Ayat
Terjemahan Per Kata
وَرُسُلٗا
dan Rasul-Rasul
قَدۡ
sungguh
قَصَصۡنَٰهُمۡ
Kami kisahkan
عَلَيۡكَ
kepadamu
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَرُسُلٗا
dan Rasul-Rasul
لَّمۡ
tidak
نَقۡصُصۡهُمۡ
Kami kisahkan mereka
عَلَيۡكَۚ
kepadamu
وَكَلَّمَ
telah berbicara
ٱللَّهُ
Allah
مُوسَىٰ
Musa
تَكۡلِيمٗا
pembicaraan/secara langsung
وَرُسُلٗا
dan Rasul-Rasul
قَدۡ
sungguh
قَصَصۡنَٰهُمۡ
Kami kisahkan
عَلَيۡكَ
kepadamu
مِن
dari
قَبۡلُ
sebelum
وَرُسُلٗا
dan Rasul-Rasul
لَّمۡ
tidak
نَقۡصُصۡهُمۡ
Kami kisahkan mereka
عَلَيۡكَۚ
kepadamu
وَكَلَّمَ
telah berbicara
ٱللَّهُ
Allah
مُوسَىٰ
Musa
تَكۡلِيمٗا
pembicaraan/secara langsung
Terjemahan
Ada beberapa rasul yang telah Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu sebelumnya dan ada (pula) beberapa rasul (lain) yang tidak Kami ceritakan (kisah) tentang mereka kepadamu. Allah telah benar-benar berbicara kepada Musa (secara langsung).
Tafsir
(Dan) telah Kami utus (rasul-rasul yang telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dulu, dan rasul-rasul yang belum Kami kisahkan). Diriwayatkan bahwa Allah ﷻ mengirim delapan ribu orang nabi, empat ribu dari kalangan Bani Israel dan empat ribu lagi dari kalangan manusia lainnya ini dikatakan oleh Syekh dalam surah Ghafir. (Dan Allah telah berbicara dengan Musa sebenar berbicara) artinya secara langsung.
Tafsir Surat An-Nisa': 163-165
Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya, dan Kami telah memberikan wahyu (pula) kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya'qub, dan anak cucunya; Isa, Ayyub, Yunus, Harun, dan Sulaiman. Dan Kami berikan Kitab Zabur kepada Daud.
Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu. Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.
(Mereka Kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan supaya tidak ada lagi alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Ayat 163
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Abu Muhammad, dari Ikrimah atau Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Sakan dan Addi ibnu Zaid bertanya, "Wahai Muhammad, kami tidak mengetahui bahwa Allah menurunkan suatu kitab kepada manusia sesudah Musa." Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan ucapan kedua orang Yahudi itu, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya.” (An-Nisa: 163)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Haris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'syar, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi yang menceritakan bahwa Allah menurunkan firman-Nya: “Ahli Kitab meminta kepadamu agar kamu menurunkan kepada mereka sebuah kitab dari langit.” (An-Nisa: 153) sampai dengan firman-Nya: “Dan tuduhan mereka terhadap Maryam dengan kebohongan besar (zina).” (An-Nisa: 156) Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi melanjutkan kisahnya, bahwa ketika Nabi ﷺ membacakan ayat-ayat tersebut kepada mereka (orang-orang Yahudi) dan memberitahukan kepada mereka perihal sepak terjang mereka yang jahat itu, maka mereka mengingkari semua kitab yang diturunkan oleh Allah, lalu mengatakan, "Allah sama sekali tidak pernah menurunkan sesuatu pun kepada manusia, baik Musa, atau Isa, ataupun nabi lainnya." Maka Nabi ﷺ berdiri, kemudian bersabda, "Juga tidak kepada seorang pun?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun kepada manusia’." (Al-An'am: 91)
Akan tetapi, apa yang diceritakan oleh Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi ini masih perlu dipertimbangkan lagi. Karena sesungguhnya ayat dalam surat Al-An'am ini adalah Makkiyyah, sedangkan ayat yang ada di dalam surat An-Nisa adalah Madaniyyah, merupakan bantahan terhadap mereka ketika mereka meminta kepada Nabi ﷺ agar menurunkan sebuah kitab dari langit. Maka Allah ﷻ berfirman: “Maka sesungguhnya mereka telah meminta kepada Musa sesuatu yang lebih dahsyat dari itu.” (An-Nisa: 153)
Selanjutnya Allah menyebutkan perbuatan-perbuatan mereka yang memalukan dan penuh dengan keaiban, serta apa yang telah mereka lakukan di masa silam dan masa sekarang, yaitu berupa kebohongan. Lalu Allah ﷻ menyebutkan bahwa Dia telah menurunkan wahyu kepada hamba dan Rasul-Nya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ, sebagaimana Dia telah menurunkan wahyu kepada nabi-nabi terdahulu. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya.” (An-Nisa: 163) sampai dengan firman-Nya: “Dan Kami berikan Kitab Zabur kepada Daud.” (An-Nisa: 163)
Zabur adalah nama kitab yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada Nabi Daud a.s. Kami akan menguraikan riwayat masing-masing nabi tersebut pada kisah-kisah mereka dalam surat Al-Anbiya, insya Allah; hanya kepada Allah kami percaya dan berserah diri.
Ayat 164
Firman Allah ﷻ: “Dan (Kami telah mengutus) rasul-rasul yang sungguh telah Kami kisahkan tentang mereka kepadamu dahulu, dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.” (An-Nisa: 164)
Yakni sebelum ayat ini, dalam surat-surat Makkiyah dan lain-lainnya.
Berikut ini adalah nama para nabi yang disebut oleh Allah ﷻ di dalam Al-Qur'an, yaitu: 1. Adam 2. Idris 3. Nuh 4. Hud 5. Saleh 6. Ibrahim 7. Luth 8. Ismail 9. Ishaq 10. Ya'qub 11. Yusuf 12. Ayyub 13. Syu'aib 14. Musa 15. Harun 16. Yunus 17. Daud 18. Sulaiman 19. Ilyas 20. Ilyasa' 21. Zakaria 22. Yahya 23. Isa 24. ZulKifli menurut kebanyakan ulama tafsir 25. Penghulu mereka semuanya, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
Firman Allah ﷻ: “Dan rasul-rasul yang tidak Kami kisahkan tentang mereka kepadamu.” (An-Nisa: 164)
Sejumlah nabi lainnya yang cukup banyak tidak disebutkan di dalam Al-Qur'an. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah para nabi dan para rasul. Hal yang terkenal sehubungan dengan masalah ini adalah hadits Abu Dzar yang cukup panjang yang diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih di dalam kitab tafsirnya.
Ibnu Mardawaih mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Muhammad, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Muhammad ibnul Hasan dan Al-Husain ibnu Abdullah ibnu Yazid; keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hisyam ibnu Yahya Al-Gassani, telah menceritakan kepadaku ayahku, dari kakekku, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Dzar yang menceritakan hadits berikut: Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para nabi itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Seratus dua puluh empat ribu orang nabi." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah yang menjadi rasul dari kalangan mereka?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Tiga ratus tiga belas orang rasul, jumlah yang cukup banyak." Aku bertanya, "Siapakah rasul yang paling pertama itu?" Nabi ﷺ menjawab, "Adam." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah dia nabi yang jadi rasul?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya, Allah menciptakannya secara langsung dengan tangan kekuasaan-Nya, kemudian meniupkan ke dalam tubuh Adam sebagian dari roh (ciptaan)-Nya setelah bentuknya sempurna." Selanjutnya Rasulullah ﷺ bersabda: “Wahai Abu Dzar, empat orang (dari mereka) adalah orang-orang Suryani, yaitu Adam, Syis, Nuh, dan Khunu', yakni Idris yang merupakan orang yang mula-mula menulis dengan qalam (pena). Dan empat orang rasul dari Arab, yaitu Hud, Saleh, Syu'aib, dan Nabimu, wahai Abu Dzar. Mula-mula nabi dari kalangan Bani Israil adalah Musa, dan yang terakhir adalah Isa. Mula-mula nabi adalah Adam, dan yang terakhir dari mereka adalah Nabimu.”
Hadits ini secara lengkap diriwayatkan pula oleh Abu Hatim ibnu Hibban Al-Basti di dalam kitabnya yang berjudul Al-Anwa' wal Taqasim, ia menilainya berpredikat shahih. Tetapi Abul Faraj ibnul Jauzi berbeda dengannya, ia menyebutkan hadits ini di dalam kitabnya yang berjudul Al-Maudu'at (Hadits-Hadits Buatan), dan ia mencurigainya sebagai buatan Ibrahim ibnu Hisyam. Ibrahim ibnu Hisyam ini tidak diragukan lagi menjadi pembahasan bagi para Imam ahli Jarh Wat Ta'dil karena hadisnya ini. Akan tetapi, hadits ini telah diriwayatkan melalui jalur lain dari sahabat lainnya. Untuk itu Ibnu Abu Hatim mengatakan:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf, telah menceritakan kepada kami Abul Mugirah, telah menceritakan kepada kami Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Ali ibnu Yazid Al-Qasim, dari Abu Umamah yang menceritakan hadits berikut: Aku bertanya, "Wahai Nabi Allah, berapakah jumlah para nabi itu?" Nabi ﷺ menjawab, "Seratus dua puluh empat ribu orang, dari jumlah itu ada tiga ratus lima belas orang (rasul). Jumlah yang cukup banyak." Ma'an ibnu Rifa'ah As-Salami orangnya dha’if, Ali ibnu Yazid orangnya dha’if pula; begitu pula Al-Qasim Abu Abdur Rahman, orangnya pun dha’if,
Al-Hafidzh Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Ishaq Abu Abdullah Al-Jauhari Al-Basri, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ubaidah Ar-Rabzi, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Allah mengutus delapan ribu nabi; empat ribu orang kepada kaum Bani Israil dan empat ribu orang lainnya kepada seluruh umat manusia.”
Hadits ini dinilai dha’if pula, di dalamnya terdapat Ar-Rabzi yang berpredikat dha’if, sedangkan gurunya bernama Ar-Raqqasyi jauh lebih dha’if.
Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abur Rabi', telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sabit Al-Abdi, telah menceritakan kepada kami Ma'bad ibnu Khalid Al-Ansari, dari Yazid Ar-Raqqasyi, dari Anas yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Saudara-saudaraku dari kalangan para nabi di masa lalu jumlahnya ada delapan ribu orang nabi, kemudian Isa ibnu Maryam, dan barulah aku sendiri.”
Kami meriwayatkannya melalui sahabat Anas dari jalur lain: Telah menceritakan kepada kami Al-Hafidzh Abu Abdullah Az-Zahabi, telah menceritakan kepada kami Abul Fadl ibnu Asakir, telah menceritakan kepada kami Imam Abu Bakar ibnul Qasim ibnu Abu Sa'id As-Saffar, telah menceritakan kepada kami bibi ayahku (yaitu Siti Aisyah binti Ahmad ibnu Mansur ibnus Saffar), telah menceritakan kepada kami Asy-Syarif Abus Sanabik Hibatullah ibnu Abus Sahba Muhammad ibnu Haidar Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Imam Al-Ustaz Abu Ishaq Al-Isfirayini yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Imam Abu Bakar Ahmad ibnu Ibrahim Al-Ismaili, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Usman ibnu Abu Syaibah, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Tariq, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Ziyad ibnu Sa'd, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Safwan ibnu Sulaim, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku diutus sesudah delapan ribu orang nabi, di antara mereka empat ribu orang nabi dari kalangan Bani Israil.”
Bila ditinjau dari segi ini, hadits berpredikat gharib; tetapi sanadnya tidak mengandung kelemahan, semua perawinya dikenal kecuali Ahmad ibnu Tariq; orang ini tidak kami kenal, apakah berpredikat adil atau dha’if, hanya Allah yang lebih mengetahui.
Hadits Abu Dzar Al-Giffari mengenai jumlah para nabi cukup panjang. Muhammad ibnul Husain Al-Ajiri mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Bakar Ja'far ibnu Muhammad ibnul Giryani secara imla dalam bulan Rajab tahun 297 Hijriah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hisyam ibnu Yahya Al-Gassani, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari kakekku, dari Abu Idris Al-Khaulani, dari Abu Dzar yang menceritakan hadits berikut: Aku masuk ke dalam masjid, dan kujumpai Rasulullah ﷺ sedang duduk sendirian, maka aku duduk menemaninya dan bertanya kepadanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Engkau telah memerintahkan aku untuk menunaikan shalat" (yakni sunnah). Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Shalat adalah sebaik-baik pekerjaan, maka perbanyaklah atau persedikitlah.”
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, amal apakah yang paling utama?" Maka Nabi ﷺ menjawab: “Iman kepada Allah dan berjihad di jalan-Nya.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang mukmin yang paling utama?" Nabi ﷺ menjawab: “Di antara mereka yang paling baik akhlaknya.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang muslim yang paling selamat?" Nabi ﷺ menjawab: “Orang (muslim) yang menyelamatkan orang-orang dari gangguan lisan (mulut) dan tangannya.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, hijrah apakah yang paling utama?" Nabi ﷺ menjawab: “Orang yang hijrah (meninggalkan) semua kejahatan. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, shalat apakah yang paling afdal? Rasulullah ﷺ menjawab: yang paling panjang qunutnya. Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, puasa apakah yang paling utama?' Rasulullah ﷺ menjawab: “Melakukan puasa fardu dengan cukup (baik) dan di sisi Allah ada pahala yang berlipat ganda dengan lipat ganda yang banyak.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, jihad apakah yang paling utama?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Orang yang kudanya disembelih dan darah dirinya dialirkan (yakni gugur).” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, hamba sahaya manakah yang paling afdal?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Hamba sahaya yang paling mahal harganya dan paling bernilai di kalangan tuannya.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, sedekah apakah yang paling utama?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Yang dikeluarkan dengan susah payah oleh orang yang minim hartanya, dan sedekah secara sembunyi-sembunyi kepada orang fakir (miskin).”
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, ayat apakah yang paling agung di antara yang diturunkan kepadamu?" Rasulullah ﷺ menjawab: "Ayat Kursi," kemudian beliau ﷺ bersabda, "Wahai Abu Dzar, tiadalah langit yang tujuh dibandingkan dengan Kursi, melainkan seperti gelang yang dilemparkan di tengah padang sahara. Keutamaan Arasy atas Kursi sama dengan keutamaan padang sahara atas gelang itu."
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para nabi itu?” Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Seratus dua puluh empat ribu orang nabi.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah para rasul dari kalangan mereka?" Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Tiga ratus tiga belas orang rasul, jumlah yang cukup banyak lagi baik.” Aku bertanya, "Siapakah yang paling pertama di antara mereka?" Nabi ﷺ menjawab; "Adam." Aku bertanya, "Apakah dia seorang nabi yang jadi rasul?" Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: Ya, Allah menciptakannya dengan tangan kekuasaan-Nya sendiri dan meniupkan roh (ciptaan)-Nya ke dalam tubuhnya, dan menyempurnakannya sebelum itu.” Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda pula: “Wahai Abu Dzar, empat orang adalah bangsa Suryani, yaitu Adam, Syis, Khanukh yakni Idris, dia orang yang mula-mula menulis dengan qalam (pena) dan Nuh. Empat orang dari bangsa Arab, yaitu Hud, Syu'aib, Saleh, dan Nabimu, wahai Abu Dzar. Mula-mula nabi Bani Israil adalah Musa dan yang paling terakhir adalah Isa. Mula-mula rasul adalah Adam, dan yang paling akhir adalah Muhammad.” Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, berapakah jumlah kitab yang diturunkan oleh Allah ﷻ?" Rasulullah ﷺ menjawab: “Seratus empat buah kitab. Allah menurunkan kepada Syis sebanyak lima puluh sahifah, kepada Khunukh (Idris) tiga puluh sahifah, kepada Ibrahim sepuluh sahifah, dan kepada Musa sebelum Taurat sepuluh sahifah. Dan Allah menurunkan kitab Taurat, kitab Injil, kitab Zabur, dan Al-Furqan (Al-Qur'an).”
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apa sajakah yang terkandung di dalam sahifah Nabi Ibrahim?” Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Semuanya mengandung kalimat berikut, ‘Wahai raja yang berkuasa, yang mendapat cobaan lagi teperdaya. Sesungguhnya Aku tidak menjadikanmu untuk menghimpun dunia sebagian darinya dengan sebagian yang lain, tetapi aku menjadikanmu agar menghindarkan diri dari doa orang yang teraniaya, karena sesungguhnya Aku tidak akan menolaknya, sekalipun dari orang kafir.’ Di dalamnya banyak terkandung tamsil-tamsil (yang antara lain mengatakan), ‘Diharuskan bagi orang yang berakal membagi waktunya ke dalam beberapa saat. Sesaat ia gunakan untuk bermunajat kepada Tuhannya, sesaat ia gunakan untuk menghisab dirinya sendiri, sesaat ia gunakan untuk memikirkan ciptaan Allah, dan sesaat lagi ia gunakan untuk kepentingan dirinya untuk mencari makan dan minumnya. Diharuskan bagi orang yang berakal tidak bepergian kecuali karena tiga perkara, yaitu mencari bekal untuk hari kemudian, mencari penghidupan, atau kesenangan yang tidak diharamkan, dan harus mengetahui zamannya guna menghadapi urusannya serta memelihara lisannya. Barang siapa yang memperhitungkan percakapannya dengan amalnya, niscaya ia akan sedikit bicara, kecuali mengenai hal yang berurusan dengannya.’
Abu Dzar melanjutkan kisahnya: Lalu aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah yang terkandung di dalam sahifah Nabi Musa'?" Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Semuanya merupakan nasihat-nasihat (pelajaran-pelajaran), yaitu: ‘Aku merasa heran terhadap orang yang percaya dengan kematian, lalu ia merasa gembira. Aku merasa heran terhadap orang yang percaya dengan takdir, lalu ia bersusah payah jungkir balik berusaha. Aku merasa heran dengan orang yang melihat dunia dan silih bergantinya terhadap para penghuninya, lalu ia merasa tenang dengan dunia itu (seolah-olah tidak akan mati). Dan aku merasa heran dengan orang yang percaya kepada hisab di hari kemudian, lalu ia tidak beramal’.”
Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah di dalam kitab (Al-Qur'an) yang ada di tangan kita terdapat sesuatu yang telah tertera di dalam kitab-kitab Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan apa yang diturunkan oleh Allah kepadamu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ya benar, wahai Abu Dzar, bacalah firman Allah ﷻ: 'Sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan diri (dengan beriman), dan ia ingat nama Tuhannya, lalu ia shalat. Tetapi kalian (orang-orang kafir) memilih kehidupan duniawi. Sedangkan kehidupan akhirat adalah lebih baik dan lebih kekal. Sesungguhnya ini benar-benar terdapat dalam kitab-kitab yang dahulu, (yaitu) kitab-kitab Ibrahim dan Musa'." (Al-A'la: 14-19)
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, berwasiatlah untukku." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku berwasiat kepadamu agar bertakwa kepada Allah, karena sesungguhnya takwa kepada Allah adalah induk semua perkaramu.” Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu untukku." Rasulullah ﷺ bersabda: “Bacalah Al-Qur'an dan berzikir kepada Allah, karena sesungguhnya hal itu merupakan sebutan bagimu di langit dan nur bagimu di bumi.” Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu untukku." Rasulullah ﷺ bersabda: “Hindarilah olehmu banyak tertawa, karena sesungguhnya hal itu dapat mematikan hati dan melenyapkan nur wajahmu.” Aku berkata, "Wahai Rasulullah, tambahkanlah wasiatmu untukku." Maka Rasulullah ﷺ, bersabda: “Berjihadlah kamu, karena sesungguhnya jihad itu merupakan ruhbaniyah umatku.” Aku berkata, "Tambahkanlah untukku." Maka Nabi ﷺ bersabda: “Diamlah kamu kecuali karena kebaikan, karena sesungguhnya (banyak) diam itu dapat mengusir setan dan membantumu untuk mengerjakan urusan agamamu.”
Aku berkata, 'Tambahkanlah untukku." Rasulullah ﷺ bersabda: “Pandanglah orang yang di bawahmu dan janganlah kamu memandang orang yang di atasmu, karena sesungguhnya hal ini lebih mendorong dirimu untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.” Aku berkata, "Tambahkanlah untukku." Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Cintailah orang-orang miskin dan duduklah (bergaullah) bersama mereka, karena sesungguhnya hal ini mendorongmu untuk tidak meremehkan nikmat Allah kepadamu.”
Aku berkata, "Tambahkanlah untukku." Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Bersilaturahmilah kepada tetanggamu, sekalipun mereka memutuskannya darimu.” Aku berkata, "Tambahkanlah untukku." Rasulullah menjawab melalui sabdanya: “Katakanlah perkara yang hak, sekalipun pahit.” Aku berkata, "Tambahkanlah untukku." Rasulullah ﷺ, menjawab melalui sabdanya: “Janganlah kamu takut terhadap celaan orang yang mencela karena membela (agama) Allah.”
Aku berkata, "Tambahkanlah untukku." Maka Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya, "Dapat mencegah dirimu terhadap orang lain apa yang kamu ketahui mengenai dirimu, sedangkan kamu tidak menemukan pada mereka apa yang kamu sukai. Cukuplah keaiban bagimu bila kamu mengetahui dari orang lain apa yang tidak kamu ketahui mengenai dirimu atau kamu menemukan pada mereka apa yang kamu sukai." Kemudian Rasulullah ﷺ mengusap tangannya ke dadaku seraya bersabda: “Wahai Abu Dzar, tidak ada akal jika tidak berpikir, tidak ada wara' jika tidak bisa menahan diri, dan tidak ada kehormatan jika tidak punya akhlak yang baik.”
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abul Mugirah, dari Ma'an ibnu Rifa'ah, dari Ali ibnu Yazid, dari Al-Qasim, dari Abu Umamah, bahwa Abu Dzar pernah bertanya kepada Nabi ﷺ. Maka Nabi ﷺ menyebutkan perkara shalat, puasa, sedekah, keutamaan ayat Kursi, dan kalimati la haula wala quwwata illa billahi (tidak ada upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah), syuhada yang paling utama, hamba sahaya yang paling utama, kenabian Nabi Adam, dan bahwa dia diajak bicara langsung oleh Allah, serta bilangan para nabi dan para rasul, seperti yang disebutkan di atas.
Abdullah ibnul Imam Ahmad mengatakan bahwa ia menjumpai dalam kitab ayahnya yang ditulis oleh tangan ayahnya sendiri, telah menceritakan kepadaku Abdul Muta'ali ibnu Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Umawi, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Abul Wadak yang mengatakan bahwa Abu Sa'id pernah bertanya, "Apakah menurut pendapatmu Khawarij adalah Dajjal?" Abul Wadak menjawab, "Bukan." Lalu Abu Sa'id berkata bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku adalah penutup seribu nabi atau lebih, dan tidak sekali-kali seorang nabi yang diutus kecuali dia pasti memperingatkan umatnya terhadap Dajjal. Dan sesungguhnya telah dijelaskan kepadaku hal-hal yang belum pernah diterangkan. Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan Tuhan kalian tidaklah buta. Mata Dajjal yang sebelah kanan buta lagi menonjol tampak jelas seakan-akan seperti dahak yang ada pada tembok yang diplester, sedangkan mata kirinya seakan-akan seperti bintang yang berkilauan, pada tiap-tiap anggota tubuhnya terdapat lisan, dan ia selalu membawa gambaran surga yang hijau di dalamnya mengalir air dan gambaran neraka yang hitam lagi berasap.”
Kami meriwayatkannya pada bagian yang di dalamnya terdapat riwayat Abu Ya'la Al-Mausuli, dari Yahya ibnu Mu'in; disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Abul Wadak, dari Abu Sa'id yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: "Sesungguhnya aku mengakhiri sejuta nabi atau lebih. Tidak sekali-kali Allah mengutus seorang nabi kepada kaumnya, melainkan memperingatkan kepada mereka tentang Dajjal.” Lalu ia menuturkan hadits ini hingga selesai, demikianlah menurut lafal yang diketengahkannya, yaitu dengan tambahan lafal alfun (hingga maknanya menjadi satu juta, bukan seribu). Tetapi adakalanya lafal tersebut merupakan sisipan. Hanya Allah yang lebih mengetahui.
Tetapi konteks riwayat Imam Ahmad lebih kuat dan lebih berhak untuk dinilai shahih. Semua perawi yang disebutkan dalam sanad hadits ini tidak ada masalah. Hadits ini diriwayatkan pula melalui jalur Jabir ibnu Abdullah. Untuk itu Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan:
Telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya aku benar-benar merupakan penutup seribu nabi atau lebih, dan sesungguhnya tidak ada seorang pun dari mereka melainkan telah memperingatkan umatnya tentang Dajjal. Dan sesungguhnya telah dijelaskan kepadaku apa-apa yang belum pernah dijelaskan kepada seseorang pun dari mereka (para nabi). Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, sedangkan sesungguhnya Tuhan kalian itu tidaklah buta.”
Firman Allah ﷻ: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa: 164)
Hal ini merupakan suatu penghormatan kepada Nabi Musa a.s. Karena itu, Nabi Musa dikenal dengan julukan 'Kalimullah'.
Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Sulaiman Al-Maliki, telah menceritakan kepada kami Masih ibnu Hatim, telah menceritakan kepada kami Abdul Jabbar ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ada seorang lelaki datang kepada Abu Bakar ibnu Ayyasy, lalu ia mengatakan bahwa dirinya mendengar seorang lelaki membaca firman-Nya dengan bacaan seperti berikut: "Dan Musa berbicara kepada Allah secara langsung." Maka Abu Bakar ibnu Ayyasy berkata, "Tidak sekali-kali membaca ayat ini dengan bacaan itu, melainkan hanyalah orang kafir." Abu Bakar mengatakan bahwa ia belajar qiraat dari Al-A'masy, dan Al-A'masy belajar qiraat dari Yahya ibnu Wasab, Yahya ibnu Wasab belajar qiraat dari Abu Abdur-Rahman As-Sulami dan Abu AbdurRahman As-Sulami belajar qiraat dari Ali ibnu Abu Thalib, dan Ali ibnu Abu Thalib belajar qiraat dari Rasulullah ﷺ. Mengenai ayat ini yang bunyinya mengatakan: “Dan Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung.” (An-Nisa: 164) Abu Bakar ibnu Ayyasy marah terhadap orang yang membaca ayat tersebut tiada lain karena orang tersebut membacanya dengan bacaan yang mengubah maknanya. Ternyata lelaki tersebut dari kalangan mu'tazilah yang mengingkari bahwa Allah berbicara kepada Musa a.s. atau berbicara kepada seseorang dari makhluk-Nya.
Seperti yang kami riwayatkan dari salah seorang mu'tazilah, bahwa ia membacakan firman berikut kepada salah seorang syekh dengan bacaan berikut: “Dan Allah diajak bicara oleh Musa secara langsung.” Maka syekh itu berkata kepadanya, "Wahai Ibnul Lakhna, apakah yang akan engkau lakukan terhadap firman Allah ﷻ yang mengatakan: 'Dan tatkala datang Musa untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya'?" (Al-A'raf: 143) Dengan kata lain, makna ayat tersebut tidak mengandung takwil dan perubahan makna.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Husain ibnu Bahram, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Marzuq, telah menceritakan kepada kami Hani' ibnu Yahya, dari Al-Hasan ibnu Abu Ja'far, dari Qatadah, dari Yahya ibnu Wassab, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Tatkala Musa diajak berbicara oleh Allah, ia dapat melihat gerakan semut di atas Bukit Safa di malam yang gelap gulita.”
Hadits ini berpredikat gharib dan sanadnya tidak shahih. Apabila hadits ini benar mauquf, berarti predikatnya jayyid (baik).
Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dan Ibnu Mardawaih telah meriwayatkan melalui hadits Humaid ibnu Qais Al-A'raj, dari Abdullah ibnul Haris, dari ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Nabi Musa pada hari ia diajak bicara oleh Tuhannya memakai jubah dari bulu, baju dari bulu, dan celana dari bulu serta sepasang terompah dari kulit keledai yang tidak disembelih.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkan pula hadits berikut dengan sanadnya, dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah berbicara dengan Musa sebanyak seratus empat puluh ribu kalimat selama tiga hari, semuanya berisi wasiat. Ketika Musa mendengar pembicaraan manusia, maka ia menjadi marah karena pengaruh dari apa yang telah ia dengar dari kalam Tuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Sanad atsar ini pun lemah karena Juwaibir berpredikat dha’if, dan Adh-Dhahhak tidak menjumpai masa hidup Ibnu Abbas.
Mengenai atsar yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Mardawaih serta lain-lainnya melalui jalur Al-Fadl ibnu Isa Ar-Raqqasyi, dari Muhammad ibnul Munkadir, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa ketika Allah berbicara kepada Musa pada hari Tur, bukan dengan kalam yang pernah Dia gunakan ketika menyerunya, maka Musa bertanya kepada-Nya, "Wahai Tuhanku, apakah ini adalah kalam-Mu yang pernah Engkau gunakan kepadaku?" Allah ﷻ menjawab, "Bukan, wahai Musa. Sesungguhnya Aku berbicara denganmu baru hanya dengan kekuatan sepuluh ribu lisan dan Aku mempunyai kekuatan semua lisan, bahkan Aku lebih kuat daripada hal tersebut." Ketika Musa kembali kepada kaum Bani Israil, mereka bertanya, "Wahai Musa, gambarkanlah kepada kami kalam Tuhan Yang Maha Pemurah." Musa menjawab, "Aku tidak mampu melakukannya." Mereka berkata, "Serupakanlah saja kepada kami." Musa menjawab, 'Tidakkah kalian pernah mendengar suara guntur? Sesungguhnya hal itu berdekatan dengannya, tetapi bukan seperti suara guntur." Sanad riwayat ini dha’if, karena A-Fadl Ar-Raqqasyi adalah orang yang lemah sekali dalam periwayatan hadits.
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Abu Bakar ibnu Abdur Rahman ibnul Haris. dari Juz ibnu Jabir Al-Khasami, dari Ka'b yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah ketika berbicara kepada Musa memakai semua lisan (berbagai macam bahasa) kecuali kalam-Nya sendiri. Maka Musa berkata, "Wahai Tuhanku, apakah ini kalam-Mu?" Allah menjawab, "Bukan, sekiranya Aku berbicara dengan kalam-Ku, niscaya kamu tidak akan kuat mendengarnya.” Musa berkata, "Wahai Tuhanku, apakah di antara makhluk-Mu terdapat sesuatu yang memiliki suara mirip dengan-Mu?" Allah menjawab, "Tidak ada, dan yang lebih serupa dengan kalam-Ku ialah apa yang biasa kamu dengar dari suara guntur yang sangat keras."
Tetapi riwayat ini mauquf hanya sampai pada Ka'b Al-Ahbar. Dia menukilnya dari kitab-kitab terdahulu yang menyangkut berita-berita Bani Israil, tetapi di dalamnya terkandung perubahan dan tambahan.
Ayat 165
Firman Allah ﷻ: “(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan.” (An-Nisa: 165)
Yakni menyampaikan berita gembira kepada orang yang taat kepada Allah dan mengikuti jalan yang diridai-Nya dengan mengerjakan kebaikan, dan memberikan peringatan kepada orang yang menentang perintah-Nya dan mendustakan rasul-rasul-Nya dengan siksaan dan azab.
Firman Allah ﷻ: “Agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutus-Nya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 165)
Dengan kata lain, Allah ﷻ menurunkan kitab-kitab-Nya dan mengutus rasul-rasul-Nya dengan membawa berita gembira dan peringatan, dan menerangkan apa yang disukai dan diridai-Nya serta menjelaskan apa yang dibenci dan ditolak-Nya, agar tidak ada alasan lagi bagi orang yang akan mengemukakan alasannya. Seperti pengertian yang disebutkan di dalam ayat lain, yaitu melalui firman-Nya: “Dan sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al-Qur'an itu (diturunkan), tentulah mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, mengapa tidak Engkau utus seorang rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum kami menjadi hina dan rendah’?" (Thaha: 134)
Demikian pula makna yang ada dalam firman lainnya, yaitu: “Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa yang mereka kerjakan.” (Al-Qashash: 47) Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits melalui Ibnu Mas'ud yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: “Tidak ada seorang pun yang lebih pencemburu daripada Allah, karena itulah Dia mengharamkan hal-hal yang keji baik yang lahir maupun yang batin (tidak kelihatan). Dan tidak ada seorang pun yang lebih suka dipuji daripada Allah ﷻ. Karena itulah maka Dia memuji diri-Nya sendiri. Tidak ada seorang pun yang lebih suka alasan (argumen) selain dari Allah. Karena itulah Dia mengutus para nabi untuk menyampaikan berita gembira dan peringatan. Menurut lafal yang lain disebutkan: “Karena itulah maka Dia mengutus rasul-rasul-Nya dan menurunkan kitab-kitab-Nya.”
Dan di antara para rasul itu ada beberapa rasul yang sungguh telah Kami kisahkan mereka kepadamu sebelumnya, yakni sebelum turun ayat ini, dan ada beberapa rasul yang lain yang tidak Kami kisahkan mereka kepadamu. Dan kepada Musa, Allah berfirman langsung atau secara bertahap sesuai kemaslahatan dan kebutuhan umatnya. Rasul-rasul itu adalah sebagai pembawa berita gembira kepada orang yang beriman bahwa mereka akan memperoleh pahala, dan pemberi peringatan kepada orang-orang kafir bahwa mereka akan disiksa, agar dengan diutusnya para rasul itu tidak ada alasan bagi manusia untuk membantah Allah dan ingkar kepada-Nya setelah rasul-rasul itu diutus. Allah Mahaperkasa, tidak dapat dikalahkan oleh siapa pun, Mahabijaksana dalam segala perbuatannya.
Ada beberapa rasul yang telah dikisahkan terdahulu oleh Allah kepada Muhammad saw, dan ada pula beberapa rasul yang sengaja tidak dikisahkan kepadanya, karena umat-umatnya kurang dikenal. Beberapa rasul telah dikisahkan dalam Al-Qur'an seperti firman Allah:
(84) Dan Kami telah menganugerahkan Ishak dan Yakub kepadanya. Kepada masing-masing telah Kami beri petunjuk; dan sebelum itu Kami telah memberi petunjuk kepada Nuh, dan kepada sebagian dari keturunannya (Ibrahim) yaitu Dawud, Sulaiman, Ayyub, Yusuf, Musa, dan Harun. Dan demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik, (85) dan Zakaria, Yahya, Isa dan Ilyas. Semuanya termasuk orang-orang yang saleh, (86) Dan Ismail, Alyasa, Yunus dan Lut. Masing-masing Kami lebihkan (derajatnya) di atas umat lain (pada masanya), (al-An'am/6: 84, 85 dan 86).
Kisah para nabi itu sebagian besar terdapat pada Surah Hud/11 dan Surah asy-Syu'ara/26. Rasul-rasul yang tidak dikisahkan itu kurang dikenal umatnya oleh orang Arab dan tidak dikenal pula oleh Ahli Kitab yang berdampingan masa hidupnya dengan mereka. Hikmah dari mengisahkan nabi-nabi itu ialah untuk mengambil iktibar dan pelajaran, untuk menambah ketabahan hati ketika menghadapi tantangan-tantangan dan permusuhan dan untuk memperkuat kenabian Muhammad, sebagaimana firman Allah:
Dan semua kisah rasul-rasul, Kami ceritakan kepadamu (Muhammad), agar dengan kisah itu Kami teguhkan hatimu; dan di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat dan peringatan bagi orang yang beriman. (Hud/11: 120).
Orang Yahudi beranggapan, bahwa yang diberi wahyu dan pangkat kenabian itu hanya dari golongan mereka saja, padahal beberapa ayat menunjukkan bahwa Allah telah mengutus beberapa rasul untuk setiap umat sebagai realisasi dari rahmat Allah yang tersebar luas ke seluruh dunia. Firman Allah:
Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), "Sembahlah Allah, dan jauhilah Tagut" ? (an-Nahl/16: 36).
?Dan tidak ada satu pun umat melainkan di sana telah datang seorang pemberi peringatan. (Fathir/35: 24).
Allah telah berbicara langsung kepada Musa meskipun Allah tidak menampakkan wujud-Nya kepada Nabi Musa ketika menurunkan wahyu kepadanya sebagaimana dijelaskan Allah di dalam firman-Nya:
Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir atau dengan mengutus utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki. ? (asy-Syura/42: 51).
Pembicaraan Allah kepada Musa itu termasuk pembicaraan di belakang tabir, karena beliau hanya mendengar kalam Ilahi dan tidak dapat melihat-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Sudah diterangkan di ayat-ayat di atas bahwa ada orang-orang Yahudi dan Nasrani hanya mau percaya sebagian rasui dan tidak percaya kepada yang lain. Percaya kepada Musa, tidak percaya kepada Isa dan Muham-mad. Padahal isi pengajaran sekalian Rasul itu hanyalah satu. Maka datanglah ayat ini menegaskan kepada Muhammad, untuk disampaikan kepada seluruh manusia yang mau beriman,
Ayat 163
“Sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada engkau sebagaimana apa yang telah Kami wahyukan kepada Nuh dan nabi-nabi dari yang sesudahnya."
Di sinilah dijelaskan bahwa perintah Allah yang disampaikan kepada rasul-rasul itu, sejak Nuh sampai kepada nabi-nabi yang di belakangnya adalah berupa wahyu. Kami wahyukan Wahyu yang diterima nabi-nabi itu, semacam itu pula engkau ya Muhammad, Aku beri wahyu. Wahyu bukanlah suatu kitab tertulis di atas batu lalu dikirim dari langit. Sebagaimana yang mereka minta itu. Bahkan batu untuk menuliskan wahyu 10 kepada Musa pun dilukiskan sesudah diwahyukan, di atas batu di bumi ini juga, batu dari Gunung Sina.
Arti wahyu pada asal bahasa ialah isyarat. Di dalam surah Maryam ayat 11 disebutkan bahwa setelah Zakaria tidak dapat bercakap tiga hari tiga malam lamanya, hanya dengan isyarat saja dia menyerukan kepada kaumnya, agar mereka mengucapkan tasbih kepada Allah pagi dan petang. Isyarat Nabi Zakaria itu disebutkan fa auha, Dia wahyukan! Kadang-kadang dia berarti naluri (insting), sebagaimana tersebut di dalam surah an-Nahl ayat 68), bahwa Allah mewahyukan kepada lebah supaya membuat sarang di bukit dan di bubungan rumah. Kadang-kadang dia berarti ilham, sebagaimana tersebut di surah al-Qashash ayat 7) Dan Kami wahyukan kepada ibu Musa, yang sebagian besar ahli tafsir memberinya arti bahwa ibu Musa diberi ilham. Bahkan pernah juga wahyu itu berarti isyarat buruk, sebagaimana tersebut dalam surah al-An'aam ayat 112, bahwa setan-setan yang terdiri dari manusia dan jin itu bisik-membisikkan atau hasut-menghasutkan kata-kata kosong yang tidak berarti, dan di sini dipakai juga kalimat wahyu.
Bahkan langit pun mendapat wahyu dari Allah, artinya mendapat perintah dan aturan supaya masing-masing berjalan menurut yang ditentukan Allah dalam edarannya sendiri-sendiri (surah Fushshilat: 2).Tetapi berbedalah dari semuanya itu kalimat wahyu yang dipakai buat menjelaskan Wahyu Ilahi kepada rasul-rasul dan nabi-nabi. Yaitu tuntunan yang diberikan Allah dengan perantaraan Malaikat Jibril, langsung terus kepada Rasul itu sendiri. Sesaat wahyu itu diterimanya, yakinlah Rasul dan Nabi itu bahwa itu adalah dari Allah.
Kadang-kadang dia datang sebagai mimpi yang besar. Kadang-kadang ketika wahyu itu datang, menjadi lemah segala persendiannya dan berat terasa menghimpit badannya, lalu langsunglah ucapan itu masuk jiwanya dan dipa-hamkannya, lalu diulangnya membaca kembali. Sebab itu wahyu bukanlah ilham. Sebab ilham adalah suatu perasaan yang timbul sendiri pada manusia, dari dalam jiwanya yang mumi setelah mendapat beberapa rangsangan dari luar.
Wahyu yang demikian itulah yang diterima oleh Nabi Muhammad ﷺ yang telah tersusun menjadi Al-Qur'an, dan wahyu yang begitu pula yang diterima oleh Nuh dan nabi-nabi yang sesudahnya. Disebut Nuh lebih dahulu, supaya mengambil perhatian dari orang Yahudi dan Nasrani yang sedang dihadapi dengan seruan-seruan ini, sebab dalam pegangan dari kitab-kitab suci mereka, Nuh jugalah yang tersebut sebagai menerima wahyu dan pembawa syari'at pertama terlebih dahulu dengan kisah bahtera itu. “Dan telah Kami wahyukan kepada Ibrahim, Isma'il, dan Ishaq, dan Ya'qub, dan anak cucu." Disebutlah dengan terang nama Ibrahim, sebab semua, baik Bani Israil maupun Arab mengakui bahwa sesudah Nuh, Ibrahimlah Rasul yang dikenal bersama. Di antara Nuh dan Ibrahim ada Hud dan Shalih dan Syu'aib. Ketiga nama ini hanya dikenal oleh Arab saja, sebab mereka Rasul dad kalangan Arab yang telah musnah. Sedang yang dihadapi dengan ayat ialah Yahudi. Tetapi Ibrahim dikenal bersama. Dan dikenal pula Isma'il, sebab keduanya, Bani Israil dan Arab, mengakui dia adalah anak yang tertua sebelum Ishaq. Lalu disebut Ishaq adik Isma'il dari lain ibu, sebab Isma'il anak Hajar dan Ishaq anak Sarah. Lalu disebut pula Ya'qub, sebab dia adalah anak dari Ishaq. Semua mengenal nama-nama itu. Disebut lagi anak cucu, yang di dalam ayat dipakai kalimat Asbath, yang berarti jugi anak cucu keturunan. Orang Arab menyebut Qabilah atau Qabail, tetapi orang Israil menyebut Asbath, jamak dari kata Sibth. Yakni anak cucu keturunan, bukanlah maksudnya memuja nama orang-orang, melainkan keturunan dari orang-orang. Anak Nabi Ya'qub adalah dua belas orang. Mereka ialah:
38. Rubin, (2) Syam'un (Simon), (3) Lewi, (4) Yahudza, (5) Zebulon, (6) Isakhar, (7) Dan, (8) Gad, (9) Asyer, (10) Naftali, (11) Yusuf (12) Benyamin.
Keturunan daripada anak-anak Ya'qub yang dua belas ini berkembang jadi dua belas Asbath, atau dua belas keturunan.
Kemudian anak ke-11, yaitu Yusuf mempunyai dua putra, yaitu Afraim dan Manasye; keduanya itu menurunkan dua keturunan yang berkembang pula, tetapi tidak menjadi satu Sibth yang berdiri sendiri.
Dengan keterangan ini dapatlah dipahami bahwa anak cucu di sini bukanlah yang dimaksud bahwa ke-12 saudara Yusuf itu Nabi atau Rasul, melainkan dari suku-suku keturunan mereka banyak timbul rasul-rasul dan nabi-nabi yang juga menerima wahyu, sebagaimana yang diterima oleh nenek moyang mereka. Tentang ini dapat kita baca pada surah al-A'raaf ayat 160) “Dan Isa, dan Ayub dan Yunus dan Harun dan Sulaiman." Dikhususkan pula nama-nama itu, meskipun terang dalam sejarah bahwa Harun terlebih dahulu datangnya dari Isa dan Sulaiman dan terdahulu dari Yunus, demikian juga Ayub, sebab rasul-rasul itu dikenal namanya semua oleh orang Yahudi itu, tetapi didahulukan menyebut Isa, sebab mereka tidak mau mengakui beliau.
“Dan telah Kami berikan kepada Dawud Zabun."
Zabur sama artinya dengan kitab yang daubs. Artinya—sebagaimana juga Al-Quhan— wahyu yang diturunkan kepada Dawud kemudiannya juga dibukukan. Ahlul Kitab menamainya juga Mazmur. Dia adalah kumpulan dari doa dan pujaan Dawud kepada Allah. Meskipun Dawud tidak membawa syari'at sendiri, melainkan menuruti syari'at Musa juga, menjalankan sepanjang Taurat juga, karena Zabur Dawud atau Mazmur ini, agak istimewa dalam pandangan Ahlul Kitab, sebab banyak mengandung doa yang mendalam artinya, di ayat ini sengaja dia kemukakan. Padahal nabi-nabi yang lain, sebagai Yasy'iya, Habakuk, Hezeikeil, Yermiya, Ayub dan Yunus, juga mempunyai catatan-catatan yang dibukukan. Sebab itu mereka pun menerima Zabur. Kata jamaknya ialah Zubur. Itu pula sebabnya Zabur kadang-kadang memakai al (alif lam ma'rifah) dan kadang-kadang tidak. Sedang at-Taurat dan al-Injil selalu memakai alif lam ma'rifah, sebab keduanya khususnya untuk Musa dan Isa.
Ayat 164
“Dan akan beberapa Rasul."
Selain dari yang telah disebutkan itu ada lagi beberapa Rasul, mereka pun diberi wahyu pula, sebagaimana yang diberikan kepada engkau itu, dan sebagaimana yang diberikan kepada Nuh dan nama-nama Rasul yang di-sebutkan tadi: “Yang sesungguhnya telah Kami kisahkan kepada engkau dari sebelum m/. “Yakni sebelum surah ini diturunkan, terlebih dahulu sudah Kami sebutkan juga nama-namanya dalam wahyu sebelum engkau, terutama di kala wahyu turun di Mekah, seumpama di surah al-An'aam ayat 64. Surah Huud, Tha-Sin-Mim, asy-Syu'aaraa, Yuunus, dan lain-lain.
“Dan beberapa Rasul (lagi)yang tidak Kami kisahkan mereka itu kepada engkau." Dalam ayat ini Allah menjelaskan kepada Rasul-Nya, Muhammad ﷺ bahwasanya selain dari yang telah Allah wahyukan nama-nama dan perjuangannya kepada beliau, ada lagi rasul-rasul lain yang lain, di bagian dunia yang lain. Berdasarkan kepada isyarat Allah ini, tidaklah ada salahnya bahkan menjadi wajiblah kita percaya bahwa di negeri-negeri yang lain pun, selain dari daerah Arab dan Mesopotamia, tempat timbulnya umat Yahudi dan umat Arab itu yang disebut bangsa keturunan Sam (Semiet), telah ada juga rasul-rasul. Isyarat ini membuka pintu bagi ahli-ahli pengetahuan untuk menyelidiki sisa-sisa purbakala dari lain-lain daerah: Hindustan, Tiongkok, Benua Eropa, Amerika, bahkan juga ke sebelah kita di sini. Yaitu manusia-manusia yang telah pernah diberi wahyu oleh Allah untuk dituntunkan kepada manusia.
Kita dapat memahami jika tidak semua nama mereka dikisahkan kepada Nabi kita Muhammad ﷺ sebab pada waktu itu, dalam masa yang hanya pendek, 25 tahun, yang beliau hadapi hanyalah bangsa Arab dan Bani Israil, yang keduanya dari satu keturunan, yaitu Ibrahim, atau yang dikenal sekarang dengan sebutan bangsa-bangsa Semiet. Sebab itu, mungkin Lao Tze,
Kong Fut Tze, Zarasustra, Budha Gauthama adalah semuanya rasul-rasul juga. Mungkin Socrates pun seorang rasul ataupun nabi. Cuma karena berlama masa, kurang lengkap catatan dan banyaknya bid'ah yang timbul di belakang dari pemuka-pemuka agama yang melanjutkan sehingga berubahlah ajaran-ajaran itu, menjauh dari tauhid. Sedangkan Islam sendiri, kalau bukanlah Al-Qur'an benar-benar terjamin keaslian isinya, niscaya agama Muhammad ini akan tertimbun pula keasliannya oleh bid'ah-bid'ah yang diadakan orang yang datang di belakang.
Setengah ahli penyelidik telah menghitung nabi-nabi dan rasul-rasul yang tersebut di dalam Taurat dan Zabur dan Injil, diperdapat sekitar 50 orang. Ada pula hadits-hadits Nabi kita yang membicarakan tentang nabi-nabi dan rasul-rasul itu, di antaranya ialah yang diterima dari Abu Dzar, yaitu 124.000. Tersebut pula bahwa yang 124.000 itu ialah nabi-nabi, artinya yang menerima wahyu. Adapun yang sampai menjadi rasul, yaitu nabi yang menerima syari'at buat disampaikan kepada umat manusia, menurut keterangan hadits itu 313 orang banyaknya. Riwayat ini dipandang shahih oleh Ibnu Hibban.
Sebab itu jelaslah bahwa nabi dan rasul itu banyak. Tidak semua nama mereka dikisahkan Allah kepada Nabi Muhammad ﷺ di dalam Al-Qur'an.
Kemudian datanglah penutup ayat,
“Dan telah bercakap-cakap Allah dengan Musa, sebenar-benarnya bercakap."
Sesungguhnya menjadi percakapan panjang lebar juga dalam kalangan ahli-ahli yang telah terdahulu tentang Allah telah bercakap dengan Nabi Musa ini. Yang terang ialah bahwa di antara sekian banyak Rasul Allah, Musa telah mendapat suatu keistimewaan, diajak bercakap sebenar bercakap.
Di dalam surah asy-Syuura ayat 51, Allah telah memberitahukan kepada Nabi kita
Muhammad ﷺ tentang bagaimana caranya seorang Rasul Allah diberi wahyu. Di ayat itu Allah menerangkan bahwa seorang Rasul tidaklah diajak bercakap oleh Allah melainkan dengan wahyu. Cara memberi-kan wahyu itu ialah salah satu dari dua cara. Atau Allah memberikan wahyu kepadanya dari belakang Hijab (dinding) atau diutus kepadanya malaikat (Jibril atau Ruhul Qudus), maka malaikat itu pun menyampaikan wahyu itu dengan izin Allah kepadanya.
Kalau demikian dapatlah kita tarik kesimpulan bahwasanya wahyu yang diterima Musa ini ialah macam yang pertama, yaitu Allah memberinya wahyu dari balik hijab. Dari balik hijab itulah Allah bercakap langsung kepada Musa dan Musa menyambutnya. Di dalam surah al-A'raaf diterangkan bahwa setelah Allah berkenan mengajaknya bercakap, maka Musa lebih berani lalu menyatakan keinginan hendak melihat wajah Tuhannya. Tetapi keinginannya itu tidak dikabulkan oleh Allah, lalu Allah menjelaskan kuat kuasa-Nya ke puncak sebuah gunung (Tajalla Rabbuhu) maka hancur lumatlah gunung tersebut. Musa pun tersungkur pingsan melihat hal yang dahsyat itu, dan setelah dia siuman, dia pun memohon tobat kepada Allah dan tidak berani minta lagi (surah al-A'raaf 143)
Dengan berpedoman kepada surah asy-Syuura ayat 51) di atas tadi, dapatlah pula kita mengambil paham apa yang dimaksud oleh Allah di dalam surah Thaahaa ayat 13) “Dan aku telah memilih engkau, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan itu" Yaitu bahwa wahyu datang kepada Musa ini bukan dengan perantaraan Jibril, melainkan dari Allah langsung, tetapi dari balik hijab.
Niscaya terlalu ceroboh kita kalau kita hendak mencari jawab pertanyaan dalam diri kita sendiri, tentang bagaimana caranya Allah bercakap dengan Musa di balik hijab itu. Niscaya terlalu ceroboh kita kalau kita pikir-pikirkan bahwa suara Allah yang didengar oleh Musa itu sebagai suara yang kita pikirkan, suara yang tertangkap oleh telinga kita, lalu kita khayatkan bahwa Allah itu bertubuh seperti manusia, berlidah dan bermulut.
Tidaklah selayaknya kalau hakikat wahyu akan bercakap dari balik hijab itu kita bicarakan dalam-dalam, karena alat penangkap rahasia itu tidaklah cukup bagi kita. Sedangkan perkembangan ilmu pengetahuan ilmu pengetahuan manusia di dalam abad kedua puluh ini telah dapat menghubungkan suara dari seorang manusia di tengah Afrika dengan manusia di tengah Eropa dengan alat radio telefon. Dan alat radio telefon, atau televisi hanyalah hal-hal yang tadinya rahasia bagi kita, sebelum kita ketahui. Demikian juga beberapa kode rahasia yang diatur oleh manusia. Kode morse dan kode lain-lain, yang hanya dapat dipahami oleh orang yang bersangkutan dan gelap bagi yang lain.
Biarlah mata Musa yang fana itu tidak melihat wajah Tuhannya dan biarlah Allah memasang hijab di antara diri-Nya dan diri hamba-Nya yang dipilih-Nya itu, namun mata hatinya telah tertuju kepada Tuhannya itu. Dia telah lebih dahulu merasakan, laksana mendalamnya perasaan seorang yang buta, karena pandangan mata tidak ada lagi, sehingga gerak-gerik, sayang atau benci, sungguh-sungguh atau senda gurau orang yang dihadapinya, lebih dirasainya daripada jika dia nyalang mata dan dapat melihat wajah orang itu.
Nabi kita Muhammad ﷺ pun ketika diberi kemuliaan oleh Allah dapat Isra' Mi'raj telah mengalami pula kehormatan yang tinggi itu, yaitu dapat bercakap langsung dengan Allah di balik hijab, tidak dengan perantaraan atau jibril. Sebab setelah lepas dari Sidratil Muntaha itu, Jibril tidak diizinkan lagi menemani Nabi. Setelah Nabi kita Muhammad ﷺ ada lagi dalam dunia ini bertanyalah seorang sahabat beliau, Abu Dzar al-Ghifari, adakah Allah memberi kesempatan kepadanya buat melihat wa-jah-Nya. Lalu Nabi kita menjawab, “Anna araha?" Bagaimana jalannya aku akan dapat me-lihat-Nya? Padahal Nur semata-mata. Dan kita pun maklumlah bahwasanya Nur atau cahaya bukanlah Allah.
Oleh sebab itu, kita terimalah dengan penuh iman, bahwasanya Nabi Musa telah diberi kelebihan oleh Allah, diajak-Nya bercakap, dengan cara yang Allah sendirilah Yang Mahatahu.
Setelah itu, Allah melanjutkan firman-Nya,
“Beberapa Rasul" yaitu selain dari rasul-rasul yang telah tersebut itu, ada lagi beberapa rasul-rasul yang telah tersebut namanya itu, ada lagi beberapa Rasul yang lain.
Ayat 165
“Dalam keadaan membawa berita kesukaan dan berita ancaman."
Di sini disebutkan tugas utama bagi rasul-rasul Allah, yaitu dua perkara. Pertama, memberi-berikan berita suka atau gembira bagi barangsiapa yang patuh dan taat kepada pimpinan Allah yang dibawakan oleh Rasul itu, yaitu kehidupan yang bahagia di dalam surga kelak di akhirat. Dan berita ancaman bagi barangsiapa yang tidak mau patuh kepada peringatan Allah.
“Supaya tidak ada bagi manusia terhadap Ailah suatu alasan pun sesudah rasul-rasul itu." Artinya dengan sebab rasul-rasul telah menyampaikan wahyu dari Allah itu, diberi pengertianlah manusia tentang siapa Tuhannya dan apa yang diridhai oleh Allah itu dan apa yang dibenci oleh Allah. Sehingga kalau mereka melanggar juga, padahal Rasul sudah datang dan pelajaran sudah disampaikan, mereka dimasukkan ke dalam neraka, tidaklah ada alasan bagi mereka lagi buat mengatakan kami tidak tahu bahwa hal ini dilarang oleh Allah.
“Dan adalah Allah Mahagagah, lagi Bijaksana."
Sifat Allah yang Aziz, yang kita artikan gagah ialah karena hukum-Nya mesti berlaku; yang jahat mendapat balasan jahat dan berbuat baikakan mendapat balasan baik pula, dengan tidak semiang pun ada penganiayaan kepada hamba-Nya. Tetapi Dia adalah Mahabijaksana. Tidaklah Allah itu ceroboh, datang-datang saja menjatuhkan suatu hukum padahal pemberitahuan belum disampaikan terlebih dahulu. Pemberitahuan yang disampaikan terlebih dahulu oleh rasul-rasul Allah adalah dari kebijaksanaan Allah.
Ayat 166
“Akan tetapi Allah menyaksikan (bahwa) yang telah Dia tununkan kepada engkau itu, adalah diturunkan-Nya akan dia dengan setahu-Nya."
Di sini Allah memulai wahyu-Nya dengan memakai akan tetapi, sebagai penegasan bantahan kepada orang yang kufur tadi, yang sampai berani menyatakan bahwa mereka tidak mau percaya kepada risalah Muhammad, kalau beliau tidak membawa sebuah kitab yang diturunkan dari langit. Di ayat-ayat di atas Allah telah menjelaskan bahwa yang diturunkan kepada Muhammad dan kepada sekalian Rasul bukanlah kitab tertulis dari langit, melainkan wahyu yang dibawa oleh malaikat, khususnya Malaikat Jibril, dibantu oleh malaikat-malaikat pengiring, sebab Jibril itu pun utama di antara sekalian malaikat. Wahyu bersifat gaib, dan malaikat yang membawanya pun gaib pula. Bukan batu bersurah atau kertas bergulung dihantarkan. Allah sendirilah yang menampilkan diri demi kemu-liaan-Nya, bahwa walaupun mereka tidak mau percaya, Allah menjadi saksi bahwa wahyu itu memang dari Dia turunnya, dan diantarkan oleh malaikat dengan setahu-Nya, dengan sepengetahuan-Nya.
“Dan malaikat-malaikat pun semuanya menyaksikan. Padahal cukuplah dengan Allah (saja) menjadi saksi"
Kesaksian dari Allah sudah cukup. Bahkan menurunkan wahyu dengan tidak memakai perantaraan malaikat pun Allah sanggup,
sebab Mahakuasa-Nya meliputi seluruh isi langit dan bumi. Tetapi untuk menjadi suri teladan bagi hamba-Nya yang lemah ini, Allah mengadakan peraturan, wahyu disampaikan dengan perantaraan Malaikat Jibril, dan beberapa malaikat yang lain pun turut menjadi duta-duta yang mulia. (Lihat ‘Abasa ayat 13; 14; 15; dan 16)
Maka bukakanlah hatimu, singkapkan segala pintu dan jendelanya dan biarkanlah cahaya hidayah Ilahi dari wahyu itu masuk ke dalamnya, niscaya kamu akan tahu kelak apa artinya wahyu-wahyu itu bagi perkembangan pribadimu, sebagai insan yang telah diangkat Allah menjadi khalifah-Nya di dalam bumi ini. ***
39. Sesungguhnya orang-orang yang telah kafir dan berpaling dari jalan Allah, maka sungguh telah sesatlah mereka, sesat yang sangat jauh.
40. Sesungguhnya orang-orang yang telah kafir dan telah menganiaya tidaklah Allah akan mengampuni mereka dan tidaklah Dia akan menunjuki mereka suatu jalan pun.
41. Kecuali jalan ke Jahannam, kekallah mereka di dalamnya, selama-lamanya. Dan adalah yang demikian itu, atas Allah sesuatu yang se-mudah-mudahnya.
42. Wahai sekalian manusia! Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul itu dengan kebenaran daripada Tuhan kamu, maka percayatah kamu! itulah yang sebaik-baiknya bagi kamu. Tetapi jika kamu tidak mau percaya, maka sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di semua fangit dan bumi. Dan adalah Allah itu Mahatahu, lagi Bijaksana.
Di ayat-ayat yang telah lalu sudah jelas betapa sikap kaum Yahudi itu menentang dan berpaling dari jalan Allah, sampai meminta diturunkan kitab tercatat dari langit, sampai mau percaya kepada setengah rasul dan men-dustakan yang lain, dan semuanya sudah diberi penjelasan dan penolakan, sampai diterangkan hakikat wahyu. Kalau keterangan sudah sejelas itu, masih juga membantah hanya karena mempertahankan pusaka orang tua-tua, betapalah jadinya hukuman atas mereka?
Ayat 167
“Sesungguhnya orang-orang yang lelah kafir dan berpaling dari Jalan Allah."
Sendiri tidak mau percaya, orang lain pun diajak buat tidak mau percaya, syak wasangka diperbanyak, kebencian ditebarkan, keterangan yang benar tidak mau terima, dan terus-menerus bersikap demikian,
“Maka sungguh sesatlah mereka, sesat yang sangat jauh."
Sebab telah terpesong dari jalan Allah, terseret ke jalan setan, sehingga jauhlah jarak ujungnya dengan tujuan kebenaran.
Ayat 168
“Sesungguhnya orang-orang yang telah kafir dan telah menganiaya, tidaklah Allah akan mengampuni mereka, dan tidaklah Dia akan menunjuki mereka suatu jalan pun."
Mereka telah kufur, jiwa mereka telah terpesong dari jalan Allah ke jalan setan, setelah itu mereka pun aniaya pula kepada orang lain, entah memakan riba ataupun mengambil harta orang dengan jalan yang tidak halal, maka tidaklah Allah akan memberi ampun mereka.
Kalau dalam ayat 167 dikatakan mereka telah tersesat jauh sekali, mungkin ada juga harapan buat surut pada kebenaran, namun kalau kufur telah diikuti lagi dengan aniaya, payahlah mereka akan mendapat ampunan dari Allah, terutama karena rintihan dari orang yang telah dianiaya itu, sebagaimana pernah diingatkan Rasulullah ﷺ dalam hadits yang shahih.
“Takutlah kamu akan doa orang yang dianiaya, karena sesungguhnya tidaklah ada di antaranya dengan Allah suatu dinding pun. “
Jalan tidak akan ditunjukkan lagi kepada mereka,
Ayat 169
“Kecuali jalan ke Jahannam."
Jalan meluncur turun ke dalam Jahannam adalah akibat yang wajar saja dari orang yang sejak semula memang menuju itu. Bagaimana orang yang menurun akan sampai ke atas? Dirinya telah dikelilingi oleh semak belukar dosa, dan dia memilih jalan yang curam dan gelap, tentu dalam lurahlah tiba akhirnya. Karena demikianlah sunnatullah dalam alam ini, “Kekallah mereka di dalamnya." Artinya masuklah mereka ke dalam untuk merasai adzab siksanya, “Selama-lamanya!' Yang menurut setengah ahli tafsir ialah amat lama mereka di dalam buat menderita adzab itu. Maka tidaklah penulis hendak masuk berbonceng pula tentang makna abadan itu, karena ar-Raghib al-Ishfahani ahli bahasa Arab itu menulis tentang arti abad ialah kekal sesuatu di dalam sesuatu keadaan, tidak berubah dan tidak rusak. Yang menurut keterangan setengah ahli tafsir pula, bukanlah kekal tidak ada ke-sudahan, melainkan kekal lama sekali!
Entahlah! Sedangkan tersinggung dua detik tangan kita oleh semprong lampu dinding yang panas, lagi tidak tahan kita akan sakitnya, kononlah akan kekal berlama masa dalam neraka.
“Dan adalah, yang demikian itu atas Allah, sesuatu yang semudah-mudahnya."
Memperingati kita supaya insaf agar jangan menempuh jalan yang sesat dan jangan aniaya. Sebab bagi Allah mudah saja menjatuhkan adzab dan siksa, baik di dunia apatah lagi di akhirat. Sedang enak-enak duduk dalam kelengahan, mudah saja Allah membantunkan tikar alas duduk dan kita terpelanting jatuh.
Demikianlah ancaman Allah atas manusia, bahwa kalau memilih jalan yang salah, kufur, aniaya, dan berpaling langkah, payahlah akan mendapat ampun darj Allah dan sukarlah akan ditunjuki jalan yang benar, kecuali jalan ke neraka. Sedang apabila manusia berpikir dengan tenang, tidaklah mereka suka pada hakikatnya kepada jalan yang salah, dan takutlah mereka akan masuk ke dalam neraka, apatah lagi akan kekal pula di dalamnya. Ke mana akan lari dari siksaan Allah, kalau bukan kepada Allah jua melindungkan diri. Maka dalam suasana kita merasakan perasaan yang demikian karena mendengar ancaman Allah itu, Allah pun meneruskan firman-Nya.
RASUL YANG DIJANJIKAN ITU
Ayat 170
“Wahai sekalian manusia!
Sekarang seruan Allah dihadapkan kepada seluruh manusia yang berakal, tidak pandang agama atau bangsa, bahasa atau warna kulit; “Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul itu dengan kebenaran daripada Tuhan kamu."
Di dalam ayat ini diterangkanlah kepada insan bahwa Rasul itu telah datang. Yaitu Rasul yang telah lama ditunggu. Rasul yang telah di isyaratkan Allah sejak lama di dalam kitab-kitab suci yang telah lalu.
Di ayat ini kalimat Rasul telah diberi pangkalnya dengan alif dan lam, artinya telah dima'rifahkan, sebab telah dikenangkan lebih dahulu dalam ingatan, yang di dalam ilmu bahasa (nahwu) disebut alif lam al-'ahdi. Ka-rena sudah lama disebut-sebut dan sudah lama ditunggu-tunggu.
Di dalam Kitab Ulangan Fasal 18; 15, Tuhan telah mewahyukan kepada Musa tentang akan datangnya Nabi itu.
Bahwa seorang Nabi dari tengah-tengah kamu, dari antara segala saudaramu, dan yang seperti aku ini, yaitu akan dijadikan oleh Allah bagi kamu, maka akan dia patutlah kamu dengar.
Maksud ayat bahwa Nabi itu akan datang di tengah-tengah kamu, ialah di tengah-tengah keturunan Ibrahim. Dan di antara segala saudaramu ialah saudara sepupu Bani Israil, keturunan Ishaq, yaitu Bani Isma'il. Yang dimaksud dengan kata seperti aku ini ialah seperti Musa, yaitu sama-sama lahir dengan ibu dan bapak, sama-sama datang melawan kezaliman dan mengajarkan tauhid, dan sama-sama berjuang dan berperang.
Orang Kristen menafsirkan ayat ini bahwa yang dimaksud dengan nabi itu ialah al-Masih. Tetapi dalam ayat itu sendiri nyata dan jelas, bahwa yang dimaksud oleh Musa, nabi yang serupa keadaannya dengan Musa. Bagaimana pun kita mempertimbangkannya, namun Musa dan Muhammad, jauh lebih serupa keadaannya daripada Musa dan Isa.
Apalah lagi di dalam Injil karangan Yahya, Pasal 1 ayat 19—21, sudah jelas benar bahwa Nabi itu lain orangnya dan Kristus lain pula orangnya, ini diterangkan dalam tanya jawab di antara Yahya Pembaptis dengan imam-imam Yahudi sendiri,
19. “Maka inilah kesaksian Yahya itu, tatkala orang Yahudi menyuruhkan beberapa imam dan orang-orang Lewi dari Jerusalem akan bertanya kepadanya demikian; “Siapakah engkau?"
20. “Maka mengakulah ia, dan tiada ia ber-sangkal; maka mengakulah ia demikian: “Aku ini bukanlah Kristus itu."
21. “Maka bertanyalah mereka itu kepadanya, ‘Kalau begitu siapakah engkau? Engkaukah Eliyas?' Maka katanya, ‘Bukan.' ‘Engkaukah Nabi itu?' Maka jawabnya, ‘Bukan!'“
Bagaimanapun dialihkan, namun dalam pikiran orang Yahudi sejak zaman lampau, adalah tiga orang mulia yang ditunggu kedatangannya. Pertama Kristus. Yang dalam bahasa Arab disebut al-Masih. Kedua, Nabi Eliyas, yang menurut kepercayaan Yahudi naik ke langit dan akan turun lagi. Ketiga ialah Nabi itu. Orang Yahudi bertanya apakah Yahya salah seorang dari orang bertiga itu? Yahya menjawab bahwa ketiganya bukan!
Oleh sebab itu, kalau sekiranya bukanlah karena dogma Kristen telah diatur buat mendustakan Nabi Muhammad, mereka tentu akan mengakui bahwa Nabi itu lain orangnya, dan Kristus lain pula orangnya. Dan kalau dengan demikian, janji Allah kepada Musa di Horeb tentang akan datangnya Nabi itu, bukanlah Yesus yang dimaksud, tetapi nabi lain.
Sebab yang dimaksud dengan Yesus ialah al-Masih! Bukan Nabi itu.
Dan orang Yahudi sampai sekarang ini masih saja menunggu kedatangan Mesias, atau al-Masih. Meskipun al-Masih Isa telah lampau dan Nabi itu pun telah lampau, yaitu Nabi Muhammad ﷺ.
Orang pun bisa berlindung di balik daun lalang sehelai buat mengelakkan ayat-ayat ini dari Nabi Muhammad saw, karena yang tersebut di dalam Kitab Ulangan Pasal 18 itu dan yang dituliskan oleh Yahya (Yohannes) dalam Injilnya tentang jawaban Nabi Yahya Pembaptis bukan Rasul itu melainkan Nabi itu. Kalau orang hendak mengelak juga dalam soal ini, nyatalah dia mengelak dari kebenaran, bahwasanya seorang Rasul (utusan Allah), dengan sendirinya ialah seorang Nabi. Karena arti nabi ialah orang yang beroleh nubuwwat dari Allah.
Maka di dalam ayat yang tengah kita tafsirkan ini diserulah manusia supaya percaya kepada Muhammad, karena dialah Rasul itu, atau Nabi yang telah dibicarakan oleh Kitab yang dahulu itu, yang ada dalam tangan orang Yahudi, yang tidak sempat buat ditahrifkan (diubah-ubah salinannya setelah dia dinukilkan dalam satu naskah ke naskah lain, atau satu bahasa ke bahasa lain) Maka Rasul itu sekarang telah datang membawa kebenaran dari Allah. Sebab itu, “Maka percayatah kamu."
Artinya lebih baiklah kamu percaya saja. Sebab kebenaran dari Allah yang dibawa oleh Rasul itu, tidaklah dapat dibantah lagi. Setengah pokok kebenaran yang dibawanya itu ialah bahwa dia tidak memungkiri kerasulan dari nabi-nabi dan rasul-rasul yang dahulu darinya. Dia mengakui Nabi sejak Nuh sampai Ibrahim, sejak Musa sampai Isa, sejak Dawud sampai Sulaiman, sejak Zakaria sampai Yahya.
Yang tidak diakuinya ialah usaha kamu menuhankan manusia, mengatakan Yesus Kristus ialah Allah sendiri yang menjelma ke dunia jadi anak. Itu adalah tidak benar. Tidak ada seorang pun di antara nabi-nabi itu yang berkata demikian. Itu barulah setelah ajaran asli al-Masih diselewengkan oleh orang yang datang kemudian.
Lalu Allah berfirman lagi, “Itulah yang sebaik-baiknya bagi kamu." Yaitu mempercayai kedatangan Rasul itu. Hilanglah rasa benci atau dengki. Orang Yahudi menolak kedatangan Rasul itu, walaupun tidak dapat mereka bantah kebenaran yang dia bawa, ialah karena dengki, mengapa tidak Bani Israil. Sedang orang Nasrani, sampai kepada zaman kita ini, menyusun segala kekuatan yang tidak putus-putusnya, dengan nama ilmiah hendak mendustakan Nabi Muhammad ﷺ. Dengan mengadakan gerakan Orientalis dan mengadakan Misi dan Zending yang hanya ditumpahkan tenagarya buat mengkristenkan pemeluk Islam sendiri. Kadang-kadang dengan paksaan, kadang-kadang dengan kekerasan, sampai diadakan inquisisi dalam kalangan Katolik buat menyapu habis segala orang yang masih memegang kepercayaan tauhid ajaran Muhammad ﷺ. Sehingga tidak lagi alasan yang ditegakkan melainkan penipuan atau pemerasan.
Maka Allah berfirman selanjutnya, “Tetapi jika kamu tidak mau percaya, maka sesungguhnya kepunyaan Allah-lah apa yang ada di semua langit dan bumi."
Kebenaran adalah salah satu dari nama Allah (al-Haq) Kebenaran itu meliputi langit dan bumi. Seruan dari kebenaran itulah yang dibawa oleh Rasul itu. Kamu boleh berbuat segala macam usaha, baik jujur maupun tidak, untuk menghambat kebenaran itu, namun usahamu itu akan digagalkan oleh Allah. Usia alam yang dijadikan Allah ini jauh lebih panjang daripada usahamu. Beratus kali orang Nasrani membuat daya upaya untuk memadamkan ca-haya Allah itu. Sedangkan cahaya matahari lagi tidak dapat diembus dengan mulut, apatah lagi cahaya Ilahi.
Di zaman dahulu pernah dibuat cerita, bahwa Nabi Muhammad itu adalah penyembah berhala. Dan di dalam Ka'bah itu adalah sebuah berhala bernama Tarfagart, dan ada juga bernama Mahound, yang dalam bahasa Jerman Kuno berarti anjing. Kemudian ternyatalah bahwa itu hanya fitnah belaka. Tanah Palestina pernah diperangi dengan nama Perang Salib. Namun setelah berkecamuk perang selama hampir 200 tahun, Islam tidak juga dapat dipatahkan. Mungkin dia lemah di satu tempat, namun dia kuat kembali di tempat lain. Dimusnahkan di Andalusia Spanyol, dia tumbuh di Andalas Sumatera.14
Sampai kepada saat sekarang ini, Perang Salib model Baru dilanjutkan untuk menghambat kebenaran bahwa Allah Esa tidak beranak dan tidak diperanakkan, sebagaimana yang diajarkan Muhammad, namun kemajuan ilmu pengetahuan bertambah jelas menunjukkan ajaran ketuhanan menurut hasil penyelidikan ilmiah. Terutama setelah didapat tenaga atom, bahwa ketuhanan menurut ajaran Islamlah yang lebih cocok dengan hasil penyelidikan pengetahuan itu, bukan Tuhan beranak, atau Tuhan berupa manusia sebagaimana ajaran Kristen.
Demikian juga orang Yahudi. Bermaksud hendak menaklukkan seluruh dunia dengan uang. Merebut Palestina dari tangan orang Islam, bermaksud hendak terus menaklukkan Mekah dan Madinah sesudah menaklukkan Baitul Maqdis. Taruhlah maksud mereka berhasil sementara waktu, terutama setelah Yahudi dan Kristen yang sangat bertentangan kepercayaan mereka terhadap Nabi fsa; Yahudi mengatakan Nabi Isa anak tidak sah, Kristen mengatakan Nabi Isa Anak Allah, namun mereka bersatu menghadapi Islam. Taruhlah maksud mereka berhasil sementara waktu, namun kebenaran Ilahi tidaklah akan dapat mereka patahkan; mungkin dendam mereka dapat mereka tumpah ruahkan kepada umat yang membela Islam sementara waktu, namun kebenaran itu akan memancar dalam negeri mereka sendiri.
Apakah sebabnya? Sebabnya dijelaskan oleh lanjutan ayat,
“Dan adalah Allah itu Mahatahu, lagi Bijaksana."
Allah yang Tunggal, yang Esa, yang tidak beranak dan tidak diperanakkan, adalah Mahatahu dari segala yang tahu. Rahasia alam ini akan selalu terbuka, yang tadinya tidak diketahui akan diketahui. Orang akan sanggup membanding kebenaran, mana yang asli dan mana yang saduran. Maka dengan Bijaksana-
Lihat keterangan Sir Thomas Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam.
Nya, Allah akan menjelaskan kebenaran itu. Yaitu kebenaran yang telah dinyatakan oleh Rasul itu. Kebenaran tauhid.