Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan janganlah
تَنكِحُواْ
kamu kawini
مَا
apa
نَكَحَ
telah mengawini
ءَابَآؤُكُم
bapak-bapakmu
مِّنَ
dari
ٱلنِّسَآءِ
wanita-wanita
إِلَّا
kecuali
مَا
apa/masa
قَدۡ
sungguh
سَلَفَۚ
telah berlalu
إِنَّهُۥ
sesungguhnya itu
كَانَ
adalah itu
فَٰحِشَةٗ
perbuatan keji
وَمَقۡتٗا
dan dibenci
وَسَآءَ
dan seburuk-buruk
سَبِيلًا
jalan
وَلَا
dan janganlah
تَنكِحُواْ
kamu kawini
مَا
apa
نَكَحَ
telah mengawini
ءَابَآؤُكُم
bapak-bapakmu
مِّنَ
dari
ٱلنِّسَآءِ
wanita-wanita
إِلَّا
kecuali
مَا
apa/masa
قَدۡ
sungguh
سَلَفَۚ
telah berlalu
إِنَّهُۥ
sesungguhnya itu
كَانَ
adalah itu
فَٰحِشَةٗ
perbuatan keji
وَمَقۡتٗا
dan dibenci
وَسَآءَ
dan seburuk-buruk
سَبِيلًا
jalan
Terjemahan
Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Tafsir
(Dan janganlah kamu kawini apa) maksudnya siapa (Di antara wanita-wanita yang telah dikawini oleh bapakmu kecuali) artinya selain dari (yang telah berlalu) dari perbuatanmu itu, maka dimaafkan. (Sesungguhnya hal itu) maksudnya mengawini mereka itu (adalah perbuatan keji) atau busuk (suatu kutukan) maksudnya sesuatu yang menyebabkan timbulnya kutukan dari Allah, yang berarti kemurkaan-Nya yang amat sangat (dan sejahat-jahat) seburuk-buruk (jalan) yang ditempuh.
Tafsir Surat An-Nisa': 19-22
Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu mau mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?
Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.
Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).
Ayat 19
Imam Bukhari mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muqatil, telah menceritakan kepada kami Asbat ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Asy-Syaibani, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas Asy-Syaibani mengatakan bahwa hadis ini diketengahkan pula oleh Abul Hasan As-Sawa-i, yang menurut dugaannya ia benar-benar menuturkannya dari Ibnu Abbas - sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa.” Ibnu Abbas mengatakan bahwa di masa lalu apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka meninggal dunia, maka para wali si mayat adalah orang yang lebih berhak terhadap diri istri si mayat. Dengan kata lain, jika sebagian dari mereka menyukainya, maka ia boleh mengawininya; dan jika tidak suka, maka mereka boleh mengawinkannya; dan jika mereka menginginkan agar istri si mayat tidak kawin, maka mereka boleh tidak mengawinkannya. Pada garis besarnya mereka lebih berhak terhadap diri istri si mayat daripada keluarga si istri. Lalu Allah menurunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19)
Demikianlah menurut apa yang diketengahkan oleh Imam Bukhari, Imam Abu Daud, Imam Nasai, Ibnu Murdawaih, dan Ibnu Abu Hatim melalui hadis Abu Ishaq Asy-Syaibani yang nama aslinya adalah Sulaiman ibnu Abu Sulaiman, dari Ikrimah, dari Abul Hasan As-Sawa-i yang nama aslinya ialah Ata Kufi yang tuna netra, keduanya menerima hadis ini dari Ibnu Abbas, seperti yang telah disebutkan di atas.
Imam Abu Dawud mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Sabit Al-Marwazi, telah menceritakan kepadaku Ali ibnu Husain, dari ayahnya, dari Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata.” (An-Nisa: 19) Itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya, lalu ia bersikap selalu menyusahkannya hingga si istri meninggal dunia atau (baru dibebaskan) bila si istri mau mengembalikan maskawinnya. Maka Allah memberikan ketentuan hukum mengenai hal tersebut, yakni melarang perbuatan itu.
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud, tetapi diriwayatkan pula oleh yang lain yang tidak hanya satu orang, dari Ibnu Abbas hal yang serupa.
Waki' meriwayatkan dari Sufyan, dari Ali ibnu Nadimah, dari Miqsarn, dari ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah ada seorang wanita yang ditinggal mati oleh suaminya. Lalu datanglah seorang lelaki yang melemparkan bajunya kepada si wanita itu. Maka si lelaki tersebutlah yang lebih berhak terhadap diri wanita itu. Lalu turunlah firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19) Apabila seorang lelaki mati meninggalkan anak perempuan, maka kerabat terdekatnya melemparkan baju kepada si perempuan itu, maka dia berhak mencegahnya dikawini oleh orang lain. Jika si perempuan itu cantik dan ia suka, maka ia mengawininya; tetapi jika si perempuan tidak cantik, ia mengurungnya hingga mati, lalu ia mewarisinya.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa dahulu di masa Jahiliah apabila ada seorang kerabatnya yang meninggal dunia, maka ia melemparkan baju kepada istri si mayat. Dengan demikian, dialah yang mewarisi nikahnya dan tidak boleh orang lain menikahinya. Ia dapat saja mengurungnya di dalam rumah hingga istri si mayat membayar tebusan kepadanya. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19)
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa dahulu penduduk Yatsrib (Madinah) di masa Jahiliah, apabila ada seorang lelaki dari kalangan mereka yang mati, istrinya ikut diwarisi oleh orang yang mewarisi hartanya. Lalu si pewaris menyusahkannya hingga ia mewarisi hartanya atau menikahkannya dengan orang yang ia kehendaki. Dahulu di kalangan penduduk Tihamah seorang lelaki dari kalangan mereka biasa memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang baik hingga ia menceraikannya, tetapi dengan syarat 'hendaknya si istri tidak kawin kecuali dengan lelaki yang disetujuinya, sebelum si istri membayar tebusan kepadanya dengan sebagian dari maskawin yang pernah diberikannya'. Maka Allah melarang orang-orang mukmin melakukan perbuatan tersebut. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Abu Bakar ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Munzir, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Fudail, dari Yahya ibnu Sa'id, dari Muhammad ibnu Abu Umamah ibnu Sahl ibnu Hanif, dari ayahnya yang telah menceritakan bahwa ketika Abu Qais ibnul Aslat meninggal dunia, anak lelakinya bermaksud mengawini istri (ibu tiri)nya. Hal ini di masa Jahiliah biasa di kalangan mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19)
Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadits Muhammad Ibnu Fudail dengan lafal yang sama. Kemudian ia meriwayatkan pula melalui jalur Ibnu Juraij yang mengatakan bahwa ‘Atha’ pernah bercerita kepadanya, "Di masa lalu orang-orang Jahiliah itu apabila ada seorang lelaki meninggal dunia dan meninggalkan istri, maka si istri dikurung oleh keluarga si mayat dan dipaksa mengasuh seorang bayi yang ada di kalangan mereka (keluarga si mayat)." Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19) hingga akhir ayat.
Ibnu Juraij mengatakan, Mujahid pernah mengatakan bahwa dahulu bila ada seorang lelaki meninggal dunia, maka anak laki-lakinya lebih berhak terhadap istrinya. Dengan kata lain, ia boleh mengawininya jika si istri itu bukan ibunya; atau boleh pula menikahkannya dengan siapa yang disukai anaknya, baik dengan saudaranya ataupun anak saudaranya. Ibnu Juraij mengatakan, Ikrimah pernah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Kabisyah binti Ma'an ibnu ‘Ashim ibnul Aus yang suaminya (yaitu Abu Qais ibnul Aslat) meninggal dunia, sedangkan anak (tiri)nya mencintainya. Maka Kabisyah datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Wahai Rasulullah, aku tidak dapat mewarisi harta suamiku dan tidak pula dibiarkan nikah dengan orang lain." Maka Allah menurunkan ayat ini.
As-Suddi meriwayatkan dari Abu Malik, bahwa dahulu di masa Jahiliah bila seorang wanita ditinggal mati suaminya, maka wali suaminya datang dan melemparkan baju kepadanya. Jika si mayat mempunyai seorang anak lelaki yang masih kecil atau seorang saudara laki-laki maka si wali mengurung wanita itu hingga si anak dewasa atau si wanita itu mati. Lalu anak mewarisinya. Tetapi jika si wanita melarikan diri ke rumah keluarganya dan belum sempat dilempari baju, berati ia selamat. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19)
Mujahid mengatakan sehubungan dengan ayat ini bahwa dahulu ada seorang lelaki yang dalam asuhannya terdapat seorang anak yatim perempuan, sedangkan ia menjadi wali dari anak perempuan yatim itu, maka ia mengurungnya dengan harapan kalau istrinya mati nanti ia mengawininya, atau mengawinkannya dengan anak laki-lakinya sendiri.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah diriwayatkan dari Asy-Sya'bi, ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, Abu Mijlaz, Adh-Dhahhak, Az-Zuliri, ‘Atha’ Al-Khurrasani, dan Muqatil ibnu Hayyan hal yang serupa.
Menurut kami ayat ini mengandung makna yang umum mencakup semua perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang Jahiliah, juga mencakup apa yang disebut oleh Mujahid serta orang-orang yang mendukungnya serta semua perbuatan yang mempunyai kemiripan dengan hal tersebut.
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (An-Nisa: 19)
Janganlah kalian dalam menggauli mereka kalian menyusahkan mereka yang pada akhirnya mereka membiarkan kalian mengambil apa yang telah kalian serahkan kepada mereka sebagai maskawinnya, atau mengambil sebagiannya, atau salah satu hak mereka yang ada pada kalian, atau sesuatu dari hal tersebut karena kalian ambil dari mereka dengan cara paksa dan menimpakan mudarat (kerugian) terhadap mereka.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari lbnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka.” Artinya, janganlah kalian memaksa mereka. “Karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (An-Nisa: 19) Seorang lelaki yang mempunyai istri, sedangkan dia tidak menyukainya, padahal dia telah membayar maskawin kepadanya, maka ia bersikap menyusahkan dirinya dengan tujuan agar si istri menebus kebebasannya dengan maskawin yang telah dibayarkan kepadanya dari dia.
Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh para ulama yang tidak hanya seorang. Inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Ibnul Mubarak dan Abdur Razzaq mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ma'mar, telah menceritakan kepadaku Sammak ibnul Fadl, dan lbnu Salmani yang menceritakan bahwa salah satu dari kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan kebiasaan di zaman Jahiliah, sedangkan yang lainnya diturunkan berkenaan dengan apa yang terjadi di masa (permulaan) Islam.
Abdullah lbnul Mubarak mengatakan, yang dimaksud ialah firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa.” (An-Nisa: 19) Yakni seperti yang biasa terjadi di masa Jahiliah. “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka.” (An-Nisa: 19) Seperti yang terjadi pada zaman permulaan Islam.
Firman Allah ﷻ: “Terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (An-Nisa: 19)
Ibnu Mas'ud, Ibnu Abbas, Sa'id ibnul Musayyab, Asy-Sya'bi, Al-Hasan Al-Basri, Muhammad ibnu Sirin, Said ibnu Jubair, Mujahid, lkrimah, ‘Atha’ Al-Khurrani, Adh-Dhahhak, Abu Qilabah, Abu Saleh, As-Suddi, Zaid ibnu Aslam dan Sa'id ibnu Abu Hilal mengatakan, yang dimaksud dengan fahisyah atau perbuatan keji ini adalah perbuatan zina. Dengan kata lain, bila si istri berbuat zina, maka kamu boleh mengambil kembali darinya maskawin yang telah kamu berikan kepadanya, misalnya kamu bersikap menyusahkannya hingga ia membiarkan maskawin itu diambil olehmu dan meminta khulu' darimu. Seperti pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah, yaitu firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mengambil kembali sesuatu dari yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menegakkan hukum-hukum Allah.” (Al-Baqarah: 229), hingga akhir ayat.
Ibnu Abbas, Ikrimah, dan Adh-Dhahhak mengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata adalah membangkang dan durhaka. Sedangkan Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa perbuatan keji yang nyata mencakup semuanya, yakni zina dan durhaka, membangkang dan bermulut kotor serta lain-lainnya. Dengan kata lain, reaksi seperti itu dari istri membolehkan pihak suami bersikap menyusahkannya agar si istri membebaskan seluruh haknya atau sebagiannya yang ada pada tanggungan suaminya, lalu si suami menceraikannya. Pendapat ini dinilai cukup baik.
Dalam pembahasan yang lalu terdapat sebuah atsar yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud secara munfarid (menyendiri) melalui jalur Yazid An-Nahwi, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Tidak halal bagi kalian mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata.” (An-Nisa: 19) Ibnu Abbas mengatakan bahwa itu karena di masa lalu seorang lelaki mewarisi istri kerabatnya yang meninggal dunia, lalu ia bersikap menyusahkannya hingga istri si mayat mati atau mengembalikan maskawin kepadanya. Maka Allah melarang perbuatan tersebut.
Ikrimah dan Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa hal ini memberikan pengertian bahwa konteks seluruh ayat ini berkaitan dengan apa yang biasa dilakukan di masa Jahiliah. Tetapi Allah melarang kaum muslim mengerjakannya dalam masa Islam.
Abdur Rahman ibnu Zaid mengatakan, kebiasaan bersikap menyusahkan istri ini biasa dialami orang-orang Quraisy di Mekah. Seorang lelaki dari kalangan mereka mengawini seorang wanita yang terhormat. Apabila terjadi pihak istri tidak cocok dengan suaminya itu, maka si suami mau menceraikannya dengan syarat bahwa si istri tidak boleh kawin lagi kecuali dengan seizinnya. Untuk itu pihak suami mendatangkan beberapa orang saksi, kemudian mencatat syarat tersebut atas diri si istri, lalu dipersaksikan. Bilamana datang seorang pelamar dan si istri memberi bekas suaminya sesuatu serta membuatnya puas dengan jalan yang diterimanya maka barulah bekas suami mengizinkannya. Karena itu, maka turunlah firman-Nya: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (An-Nisa: 19) hingga akhir ayat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kalian berikan kepadanya.” (An-Nisa: 19) Bahwa sikap menyusahkan dalam ayat ini semakna dengan pengertian yang terdapat di dalam surat Al-Baqarah ayat 229.
Firman Allah ﷻ: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” (An-Nisa: 19) Bertutur sapalah kalian dengan mereka dengan baik, dan berperilakulah dengan baik dalam semua perbuatan dan penampilan kalian terhadap mereka dalam batas yang sesuai dengan kemampuan kalian. Sebagaimana kalian pun menyukai hal tersebut dari mereka, maka lakukan olehmu hal yang serupa terhadap mereka. Seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut.” (Al-Baqarah: 228)
Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik perlakuannya kepada istrinya, sedangkan aku adalah orang yang paling baik kepada istri di antara kalian.”
Tersebutlah bahwa termasuk akhlak Nabi ﷺ dalam mempergauli istri ialah beliau orang yang sangat baik dalam bergaul, selalu gembira, sering bermain dengan istrinya dan bersikap lemah lembut kepada mereka, memberi mereka kelapangan dalam nafkah serta gemar bersenda gurau. Sampai pernah beliau berlomba lari dengan Siti Aisyah Ummul Mukminin sambil bercengkrama dan berkasih mesra dengannya. Siti Aisyah mengatakan adakalanya Rasulullah menang atas diriku dan adakalanya aku yang menang. Itu terjadi sebelum aku bertubuh gemuk. Setelah aku bertubuh gemuk dan mendahuluinya maka beliau menyusulku seraya mengatakan: “Ini sebagai balasan dari kekalahan yang tadi." Rasulullah ﷺ selalu mengumpulkan semua istrinya setiap malam di dalam satu rumah yang merupakan malam giliran beliau, lalu adakalanya beliau makan malam bersama-sama mereka. Setelah itu masing-masing istri kembali ke tempatnya sendiri-sendiri (kecuali yang digilir oleh beliau ﷺ). Nabi ﷺ tidur dengan salah seorang istrinya dalam satu kemah, dan beliau terlebih dahulu meletakkan kain selendangnya, lalu tidur dengan memakai kain sarung. Nabi ﷺ bila telah melakukan shalat Isya dan masuk ke dalam rumahnya, terlebih dahulu begadang sebentar bersama keluarganya sebelum tidur; hal itu beliau lakukan untuk mengakrabkan diri dengan mereka. Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian.” (Al-Ahzab: 21)
Mengenai hukum-hukum mempergauli wanita dan hal-hal yang berkaitan dengannya, pembahasannya secara rinci dapat dijumpai dalam kitab-kitab yang membahas masalah-masalah hukum (kitab-kitab fiqih).
Firman Allah ﷻ: “Kemudian bila kalian tidak menyukai mereka, maka (bersabarlah karena) boleh jadi kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa: 19)
Dengan kata lain, boleh jadi sikap sabar kalian dengan tetap memegang mereka sebagai istri kalian padahal kalian tidak suka kepada mereka mengandung kebaikan yang banyak bagi kalian di dunia dan akhirat. Seperti apa yang dikatakan oleh Ibnu Abbas sehubungan dengan ayat ini; yang dimaksud ialah hendaknya si suami tetap berlemah lembut kepada istrinya (yang tidak ia sukai itu), maka pada akhirnya ia akan dianugerahi seorang anak dari istrinya, dan dari anaknya itu ia mendapatkan kebaikan yang banyak. Di dalam sebuah hadits shahih disebutkan: “Seorang lelaki mukmin jangan membenci wanita mukminah, jika ia tidak menyukai suatu akhlak darinya maka boleh jadi ia senang dengan akhlak yang lain darinya.”
Ayat 20
Firman Allah ﷻ: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu mau mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?” (An-Nisa: 20)
Jika seseorang di antara kalian ingin menceraikan seorang istri dan menggantikannya dengan istri yang lain, maka janganlah ia mengambil darinya maskawin yang pernah ia berikan kepadanya di masa lalu barang sedikit pun, sekalipun apa yang telah ia berikan kepadanya berupa harta yang banyak.
Dalam surat Ali Imran telah kami sebutkan penjelasan mengenai pengertian qintar ini dengan penjelasan yang cukup sehingga tidak perlu diulangi lagi di sini. Di dalam ayat ini terkandung dalil yang menunjukkan boleh memberikan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak. Akan tetapi, Khalifah Umar ibnul Khattab pernah melarang mengeluarkan maskawin dalam jumlah yang sangat banyak, namun kemudian beliau mencabut kembali larangannya itu.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnu Alqamah, dari Muhammad ibnu Sirin yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar dari Abul Ajfa As-Sulami yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Khalifah Umar ibnul Khattab berkata, "Ingatlah, janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memberikan maskawin terhadap wanita, karena sesungguhnya seandainya maskawin itu merupakan kemuliaan di dunia atau suatu ketakwaan di sisi Allah, niscaya Nabi ﷺ lebih mendahuluinya daripada kalian. Rasulullah ﷺ tidak pernah memberikan maskawin kepada seorang pun dari istri-istrinya, tidak pula seorang wanita pun dari anak perempuannya menerima maskawin dalam jumlah yang lebih dari dua belas auqiyah. Sesungguhnya seorang lelaki itu benar-benar akan mendapat ujian karena maskawin istrinya, hingga ia mempunyai rasa permusuhan terhadap istrinya dalam dirinya dan hingga ia mengatakan, "Aku terpaksa menggantungkan qirba-ku untuk mendapatkanmu." Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahlus sunan melalui berbagai jalur dari Muhammad ibnu Sirin, dari Abul Aufa yang nama aslinya ialah Haram ibnu Sayyib Al-Basri. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berpredikat hasan shahih.
Jalur yang lain dari Umar Al-Hafidzh Abu Ya'la yang mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abu Khaisamah, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdur Rahman, dari Khalid ibnu Sa'id, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq yang mengatakan bahwa Khalifah Umar ibnul Khattab menaiki mimbar Rasulullah ﷺ, kemudian berkata, "Wahai manusia, mengapa kalian berbanyak-banyak dalam mengeluarkan maskawin untuk wanita, padahal dahulu Rasulullah ﷺ dan para sahabatnya membayar maskawin mereka di antara sesama mereka hanya empat ratus dirham atau kurang dari itu. Seandainya memperbanyak maskawin merupakan ketakwaan di sisi Allah atau suatu kemuliaan, niscaya kalian tidak akan dapat mendahului mereka dalam hal ini. Sekarang aku benar-benar akan mempermaklumatkan, hendaknya seorang lelaki jangan membayar maskawin kepada seorang wanita dalam jumlah lebih dari empat ratus dirham." Masruq melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Khalifah Umar turun dari mimbarnya, tetapi ada seorang wanita dari kalangan Quraisy mencegatnya dan mengatakan kepadanya, "Wahai Amirul Muminin, engkau melarang orang-orang melebihi empat ratus dirham dalam maskawin mereka?" Khalifah Umar menjawab, "Ya." Wanita itu berkata, “Tidakkah engkau mendengar apa yang telah diturunkan oleh Allah dalam Al-Qur'an?" Khalifah Umar bertanya, "Ayat manakah yang engkau maksudkan?" Wanita itu menjawab, "Tidakkah engkau pernah mendengar bahwa Allah ﷻ telah berfirman: 'Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak'." (An-Nisa: 20), hingga akhir ayat. Maka Khalifah Umar berkata, “Ya Allah, ampunilah aku sesungguhnya orang ini lebih pandai daripada Umar." Kemudian Khalifah Umar kembali menaiki mimbar, dan berkata, “Wahai manusia sekalian. Sesungguhnya aku telah melarang kalian melebihi empat ratus dirham dalam membayar maskawin wanita. Sekarang barang siapa yang ingin memberi mahar dari hartanya menurut apa yang disukainya, ia boleh melakukannya." Abu Ya'la mengatakan, "Menurut dugaan kuatku, Umar mengatakan, 'Barang siapa yang suka rela (memberi mahar dalam jumlah yang lebih dari empat ratus dirham), ia boleh melakukannya'." Sanad atsar ini dinilai jayyid (baik) lagi kuat.
Jalur yang lain. Ibnul Munzir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, dari Abdur Razzaq, dari Qais Ibnu Rabi', dari Abu Husain, dari Abu Abdur Rahman As-Sulami yang menceritakan bahwa Khalifah Umar Ibnu Khattab pernah mengatakan, "Janganlah kalian berlebih-lebihan dalam membayar maskawin wanita." Lalu ada seorang wanita berkata, "Tidaklah demikian, wahai Umar, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: 'Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak'." (An-Nisa: 20) Yang dimaksud dengan qintar adalah emas yang banyak. Abu Abdur Rahman As-Sulami mengatakan, "Demikian pula menurut qiraat Abdullah ibnu Mas'ud, yakni seqintar emas. Maka janganlah kalian mengambil kembali darinya barang sedikit pun." Kemudian Khalifah Umar berkata, "Sesungguhnya seorang wanita telah mendebat Umar, ternyata wanita itu dapat mengalahkannya." Jalur lain dari Umar terdapat inqita (rawi yang terputus).
Az-Zubair ibnu Bakkar mengatakan: Telah menceritakan kepadaku pamanku Mus'ab ibnu Abdullah, dari kakekku yang telah menceritakan bahwa Khalifah Umar pernah mengatakan, “Janganlah kalian berlebihan dalam membayar maskawin wanita sekalipun wanita yang dimaksud adalah anak perempuan Zul Qussah (yakni Yazid ibnul Husain Al-Harisi). Dan barang siapa yang berlebihan, maka selebihnya diberikan ke Baitul Mal." Maka ada seorang wanita jangkung dari barisan kaum wanita yang pada hidungnya terdapat anting-anting mengatakan, "Itu tidak ada hak bagimu." Khalifah Umar bertanya, "Mengapa?" Wanita itu menjawab bahwa sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: “Sedangkan kalian telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak.” (An-Nisa: 20), hingga akhir ayat. Maka Umar berkata, "Seorang wanita benar, dan seorang lelaki keliru."
Ayat 21
Karena itulah Allah ﷻ berfirman dengan nada mengingkari: “Bagaimana mungkin kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri.” (An-Nisa: 21)
Maksudnya bagaimana kalian tega mengambil kembali maskawin dari wanita, padahal kamu telah bergaul dan bercampur dengannya; dan ia pun telah bergaul dan bercampur denganmu. Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, As-Suddi, dan ulama lainnya, yang dimaksud dengan 'bergaul' di sini ialah bersetubuh.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada dua orang yang melakukan li’an, sesudah keduanya selesai dari sumpah li'an-nya: “Allah mengetahui bahwa salah satu dari kalian berdua ada yang dusta, maka adakah di antara kalian yang mau bertobat?” Nabi ﷺ mengucapkan kalimat ini sebanyak tiga kali. Maka si lelaki berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan hartaku yakni maskawin yang telah diberikan?" Nabi ﷺ bersabda: “Kamu tidak mempunyai harta itu lagi, jika kamu telah memberikannya sebagai maskawin, maka hal itu sebagai imbalan dari apa yang telah engkau halalkan dari farji (kemaluan)nya. Dan jika kamu adalah orang yang berdusta terhadapnya (istrimu), maka harta itu lebih jauh lagi bagimu dan lebih dekat kepadanya.”
Di dalam kitab Sunan Abu Daud dan lain-lain diriwayatkan dari Nadrah ibnu Abu Nadrah bahwa ia pernah kawin dengan seorang wanita yang masih perawan yang berada dalam pingitannya. Tetapi ternyata tiba-tiba wanita itu sudah hamil. Lelaki itu datang kepada Rasulullah ﷺ dan menceritakan hal tersebut kepadanya. Maka Nabi ﷺ memutuskan bahwa pihak lelaki tetap harus membayar maskawin kepada wanita itu, lalu beliau ﷺ menceraikan keduanya dan memerintahkan agar si wanita dihukum dera. Lalu beliau ﷺ bersabda: “Anak ini adalah budakmu, dan maskawin itu sebagai ganti dari al-bud'u (kemaluan).” Maka dari itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Bagaimana mungkin kalian akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kalian telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri.” (An-Nisa: 21)
Firman Allah SWT: “Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.” (An-Nisa: 21)
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, dan Sa'id ibnu Jubair, bahwa yang dimaksud dengan mitsaq atau perjanjian ialah akad nikah.
Sufyan Ats-Tsauri meriwayatkan dari Habib ibnu Abu Sabit, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Dan mereka (istri-istri kalian) telah mengambil dari kalian perjanjian yang kuat.” (An-Nisa: 21)
Yang dimaksud dengan mitsaqan ghalizan ialah memegang dengan cara yang patut atau melepaskan dengan cara yang baik.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ikrimah, Mujahid, Abul Aliyah, Al-Hasan, Qatadah, Yahya ibnu Abu Kasir, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi hal yang serupa.
Abu Ja'far Ar-Razi meriwayatkan dari Ar-Rabi' ibnu Anas sehubungan dengan ayat ini, bahwa yang dimaksud ialah kalian telah menjadikan mereka istri-istri kalian dengan amanat dari Allah dan kalian telah menghalalkan farji (kemaluan) mereka dengan menyebut kalimat Allah. Karena sesungguhnya kalimat Allah itu adalah membaca syahadat dalam khutbah nikah. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Di dalam kitab Shahih Muslim disebutkan dari Jabir tentang khutbah haji wada, bahwa Nabi ﷺ di dalamnya antara lain mengatakan: “Berwasiatlah kalian dengan kebaikan sehubungan dengan wanita, karena sesungguhnya kalian mengambil (memperistri) mereka dengan amanat dari Allah dan kalian halalkan farji (kemaluan) mereka dengan menyebut kalimat Allah.
Ayat 22
Firman Allah ﷻ: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (An-Nisa: 22) hingga akhir ayat.
Allah mengharamkan istri-istri para ayah sebagai penghormatan buat mereka, dan memuliakan serta menghargai mereka agar janganlah istri-istri mereka dikawini (oleh anak-anak tirinya). Sehingga istri ayah diharamkan bagi seorang anak hanya setelah si ayah melakukan akad nikah dengannya. Hal ini merupakan suatu perkara yang telah disepakati oleh semuanya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Qais ibnur Rabi, telah menceritakan kepada kami Asy'as ibnu Siwar, dari Addi ibnu Sabit, dari seorang lelaki dari kalangan Anshar yang menceritakan bahwa tatkala Abu Qais (yakni Ibnul Aslat, salah seorang yang saleh dari kalangan Anshar) meninggal dunia, anak lelakinya melamar bekas istrinya. Lalu si istri berkata, "Sebenarnya aku menganggapmu sebagai anak, dan engkau termasuk orang yang saleh di kalangan kaummu. Tetapi aku akan datang terlebih dahulu kepada Rasulullah ﷺ.” Istri Ibnu Aslat berkata: “Sesungguhnya Abu Qais telah meninggal dunia." Nabi ﷺ bersabda, “Ya." Si istri bertanya: “Sesungguhnya anak lelakinya (yaitu Qais) melamarku, sedangkan dia adalah seorang yang saleh dari kalangan kaumnya, dan sesungguhnya aku menganggapnya sebagai anak. Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Nabi ﷺ bersabda, "Kembalilah kamu ke rumahmu." Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian.” (An Nisa:22) hingga akhir ayat.
Ibnu Jarir mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Al-Qasim, telah menceritakan kepada kami Husain, telah menceritakan kepada kami Hajjaj, dari Ibnu Juraij, dari Ikrimah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan janganlah kalian kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian, terkecuali pada masa yang telah lampau.” (An-Nisa: 22) Dia mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Qais ibnul Aslat yang meninggalkan Ummu Ubaidillah (yaitu Damrah). Di masa lalu Damrah adalah bekas istri ayahnya.
Diturunkan berkenaan dengan Al-Aswad ibnu Khalaf yang mempunyai istri bekas istri ayahnya sendiri, yaitu anak perempuan At-Talhah ibnu Abdul Uzza ibnu Usman ibnu Abdud Dar. Juga diturunkan berkenaan dengan Fakhitah (anak perempuan Al-Aswad ibnul Muttalib ibnu Asad) yang dahulunya adalah istri Umayyah ibnu Khalaf. Setelah Umayyah ibnu Khalaf meninggal dunia, maka bekas istrinya itu dikawini oleh anak lelaki Umayyah (yaitu Safwan ibnu Umayyah). As-Suhaili menduga mengawini istri ayah (yakni ibu tiri) diperbolehkan di masa Jahiliah. Karena itulah maka disebutkan di dalam firman-Nya: “Kecuali pada masa lampau.”
Perihalnya sama dengan apa yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan (diharamkan bagi kalian) menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau.” (An-Nisa: 23) As-Suhaili mengatakan bahwa hal tersebut pernah dilakukan oleh Kinanah ibnu Khuzaimah; ia pernah kawin dengan bekas istri ayahnya, lalu dari perkawinannya itu lahirlah An-Nadr Ibnu Kinanah. As-Suhaili mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Aku dilahirkan dari hasil nikah, bukan dari sifah (perkawinan di masa Jahiliah).” As-Suhaili mengatakan, "Hal ini menunjukkan bahwa perkawinan seperti itu diperbolehkan bagi mereka di masa Jahiliah, dan mereka menganggap hal tersebut sebagai suatu perkawinan."
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Al-Makhzumi, telah menceritakan kepada kami Qurad, telah menceritakan kepada kami Ibnu Uyaynah, dari Amr, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, bahwa orang-orang Jahiliah di masa lampau mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah, kecuali istri ayah dan menghimpun dua perempuan bersaudara dalam satu perkawinan. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan janganlah kalian kawini wanita yang telah dikawini oleh ayah kalian.” (An-Nisa: 22); “Dan (diharamkan bagi kalian) menghimpun (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara.” (An-Nisa: 23)
Hal yang sama dikatakan oleh ‘Atha’ dan Qatadah. Akan tetapi, apa yang dinukil oleh As-Suhaili sehubungan dengan kisah Kinanah masih perlu dipertimbangkan (kesahihannya). Dengan alasan apa pun hal tersebut tetap diharamkan bagi umat ini dan merupakan perbuatan yang sangat keji. Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (An-Nisa: 22)
Allah ﷻ berfirman: “Dan dibenci Allah.” (An-Nisa: 22)
Yaitu dibenci. Dengan kata lain, perbuatan tersebut memang suatu dosa besar, yang akibatnya akan membuat si anak benci kepada ayahnya sesudah ia mengawini bekas istri ayahnya. Karena pada galibnya (pada umumnya) setiap orang yang mengawini seorang wanita janda selalu membenci bekas suami istrinya.
Karena itulah maka Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi ﷺ) diharamkan atas umat ini, karena kedudukan mereka sama dengan ibu dan karena mereka adalah istri-istri Nabi ﷺ yang kedudukannya sebagai bapak dari umat ini, bahkan hak Nabi ﷺ lebih besar daripada para ayah, menurut kesepakatan semuanya. Bahkan cinta kepada Nabi ﷺ harus didahulukan di atas kecintaan kepada orang lain.
‘Atha’ ibnu Abu Rabbah mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Dan dibenci Allah.” (An-Nisa: 22) Maksudnya, perbuatan yang dibenci oleh Allah ﷻ.
“Dan seburuk-buruk jalan.” (An-Nisa: 22)
Yakni merupakan jalan yang paling buruk bagi orang yang menempuhnya. Barang siapa yang melakukan perbuatan tersebut sesudah adanya larangan ini berarti dia telah murtad dari agamanya dan dikenai hukuman mati serta hartanya menjadi harta fa'i diserahkan ke Baitul Mal.
Imam Ahmad dan ahlus sunan meriwayatkan melalui berbagai jalur dari Al-Barra ibnu Azib, dari pamannya (yaitu Abu Burdah) menurut riwayat yang lain Ibnu Umar dan menurut riwayat yang lainnya lagi dari paman dari pihak ayahnya. Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mengutusnya kepada seorang lelaki yang mengawini istri ayahnya sesudah ayahnya meninggal dunia. Perintah Nabi ﷺ menginstruksikan kepadanya untuk menghukum mati lelaki tersebut dan menyita harta bendanya.
Imam Ahmad mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Asy'as, dari Aildi ibnu Sabit, dari Al-Barra ibnu Azib yang mengatakan, "Pamanku bertemu denganku, yakni Al-Haris ibnu Umair yang saat itu memimpin sejumlah pasukan yang kepemimpinannya diarahkan kepada pamanku." Maka aku bertanya, “Wahai paman, ke manakah Nabi ﷺ mengutusmu?" Pamanku menjawab, "Beliau mengutusku kepada seorang lelaki yang telah mengawini bekas istri ayahnya. Nabi ﷺ memerintahkan kepadaku agar memancungnya.”
Catatan: Para ulama sepakat mengharamkan wanita yang pernah disetubuhi oleh seorang ayah, baik melalui nikah atau hamba sahaya (pemilikan) atau wati syubhat (persetubuhan secara keliru). Tetapi mereka berselisih pendapat mengenai wanita yang pernah digauli oleh ayah dengan syahwat, tetapi bukan persetubuhan; atau dipandangnya bagian-bagian tubuh yang tidak halal bagi si ayah sekiranya wanita itu adalah wanita lain (bukan mahramnya).
Setelah menjelaskan etika pergaulan suami istri dalam berumah tangga, maka pada ayat ini Allah menjelaskan etika seseorang terhadap ibu tirinya setelah ayahnya wafat. Dan janganlah kamu melakukan kebiasaan buruk sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian masyarakat Jahiliah, yaitu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu baik ayah kandung maupun orang tua dari ayah atau ibu, kecuali kebiasaan tersebut dilakukan pada masa yang telah lampau ketika kamu masih dalam keadaan Jahiliah dan belum datang larangan tentang keharamannya. Setelah datangnya larangan itu, tindakan tersebut harus dihentikan. Sungguh, perbuatan menikahi istri-istri ayah (ibu tiri) itu merupakan tindakan buruk, sangat keji, dan dibenci oleh Allah. Dan pernikahan yang sangat tercela seperti itu merupakan seburuk-buruk jalan yang ditempuh untuk menyalurkan hasrat biologis. Apakah pantas bagi orang yang berakal sehat menikahi istri ayahnya setelah sang ayah wafat, padahal ia seperti ibu kandungnya sendiri'Selain haram menikahi ibu tiri sebagaimana dijelaskan di atas, diharamkan pula menikahi beberapa perempuan berikut ini. Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu termasuk juga nenekmu, anak-anakmu yang perempuan termasuk cucu perempuanmu, saudara-saudaramu yang perempuan baik kandung, seayah, atau seibu, saudara-saudara ayahmu yang perempuan termasuk saudara perempuan kakek, saudara-saudara ibumu yang perempuan termasuk saudara perempuan nenek. Demikian pula anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki, maupun anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan termasuk anak-anak perempuan mereka. Itulah tujuh golongan yang haram dinikahi karena hubungan nasab. Selain itu diharamkan pula menikahi ibu-ibumu yang menyusui kamu ketika kamu dahulu berada dalam masa penyusuan (Lihat: Surah alBaqarah/2: 233, Surah al-Ahqa'f/26: 15). Karena ibu susu mempunyai posisi sama dengan ibu kandung, maka perempuan yang haram dinikahi karena nasab, diharamkan pula karena persusuan. Dengan demikian diharamkan atas kamu menikahi saudara-saudara perempuanmu sesusuan apabila kamu menyusu langsung pada tempat yang sama, dengan ketentuan tidak kurang dari lima kali susuan yang mengenyangkan, baik mereka menyusu sebelum kamu menyusu, atau dalam waktu bersamaan, atau setelah kamu selesai.
Selain itu diharamkan pula menikahi ibu-ibu dari istrimu atau mertua, baik istri itu telah kamu gauli layaknya suami istri maupun yang belum kamu gauli. Selain itu diharamkan pula menikahi anak-anak perempuan dari istrimu yakni anak tiri yang berada dalam pemeliharaanmu dan tinggal bersama maupun anak-anak tiri yang tidak berada dalam pemeliharaanmu, keduanya sama saja. Larangan tersebut adalah jika anak tiri itu merupakan anak dari istri yang telah kamu campuri sebagaimana layaknya suami istri. Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu dan dia sudah kamu ceraikan atau istri yang belum kamu gauli itu meninggal dunia, maka tidak berdosa kamu menikahi anak-anak tiri dari bekas istri yang telah kamu ceraikan atau meninggal sebelum kamu menggaulinya. Dan diharamkan pula kamu menikahi istri-istri anak kandungmu atau menantumu sendiri. Demikian itulah ketentuan tentang keharaman menikahi perempuan untuk selama-lamanya.
Adapun wanita-wanita yang haram dinikahi tetapi tidak untuk selamalamanya dijelaskan berikut ini. Dan diharamkan pula melangsungkan perkawinan dengan mengumpulkan dua perempuan yang bersaudara pada waktu yang sama, baik kedua perempuan itu kakak beradik, atau seorang perempuan dengan bibi yakni saudara perempuan ayah atau saudara perempuan ibu dari perempuan tersebut, kecuali perkawinan serupa yang telah terjadi pada masa lampau sebelum datangnya larangan ini. Sungguh yang demikian ini karena Allah Maha Pengampun atas segala dosa atau kekhilafan yang telah kamu lakukan, Maha Penyayang terhadap hamba-hamba-Nya. Agama Islam melarang menikahi ibu kandung, ibu tiri, ibu susu, maupun bibi (saudara perempuan ayah atau ibu), adalah untuk menghormati kedudukan dan status mereka. Bagaimana mungkin orang yang diperintahkan Allah untuk dihormati malah dijadikan istri oleh anak sendiri' Di mana letak penghormatan anak terhadap mereka, dan bagaimana dengan status anak yang lahir nanti' Demikian pula larangan memperistri dua perempuan bersaudara sekaligus dalam waktu yang sama. Tindakan ini dapat menimbulkan kecemburuan besar yang berdampak pada retaknya hubungan persaudaraan. Islam sangat menjunjung tinggi hubungan kekeluargaan atau kekerabatan apabila terjalin dengan harmonis serta kokoh, dan membenci tindakan apa pun yang dapat mendorong retak bahkan putusnya hubungan tersebut
.
Haram hukumnya menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh bapak kecuali terhadap perbuatan yang telah lalu sebelum turunnya ayat ini, maka hal itu dimaafkan oleh Allah. Allah melarang perbuatan tersebut karena sangat keji, bertentangan dengan akal sehat, sangat buruk karena dimurkai Allah dan sejahat-jahat jalan menurut adat istiadat manusia yang beradab.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sebagai lanjutan membela kemuliaan perempuan, mengubah adat jahiliyyah juga, datanglah ayat ini, “Wahai orang-orang yang beriman!
Ayat 19
Tidaklah halal bagi kamu mewarisi perempuan-perempuan dengan paksa."
Di dalam beberapa hadits yang shahih, ada disebutkan lagi satu adat buruk jahiliyyah terhadap perempuan. Yaitu perempuan dianggap sebagai barang warisan. Kalau seseorang meninggal dunia, meninggalkan istri ataupun budak perempuan, perempuan itu diambil oleh si pewaris, entah anaknya yang laki-laki ataupun saudaranya, sebagaimana mengambil barang-barang yang lain saja. Kalau perempuan itu memang budak, dapatlah dimengerti. Akan tetapi, bagaimana kalau perempuan itu orang merdeka, janda dari si mati? Dia diambil oleh saudara si mati. Bahkan juga oleh anaknya. Kalau cantik mungkin dinikahinya, tetapi kalau dia tidak senang, disimpannya saja sebagaimana menyimpan budak, tidak dinikahinya dan tidak dinikahkannya. Menurut Imam az-Zuhri, ada juga yang ditahannya perempuan itu sampai mati karena mengharapkan hartanya. Datanglah ayat ini mencegah adat busuk itu karena perempuan bukanlah barang tetapi orang. Semuanya itu mereka lakukan dengan paksa, seakan-akan perempuan diperbuat sebagai makhluk yang tidak berakal saja. “Jangan kamu menyusahkan mereka, lantaran hendak mendapat sebagian dari yang telah kamu berikan kepada mereka." Ada pula orang yang dipersakitinya hati perempuan, dibuatnya “makan hati berulam jantung" sehingga dia merasa tidak tenteram lagi, apa yang ‘dikerjakan serbasalah, karena tersembunyi maksud buruk, yaitu mencari-cari hal sehingga ada alasan bagi si laki-laki hendak mengambil harta perempuan itu, baik harta waris yang diterimanya dari yang mati, ataupun harta mas kawin yang diberikan oleh suaminya kepadanya.
Menurut tafsir dari Ibnu Jarir, kaum Qu-raisy jahiliyyah mempunyai pula adat buruk cara menindas perempuan. Mereka nikahi seorang perempuan berbangsa. Setelah bergaul ternyata dia tidak berapa suka kepada perempuan itu ataupun perempuan itu sendiri tidak suka kepadanya. Lalu dibuat persetujuan bahwa si suami mau menceraikannya asal kalau dia hendak bersuami lagi mesti dengan persetujuannya terlebih dahulu. Karena tidak tahan menderita, perempuan itu pun sudi menerima perjanjian itu dan bercerailah mereka. Tiap orang lain datang meminang, mestilah dahulu diminta persetujuan bekas suaminya. Kerap kali disiksanya perempuan itu, dihalangi setiap orang meminang. Maksudnya ialah hendak memeras, meminta ganti kerugian kepada perempuan itu.
Rupanya ada dua kebiasan buruk jahiliyyah yang sangat dicela oleh Islam dan diberi peringatan kepada orang Islam supaya jangan melakukannya lagi. Pertama, memandang perempuan sebagai harta pusaka, sebagai barang warisan dari orang yang telah mati. Kedua, melakukan yaitu membuat agar hati perempuan sakit, membuat pikirannya jadi sempit sehingga akhirnya dia tidak berdaya lagi, menyerah saja kepada si pemeras apa yang akan diperlakukannya terhadap hak miliknya. Kedua kebiasaan ini wajib diberantas, sebab ini aniaya.
Kemudian, datanglah lanjutan ayat sebagai pengecualian, yaitu, “Kecuali jika mereka melakukan kekejian yang nyata."
Menurut Ibnu Abbas, Qatadah, dan adh-Dhahhak yang dimaksud dengan kekejianyang nyata di ayat ini ialah jika perempuan durhaka kepada suaminya (nusyuz) atau memang perangai dan kelakuannya buruk, kasar, tidak sopan. Menurut al-Hassan, kekejian yang nyata ialah jika dia berzina. Di sini tentu dapat kita tambahkan penafsiran Abu Muslim al-Ishbahany atas ayat 15 tadi, yaitu bahwa kekejian yang nyata ialah jika dia mengadu farajnya dengan faraj perempuan lain. Lantaran itu, arti kekejian yang nyata bolehlah diperluas. Misalnya suka ribut dengan tetangga atau mencuri. Akan tetapi, hendaklah diingat benar-benar yang ditulis dalam ayat, yaitu kekejian yang nyata, Kalau hanya fitnah atau tuduhan karena benci, atau mencari-cari hal untuk membuatnya ‘adhal, tidaklah dapat diterima. Dengan adanya perkataan kecuali, bolehlah lapangan hidup mereka dipersempit atau di-'adhal karena perangai mereka yang demikian, atau ceraikan saja mereka baik-baik, seperti yang telah diuraikan dalam surah al-Baqarah ayat 232 atau surah an-Nisaa' ayat 15 di atas.
Dengan keterangan ini jelas sekali bahwa hak-hak perempuan diperlindungi dan mereka tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang saja. Mereka hanya boleh dihukum bila jelas melanggar ketenteraman rumah tangga. Oleh sebab itu kalau terjadi gaduh sehingga masing-masing tidak mau mengalah, masing-masing menuduh campur tangan, sebagaimana kelak akan tersebut di dalam ayat 34 surah ini juga, yang terkenal dengan Ayat Syiqa.
Kemudian, datanglah lanjutan ayat, “Pergaulilah mereka dengan cara yang patut." Di dalam ayat tersebut ma'ruf, kita artikan sepatutnya (yang patut).
Yaitu pergaulan yang diakui baik dan patut oleh masyarakat umum, tidak menjadi buah mulut orang karena buruknya. Tegakkanlah suatu pergaulan yang bersopan santun, yang menjadi suri teladan kepada orang kiri kanan.
Agama tidaklah memberi perincian bagaimana coraknya pergaulan yang patut dan ma'ruf. Itu diserahkan kepada sinar iman yang ada dalam dada kita sendiri dan bergantung pula kepada kebiasaan di tiap-tiap negeri dan di tiap masa. Sebab, yang ma'ruf sudah boleh dihubungkan dengan pendapat umum.
Ibnu Abbas dalam menafsirkan ayat ini berkata, “Pergaulan yang ma'ruf ialah bahwa engkau pakai di hadapan istrimu pakaian yang bersih, bersisir rambut yang teratur, dan berhias secara laki-laki." Menurut riwayat Ibnul Mundzir dari Ikrimah, tafsir-tafsir bergaul dengan ma'ruf ialah pergaulilah mereka dengan persahabatan yang baik, sediakan, pakaiannya dengan rezekinya yang patut.
Berkenaan dengan penafsiran Ibnu Abbas tadi, teringatlah kita akan perbuatan Nabi kita yang dapat menyenangkan istrinya. Beliau mempunyai sebuah kotak kecil untuk menyimpan sisir beliau, sikat gigi (siwak), dan minyak wangi. Rambut beliau selalu harum sehingga lantaran itu semuanya suasana Nabi dengan istrinya selalu gembira. Beliau benci kepada orang yang kotor, yang kainnya jarang dicuci.
Untuk ini semuanya, Rasulullah telah meninggalkan satu pesan demikian bunyinya,
“Yang sebaik-baik kamu ialah orang yang baik terhadap ahlinya (istrinya) Dan aku adalah seorang yang baik terhadap ahliku. “
Perhatikan pulalah salah satu doa yang dipercontohkan Allah, yaitu doa hamba-hamba Allah yang Rahman di dalam pergaulannya dengan anak istrinya. Tersebut dalam surah al-Furqaan ayat 74,
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Tuhan kami, kurniakanlah kami dari istri-istri kami dan anak keturunan kami penawar mata (penenang hati), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang muttaqin. (Yakni imam bagi orang-orang yang bertakwa kepada tuhan)'“ (al-Furqaan: 74)
Penawar mata, di Minangkabau disebut orang pamenan mato, obat jerih pelerai demam, sidingin tampal di kepala. Melihat istri yang taat, hati pun senang. Melihat yang memenuhi harapan, kesusahan ayah terobat. Itulah kekayaan yang sejati.
Istri-istri Rasulullah, terutama Aisyah dan ikut juga Ummi Salamah menceritakan kehidupan Rasulullah dalam pergaulan dengan istrinya. Aisyah pernah dibawanya menonton orang Habsyi mengadakan suatu permainan di depan masjid, sedang Aisyah meletakkan dagunya di atas bahu Nabi. Ummi Salamah menceritakan bahwa pernah beliau berebut air wudhu dari satu timba dengan beliau.
Imam Ahmad, Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah meriwayatkan satu hadits dari Aisyah bahwa pernah beliau menciumnya padahal beliau sedang berwudhu. Ketika datang waktu shalat, beliau terus saja shalat. Dalam satu hadits lagi Ummi Salamah mengatakan bahwa beliau pernah menciumnya ketika berwudhu dan dalam puasa. Puasa beliau terus dan shalat beliau terus.
Kita kemukakan hal ini, yang dari satu pihak dapat dijadikan alasan bahwa tidak batal wudhu mencium istri, dan dari pihak lain dapatlah kita ambil pelengkap tafsir ayat menyuruh menggauli istri dengan ma'ruf.
Yang lebih mengharukan lagi ialah bahwa pergaulan yang ma'ruf beliau pegang sampai dekat ajalnya akan sampai. Meskipun beliau telah dalam sakit, tetapi beliau tetap menggiliri rumah-rumah istrinya, padahal kakinya tak dapat diangkatnya lagi. Satu kali telanjur mulutnya, “Sudah di rumah siapa aku sekarang?" Maklumlah istri-istrinya itu bahwa beliau ingin menceritakan sakitnya di rumah Aisyah. Lantaran itu bersepakatlah semua untuk mengizinkan beliau di rumah Aisyah saja di dalam selama sakit. Di rumah Aisyah-lah, di atas haribaan istrinya itu beliau mengembuskan napas yang penghabisan.
Inilah yang wajib menjadi teladan bagi seorang Muslim dalam hidup berumah tangga. Jangan meniru adat jahiliyyah sebagai tersebut tadi, yang menyakiti hati perempuan, mempersempit langkahnya, cemburu tak menentu, bakhil, dan muka merengut berkerut saja. Sehingga rumah tangga dibuat jadi neraka dunia oleh kerut kening penghuninya sendiri. Kemudian, datanglah lanjutan ayat,
“Dan sekiranya kamu tidak senang kepada mereka, (maka bersabarlah) kanena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya."
Ayat ini telah menembus perasaan hati manusia, terutama hati seorang suami. Perempuan yang mana pun dalam dunia ini mesti ada saja kekurangannya, ada saja cacat celanya, tidak ada kekecualiannya. Ada saja cacatnya yang tidak menyenangkan hati suaminya. Maklumlah perempuan adalah manusia, bukan malaikat. Akan tetapi, Allah telah memberikan tuntunan yang jitu sekali. Bahwa bukan saja istri kita sendiri yang menjadi teman hidup kita setiap hari, bahkan disebut, dia adalah pakaian kamu, dan kamu pun adalah pakaiannya, sebagai tersebut ketika membicarakan soal puasa dalam surah al-Baqarah. Bukan saja istri sendiri, bahkan segala yang kita temui da-lam kegiatan hidup kita, ada saja yang tidak menyenangkan. Akan tetapi, kemudiannya akan ternyata bahwa itulah yang baik bagi kehidupan kita. Berapa banyak orang besar-besar berubah kemajuan di dalam hidupnya karena bantuan istrinya yang tidak dikenal. Kalau kita tidak sabar melihat suatu cacat, lalu kita tinggalkan dan kita buangkan dan kita pindah lagi kepada yang lain, di tempat yang lain itu pun kita akan bertemu yang tidak menyenangkan hati. Dalam kita mencoba-coba dan menyesuaikan diri dengan yang baru itu, akan tampak pula cacatnya. Tiba-tiba umur pun di dalam mencari-cari mana yang tidak cacat, mana yang sesuai, telah lanjut jua. Allah menjelaskan di ujung ayat bahwasanya dalam kesabaranmu menghadapi cacat yang tidak memuaskan hati apabila kamu telah membina rumah tangga terimalah nasibmu itu dan tetapkanlah tujuan hidup. Kekurangan yang ada pada istrimu, moga-moga dalam perjalanan hidup kelak akan dapat engkau bimbing dengan baik yang lebih sempurna.
Ayat ini adalah pendidikan yang mendalam sekali, yang dapat dijadikan pedoman dalam menegakkan rumah tangga. Kita sendiri sebagai laki-laki ada cacatnya, sebagaimana istri kita pun ada cacatnya. Seorang yang belajar dari pengalamannya dapatlah meyakinkan bahwasanya dua raga dan jiwa yang telah dipadukan oleh akad nikah, sama-sama dalam kekurangan. Yang satu akan mengimbuhi. Pergaulan yang telah berjalan bertahun-tahun akan membentuk jiwa yang dua menjadi satu. Suami istri yang telah bergaul berpuluh tahun akhirnya menuju kepada persamaan dan per-seimbangan. Jika semula nikah si suami seorang yang pemarah dan si istri seorang yang sangat dingin perasaan, akhirnya dalam pergaulan bertahun-tahun si suami akan berangsur menjadi seorang yang dingin perasaan dan si istri berangsur menjadi pemarah. Kata ahli ilmu jiwa, sampai pun kepada “sunnah" yaitu raut muka dan pandangan mata dan keduanya menjadi serupa. Kedua kekurangan yang lengkap-melengkapi itu akan berkesan pula kepada anak-anak. Kian lama kian nyata kesatuan pandangan hidup dan kesatuan rasa. Suami istri yang telah hidup bertahun-tahun sampai jadi satu perasaan. Jika suami dalam perjalanan ke negeri lain, di suatu hari akan merasa kurang enak perasaan. Sebabnya dia tidak tahu. Kemudian, setelah pulang baru dia tahu bahwa ketika perasaannya tidak enak di perantauan itu, memang istrinya di rumah ditimpa sakit. Demikianlah pula sebaliknya. Seorang ibu akan berkata kepada anak-anaknya. Barangkali ayah kalian ditimpa celaka di rantau orang. Anaknya bertanya. Di mana ibu tahu. Si ibu menjawab bahwa ada tanda-tanda yang didapatnya dalam perasaannya sendiri. Setelah si ayah pulang, dan timbul tanya ternyata yang dirasakan istrinya memang kejadian.
Ada laki-laki yang sebentar beristri, lalu bercerai, dan lalu menikah lagi. Tiap-tiap istrinya tidak memuaskannya karena ada saja cacatnya, Lantaran itu, sampai tuanya dia tidak pernah merasakan ketenangan hati. Yang lepas hanyalah nafsu mudanya. Padahal syahwat zaman muda berbatas juga adanya. Pada masa tua, niscaya jasmani ruhani sudah meminta ketenteraman diri dan itu hanya akan didapat pada pergaulan yang telah dihias antara suami istri puluhan tahun. Kedua belah pihak sudah mengetahui kemauan masing-masing sehingga jiwa laksana sudah berpadu jadi satu.
Imam Ghazali di dalam al-Ihya menulis panjang lebar menyuruh sabar menanggungkan akhlak istri.
Ayat 20
“Dan jika kamu bermaksud mengganti seorang istri dengan istri lain."
Artinya bahwa jika terpaksa juga bercerai dengan yang lama dan akan mengganti dengan istri yang baru. Adapun sebab-sebabnya bercerai adalah urusan pribadi sendiri. Entah bersalah entah tidak, tidak ada orang lain yang akan campur tangan karena hal itu bergantung kepada pertimbangan masing-ma sing. “Padahal telah kamu berikan kepada salah seorang mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu ambil sedikit pun dari harta itu." Janganlah demikian kasar budimu sehingga lantaran istri kamu ceraikan, lalu harta-harta pemberianmu selama ini, entah perhiasan, entah pakaian, entah alat rumah tangga yang telah kamu berikan sebagai pemberian kepadanya janganlah kamu ambil kembali. Mengambil kembali harta yang telah diberikan kepada istri karena istri diceraikan, bukanlah akhlak orang yang beriman.
“Apakah (patut) kamu mengambilnya dengan cara yang mengejutkan itu dan dosa yang nyata?"
Ujung ayat berbunyi pertanyaan, “Adakah patut perbuatan itu?" Kamu telah mengejutkan dia dengan talak, lalu harta yang telah dimilikinya diambil pula. Di sini kalimat buhtanan kita artikan mengejutkan. Talak yang diterimanya tiba-tiba dalam pergaulan yang demikian mesra, cuma karena kamu akan “mengubah-ubah selera" akan beristri baru adalah amat mengejutkan. Buhtanan berarti juga dusta besar! Memang bercerai cara demikian sama juga dengan membohongi diri sendiri. Sebab, perubahan ketenteraman rumah tangga, yang diperintah oleh agama, sebagaimana tersebut di dalam surah al-Baqarah hanyalah meninggali istri harta benda, mut'ah, mengobat hatinya yang luka, bukan mencabut kembali barang yang telah diberikan. Di ayat ini ditegaskan, syai'an artinya sedikit pun jangan diambil. Dia dibelikan gelang, subang, dokoh, dan sebagainya. Mungkin cincin dua tiga bentuk; sebentuk pun jangan diambil yang dimilikinya. Bukan saja hal ini mengejutkan bahkan adalah salah satu dosa yang besar.
Setengah ahli tafsir menafsirkan kalimat buhtanan yang berarti dusta atau kebohongan besar ini ialah menilik dari perangai setengah laki-laki ketika dia menceraikan istrinya. Kalau orang bertanya mengapa perempuan itu diceraikan, timbullah berbagai dusta yang dikarang-karang, menyebut cela dan cacat jandanya. Kadang-kadang yang tidak masuk akal. Laki-laki yang berbudi tidak akan berbuat demikian.
Apa sebab bahwa ini dusta yang mengejutkan dan dosa yang besar? Ini dijelaskan lagi oleh lanjutan ayat, yang juga mengandung pertanyaan,
Ayat 21
“Dan bagaimana kamu akan mengambilnya, padahal telah berpadu sebagian kamu kepada yang sebagian?"
Ayat yang berupa pertanyaan ini, bagi orang yang beriman hendaklah menjadi pengertian yang mendalam. Tidak ada lagi kata-kata yang lebih halus daripada ini untuk orang yang beriman! Sampai hati kamu mengambilnya kembali, padahal sudah sekian lama kamu bersuami istri dengan dia? Telah berpadu. Telah engkau pakai dia dan telah dipakainya engkau. Tidakkah engkau ingat bahwa sekian lama engkau berkasih mesra dengan dia, engkau sebagai laki-laki dan dia sebagai perempuan? Apalah harganya barang-barang itu jika diingat bahwa sari istrimu telah engkau ambil? Apatah lagi, akan menjadi dosa yang lebih lagi mengejutkan jika kelak barang-barang itu akan engkau hadiahkan pula kepada istrimu yang baru.
Ditambah lagi oleh Allah dengan peringatan yang lebih mendalam,
“Dan telah mereka ambil dari kamu janji yang benar."
Memang, setengah orang yang hendak mendirikan rumah tangga, terutama pada zaman modern ini telah mengikat janji terlebih dahulu, bahwa mereka akan sehidup semati. Bahkan meskipun sejak zaman dahulu, sebelum kaum perempuan pandai menyatakan perasaan hatinya kepada bakal suami, semua lisanul hal, perkataan tentang keadaan, menunjukkan bahwa mulai pernikahan diikatkan, janji telah dipadu. Bila seorang perempuan telah mengetahui si fulan akan suaminya, diterimanya itu dengan hati syukur dan mengharaplah dia hidupnya akan bahagia dengan bakal suaminya.
Dengan senang hidupnya dengan kedua ayah bundanya, sekarang hidup yang demikian dilepaskanny, karena ingin hidup yang lebih berbahagia dengan bakal suaminya. Badan dan nyawalah yang diserahkannya kepada suaminya,
Bila runtuh kota Melaka, pagar di Jawa beta tarahkan;
Jika sungguh bagai dikata, badan dan nyawa beta serahkan...!
Kehormatannya diberikan kepada suaminya. Si suami pun telah menyerahkan diri menyambut nasibnya dan membina hidup berumah tangga. Dalam khayatnya akan hidup rukun, sampai mati salah seorang. Sekarang tiba-tiba hancur segala harapan itu, dia diceraikan dan barang-barangnya diambil pula.
Sungguh perbuatan ini amat nista, bukan perangai orang beriman. Yang akan berbuat begini hanya orang jahiliyyah atau orang yang mengakui Islam, padahal budinya budi jahiliyyah.
Sayyid Rasyid Ridha telah menuliskan tafsir ayat ini secara romantis,
“Bagaimana engkau sampai hati mengambil barang kepunyaannya, yang dahulu telah engkau berikan kepadanya. Padahal engkau telah pernah bersatu padu dengan dia, menurut yang ditempuh oleh tiap-tiap suami istri sehingga tercapailah arti yang sebenarnya persuamiistrian. Yang satu telah memakai yang lain sehingga seakan-akan kamu berdua tidak akan berpisah lagi untuk selama-lamanya. Dari persatupaduan itu menurunlah anak; dan anak itu adalah paduan darah sari kamu berdua. Adakah pantas sesudah mencapai puncak kebahagiaan yang demikian, lalu kamu yang laki-laki yang datang lebih dahulu dan menghubungi lebih dahulu, kamu yang memutuskan hubungan besar itu, lalu kamu sebagai orang yang kuat mengambil barangnya dari tangannya karena ingin akan dipergunakan untuk yang lain?"
Lalu, Sayyid Rasyid Ridha menyalinkan sebuah syair Arab, menggambarkan suasana perceraian yang amat menyedihkan,
Telah pernah kita selapik seketiduran berdua, tak ada orang ketika di antara kita.
Laksana dua ekor burung merpati, sama bertengger, atau laksana dua dahan berpalun.
Apakah sesudah pertemuan yang begitu mesra, dan kasih telah tertumpah keseluruhannya. Apakah pantas, engkau tinggalkan daku seorang diri, begini sunyi Begini sepi...!
Teringat pula penulis tafsir ini pantun talibun Minangkabau, yang dipantunkan oleh seorang istri yang diceraikan suami hanya karena si suami ingin mencari yang baru,
Dahulu ramai pekan Ahad,
‘rang jual talang kami beli,
‘rang jual ke Bukittinggi, kiri disurih buah pala, alangkah rimba padi Jambi...
Dahulu kata semufakat,
Bukit ‘lah sama kita daki, lurah ‘lah sama diterjuni,
Kini diganjur surut saja, alangkah hiba hati kami...!
Bila kita bertemu ayat-ayat langsung dari Al-Qur'an, amat mendalamlah kesan yang ditinggalkannya di dalam hati kita. Betapa halus Al-Qur'an mendidik budi dan kemesraan rumah tangga. Jauh bedanya daripada jika kita hanya membaca peraturan-peraturan yang kaku dan gersang dalam kitab-kitab fiqih.
Dalam surah al-Baqarah ayat 229 telah dibayangkan pula bagaimana jika terjadi, pihak perempuan sendiri yang menyerahkan harta bendanya sendiri kepada suaminya, walaupun harta itu dahulunya adalah hadiah suami juga. Ini dapat berlaku jika perempuan itu sendiri yang menebus talak, yang dinamai uang khulu'. Talak dijatuhkan oleh si suami karena permintaan si istri sendiri dengan menggantikan (‘iwadh) karena pergaulan tidak dapat diteruskan lagi. Penyerahan yang seperti ini adalah dari perdamaian berdua. Ikatan terpaksa dibuka kembali karena ternyata tidak dapat diteruskan, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.
(22) Janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji, dibenci Allah dan sejahat-jahat jalan.
(23) Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibu kamu, anak-anak perempuan kamu, saudara-saudara perempuan ayah, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan saudara laki-laki, anak-anak perempuan saudara perempuan, ibu-ibumu yang pernah menyusui kamu, saudara-saudara perempuan kamu sepesusuan, ibu-ibu istri-istrimu, anak-anak perempuan yang dalam pangkuanmu dari istri-istrimu, yang telah kamu campuri. Akan tetapi, jika belum kamu campuri mereka, maka tiada halangan atas kamu. Dan istri-istri anak kandungmu laki-laki; dan (jangan) kamu mengumpulkan dua saudara perempuan,
Sekarang mulai diterangkan mana perempuan-perempuan yang tidak boleh dinikahi, yang disebut mahram. Sebelum disebut satu demi satu, terlebih dahulu diberantas adat jahiliyyah yang buruk sekali, yaitu menikahi janda ayah.
Ayat 22
“Janganlah kamu nikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh ayahmu."
Itulah ibu tiri atau yang disebut orang Jakarta mak kwalon.
Ada riwayat bahwa setelah Islam datang, pada zaman Rasul, sebelum ayat turun, masih ada orang yang menikahi ibu tirinya, sesudah ayahnya mati. Aswad bin Khalaf menikahi janda ayahnya. Shafwan bin Umayyah bin Khalaf pun menikahi janda ayahnya, Fakhtah binti al-Aswad bin al-Muthalib. Manzhur bin Raiab menikahi janda ayahnya yang bernama Mulaikah binti Kharijah.
Setelah ayat ini bersama ayat yang sebelumnya, tentang mewarisi perempuan dengan paksa diturunkan, sebagai larangan keras, tanggallah nikah mereka semuanya. Ibnu Abbas berkata, “Tiap-tiap perempuan yang telah pernah jadi istri ayahmu, apakah sudah engkau campuri atau belum, haramlah dia bagi engkau."
“Kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau." Artinya yang telah telanjur pada zaman lampau, hal itu tidak diperkatakan lagi. Namanya adat jahiliyyah, yang sekarang dihapuskan. Kemudian, diterangkan bahwa menikahi perempuan bekas pakaian ayah kandung sendiri adalah perbuatan yang hina.
“Sesungguhnya perbuatan itu amat keji." yang berakal. “Dibenci (Allah), dan sejahat-jahat jalan."
Tampak benar bahwa engkau tidak dapat mengendalikan nafsumu. Mungkin ibu tirimu masih muda, sudah jatuh hatimu kepadanya sejak ayahmu masih hidup, lalu engkau intai-intai selama menanti ayahmu mati, lalu engkau nikahi. Jijik! Jijik sekali engkau memasukkan zakarmu ke dalam faraj yang telah pernah dimasuki oleh zakar ayahmu.
Sesudah diterangkan bahwa perbuatan itu amat keji, dimurkai Allah sehingga zaman jahiliyyah sendiri pun orang yang berbuat begitu digelari orang si rnuqit, artinya si durhaka. Untuk merekan lagi kekejian perbuatan itu, datanglah ayat 23 menjelaskan siapa-siapa perempuan yang haram dinikahi dengan mendahulukan ibu. Sebab, seorang perempuan yang telah pernah jadi istri ayahmu pun adalah ibumu juga.
“Diharamkan atas kamu" menikahinya “ibu-ibu kamu." Itulah yang pertama sekali diharamkan. Yang kedua,
Ayat 23
“Anak-anak perempuan kamu."
Perihal ibu kandung dan anak perempuan kandung, sudahlah nyata sehingga tidak perlu keterangan lagi. Yang ketiga, “Saudara-saudara perempuan ayahmu." Baik saudara-saudara perempuan ayah yang seibu sebapak dengan beliau, atau sebapak saja atau seibu saja. Dalam bahasa Arab disebut ‘ammah (laki-laki ‘ammi) “Saudara-saudara perempuan ibumu." Baik seibu sebapak, atau sebapak saja, atau seibu saja. Dalam bahasa Arab disebut khalah. Segala anak perempuan nenek laki-laki dan anak perempuan nenek perempuan adalah mahram semua. “Anak-anak perempuan saudara laki-laki," kamu. Baik anak perempuan saudara laki-lakimu seibu sebapak, atau seibu saja, atau sebapak saja. Semua adalah laksana anakmu juga, haram kamu nikahi. “Anak-anak perempuan saudara perempuan"kami, baik saudara perempuan seibu sebapak dengan kamu atau hanya seibu saja atau sebapak saja. Dalam bahasa Minang, ini yang dinamai kemenakan.
Ibu-ibumu yang telah pernah menyusui kamu." Inilah satu mahram tambahan yang dikatakan oleh ketentuan syara' Bahwasanya perempuan yang telah pernah kita cucut air susunya, telah menyusui kita sebagai anaknya sendiri, jadilah dia ibu kita pula; haram dinikahi. Itulah sebabnya, setelah Bani Sa'ad dapat dikalahkan dalam Peperangan Hunain, dibawa oranglah seorang perempuan tua ke hadapan Rasulullah (usia Rasul ketika itu telah 62 tahun) sebagai tawanan. Ternyata perempuan itu ialah Halimah as-Sa'diyah yang menyusui beliau waktu kecil. Dengan terharu disuruhnya perempuan itu duduk ke atas hamparan tempat beliau duduk. Tidak dia usir karena dipandang masih najis. Sebagaimana Ummi Habibah menyentakkan hamparan kedudukan Nabi yang sedang diduduki ayahnya, tempo ayahnya datang ke Madinah hendak mencari jalan damai. Setelah perempuan tua itu duduk, Nabi kita duduk ke hadapan haribaannya, lalu beliau sandarkan kepalanya ke atas dada beliau. Sehingga terbayanglah kembali peristiwa 60 tahun yang lalu, ketika Nabi kita masih dalam asuhan dan penyusuan perempuan itu di desa Bani Sa'ad. Beliau tanyakan kepadanya dari hal saudara-saudara sepesusuannya. Rupanya ada yang telah mati dan ada yang masih hidup. Yang masih hidup itu ada yang turut datang sekarang mengharapkan belas kasih beliau. Dengan ini beliau telah memberikan teladan bagaimana mengasihi seorang ibu yang telah pernah kita minum dan kita cicip air susunya.
“Saudara-saudara perempuan kamu se-pesusuan."
Karena itu yang menyusui telah dihukumkan sebagai ibu kandung, niscaya sekalian saudara yang telah turut mengecap, mencicip air susu itu dengan sendirinya telah jadi saudara pula, tidak boleh dinikahi lagi.
Termasuk pulalah di sini dengan sendirinya saudara lain yang sama-sama menyusu dari perempuan yang telah menyusuinya. Seumpama hubungan sepesusuan antara Rasul ﷺ dengan pamannya Hamzah bin Abdul Muthalib yang syahid dalam Perang Uhud. Pada waktu sama-sama menyusu Nabi dan Hamzah sama disusui oleh seorang perempuan bernama Tsuaibah, hamba sahaya Abu Lahab. Hamzah mati meninggalkan seorang anak perempuan yang sudah patut dinikah. Lalu ditawarkan orang kepada Rasulullah ﷺ supaya beliau sudi menikah dengan anak Hamzah itu. Beliau tolak dengan sabdanya,
“Dia tidaklah halal untukku, sebab dia adalah anak saudaraku sepesusuan. Haramlah, karena sepesusuan sebagaimana haram karena seketurunan." (HR Bukhari dan Muslim dari lbnu Abbas)
Pernah pula seseorang bertanya kepada lbnu Abbas tentang dua orang perempuan bersaudara. Seorang antaranya menyusui seorang anak perempuan dan yang seorang lagi menyusui seorang anak laki-laki, bolehkah anak laki-laki itu menikahi anak perempuan tadi. lbnu Abbas menjawab, “Tidak boleh! Karena pesusuan satu."
Tersebut pula dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga bahwa Nabi pernah bersabda,
“Sesungguhnya penyusuan itu mengharamkan sebagaimana yang diharamkan oleh kelahiran." (HR Bukhari dan Muslim)
Lantaran itu, suami perempuan yang menyusui seorang anak perempuan menjadi ayahlah bagi yang disusui itu, tidak pula boleh mereka menikah.
Di dalam satu hadits Aisyah lagi yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim bahwa seorang sahabat muda bernama Aflah meminta izin hendak bertemu langsung dengan Aisyah.
Bersabdalah Rasulullah ﷺ kepada Aisyah,
“Izinkanlah si Aflah saudara Abui Qa'is masuk, karena dia adalah paman engkau. “ (HR Bukhari dan Muslim)
Rasulullah ﷺ berkata demikian karena istri Abui Qa'is waktu Aisyah masih kecil pernah menyusuinya. Sedangkan Abui Qa'is, karena istrinya pernah menyusui Aisyah, jadilah bapaknya. Karena itu, Aflah saudara Abui Qa'is menjadi paman bagi Aisyah.
Pendeknya, yang telah dikerjakan turun-temurun dalam Islam jelaslah bahwa perempuan yang pernah menyusui seseorang, jadi ibulah baginya. Sekalian anak perempuan itu, karena telah sama-sama mengisap air susu-nya, jadi saudaralah bagi yang disusui, meskipun semua berlain-lain bapaknya. Suami perempuan yang menyusui itu jadi bapaklah bagi anak yang disusui, demikian juga saudara laki-laki bapak susu semua jadi pamannya. Saudaranya yang perempuan jadi uncunya pula, kalau dia laki-laki. Artinya tidak boleh dia nikah dengan saudara perempuan ibunya. Anak-anak perempuan saudaranya perempuan sepesusuan itu pun tidak boleh lagi dinikahinya. Akan tetapi, saudara yang menyusu, tidaklah haram nikah dengan saudara sepesusuannya karena tidak ada pertalian air susu lagi antara mereka.
Oleh sebab itu, hendaklah awas benar-benar dan dicatat serta dikenangkan baik-baik kalau terjadi penyusuan atas anak orang lain itu, walaupun anak itu disusui misalnya oleh babu pembantu rumah tangga supaya jangan berkacau kelak.
Pada zaman kita ini, setelah ada klinik-klinik tempat menolong perempuan bersalin, kerap kali juru rawat menampung beberapa air susu perempuan yang berlebih, lalu dijadikan persediaan untuk membantu perempuan ha-bis melahirkan yang kekurangan air susu. Kadang-kadang tidak diketahui lagi air susu keluar masuk dalam rumah Abu Huzaifah dan sulitlah dia berhubungan dengan ibu angkatnya, istri Abu Huzaifah. Sedang kedua suami istri itu telah memandang Salim sebagai putra. Tidak ada lagi rasa apa-apa karena sejak kecil dibesarkan. Setelah datang ayat larangan anak angkat, istri Abu Huzaifah datang mengadukan halnya kepada Nabi. Menilik riwayat sahabat-sahabat Rasulullah, kita mengenal bahwa ketiga orang ini: Abu Huzaifah, istrinya dan Salim adalah sahabat-sahabat yang mempunyai mutu iman yang tinggi belaka. Abu Huzaifah sudah berkeberatan Salim masuk rumah, meskipun selama ini dianggap anak. Karena taat kepada perintah Rasul dan Salim pun telah segan pula masuk. Diriwayatkan oleh Abu Dawud bahwa Nabi ﷺ menyuruh Salim mencucut susu Ummi Huzaifah sampai lima kali. Berkata setengah ulama hadits bahwa Ummi Huzaifah sampai menampung air susunya dengan cangkir dan diminum oleh Salim sampai lima kali tampungan. Sejak itu Salim dianggap sudah jadi anak susu Ummi Huzaifah dan Abu Huzaifah.
Kata setengah ulama hadits, kejadian pada Salim ini telah martsukh. Sebab, hal itu terjadi ketika baru hijrah ke Madinah, masyarakat Islam baru saja diatur. Kata setengah ulama lagi soal menyusu Salim ini adalah satu khu-suslah (dispensasi/pengecualian) Dari Nabi untuk Salim saja, tidak berlaku untuk umat seluruhnya. Akan tetapi, Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa dalam riwayat ini tidak berlaku nasikh dan tidak berlaku khususiah, melainkan dapat dipakai terus apabila terdapat hubungan kekeluargaan yang sudah sebagai anak kandung dengan ibu kandung antara seorang pemuda dengan ibu yang mengasuhnya dari kecil. Dengan sebab air susu ibu itu telah dicucut atau diminum, berartilah sudah jadi seperti ibu kandung, sudah haram nikah dan sudah tidak berat lagi peraturan keluar masuk dalam rumah.
perempuan yang mana karena semuanya sama saja. Oleh karena pada zaman dahulu belum ada pengumpulan air susu itu, niscaya pada zaman sekarang soal seperti ini termasuk masalah yang harus ditinjau, menjadi bagian ijtihadiah. Mungkin kalau tidak diketahui lagi susu dari perempuan yang mana, tidaklah menjadikan hubungan sepesusuan kalau dibagikan kepada seorang anak. Karena yang terpenting dalam hadits-hadits Nabi ialah si anak itu sendiri yang mencicip, tetapi susu perempuan itu, bukan susu banyak perempuan yang tidak dicucut dicicip, tetapi dimasukkan di dalam botol susu. Sungguh pun begitu kekacauan keturunan, yang menjadi pokok dalam ajaran Islam.
Tentang berapa kalikah anak itu menyusu baru dianggap anak pesusuan, jadi perbincangan pula antara ahli-ahli ilmu fiqih. Dalam perbincangan yang mendalam antara ulama-ulama salaf dan khalaf itu, ada yang mengatakan walaupun sekali, sudah disebut ibu pesusuan; yang lain mengatakan lima kali; dan yang lain pula mengatakan tiga kali. Antara sekalian riwayat itu, yang lebih kuat untuk dipegang, ialah menyusukan sampai lima kali.
Jadi perbincangan pula tentang tempo menyusu. Karena Al-Qur'an dalam beberapa ayat menerangkan bahwa batas waktu menyusui anak ialah dua tahun. Kalau anak telah besar dan tidak patut menyusu lagi, tidaklah menyebabkan ibu yang menyusui itu jadi mahram. Akan tetapi, pernah kejadian satu hal dalam kalangan sahabat Rasulullah ﷺ yaitu Abu Huzaifah pada zaman dahulu mengangkat seorang budaknya bernama Salim menjadi anak angkat, sebagaimana Nabi kita ﷺ memerdekakan Zaid bin Haritsah lalu beliau angkat jadi anak. Akan tetapi, kemudian datang larangan Allah terhadap meneruskan adat anak angkat sehingga Salim tidak leluasa lagi di dalam rumah Abu Huzaifah.
KARENA HUBUNGAN PERNIKAHAN
“Ibu-ibu istri-istrimu," yaitu yang kita sebut mertua perempuan. Akan tetapi, ibu tiri istri atau saudara perempuan mertua tidaklah menjadi mahram pula. Sehingga kalau ayah istri kita meninggal, lalu kita menikah dengan adik ibu mertua, tidaklah mengapa. Atau meninggal mertua kita yang laki-laki, lalu kita nikahi ibu tiri istri kita dan kita permadukan dengan istri kita, tidaklah mengapa.
“Anak-anak perempuan yang dalam pangkuanmu dari istri-istrimu yang telah kamu campuri." Itu yang kita sebut anak tiri atau anak tepatan. Haramlah anak perempuan itu kita nikahi kalau habis nikah dengan ibunya, kita telah menyetubuhi ibunya itu, “Tetapi jika belum kamu campuri mereka, tiadalah halangan atas kamu." Misalnya sehabis ibunya kita nikahi, belum sempat bercampur, istri itu telah meninggal dunia. Tidaklah mengapa kita nikahi anaknya karena tidak jadi dengan ibunya. Akan tetapi, kalau sudah pernah kita campuri lalu kita bercerai dan sehabis bercerai janda kita itu mati, tidaklah boleh anak itu dinikahi sebab dia telah jadi mahram kita ter-sebab pernah kita menyetubuhi ibunya.
“Dan istri-istri anak kandungmu laki-laki." Lantaran anak laki-laki datang dari sulbi kamu, niscaya anak dari anakmu, yaitu cucu dan anak dari cucu, cucu pula dari cucu sampai ke bawah adalah turunan langsung darahmu, sebab itu segala istri mereka mahramlah bagi kamu, haram kamu nikahi.
“Dan (jangan) kamu mengumpulkan dua saudara perempuan." Artinya, jangan kamu permadukan dua perempuan yang bersaudara, baik bersaudara seibu sebapak ataupun bersaudara sebapak saja, atau seibu saja. Su-dahlah dapat kita maklumi mengapa yang demikian itu terlarang. Ialah karena dua perempuan yang bermadu jaranglah terlepas dari bersakitan hati. Dilaranglah membuat persakitan hati dua perempuan yang bersaudara karena memperebutkan kasih sayang
suami. Dalam hal ini, dan berdasar kepada ayat ini sama pulalah pendapat sekalian ulama bahwa haram mengumpulkan seorang perempuan dengan saudara perempuan ibunya. Lain halnya jika istri telah bercerai atau me-ninggal dunia, jika diganti dengan adik atau kakaknya. “Kecuali (kejadian pada masa)yang telah lampau." Artinya dimaafkan Allah, jika pada zaman jahiliyyah sebelum kamu mengerti peraturan ini engkau nikahi dua orang perempuan bersaudara, itu dimaafkan oleh Allah. Akan tetapi, jika telah memeluk Islam, segeralah ceraikan salah seorang antara keduanya. Sebagai lanjutan ampunan Allah yang telah telanjur dahulu itu, anakmu dengan pe-rempuan yang kamu ceraikan itu tetap sah jadi anakmu dan tetap berhak menerima warismu jika kamu meninggal dunia.
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang."
Dosa yang terdahulu itu diampuni oleh Allah, sebab waktu itu kamu belum tahu. Lalu sekarang kamu telah hidup dalam Islam. Diberinya kamu peraturan yang baik tentang pernikahan dan ketentuan mahram, karena sayang-Nya kepada kamu.
Berkenaan dengan anak angkat dan se-pesusuan tadi, terutama tentang kejadian pada Salim Maula Abu Huzaifah, yang diizinkan Rasulullah mencicip atau meminum air susu Ummi Huzaifah, teringatlah penafsir ini kepada salah seorang muridnya yang mendapat didikan Barat.
Dia telah menikah lebih dari 25 tahun, tetapi belum pernah dikurniai anak oleh Allah. Dia telah mengambil anak angkat menurut kebiasaan Barat. Lalu saya beri keterangan kepada mereka suami istri bahwa anak itu bisa saja dijadikan anak angkat karena air susu walaupun telah besar. Anak perempuan karena disusui menjadi mahram ayah angkatnya dan anak laki-laki menjadi mahram ibu angkatnya. Akan tetapi pertalian karena air susu itu tidaklah mengubah pembagian harta karena faraidh.
Anak yang mendapat ibu angkat—karena meminum air susu ibu itu—jika si ibu mati, tidaklah mendapat bagian dari harta si ibu atau harta si bapak pesusuan itu, kecuali dengan jalan wasiat. Dan wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga jumlah harta.
Selesai Tafsir Juz 4 dengan Kurnia dan Hidayah Allah Pada Hari Rabu, 25 Muharram 1385 26 Mei 1965
Sedang dalam Tahanan Di RS Persahabatan, Rawamangun, Jakarta.