Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَغۡفِرُ
mengampuni mereka
أَن
bahwa
يُشۡرَكَ
dipersekutukan
بِهِۦ
denganNya
وَيَغۡفِرُ
dan Dia mengampuni
مَا
apa
دُونَ
selain
ذَٰلِكَ
demikian/itu
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَمَن
dan barang siapa
يُشۡرِكۡ
mempersekutukan
بِٱللَّهِ
dengan Allah
فَقَدِ
maka sungguh
ٱفۡتَرَىٰٓ
ia telah berbuat
إِثۡمًا
dosa
عَظِيمًا
besar
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يَغۡفِرُ
mengampuni mereka
أَن
bahwa
يُشۡرَكَ
dipersekutukan
بِهِۦ
denganNya
وَيَغۡفِرُ
dan Dia mengampuni
مَا
apa
دُونَ
selain
ذَٰلِكَ
demikian/itu
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُۚ
Dia kehendaki
وَمَن
dan barang siapa
يُشۡرِكۡ
mempersekutukan
بِٱللَّهِ
dengan Allah
فَقَدِ
maka sungguh
ٱفۡتَرَىٰٓ
ia telah berbuat
إِثۡمًا
dosa
عَظِيمًا
besar
Terjemahan
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), tetapi Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Siapa pun yang mempersekutukan Allah sungguh telah berbuat dosa yang sangat besar.
Tafsir
(Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni bila Dia dipersekutukan) artinya tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan-Nya (dan Dia akan mengampuni selain dari demikian) di antara dosa-dosa (bagi siapa yang dikehendaki-Nya) beroleh ampunan, sehingga dimasukkan-Nya ke dalam surga tanpa disentuh oleh siksa. Sebaliknya akan disiksa-Nya lebih dulu orang-orang mukmin yang dikehendaki-Nya karena dosa-dosa mereka, dan setelah itu barulah dimasukkan-Nya ke dalam surga. (Siapa mempersekutukan Allah, maka sesungguhnya ia telah berbuat dosa yang besar).
Tafsir Surat An-Nisa': 47-48
Wahai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putarkan ke belakang atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu. Dan ketetapan Allah pasti berlaku.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Ayat 47
Allah ﷻ memerintahkan kepada Ahli Kitab agar mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ, berupa Al-Qur'an. Di dalam Al-Qur'an terkandung berita yang membenarkan berita-berita yang ada pada kitab mereka menyangkut berita-berita gembira, dan mengandung ancaman bagi mereka jika mereka tidak mau beriman kepadanya. Ancaman ini disebutkan melalui firman-Nya:
“Sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putar ke belakang. (An-Nisa: 47)
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: “Sebelum Kami mengubah muka (kalian).” (An-Nisa: 47); At-tams artinya membalikkan, yakni memutarkannya ke arah belakang dan pandangan mereka pun menjadi ada di belakang mereka.
Dapat pula diinterpretasikan bahwa makna firman-Nya: “Sebelum Kami mengubah muka (kalian).” (An-Nisa: 47) adalah Kami tidak akan membiarkan adanya pendengaran, penglihatan, dan penciuman pada wajah mereka. Tetapi sekalipun demikian, Kami tetap memutarnya ke arah belakang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Sebelum Kami mengubah muka (kalian).” (An-Nisa: 47) Yang dimaksud dengan mengubahnya adalah membutakan matanya.
“Lalu Kami putar ke belakang.” (An-Nisa: 47) Maksudnya, Kami jadikan muka mereka berada di tengkuknya, hingga mereka berjalan mundur, dan kami jadikan pada seseorang dari mereka sepasang mata pada tengkuknya.
Hal yang sama dikatakan oleh Qatadah dan Atiyyah Al-Aufi. Hal ini merupakan siksaan yang paling berat dan pembalasan yang paling pedih. Apa yang diungkapkan oleh Allah dalam firman-Nya ini merupakan perumpamaan tentang keadaan mereka yang berpaling dari kebenaran dan kembali kepada kebatilan. Mereka menolak hujah (argumentasi) yang terang dan menempuh jalan kesesatan dengan langkah yang cepat seraya berjalan mundur ke arah belakang mereka.
Ungkapan ini menurut sebagian ulama sama maknanya dengan pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan kami adakan di hadapan mereka dinding.” (Yasin: 8-9), hingga akhir ayat. Dengan kata lain, hal ini merupakan perumpamaan buruk yang dibuatkan oleh Allah tentang mereka dalam hal kesesatan dan penolakan mereka terhadap petunjuk.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Sebelum Kami mengubah muka (kalian).” (An-Nisa: 47) Yakni sebelum Kami palingkan mereka dari jalan kebenaran.
“Lalu Kami putar ke belakang.” (An-Nisa: 47)
Maksudnya, mengembalikan mereka ke jalan kesesatan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah diriwayatkan hal yang serupa dari Ibnu Abbas dan Al-Hasan.
As-Suddi mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Lalu Kami putar ke belakang.” (An-Nisa: 47) Yaitu kami cegah mereka dari jalan kebenaran dan Kami kembalikan mereka kepada kekufuran, Kami kutuk mereka sebagai kera-kera (orang-orang yang bersifat seperti kera).
Menurut Abu Zaid, Allah mengembalikan mereka ke negeri Syam dari tanah Hijaz.
Menurut suatu riwayat, Ka'b Al-Ahbar masuk Islam ketika mendengar ayat ini.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Jabir ibnu Nuh, dari Isa ibnul Mugirah yang menceritakan, "Kami pernah membincangkan perihal Ka'b masuk Islam di dekat Maqam Ibrahim." Isa ibnul Mugirah mengatakan bahwa Ka'b masuk Islam pada masa pemerintahan Khalifah Umar. Pada mulanya ia berangkat menuju ke Baitul Maqdis, lalu ia lewat di Madinah, maka Khalifah Umar keluar menemuinya dan berkata kepadanya, "Wahai Ka'b, masuk Islamlah kamu." Maka Ka'b menjawab, "Bukankah kalian yang mengatakan dalam kitab kalian hal berikut (yakni firman-Nya): 'Perumpamaan orang-orang yang dipikulkan kepadanya Taurat, kemudian mereka tiada memikulnya adalah seperti keledai yang membawa kitab-kitab yang tebal.' (Al-Jumu'ah: 5) dan sekarang aku membawa kitab Taurat itu.” Maka Umar membiarkannya.
Kemudian Ka'b meneruskan perjalanannya. Ketika sampai di Himsa, ia mendengar seorang lelaki dari kalangan ulamanya sedang dalam keadaan sedih seraya membacakan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putar ke belakang.” (An-Nisa: 47) hingga akhir ayat. Setelah itu Ka'b berkata, "Ya Tuhanku, sekarang aku masuk Islam." Ia bersikap demikian karena takut akan terancam oleh ayat ini, lalu ia kembali dan pulang ke rumah keluarganya di Yaman, kemudian ia datang membawa mereka semua dalam keadaan masuk Islam.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dengan lafal lain melalui jalur lain. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Nufail, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Waqid, dari Yunus ibnu Hulais, dari Abu Idris (yaitu Aizullah Al-Khaulani) yang menceritakan tentang Abu Muslim Al-Jalili dan rombongannya, antara lain terdapat Ka'b; dan Ka'b selalu mencelanya karena ia bersikap lamban, tidak mau tunduk kepada Rasulullah ﷺ. Pada suatu hari Abu Muslim mengirimkan Ka'b untuk melihat apakah Rasulullah ﷺ itu benar seperti yang disebutkan olehnya (Ka'b). Ka'b mengatakan bahwa lalu ia segera memacu kendaraannya menuju Madinah.
Setelah sampai di Madinah, tiba-tiba ia menjumpai seorang qari' sedang membacakan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang telah diberi Al-Kitab, berimanlah kalian kepada apa yang telah Kami turunkan (Al-Qur'an) yang membenarkan Kitab yang ada pada kalian sebelum Kami mengubah muka (kalian), lalu Kami putar ke belakang.” (An-Nisa: 47) Maka ia segera mengambil air dan langsung mandi. Ka'b menceritakan, "Sesungguhnya aku benar-benar menutupi mukaku karena takut akan dikutuk, kemudian aku masuk Islam."
Firman Allah ﷻ: “Atau Kami kutuk mereka sebagaimana Kami telah mengutuk orang-orang (yang berbuat maksiat) pada hari Sabtu.” (An-Nisa: 47)
Yakni orang-orang yang melanggar larangan menangkap ikan pada hari Sabtu dengan memakai tipu muslihat. Mereka dikutuk oleh Allah menjadi kera-kera dan babi-babi. Dalam surat Al-A'raf kisah mengenai mereka akan dibahas secara terperinci.
Firman Allah ﷻ: “Dan ketetapan Allah pasti berlaku.” (An-Nisa: 47)
Apabila Allah memerintahkan sesuatu, maka Dia tidak dapat ditentang dan tidak dapat dicegah.
Ayat 48
Kemudian Allah ﷻ memberitakan bahwa “Dia tidak akan mengampuni dosa mempersekutukan Dia” yaitu Dia tidak akan memberikan ampunan kepada seorang hamba yang menghadap kepada-Nya dalam keadaan mempersekutukan Dia. “Dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” (An-Nisa: 48) Yang dimaksud dengan ma dalam ayat ini ialah segala macam dosa.
“Bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) dari kalangan hamba-hamba-Nya. Sehubungan dengan makna ayat ini banyak hadits yang berhubungan dengannya dalam keterangan-keterangannya. Maka berikut ini kami ketengahkan sebagian darinya yang mudah didapat sebagai berikut:
Hadis pertama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Sadaqah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abu Imran Al-Jauni, dari Yazid ibnu Abu Musa, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Kitab-kitab catatan amal perbuatan di sisi Allah ada tiga macam, yaitu: Kitab catatan yang tidak diindahkan oleh Allah adanya barang sedikit pun, kitab catatan yang tidak dibiarkan oleh Allah barang sedikit pun darinya, dan kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah. Adapun kitab catatan yang tidak diampuni oleh Allah adalah perbuatan mempersekutukan Allah.”
Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu.” (An-Nisa: 48), hingga akhir ayat.
“Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan untuknya surga.” (Al-Maidah: 72)
Adapun mengenai kitab catatan yang tidak diindahkan oleh Allah barang sedikit pun, berkaitan dengan perbuatan zalim seorang hamba kepada dirinya sendiri menyangkut dosa antara dia dengan Allah, seperti tidak berpuasa sehari atau meninggalkan suatu shalat; maka sesungguhnya Allah mengampuni hal tersebut dan memaafkannya jika Dia menghendaki.
Adapun mengenai kitab catatan yang tidak dibiarkan oleh Allah barang sedikit pun darinya, maka menyangkut perbuatan zalim sebagian para hamba terhadap sebagian lain, hukumannya ialah qisas sebagai suatu kepastian.”
Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid (menyendiri).
Hadis kedua.
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan di dalam kitab musnadnya: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Malik, telah menceritakan kepada kami Zaidah ibnu Abuz Zanad An-Namiri, dari Anas ibnu Malik, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Perbuatan zalim (dosa) itu ada tiga macam, yaitu perbuatan zalim yang tidak diampuni oleh Allah, perbuatan zalim yang diampuni oleh Allah, dan perbuatan zalim yang tidak dibiarkan begitu saja oleh Allah barang sedikit pun darinya.
Adapun perbuatan zalim yang tidak diampuni oleh Allah ialah perbuatan syirik (mempersekutukan Allah). Allah telah berfirman, "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar" (Luqman: 13).
Adapun perbuatan zalim yang diampuni oleh Allah ialah perbuatan zalim para hamba terhadap dirinya masing-masing menyangkut dosa antara mereka dengan Tuhan mereka.
Dan adapun mengenai perbuatan zalim yang tidak dibiarkan oleh Allah ialah perbuatan zalim sebagian para hamba atas sebagian lain, hingga Allah memperkenankan sebagian dari mereka untuk menuntut balas kepada sebagian lain (yang berbuat zalim).”
Hadis ketiga.
Imam Ahmad mengatakan. telah menceritakan kepada kami Safwan ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Saur ibnu Yazid, dari Abu Aun, dari Abu Idris yang menceritakan bahwa ia telah mendengar Mu'awiyah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Semua dosa mudah-mudahan diampuni oleh Allah kecuali dosa seseorang yang mati dalam keadaan kafir atau seseorang membunuh seorang mukmin dengan sengaja.”
Imam An-Nasai meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Mutsanna, dari Safwan ibnu Isa dengan lafal yang sama.
Hadis keempat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim, telah menceritakan kepada kami Abdul Hamid, telah menceritakan kepada kami Syahr, telah menceritakan kepada kami Ibnu Tamim, bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepadanya dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Wahai hamba-Ku, selagi kamu menyembah-Ku dan berharap kepada-Ku, maka sesungguhnya Aku mengampuni kamu atas semua dosa yang telah kamu lakukan. Wahai hamba-Ku, sesungguhnya jika kamu menghadap kepada-Ku dengan dosa-dosa yang sepenuh bumi, kemudian kamu berjumpa dengan-Ku dalam keadaan tidak mempersekutukan diri-Ku dengan sesuatu pun niscaya Aku membalasmu dengan ampunan sepenuh bumi’."
Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara munfarid bila ditinjau dari segi sanad ini.
Hadis kelima.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada Kami Husain Ibnu Buraidah; Yahya ibnu Ya'mur pernah menceritakan kepadanya bahwa Abul Aswad Ad-Dauli pernah menceritakan kepadanya bahwa Abu Zar pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang hamba mengucapkan kalimat ‘Tidak ada Tuhan selain Allah,’ kemudian ia meninggal dunia dalam keadaan seperti itu, niscaya ia masuk surga.” Aku (Abu Zar) bertanya, "Sekalipun dia telah berbuat zina dan mencuri?" Nabi ﷺ menjawab, "Sekalipun dia telah berbuat zina dan sekalipun dia telah mencuri." Abu Zar bertanya lagi, "Sekalipun dia telah berzina dan mencuri?" Nabi ﷺ menjawab, "Sekalipun dia telah berbuat zina dan sekalipun telah mencuri," sebanyak tiga kali, dan pada yang keempat kalinya beliau ﷺ bersabda, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos." Abul Aswad Ad-Daili melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Abu Zar keluar seraya menyingsingkan kainnya (karena ketakutan) sambil bergumam, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos." Dan tersebutlah bahwa setelah itu jika Abu Zar menceritakan hadits ini selalu mengatakan di akhirnya, "Sekalipun hidung Abu Zar keropos."
Imam Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkan hadits ini melalui Husain dengan lafal yang sama.
Jalur lain mengenai hadits Abu Zar. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan bahwa ketika ia sedang berjalan bersama Nabi ﷺ di tanah lapang Madinah pada suatu petang hari, seraya memandang ke arah Bukit Uhud, maka Nabi ﷺ bersabda, "Wahai Abu Zar!" Aku (Abu Zar) menjawab, "Labbaika, ya Rasulullah." Nabi ﷺ bersabda, "Aku tidak suka sekiranya Bukit Uhud itu menjadi emas milikku, lalu berlalu masa tiga hari, sedangkan pada diriku masih tersisa satu dinar darinya - kecuali satu dinar yang kusimpan untuk membayar utang - melainkan aku menyedekahkannya kepada hamba-hamba Allah seperti ini." Rasulullah ﷺ mengatakan demikian seraya meraupkan kedua tangannya dari arah kanan, dari arah kiri, dan dari arah depannya (memperagakan pengambilan untuk sedekahnya).
Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Setelah itu kami melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah ﷺ bersabda, 'Wahai Abu Zar, sesungguhnya orang-orang yang memiliki harta yang banyak kelak adalah orang-orang yang paling sedikit memiliki pahala di hari kiamat, kecuali orang-orang yang bersedekah seperti ini dan seperti ini.' Rasulullah ﷺ mengatakan demikian seraya memperagakannya dengan meraupkan kedua tangan dari arah kanan, arah kiri, dan bagian depannya." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Lalu kami melanjutkan perjalanan kami, dan Rasulullah ﷺ bersabda, 'Wahai Abu Zar, tetaplah kamu di tempatmu sekarang hingga aku datang kepadamu'." Abu Zar melanjutkan kisahnya, "Nabi ﷺ pergi hingga tidak kelihatan olehku. Lalu aku mendengar suara gemuruh, dan aku berkata (kepada diriku sendiri), 'Barangkali Rasulullah ﷺ mengalami suatu gangguan.' Ketika aku hendak mengikutinya, aku teringat kepada pesan beliau yang mengatakan, 'Jangan kamu tinggalkan tempatmu ini hingga aku datang kepadamu.' Maka terpaksa aku diam menunggu hingga beliau ﷺ datang. Lalu aku ceritakan kepadanya suara gemuruh yang tadi aku dengar.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia adalah Jibril, datang menemuiku, lalu berkata, 'Barang siapa dari kalangan umatmu yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya dia masuk surga’.” Aku (Abu Zar) bertanya, “Sekalipun dia telah berbuat zina dan sekalipun ia telah mencuri?” Rasulullah ﷺ bersabda, “Sekalipun dia telah berzina dan sekalipun dia telah mencuri."
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam kitab sahih masing-masing melalui hadits Al-A'masy dengan lafal yang sama.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Qutaibah, dari Jarir, dari Abdul Hamid, dari Abdul Aziz ibnu Raff, dari Zaid ibnu Wahb, dari Abu Zar yang menceritakan: Di suatu malam ia pernah keluar. Tiba-tiba ia bertemu dengan Rasulullah ﷺ yang sedang berjalan sendirian tanpa ditemani oleh seorang pun. Abu Zar mengatakan bahwa ia menduga Rasulullah ﷺ sedang dalam keadaan tidak suka berjalan dengan seorang teman pun. Maka aku (Abu Zar) berjalan dari kejauhan di bawah terang sinar rembulan. Tetapi Nabi ﷺ menoleh ke belakang dan melihatku. Maka beliau bertanya, "Siapakah kamu?" Aku menjawab, "Abu Zar, semoga Allah menjadikan diriku sebagai tebusanmu." Rasulullah ﷺ bersabda, "Wahai Abu Zar, kemarilah!" Lalu aku berjalan bersama beliau selama sesaat, dan beliau bersabda: “Sesungguhnya orang-orang yang memperbanyak hartanya adalah orang-orang yang mempunyai sedikit pahala kelak di hari kiamat, kecuali orang yang diberi kebaikan (harta) oleh Allah, lalu ia menyebarkannya (menyedekahkannya) ke arah kanan, ke arah kiri, ke arah depan, dan ke arah belakangnya, serta harta itu ia gunakan untuk kebaikan.”
Aku berjalan lagi bersamanya selama sesaat, lalu ia bersabda kepadaku, "Duduklah di sini." Beliau ﷺ menyuruhku duduk di suatu legokan yang dikelilingi oleh bebatuan. Kemudian beliau bersabda, "Duduklah di sini hingga aku kembali kepadamu!" Rasulullah ﷺ pergi ke arah harrah (padang pasir) hingga aku tidak melihatnya lagi. Beliau cukup lama pergi meninggalkan aku. Beberapa lama kemudian aku mendengar suara langkah-langkah beliau datang seraya mengatakan, "Sekalipun dia telah berzina dan sekalipun dia telah mencuri." Ketika beliau datang, aku tidak sabar lagi untuk mengajukan pertanyaan. Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, semoga Allah menjadikan diriku ini sebagai tebusanmu, siapakah orang yang berbicara denganmu di dekat harrah tadi? Karena sesungguhnya aku mendengar suara seseorang yang melakukan tanya jawab denganmu." Rasulullah ﷺ bersabda: “Dia adalah Jibril yang menampakkan dirinya kepadaku di sebelah padang itu, lalu dia berkata, ‘Sampaikanlah berita gembira ini kepada umatmu, bahwa barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya ia masuk surga’." Aku bertanya, "Wahai Jibril, sekalipun dia telah mencuri dan telah berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya, "Sekalipun dia telah mencuri dan telah berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya." Aku bertanya lagi, "Dan sekalipun ia telah mencuri dan telah berbuat zina?" Jibril menjawab, "Ya, sekalipun ia telah minum khamr."
Hadis keenam.
Abdu ibnu Humaid menceritakan di dalam kitab musnadnya: Telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Musa, dari Ibnu Abu Laila, dari Abuz Zubair, dari Jabir yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang dimaksud dengan dua perkara yang memastikan itu?" Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, pastilah ia masuk surga. Dan barang siapa yang mati dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu, pastilah ia masuk neraka.”
Abdu ibnu Humaid mengetengahkan hadits ini secara munfarid bila ditinjau dari sanad ini, lalu ia mengetengahkan hadits ini hingga selesai.
Jalur lain. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Amr ibnu Khallad Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Mansur ibnu Ismail Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Musa Ibnu Ubaidah At-At-Tirmidzi, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Ubaidah, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, melainkan magfirah (ampunan) dapat mengenainya; jika Allah menghendaki, Dia bisa mengazabnya; dan jika Dia menghendaki, Dia bisa mengampuninya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.”
Al-Hafidzh Abu Ya'la meriwayatkannya di dalam kitab musnad melalui hadits Musa ibnu Ubaidah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Ubaidah), dari Jabir bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Magfirah (ampunan Allah) terus-menerus mengenai seorang hamba selagi dia tidak melakukan hijab (dosa yang menghalangi ampunan).” Seseorang ada yang bertanya, "Apakah yang dimaksud dengan hijab itu, wahai Nabi Allah?" Nabi ﷺ menjawab, "Mempersekutukan Allah." Selanjutnya Nabi ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seseorang menghadap kepada Allah dalam keadaan tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, melainkan ia akan memperoleh ampunan dari Allah ﷻ. Jika Dia menghendaki untuk mengazabnya maka Dia akan mengazabnya, dan jika Dia menghendaki untuk mengampuninya maka Dia akan mengampuninya.” Kemudian Nabi ﷺ membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)
Hadis ketujuh.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Zakaria, dari Atiyyah, dari Abu Sa'id Al-Khudri yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu pun, niscaya dia masuk surga.”
Ditinjau dari segi sanad ini Imam Ahmad meriwayatkannya secara munfarid (menyendiri).
Hadis kedelapan.
Imam Ahmad mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Abu Qabil, dari Abdullah ibnu Nasyir, dari Bani Sari yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Rahm seorang ulama Syam mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Ayub Al-Ansari menceritakan hadits berikut: Di suatu hari Rasulullah ﷺ keluar menjumpai mereka (para sahabat). Lalu beliau bersabda, "Sesungguhnya Tuhan kalian Yang Maha Agung lagi Maha Tinggi telah menyuruhku memilih antara tujuh puluh ribu orang masuk surga dengan cuma-cuma tanpa hisab dan simpanan yang ada di sisi-Nya bagi umatku." Salah seorang sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah Tuhanmu menyimpan hal tersebut?" Rasulullah ﷺ (tidak menjawab), lalu masuk (ke dalam rumah), kemudian ke luar lagi seraya bertakbir dan bersabda, "Sesungguhnya Tuhanku memberikan tambahan kepadaku pada setiap seribu orang (dari mereka yang tujuh puluh ribu itu) ditemani oleh tujuh puluh ribu orang lagi, dan (menyuruhku memilih antara itu dengan) simpanan di sisi-Nya." Abu Rahm (perawi) bertanya, "Wahai Abu Ayyub, apakah yang dimaksud dengan simpanan buat Rasulullah itu menurut dugaanmu? Agar tidak menjadi bahan pertanyaan orang-orang yang nantinya mereka mengatakan, 'Apakah urusanmu dengan simpanan Rasulullah ﷺ?'." Akhirnya Abu Ayyub mengatakan, "Biarkanlah lelaki ini, jangan kalian hiraukan. Aku akan menceritakan kepada kalian tentang simpanan Rasulullah ﷺ itu menurut dugaanku bahkan dia mengatakan demikian seakan-akan merasa yakin. Sesungguhnya simpanan Rasulullah ﷺ itu adalah sabda beliau yang mengatakan: 'Barang siapa yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya, dengan lisannya yang dibenarkan oleh kalbunya, niscaya ia masuk surga'."
Hadis kesembilan.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ayahku telah menceritakan kepada kami, telah menceritakan kepada kami Muammal ibnul Fadl Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus. Juga telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani melalui suratnya yang ditujukan kepadaku, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus sendiri, dari Wasil ibnus Saib Ar-Raqqasyi, dari Abu Surah (keponakan Abu Ayyub Al-Ansari), dari Abu Ayyub yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang menghadap Nabi ﷺ, lalu bertanya, "Sesungguhnya aku mempunyai seorang keponakan yang tidak pernah berhenti dari melakukan perbuatan yang diharamkan." Nabi ﷺ bertanya, "Apakah agama yang dipeluknya?" Ia menjawab, "Dia shalat dan mengesakan Allah ﷻ" Rasulullah ﷺ bersabda, "Agamanya kamu minta saja. Apabila ia tidak mau memberikan, maka belilah darinya." Lelaki itu berangkat dan meminta hal tersebut kepada keponakannya, tetapi si keponakan tetap menolaknya (tidak mau memberi, tidak mau pula menjualnya). Maka lelaki itu datang menghadap Nabi ﷺ dan menceritakan hal tersebut seraya berkata, "Aku mendapatinya sangat teguh dengan agamanya." Abu Ayyub melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu turunlah firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48)
Hadis kesepuluh.
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Amr ibnud Dahhak, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Hammam Al-Hanai, telah menceritakan kepada kami Sabit, dari Anas yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, aku tidak pernah membiarkan suatu keperluan pun dan tidak pula seorang pun yang perlu ditolong melainkan aku memberinya." Rasulullah ﷺ bertanya, "Bukankah kamu telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusan Allah?" Hal ini dikatakannya sebanyak tiga kali. Lelaki itu menjawab, "Ya." Nabi ﷺ bersabda, "Maka sesungguhnya kesaksianmu itulah yang membuat (amalmu) semuanya diterima."
Hadis kesebelas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Amir, telah menceritakan kepada kami Ikrimah ibnu Ammar, dari Damdam ibnu Jausy Al-Yamami yang mengatakan bahwa Abu Hurairah pernah berkata kepadanya, "Wahai Yamami, jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap seseorang, 'Semoga Allah tidak mengampunimu, atau semoga Allah tidak memasukkanmu ke dalam surga'." Aku (Yamami) berkata, "Wahai Abu Hurairah, sesungguhnya kalimat tersebut biasa dikatakan oleh seseorang terhadap saudaranya dan temannya jika ia dalam keadaan marah." Abu Hurairah berkata, "Jangan kamu katakan hal itu, karena sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda,’Dahulu di kalangan umat Bani Israil terdapat dua orang lelaki; salah seorangnya rajin beribadah, sedangkan yang lainnya zalim terhadap dirinya sendiri (tukang maksiat); keduanya sudah seperti saudara. Orang yang rajin ibadah selalu melihat saudaranya berbuat dosa dan mengatakan kepadanya, "Wahai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Tetapi saudaranya itu menjawab, "Biarkanlah aku dan Tuhanku, apakah kamu ditugaskan untuk terus mengawasiku?" Hingga pada suatu hari yang rajin beribadah melihat saudaranya tukang maksiat itu melakukan suatu perbuatan dosa yang menurut penilaiannya sangat besar. Maka ia berkata kepadanya, "Wahai kamu, hentikanlah perbuatanmu." Dan orang yang ditegurnya menjawab, "Biarkanlah aku, ini urusan Tuhanku, apakah engkau diutus sebagai pengawasku?" Maka yang rajin beribadah berkata, "Demi Allah, semoga Allah tidak memberikan ampunan kepadamu, atau semoga Allah tidak memasukkanmu ke surga untuk selama-lamanya." Abu Hurairah melanjutkan kisahnya: Setelah itu Allah mengutus seorang malaikat untuk mencabut nyawa kedua orang tersebut, dan keduanya berkumpul di hadapan Allah. Maka Allah ﷻ berfirman kepada orang yang berdosa, "Pergilah, dan masuklah ke dalam surga karena rahmat-Ku." Sedangkan kepada yang lainnya Allah ﷻ berfirman, "Apakah kamu merasa alim, apakah kamu mampu meraih apa yang ada di tangan kekuasaan-Ku? Bawalah dia ke dalam neraka!" Nabi ﷺ bersabda, "Demi Tuhan yang jiwa Abul Qasim berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, sesungguhnya orang tersebut (yang masuk neraka) benar-benar mengucapkan suatu kalimat yang menghancurkan dunia dan akhiratnya."
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Ikrimah ibnu Ammar, bahwa Damdam ibnu Jausy menceritakan kepadanya dengan lafal yang sama.
Hadis kedua belas.
Imam Ath-Thabarani mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abusy Syekh, dari Muhammad ibnul Hasan ibnu Ajlan Al-Asfahani, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Syabib, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Hakam ibnu Abban, dari ayahnya, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Allah ﷻ berfirman, ‘Barang siapa yang mengetahui bahwa Aku mempunyai kekuasaan untuk mengampuni segala dosa, niscaya Aku memberikan ampunan baginya tanpa peduli selagi dia tidak mempersekutukan Aku dengan sesuatu’.”
Hadis ketiga belas.
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar dan Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Hudbah (yaitu Ibnu Khalid), telah menceritakan kepada kami Sahl ibnu Abu Hazm, dari Sabit, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Barang siapa yang dijanjikan suatu pahala oleh Allah atas suatu amal perbuatan, maka Dia pasti menunaikan pahala itu baginya. Dan barang siapa yang diancam oleh Allah mendapat suatu siksaan karena suatu amal perbuatan, maka Dia sehubungan dengan hal ini bersikap memilih (antara memaafkan dan menghukum).”
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahr ibnu Nasr Al-Khaulani, telah menceritakan kepada kami Khalid (yakni Ibnu Abdur Rahman Al-Khurrasani), telah menceritakan kepada kami Al-Haisam ibnu Hammad, dari Salam ibnu Abu Muti', dari Bakr ibnu Abdullah Al-Muzani, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa kami sahabat Nabi ﷺ tidak meragukan lagi terhadap pembunuh jiwa, pemakan harta anak yatim, menuduh berzina wanita yang memelihara kehormatannya, dan saksi palsu (bahwa mereka pasti masuk neraka), hingga turun ayat ini, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (An-Nisa: 48) Maka sejak saat itu semua sahabat Nabi ﷺ menahan diri dari persaksian.
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Al-Haitsam ibnu Hammad dengan lafal yang sama.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Abdul Malik ibnu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Asim, telah menceritakan kepada kami Saleh (yakni Al-Murri), telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak meragukan lagi terhadap orang yang dipastikan oleh Allah masuk neraka di dalam Al-Qur'an, hingga turun kepada kami ayat ini, yaitu firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya’. (An-Nisa: 48) Setelah kami mendengar ayat ini, maka kami menahan diri dari persaksian dan mengembalikan segala urusan kepada Allah ﷻ.”
Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Syaiban ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Harb ibnu Syuraib, dari Ayyub, dari Nafi', dari Ibnu Umar yang mengatakan, "Dahulu kami tidak mau memohon ampun buat orang-orang yang berdosa besar, hingga kami mendengar Nabi kami membacakan firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya' (An-Nisa: 48). Dan Nabi ﷺ telah bersabda: 'Aku tangguhkan syafaatku buat orang-orang yang berdosa besar dari umatku kelak di hari kiamat'."
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi', telah menceritakan kepadaku Muhabbar, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa ketika ayat ini diturunkan,yaitu firman-Nya: “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah.” (Az-Zumar: 53), hingga akhir ayat. Maka ada seorang lelaki berdiri dan bertanya, "Bagaimanakah dengan dosa mempersekutukan Allah, wahai Nabi Allah?" Rasulullah ﷺ tidak suka dengan pertanyaan tersebut, lalu beliau ﷺ membacakan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (An-Nisa: 48) Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih melalui berbagai jalur dari Ibnu Umar. Ayat yang ada dalam surat Az-Zumar tadi mengandung suatu syarat, yaitu tobat. Maka barang siapa yang bertobat dari dosa apapun, sekalipun ia melakukannya berulang-ulang, niscaya Allah menerima tobatnya. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Katakanlah, ‘Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kalian berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya’." (Az-Zumar: 53) Yaitu dengan syarat tobat. Seandainya diartikan tidak demikian, niscaya termasuk pula ke dalam pengertian ayat ini dosa mempersekutukan Allah. Pengertian ini jelas tidak benar, mengingat Allah ﷻ telah memastikan tiada ampunan bagi dosa syirik dalam ayat ini (An-Nisa: 48), dan Dia telah memastikan pula bahwa Dia mengampuni semua dosa selain dari dosa mempersekutukan Allah, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Dengan kata lain, sekalipun pelakunya belum bertobat, hal ini memberikan pengertian bahwa ayat surat An-Nisa ini lebih besar harapannya daripada ayat surat Az-Zumar tadi, bila ditinjau dari segi ini.
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.” (An-Nisa: 48)
Ayat ini sama maknanya dengan ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.” (Luqman: 13)
Di dalam kitab Sahihain disebutkan sebuah hadits melalui Ibnu Mas'ud yang menceritakan hadits berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, dosa apakah yang paling besar? Nabi ﷺ menjawab, "Bila kamu menjadikan tandingan bagi Allah, padahal Dialah Yang menciptakanmu.” hingga akhir hadits.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Maan, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Imran ibnu Husain, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku akan menceritakan kepada kalian tentang dosa besar yang paling berat, yaitu mempersekutukan Allah. Kemudian beliau ﷺ membacakan firman-Nya: ‘Barang siapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa besar.’ (An-Nisa: 48) ; dan menyakiti kedua orang tua. Lalu beliau membacakan firman-Nya: ‘Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku-lah kalian kembali’.” (Luqman: 14)
Boleh jadi karena orang-orang Yahudi merasa sebagai umat pilihan Tuhan, sehingga mereka beranggapan kalaupun mereka membuat kedurhakaan pasti akan diampuni oleh Allah, maka dalam ayat ini mereka diperingatkan dengan keras bahwa hal itu tidak akan terjadi. Sesungguhnya Allah Yang Mahaperkasa tidak akan pernah mengampuni dosa karena mempersekutukan-Nya, yakni dosa syirik, dan Dia mengampuni apa, yakni dosa, yang selain syirik itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah dengan yang lain, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar dan menganiaya diri sendiri Perilaku kaum Yahudi sungguh aneh, mereka mengaku mendapat petunjuk dan merasa sebagai umat pilihan Allah, tetapi mereka justru durhaka. Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang menganggap dirinya suci, yakni orang Yahudi' Sebenarnya Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana yang berhak menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka yang disucikan itu tidak dizalimi sedikit pun.
Allah sekali-kali tidak akan mengampuni perbuatan syirik yang dilakukan oleh hamba-Nya, kecuali apabila mereka bertobat sebelum mati. Syirik adalah dosa yang paling besar, karena orang musyrik beriktikad dan mempercayai bahwa Allah mempunyai sekutu dan tandingan yang sama derajatnya.
Dalam Al-Qur'an disebutkan berulang-ulang dosa syirik ini. Adapun dosa selain syirik, jika dikehendaki, Allah akan mengampuninya. Hal itu disesuaikan dengan hikmah kebijaksanaan-Nya dan menurut tata cara sunah-Nya yang berlaku. Misalnya yang berdosa itu benar-benar telah tobat dari dosanya dan mengiringi tobat itu dengan amal-amal saleh. Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik), dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki. Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang besar." (an-Nisa/4:48).
" ?Sesungguhnya barang siapa mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sungguh, Allah mengharamkan surga baginya, dan tempatnya ialah neraka. Dan tidak ada seorang penolong pun bagi orang-orang zalim itu". (al-Maidah/5:72).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sesudah Allah membuka kesalahan orang-orang yang telah diberi kitab karena sikap mereka yang tidak jujur, kemudian mereka diimbau kembali supaya mereka surut kepada jalan yang benar.
Ayat 47
“Wahai orang-orang yang telah dibeli Kitab."
Di sini sudah mengandung seruan yang umum, baik kepada Yahudi ataupun kepada Nashara. “Percayatah kamu kepada apa yang telah Kami turunkan." Yaitu AI-Qur'an yang telah diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ “Yang bersetuju dengan apa yang beserta kamuKarena isi ajaran Muhammad ﷺ
yang disampaikan sebagai wahyu, yaitu kitab Al-Qur'an, tidaklah ada selisihnya dengan kitab Taurat, yang diturunkan asli kepada Musa dan Injil yang diturunkan asli kepada Isa al-Masih. Sama-sama menyeru manusia ke-pada tauhid. Mengakui keesaan Allah, tidak mempersekutukan yang lain dengan Allah, tidak menyembah kepada berhala, atau memandang manusia sebagai tuhan, lalu disembah-sembah pula. Inilah dia pokok isi dari segala kitab yang diturunkan Allah dengan perantaraan segala nabi. Percayailah kitab yang diturunkan kepada Muhammad, wahai Ahlul Kitab.
“Sebelum Kami hapuskan beberapa muka, lalu Kami kembalikan dia ke belakangnya" Beberapa muka itu ialah pemimpin-pemimpin dan pemuka mereka, ketua agama mereka, yang selama ini menguasai penafsiran kitab-kitab itu dan mencegah orang berpikiran bebas mencari kebenaran. Sementara waktu mereka bisa mempertahankan kedudukan mereka, tetapi hal itu tidak akan lama. Kebenaran pasti menang dan naik. Pada saat itu, apabila mata orang telah berbuka, pemuka-pemuka itu akan “kehilangan muka" akan hapus ke permukaan mereka, tidak akan dihargai orang lagi sebab penafsiran mereka yang tidak jujur. Kami kembalikan mereka ke belakangnya, artinya tersingkir ke belakang, tidak menjadi pemuka lagi, tidak ada pengaruh lagi. Sebab pengaruh kebenaran Islam akan naik. Padahal jika mereka beriman sebelum hal itu terjadi, kedudukan mereka akan sama dengan orang yang telah beriman dan tidaklah mereka akan hina.
“Atau Kami kutuk mereka “sebab bertahan pada hawa nafsu itu sehingga ditimpakan Allah kepada mereka kecelakaan dan kehinaan, “Sebagaimana telah Kami kutuk orang-orang yang empunya Sabtu." Sebab orang-orang yang empunya Sabtu itu dengan keras mempertahankan kesucian hari Sabtu, segala pekerjaan mesti dihentikan, termasuk menangkap ikan. Tetapi karena ikan-ikan banyak menepi dari laut pada hari Sabtu, mereka cari sendiri helat agar ikan itu dapat juga. Petang hari Jum'at mereka pasang lukah, pagi hari Ahad mereka bangkitkan kembali sehingga mendapat banyak ikan. Mereka permainkan Allah, mereka sangka Allah bisa diakali dengan cara demikian. Mereka pun dikutuk Allah, dijadikan perangai beruk dan monyet yang menjijir dan mencemooh segala usaha orang lain, padahal dia sendiri tidak berusaha. Menyalahkan segala pekerjaan orang, padahal mereka sendiri tidak bekerja. Niscaya kutuklah yang akan mereka terima.
“Dan perinlah Allah adalah akan dikerjakan."
Artinya apabila ancaman Allah telah datang, akan terjadilah dengan pasti apa yang Dia ancamkan itu.
Ayat 48
“Sesungguhnya Allah tidaklah akan memberi ampun bahwa Dia diperserikatkan."
Inilah yang pokok dari ad-Din, agama, yaitu mengakui adanya Tuhan dan Tuhan itu hanya satu. Tidak ada yang lain yang berserikat atau yang bersekutu dengan Dia, baik dalam ketuhanan-Nya maupun dalam ke-kuasaan-Nya. Sama sekali yang ada ini, apa saja adalah makhluk-Nya. Sebab itu kalau ada orang yang menganggap bahwa ada yang lain yang turut berkuasa di samping Allah, turut menjadi Tuhan pula, sesatlah paham orang itu. Tidaklah Allah akan memberinya ampun. “Dan Dia akan memberi ampun yang selain demikian bagi barangsiapayang Dia kehendaki." Artinya, dosa-dosa yang lain, yang bukan dosa syirik, masih bisa diampuni oleh Allah untuk siapa-siapa yang patut diampuni menurut tilikan Allah. Makanya di ayat ini Allah memberi tekanan bahwa dosa selain syirik bisa diampuni bagi siapa yang Dia kehendaki karena pada umumnya suatu dosa besar timbul adalah karena telah syirik terlebih dahulu.
Sehingga tersebutlah di dalam hadits yang shahih,
“Tidaklah mencuri seorang pencuri, melainkan karena dia musyrik. Tidaklah berzina seorang pezina, melainkan karena dia musyrik."
Mengapa pencuri mencuri karena musyrik? Ialah karena ingatannya tidak satu lagi kepada Allah. Telah diduakannya dengan keinginannya yang jahat. Perintah dari keinginan yang jahat itulah yang memerintahnya sehingga dilanggarnya larangan Allah. Jangan mencuri! Orang yang berzina pun demikian. Orang telanjur berzina karena kepercayaannya kepada adzab Allah sudah tidak berpengaruh lagi kepada dirinya. Yang memengaruhi dia berzina ialah syahwatnya. Sesungguhnya demikian, pintu ampunan dari Allah masih terbuka kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya, yang dalam pandangan Allah ada padanya penyesalan yang benar-benar. Allah pun berfirman bahwasanya walaupun dosa syirik sekalipun, yang tidak bisa diampuni oleh Allah, akan diampuni-Nya juga apabila tobat betul-betul. Bukankah sahabat-sahabat Rasulullah yang besar-besar dahulunya adalah orang musyrik yang menyembah berhala semuanya? Setelah mengakui keesaan Allah dan mengakui kebenaran seruan Muhammad, diampuni dosa mereka dan mereka pun menjadi orang Islam yang baik. Oleh sebab itu, ayat ini memberikan pengertian bahwa dosa syirik itulah yang akan disingkiri benar-benar terlebih dahulu. Apabila tauhid telah matang, tujuan hanya satu kepada Allah saja, kebajikan yang lain akan menurut dan kejahatan yang lain dengan sendirinya akan hilang. Yang akan terdapat sekali-sekali agaknya hanya kesilapan berkecil-kecil sebagai manusia yang lemah. In syaa Allah, jika Allah menghendaki, itu akan diberi-Nya ampun, sebab pokok utama telah dipegang.
Apabila kita sambungkan ayat ini dengan ayat-ayat yang sebelumnya, terhadap pemuka-pemuka Yahudi tadi, diserulah mereka agar kembali kepada tauhid yang sejati. Apabila tauhid telah dipegang teguh, hati pun ter-bukalah menerima kebenaran Allah. Dengan sendirinya akan mereka terima segala wahyu yang diturunkan Allah, baik Taurat atau Injil maupun Al-Qur'an.
Tauhidlah jalan kelepasan jiwa dari segala ikatan. Sebab syirik adalah memandang ada pula yang berkuasa selain Allah dalam alam ini. Tauhid adalah jiwa bebas dari pengaruh alam. Syirik adalah jiwa budak. Tauhid tidaklah terpisah dari kata merdeka. Tauhid juga perhambaan, tetapi perhambaan kepada pencipta alam itu sendiri, jiwa kita ini pada hakikatnya mempunyai naluri hendak berlindung kepada yang kuat. Kalau sudah disadari bahwa yang kuat tidak ada di alam ini, mencarilah dia inti kekuatan yang sejati, yaitu Allah. Sesama manusia tidaklah kuat sebab dia manusia aku pun manusia. Barang apa pun yang ada di langit dan di bumi tidaklah berkuasa. Yang berkuasa ialah Penciptanya. Kepada Pencipta itu aku tunduk. Kalau dia taat setia kepada penguasa duniawi, tidaklah karena penguasa duniawi dianggapnya sebagai Tuhan, melainkan karena sudah kehendak Allah bahwa masyarakat manusia mempunyai peraturan-peraturan dan susunan. Lantaran itulah di zaman kuno, penguasa duniawi mencoba hendak mengambil hak Allah, sebagaimana Fjriaun yang disanggah keras oleh Musa. Sebab itu ditegaskan Allah di ujung ayat,
“Dan barangsiapa yang mempersekutukan dengan Allah, sesungguhnya dia telah membuat dusta suatu dosa yang besar."
Segala ajaran, baik berupa agama maupun berupa kekuasaan duniawi, yang mencoba hendak membuat makhluk Allah menjadi Tuhan atau disamakan kemuliaannya dan kekuasaannya dengan kemuliaan dan kekuasaan Allah, atau dipuja, disembah, dan di-ibadahi, seperti kepada Allah, semuanya itu adalah percobaan menyusun dan mengatur dosa besar, yang pasti akan selalu bertentangan dengan kehendak Allah. Bagaimana pun kuatnya susunan itu pada lahir, satu waktu mesti runtuh sebagai suatu hasil dari dosa. Sebagaimana kaum militer di jepang dahulu “menyusun" suatu dosa besar syirik, mengatakan bahwa Kaisar Jepang Hirohito adalah Tuhan, akhirnya telah menghancurkan negeri mereka sendiri.
Di tengah-tengah susunan dosa besar itulah di zaman dahulu datang rasul-rasul, sebagaimana Ibrahim menghadapi Namrudz, Musa menghadapi Fir'aun. Dariel menghadapi Nabukadnezar, dan lain-lain. Kadang-kadang manusia kecil yang lemah tampak dari luar berhadapan dengan kekuatan besar. Kalimat tauhid mendatangkan keberanian rasul-rasul itu menyatakan kebenaran. Allah jugalah yang menang. Usaha dan usia manusia terbatas. Kebesaran Allah tidak terbatas.
Segala dosa bisa diampuni, namun syirik tidak! Inilah pokok pegangan.
Abui Baqa' menyatakan pendapat tentang syirik demikian, “Syirik itu macam-macam. Ada syirik yang bernama syirik al-lstiqlal, yaitu menetapkan pendirian bahwa Allah ada dua dan keduanya bebas bertindak sendiri-sendiri. Seperti syiriknya orang Majusi (penyembah api) (Menurut mereka Tuhan ada dua, pertama Ahuramazda, Tuhan dari segala kebaikan dan kedua Ahriman, Allah dari segala kejahatan—penafsir) Ada syirik at-Tab'idh, yaitu menyusun Tuhan terdiri dari beberapa Tuhan, sebagaimana syiriknya orang Nasrani. Ada juga syirik at-Taqrib. yaitu beribadah, memuja kepada yang selain Allah untuk mendekatkan diri kepada Allah; sebagaimana syiriknya orang jahiliyyah zaman dahulu. Syirik at-Taqlid, yaitu memuja, beribadah kepada yang selain Allah karena taqlid (turut-turutan) kepada orang lain.
Syirik al-Asbab, yaitu menyandarkan pengaruh kepada sebab-sebab yang biasa; sebagaimana syiriknya orang-orang ahli filsafat dan penganut paham naturalis. (Mereka berkata bahwa segala kejadian alam ini tidak ada sangkut pautnya dengan Allah meskipun Tuhan itu ada. Melainkan adalah sebab akibat dari alam itu sendiri—penafsir) Syirik al-Aghraadh, yaitu beramal bukan karena Allah."
Berkata Abui Baqa' seterusnya, “Yang empat pertama tadi hukumnya ialah kufur, menurut ijma ulama."
Hukum dari yang keenam ialah maksiat (durhaka) bukan kafir, menurut ijma. Adapun hukum syirik yang kelima menghendaki penjelasan. Barangsiapa yang berkata bahwa sebab-sebab yang biasa itulah yang memberi bekas menurut tabiatnya, tidak ada sangkut paut dengan Allah kafirlah hukumnya. Barangsiapa yang berkata bahwa alam itu memberi bekas karena Allah telah memberikan kekuatan atasnya, orang itu adalah fasik" Sekian Syekh Abui Baqa'
Ada beberapa hadits yang mengenai syirik. Kita salinkan beberapa di antaranya,
“Dari Anas bin Malik, dari Nabi ﷺ Beliau bersabda,"Zhulm (keaniayaan) itu tiga macam. Satu keaniayaan tidak akan diampuni Allah. Satu keaniayaan lagi diampuni oleh Allah. Dan satu keaniayaan lagi tidak akan campur Allah padanya sesuatu jua pun. Adapun keaniayaan yang tidak akan diampuni Allah ialah syirik. Allah berfirman, ‘Sesungguhnya syirik itu adalah aniaya yang besar/ Adapun keaniayaan yang akan diampuni Allah ialah aniaya hamba atas diri mereka sendiri, pada barang yang di antara mereka, dengan Tuhan mereka. Dan adapun keaniayaan yang tidak dicampuri-Nya ialah keaniayaan hamba itu sendiri sesama mereka, sebelum mereka selesaikan di antara mereka." Diriwayatkan oleh Abu Bakar al-Bazzar dalam Musnad-nya.
Satu hadits lagi.
“Satu hadits dari Jabir, bahwa seorang desa datang bertanya kepada Rasulullah ﷺ, ‘Ya Rasulullah! Apakah dua hal yang mematikan?' Rasulullah menjawab, ‘1. Barangsiapa yang mati tidak mempersekutukan sesuatu pun dengan Allah, pastilah masuk surga. 2. Dan barangsiapa yang mempersekutukan dengan Dia, pastilah masuk neraka.'" (HR Muslim dan Abd bin Humaid dalam Musnad-nya)
Dan satu hadits lagi,
“Dari Abu Said al-Khudri, berkata dia, ‘Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Barangsiapa mati, tidak mempersekutukan sesuatunya dengan Allah akan masuk surga.'" (HR Imam Ahmad)
Az-Zamakhsyari menjelaskan maksudnya yaitu Allah tidak akan memberi ampun orang yang memperserikatkan yang lain dengan Dia. Tetapi kalau orang itu tobat sungguh-sungguh, niscaya akan diampuni-Nya. Dosa yang di bawah syirik pun diampuni ialah setelah orang-orang itu betul-betul minta tobat. Sebab itu dikatakan-Nya, “Bagi siapa yang Dia kehendaki."
Nashiruddin memberikan penjelasan begitu pula. Kata beliau, “Aqidah Ahlus Sunnah ialah bahwa syirik sekali-sekali tidak akan diberi ampun. Dan yang di bawah derajat syirik, yaitu dosa-dosa besar berbagai ragam akan diampuni bagi siapa yang Dia kehendaki. Ketentuan demikian bergantung kepada ada atau tidak adanya tobat. Tetapi kalau segera tobat sungguh-sungguh, keduanya diberi tobat."
JANGAN MENYUCIKAN DIRI
Segala diri manusia tidaklah sunyi dari keburukan dan kekotoran. Sebab manusia
penuh dengan hawa dan nafsu dan tidak lepas dari intipan setan. Sebab itu orang yang mencoba menyucikan diri, mengatakan tidak bersalah, bersih dari kesalahan, bukanlah orang yang patut disebut jujur. Berfirmanlah Allah,
Ayat 49
‘Tidakkah, engkau lihat kepada orang-orang yang membenihkan dirinya?"
Ayat ini berupa pertanyaan, tetapi mengandung celaan kepada orang yang mencoba mengatakan dirinya bersih, tidak berdosa, tidak pernah bersalah. Ayat ini masih bersambung dengan ayat-ayat sebelumnya, yaitu mengenai orang Yahudi yang selalu membersihkan diri. Di dalam surah al-Maa'idah ayat 18 kita dapati mereka mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak Allah dan kecintaan-kecintaan Allah. Di dalam surah al-Baqarah ayat 80 dikisahkan bahwa mereka pernah mengatakan bahwa kalau mereka masuk neraka hanyalah buat beberapa hari saja. Di dalam surah al-Baqarah ayat 111 diceritakan bahwa mereka pernah mengatakan bahwa yang akan masuk surga hanyalah orang yang menjadi Yahudi atau Nasrani saja.
Itu semuanya ialah gejala dari sifat menyucikan diri dan mengakui diri lebih dari segala orang. Orang Yahudi sampai zaman kita sekarang ini masih mendakwakan bahwa mereka adalah kaum yang telah dipilih Allah, jauh lebih istimewa daripada bangsa yang lain di dunia ini.
Lalu datang lanjutan ayat, “Bahkan Allah akan menyucikan siapa yang Dia kehendaki" Jangan manusia mengatakan dirinya suci sebab yang berhak mutlak menyucikan siapa hamba-Nya yang Dia kehendaki hanya Allah. Teroponglah ke dalam dirimu sendiri, niscaya engkau akan tahu bahwa engkau tidak sunyi daripada daki-daki dosa. Baik dosa besar apatah lagi dosa yang kecil. Hanya sekalian Rasul dan Nabi yang bersih dari dosa besar. Adapun dosa-dosa yang kecil-kecil, masih selisih paham di antara ulama, bersihkah beliau-beliau dari dosa-dosa kecil sama sekali atau ada juga sekali-sekali.
Bertambah tinggi martabat iman orang, bertambahlah diri cemburu akan dirinya, kalau-kalau masih ada amalannya yang kurang di sisi Allah. Sebaliknya pula, bertambah tipis iman orang, bertambah dia mencoba menyucikan diri, mengatakan tidak bersalah. Oleh sebab itu, janganlah berkata bahwa diriku ini telah bersih dari dosa, melainkan selalulah berusaha menyucikan diri dengan memperbanyak amalan dan tobat, mengerjakan yang diperintahkan Allah dan menghentikan yang dilarang, menjauhi sikap sombong dan takabur serta dengki dan hasad kepada sesama manusia. Kelak semuanya akan diperhitungkan di hadapan Allah. Moga-moga saja lebih banyaklah amalan kita yang baik daripada yang jahat ketika ditimbang kelak. Sebab itu ayat ini tidak lagi mengenai Yahudi saja, tetapi tuntunan bagi umat Muhammad agar jangan meniru itu. Datanglah ujung ayat menjelaskan bagaimana keadaan ketika akan ditimbang itu,
“Dan mereka tidaklah akan dianiaya, walaupun sedikit."
Ujung ayat ini menjelaskan bahwasanya pemeriksaan tentang salah dan benar, suci dan dosa, akan sangat teliti di hari akhirat. Ayat ini memberi kesan dalam jiwa kita bahwasanya tidak akan ada orang yang bersih sama sekali. Tetapi Allah tidaklah akan berlaku aniaya, semua manusia akan diberi ganjaran menurut berat dan ringan salahnya. Tujuan yang baik menuju kesucian di dalam hidup ini, dalam perjuangan menegakkan kesucian dan membendung pengaruh kejahatan, itulah perjuangan kita dalam hidup. Allah akan mempertimbangkan seadil-adilnya.
Ayat ini bukan saja mencela Yahudi. Bahkan mencela seluruh manusia yang mencoba menyucikan diri. Hadits-hadits mencela memuji diri dan menyucikan diri banyak sekali.
Memuji-muji orang lain akan menyebabkan orang itu lupa daratan terdapat banyak sekali.
Berkata Abu Musa ai-Asy'ari bahwa Nabi ﷺ pernah mendengar seseorang memuji orang lain dan menyanjung berlebih-lebihan. Lalu Rasulullah berkata,
“Kamu telah menghancurkan atau kamu telah memotong lehernya. “ (HR Bukhari dan Muslim)
Sebuah hadits lagi yang serupa itu artinya dirawikan oleh Bukhari dan Muslim dari Abu Bakrah. Satu hadits panjang dirawikan oleh Imam Ahmad dari Ma'bad al-Jahni, di antaranya berkata Rasulullah ﷺ,
“Sekali-kali jangan kamu memuji-muji, karena itu sama dengan memotong leher yang dipuji itu. “ (HR Imam Ahmad)
Bahkan Sayyidina Umar pernah mengatakan, “Kalau ada orang yang mendabik dada mengatakan dia Islam sejati, tandanya dia masih kafir. Barangsiapa yang mengatakan dia segala tahu (‘Alim), tandanya dia bodoh, Barangsiapa mengatakan dia masuk surga, tandanya dia akan jadi ahli neraka."
Selanjutnya Allah berfirman,
Ayat 50
“Pandangilah betapa mereka mengarang-ngarangkan dusta atas nama Allah."
Artinya pandanglah bagaimana mereka menyucikan diri, mengakui anak pilihan Allah, mengatakan yang berhak masuk surga hanyalah Yahudi dan Nasrani, mengatakan kalau mereka masuk neraka hanya beberapa hari saja, kemudian keluar kembali, lalu membanggakan amal usaha nenek-moyang mereka yang terdahulu. Padahal di sisi Allah semua makhluk-Nya sama. Yang mulia di sisi Allah hanyalah siapa yang lebih bertakwa kepada-Nya,
“Padahal sudah cukuplah semuanya itu menjadi dosa yang nyata."
Memuji diri dan menyucikan diri sudahlah cukup untuk dianggap sebagai dosa yang nyata. Menjadi dosa yang lebih nyata lagi kalau semuanya disangkutkan kepada Allah.
Ke dalam fitrah manusia yang murni senantiasa diberikan Allah ilham ketika menghadapi sesuatu urusan kehidupan. Mana pekerjaan yang jujur (jahat) dan mana pula yang takwa. Pekerjaan dosa dicegah oleh hati sanubari sendiri. Dosa ialah segala yang menghambat atau melambatkan kita akan sampai kepada kebajikan. Benar! Bahwa segala kegiatan hidup tidak ada yang semata-mata baik dan tidak ada yang semata-mata buruk. Di dalam Al-Qur'an ketika Allah memulai menyatakan bahaya meminum khamr dan berjudi dikatakan juga bahwa ada buruknya dan ada baiknya. Tetapi Allah menjelaskan bahwasanya bahaya dan dosa minuman keras dan judi jauh lebih besar daripada manfaatnya. Jelaslah pula bahwa menyucikan diri akan terhalanglah dia buat benar-benar mengusahakan kesucian batinnya dengan beramal.
Ketika agama Islam mulai diajarkan oleh Rasulullah ﷺ, beliau berhadapan dengan kaum Yahudi yang menyucikan diri dan membanggakan golongan. Lalu sikap yang demikian dicela oleh Al-Qur'an. Sekarang zaman telah beredar. Penyakit menyucikan diri terdapat pula dalam kalangan umat yang mendakwakan dirinya pengikut Muhammad, Kebanyakan umat Islam mengatakan bahwa merekalah yang berhak masuk surga, sebagaimana dahulu Yahudi dan Nasrani mendakwakan bahwa merekalah yang berhak masuk surga. Walaupun tidak beramal walaupun tidak membuktikan dengan pekerjaan apa yang akan menyebabkan mereka masuk dalam surga.
Ajaran Nabi Musa di dalam Taurat dan ajaran Nabi Isa di dalam Injil dan ajaran Nabi Muhammad di dalam Al-Qur'an setelah diambil sarinya, nyatalah sama-sama mencela orang yang menyucikan diri dan membanggakan golongan dengan tidak beramal. Jika hal ini dicela oleh Al-Qur'an terhadap orang Yahudi yang hidup di waktu ini, bukan berarti bahwa umat yang mengakui dirinya Islam dibo-lehkan berbuat yang demikian itu. Ketika orang Yahudi membuat dosa yang nyata ini, menyucikan diri, dan memandang hina orang lain, sudahlah nyata bahwa perangai ini menjadi tanda bahwa keagamaan mereka sudah mundur. Agama cuma tinggal nama dan tidak dikerjakan. Kalau dalam kalangan Islam sendiri, baik di zaman mana jua pun terdapat pula yang seperti ini, jelaslah bahwa ini pun suatu tanda dari kemunduran keagamaan mereka