Ayat
Terjemahan Per Kata
يَوۡمَئِذٖ
pada hari itu
يَوَدُّ
ingin
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
وَعَصَوُاْ
dan orang-orang yang mendurhakai
ٱلرَّسُولَ
rasul
لَوۡ
sekiranya/supaya
تُسَوَّىٰ
disama-ratakan
بِهِمُ
dengan mereka
ٱلۡأَرۡضُ
bumi
وَلَا
dan tidak
يَكۡتُمُونَ
mereka menyembunyikan
ٱللَّهَ
Allah
حَدِيثٗا
sesuatu kejadian
يَوۡمَئِذٖ
pada hari itu
يَوَدُّ
ingin
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
وَعَصَوُاْ
dan orang-orang yang mendurhakai
ٱلرَّسُولَ
rasul
لَوۡ
sekiranya/supaya
تُسَوَّىٰ
disama-ratakan
بِهِمُ
dengan mereka
ٱلۡأَرۡضُ
bumi
وَلَا
dan tidak
يَكۡتُمُونَ
mereka menyembunyikan
ٱللَّهَ
Allah
حَدِيثٗا
sesuatu kejadian
Terjemahan
Pada hari itu orang-orang yang kufur dan mendurhakai Rasul (Nabi Muhammad) berharap seandainya mereka diratakan dengan tanah (dikubur atau hancur luluh menjadi tanah), padahal mereka tidak dapat menyembunyikan suatu kejadian pun dari Allah.
Tafsir
(Di hari itu) yakni hari kedatangannya (orang-orang kafir dan yang mendurhakai Rasul menginginkan agar) seandainya (mereka disamaratakan dengan tanah) tusawwaa dalam bentuk pasif dan ada pula yang membacanya dalam bentuk aktif dengan menghilangkan salah satu dari ta-nya pada asal lalu mengidgamkannya pada sin artinya dari tustawa sedangkan maksudnya ialah mereka ingin agar menjadi tanah karena mereka tercekam rasa takut yang hebat sebagaimana tersebut pada ayat lain, "Dan orang kafir berkata, 'Wahai kiranya nasib, kenapa daku tidak menjadi tanah saja!' (dan mereka tidak dapat menyembunyikan kepada Allah suatu peristiwa pun) mengenai apa yang mereka kerjakan." Tetapi pada kali yang lain mereka masih mencoba-coba juga untuk menyembunyikan sebagaimana tersebut dalam Al-Qur'an, "Dan mereka berkata, 'Demi Allah Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan-Mu.'".
Tafsir Surat An-Nisa': 40-42
Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah ; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar.
Maka bagaimanakah (halnya orang kafir nanti) apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).
Pada hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.
Ayat 40
Allah ﷻ berfirman memberitakan bahwa Dia tidak akan menzalimi seorang makhluk di hari kiamat nanti barang sebesar biji sawi pun, tidak pula barang seberat zarrah (sesuatu yang paling kecil), melainkan Dia pasti membalas dan melipatgandakannya jika hal itu merupakan amal kebaikan. Sebagaimana disebutkan dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
“Kami akan memasang timbangan yang tepat.” (Al-Anbiya: 47)
Allah ﷻ telah berfirman pula menceritakan perihal Luqman, bahwa ia pernah mengatakan, seperti yang disitir oleh firman-Nya: “Wahai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi niscaya Allah akan mendatangkannya.” (Luqman: 16)
Dan dalam ayat yang lain Allah ﷻ telah berfirman: “Pada hari itu manusia keluar dari kuburannya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az-Zalzalah: 6-8)
Di dalam kitab Sahihain melalui hadits Zaid ibnu Aslam, dari ‘Atha’ ibnu Yasar, dari Abu Sa'id Al-Khudri, dari Rasulullah ﷺ sehubungan dengan hadits syafaat yang cukup panjang. Di dalamnya antara lain disebutkan hal berikut: Maka Allah ﷻ berfirman, "Kembalilah kalian. Maka barang siapa yang kalian jumpai dalam kalbunya iman sebesar biji sawi, keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka.” Dalam lafal yang lain disebutkan: "Kadar iman yang jauh lebih kecil, jauh lebih kecil, jauh lebih kecil dari zarrah, maka keluarkanlah dia oleh kalian dari neraka. Lalu keluarlah dari neraka manusia yang jumlahnya banyak." Kemudian Abu Sa'id mengatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka firman Allah ﷻ berikut, yaitu: ‘Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah’.” (An-Nisa: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Sa'id Al-Asyaj, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Harun ibnu Antarah, dari Abdullah ibnus Saib, dari Zazan, bahwa sahabat Abdullah Ibnu Mas'ud pernah mengatakan hal berikut: Kelak di hari kiamat seorang hamba laki-laki atau seorang hamba perempuan didatangkan, lalu ada juru penyeru menyerukan di kalangan semua makhluk, baik yang terdahulu maupun yang terkemudian, "Ini adalah Fulan bin Fulan. Barang siapa yang mempunyai hak terhadapnya, hendaklah ia datang mengambil haknya." Maka hamba wanita merasa gembira bila ia mempunyai hak atas ayahnya atau ibunya atau saudaranya atau suaminya. Kemudian Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: “Maka tidak ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.” (Al-Muminun: 101); Lalu Allah memberikan ampunan dari hak-Nya menurut apa yang dikehendaki-Nya, tetapi Dia tidak akan memberikan ampunan barang sedikit pun yang bertalian dengan hak-hak orang lain. Lalu hamba yang dipanggil dihadapkan di muka orang-orang (yang bersangkutan dengannya), dan Allah ﷻ berfirman kepadanya, "Berikanlah kepada orang-orang itu hak-hak mereka!" Hamba yang bersangkutan menjawab, "Ya Tuhanku, dunia telah lenyap. Dari manakah aku dapat memenuhi hak-hak mereka?" Allah ﷻ berfirman, "Ambillah oleh kalian dari amal-amal salehnya!" Lalu para malaikat memberikan kepada orang-orang itu haknya masing-masing sesuai dengan perbuatan zalim si hamba (terhadap dirinya). Jika si hamba yang bersangkutan adalah kekasih Allah, dan masih ada tersisa sebesar zarrah dari amal salehnya, maka Allah melipatgandakannya untuk si hamba hingga si hamba masuk surga karenanya. Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya kepada kami, yaitu: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya.” (An-Nisa: 40); Jika si hamba yang bersangkutan adalah orang yang celaka, maka malaikat yang ditugaskan berkata melapor, "Ya Tuhanku, semua kebaikannya telah habis, sedangkan orang-orang yang menuntutnya masih banyak." Lalu Allah ﷻ berfirman, "Ambillah dari amal keburukan mereka, kemudian tambahkanlah kepada amal keburukan si hamba itu." Kemudian si hamba yang bersangkutan dibelenggu dan dimasukkan ke dalam neraka.
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur lain dari Zazan dengan lafal yang serupa. Sebagian dari kandungan atsar ini mempunyai syahid (bukti) yang memperkuatnya dari hadits yang shahih.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Fudail (yakni Ibnu Marzuq), dari Atiyah Al-Aufi, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Umar yang mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang Arab Badui, yaitu firman-Nya: “Barang siapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.” Al-An'am: 160); Seorang lelaki bertanya, "Wahai Abu Abdur Rahman, lalu apakah buat orang-orang Muhajirin?" Abdullah ibnu Umar menjawab, "Bagi mereka ada pahala yang lebih utama dari itu, yakni yang disebutkan di dalam firman-Nya: 'Sesungguhnya Allah tidak menzalimi seseorang walaupun sebesar zarrah; dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar'." (An-Nisa: 40)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku ‘Atha’ ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan jika ada kebajikan sebesar zarrah, niscaya Allah akan melipatgandakannya.” (An-Nisa: 40)
Adapun orang musyrik, diringankan darinya azab di hari kiamat, tetapi ia tidak dapat keluar dari neraka selama-lamanya. Ia mengatakan demikian atas dasar dalil hadits sahih yang menyebutkan bahwa Al-Abbas pernah bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya pamanmu Abu Thalib dahulu selalu melindungimu dan menolongmu, apakah engkau dapat memberikan sesuatu manfaat untuknya?" Nabi ﷺ menjawab: “Ya, dia berada di bagian pinggir (atas) dari neraka. Seandainya tidak ada aku, niscaya dia berada di bagian paling bawah dari neraka.” Tetapi barangkali hal ini hanya khusus bagi Abu Thalib, bukan untuk orang-orang kafir. Sebagai dalilnya ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud At-Tayalisi di dalam kitab musnadnya: Telah menceritakan kepada kami Imran, telah menceritakan kepada kami Qatadah, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menzalimi orang mukmin walaupun suatu kebaikan, Allah memberinya pahala rezeki di dunia, dan memberinya balasan pahala di akhirat nanti. Adapun orang kafir, maka Allah hanya memberinya di dunia; dan apabila hari kiamat, maka dia tidak memiliki suatu kebaikan pun.”
Abu Hurairah, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Qatadah, dan Adh-Dhahhak mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan memberikan pahala yang besar dari sisi-Nya.” (An-Nisa: 40) Yakni berupa surga. Kami memohon rida Allah dan surga.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Sulaiman (yakni Ibnul Mugirah), dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman yang menceritakan, "Telah sampai kepadaku dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Allah ﷻ membalas satu kebaikan seorang hamba yang mukmin dengan sejuta kebaikan." Ali ibnu Zaid melanjutkan kisahnya, bahwa ia mendapat kesempatan untuk berangkat melakukan haji atau umrah, lalu ia menjumpai Abu Usman. Ia bertanya, "Sesungguhnya telah sampai kepadaku sebuah hadits darimu bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda, 'Suatu kebaikan seorang hamba mendapat balasan sejuta kebaikan'." Aku (Abu Usman) berkata, "Kasihan kamu. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku, tetapi aku belum pernah mendengar hadits ini darinya." Maka aku berangkat dengan tujuan untuk menemui Abu Hurairah, tetapi aku tidak menjumpainya karena ia telah berangkat menunaikan haji. Aku pun berangkat pula menunaikan haji untuk mencari hadits ini. Ketika aku menjumpainya, aku langsung bertanya, "Wahai Abu Hurairah, hadits apakah yang pernah kudengar engkau memberikannya kepada penduduk Basrah?" Abu Hurairah balik bertanya, "Hadis apakah yang kamu maksudkan?" Aku menjawab, "Mereka menduga bahwa engkau telah mengatakan, 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan suatu kebaikan menjadi sejuta kebaikan'." Abu Hurairah mengatakan, "Wahai Abu Usman, apakah yang membuatmu heran dengan masalah ini? Bukankah Allah ﷻ telah berfirman: 'Barang siapa yang mau memberikan pinjaman yang baik kepada Allah, maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak'.” (Al-Baqarah: 245). Allah ﷻ telah berfirman pula: 'Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit' (At-Taubah: 38). Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, aku benar-benar telah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan satu kebaikan menjadi dua juta (pahala) kebaikan'."
Imam Ahmad mengatakan bahwa hadits ini gharib, dan Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an ini mempunyai banyak hadits yang munkar. Imam Ahmad meriwayatkannya pula. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Mubarak ibnu Fudailah dari Ali ibnu Zaid, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan bahwa ia pernah datang kepada sahabat Abu Hurairah, lalu bertanya kepadanya, "Telah sampai kepadaku bahwa engkau pernah mengatakan, 'Sesungguhnya pahala suatu kebaikan itu benar-benar dilipatgandakan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu merasa heran dari hal tersebut? Sesungguhnya aku, demi Allah, pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya Allah benar-benar melipatgandakan pahala suatu kebaikan (hingga) menjadi dua juta pahala kebaikan'."
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Khallad dan Sulaiman ibnu Khallad Al-Mu-addib, telah menceritakan kepada kami Muhammad Ar-Rifa'i, dari Ziyad ibnul Jassas, dari Abu Usman An-Nahdi yang menceritakan, "Sesungguhnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak duduk (belajar) kepada Abu Hurairah selain diriku. Abu Hurairah datang berhaji lebih awal dariku, sedangkan aku datang sesudahnya. Tiba-tiba orang-orang dari Basrah mengklaim adanya sebuah hadits darinya yang menyebutkan bahwa dia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya Allah melipatgandakan pahala suatu kebaikan menjadi sejuta pahala kebaikan'." Lalu aku berkata, "Kasihan kalian ini. Sebenarnya tidak ada seorang pun yang lebih banyak belajar dari Abu Hurairah selain diriku sendiri, tetapi aku tidak pernah mendengar hadits ini darinya." Lalu aku bertekad menemuinya, tetapi kujumpai dia telah berangkat menunaikan haji. Kemudian aku pun berangkat menunaikan haji untuk menemuinya sehubungan dengan hadits ini.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain. Dia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Muslim, telah menceritakan kepada kami Ar-Rabi' ibnu Rauh, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Khalid Az-Zahabi, dari Ziyad Al-Jassas, dari Abu Usman yang menceritakan hadits berikut: Aku bertanya kepada Abu Hurairah, "Wahai Abu Hurairah, aku mendengar saudara-saudaraku di Basrah menduga engkau pernah meriwayatkan bahwa engkau pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan sejuta pahala kebaikan'." Abu Hurairah menjawab, "Demi Allah, bahkan aku mendengar Nabi ﷺ bersabda: 'Sesungguhnya Allah membalas pahala suatu kebaikan dengan dua juta pahala kebaikan'." Kemudian Abu Hurairah membacakan firman-Nya: “Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibandingkan dengan kehidupan di akhirat hanyalah sedikit.” (At-Taubah: 38)
Ayat 41
Firman Allah ﷻ: “Maka bagaimanakah apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (An-Nisa: 41)
Allah ﷻ berfirman, menceritakan kengerian yang terjadi pada hari kiamat dan perkara serta keadaannya yang sangat keras; maka bagaimanakah perkara dan keadaan hari kiamat nanti ketika didatangkan seorang saksi dari tiap-tiap umat, yang dimaksud ialah para nabi, sebagaimana pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan terang benderanglah bumi (padang mahsyar) dengan cahaya (keadilan) Tuhannya; dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi.” (Az-Zumar: 69), hingga akhir ayat.
“(Dan ingatlah) hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri.” (An-Nahl: 89), hingga akhir ayat.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yusuf, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-A'masy, dari Ibrahim, dari Ubaidah, dari Abdullah ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda kepadanya: "Bacakanlah (Al-Qur'an) untukku!" Aku menjawab, "Wahai Rasulullah, bagaimana aku membacakan Al-Qur'an untukmu padahal Al-Qur'an diturunkan kepadamu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya, sesungguhnya aku suka bila mendengarnya dari orang lain." Lalu aku membaca surat An-Nisa. Ketika bacaanku sampai kepada firman-Nya: “Maka bagaimanakah keadaannya ketika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (An-Nisa: 41) Maka Nabi ﷺ bersabda: “Stop, cukup!” Ternyata kedua mata beliau berlinangan air mata.
Imam Muslim meriwayatkannya pula melalui hadits Al-A'masy dengan sanad yang sama. Telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Mas'ud; hal ini membuktikan bahwa hadits ini benar-benar dari Ibnu Mas'ud. Imam Ahmad meriwayatkan melalui jalur Abu Hayyan dan Abu Razin, dari Ibnu Mas"ud.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar ibnu Abud Dunia, telah menceritakan kepada kami As-Silt ibnu Mas'ud Al-Juhdari, telah menceritakan kepada kami Fudail ibnu Sulaiman, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Muhammad ibnu Fudalah Al-Ansari, dari ayahnya yang menceritakan bahwa ayahnya termasuk salah seorang yang menjadi sahabat Nabi ﷺ; ia pernah menceritakan bahwa Nabi ﷺ datang mengunjungi mereka di Bani Zafar, lalu beliau duduk di atas sebuah batu besar yang ada di tempat Bani Zafar. Saat itu Nabi ﷺ ditemani oleh Ibnu Mas'ud, Mu'az ibnu Jabal dan sejumlah orang dari kalangan sahabat-sahabatnya. Lalu Nabi ﷺ memerintahkan kepada seorang qari untuk membaca Al-Qur'an. Manakala bacaan si qari sampai pada firman-Nya: “Maka bagaimanakah keadaannya ketika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (An-Nisa: 41) Maka Rasulullah ﷺ menangis hingga air matanya membasahi kedua pipi dan janggutnya. Lalu beliau ﷺ berkata: “Ya Tuhanku, sekarang aku bersaksi atas orang-orang yang aku berada di antara mereka, bagaimanakah dengan orang yang belum aku lihat (yakni sesudahku)?”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah Az-Zuhri, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Al-Mas'udi, dari Ja'far ibnu Amr ibnu Harb, dari ayahnya, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud) sehubungan dengan ayat ini. Dia menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku orang yang menyaksikan lagi mengetahui selagi aku berada di antara mereka; tetapi apabila Engkau mewafatkan diriku, maka hanya Engkaulah yang mengawasi mereka.”
Adapun mengenai apa yang diceritakan oleh Abu Abdullah Al-Qurtubi di dalam kitab Tazkirah, ia mengatakan dalam bab "Hal yang Menyebutkan Kesaksian Nabi ﷺ atas Umatnya", telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Al-Minhal ibnu Amr, bahwa ia pernah mendengar Sa'id ibnul Musayyab mengatakan, "Tiada suatu hari pun yang terlewatkan melainkan ditampilkan kepada Nabi ﷺ perihal umatnya di pagi dan sore harinya. Maka Nabi ﷺ mengenal nama dan amal perbuatan mereka. Karena itulah Nabi ﷺ mempersaksikan atas perbuatan mereka. Allah ﷻ telah berfirman: “Maka bagaimanakah keadaannya ketika Kami mendatangkan seorang saksi (rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu).” (An-Nisa: 41) Maka sesungguhnya hal ini adalah atsar (bukan hadits), di dalam sanadnya terdapat inqita' (sanad terputus). Di dalam sanadnya terdapat seseorang yang tidak dikenal lagi tidak disebutkan namanya. Hal ini merupakan periwayatan Sa'id ibnul Musayyab sendiri, dan dia tidak me-rafa'-kannya (sampai kepada Rasulullah ﷺ). Ternyata Al-Qurtubi menerima kenyataan ini.
Lalu sesudah mengetengahkan atsar ini ia mengatakan dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa semua amal perbuatan dilaporkan kepada Allah pada tiap hari Senin dan Kamis; kepada para nabi, para ayah, dan para ibu pada hari Jumat. Al-Qurtubi mengatakan, tidak ada pertentangan mengingat barangkali hal ini khusus bagi Nabi kita saja, sehingga ditampilkan kepadanya semua amal perbuatan setiap hari, juga pada hari Jumat yang bersama-sama para nabi lainnya.
Ayat 42
Firman Allah ﷻ: “Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa: 42)
Seandainya saja bumi terbelah dan menelan mereka, nisaya mereka terhindar dari kengerian dan huru-hara di Mauqif (padang mahsyar), dan terhindar dari kehinaan, kemaluan, dan cemoohan. Makna ayat ini sama seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Pada hari manusia melihat apa yang telah diperbuat oleh kedua tangannya.” (An-Naba': 40) hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan mereka tidak dapat meyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa: 42) Hal ini menceritakan keadaan mereka, bahwa mereka mengakui semua yang telah mereka kerjakan, dan tidak dapat menyembunyikan dari Allah sesuatu pun dari amal perbuatan mereka.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hakim, telah menceritakan kepada kami Amr, dari Mutarrif, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu lelaki itu menanyakan kepadanya tentang firman Allah ﷻ yang menceritakan keadaan orang-orang musyrik di hari kiamat, bahwa mereka mengatakan: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.” (Al-An'am: 23) Dalam ayat yang lain Allah ﷻ telah berfirman: “Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa: 42); Maka Ibnu Abbas mengatakan, "Adapun mengenai firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23). Sesungguhnya mereka (orang-orang musyrik) ketika melihat dengan mata kepala mereka sendiri bahwa tidak dapat masuk surga kecuali hanya orang-orang Islam, maka mereka berkata (kepada sesamanya), 'Marilah kita mengingkari perbuatan kita!' Lalu mereka mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23). Maka Allah mengunci mati mulut mereka dan berbicaralah kedua kaki dan tangan mereka; sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: 'Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun'.”(An-Nisa: 42).
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang lelaki, dari Al-Minhal ibnu Amr, dari Sa'id ibnu Jubair yang menceritakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Ibnu Abbas, lalu bertanya banyak hal yang bertentangan di dalam Al-Qur'an menurut pendapatku. Ibnu Abbas berkata, "Coba sebutkan yang mana, apakah engkau meragukan Al-Qur'an?" Lelaki itu berkata, "Tidak, tetapi aku bingung memahaminya." Ibnu Abbas bertanya, "Apakah yang membingungkanmu di dalam Al-Qur'an itu?" Lelaki itu berkata bahwa Allah ﷻ telah berfirman dalam suatu ayat, yaitu firman-Nya: “Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, ‘Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah’. (Al-An'am: 23) Sedangkan dalam ayat yang lainnya Allah ﷻ telah berfirman: ‘Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.’ (An-Nisa: 42) Ternyata dari pengertian tersebut mereka dapat menyembunyikan sesuatu dari Allah?” Maka Ibnu Abbas menjawab bahwa mengenai firman-Nya: “Kemudian tiadalah fitnah mereka kecuali mengatakan, ‘Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.’ (Al-An'am: 23) Sesungguhnya tatkala mereka menyaksikan di hari kiamat bahwa Allah tidak memberikan ampunan kecuali kepada pemeluk agama Islam, dan Allah mengampuni semua dosa betapapun besarnya kecuali dosa mempersekutukan Allah, maka mereka bermaksud mengingkari hal tersebut. Untuk itu mereka mengatakan: ‘Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.’ (Al-An'am: 23) Mereka mengharapkan dengan hal ini agar Allah memberikan ampunan bagi mereka, tetapi Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah kedua tangan dan kedua kaki mereka tentang hal-hal yang mereka lakukan sebenarnya. Maka di saat itulah disebutkan di dalam firman-Nya: ‘Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun’.” (An-Nisa: 42)
Jabir meriwayatkan dari Adh-Dhahhak, bahwa Nafi' ibnul Azraq pernah datang kepada Ibnu Abbas, lalu menanyakan kepadanya mengenai makna firman-Nya: “Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rasul ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah, dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa: 42) Juga firman-Nya: “Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah.” (Al-An'am: 23) Maka Ibnu Abbas berkata kepadanya, "Aku merasa yakin bahwa kamu berangkat dari kalangan teman-temanmu dengan maksud akan menemuiku untuk menanyakan ayat-ayat mutasyabih dari Al-Qur'an. Untuk itu apabila kamu kembali kepada mereka, beritahukanlah kepada mereka bahwa Allah ﷻ menghimpun semua manusia di hari kiamat di suatu padang (mahsyar). Lalu orang-orang yang mempersekutukan Allah mengatakan bahwa sesungguhnya Allah tidak akan menerima sesuatu pun dari seseorang kecuali dari orang yang mengesakan-Nya. Lalu mereka berkata, 'Marilah kita ingkari perbuatan kita.' Ketika ditanyai, mereka mengatakan seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: 'Demi Allah, Tuhan kami, tiadalah kami mempersekutukan Allah' (Al-An'am: 23)." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, bahwa sebelum mereka mengatakan hal tersebut Allah mengunci mulut mereka dan berbicaralah semua anggota tubuh mereka, dan bersaksilah semua anggota tubuh mereka terhadap diri mereka dengan menyatakan bahwa sebenarnya mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah. Maka pada saat itu mereka berharap seandainya diri mereka ditelan oleh bumi. “Dan mereka tidak dapat menyembunyikan (dari Allah) sesuatu kejadian pun.” (An-Nisa: 42) Ini adalah riwayat Ibnu Jarir.
Karena pada hari ketika mereka dibangkitkan itu, orang yang kafir yang sombong dan membanggakan diri dan orang yang mendurhakai Rasul, Nabi Muhammad, berharap sekiranya mereka diratakan dengan tanah, hancur luluh menjadi tanah sehingga tidak ada yang tersisa sedikit pun dari jasmani mereka, dengan demikian mereka merasa tidak diadili lagi, padahal mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian apa pun dari Allah dari apa yang mereka perbuat. Sungguh hal ini menjadi pelajaran bagi orang-orang beriman
Pada beberapa ayat yang lalu, Al-Qur'an menggambarkan perilaku orang-orang yang sombong dan membanggakan diri serta betapa dahsyat siksa yang akan dijumpai mereka pada hari berbangkit, sampaisampai mereka menginginkan agar disamaratakan saja dengan tanah, sehingga tidak mengalami perhitungan amal sama sekali. Namun hal itu tidak akan terjadi, karena tidak ada seorang pun yang dapat sembunyi dari pengawasan Allah. Oleh sebab itu, ayat ini dan ayat berikutnya menjelaskan bagaimana seharusnya manusia hidup di dunia agar selamat dari siksaan di hari berbangkit tersebut. Caranya ialah dengan melaksanakan salat dan bagaimana salat itu ditunaikan agar bisa menyelamatkan diri dari siksa di hari berbangkit tersebut. Wahai orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, janganlah kamu mendekati tempat salat atau melaksanakan salat ketika kamu dalam keadaan mabuk, yakni hilang ingatan karena minuman keras. Dirikanlah salat jika kamu sudah sadar apa yang kamu ucapkan, dan juga jangan pula kamu hampiri masjid ketika kamu dalam keadaan junub yang mengharuskan kamu mandi wajib, kecuali hanya sekadar melewati jalan saja, boleh kamu lakukan sebelum kamu mandi junub.
Adapun jika kamu sakit yang dikhawatirkan bila menyentuh air penyakit itu akan bertambah parah atau susah disembuhkan, atau kamu sedang dalam perjalanan yang jaraknya jauh, sekitar 80 km atau lebih, atau sehabis buang air, apakah itu buang air kecil atau buang air besar, atau kamu telah menyentuh perempuan, apakah itu hanya sekadar bersentuh kulit atau berhubungan suami istri, sedangkan kamu pada waktu itu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu, sedengan cara usaplah wajahmu satu kali dan usap pula tanganmu, dengan mempergunakan debu atau tanah itu. Sungguh, Allah itu Maha Pemaaf, Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertobatbagai pengganti wudu, dengan debu, atau tanah dan sejenisnya, yang baik, yakni suci,
Ayat ini menggambarkan bagaimana penyesalan orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai Rasulullah pada hari kiamat, setelah melihat hebatnya azab yang akan mereka derita. Semua perbuatan mereka yang salah, lebih-lebih perbuatan mereka mengingkari Allah dan tidak patuh menuruti ajaran Rasul, pada hari itu akan mendapat balasan yang setimpal. Apalagi pada hari itu sengaja Rasul didatangkan untuk menjadi saksi atas perbuatan mereka. Alangkah malunya mereka dan menyesal atas perbuatan mereka semasa hidup di dunia. Sampai-sampai mereka menginginkan, lebih baik mereka disamakan saja dengan tanah. Bahkan mereka ada yang menginginkan agar jadi tanah saja, jangan jadi manusia yang akan mendapat siksaan yang hebat dari Allah. Allah berfirman:
Dan orang kafir berkata, "Alangkah baiknya seandainya dahulu aku jadi tanah." (an-Naba'/78:40).
Begitulah hebatnya penyesalan mereka pada hari itu, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tidak berguna. Pada saat itu orang-orang kafir tidak dapat menyembunyikan sedikit pun apa yang telah mereka kerjakan. Kedurhakaan mereka kepada Allah dan Rasul, kesombongan dan ketakaburan mereka, dan tentang kebakhilan dan ria mereka. Pendeknya tidak dapat mereka sembunyikan semua kejelekan dan kesalahan mereka. Pada hari itu tidak satu pertolongan pun yang dapat menolong mereka. Apa yang biasa mereka jadikan tempat minta tolong dan minta syafaat, selain dari Allah, semuanya berlepas diri, tidak mampu menolong dan melepaskan mereka dari siksa yang hebat itu. Allah berfirman:
(22) Dan (ingatlah), pada hari ketika Kami mengumpulkan mereka semua kemudian Kami berfirman kepada orang-orang yang menyekutukan Allah, "Di manakah sembahan-sembahanmu yang dahulu kamu sangka (sekutu-sekutu Kami)?"(23) Kemudian tidaklah ada jawaban bohong mereka, kecuali mengatakan, "Demi Allah, ya Tuhan kami, tidaklah kami mempersekutukan Allah." (24) Lihatlah, bagaimana mereka berbohong terhadap diri mereka sendiri. Dan sesembahan yang mereka ada-adakan dahulu akan hilang dari mereka. (al-An'am/6:22, 23 dan 24).
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 40
“Sesungguhnya Allah tidaklah, akan menganiaya, walaupun sebenar zarah."
Lantaran itu tak usahlah khawatir bahwa kebaikan yang diperbuat selama hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Allah, bahkan seberat zarah pun tidaklah manusia akan dirugikan. Sampai Allah mengambil perumpamaan daripada yang sekecil-kecilnya yaitu zarah. Sebesar zarah pun yang diamalkan akan diganjari juga.
Di zaman dahulu penyelidikan tentang zarah belum meluas sebagai sekarang. Sebab itu dapatlah dimaklumi kalau Ibnu Abbas menafsirkan zarah ialah sebesar kepala nyamuk. Atau juga yang menafsirkan sebesar yang melayang-layang lebih halus daripada kapas kelihatan di lubang dinding yang ditembus panas matahari. Sekarang ini tentu tafsiran zarah sudah lebih hebat lagi setelah orang memecahkan rahasia atom. Bahkan atom (a = tidak, torn = terbagi) tetapi sekarang sudah nyata terbagi. Atom disebut di dalam bahasa Arab jauhar, ford, dan juga zarrah. Sekarang bertambah imanlah kita, kalau kita mau beriman, bahwa jika Allah mengambil perumpamaan dengan zarah untuk menunjukkan kehalusan, bukanlah itu suatu perumpamaan yang sia-sia. Sekarang, dalam abad kedua puluh telah mengertilah kita bahwa zarah yang kecil itu mempunyai tenaga yang sangat luar biasa. Kalau Allah berfirman bahwa Dia tidaklah akan menganiaya atau tidaklah akan mengurangi pahala seseorang walaupun seberat zarah, itu pun adalah besar. Bagi Allah penilaiannya bukanlah kecil sebab zarah sendiri pun bukanlah kecil tenagarya.
‘Tetapi jika (amal itu) baik, niscaya diperganda-gandakan-Nya dan akan diberi langsung dari Dia pahala yang besar."
Yang kecil tidak akan dianiaya dan tidak akan dikurangi, bahkan amal yang baik akan dilipatgandakan. Umpamakanlah dengan seseorang mendapat suatu ilmu yang berfaedah bagi sesama manusia. Kadang-kadang datang seorang mencetuskan sesuatu pendapat misalnya Edison tentang listrik atau Marconi tentang radio. Pendapat itu pada yang mendapatnya pertama baru kecil saja, kemudian berkembang biak dan berganda-ganda sehingga jika yang mencetuskan pendapat yang pertama masih hidup, tentu akan heran dia melihat betapa Allah menakdirkan perkembangan ilmu yang dia tinggalkan itu. Selama ilmu tadi masih berkembang terus, niscaya yang mendapat pertama akan menerima juga pahala yang ber-lipatganda dari bekas penyelidikan orang yang datang di belakang. Apatah lagi karena manusia tidak mau melepaskan budi, nama pencipta pertama masih tetap diingat orang bahwa dia yang memulai dahulunya.
Demikianlah perumpamaan di dunia dan niscaya lebih lagilah pahala yang akan diterima langsung dari Allah kelak kemudian hari. Di dalam ayat ini kita bertemu firman Allah min ladunhu, yang kita artikan langsung dari sisi-Nya. Apabila cantuman kata min ladunhu ini kita camkan benar-benar di dalam hati, dengan sendirinya akan terobatlah perasaan apabila setengah manusia tidak dapat menghargai suatu jasa atau suatu amal. Tidak perlu diharapkan penghargaan manusia, takut akan timbul riya. Kalau ada orang yang tidak menghargai, kita pun kecewa. Lebih baik ditunggu ganjaran langsung dari Allah, terima kontan di akhirat. Dengan pendirian yang demikian, hati pun akan terasa tenteram dalam berbuat suatu kebajikan. Oleh sebab itu, sebagai lanjutan ayat yang sebelumnya tadi— sebagai orang yang telah mengaku beriman— beribadahlah, beramallah, dan janganlah usial dihabiskan percuma karena tidak ada yang akan lepas dari catatan Allah walau seberat zarah.
Ayat 41
“Lantaran itu, bagaimanalah kelak, apabila dari tiap-tiap umat Kami bawakan seorang penyaksi, dan Kami bawakan pula engkau sebagai penyaksi untuk mereka. “
Memang! Allah telah mengutus rasul-rasul kepada manusia menunjukkan jalan yang benar dan memimpin supaya jangan berbuat salah, beramal yang baik dan mengingat hidup yang sesudah mati. Kelak semua umat yang didatangi oleh rasul-rasul itu akan dihadapkan ke hadirat Allah dan rasul-rasul itu akan dipanggil sebagai penyaksi. Mizan amalan akan ditegakkan, seberat zarah pun tidak akan dianiaya atau dikurangi. Maka bertemulah di dalam ayat ini, seakan-akan suatu seruan berirama dari Allah, bagaimanakah kelak, wahai utusan-Ku Muhammad! Jika umat engkau ini pun akan dihadapkan pula ke hadirat Allah dan amal mereka pun akan ditimbang dan engkau pun akan dijadikan Penyaksi?
Sudahkah mereka itu siap? Apa-apa sajakah kebajikan yang telah mereka kerjakan? Seakan-akan bertemulah dalam inti sari ayat ini bahwasanya umurmu, wahai utusan-Ku, umurmu di dunia adalah terbatas, sedang umatmu akan berkembangbiakdarimasa demi masa, dari abad demi abad. Mereka semuanya mengakui bahwa mereka adalah umat engkau, berguru kepada engkau dan berteladan kepada engkau. Tetapi apa benarkah engkau mereka ikuti dengan setia? Atau hanya pada nama saja?
Dalam riwayat yang shahih, Rasulullah ﷺ suka sekali mendengarkan sahabat-sahabatnya membaca Al-Qur'an. Pada suatu hari, beliau menyuruh Abdullah bin Mas'ud membaca Al-Qur'an. Mulanya Ibnu Mas'ud menolak dengan segala hormat, “Bagaimana hamba akan membacanya di hadapan engkau, ya Rasulullah, padahal kepada engkau dia diturunkan?"
Lalu Rasulullah ﷺ menyuruh juga dia membaca karena beliau lebih terharu jika dia dibaca oleh orang lain. Maka dibacalah oleh Ibnu Mas'ud surah an-Nisaa' dengan suara merdu dan tartil yang baik sehingga sampailah Ibnu Mas'ud kepada ayat yang sedang kita uraikan ini. Bagaimanakah kelak apabila dari tiap-tiap umat Kami bawakan seorang Penyaksi dan Kami bawakan pula engkau sebagai Penyaksi untuk mereka?
Sampai di ujung ayat ini Ibnu Mas'ud membaca, tahu-tahu Nabi kita ﷺ yang tercinta menggelenggang air mata. Melihat itu Ibnu Mas'ud terpaksa menghentikan bacaannya dan beliau pun berkata, “Ibnu Mas'ud! Bagaimanakah kelak kalau hal itu terjadi?"
Ibnu Mas'ud pun terharu.
Hadits ini dirawikan oleh Imam Ahmad, Bukhari dalamShohih-nya, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan lain-lain dari Ibnu Mas'ud.
Wahai umat Muhammad, wahai diriku sendiri; Adakah engkau telah siap? Adakah engkau telah betul-betul menuruti jejak beliau sehingga kalau beliau kelak tegak menjadi penyaksi kita, beliau akan berkata, “Memang inilah umatku!" Ataukah beliau akan berkata, “Allahku, ini bukan umatku! Ini hanya mulutnya saja mengakui umatku, sedang amalnya tidak! Allahku, peliharalah kami!"
Ayat 42
“Pada hari itu, ingin sekalilah mereka yang kufur dan mendurhaka kepada Rasul, jika mereka disama ratakan dengan bumi".
Disamaratakan saja dengan bumi, direken tidak ada dan tidak dibangunkan lagi karena hebatnya keadaan yang dihadapi, hadir dalam mahkamah Ilahi, sedang segala petunjuk Rasul sudah dikufuri, tidak diacuhkan dan seruannya didustakan;
“Kanena tidak dapat mereka menyembunyikan dari Allah, satu perkataan pun"
Maka berkatalah makhluk yang kufur pada waktu itu, mengapalah aku sampai hidup dahulunya, lebih baik aku rata saja dengan bumi, namaku tidak tersebut dan amalku yang akan diperkirakan tidak ada. Atau mengapalah aku turut dibangkitkan juga dari kuburku, biarlah aku jadi tanah saja, berat muka menghadapi Allah, sikap hidup banyak dosa, kebenaran Rasul selalu didustakan. Tetapi bagaimanalah dan apalah faedahnya sesal padahal diri su-dah dalam majelis itu. Ke mana muka akan disurukkan, sedang satu kalimat pun tidak ada yang tersembunyi dari tilikan Allah. Sebagaimana juga seberat zarah pun tidak akan terjadi penganiayaan.
Untuk mengelakkan saat-saat sedih itu— yang Nabi kita sampai titik air mata memikirkan saat itu—saat beliau akan dijadikan saksi. Karena itu, tidak ada jalan lain, hanyalah di kala hidup ini, di kala nyawa masih dalam badan dan akal masih berjalan, kita ikuti langkah beliau, kita camkan bahwa karena kasih kepada kitalah makanya Nabi sampai menitikkan air mata seketika ayat itu dibaca oleh Ibnu Mas'ud.
Sebagai umat Muhammad ﷺ telah kita baca beberapa perangai yang buruk yang telah diterangkan di ayat-ayat di atas tadi, yaitu bakhil dan menganjurkan bakhil kepada orang lain, menyembunyikan kurnia yang telah di-kurniakan Allah, pongah sikap (mukhtaal) dan sombong kata lagi membangga (fakhuur), beramal karena ingin dipuji orang (riya) Sebagai umat Muhammad seyogianyalah kita melatih diri agar perangai kita demikian jangan ada pada kita sehingga kelak di hari Kiamat Rasulullah ﷺ, junjungan kita jangan hendaknya mengatakan, “Ini bukan umatku!"