Ayat
Terjemahan Per Kata
وَءَاتُواْ
dan berikanlah
ٱلنِّسَآءَ
perempuan-perempuan
صَدُقَٰتِهِنَّ
maskawin mereka
نِحۡلَةٗۚ
ikhlas/wajib
فَإِن
maka jika
طِبۡنَ
mereka baik hati/menyerahkan
لَكُمۡ
bagi kalian
عَن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu (sebagian)
مِّنۡهُ
daripadanya (maskawin)
نَفۡسٗا
sendirian/senang hati
فَكُلُوهُ
maka makanlah ia
هَنِيٓـٔٗا
dengan puas
مَّرِيٓـٔٗا
cukup
وَءَاتُواْ
dan berikanlah
ٱلنِّسَآءَ
perempuan-perempuan
صَدُقَٰتِهِنَّ
maskawin mereka
نِحۡلَةٗۚ
ikhlas/wajib
فَإِن
maka jika
طِبۡنَ
mereka baik hati/menyerahkan
لَكُمۡ
bagi kalian
عَن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu (sebagian)
مِّنۡهُ
daripadanya (maskawin)
نَفۡسٗا
sendirian/senang hati
فَكُلُوهُ
maka makanlah ia
هَنِيٓـٔٗا
dengan puas
مَّرِيٓـٔٗا
cukup
Terjemahan
Berikanlah mahar kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan. Kemudian, jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari (mahar) itu dengan senang hati, terimalah dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati.
Tafsir
(Berikanlah kepada wanita-wanita itu maskawin mereka) jamak dari shadaqah (sebagai pemberian) karena ketulusan dan kesucian hati (Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati) nafsan merupakan tamyiz yang asalnya menjadi fa'il; artinya hati mereka senang untuk menyerahkan sebagian dari maskawin itu kepadamu lalu mereka berikan (maka makanlah dengan enak) atau sedap (lagi baik) akibatnya sehingga tidak membawa bencana di akhirat kelak. Ayat ini diturunkan terhadap orang yang tidak menyukainya.
Tafsir Surat An-Nisa': 2-4
Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kalian makan harta mereka bersama-sama harta kalian. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu adalah dosa besar.
Dan jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kalian miliki. Itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.
Berikanlah mas-kawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
Ayat 2
Allah ﷻ memerintahkan agar menyerahkan harta benda anak-anak yatim apabila mereka telah mencapai usia baligh yang sempurna dan dewasa. Allah melarang memakan harta anak yatim serta menggabungkannya dengan harta yang lainnya. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Jangan kalian menukar yang baik dengan yang buruk.” (An-Nisa: 2)
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Abu Saleh, "Janganlah kamu tergesa-gesa dengan rezeki yang haram sebelum datang kepadamu rezeki halal yang telah ditakdirkan buatmu."
Sa'id ibnu Jubair mengatakan, "Janganlah kalian menukar harta halal milik kalian dengan harta haram milik orang lain." Yakni janganlah kalian menukarkan harta kalian yang halal, lalu kalian makan harta mereka yang
haram bagi kalian.
Sa'id ibnul Musayyab dan Az-Zuhri mengatakan, "Janganlah kamu memberi kambing yang kurus dan mengambil kambing yang gemuk.”
Ibrahim An-Nakha'i dan Adh-Dhahhak mengatakan, "Janganlah kamu memberi yang palsu dan mengambil yang baik."
As-Suddi mengatakan, "Seseorang di antara mereka mengambil kambing yang gemuk dari ternak kambing milik anak yatim, lalu menggantinya dengan kambing yang kurus, kemudian kamu katakan, 'Kambing dengan kambing.’
Janganlah kamu mengambil dirham yang baik, lalu menggantikannya dengan dirham yang palsu, kemudian kamu katakan, 'Dirham ditukar dengan dirham lagi'."
Firman Allah ﷻ: “Jangan kalian makan harta mereka bersama harta kalian.” (An-Nisa: 2)
Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ibnu Sirin, Muqatil ibnu Hayyan, As-Suddi, dan Sufyan Ibnu Husain mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mencampuradukkan harta kalian dengan harta anak-anak yatim, lalu kalian memakannya secara bersamaan (yakni tidak dipisahkan)'
Firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya perbuatan tersebut adalah dosa yang besar.” (An-Nisa: 2)
Menurut Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan huban ialah dosa, yakni dosa yang besar.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui Abu Hurairah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai firman-Nya: “Dosa yang besar.” (An-Nisa: 2) Yang dimaksud dengan huban kabiran ialah dosa besar. Akan tetapi di dalam sanad hadits ini terdapat Muhammad ibnu Yusuf Al-Kindi, sedangkan dia orangnya dha’if.
Telah diriwayatkan hal yang sama dari Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, Muqatil ibnu Hayyan, Adh-Dhahhak, Abu Malik, Zaid ibnu Aslam, dan Abu Sinan yang isinya mirip dengan perkataan Ibnu Abbas.
Di dalam hadits yang diriwayatkan di dalam kitab Sunan Abu Dawud disebutkan: “Ampunilah dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan kami.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan berikut sanadnya sampai kepada Wasil maula Abu Uyaynah, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, bahwa Abu Ayyub menceraikan istrinya. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Wahai Abu Ayyub, sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub adalah dosa!”
Menurut Ibnu Sirin yang dimaksud dengan al-hub adalah dosa.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdul Baqi, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Musa telah menceritakan kepada kami Haudah ibnu Khalifah, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Anas, bahwa Abu Ayyub bermaksud hendak menceraikan Ummu Ayyub (istrinya). Maka ia meminta izin kepada Nabi ﷺ, tetapi Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya menceraikan Ummu Ayyub benar-benar dosa.” Maka Abu Ayyub tidak jadi menceraikannya dan tetap memegangnya (sebagai istrinya).
Ibnu Mardawaih dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya telah meriwayatkan melalui hadits Ali ibnu ‘Ashim, dari Humaid At-Tawil yang mendengar dari sahabat Anas ibnu Malik pula bahwa Abu Talhah bermaksud menceraikan Ummu Sulaim (yakni istrinya). Maka Nabi ﷺ bersabda: “Sesungguhnya menceraikan Ummu Sulaim benar-benar dosa.” Maka Abu Talhah mengurungkan niatnya.
Makna ayat adalah sesungguhnya bilamana kalian makan harta kalian yang dicampur dengan harta mereka (anak-anak yatim) maka hal itu adalah dosa besar dan merupakan kesalahan fatal; maka jauhilah perbuatan tersebut.
Ayat 3
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian khawatir tidak akan mamput berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi dua.” (An-Nisa: 3)
Yakni apabila di bawah asuhan seseorang di antara kalian terdapat seorang anak perempuan yatim, dan ia merasa khawatir bila tidak mampu memberikan kepadanya mahar misil-nya (mahar yang tidak disebutkan besar kadarnya pada saat sebelum maupun ketika terjadi pernikahan, dan disesuaikan menurut jumlah dan bentuk yang biasa diterima keluarga pihak istri karena tidak ditentukan sebelumnya dalam akad nikah), hendaklah ia beralih mengawini wanita lain, karena sesungguhnya wanita lain cukup banyak; Allah tidak akan membuat kesempitan buatnya.
Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Ibnu Juraij, telah menceritakan kepadaku Hisyam ibnu Urwah, dari ayah-nya, dari Aisyah, bahwa ada seorang lelaki yang mempunyai anak perempuan yatim, lalu ia menikahinya. Sedangkan anak perempuan yatim itu mempunyai sebuah kebun kurma yang pemeliharaannya dipegang oleh lelaki tersebut, dan anak perempuan yatim itu tidak mendapat sesuatu maskawin pun darinya. Maka turunlah firman-Nya: “Dan jika kalian khawatir tidak akan mampu berlaku adil.” (An-Nisa: 3) Menurut keyakinanku, dia (si perawi) mengatakan bahwa anak perempuan yatim tersebut adalah teman seperseroan lelaki itu dalam kebun kurma, juga dalam harta benda lainnya.
Imam Al-Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Sa'd, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Ibnu Syihab yang mengatakan bahwa Urwah ibnuz Zubair pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah bertanya kepada Siti Aisyah mengenai firman-Nya: “Dan jika kalian takut tidak bisa berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kalian mengawininya).” (An-Nisa: 3) Siti Aisyah mengatakan, "Wahai anak saudara perempuanku, anak yatim perempuan yang dimaksud berada dalam asuhan walinya dan berserikat dengannya dalam harta bendanya. Lalu si wali menyukai harta dan kecantikannya, maka timbullah niat untuk mengawininya tanpa berlaku adil dalam maskawinnya; selanjutnya ia memberinya maskawin dengan jumlah yang sama seperti yang diberikan oleh orang lain kepadanya (dan itu tidak sepantasnya).”
Maka mereka dilarang menikahi anak-anak yatim seperti itu kecuali jika berlaku adil dalam mas kawinnya, dan hendaklah maskawinnya mencapai batas maksimal dari kebiasaan mas kawin untuk perempuan sepertinya. Jika para wali tidak mampu berbuat demikian, mereka diperintahkan untuk kawin dengan wanita lain selain anak-anak perempuan yatim yang berada dalam perwaliannya.
Urwah mengatakan bahwa Siti Aisyah pernah mengatakan, "Sesungguhnya ada orang-orang yang meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ sesudah ayat di atas. Maka Allah menurunkan firman-Nya: 'Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita' (An-Nisa: 127)." Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa diturunkan pula ayat lainnya, yaitu firman-Nya: “Sedangkan kalian ingin mengawini mereka.” (An-Nisa: 127) Karena ketidaksukaan seseorang di antara kalian terhadap anak yatim yang tidak banyak hartanya dan tidak cantik, maka mereka dilarang menikahi anak yatim yang mereka sukai harta dan kecantikannya, kecuali dengan maskawin yang adil. Itu karena ketidaksukaan mereka terhadap anak-anak yatim disebabkan sedikit hartanya dan tidak cantik.
Firman Allah ﷻ: “Dua, tiga, empat.” (An-Nisa: 3)
Nikahilah wanita mana pun yang kamu sukai selain dari anak yatim: jika kamu suka, boleh menikahi mereka dua orang; dan jika suka, boleh tiga orang; dan jika kamu suka, boleh empat orang. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Yang menjadikan malaikat sebagai utusan-utusan (untuk mengurus berbagai macam urusan) yang mempunyai sayap, masing-masing (ada yang) dua, tiga, dan empat.” (Fathir: 1) Maksudnya, di antara mereka ada yang mempunyai dua buah sayap, tiga buah sayap, ada pula yang mempunyai empat buah sayap. Akan tetapi, hal ini bukan berarti meniadakan adanya malaikat yang selain dari itu karena adanya dalil yang menunjukkan adanya malaikat selain itu. Masalahnya lain dengan dibatasinya kaum lelaki yang hanya boleh menikahi empat orang wanita. Maka dalilnya berasal dari ayat ini, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Abbas dan jumhur ulama, mengingat makna ayat mengandung pengertian dibolehkan dan pemberian keringanan. Seandainya diperbolehkan mempunyai istri lebih dari itu (yakni lebih dari empat orang), niscaya hal ini akan disebutkan oleh firman-Nya.
Imam Syafii mengatakan, "Sesungguhnya sunnah Rasulullah ﷺ yang menjelaskan wahyu dari Allah telah menunjukkan bahwa seseorang selain Rasulullah ﷺ tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang wanita." Apa yang dikatakan oleh Imam Syafii ini telah disepakati di kalangan para ulama, kecuali yang diriwayatkan dari segolongan ulama Syiah yang mengatakan, "Seorang lelaki diperbolehkan mempunyai istri lebih dari empat orang sampai sembilan orang."
Sebagian dari kalangan Syi'ah ada yang mengatakan tanpa batas. Sebagian dari mereka berpegang kepada perbuatan Rasulullah ﷺ dalam hal menghimpun istri lebih banyak daripada empat orang sampai sembilan orang seperti yang disebutkan di dalam hadits shahih.
Adapun mengenai boleh menghimpun istri sebanyak sebelas orang, seperti yang disebutkan di dalam sebagian lafal hadits yang diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari; sesungguhnya Imam Al-Bukhari sendiri telah men-ta'liq-nya (memberinya komentar). Telah diriwayatkan kepada kami, dari Anas, bahwa Rasulullah ﷺ menikah dengan lima belas orang istri, sedangkan yang pernah beliau gauli hanya tiga belas orang, yang berkumpul dengan beliau ada sebelas orang, dan beliau wafat dalam keadaan meninggalkan sembilan orang istri.
Hal ini menurut para ulama termasuk kekhususan bagi Nabi ﷺ sendiri, bukan untuk umatnya; karena adanya hadits-hadits yang menunjukkan kepada pengertian tersebut, yaitu membatasi istri hanya sampai empat orang. Dalam pembahasan berikut kami akan mengemukakan hadits-hadits yang menunjukkan kepada pengertian tersebut.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail dan Muhammad ibnu Ja'far; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, Ibnu Ja'far mengatakan bahwa di dalam haditsnya disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ibnu Syihab, dad Salim, dari ayahnya, bahwa Gailan ibnu Salamah As-Saqafi masuk Islam; saat itu ia mempunyai sepuluh orang istri. Maka Nabi ﷺ bersabda kepadanya: “Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja.”
Ketika di masa pemerintahan Khalifah Umar, Gailan menceraikan semua istrinya dan membagi-bagikan hartanya di antara semua anaknya. Hal tersebut terdengar oleh sahabat Umar, maka ia berkata (kepada Gailan), "Sesungguhnya aku tidak menduga setan dapat mencuri pendengaran (dari pembicaraan para malaikat) mengenai saat kematianmu, lalu membisikkannya ke dalam hatimu. Yang jelas. barangkali kamu merasakan masa hidupmu tidak akan lama lagi. Demi Allah, kamu harus merujuk istri-istrimu kembali dan kamu harus mencabut kembali pembagian harta bendamu itu atau aku yang akan memberi mereka warisan dari hartamu, lalu aku perintahkan membuat lubang kuburan buatmu, kemudian kamu dirajam sebagaimana Abu Riqal dirajam dalam kuburannya."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Syafii, Imam At-Tirmidzi, Imam Ibnu Majah, Imam Daruqutni, dan Imam Bailiaqi serta lain-lainnya melalui berbagai jalur dari Ismail ibnu Ulayyah, Gundar, Yazid ibnu Zurai', Sa'id ibnu Abu Arubah, Sufyan Ats-Tsauri, Isa ibnu Yunus, Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, dan Al-Fadl ibnu Musa serta lain-lain dari kalangan para penghafal hadits, dari Ma'mar berikut sanadnya dengan lafal yang mirip sampai pada sabda Nabi ﷺ: “Pilihlah olehmu empat orang saja di antara mereka!”
Sedangkan lafal lainnya mengenai kisah Umar termasuk atsar yang hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri. Tetapi hal ini merupakan tambahan yang baik dan sekaligus melemahkan analisis yang dikemukakan oleh Imam Al-Bukhari terhadap hadits ini menurut apa yang diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi darinya. Dalam riwayatnya itu Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Imam Al-Bukhari mengatakan bahwa hadits ini tidak ada yang hafal. Tetapi yang benar ialah hadits yang diriwayatkan oleh Syu'aib dan lain-lainnya, dari Az-Zuhri yang mengatakan bahwa dia menceritakan hadits berikut dari Muhammad ibnu Abu Suwaid ibnus Saqafi, Gailan ibnu Salamah, hingga akhir hadits.
Imam Al-Bukhari mengatakan, "Sesungguhnya hadits Az-Zuhri, dari Salim, dari ayahnya hanyalah mengatakan bahwa seorang lelaki dari Bani Saqif menceraikan semua istrinya. Maka Umar berkata kepadanya, "Kamu harus merujuk istri-istrimu kembali, atau aku akan merajam kuburmu sebagaimana kubur Abu Rigal dirajam." Akan tetapi, analisa Imam Al-Bukhari ini masih perlu dipertimbangkan. Sesungguhnya Abdur Razzaq meriwayatkannya dari Ma'mar, dari Az-Zuhri secara mursal.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Az-Zuhri secara mursal. Menurut Abu Dzar'ah, hal ini lebih shahih. Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa Uqail meriwayatkannya dari Az-Zuhri, telah sampai hadits ini kepada kami dari Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Suwaid, dari Muhammad ibnu Yazid. Abu Hatim mengatakan bahwa hal ini hanyalah dugaan belaka; sesungguhnya sanad hadits ini adalah Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid yang menceritakan, telah sampai kepada kami bahwa Rasulullah ﷺ hingga akhir hadits.
Imam Al-Baihaqi mengatakan bahwa Yunus dan Ibnu Uyaynah meriwayatkannya dari Az-Zuhri, dari Muhammad ibnu Abu Suwaid. Hal ini sama dengan apa yang di-ta'liq-kan (dianalisa) oleh Imam Al-Bukhari. Dan isnad yang telah kami ketengahkan dari kitab Musnad Imam Ahmad semua perawinya adalah orang-orang yang tsiqah dengan syarat Syaikhain. Kemudian diriwayatkan melalui jalur selain Ma'mar, bahkan Az-Zuhri.
Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Al-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abu Ali Al-Hafidzh, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman An-An-Nasai dan Yazid ibnu Umar ibnu Yazid Al-Jurmi, telah menceritakan kepada kami Yusuf ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sar-rar ibnu Mujasysyar, dari Ayyub, dari Nafi' dan Salim, dari Ibnu Umar, bahwa Gailan ibnu Salamah pada mulanya mempunyai sepuluh orang istri. Lalu ia masuk Islam, dan semua istrinya ikut masuk Islam pula bersamanya. Maka Nabi ﷺ menyuruh Gailan memilih empat orang istri saja di antara mereka.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai di dalam kitab sunannya. Abu Ali ibnus Sakan mengatakan bahwa hadits ini hanya diriwayatkan oleh Sarrar ibnu Mujasysyar dan dia orangnya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Mu'in menilainya tsiqah pula. Abu Ali mengatakan bahwa hal yang sama diriwayatkan oleh As-Sumaid' ibnu Wahb, dari Sarrar.
Imam Al-Baihaqi mengatakan, telah diriwayatkan kepada kami melalui hadits Qais ibnul Haris atau Al-Haris ibnu Qais dan Urwah ibnu Mas'ud As-Saqafi serta Safwan ibnu Umayyah, yakni hadits Gailan ibnu Salamah ini.
Pada garis besarnya bisa disimpulkan bahwa seandainya diperbolehkan menghimpun lebih dari empat orang istri niscaya Rasulullah ﷺ memperbolehkan tetapnya dipegang semua istri Gailan yang sepuluh orang itu, mengingat mereka semua masuk Islam. Setelah Nabi ﷺ memerintahkan Gailan memegang yang empat orang dan menceraikan yang lainnya, hal ini menunjukkan bahwa tidak boleh memiliki istri lebih dari empat orang dengan alasan apa pun. Apabila hal ini berlaku untuk yang telah ada, maka terlebih lagi bagi yang pemula.
Hadits lain mengenai hal tersebut diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam Ibnu Majah di dalam kitab sunnahnya masing-masing melalui jalur Muhammad ibnu Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Khamisah ibnusy Syamardal, sedangkan yang ada pada Imam Ibnu Majah dari bintisy Syamardal.
Imam Abu Dawud meriwayatkan bahwa di antara mereka ada yang menyebut Asy-Syamarzal dengan memakai huruf Zal dari Qais ibnul Haris. Menurut riwayat lain yang ada pada Imam Abu Dawud dalam riwayat Al-Haris ibnu Qais, Umairah Al-Asadi pernah mengatakan, "Aku masuk Islam dalam keadaan mempunyai delapan orang istri. Lalu aku tuturkan hal tersebut kepada Nabi ﷺ. Maka beliau bersabda: 'Pilihlah olehmu di antara mereka empat orang saja'!" Sanad hadits ini jayyid (bagus); perbedaan syawahid seperti ini tidak menimbulkan mudarat (kekurangan) pada hadits yang dimaksud.
Hadits lain sehubungan dengan masalah ini diriwayatkan oleh Imam Syafii di dalam kitab musnadnya. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepadaku seseorang yang pernah mendengar dari Ibnu Abuz Zanad yang mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abdul Majid, dari Ibnu Sahl ibnu Abdur Rahman, dari Auf ibnul Haris, dari Naufal ibnu Mu'awiyah Ad-Daili yang mengatakan bahwa ketika dirinya masuk Islam, ia mempunyai lima orang istri. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya: “Pilihlah empat orang istri saja, mana yang kamu sukai, dan ceraikanlah yang lainnya.” Ia mengatakan, "Maka aku menjatuhkan keputusanku terhadap seorang di antara mereka yang paling lama menemaniku, yaitu seorang wanita yang sudah tua lagi mandul, sejak enam puluh tahun yang silam, lalu aku ceraikan dia."
Semuanya merupakan syawahid yang memperkuat hadits Gailan tadi menurut Imam Al-Baihaqi.
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kalian takut tidak akan bisa berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kalian miliki.” (An-Nisa: 3)
Maksudnya, jika kalian merasa takut tidak akan dapat berlaku adil bila beristri banyak, yakni adil terhadap sesama mereka. Seperti yang dinyatakan di dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian.” (An-nisa 129) Pendapat yang shahih adalah apa yang dikatakan oleh jumhur ulama sehubungan dengan tafsir ayat ini: “Itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.” (An-Nisa: 3) Yakni tidak berbuat zalim.
Dikatakan 'alafil hukmi apabila seseorang berbuat zalim berat sebelah, dan curang dalam keputusan hukumnya. Abu Thalib mengatakan dalam salah satu bait qasidahnya yang terkenal: “Dengan timbangan keadilan yang tidak berat sebelah, walau hanya seberat sehelai rambut pun, dia mempunyai saksi dari dirinya yang tidak zalim.”
Hasyim meriwayatkan dari Abu Ishaq, bahwa Usman ibnu Affan berkirim surat kepada penduduk Kufah sehubungan dengan sesuatu hal yang membuat mereka menegurnya. Di dalam suratnya itu Usman ibnu Affan mengatakan, "Sesungguhnya aku bukanlah neraca yang berat sebelah." Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir.
Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih serta Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya telah meriwayatkan melalui jalur Abdur Rahman ibnu Abu Ibrahim dan Khaisam, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib, dari Amr ibnu Muhammad ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Umair, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah, dari Nabi ﷺ yang bersabda sehubungan dengan firman-Nya: “Itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat zalim.” (An-Nisa: 3) Yaitu, "Janganlah kalian berbuat zalim!" Ibnu Abu Hatim mengatakan, “Menurut ayahku hadits ini keliru. Yang benar hadits ini adalah dari Siti Aisyah secara mauquf tidak sampai kepada Nabi ﷺ.”
Ibnu Abu Hatim mengatakan telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Siti Aisyah, Mujahid, Ikrimah, Al-Hasan, Imam Malik. Ibnu Razin, An-Nakha'i, Asy-Sya'bi, Adh-Dhahhak, ‘Atha’ Al-Khurasani. Qatadah, As-Suddi, dan Muqatil ibnu Hayyan, bahwa mereka mengatakan, “Tidak berat sebelah."
Ikrimah memperkuat pendapatnya dengan bait yang diucapkan oleh Abu Thalib, seperti yang telah kami sebutkan di atas.
Tetapi apa yang diucapkan oleh Abu Thalib adalah seperti yang diriwayatkan di dalam kitab As-Sirah. Ibnu Jarir meriwayatkannya, kemudian ia mengemukakannya secara baik dan memilihnya.
Ayat 4
Firman Allah ﷻ: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa yang dimaksud dengan istilah nihlah dalam ayat ini adalah mahar.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Az-Zuhri. dari Urwah, dari Siti Aisyah, bahwa nihlah adalah maskawin yang wajib.
Muqatil, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa nihlah artinya faridah (maskawin yang wajib), sedangkan Ibnu Juraij menambahkan bahwa maskawin tersebut adalah maskawin yang disebutkan.
Ibnu Zaid mengatakan, istilah nihlah dalam perkataan orang Arab artinya maskawin yang wajib. Disebutkan, "Janganlah kamu menikahinya kecuali dengan sesuatu (maskawin) yang wajib baginya. Tidak layak bagi seseorang sesudah Nabi ﷺ menikahi seorang wanita kecuali dengan maskawin yang wajib. Tidak layak penyebutan maskawin didustakan tanpa alasan yang dibenarkan."
Pada garis besarnya perkataan mereka menyatakan bahwa seorang lelaki diwajibkan membayar maskawin kepada calon istrinya sebagai suatu keharusan.Hendaknya hal tersebut dilakukannya dengan senang hati. Sebagaimana seseorang memberikan hadiahnya secara suka rela, maka seseorang diharuskan memberikan maskawin kepada istrinya secara senang hati pula. Jika pihak istri dengan suka hati sesudah penyebutan maskawinnya mengembalikan sebagian dari maskawin itu kepadanya, maka pihak suami boleh memakannya dengan senang hati dan halal. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: “Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa: 4)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Mahdi, dari Sufyan, dari As-Suddi, dari Ya'qub ibnul Mugirah ibnu Syu'bah, dari Ali yang mengatakan, "Apabila seseorang di antara kalian sakit, hendaklah ia meminta uang sebanyak tiga dirham kepada istrinya atau yang senilai dengan itu, lalu uang itu hendaklah ia belikan madu. Sesudah itu hendaklah ia mengambil air hujan, lalu dicampurkan sebagai minuman yang sedap lagi baik akibatnya, sebagai obat yang diberkati."
Hasyim meriwayatkan dari Sayyar, dari Abu Saleh, bahwa seorang lelaki apabila menikahkan anak perempuannya, maka dialah yang menerima maskawinnya, bukan anak perempuannya. Lalu Allah ﷻ melarang mereka melakukan hal tersebut dan turunlah firman-Nya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4)
Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Sufyan, dari Umair Al-Khasami, dari Abdul Malik ibnu Mugirah At-Taifi, dari Abdur Rahman ibnu Malik As-Salmani yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa: 4) Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pertalian di antara mereka?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Jumlah yang disetujui oleh keluarga mereka."
Ibnu Mardawaih meriwayatkan melalui jalur Hajaj ibnu Artah, dari Abdul Malik ibnul Mugirah, dari Abdur Rahman ibnus Salman, dari Umar ibnul Khattab yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ berkhotbah kepada kami. Beliau ﷺ bersabda, "Nikahkanlah oleh kalian wanita-wanita kalian yang sendirian," sebanyak tiga kali. Lalu ada seorang lelaki mendekat kepadanya dan bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah tanda pengikat di antara mereka?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Sejumlah yang disetujui oleh keluarga mereka." Ibnus Salman orangnya dha’if dan dalam sanad hadits ini terdapat inqitha' (sanad terputus).
Dan apabila telah mantap dalam menetapkan pilihan dan siap untuk menikah dengan wanita pujaan kamu, maka berikanlah maskawin yakni mahar kepada perempuan yang kamu nikahi sebagai pemberian yang penuh kerelaan, karena mahar merupakan hak istri dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami terhadapnya. Suami tidak boleh berbuat semenamena terhadapnya atas dasar pemberian tersebut. Kemudian, jika mereka, para istri menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati sebagai hadiah untuk kalian, maka terimalah hadiah itu dan nikmatilah pemberian itu dengan senang hati. Dengan demikian, pemberian itu halal dan baik untuk kalianSetelah penjelasan tentang hak-hak anak yatim yang harus dipenuhi, ayat ini menjelaskan larangan menyerahkan harta mereka bila mereka belum mampu mengurus. Dan janganlah kalian serahkan kepada orang yang belum sempurna akalnya, yaitu anak yatim atau orang dewasa yang belum mampu mengurus, harta mereka yang ada dalam kekuasaan kalian yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan, penyangga hidup, penopang urusan, dan penunjang berbagai keinginan dalam kehidupan ini. Sebab, dalam kondisi seperti itu mereka akan menghabiskan harta tersebut secara sia-sia. Karena itu, berilah mereka belanja secukupnya dan pakaian selayaknya yang bisa menutupi aurat dan memperindah penampilan, dari hasil harta yang kalian usahakan itu. Bersikaplah lemah lembut dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik sehingga membuat perasaan mereka nyaman dan tenteram.
Para suami agar memberikan mahar berupa sesuatu yang telah mereka janjikan kepada istri mereka pada waktu akad nikah yang terkenal dengan (mahar musamma) atau sejumlah mahar yang biasa diterima oleh keluarga istri yang terkenal dengan (mahar misil) karena tidak ada ketentuan mengenai jumlah itu sebelumnya.
Pemberian mahar ini adalah merupakan tanda kasih sayang dan menjadi bukti adanya ikatan antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membangun rumah tangga. Namun apabila istri rela dan ikhlas, maka dalam hal ini tidak mengapa jika suami turut memanfaatkan mahar tersebut. Ayat ini menunjukkan bahwa maskawin adalah disyariatkan oleh agama. Pada masa jahiliah menikah tanpa maskawin.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MAHAR (MAS KAWIN)
Setelah dianjurkan menikah dengan perempuan lain, walaupun sampai empat, asal jangan bersikap tidak jujur kepada anak yatim perempuan yang ada dalam asuhan dan penjagaan seorang Muslim, datanglah ayat yang selanjutnya menerangkan hal mahar atau mas kawin. Berfirman Allah, “
Ayat 4
Belilah kepada perempuan-perempuan itu mas kawin mereka, sebagai kewajiban."
Di dalam ayat, ini mas kawin disebut sha-duqa dan dalam kesempatan yang lain disebut juga shadaq atau mahar.
Untuk mengetahui hikmat yang dalam pemberian shadaq atau shaduqat, lebih baik kita gali pula apa arti asalnya. Kata shadaq atau shaduqatyangdari rumpun kata shidiq, shadaq, bercabang juga dengan kata shadaqah yang terkenal. Di dalam maknanya terkandunglah perasaan jujur, putih hati, jadi artinya ialah harta yang diberikan dengan putih hati, hati suci, muka jernih kepada calon istri akan menikah. Memang, di beberapa wilayah di Indonesia, seumpama di Sumatera Timur, uang mahar mereka namai “Uang Jujur" Kadang-kadang disebut mahar. Arti yang mendalam, mahar pun ialah laksana cap atau stempel bahwa nikah telah dimateraikan. Kemudian, dalam ayat ini disebut Nihlah, yang kita artikan kewajiban. Supaya cepat saja dipahami karena memang mahar wajib dibayar.
Qatadah memang memberi arti pemberian fardhu. Ibnu Juraij memberi arti pemberian yang ditentukan jumlahnya. Ada pula yang berpendapat bahwa kata Nihlah dari rumpun kata an-Nahi bermakna lebah. Laki-laki mencari harta yang halal laksana lebah mencari kembang, yang kelak menjadi madu (manisan lebah) Hasil usaha jerih payah sucinya itulah yang diserahkan kepada calon istrinya.
Demikianlah kita berjumpa asal kata hikmat mas kawin dalam Al-Qur'an, yang bersua dalam dua kata pertama shaduqat, pemberian kepada istri dengan hati suci, bersih, sebagai tanda telah bertali cinta. Kedua kata Nihlah, laksana madu yang disarikan lebah dari berbagai kembang, diserahkan kepada istri sebagai suatu kewajiban. Akan tetapi, setelah ayat ini dimasukkan ke dalam pencernaan ahli fiqih, hilanglah rasa yang asal oleh pikiran fiqih yang gersang itu, lalu timbul pendapat, bahwa mahar atau mas kawin adalah ‘iwadh atau ganti kerugian atau harga kehormatan perempuan. Mendengarkan keterangan ahli fiqih yang demikian, banyaklah perempuan yang tahu harga diri amat berkeberatan jika dikatakan bahwa uang mas kawin ialah untuk membeli kehormatannya. Selanjutnya bunyi ayat,
“Tetapi jika memeka berikan kepada kamu sebagian daripadanya, dengan hati senang, maka makanlah dengan senang sentosa."
Setelah mas kawin diberikan, yang timbul dari hati suci bersih, mas kawin telah menjadi hak perempuan. Telah menjadi dia yang empunya. Sebagaimana juga barang-barang di dalam rumah, baik pemberian ayah bundanya atau hadiah suaminya, yang telah diberikan kepadanya haknya mutlak. Laki-laki yang beriman dan berbudi tidak akan mengganggu hak itu. Mas kawin itu telah dia empunya. Akan tetapi, kalau dia sudi pula memberikan sebagianya karena kasih sayang yang telah berjalin, tidaklah mengapa, yaitu setelah jelas bahwa itu telah ke tangannya. Akan tetapi, dengan ini tidak berarti bahwa, perempuan atau walinya dibolehkan maafkan mahar saja sebelum akad nikah. Hati bersih tidaklah berarti bahwa ketentuan agama boleh diubah. Terima dahulu mas kawin, setelah dalam tangan, bolehlah kalau hendak memberi pula kepada suami dengan hati cinta.
Kalau telah diketahui bahwa mas kawin adalah shaduqat atau shidiq, yang berarti tanda kejujuran hati dan diberikan sebagai nihlah, kewajiban yang laksana air madu, dan telah diketahui pula, bahwa kata iwadh, yang disebut oleh beberapa ahli fiqih sebagai ganti kerugian atau harga kehormatan, kuranglah sesuai dengan perasaan halus, sekarang terserahlah kepada yang bersangkutan berapa mahar akan dibayar. Bayarlah secara patut dan mungkin.
Khalifah al-Ma'mun dari Bani Abbas ketika menikah dengan putri Bauran, anak Wazir besar baginda yang bernama Fadhl bin Sahi, telah membayar mas kawinnya—dengan beratus-ratus talam emas yang masing-masing penuh dengan uang emas (dinar) Semua pelita lilin di istana menyala-nyala. Minyak lilin-lilin itu dari minyak Anbar yang harum semerbak dicampuri lagi dengan kesturi yang telah digiling halus. Sehingga hari-hari pernikahan itu dicatat orang dalam sejarah sebagai suatu perjamuan yang sangat mewah dan mahar yang sangat mahal. Itu semuanya adalah sesuai dengan kekayaan al-Ma'mun yang berlimpah-limpah.
Boleh pula menikah dengan hanya membayar mas kawin sebentuk cincin dari besi ataupun lebih ganjil lagi, yaitu membayar mahar dengan hanya mempelai laki-laki mengajarkan beberapa ayat Al-Qur'an kepada mempelai perempuan. Yang demikian boleh belaka, asal ridha sama ridha.
Pada suatu hari datanglah seorang perempuan ke hadapan majelis Rasulullah, menghadiahkan dirinya kepada Rasulullah ﷺ Artinya kalau beliau sudi mengambilnya jadi istrinya. Perempuan itu datang ke dalam ma-jelis Rasulullah yang dihadiri oleh banyak sahabat beliau. Perempuan itu pun bersedia menerima keputusan Rasululllah ﷺ jika dia dinikahkan dengan laki-laki lain.
Sebelum Rasulullah memberikan jawabnya untuk mengabulkan atau menolak kesediaan perempuan itu, tiba-tiba masuklah seorang laki-laki muda, yang pada pakaian lahirnya kelihatan bahwa dia seorang yang miskin, tetapi pada wajahnya terbayang ketulusan dan kejujuran. Belum beberapa saat dia duduk, dia menyatakan kepada Rasulullah ﷺ suatu keinginan yang besar, yaitu hendak menikah. Kalau dia dapat istri, mungkin keadaan hidup-nya akan lebih baik dan tenteram sebab sudah ada tanggung jawab.
Dengan kedatangan laki-laki ini Rasulullah mendapat jalan yang baik sekali untuk meladeni keinginan perempuan itu. Lalu beliau bertanya sudikah dia jika Rasulullah carikan seorang suami. Suami itu ialah pemuda yang ingin dicarikan istri ini.
Perempuan itu menjawab bahwa kalau Rasulullah tidak suka menerimanya menjadi istri beliau, dia pun rela menerima laki-laki lain yang ditunjuk oleh Rasulullah.
Inilah tanda ketaatan yang amat mesra dari seorang umat terhadap Rasulullah ﷺ.
Lalu, beliau tanyakan pula, sudikah pemuda itu menikah dengan perempuan ini.
Pemuda itu pun menyatakan suka kalau Rasulullah yang menunjuk.
Lalu, Rasulullah memperingatkan bahwa kalau menikah hendaklah membayar sha-daq atau mas kawin. Tidak ada mas kawin bagaimana bisa menikah? Pemuda itu menjawab bahwa dia tidak mempunyai apa-apa yang akan diberikannya kepada calon istrinya sebagai shadaq.
Rasulullah ﷺ menjelaskan lagi kepadanya bahwa mahar itu perlu. Mahar adalah salah satu rukun atau bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam suatu pernikahan. Dia mesti berusaha mencarinya. Lebih lekas, lebih baik. Kalau mahar itu ada sekarang, sekarang juga pun dia dapat dinikahkan. Maka, berkatalah beliau,
“Pergilah cari, walaupun sebentuk cincin besi."
Pemuda itu pun keluarlah dari majelis, pergi mencari bahan untuk mahar, walaupun hanya sebentuk cincin besi. Entah dia betul-betul mencari entah tidak, ahli riwayat tidaklah menerangkan. Cuma beberapa saat kemudian dia pun kembali. Mengatakan terus terang kepada Rasulullah sebentuk cincin besi pun tidak ada didapatnya.
Dengan senyumnya Rasulullah bertanya, “Adakah engkau menghafal Al-Qur'an? Dan kalau ada, berapa yang engkau hafal?"
Dengan gembira pemuda itu menjawab, “Balaa, ya Rasulullah!" Artinya yang tepat “Kalau itu yang engkau tanyakan ya Rasulullah, itu ada padaku. Aku hafal surah al-Baqarah seluruhnya dan demikian juga surah Aali ‘Imraan dan beberapa surah panjang yang lain."
“Kalau begitu, aku nikahkanlah engkau dengan perempuan ini, dengan mahar ayat-ayat Al-Qur'an yang engkau hafal itu!" (Aku nikahkanlah engkau dengan dia dengan (mahar) ayat-ayat Al-Qur'an yang ada pada engkau itu)
Perempuan itu pun sekali-kali tidak membantah. Dia terima dengan senang hati apa yang telah diputuskan Rasulullah ﷺ Sebab, menyerahkan diri yang dia maksud bukanlah semata-mata supaya Nabi yang mem-peristrinya. Bahkan lebih luas dari itu, yaitu menyerahkan diri juga untuk dinikahkan oleh Rasulullah ﷺ dengan laki-laki lain yang beliau tunjuk. Si laki-laki pun berjanji akan mengajarkan segala ayat yang telah dihafalnya kepada istrinya apabila mereka sudah mendirikan rumah tangga.
Keluarlah mereka dari dalam majelis Rasul dengan muka berseri-seri karena rasa bahagia. Dapat mengisi perintah agama, yaitu taat kepada Rasul atas putusan yang telah beliau keluarkan, dan yakin bahwa apa yang telah diputuskan Rasul lebih baik bagi mereka untuk selama-lamanya.
Di sini nyatalah bahwa kita dapat menerima pendapat setengah ahli-ahli fiqih bahwa mahar atau shadaq, shaduqat atau mas kawin adalah ‘iwadh, ganti kerugian atau harga kehormatan yang menyebabkan faraj perem-puan yang semula haram menjadi halal. Teranglah sekarang bahwa shadaq adalah tanda rumah tangga yang mulai didirikan atas dasar kejujuran. Dengan mengingat bahwa rumpun kata shadaq dengan kata shidiq dan shadaqah adalah satu, dan artinya pun adalah satu, yaitu kejujuran. Sesuailah dengan isi pesan Rasulullah ﷺ kepada setiap laki-laki, agar memelihara istrinya baik-baik dengan jujur dan setia.
Sebab perempuan adalah amanah Allah di atas pundak suaminya. Dengan kalimat Allah, kehormatan perempuan menjadi halal bagi si laki-laki. Kalimat Allah lebih mahal daripada penilaian cincin besi atau ayat Al-Qur'an atau dinar emas dalam beratus-ratus talam emas, di bawah semerbak bau anbar dan kesturi.
Teringat pula kita salinan yang indah atas kata shadaq di Indonesia. Orang-orang Melayu Sumatera Timur menamai mahar atau mas itu, uang jujur. Bukan ganti kerugian “kehormatan" (‘iwadh) sebagai kata setengah ahli fiqih.
Sebaliknya, apabila inti sari maksud shadaq dan nihlah tidak diperhatikan lagi dan iman kepada Allah tidak lagi menjadi patri sua-tu pernikahan sehingga menikahkan seorang anak perempuan sudah dipandang menjadi
suatu perniagaan, meminta mahar yang tinggi tidak terpikul oleh laki-laki yang meminang. Pada waktu demikian akan sulitlah pernikahan, padahal Rasulullah menyuruh mempermudahnya. Banyaklah gadis yang sudah beruban karena orang tuanya terlalu “menahan harga." Beginilah yang terjadi di beberapa negeri Islam pada zaman kita ini, seumpama di Hejaz (Mekah-Madinah) atau di Pakistan dan kalangan umat Islam di India. Laki-laki lama baru menikah karena terlalu lama mengumpulkan harta untuk mahar. Perempuan pun menjadi gadis tua karena ayahnya terlalu tahan harga.
Adapun di negeri-negeri Islam yang sudah kemasukan pengaruh Barat timbul pula kesulitan nikah. Karena perempuan sudah terlalu banyak keluar dan terlalu banyak kehendaknya sehingga dalam membentuk suatu rumah tangga, perhatian orang terlalu ditumpahkan kepada kemewahan benda, dan tidak ingat lagi bahwa pernikahan adalah amanah Allah dan hanyalah pergaulan setelah dibuka kuncinya dengan kalimat Allah.