menyerupakan dirinya dalam bentuk sesuatu yang terdapat di dalam dasar neraka Jahannam. Maka lelaki itu turun ke dasar neraka, lalu memikulnya di atas pundaknya. Ibnu Mas'ud mengatakan bahwa setiap kali ia mengangkat amanat itu, maka amanat itu terjatuh dari pundaknya, lalu ia pun ikut terjatuh ke dasar neraka; begitulah selama-lamanya. Zazan mengatakan bahwa lalu ia datang menemui Al-Barra ibnu Azib dan menceritakan hal tersebut kepada Al-Barra. Maka Al-Barra mengatakan, "Benarlah apa yang dikatakan oleh saudaraku." Lalu ia membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58)
Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ibnu Abu Laila, dari seorang lelaki, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, bahwa amanat ini bermakna umum dan wajib ditunaikan terhadap semua orang, baik yang bertakwa maupun yang durhaka.
Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini umum pengertiannya menyangkut bagi orang yang berbakti dan orang yang durhaka.
Abul Aliyah mengatakan bahwa amanat itu ialah semua hal yang mereka diperintahkan untuk melakukannya dan semua hal yang dilarang mereka mengerjakannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Gayyas, dari Al-A'masy, dari Abud-Duha, dari Masruq yang mengatakan bahwa Ubay ibnu Ka'b pernah mengatakan, "Termasuk ke dalam pengertian amanat ialah memelihara farji bagi seorang wanita."
Ar-Rabi' ibnu Anas mengatakan bahwa wanita termasuk amanat yang menyangkut antara kamu dan orang lain.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58) Termasuk ke dalam pengertian amanat ini ialah nasihat sultan kepada kaum wanita, yakni pada hari raya.
Kebanyakan Mufassirin (Ahli Tafsir) menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah. Nama Abu Talhah ialah Abdullah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar ibnu Qusai ibnu Kitab Al-Qurasyi Al-Abdari, pengurus Ka'bah. Dia adalah saudara sepupu Syaibah ibnu Usman ibnu Abu Talhah yang berpindah kepadanya tugas pengurusan Ka'bah hingga turun-temurun ke anak cucunya sampai sekarang. Usman yang ini masuk Islam dalam masa perjanjian gencatan senjata antara Perjanjian Hudaibiyah dan terbukanya kota Mekah. Saat itu ia masuk Islam bersama Khalid ibnul Walid dan Amr ibnul As. Pamannya bernama Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah, ia memegang panji pasukan kaum musyrik dalam Perang Uhud, dan terbunuh dalam peperangan itu dalam keadaan kafir.
Sesungguhnya kami sebutkan nasab ini tiada lain karena kebanyakan Mufassirin kebingungan dengan nama ini dan nama itu (yakni antara Usman ibnu Abu Talhah pengurus Ka'bah dan Usman ibnu Talhah ibnu Abu Talhah yang mati kafir dalam Perang Uhud). Penyebab turunnya ayat ini berkaitan dengan Usman tersebut ialah ketika Rasulullah ﷺ mengambil kunci pintu Ka'bah dari tangannya pada hari kemenangan atas kota Mekah, kemudian Rasulullah ﷺ mengembalikan kunci itu kepadanya (setelah ayat ini diturunkan).
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan sehubungan dengan perang kemenangan atas kota Mekah, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, dari Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Abu Saur, dari Safiyyah binti Syaibah, bahwa ketika Rasulullah ﷺ turun di Mekah, semua orang tenang. Maka beliau ﷺ keluar hingga sampai di Baitullah, lalu melakukan tawaf di sekelilingnya sebanyak tujuh kali dengan berkendaraan, dan beliau mengusap rukun Hajar Aswad dengan tongkat yang berada di tangannya. Seusai tawaf, beliau memanggil Usman ibnu Talhah, lalu mengambil kunci pintu Ka'bah darinya. Kemudian pintu Ka'bah dibukakan untuk Nabi ﷺ, lalu Nabi ﷺ masuk ke dalamnya. Ketika berada di dalam beliau melihat patung burung merpati yang terbuat dari kayu, maka beliau mematahkan patung itu dengan tangannya, lalu membuangnya. Setelah itu beliau berhenti di pintu Ka'bah, sedangkan semua orang dalam keadaan tenang dan diam dengan penuh hormat kepada Nabi ﷺ; semuanya berada di masjid.
Ibnu Ishaq mengatakan bahwa salah seorang Ahlul Ilmi telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah ﷺ bersabda ketika berdiri di depan pintu Ka'bah: “Tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, Dia telah menunaikan janji-Nya kepada hamba-Nya, dan telah menolong hamba-Nya dan telah mengalahkan pasukan yang bersekutu sendirian. Ingatlah, semua dendam atau darah atau harta yang didakwakan berada di bawah kedua telapak kakiku ini, kecuali jabatan Sadanatul Ka'bah (pengurus Ka'bah) dan Siqayalut Haj (pemberi minum jamaah haji).”
Ibnu Ishaq melanjutkan kisah hadits sehubungan dengan khotbah Nabi ﷺ pada hari itu, hingga ia mengatakan bahwa setelah itu Rasulullah ﷺ duduk di masjid. Maka menghadaplah kepadanya Ali ibnu Abu Thalib seraya membawa kunci pintu Ka'bah. Lalu Ali berkata, "Wahai Rasulullah, serahkan sajalah tugas ini kepada kami bersama jabatan siqayah, semoga Allah melimpahkan shalawat kepadamu." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Di manakah Usman ibnu Talhah?" Lalu Usman dipanggil. Setelah ia menghadap, Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Inilah kuncimu, wahai Usman, hari ini adalah hari penyampaian amanat dan kebajikan.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Hajjaj, dari Ibnu Juraij sehubungan dengan ayat ini, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Usman ibnu Talhah. Rasulullah ﷺ mengambil kunci pintu Ka'bah darinya, lalu beliau masuk ke dalam Ka'bah; hal ini terjadi pada hari pembebasan kota Mekah. Setelah itu beliau ﷺ keluar dari dalam Ka'bah seraya membacakan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil Usman dan menyerahkan kepadanya kunci tersebut.
Ibnu Juraij mengatakan bahwa ketika Rasulullah ﷺ keluar dari dalam Ka'bah seraya membaca firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58) Maka Umar ibnul Khattab berkata, "Semoga Allah menjadikan ayah dan ibuku sebagai tebusan beliau. Aku tidak pernah mendengar beliau membaca ayat ini sebelumnya."
Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, telah menceritakan kepada kami Az-Zunji-ibnu Khalid, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa Nabi ﷺ menyerahkan kunci pintu Ka'bah kepada Usman seraya berkata, "Bantulah dia oleh kalian (dalam menjalankan tugasnya sebagai hijabatul bait)."
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Al-Kalbi, dari Abu Saleh, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58) Ketika Rasulullah ﷺ membebaskan kota Mekah, beliau memanggil Usman ibnu Talhah. Setelah Usman menghadap, beliau bersabda, "Berikanlah kunci itu kepadaku." Lalu Usman ibnu Talhah mengambil kunci itu untuk diserahkan kepada Nabi ﷺ. Ketika ia mengulurkan tangannya kepada Nabi ﷺ, maka Al-Abbas datang menghampirinya dan berkata, "Wahai Rasulullah, semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, berikanlah jabatan sadanah ini bersama jabatan siqayah kepadaku." Maka Usman menarik kembali tangannya, dan Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Usman, serahkanlah kunci itu kepadaku." Maka Usman mengulurkan tangannya untuk menyerahkan kunci. Tetapi Al-Abbas mengucapkan kata-katanya yang tadi, dan Usman kembali menarik tangannya. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: "Wahai Usman, jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian, serahkanlah kunci itu." Maka Usman berkata, "Terimalah dengan amanat dari Allah." Rasulullah ﷺ berdiri dan membuka pintu Ka'bah, dan di dalamnya beliau menjumpai patung Nabi Ibrahim a.s. sedang memegang piala yang biasa dipakai untuk mengundi. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Apakah yang dilakukan oleh orang-orang musyrik ini, semoga Allah melaknat mereka, dan apakah kaitannya antara Nabi Ibrahim dengan piala ini?” Kemudian Nabi ﷺ meminta sebuah panci besar yang berisikan air, lalu beliau mengambil air itu dan memasukkan piala itu ke dalamnya berikut patung tersebut. Lalu beliau mengeluarkan maqam Ibrahim dari dalam Ka'bah, kemudian menempelkannya pada dinding Ka'bah. Pada mulanya maqam Ibrahim ditaruh di dalam Ka'bah. Setelah itu beliau bersabda: “Wahai manusia, inilah kiblat!” Selanjutnya Rasulullah ﷺ keluar, lalu melakukan tawaf di Ka'bah sekali atau dua kali keliling. Menurut apa yang disebutkan oleh pemilik kitab Bardul Miftah, setelah itu turunlah Malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58), hingga akhir ayat.
Demikian menurut riwayat yang terkenal, yang menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut. Pada garis besarnya tidak memandang apakah ayat ini diturunkan berkenaan dengan peristiwa tersebut atau tidak, makna ayat adalah umum. Karena itulah Ibnu Abbas dan Muhammad ibnul Hanafiyah mengatakan bahwa amanat ini menyangkut orang yang berbakti dan orang yang durhaka. Dengan kata lain, bersifat umum merupakan perintah terhadap semua orang.
Firman Allah ﷻ: “Dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkannya dengan adil.” (An-Nisa: 58) Hal ini merupakan perintah Allah ﷻ yang menganjurkan menetapkan hukum di antara manusia dengan adil. Karena itulah maka Muhammad ibnu Ka'b, Zaid ibnu Aslam, dan Syahr ibnu Hausyab mengatakan bahwa ayat ini diturunkan hanya berkenaan dengan para umara, yakni para penguasa yang memutuskan perkara di antara manusia.
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Sesungguhnya Allah selalu bersama hakim selagi ia tidak zalim; apabila ia berbuat zalim dalam keputusannya, maka Allah menyerahkan dia kepada dirinya sendiri (yakni menjauh darinya).”
Di dalam sebuah atsar disebutkan: “Berbuat adil selama sehari lebih baik daripada melakukan ibadah empat puluh tahun.”
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian.” (An-Nisa: 58)
Allah memerintahkan kepada kalian untuk menyampaikan amanat-amanat tersebut dan memutuskan hukum dengan adil di antara manusia serta lain-lainnya yang termasuk perintah-perintah-Nya dan syariat-syariat-Nya yang sempurna lagi agung dan mencakup semuanya.
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa: 58)
Maha Mendengar semua ucapan kalian lagi Maha Melihat semua perbuatan kalian.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepada kami Abdulah ibnu Luhai'ah, dari Yazid ibnu Abu Habib, dari Abul Khair, dari Uqbah ibnu Amir yang menceritakan bahwa ia pernah melihat Rasulullah ﷺ sedang membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: “Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa: 58) Lalu beliau ﷺ bersabda: “Maha Melihat segala sesuatu.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Yahya Al-Qazwaini, telah menceritakan kepada kami Al-Muqri (yakni Abu Abdur Rahman Abdullah ibnu Yazid), telah menceritakan kepada kami Harmalah (yakni Ibnu Imran), bahwa At-Tajibi Al-Masri pernah menceritakan bahwa dia mendengar hadits ini dari Yunus yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah membaca firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58) sampai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (An-Nisa: 58) Abu Hurairah meletakkan jari jempolnya pada telinganya, sedangkan jari yang berikutnya ia letakkan pada matanya, lalu ia berkata bahwa demikianlah yang pernah ia lihat dari Rasulullah ﷺ ketika membaca ayat ini, lalu beliau ﷺ meletakkan kedua jarinya pada kedua anggota tersebut (telinga dan mata). Abu Zakaria mengatakan bahwa Al-Muqri memperagakannya kepada kami. Kemudian Abu Zakaria meletakkan jari jempolnya yang kanan pada mata kanannya dan jari berikutnya pada telinga kanannya. Lalu ia mengatakan, "Al-Muqri memperagakan seperti ini kepada kami."
Imam Abu Dawud, Imam Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya, Imam Hakim di dalam kitab mustadraknya dan Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsimya telah meriwayatkan melalui hadits Abu Abdur Rahman Al-Muqri berikut sanadnya dengan lafal yang serupa. Abu Yunus yang disebutkan di dalam sanad hadits ini adalah maula Abu Hurairah, nama aslinya adalah Sulaim ibnu Jubair.
Dua ayat terakhir dijelaskan kesudahan dari dua kelompok mukmin dan kafir, yakni tentang kenikmatan dan siksaan, maka sekarang AlQur'an mengajarkan suatu tuntunan hidup yakni tentang amanah. Sungguh, Allah Yang Mahaagung menyuruhmu menyampaikan amanat secara sempurna dan tepat waktu kepada yang berhak menerimanya, dan Allah juga menyuruh apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia yang berselisih hendaknya kamu menetapkannya dengan keputusan yang adil. Sungguh, Allah yang telah memerintahkan agar memegang teguh amanah serta menyuruh berlaku adil adalah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah adalah Tuhan Yang Maha Mendengar, Maha MelihatAgar penetapan hukum dengan adil tersebut dapat dijalankan dengan baik, maka diperlukan ketaatan terhadap siapa penetap hukum itu. Ayat ini memerintahkan kaum muslim agar menaati putusan hukum, yang secara hirarkis dimulai dari penetapan hukum Allah. Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah perintah-perintah Allah dalam AlQur'an, dan taatilah pula perintah-perintah Rasul Muhammad, dan juga ketetapan-ketetapan yang dikeluarkan oleh Ulil Amri pemegang kekuasaan di antara kamu selama ketetapan-ketetapan itu tidak melanggar ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu masalah yang tidak dapat dipertemukan, maka kembalikanlah kepada nilai-nilai dan jiwa firman Allah, yakni Al-Qur'an, dan juga nilai-nilai dan jiwa tuntunan Rasul dalam bentuk sunahnya, sebagai bukti jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya, baik untuk kehidupan dunia kamu, maupun untuk kehidupan akhirat kelak.
Ayat ini memerintahkan agar menyampaikan "amanat" kepada yang berhak. Pengertian "amanat" dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada seseorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata "amanat" dengan pengertian ini sangat luas, meliputi "amanat" Allah kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya sendiri.
Amanat Allah terhadap hamba-Nya yang harus dilaksanakan antara lain: melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Semua nikmat Allah berupa apa saja hendaklah kita manfaatkan untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya.
Amanat seseorang terhadap sesamanya yang harus dilaksanakan antara lain: mengembalikan titipan kepada yang punya dengan tidak kurang suatu apa pun, tidak menipunya, memelihara rahasia dan lain sebagainya dan termasuk juga di dalamnya ialah:
a. Sifat adil penguasa terhadap rakyat dalam bidang apa pun dengan tidak membeda-bedakan antara satu dengan yang lain di dalam pelaksanaan hukum, sekalipun terhadap keluarga dan anak sendiri, sebagaimana ditegaskan Allah dalam ayat ini.
Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil.... (an-Nisa'/4:58).
Dalam hal ini cukuplah Nabi Muhammad ﷺ menjadi contoh. Di dalam satu pernyataannya beliau bersabda:
"Andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya saya potong tangannya" (Riwayat asy-Syaikhan dari '?'isyah).
b. Sifat adil ulama (yaitu orang yang berilmu pengetahuan) terhadap orang awam, seperti menanamkan ke dalam hati mereka akidah yang benar, membimbingnya kepada amal yang bermanfaat baginya di dunia dan di akhirat, memberikan pendidikan yang baik, menganjurkan usaha yang halal, memberikan nasihat-nasihat yang menambah kuat imannya, menyelamatkan dari perbuatan dosa dan maksiat, membangkitkan semangat untuk berbuat baik dan melakukan kebajikan, mengeluarkan fatwa yang berguna dan bermanfaat di dalam melaksanakan syariat dan ketentuan Allah.
c. Sifat adil seorang suami terhadap istrinya, begitu pun sebaliknya, seperti melaksanakan kewajiban masing-masing terhadap yang lain, tidak membeberkan rahasia pihak yang lain, terutama rahasia khusus antara keduanya yang tidak baik diketahui orang lain.
Amanat seseorang terhadap dirinya sendiri; seperti berbuat sesuatu yang menguntungkan dan bermanfaat bagi dirinya dalam soal dunia dan agamanya. Janganlah ia membuat hal-hal yang membahayakannya di dunia dan akhirat, dan lain sebagainya.
Ajaran yang sangat baik ini yaitu melaksanakan amanah dan hukum dengan seadil-adilnya, jangan sekali-kali diabaikan, tetapi hendaklah diindahkan, diperhatikan dan diterapkan dalam hidup dan kehidupan kita, untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENYERAHKAN AMANAH
Sebelum kita terus kepada penafsiran, terlebih dahulu kita lihat sebab turun ayat yang akan kita tafsirkan ini.
Ayat 58
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu supaya menunaikan amanah kepada ahlinya."
Menurut al-Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Banyak ahli tafsir telah memper-katakan bahwasanya ayat ini diturunkan berkenaan dengan diri Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah. Nama asal dari Abu Thalhah ayah Utsman ini ialah Abdullah bin Abdul Uzza bin Utsman bin Abdid Daar bin Qushai bin Kilab al-Qurasyi al-Adbari. Hajib (juru kunci) Ka'bah yang mulia."
Dia adalah anak paman (Ibnul Ammi) dari Syaibah bin Utsman bin Abu Thalhah, yang di tangan keturunannya terpegang kunci Ka'bah sampai sekarang. Utsman masuk Islam ketika selesai perjanjian gencatan senjata itu bersama Khalid bin Walid dan Amar bin al-Ash. Adapun pamannya Utsman bin Thalhah bin Abu Thalhah, dialah yang membawa bendera (vandef) kaum Quraisy karena ada ahli tafsir yang berkacau tentang nama-nama ini."
Ibnu Katsir menulis seterusnya, “Sebab turunnya ayat ini ialah ketika Rasulullah ﷺ meminta kunci Ka'bah darinya sewaktu penaklukan Mekah lalu menyerahkannya pula kepadanya kembali."
Setelah itu Ibnu Katsir menyalinkan beberapa riwayat kejadian itu, di antaranya suatu riwayat dari Ibnu Ishaq. Bahwa sesudah Rasulullah masuk ke Mekah dan orang-orang sudah mulai tenteram, keluarlah beliau menuju Baitullah, lalu beliau tawaf tujuh kali lingkaran dengan tidak turun dari kendaraannya, dimulailah dengan menyentuhkan tongkatnya yang berkeluk dalam tangannya. Setelah selesai tawaf dipanggilnyalah Utsman bin Thalhah tersebut, lalu diambilnya kunci Ka'bah tersebut dari tangannya, lalu beliau masuk ke dalam. Bertemulah beberapa berhala dan barang-barang penting yang bersifat pemujaan di dalamnya. Di antaranya patung merpati dari kayu, lalu beliau hancurkan dengan tangan beliau sendiri, kemudian beliau lem-parkarv keluar. Setelah itu beliau berdirilah ke hadapan pintu Ka'bah dan orang-orang pun berkerumun menunggu apa yang akan beliau bicarakan. Lalu berpidatolah beliau yang dimulainya dengan,
“Tidak ada tuhan melainkan Allah, yang berdiri sendiri-Nya, tidak ada sekutu. Benar segala janji-Nya. Menolong hamba-Nya, dan mengalahkan musuh-musuh yang bersekutu dengan sendirinya. “
Segala dendam kesumat atau darah atau harta yang dipercekcokkan, semuanya mulai hari ini adalah di bawah telapak kakiku, kecuali darihal penampungan orang haji atau memberi makan minumnya.
Dan beberapa perkataan beliau selanjutnya. Setelah selesai berkhutbah secara pendek itu beliau pun duduklah kembali dalam masjid. Tiba-tiba datanglah Ali bin Abi Thalib memohon sudilah kiranya beliau menyerahkan kunci Ka'bah yang telah ada di tangan beliau kepadanya. Dia berkata, “Ya, Rasul Allah, serahkan kiranya kunci itu kepada kami supaya terkumpul di tangan kami juru kunci dan soal makan minum orang haji." Tetapi permintaan Ali itu tidak beliau jawab, melainkan beliau bertanya, “Di mana Utsman bin Thalhah?" Dia pun dipanggil orang lalu datang. Berkatalah beliau kepadanya, “Inilah kuncimu,ya Utsman. Hari ini adalah hari kebajikan dan pemenuhan janji." Lalu beliau baca ayat ini, “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepada kamu supaya menunaikan amanah kepada ahlinya."
Ibnu Jarir pun membawakan tafsir ini. As-Sayuthi menambahkan bahwa ayat ini nyatalah diturunkan di dalam Ka'bah.
Ibnu Jarir menambahkan bahwa Umar bin Khaththab berkata, “Tatkala Rasulullah telah keluar dari dalam Ka'bah dengan membaca ayat ini, telah berkata, ‘Ayah bundaku penebus dari beliau, sungguh belum pernah kudengar beliau membaca ayat ini sebelum itu.'"
Menurut riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Mardawaihi dari Ibnu Abbas yang memohonkan agar kunci itu diserahkan kepadanya, bukan Ali, melainkan ayah Ibnu Abbas, yaitu Abbas bin Abdul Muthalib.
Sayyid Rasyid Ridha dalam tafsirnya menyangsikan bahwa waktu itulah turun ayat, meskipun Umar mengatakan bahwa baru kali itulah dia mendengar Rasulullah membacanya. Sebab ketika Rasulullah telah wafat, lalu Abu Bakar membaca ayat 144 dari surah Aali Tmraan, yang menyatakan bahwa Muhammad adalah seorang Rasul Allah, yang rasul-rasul yang dahulu darinya sudah meninggal. Pada saat itu pun Umar mengatakan bahwa seakan-akan pada hari itulah baru dia mendengar ayat itu. Sebab itu, pengakuan Umar yang demikian tidaklah berarti bahwa ayat itu baru turun di hari itu karena Umar baru waktu itu mendengarnya. Memang, sampai kepada zaman kita sekarang ini, satu ayat Allah yang dibaca pada satu kejadian yang bertepatan, kita merasa seakan-akan ayat itu baru turun pada waktu itu.
Lantaran itu tidaklah jadi soal apakah ayat ini turun di dalam Ka'bah ketika Rasulullah menyerahkan kunci kembali kepada Utsman bin Thalhah, atau telah lama turun sebelumnya, tetapi dibaca Nabi kembali pada waktu itu. Yang penting kita perhatikan ialah isi ayat. Karena isi ayat ini, yang dimulai dengan kata, “Sesungguhnya Allah memerintahkan," sebagaimana ahli tafsir Abus Su'ud mengatakan bahwa di sini terdapat tiga kalimat. Pertama, kalimat sesungguhnya, yang menunjukkan bahwa ini adalah peringatan sungguh-sungguh. Kedua, dengan menyebut nama Allah sebagai sumber hukum yang wajib dijalankan. Ketiga, kata “memerintahkan" yang ketiga kalimat ini meminta perhatian kita yang khusus. Yaitu supaya amanah ditunaikan, dipenuhi kepada ahlinya, jangan amanah dipandang enteng.
Dalam kejadian ini kita menampak bahwa dengan perbuatan beliau mulanya mengambil kunci dari Utsman bin Thalhah, jelas sekali bahwa beliau telah memakai kekuasaannya sebagai penakluk. Beliau mempunyai hak pe-nuh sebagai penakluk yang berkuasa meminta kunci itu. Tidak ada satu hukum pun, baik dahulu maupun sekarang, yang dapat membantah hak Nabi yang telah menaklukkan Me-kah meminta kunci Ka'bah dari tangan peme-gangnya. Itulah tanda kemenangan.
Setelah selesai beliau membuka kunci pintu Ka'bah dan membuka serta membersihkan dan menutupnya kembali, datang Ali bin Abi
Thalib memohonkan kunci itu. Riwayat Ibnu Abbas yang meminta kunci itu ialah Abbas bin Abdul Muthalib, tetapi tidak ada permohonan itu yang beliau kabulkan, malahan kunci itu beliau serahkan kembali kepada Utsman bin Thalhah dengan mengucapkan ayat, ‘Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu supaya menunaikan amanah kepada ahlinya."
Untuk mengetahui betapa besar jiwa Rasulullah, betapa dia sebagai seorang Nabi yang menjadi rahmat bagi seluruh alam, hendaklah kita ketahui latar belakang ajaran tentang siqayah, yaitu memberi minum orang haji dan hijabah, yaitu memegang kunci Ka'bah.
Sejak dari nenek moyangnya Nabi Ibrahim, penduduk Mekah menjadi penjaga Ka'bah yang diakui haknya oleh seluruh kalibah Arab. Suatu masa datanglah kaum Azad dari Yaman merampas sekalian kekuasaan pengawalan itu sehingga lepaslah dari tangan penduduknya yang berasal dari keturunan Ibrahim dan Isma'il. Mereka rampas kekuasaan memegang kunci itu. Adapun yang tinggal di Mekah dari keturunan Adnan, keturunan Ibrahim itu ialah Fihr bin Malik. Fihr inilah yang bernama Quraisy dan dari dialah diambil nama keturunan itu. Semua orang tahu waktu itu bahwa dialah yang berhak menjadi pengawal Ka'bah, tetapi tidak ada yang dapat melawan. Seorang keturunan Quraisy yang bernama Qushaiy sampai membuang dirinya untuk menyusun kekuatan di negeri Qudha'ah. Setelah dia kuat dan berpengaruh kembali dia pun pulang. Keturunan Azad yang pernah memegang kekuasaan itu diambilnya menjadi menantu, namanya Abu Khabsyam. Dari dialah Qushaiy meminta seluruh kekuasaannya kembali.
Qushaiy inilah yang menyusun segala adat istiadat Quraisy dalam mengawal dan memuliakan Ka'bah. Dia yang mendirikan Darun Nadwah untuk tempat berkumpul musyawarah seluruh kepala suku dan perut pecahan Quraisy. Dia yang memegang bendera peperangan yang bernama al-Liwaa' yang dikibarkan bila terjadi perang antarsuku. Dia pula yang memegang hijabah, yaitu sebagai juru kunci dari Ka'bah. Dia memegang siqayah, yaitu menyediakan minuman buat orang yang datang haji. Kalau kekurangan belanja, suku-suku yang lain membantu. Setelah Qushaiy meninggal, dia digantikan oleh putranya, Abdi Manaf. Karena di antara bersaudara, dialah yang terkemuka. Oleh Abdi Manaf, karena wasiat ayahnya, dibaginya kekuasaan itu dengan abangnya yang bernama Abdid Daar.
Abdi-Manaf meninggalkan empat putra. Yaitu Hasyim, Abdi Syam, Abdul Muthalib, dan Naufal. Rupanya di antara anak-anak Abdi Manaf yang empat ini timbullah perlombaan merebut pengaruh dan kekuasaan dengan anak Abdid Daar sehingga nyaris terjadi pertumpahan darah. Sebab keempat anak Abdi Manaf ingin mengusai semua. Kedua belah pihak sama-sama mempunyai penyokong.
Syukurlah hal ini dapat dicampuri oleh orang tua-tua yang ada pada masa itu sehingga dapat dicari perdamaian, yaitu yang memegang bendera (al-Liwaa) dan menyelenggarakan balairung tempat rapat (Darun Nadwah) dan juru kunci Ka'bah (hijabah) diserahkan kepada Bani Abdid Daar. Adapun untuk memberi minum orang haji (siqayah), makan minum dan jaminan-jaminan lain selama orang haji ada di Mekah (Rifadab) diberikan kepada anak-anak Abdi Manaf. Kedua belah pihak menerima. Oleh keempat anak Abdi Manaf diserahkanlah mengurus keduanya ini kepada seorang di antara mereka yang paling terkemuka, yaitu Hasyim. Dan Hasyim inilah ayah dari Abdul Muthalib.
Dapatlah dipahami jika Abbas bin Abdul Muthalib bin Hasyim atau Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim ingin sekali agar anak kunci Ka'bah itu terserah ke tangan mereka agar hijabah dan siqayah terkumpul kembali ke tangan Bani Hasyim bin Abdi Manaf. Banyak atau sedikit niscaya mereka mengharapkan kemenangan Muhammad Rasulullah ﷺ adalah kemenangan juga bagi Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim.
Tetapi Muhammad bin Abdullah adalah Nabi dan Rasul yang menjadi rahmat buat seluruh alam dan memimpin buat seluruh bangsa, bukan saja Arab dan bukan saja Bani Hasyim. Beliau memanggil Utsman bin Thaihah dan beliau serahkan kunci itu kembali, seraya menyebut ayat Allah, “Sesungguhnya Allah memerintahkan supaya menunaikan amanah kepada ahlinya." Dan Utsman adalah keturunan dari Abdid Daar.
Dapatlah dilihat dalam bacaan ayat ini bahwasanya Utsmanlah yang lebih ahli tentang amanah itu. Baik karena itu memang haknya sebagai hasil keputusan orang tua-tua atau karena dalam hal yang demikian dialah yang dapat dipercaya buat memegang amanah. Memang, dalam perkara amanah, terlepas dari haknya menerima pusaka turunan, dapatlah Utsman bin Thaihah dipercaya. Sebab dia adalah salah seorang Muhajirin yang meninggalkan Mekah, menuruti Rasulullah ﷺ bersama Khalid bin Walid dan Amr bin al-Ash. Dan dia pun terkenal sebagai salah seorang sahabat Rasulullah yang terkemuka.
Dalam hal ini Nabi kita dan junjungan yang kita cintai, Muhammad ﷺ telah mengatasi perlombaan kaumnya, membebaskan diri dari percaturan keluarga, dan memandang yang sangat jauh.
Sampai sekarang kunci Ka'bah tetap dipegang oleh Bani Syaibah, keturunan Utsman bin Thaihah. Itulah keturunan Quraisy yang di samping Bani Hasyim masih ada sampai sekarang ini di negeri Mekah. Namun demikian, Wallahu alam.
Sekarang terlepas daripada sebab turunnya ayat, kita ambillah tujuan yang umum dari lafazh ayat dan kita hentikan membicarakan sebab yang khusus dari turunnya ayat itu.
Berkata Muhammad bin Ka'ab dan Zaid bin Aslam dan Syahr bin Hausyab, “Ayat ini diturunkan untuk amir-amir, yaitu pemegang-pemegang kekuasaan di antara manusia."
Berkata Ibnu Abbas, “Ayat ini umum maksudnya, untuk orang yang memerintah dengan baik atau yang sewenang-wenang."
Dari ayat ini Imam Malik mengambil kesimpulan hukum bahwasanya jika ada seorang musafir yang negerinya telah diperangi, datang melindungkan diri ke negeri Islam dan menitipkan hartanya, lalu dia mati hilang di tempat lain, wajiblah harta bendanya itu dikirimkan kepada warisnya.
Memang, ayat inilah ajaran Islam yang wajib dipegang oleh penguasa-penguasa, memberikan amanah hendaklah kepada ahlinya. Orang yang akan diberi tanggung jawab dalam suatu tugas, hendaklah yang sanggup dan bisa dipercaya memegang tugas itu.
Berkata Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya as-Siasatusy Syar'iyah, “Maka wajiblah atas penguasa menyerahkan suatu tugas dari tugas-tugas kaum Muslimin kepada orang yang cakap untuk melaksanakan pekerjaan itu. Sebab Nabi Muhammad ﷺ telah bersabda,
“Barangsiapa memegang kuasa dari sesuatu urusan kaum Muslimin, lalu dia berikan satu jabatan kepada seseorang, padahal dia tahu bahwa ada lagi orang yang lebih cakap untuk kaum Muslimin daripada orang yang diangkatnya itu, maka berkhianatlah dia kepada Allah dan Rasul-Nya dan kaum Muslimin." (HR al-Hakim dalam Shahih-nya)
Berkata Umar bin Khaththab, “Barangsiapa yang memegang kuasa kaum Muslimin, lalu diangkatnya orang karena pilih kasih atau karena hubungan keluarga, khianatlah dia kepada Allah dan Rasul dan kaum Muslimin."
Sebab itu hendaklah diselidiki siapa yang cakap untuk memegang suatu kuasa yang akan jadi wakil di kota-kota, sejak dari Amir sampai kepada pejabat yang diberi kuasa atau pemegang dan penjaga hukum (qadhi-qadhi) Demikian pula panglima-panglima ketentaraan dan perwira-perwira tinggi, menengah, dan rendah, dan pemegang-pemegang kuasa kekayaan negara, menteri-menteri, pejabat di jawatan, pemungut bea cukai, dan lain-lain yang berkenaan dengan harta benda kaum Muslimin. Semuanya itu hendaklah diangkat menurut kecakapan dan kejujuran, mengingat amanah tadi. Dan tiap-tiap yang telah diangkat itu pun jika mengangkat bawahannya hen-daklah memilih mana yang lebih cakap dan jujur pula. Bahkan sampai-sampai kepada jabatan menjadi imam shalat lima waktu, tukang adzan, tukang baca Al-Qur'an, sampai kepada guru-guru sampai kepada amiril haj (pemimpin rombongan haji), pembawa surat-surat pos, bendaharawan-bendaharawan, atase-atase militer besar dan kecil, pemimpin-pemimpin kabilah dan tua pasar, hendaklah angkat yang cakap.
Hendaklah tiap-tiap urusan kaum Muslimin itu, sejak dari amir-amir dan lain-lain menempatkan orang bawahannya itu di tempatnya yang betul, pilih mana yang dapat melaksanakan tugas dengan baik. Jangan seseorang diberi pekerjaan karena permintaannya sendiri atau terdahulu memintanya. Bahkan itulah yang harus dijadikan sebab buat tidak mengangkatnya. Karena tersebut di dalam satu hadits. Bahwa suatu kaum datang kepada Rasulullah ﷺ meminta suatu jabatan, lalu beliau tolak permintaan itu dengan sabda beliau,
“Kami tidak berikan kekuasaan pekerjaan ini kepada orang yang memintanya." (HR Bukhari)
Demikianlah kita kutipkan pembahasan Ibnu Taimiyah terhadap ayat-ayat amanah terkenal ini. Di dalam ayat ini telah dijelaskan bahwasanya Allah telah memerintahkan kamu.
Dengan kata memerintahkan itu teranglah bahwa mengatur pemerintahan yang baik dan memilih orang yang cakap adalah kewajiban, yang dalam ketentuan hukum Ushul Fiqh dijelaskan, berpahala barangsiapa yang mengerjakannya dan berdosa barangsiapa yang menganggapnya enteng saja.
Dari sini juga dapat dipahamkan bahwa bagi seorang Muslim memegang urusan kenegaraan artinya ialah memegang amanah. Dan urusan bernegara adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari agama. Tidaklah dapat seorang Muslim berlagak masa bodoh dalam soal kenegaraan. Di ayat ini diperintahkan kepada kamu meletakkan amanah kepada ahlinya. Kamu adalah orang banyak atau umat. Maka umat itulah yang membentuk pimpinan. Di zaman Rasul beliau sendirilah yang memegang pimpinan. Beliau diakui Allah sebagai Rasul-Nya dan beliau diakui umat sebagai pemimpinnya. Dengan ucapan syahadat, “Tidak ada tuhan melainkan Allah, Muhammad Rasulullah," berarti orang menyerahkan pimpinan kepada beliau dalam urusan agama dan urusan kehidupan dunia atau ber-negara. Sampai di tangan beliau, berdasar kepada perintah Allah, beliau serahkanlah segala urusan kepada ahlinya, sebagai amanah menurut ijtihad beliau. Setelah beliau wafat, akan memilih pengganti beliau memimpin orang banyak (khalifah), beliau serahkan kepada hasil musyawarah orang banyak itu sendiri. Setelah diadakan musyawarah dari segala golongan, ahkirnya diangkatlah Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. menjadi khalifah beliau. Ketika itu orang banyaklah yang menyerahkan amanah kepada ahlinya. Ini membuktikan bahwa orang banyak itu berdaulat.
Setelah beliau Abu Bakar ash~Shiddiq diberi kekuasaan yang luas itu, menjadi imam bagi kaum Muslimin, beliau pulalah yang menunaikan amanah kepada ahlinya masing-masing. Baik dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang peperangan atau dalam bidang perutusan. Beliau tilik misalnya, yang ahli memegang amanah buat memimpin peperangan besar di Yarmuk melawan bangsa Romawi ialah Khalid bin Walid. Sebab menurut ijtihad beliau, yang akan dapat diserahi memegang amanah memimpin perang sebesar itu tidak ada lain orang, melainkan Khalid. Dalam hal yang lain ada kekurangan-kekurangan Khalid, ada cacat pribadinya. Sebab itu Umar, sebagai pembantu utama Abu Bakar tidak setuju pengangkatan Khalid. Tetapi Abu Bakar bertanggung jawab penuh, keputusannyalah yang berlaku. Tetapi setelah Abu Bakar wafat dan Umar menggantikan jadi khalifah, perintahnya yang pertama sekali ialah menurunkan Khalid dari pangkatnya. Khalid dengan disiplin baja, taat akan keputusan itu. Pimpinan diserahkan kepada panglima baru, Abu Ubaidah. Khalid tetap melanjutkan perang sebagai perajurit biasa, di bawah Panglima Abu Ubaidah. Tetapi beberapa tahun kemudian Umar mengakui Abu Bakar memilih Khalid menjadi panglima itu. Memang Khalid ada kekurangan dalam hal lain, tetapi dalam hal memimpin perang di zaman itu tidaklah ada duanya. Tidak juga Abu Ubaidah yang diangkat jadi penggantinya itu.
Semata-mata “orang baik" belum tentu ahli dalam amanah yang diserahkan kepadanya, kalau amanah itu tidak cocok dengan bakatnya. Rasulullah ﷺ pernah memesankan kepada Abu Dzar al-Ghifari supaya dia sekali-kali jangan menginginkan diberi jabatan dalam pemerintahan. Abu Dzar demikian baik, masyhur jujurnya, dan sederhana hidupnya, tetapi bukan dia orang yang dapat diberi amanah pemerintahan.
Sebab itu, ada beberapa hadits Nabi memberi ingat bahwa orang yang meminta suatu pangkat, janganlah diberikan kepadanya pangkat itu.
Abdullah bin Umar masyhur salehnya beribadah. Shalat beliau diakui oleh sahabat-sahabat serupa benar dengan shalat Rasulullah.
Tetapi ketika Amiril Mukminin Umar bin Khaththab sudah luka karena ditikam si pengkhianat, ketika beliau menanam suatu komisi yang diketahui oieh Abdurrahman bin Auf buat mencari khalifah pengganti beliau. Abdullah bin Umar yang saleh hanya diizinkan oleh ayahnya buat menjadi pendengar saja kalau komisi bersidang. Ada orang mengusulkan kepada Umar agar anaknya dicalonkan pula untuk ganti beliau. Beliau menolak sekeras-kerasnya sebab dalam pandangan beliau, meskipun Abdullah bin Umar saleh beribadah, belum tentu dia akan sanggup memegang amanah pemerintahan. Bahkan beliau panggil Abdullah dan beliau beri nasihat supaya selama hidupnya dia jangan menuntut amanah yang tidak bisa dipikulnya itu. Abdullah bin Umar pun tahu diri sehingga bertahun-tahun kemudian setelah terjadi perang saudara di antara Ali dengan Mu'awiyah, karena Mu'awiyah ingin merebut hak itu, dia tidak campur kepada salah satu pihak.
Lantaran ini dalam pandangan hidup seorang Muslim menerima jabatan yang bukan keahlian adalah pengkhianatan.
“Dirawikan oleh Bukhari dalam Shahih-nya, dari Abu Hurairah r.a., bahwasanya Nabi ﷺ bersabda, “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah saatnya." Ditanya orang, “Bagaimana sia-sianya, ya Rasulullah?" Beliau jawab, “Apabila suatu urusan telah diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat (kehancurannya)." (HR Bukhari)
Dengan dasar semuanya ini menjadi tanggung jawablah bagi imam kaum Muslimin meletakkan suatu amanah pada ahlinya, yang
sesuai dengan kesanggupan dan bakatnya, jangan mementingkan keluarga atau golongan, sedang dia ternyata tidak ahli. Sebab itu adalah khianat kepada Allah dan Rasul dan orangyang beriman. Dan orang jangan berani menerima satu amanah kalau merasa diri tidak ahli. Tetapi sebaliknya pula, kalau memang pendapat umum mengetahui dan hati sanubarinya pun insaf bahwa dia dipikuli amanah itu memang karena keahliannya, hendaklah diterimanya, jangan mengelak. Sebab kalau dia mengelak, dia pun terjerat oleh kalimat kamu dalam ayat tadi. Kamu yang wajib melakukan perintah menjalankan amanah.
Setelah itu, masuklah kita ke lapangan yang luas. Pada hakikatnya orang ada diberi Allah bakat dan keahlian dan ada pula amanah yang mesti dipikulnya. Seorang tukang adalah pemegang amanah. Seorang petani adalah pemegang amanah. Buruh, ulama, guru, ibu bapak, suami istri, dan sekalian kegiatan hidup, yang satu melengkapkan yang lain. Maka tunaikanlah amanah sebaik-baiknya.
Menyia-nyiakan amanah adalah khianat. Mengkhianati amanah adalah salah satu tanda orang munafik. Menerima satu amanah untuk mengkhianatinya adalah satu penipuan.
Kata-kata amanah satu rumpun dengan kalimat aman. Kalau tiap orang memegang amanahnya dengan betul akan amanlah negeri dan bangsa. Dan kalimat amanah bersaudara pula dengan iman. Iman adalah kepercayaan dan amanah ialah bagaimana melancarkan iman itu. Dan simpulan amanah ialah amanah Allah kepada insan agar menuruti kebenaran yang dibawa oleh rasul-rasul. Amanah itu telah pernah ditawarkan kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Namun semuanya berat memikulnya dan menolak dengan segala kerendahan. Maka, tampillah kita insan ini ke muka menyanggupi memikul amanah itu, sayangnya manusia selalu berbuat aniaya dan tidak berterima kasih. (Lihat surah al-Ahzaab ayat 72)
MEMEGANG TERAJU KEADILAN
Kemudian datanglah sambungan ayat, “Dan apabila kamu menghukum di antara manusia, hendaklah kamu hukumkan dengan adil."
Inilah pokok kedua dari pembinaan pemerintahan yang dikehendaki Islam. Pertama tadi ialah menyerahkan amanah kepada ahlinya. Memikul pejabat yang sanggup memikul. Yang kedua ialah menegakkan keadilan. Hukum yang adil, bukan yang zalim. Pemegang teraju hukum hendaklah mengingat sumber hukum yang asli, yaitu hukum Allah dan tegakkanlah itu.
Ketika Abu Bakar ash-Shiddiq r.a. menerima jabatannya sebagai khalifah sebelum jenazah Rasulullah dikebumikan, beliau telah berpidato, “Aku telah diangkat menjadi pemimpin kamu, tetapi tidaklah aku ini lebih baik daripada kamu. Orang yang lemah di antara kamu, menjadi kuat di sisiku sebab hak-haknya akan aku ambilkan dari yang kuat. Dan orang yang kuat di antara kamu, lemahlah dia di sisiku. Sebab hak si lemah akan aku ambilkan daripadanya. Sekarang mari kita shalat.'1
Nabi ﷺ sendiri pernah mengatakan bahwa walau Fatimah binti Muhammad yang mencuri, akan beliau potong juga tangannya. Di dalam surah al-Ahzaab diterangkan bahwa kalau istri-istri Rasulullah ﷺ berbuat jahat, hukumnya dua kali lipat dari kejahatan yang dilakukan perempuan lain.
Pada suatu hari Ali bin Abi Thalib berhadapan perkara dengan seorang Yahudi di hadapan Qadhi Syuraih. Qadhi telanjur memanggil beliau dengan gelarnya Abu Masan. Beliau tegur qadhi di dalam menghadapi dua orang yang sedang berperkara,
1. Hendaklah samakan masuk mereka ke dalam majelis, jangan ada yang didahulukan.
2. Hendaklah sama duduk mereka di hadapan qadhi.
3. Hendaklah qadhi menghadapi mereka dengan sikap yang sama.
4. Hendaklah keterangan-keterangan mereka sama didengarkan dan diperhatikan.
5. Ketika menjatuhkan hukum hendaklah keduanya sama mendengar.
Selanjutnya Imam Syaffi mengatakan bahwa yang perlu ialah menyamakan sikap kepada kedua orang yang tengah berperkara dan tidak diwajibkan menyamakan rasa hati. Mungkin ada di antara kedua mereka yang lebih dikasihi atau dipandang lebih benar, tetapi hal itu tidak boleh ditunjukkan dalam sikap sebab itu bisa mengganggu akan jatuhnya hukum yang adil kelak. Kata beliau pula, sekali-kali tidak boleh diajar yang seorang menjawab pertanyaan supaya dia menang.
Demikian juga orang yang diambil jadi saksi. Beliau mengatakan pula, “Yang mendakwa jangan diajar bagaimana cara mendakwa dan menuntut sumpah. Yang terdakwa jangan diajar bagaimana cara memungkiri dakwa atau bagaimana mengaku. Saksi-saksi jangan diajar bagaimana cara memberikan kesaksian atau tidak memberikan kesaksian. Karena semua itu bisa menyusahkan salah satu pihak yang sedang berperkara atau menyakitkan hatinya sehingga dia merasa tidak diadili, melainkan dizalimi sebab hakim dirasanya berat sebelah." Malahan menurut Imam Syafi'i, meskipun hakim berkenalan baik dengan salah seorang yang sedang berperkara itu, namun selama berperkara dia tidak boleh menjamunya makan dan tidak pula boleh mengabulkan undangan jamuannya.
Pendeknya, maksud hakim atau qadhi ialah menyampaikan atau menghantarkan kebenaran ke tempat yang sebenarnya, dengan tidak dicampuri oleh maksud-maksud lain.
Soal-soal ini panjang lebar dibicarakan di dalam kitab-kitab fiqih.
“Sesungguhnya Allah, dengan sebaik-baiknya menasihati kamu." Artinya menjadi pesan yang sebaik-baiknyalah daripada Allah kepada seluruh kaum beriman supaya kedua pedoman
itu dipegang erat-erat, yaitu menyerahkan amanah kepada ahlinya dan menjatuhkan hukum dengan adil,
“Sesungguhnya Allah adalah Mendengar, lagi Memandang."
Didengar oleh Allah, baik ketika kamu yang menerima perintah memusyawarahkan siapa yang patut memikul suatu amanah, maupun ketika kamu berjanji di dalam suatu amanah, atau ketika dua orang yang berperkara di muka hakim sedang berdakwa dan berjawab. Allah pun memandang bagaimana kamu melaksanakan tugas dan kewajibanmu masing-masing. Adakah yang memegang amanah setia menjalankannya atau adakah seorang hakim benar-benar menjatuhkan hukum yang adil. Bukan telinga dan mata manusia saja yang menyaksikan, tetapi lebih dari itu semua, ialah Pendengaran dan Penglihatan Allah,
Maka janganlah kamu berlaku sebagai umat yang telah menerima sebagian dari Kitab tadi yang telah diisyaratkan pada ayat 53 di atas, sampai disusun Allah menjadi pertanyaan, “Bagaimana kalau mereka berkuasa?" Kalau mereka berkuasa, sebesar biji jambu perawas pun mereka tidak akan memberi kesempatan kepada manusia, janganlah sampai demikian hendaknya, kalau kamu, wahai kaum yang beriman diberi Allah kesempatan memegang kekuasaan.
Dengan menjaga yang dua itulah, yakni amanah dan adil, keamanan, keadilan dan kemakmuran akan tercapai sehingga tercapai apa yang pernah disabdakan Nabi. Seorang perempuan berjalan seorang diri dari Hirah (dekat Irak) ke Mekah, tidak ada yang mengganggu keamanannya.
Oleh ahli-ahli dibagilah amanah itu kepada tiga bagian.
1. Amanah hamba dengan Tuhannya. Mengikut suruh, menghentikan tegah, mencapai apa yang diridhai-Nya dan menyediakan segenap diri untuk mendekati Allah. Maka
segala maksiat dan dosa adalah khianat kepada Allah.
2. Amanah terhadap sesama Hamba Allah. Termasuk menyampaikan pekirim kepada yang berhak menerima, menyimpan petaruh (titipan) sampai yang empunya datang meminta, menyimpan rahasia yang dipercayakan orang, menjaga silaturahim keluarga, ketaatan menjunjung tinggi undang-undang negara. Termasuk pula di dalam amanah apabila pihak yang berkuasa dalam negara memelihara keamanan rakyat dan termasuk juga amanah ulama memimpin ruhani orang banyak. Pelanggar undang-undang adalah pengkhianat, pembuka rahasia negara kepada musuh adalah pengkhianat. Ulama-ulama yang membangkit-bangkit masalah khilafiyah yang membawa fitnah dalam kalangan umat adalah pengkhianat. Di dalam ini termasuk juga memegang amanah rumah tangga, tanggung jawab anak dan istri. Termasuk juga memegang amanah rahasia rumah tangga, rahasia suami istri,
3. Amanah insan terhadap dirinya. Menurut ar-Razi dalam tafsirnya, termasuk dalam ini, amanah di dalam memilih mana yang muslihat untuk diri, bagi kebahagiaan dunia dan akhirat Dan jangan mendahulukan kehendak syahwat dan angkara murka yang akan dapat membawa celaka. Termasukjugamenuntutilmu pengetahuan yang berfaedah. Bermata pencarian, jangan mengganggur. Ditambahkan lagi ialah menjaga kesehatan, berobat kalau sakit, menjaga diri ketika ada penyakit menular, misalnya dengan meminta suntikan TCD kepada dokter atau tidak minum air mentah ketika kolera terjadi.
Di dalam ayat ini didahulukan menyebut amanah daripada menyebut adil Karena amanahnya yang asli di dalam jiwa manusia.
Kalau amanah telah berdiri, tidaklah akan sampai terjadi tuduh-menuduh, dakwa-men-dakwa yang sampai ke muka hakim.
Maka banyaklah hadits yang mengenai amanah, sebagai berikut.
“Tanda orang munafik adalah tiga, apabila bercakap berdusta; apabila berjanji mungkir; apabila diberi amanah khianat." (HR Bukhari, Muslim, at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i dari Abu Hurairah)
“Tidak ada iman pada orang yang tidak ada amanah padanya, dan tidak ada agama pada orang yang tidak menghargai janji." (HR Imam Ahmad dan Ibnu Hibban dari Anas bin Malik)
KETAATAN KEPADA PENGUASA
Setelah diperintahkan menunaikan amanah kepada ahlinya dan memegang teraju keadilan terhadap manusia, sekarang datanglah perintah menegakkan pemerintahan dan ketaatan kepada undang-undang Allah.
Ayat 59
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul dan kepada orang-orang yang berkuasa di antara kamu."
Ayat ini dengan sendirinya menjelaskan bahwa masyarakat manusia, dan di sini dikhususkan masyarakat orang yang beriman, mestilah tunduk kepada peratuan. Peraturan Yang Mahatinggi ialah Peraturan Allah. Inilah yang pertama wajib ditaati. Allah telah menurunkan peraturan itu dengan mengutus rasul-rasul dan penutup segala Rasul ialah Nabi Muhammad ﷺ. Rasul-rasul membawa undang-undang Allah yang termaktub di dalam kitab-kitab suci, Taurat, Zabur, Injil, dan AI-Qur'an. Maka isi kitab suci semuanya, pokoknya ialah untuk keselamatan dan kebahagiaan kehidupan manusia. Ketaatan kepada Allah mengenai tiap-tiap diri manusia walaupun ketika tidak ada hubungannya dengan manusia lain. Umat beriman disuruh terlebih dahulu taat kepada Allah sebab apabila dia berbuat baik, bukanlah semata-mata karena segan kepada manusia dan bukan pula karena semata-mata mengharapkan keuntungan duniawi. Jika dia meninggalkan berbuat suatu pekerjaan yang tercela, bukan pula karena takut kepada ancaman manusia. Dengan taat kepada Allah menurut agama, berdasar iman kepada Allah dan hari Akhirat, manusia dengan sendirinya menjadi baik. Dia merasa bahwa siang dan malam dia tidak lepas dari penglihatan dan tilikan Allah. Dia bekerja karena Allah yang menyuruh. Dia berhenti karena Allah yang mencegah. Sebab itu, taat kepada Allah menjadi puncak yang sebenarnya dari seluruh ketaatan. Undang-undang suatu negara saja tidaklah menjamin keamanan masyarakat. Kalau tidak disertai oleh kepercayaan manusia yang bersangkutan bahwa ada kekuasaan yang lebih tinggi dari kekuasaan manusia akan menghukum jika dia berbuat salah.
Kemudian itu orang yang beriman diperintahkan pula taat kepada Rasul. Sebab taat kepada Rasul adalah lanjutan dari taat kepada Allah. Banyak perintah Allah yang wajib ditaati, tetapi tidak dapat dijalankan kalau tidak melihat contoh teladan. Maka contoh teladan itu hanya ada pada Rasul. Dengan taat kepada Rasul barulah sempurna beragama. Sebab banyak juga orang yang percaya kepada Allah, tetapi dia tidak beragama. Sebab dia tidak percaya kepada Rasul. Dapatlah disimpulkan perintah taat kepada Allah dan kepada Rasul dengan teguh kuat memegang Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Diperintahkan shalat lima waktu oleh Allah. Bagaimana mengerjakan shalat kalau tidak melihat contoh Rasulullah? Diperintahkan mengerjakan haji dan ibadah yang lain. Bagaimana caranya kalau tidak diikuti cara-cara Rasulullah mengerjakan haji dan lain-lain itu? Bahkan segala sikap hidup, tingkah laku, sopan santun Rasulullah menjadi contohlah semuanya. Barulah sah beragama.
Kemudian diikuti oleh taat kepada Ulil Amri minkum, orang-orang yang menguasai pekerjaan, tegasnya orang-orang berkuasa di antara kamu, atas daripada kamu. Minkum mempunyai dua arti. Pertama di antara kamu; kedua daripada kamu. Maksudnya, yaitu mereka yang berkuasa adalah daripada kamu juga, naik atau terpilih atau kamu akui kekuasaannya, sebagai satu kenyataan.
Sejak Rasulullah ﷺ berhijrah dari Mekah ke Madinah, sehari setelah sampai di Madinah telah berdiri suatu kekuasaan atau pemerintahan Islam yang Nabi ﷺ sendiri memegang tampuk pemerintahan. Di kiri kanannya berdirilah beberapa pembantu. Pembantu utama ialah empat orang: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Di samping yang empat orang itu terdapat lagi 6 orang, yaitu Zubair bin Awwam, Thalhah bin Ubaidullah, Sa'ad bin Abu Waqqash, Abu Ubaidah, dan Sa'id bin al-Ash. Di samping itu diangkat lagi kepala-kepala perang yang memimpin patroli-patroli (sariyah) Dan perang yang besar sifatnya Rasulullah sendiri yang memimpin. Sejak waktu itu sudah ditumbuhkan ketaatan kepada kekuasaan itu. Pelanggaran perintah penjaga lereng Bukit Uhud sehingga mendatangkan kekalahan bagi peperangan dianggap suatu kesalahan besar.
Urusan kenegaraan dibagi dua bagian. Yang mengenai agama semata-mata dan yang mengenai urusan umum. Urusan keagamaan semata-mata menunggu perintah dari Rasul dan Rasul menunggu wahyu dari Allah. Te-tapi urusan umum seumpama perang dan damai, membangunkan tempat beribadah dan bercocok tanam dan memelihara ternak
dan lain-lain umpamanya, diserahkan kepada kamu sendiri. Tetapi dasar utamanya ialah syura, yaitu permusyawaratan. Kadang-kadang anjuran permusyawaratan datang dari pimpinan sendiri.
“Dan musyawaratilah mereka pada urusan itu." (Aali ‘Iraraan: 159)
Pergaulan hidup mereka pun berdasar kepada musyawarah di antara mereka.
“Dan urusan-urusan mereka, mereka musyawarahkan di antara mereka (asy-Syuuraa: 38)
Hasil dari musyawarah ini menjadi kepu-tusan yang wajib ditaati oleh seluruh orang beriman. Yang menjaga berjalannya hasil syura ialah ulil amri. Dalam masyarakat itu sudah terang tidak semua orang yang terkemuka, tidak semua orang hadir dalam musyawarah dan tidak semua orang sanggup duduk dalam mempertimbangkan. Mereka menyerahkan urusan kepada yang ahli. Lalu taat kepada apa yang diputuskan oleh yang ahli itu.
Sebagaimana dikatakan di atas tadi, Rasulullah sendiri yang membagi urusan jadi dua: Agama dan Dunia. Nabi ﷺ bersabda,
“Barang yang berhubungan dengan agama kamu, maka serahkanlah kepadaku. Dan barang yang berkenaan dengan urusan dunia kamu, maka kamu lebih tahu dengan dia."
“Lebih tahu dengan dia," itu tentu dengan musyawarah, bukan dengan pengetahuan sendiri-sendiri. Dalam hal begini, Rasulullah ﷺ hanya melaksanakan keputusan bersama. Sebagaimana kita ketahui dalam Perang Uhud, ketika akan melaksanakan peperangan, sedangkan berperang adalah perintah dari Allah. Tetapi cara pelaksanaan mesti dimusyawarahkan. Nabi sendiri berpendapat lebih baik musuh ditunggu dengan bertahan di dalam kota. Ini adalah pendapat beliau sebagai manusia. Tetapi setelah dimusyawarahkan ternyata suara terbanyak ialah menyerang keluar kota. Rasulullah ﷺ tunduk kepada keputusan itu. Setelah pakaian perangnya dipakainya ada beberapa orang pemuda yang merasa—yakni sehabis keputusan—lebih baik pikiran Rasulullah itulah yang dituruti. Tetapi beliau marah atas sikap yang ragu-ragu itu. Sebab apabila keputusan sudah ada, tidak ada bicara lagi,
“Apabila engkau telah azam, maka bertawakallah kepada Allah." (Aali ‘Imraan: 159)
Ketaatan dalam saat yang demikian, kepada keputusan ulil amri atau pihak yang berkuasa, sudahlah menjadi kewajiban yang ketiga dalam agama, yang sama kuat kuasanya dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul.
Di sini kita mendapat beberapa pokok pembangunan kekuasaan dalam Islam.
1. Taat kepada Allah.
2. Taat kepada Rasul.
3. Taat kepada ulil amri dari kamu (di antara kamu)
Supaya ketaatan kepada ulil amri dapat dipertanggungjawabkan, urusan-urusan duniawi hendaklah dimusyawarahkan. Bahkan perintah-perintah Allah sendiri pun, mana yang kelancarannya berkehendak kepada duniawi, hendaklah dimusyawarahkan.
Misalnya, naik haji wajib. Untuk naik haji hendaklah mempunyai kapal. Ulil amri wajib mengikhtiarkan kapal itu. Kalau semua Mukmin diperintahkan membayar harga kapal itu oleh ulil amri, wajiblah mereka bayar. Tidak mau membayarnya, artinya melanggar agama!
Sebab urusan kenegaraan di saat itu telah menjadi agama.
Negara tempat berdiamnya kaum Muslimin satu-satu waktu wajib dipertahankan dari serangan musuh. Mengatur siasat untuk mempertahankan negara adalah kewajiban ulil amri. Apabila ulil amri memerintahkan tiap-tiap orang memanggul senjata mempertahankan negara, menjadi kewajiban agamalah menaati perintah itu. Bahkan kalau musuh telah masuk ke dalam negeri, menjadi fardhu ‘ain bagi tiap orang, laki-laki dan perempuan memanggul senjata.
Setelah pokok-pokok itu diketahui, bentuk susunan ulil amri itu sendiri tidaklah dicampuri sampai kepada yang berkecil-kecil oleh agama. Kata Rasulullah ﷺ tadi sudah memberi keluasan, “Kamu lebih tahu tentang urusan dunia kamu." Musyawarahlah bagaimana yang baik.
Sebab itu ketika Rasulullah ﷺ sendiri, di samping menjadi Rasul telah diakui oleh masyarakat Mukmin mengepalai juga urusan-urusan duniawi, menjadi kenyataanlah kekuasaan itu. Beliau tidak dipilih menjadi kepala negara dengan suara terbanyak, dengan pungutan suara misalnya. Sejak bermula, di samping diakui menjadi Rasul, sendirinya beliau telah diakui sebagai pemimpin. Dari kepemimpinan inilah beliau mengepalai negara dan memegang kekuasaan. Kelak setelah beliau wafat, dua hari jenazah beliau belum dikuburkan karena orang musyawarah terlebih dahulu siapa akan gantinya. Sebab beliau tidak meninggalkan wasiat politik tentang siapa akan gantinya. Lalu dipilih orang Abu Bakar. Yang memilih Abu Bakar pun bukan semua orang, melainkan orang-orang yang terkemuka saja, yang ada di Madinah waktu itu, dari sahabat-sahabat Muhajirin, terutama Umar dan Abu Ubaidah.
Merekalah yang mencalonkan Abu Bakar di dalam pertemuan yang dihadiri oleh pemuka-pemuka kaum Anshar. Pencalonan itu tidak dibantah orang karena pendapat umum mengakui memang Abu Bakarlah yang layak, malahan telah menghilangkan perselisihan di antara Anshar sama Anshar yang juga ada keinginan dari Sa'ad bin Ubadah, pemuka Anshar buat menjadi khalifah Nabi. Ali bin Abi Thalib pun pada hakikatnya pada muianya tidaklah setuju pencalonan Abu Bakar, tetapi perasaannya terhimpit oleh pendapat umum (public opinion) Setelah Abu Bakar diangkat, sampailah berita ke seluruh negeri, ke Mekah, ke Thaif, dan negeri-negeri lain. Orang pun menerima.
Ketika Abu Bakar merasa sakit hendak wafat, dia meninggalkan wasiat supaya Umar diakui oleh orang banyak menjadi gantinya. Pemuka-pemuka Muhajirin dan Anshar menerima wasiat beliau itu. Kemudian keangkatan Utsman sebagai ganti Umar beliau serahkan kepada keputusan suatu panitia kecil terdiri dari enam orang, yang dipimpin oleh Abdurrahman bin Auf. Itu pun diterima oleh orang banyak Abdurrahman bin Auf setelah mengadakan beberapa kali penelitian, peninjauan dan ajuk-mengajuk (hearing), kemudian telah menetapkan Utsman menjadi ganti Umar. Kemudian setelah Utsman mati terbunuh oleh suatu pemberontakan, Ali bin Abi Thalib diangkat orang sehingga berlakulah kuasanya di Madinah. Tetapi Mu'awiyah di Syam tidak menerima, sampai terjadi perang. Kemudian setelah terjadi perdamaian di Daumatul Jan-dal. Siasat delegasi pihak Ali yang dipimpin oleh Abu Musa Asy'ari kalah oleh siasat utusan Mu'awiyah yang dipimpin oleh Amr bin Ash. Kemudian dengan terbunuhnya Ali, yang oleh pengikut Ali diangkat untuk pengganti, ialah Hasan menyetujui usul-usul Mu'awiyah dan sebaliknya Mu'awiyah menyetujui pula usul-usul Hasan, dan dengan demikian de jure-lah Mu'awiyah menjadi khalifah. Kemudian oleh Mu'awiyah diubah sama sekali jalan yang ditempuh oleh khalifah-khalifah yang sebelumnya, diangkatnya anaknya Yazid menjadi calon untuk penggantinya nanti kalau dia mati, dan dipaksakannya dengan berbagai-bagai jalan supaya umat menerimanya.
Demikianlah sejarah perkembangan pilihan kepala pemerintahan.
Penguasa tertinggi, yang dinamai khalifah, dan dipanggilkan Amiril Mukminin bukanlah gelar atau panggilan di zaman Nabi, tetapi baru timbul kemudian, setelah kenegaraan itu bertumbuh. Amiril Mukminin kata panggilan kepada khalifah, baru timbul di zaman Umar.
Di samping pucuk kekuasaan itu adalah orang-orang terkemuka. Di zaman Nabi dan beberapa tahun belakang Nabi ialah pemuka Muhajirin dan pemuka Anshar. Kemudian dipandang istimewa orang-orang yang hadir dalam Peperangan Badar. Kemudian pemimpin pasukan perang. Di zaman Abu Bakar mulai timbul wali, yaitu sahabat-sahabat yang diutus menjadi gubernur ke negeri-negeri Mekah, Thaif, dan Yaman. Di zaman Umar lebih meluas lagi, meliputi Mesir, Syam, dan Irak.
Orang-orang inilah yang diajak musyawarah. Orang-orang inilah yang disebutkan Ahlul Halli wal ‘Aqdi artinya ahli mengikat dan menguraikan ikat.
Dengan ini sudah terang bahwa pada waktu itu belum ada perwakilan rakyat. Melainkan orang-orang terkemuka diajak musyawarah oleh khalifah dan oleh sebab itu diakui oleh orang banyak. Mereka diajak musyawarah.
Kemudian perkembangan keadaan (proses) yang ditimbulkan oleh Mu'awiyah menyebabkan khalifah tidak lagi pilihan Ahlul-Halli wal ‘Aqdi yang umum, tetapi kekuasaan dipegang oleh bani Umayyah, oleh satu kabilah atau suku. Yang dinamai Ashabiyah. Merekalah yang memaksakan (mendiktekan) kehendak mereka kepada orang banyak. Musyawarah yang rahasia hanya terbatas di kalangan mereka. Yang lain, kalau menentang dianggap musuh. Kemudian Bani Umayyah jatuh karena bangkit Bani Abbas. Kian lama musyawarah Ahlul-Halli wal ‘Aqdi kian jauh bertukar dengan kekuasaan mutlak kepala negara, yang masih dipanggil Amiril Mukminin dan bergelar khalifah itu.
Tetapi semua perkembangan ini tidaklah terlepas dari tinjauan ahli-ahli pikir Islam, Terutama ulama-ulama fiqih dan ahli-ahli ushuluddin. Niscaya pendapat mereka pun dipengaruhi oleh keadaan atau suasana ketika mereka hidup. Setengah ulama seperti Hasan Bishri terus terang menyatakan bahwa urusan syura telah rusak binasa karena perbuatan Mu'awiyah. Setengah ulama lagi membela Mu'awiyah bukan karena mengambil muka dan takut dihukum. Mereka katakan bahwa Mu'awiyah tidak dapat berbuat lain. Pengangkatan khalifah cara dahulu tidak bisa lagi karena akan banyak menimbulkan pertumpahan darah saja sebab timbulnya golongan-golongan. Oleh karena itu mesti ada ‘Ashabiyah yang kuat. Dan yang kuat waktu itu ialah Bani Umayyah.
Tentang ulil amri, setengah ulama berpendapat bukan ulama agama saja, bahkan termasuk juga panglima-panglima perang dan penguasa-penguasa besar, petani-petani dalam negara. Mohammad Abduh berpendapat, di zaman modem kita ini, direktur-direktur pengusaha besar, profesor-profesor, sarjana-sarjana di berbagai bidang, wartawan, dan lain-lain yang terkemuka di masyarakat adalah Ahlul-Halli wal ‘Aqdi, berhak diajak bermusyawarah.
Oleh sebab itu, jelaslah bahwa Islam memberikan lapangan luas sekali tentang siapa yang patut dianggap Ulil Amri, yang patut diajak musyawarah pemungutan suara, atau kepala pemerintahan saja menunjuk siapa yang patut, yaitu lalu diakui dan ditaati oleh orang banyak. “Kamu lebih tahu urusan dunia kamu."
Dengan ini semua dapat disimpulkan sebagai berikut.
1. Tentang taat kepada Allah menjadi kewajiban bagi semua, tidak ada tawar-menawar.
2. Tentang taat kepada Rasul, menjadi kewajiban semua, tidak ada tawar-menawar.
3. Tentang taat kepada ulil amri menjadi kewajiban bagi semua. Bagaimana menyusun ulil amri, apakah dipilih atau ditunjuk, terserahlah kepada kebijaksanaan kamu, menurut ruang dan waktu, asal, “Tunaikanlah amanah kepada ahlinya."
Bagaimana cara umat Islam memilih ulil amri? Melihat kepada jalan sejarah, diper-hubungkan dengan bunyi ayat ini teranglah bahwa susunan pemerintahan itu termasuk hak self determination bagi kaum Muslimin. Ahli filsafat sejarah yang terkenal, Ibnu Khaldun, yang oleh Toynbee diakui sebagai gurunya, artinya banyak memengaruhinya menyatakan juga dalam Muqaddimah-nyayang terkenal, bahwa bentuk-bentuk pemerintahan itu terserah kepada masing-masing negara.
Kemudian berkatalah sambungan ayat, “Maka jika bertikaian kamu dalam suatu hal, hendaklah kamu kembalikan dianya kepada Allah dan Rasul" Syukur kalau hasil musyawarah adalah kebulatan bersama yang memberi maslahat bagi bersama sehingga mudah dijalankan. Tetapi sewaktu-waktu tentu timbul perselisihan pendapat di antara ulil amri atau Ahlul-Halli wal Aqdi. Kalau terjadi selisih di antara yang bermusyawarah atau diajak bermusyawarah, perbandingkanlah perselisihan itu kepada ketentuan Allah dan Rasul. Ketentuan Allah dan Rasul baik yang berupa nash dari Al-Qur'an dan Hadits, ataupun kepada Roh-Syari'at, dengan menilik pendapat ahli-ahli Islam yang terdahulu atau dengan memakai qiyas perbandingan. Niscaya sudah terang bahwa suatu musyawarah urusan kenegaraan tidaklah bermaksud yang buruk, yang hendak menganiaya kepada orang banyak, sedang maksud Allah dan Rasul memang itu.
Asal seluruh yang musyawarah ingat bahwa taat kepada Allah dan Rasul adalah pokok pertama karena mereka adalah orang-orang yang beriman, pertikaian pikiran akan dapat diselesaikan apabila telah dikembalikan kepada Allah dan Rasul. Kalau masih ada selisih karena hawa nafsu saja, penguasa tertinggi atau Imam al-A'zham dapat mengambil tanggung jawab untuk memutuskan mana yang dia sukai yang menurut ijtihadnya itulah yang lebih dekat kepada kehendak Allah dan Rasul. Sebab itu, di ujung ayat dijelaskan, “Jika memang kamu percaya kepada Allah dan hari Akhirat." Kalau tidak percaya kepada Allah dan hari Akhirat, tentulah siapa yang kuat itulah yang di atas, dan siapa yang lemah, itulah yang tertindas sehingga bukan kebenaran jadi tujuan, tetapi hanya semata-mata kekuatan.
“Itulah yang sebaik-baik dan seelok-elok pengertian."
Peganglah pokok itu, itulah yang sebaik-baiknya dan itulah yang seelok-elok pengertian, tidak lain. Adapun susunan atau cara mencapainya, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Apatah lagi pintu ijtihad tidaklah tertutup buat selama-lamanya. Sejak zaman Rasulullah, sampai kepada zaman kita sekarang ini, telah terbentuk masyarakat Islam dan tegak beberapa negara Islam, dan dengan ayat ini dan ayat yang lain-lain sudahlah nyata bahwa memang dalam Islam tidak ada pemisahan di antara agama, dan agama tidak bisa jalan kalau tidak ada negara.
Dengan tidak tertutupnya pintu ijtihad buat selama-lamanya, dapatlah dipahamkan bahwa ijtihad bukanlah dalam hal-hal peri-badahan saja, misalnya batalkah wudhu bersentuh si laki-laki dan si perempuan, berapa kilo perjalanan baru bernama musafir dan baru boleh menjamak atau mengqashar. Atau masih wajibkah membaca al-Faatihah di waktu iman telah menjahar? Tetapi ijtihad lebih luas dari itu. Ahlul-Halli wal ‘Aqdi atau yang di dalam ayat disebut ulil amri, yang mencakup keahlian yang luas sekali, mengenai kenegaraan atau
keduniaan. Kita mesti berijtihad, yakni bersungguh-sungguh bagaimana Thalabul Kamal atau mencapai yang belum sempurna. Apatah lagi kita dapat mencontoh yang baik dari mana saja pun datangnya (ingat ayat 18 dari surah az-Zumar), dan menolak yang tidak sesuai dengan kepribadian kita, walaupun dari mana pula datangnya. Kita tidak meninggalkan yang lama hanya karena lamanya dan tidak mengambil yang baru hanya karena barunya. Asal kedua pokok pertama, taat kepada Allah dan Rasul tetap kita pegang, ijtihad selalu mesti berjalan sebab pikiran kita selalu mesti berjalan.
Kita tidak boleh membeku, terutama dalam urusan duniawi.
Kita ambil suatu perumpamaan yang menyedihkan dalam Kerajaan Islam Turki Osmani, di zaman pemerintahan Sultan Mahmud 11 (1223 Hijriyah, 1808 Miladiyah sampai 1255 Hijriyah, 1839 Miladiyah)
Ketika beliau naik tahta kerajaan, Turki telah dikepung dari segala jurusan terutama dari Tsar Rusia. Musuh mengancam dari mana-mana, namun tiap-tiap berperang lebih banyak kalah daripada menang. Sebabnya ialah karena kerajaan-kerajaan Eropa, yang dipelopori oleh bangsa Prusia dan disempurnakan oleh Napoleon telah mempunyai ilmu perang yang lebih teratur, dengan barisan-barisan yang kompak dan dengan kesatuan komando. Sedang Kerajaan Osmani hanya mempunyai tentara Inki-syariyah (Jenitshar) yang kolot. Di zaman dahulu, memang tentara itulah kemegahan bangsa Turki. Dengan tentara itulah Sultan Muhammad Penakluk (al-Fatih) menyerbu Konstantinopel dan menghancurkan Kerajaan Byzantium. Mereka menggantungkan kemenangan dengan keberanian belaka, sebagai tentara zaman kuno. Tetapi setelah tentara kerajaan-kerajaan Eropa teratur, Kerajaan Osmani tidak dapat lagi mencapai kemenangan dengan hanya keberanian.
Perang telah sangat maju ilmunya, terutama dengan ilmu perang Napoleon. Sultan-sultan Turki yang dahulu dari Mahmud 11 mengutus Wazir Besar menemui pimpinan telah merasai bahaya kehancuran Turki kalau masih menurut susunan Inkisyariyah. Tetapi siapa saja sultan yang berani hendak mengubah susunan tentara itu dan meniru cara Eropa, kaum Inkisyariyah tidak suka, selalu berontak bahkan mereka cari pengaruh untuk memakzulkan sultan. Bahkan ada sultan yang mereka bunuh. Tetapi Sultan Mahmud 11 sudah yakin, susunan tentara mesti diubah. Lalu dicarinya opsir-opsir Perancis yang telah pensiun dari bekas tentara Napoleon, di-mintanya datang ke Istanbul dan digajinya buat membentuk tentara model baru menurut Eropa.
Kaum Inkisyariyah dengan bantuan ulama-ulama yang sempit paham membuat propagarda di luaran bahwa perbuatan itu meniru orang kafir. Padahal ada hadits Nabi,
“Barangsiapa yang meniru menyerupai kafir, maka dia orang kafir pula."
Inilah hadits yang mereka pegang dan besar pengaruhnya kepada orang awam. Tetapi sultan berkeras pada pendiriannya. Pada suatu hari, dengan gelap mata lebih kurang 50.000 orang kaum Inkisyariyah mengadakan demonstrasi menuju istana dan dengan lengkap pula bersenjata. Dari jauh bersorak-sorak menyuruh sultan yang telah meniru orang kafir itu turun saja dari tahta sekarang juga. Akan tetapi sultan yang gagah perkasa itu, dengan dikelilingi oleh wazir-wazir dan orang besar-besar yang setia telah bersiap di istana. Sultan berkata, “Aku ingin akan pendirianku! Siapa yang setia kepadaku, tinggallah bersama aku. Dan siapa yang ragu pergilah menyebrang kepada mereka!"
Lalu sultan menyuruh mengeluarkan “Bendera Jihad Pusaka Nabi Muhammad ﷺ" supaya dikibarkan di muka istana. Setelah itu sultan menyuruh mengisi sekalian meriam yang ada di muka istana. Setelah itu sultan
demonstrasi, memberinya nasihat. Tetapi tambah dinasihati, mereka bertambah kalap dan mendekat. Sultan menggamit Wazir Besar menyuruh kembali. Setelah Wazir Besar kembali ke dekat Sultan, orang-orang yang 50.000 itu pun bertambah mendekat dan setelah dekat benar ke pekarangan istana, mereka tidak dapat dikendalikan lagi, “Tembaak!" Perintah sultan.
Lima buah meriam besar sekali meletus, tepat mengenai sasaran, hampir 40.000 mayat kaum Inkisyariyah berkeping-keping dan bergelimpangan, beribu-ribu luka berat dan enteng dan selebihnya lari tumpang-siur. Dengan demikian Sultan Mahmud II telah menyelesaikan kesulitan dalam negerinya dan tentara Turki menurut susunan yang baru telah Baginda tegakkan. Mulai waktu itu pula
Baginda menanggali pakaian cara lama dan memakai pakaian Panglima Tertinggi.
Sebab itu, sebagaimana kita katakan di atas tadi, Islam akan tetap hidup asal ijtihad
tidak padam. Dia akan tetap menjiwai negara, dengan taat kepada Allah dan Rasul, di mana saja. In syaa Allah! Dan memerhatikan kedudukan dengan alasan hadits, tetapi berpikiran beku adalah menghancurkan Islam itu sendiri.
KESIMPULAN
Dua ayat 58 dan 59 dari surah an-Nisaa' adalah dasar yang dipimpinkan oleh Allah dengan wahyu sebagai pokok pertama di dalam mendirikan sesuatu kekuasaan atau sesuatu pemerintahan.
Yang pertama ialah menyerahkan amanah kepada ahlinya. Tegasnya, hendaklah seluruh pelaksana pemerintahan, seluruh aparat pemerintah diberikan kepada orang yang bisa memegang amanah, orang yang ahli. Hak yang pertama ialah pada rakyat atau dalam istilah agama, pada umat. Pilihan pertama ialah pucuk pimpinan negara, atau sultan, atau khalifah,
atau presiden. Angkatan orang banyak yang pertama ialah dengan baiat. Orang banyak berjanji pula akan tetap memegang amanah.
Setelah dia terpilih, dia pun diberi kewajiban oleh Allah menyerahkan atau menunaikan amanah kepada ahlinya pula. Tidak pandang pilih kasih anak atau keluarga.
Setelah itu hendaklah dia menegakkan keadilan. Kalau menghukum di antara manusia hendaklah menghukum dengan adil.
Apakah ada pemisahan di antara pelaksanaan pemerintahan dengan kehakiman? Atau Trias Politika?
Ini tidak dibicarakan oleh Al-Qur'an. Ini adalah menilik perkembangan masyarakat itu sendiri. Tetapi Sayyidina Umar bin Khaththab dalam masa pemerintahannya telah mengangkat hakim terpisah dari kekuasaan beliau. Itulah Qadhi Syuraih yang terkenal. Qadhi Syuraih betul-betul terkenal keadilannya menjalankan hukum. Sunnah yang ditinggalkan Umar dituruti oleh khalifah-khalifah yang jujur di belakang beliau.
Sumber hukum ialah Al-Qur'an. Kemudian ialah Sunnah Rasul. Kalau tidak bertemu dalam Sunnah Rasul, dipakailah ijtihad. Tetapi ijtihad itu harus di dalam lingkaran Al-Qur'an dan as-Sunnah tadi juga. Di sinilah timbulnya apa yang disebut ijma dan Qiyas.
Setelah menerangkan dasar-dasar ini, datanglah perintah taat. Tempat taat yang pertama ialah Allah, kedua ialah Rasul, ketiga ialah ulil amri atau penguasa. Penguasa itu hendaklah minkum daripada kamu. Dia berkuasa karena kamu percayai (amanah) dan dia berkuasa karena kamu pilih. Dia dari kalangan kamu sendiri.
Tadi sudah diterangkan bahwa dasar mereka memerintah ialah perintah Allah dan Sunnah Rasul. Kalau tidak bertemu nash yang sharih, bolehlah ulil amri memakai ijtihadnya. Tetapi di ayat 59 ditegaskan bahwa kalau terjadi perselisihan, hendaklah dikembalikan kepada Allah dan Rasul jua. Hal yang demikian terjadi kalau ijtihad ulil amri tidak sesuai dengan pendapat umum atau dirasa jauh dari pangkalan. Hal ini tentu dimusyawarahkan bersama. Karena ulilamriyang datang minkum, sama-sama Islam tidak mungkin akan dengan sengaja membuat keputusan yang membawa selisih. Apabila telah dipulangkan kepada firman Allah dan Sunnah Rasul, perselisihan itu akan hilang dengan sendirinya. Sebab musyawarah adalah pokok prinsip yang tidak boleh ditinggalkan sama sekali.. Di dalam surah yang memakai nama musyawarah sampai pun kepada suatu pemerintahan ialah “orang-orang yang patuh akan panggilan Allah, mendirikan shalat dan segala urusan mereka musyawaratkan di antara mereka, dan mereka pun suka mengorbankan harta benda untuk kebajikan." (Surah asy-Syura ayat 28)
Pendeknya tidak akan terjadi selisih yang akan membawa pecah belah, asal tidak ada yang menyeleweng dari tujuan bersama. Dan kalau ternyata ada yang sengaja menyeleweng, bughat-lah namanya, dan sudah boleh diperangi. (Surah al-Hujuraat, ayat 9).
Untuk menjaga jangan sampai ditimpa marabahaya yang berlarut-larut karena berlainan pendirian, akan bertemu kelak pada surah an-Nisaa' ini juga, yang tidak menyetujui cita Islam itu buat menjadi pemimpinnya sehingga orang beriman tersingkir. Kalau itu kejadian, kemurkaan Allah akan menimpa.
Setelah ulil amri terpilih, dengan sendirinya dia mempunyai hak buat ditaati. Tetapi dia sendiri pun mempunyai kewajiban. Sebab, setiap hak ada imbangannya dengan kewajiban. Supaya dia ditaati dia mesti men-jalankan sepanjang Al-Qur'an dan as-Sunnah dan ijtihad yang tidak terlepas dari dalam rangka Al-Qur'an dan as-Sunnah.
Menulis ar-Razi dalam tafsirnya, Ali bin Abi Thalib berkata, “Menjadi kewajiban bagi imam supaya menghukum dengan apa yang diturunkan oleh Allah dan menunaikan amanah. Dan apabila imam telah berbuat demikian, menjadi kewajiban pulalah atas rakyat supaya mendengarkan dan mematuhi."
Az-Zamakhsyari di dalam al-Kasysyaaf-nya menulis, “Ulil amri minkum ialah amir-amir yang menjalankan kebenaran. Adapun amir-amir yang berlaku zalim, Allah dan Rasul-Nya tidak ada sangkut paut dengan orang semacam itu. Tidaklah Allah dan Rasui-Nya mewajibkan taat kepada mereka. Ulil amri yang diwajibkan menaatinya di samping menaati Allah dan Rasul ialah yang perbuatannya sesuai dengan kehendak Allah dan Rasul, yang mementingkan keadilan dan kebenaran.
Sebagai suatu contoh ketegasan taat kepada ulii amri ialah sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad daripada Ali bin Abi Thalib. Dia berkata, “Pada suatu waktu Rasulullah ﷺ mengirim suatu sariyah (angkatan perang yang bukan beliau sendiri memimpinnya) dan diangkatnya menjadi amirnya seorang dari Anshar. Rasulullah memerintahkan supaya semua tentara menaatinya. Setelah berangkat menuju tempat yang dituju, di tengah jalan amir itu tiba-tiba marah karena ada suatu kesalahan yang diperbuat anak buahnya. Dia pun berkata, “Bukankah Rasulullah sudah memerintahkan kepada kamu supaya taat kepadaku?" Semua menjawab, “Benar! Kami mesti taat kepada engkau!" Maka Amir itu berkata pula, “Sekarang aku perintahkan supaya kamu semua mengumpulkan kayu api lalu kamu nyalakan apinya, kemudian itu kamu sekalian harus masuk ke dalam api nyala itu!" Perintah itu mereka lakukan, kayu api mereka kumpulkan dan api mereka nyalakan. Tatkala mereka akan melakukan perintah yang ketiga itu, yaitu supaya kamu menyerbu ke dalam api nyala itu, ber-pandang-pandanganlah satu sama lain, lalu ada yang berani membuka mulut, “Selama ini kita taat kepada perintah Rasulullah ﷺ ialah karena kita hendak lari dari api. Mengapa sekarang kita akan menyerbu api?"
Sedang dalam keadaan demikian, api nyala itu berangsur padam dan kemarahan Amir itu pun berangsur turun. Setelah mereka kembali ke Madinah, peristiwa ini mereka sampaikan kepada Nabi ﷺ. Bersabdalah beliau, “Kalau kamu sekalian jadi masuk ke dalam api nyala itu, kamu tidak akan keluar-keluar lagi dari dalamnya, terus masuk neraka. Sebab kamu diperintah taat hanyalah kepada yang ma'ruf. Yaitu perintah yang benar."
Dan suatu jawaban yang jitu tentang taat ini ialah jawab dari seorang tabi'in kepada seorang Amir dari Bani Umayyah.
Amir itu berkata, “Bukankah kamu sudah diperintah Allah supaya taat kepada kami di dalam ayat ulil amri minkum itu?"
Tabi'in itu menjawab pertanyaan Amir itu dengan pertanyaan pula, “Bukankah engkau sendiri yang telah mencabut ketaatan itu dari kami, dengan sebab engkau telah menyeleweng dari kebenaran? Bukankah lanjutan ayat itu ialah, “Jika kamu telah bertikai dalam satu hal hendaklah kembalikan dia kepada Allah dan Rasul, jika memang kamu beriman kepada Allah.'1
Berkata ath-Thaibi, ketika menyebut taat kepada Rasul, taat itu diulang sekali lagi, “Dan taatlah kamu kepada Rasul." Pengulangan kalimat taat itu adalah isyarat ketaatan kepada Rasul dan adalah wajib di samping ketaatan kepada Allah. Tetapi setelah menyebut ulil amri, kalimat taat tidak diulang lagi. Ini adalah isyarat pula yang menunjukkan bahwa ada di antara ulil amri yang tidak boleh ditaati.
Inilah beberapa catatan yang perlu diperhatikan di dalam meneliti ayat yang penting bagi pembangunan masyarakat dan negara ini.