Ayat
Terjemahan Per Kata
وَأَخۡذِهِمُ
dan pengambilan/makan mereka
ٱلرِّبَوٰاْ
riba
وَقَدۡ
dan sesungguhnya
نُهُواْ
mereka telah dilarang
عَنۡهُ
daripadanya
وَأَكۡلِهِمۡ
dan makan mereka
أَمۡوَٰلَ
harta
ٱلنَّاسِ
manusia/orang lain
بِٱلۡبَٰطِلِۚ
dengan jalan bathil
وَأَعۡتَدۡنَا
dan Kami sediakan
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
مِنۡهُمۡ
diantara mereka
عَذَابًا
siksa
أَلِيمٗا
yang pedih
وَأَخۡذِهِمُ
dan pengambilan/makan mereka
ٱلرِّبَوٰاْ
riba
وَقَدۡ
dan sesungguhnya
نُهُواْ
mereka telah dilarang
عَنۡهُ
daripadanya
وَأَكۡلِهِمۡ
dan makan mereka
أَمۡوَٰلَ
harta
ٱلنَّاسِ
manusia/orang lain
بِٱلۡبَٰطِلِۚ
dengan jalan bathil
وَأَعۡتَدۡنَا
dan Kami sediakan
لِلۡكَٰفِرِينَ
bagi orang-orang kafir
مِنۡهُمۡ
diantara mereka
عَذَابًا
siksa
أَلِيمٗا
yang pedih
Terjemahan
melakukan riba, padahal sungguh mereka telah dilarang darinya; dan memakan harta orang dengan cara tidak sah (batil). Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang sangat pedih.
Tafsir
(Dan karena memakan riba padahal telah dilarang daripadanya) dalam Taurat (dan memakan harta orang dengan jalan batil) dengan memberi suap dalam pengadilan (dan telah Kami sediakan untuk orang-orang kafir itu siksa yang pedih) atau menyakitkan.
Tafsir Surat An-Nisa': 160-162
Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan) makanan yang baik-baik yang dulunya dihalalkan bagi mereka, karena mereka banyak menghalangi (manusia dari) jalan Allah,
Disebabkan mereka memakan riba padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, dan karena mereka memakan harta orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu azab yang pedih.
Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka dan orang-orang mukmin, mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur'an), dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu dan orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.
Ayat 160
Allah ﷻ memberitahukan bahwa disebabkan perbuatan zalim orang-orang Yahudi karena mereka telah melakukan berbagai macam dosa besar, maka Allah mengharamkan kepada mereka makanan yang dihalalkan bagi mereka sebelumnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Amr yang mengatakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan: beberapa jenis makanan yang dahulunya dihalalkan bagi mereka.
Pengharaman ini adakalanya bersifat qadri atas kemauan mereka sendiri. Dengan kata lain, pada mulanya Allah memberikan keleluasaan kepada mereka, tetapi ternyata mereka melakukan penakwilan dalam kitab mereka; mereka mengubah dan mengganti banyak hal yang dihalalkan bagi mereka. Kemudian mereka mengharamkannya atas dirinya sendiri yang akibatnya mempersulit dan mempersempit diri mereka sendiri.
Adakalanya pengharaman ini bersifat syar'i. Dengan kata lain, Allah ﷻ mengharamkan kepada mereka di dalam kitab Taurat banyak hal yang dahulunya dihalalkan kepada mereka sebelum itu. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Yaqub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan.” (Ali Imran: 93) Dalam pembahasan yang lalu mengenai tafsir ayat ini disebutkan bahwa makna yang dimaksud ialah semua jenis makanan adalah halal sebelum Taurat diturunkan, kecuali apa yang diharamkan oleh Nabi Yaqub untuk dirinya sendiri dari daging unta dan air susunya.
Kemudian Allah ﷻ mengharamkan banyak jenis makanan di dalam kitab Taurat, seperti yang disebutkan di dalam surat Al-An'am melalui firman-Nya: “Dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dari sapi dan domba. Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka; dan sesungguhnya Kami adalah Maha Benar.” (Al-An'am: 146) Dengan kata lain, Kami haramkan atas mereka hal tersebut karena mereka memang berhak menerimanya disebabkan kezaliman, kedurhakaan mereka, dan mereka selalu menentang rasul mereka serta banyak bertanya nyinyir kepadanya. Karena itulah dalam surat An-Nisa ini disebutkan oleh firman-Nya:
“Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas mereka (memakan) makanan yang baik-baik yang dulunya dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi (manusia dari) jalan Allah.” (An-Nisa: 160)
Yakni mereka menghalang-halangi manusia dan diri mereka sendiri dari mengikuti kebenaran. Sikap tersebut merupakan watak mereka sejak zaman dahulu hingga sekarang tanpa ada perubahan. Karena itulah mereka adalah musuh para rasul; mereka banyak membunuh nabi-nabi, juga mendustakan Nabi Isa a.s. dan Nabi Muhammad ﷺ.
Ayat 161
Firman Allah ﷻ: “Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya.” (An-Nisa: 161)
Allah ﷻ telah melarang mereka melakukan riba, tetapi mereka menjalankannya dan menjadikannya sebagai pekerjaan mereka, lalu mereka mengemukakan berbagai macam alasan dan pengelabuan untuk menutupinya, dan mereka memakan harta orang lain dengan cara yang batil. Karena itu Allah ﷻ berfirman : “Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu azab yang pedih.” (An-Nisa: 161)
Ayat 162
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya di antara mereka.” (An-Nisa: 162) Maksudnya, orang-orang yang kuat agamanya; mereka mempunyai kedudukan yang kuat dalam bidang ilmu yang bermanfaat. Pembahasan mengenai tafsirnya telah kami ketengahkan dalam tafsir surat Ali Imran.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang mukmin.” (An-Nisa: 162) di-athaf-kan kepada lafal ar-rasikhuna, sedangkan khabar-nya adalah firman Allah ﷻ selanjutnya, yaitu: “Mereka beriman kepada apa yang telah diturunkan kepadamu (Al-Qur'an) dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu.” (An-Nisa: 162) Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abdullah ibnu Salam, Sa'labah ibnu Sa'ih, Asad ibnu Sa'ih, dan Asad ibnu Ubaid; semuanya masuk Islam dan beriman kepada apa yang diturunkan oleh Allah ﷻ kepada Nabi Muhammad ﷺ.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang mendirikan shalat.” (An-Nisa: 162)
Demikianlah bacaannya menurut semua mushaf para imam. Hal yang sama disebutkan di dalam mushaf Ubay ibnu Ka'b. Tetapi Ibnu Jarir menyebutkan bahwa ayat ini menurut mushaf Ibnu Mas'ud disebutkan dengan bacaan wal mugimunas salata, bukannya wal muqimunas salata. Kemudian Ibnu Jarir mengatakan bahwa pendapat yang shahih adalah menurut qiraat mayoritas, sebagai bantahan terhadap orang yang menduga bahwa hal tersebut termasuk kekeliruan dalam menulis Al-Kitab (Al-Qur'an).
Kemudian ibnu Jarir menyebutkan perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenainya. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa lafal ini di-nasab-kan karena mengandung makna madah (pujian); sama halnya dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan peperangan.” (Al-Baqarah: 177)
Ibnu Jarir mengatakan hal seperti ini berlaku di dalam pembicaraan orang-orang Arab. Salah seorang penyair mengatakan: “Kaum wanita itu pasti tidak akan jauh dari kaumku, karena mereka adalah singa peperangan, pembantai musuh, pantang mundur dalam semua medan peperangan, tetapi mereka orang-orang yang baik lagi mengikat erat-erat kain sarungnya (yakni memelihara kehormatannya).”
Sedangkan ulama lainnya mengatakan bahwa lafal al-muqimina ini di-jar-kan karena di-'ataf-kan kepada firman-Nya: “Kepada apa yang diturunkan kepadamu (Al-Qur'an) dan apa yang diturunkan sebelum kamu.” (An-Nisa: 162) Yaitu mereka juga mendirikan shalat. Dengan kata lain, seakan-akan dikatakan bahwa mereka mengakui kewajiban shalat dan kefarduannya atas diri mereka. Atau makna yang dimaksud dengan orang-orang yang mendirikan shalat ini adalah para malaikat, seperti yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Dengan kata lain, mereka beriman kepada kitab yang diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang diturunkan sebelum kamu serta beriman kepada para malaikat. Akan tetapi, pendapat ini masih perlu dipertimbangkan lagi.
Firman Allah ﷻ: “Dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (An-Nisa: 162)
Yang dimaksud dengan zakat pada ayat di atas dapat diinterpretasikan sebagai zakat harta benda, dapat diinterpretasikan zakat badan (fitrah), dapat pula diinterpretasikan dengan pengertian kedua-duanya.
“Dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisa: 162)
Artinya, mereka percaya bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, dan mereka beriman dengan adanya hari berbangkit sesudah mati, dan hari pembalasan semua amal perbuatan, amal yang baik, dan amal yang buruk.
“Orang-orang itulah.” (An-Nisa: 162)
Lafal ayat ini merupakan khabar dari kalimat yang sebelumnya.
“Yang akan Kami berikan kepada mereka pahala yang besar.” (An-Nisa: 162) Yakni surga.
Dan, selain itu, juga karena mereka menjalankan riba yang merupakan perbuatan yang tidak manusiawi, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang darinya, sebagaimana diterangkan di dalam kitab Taurat, dan karena mereka memakan harta orang dengan cara tidak sah, cara yang batil, seperti penipuan, sogok menyogok, dan lain-lainnya. Dan Kami sediakan untuk orang-orang kafir di antara mereka azab yang pedih kelak di akhirat. Tetapi orang-orang yang mendalam ilmunya tentang ajaran Allah di antara mereka, yakni Ahli Kitab; dan orang-orang yang beriman di antara mereka walaupun tidak mendalam ilmunya, mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu, wahai Nabi Muhammad, yaitu Al-Qur'an, dan kepada kitab-kitab yang diturunkan sebelummu, yaitu antara lain Taurat, Zabur, dan Injil. Dan secara khusus Allah memuji mereka yaitu orang-orang yang melaksanakan salat dengan khusyuk dan menyempurnakan syarat dan rukunnya, dan selanjutnya orang-orang yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Kepada mereka, orang-orang yang disebutkan di atas itu, akan Kami berikan pahala yang besar kelak di akhirat.
Diharamkannya sebagian makanan yang baik kepada orang-orang Yahudi juga disebabkan oleh tindakan mereka memakan uang riba yang nyata-nyata telah dilarang Allah dan disebabkan pula oleh perbuatan mereka yang batil seperti memperoleh harta melalui sogokan, penipuan, perampasan dan sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan yang jahat itu Allah menyediakan siksa yang pedih di akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Di ayat-ayat yang telah terdahulu tadi telah disebutkan beberapa sikap zalim dari orang Yahudi, dan sampailah kezaliman itu di puncaknya ketika dengan ringan mereka menuduh Maryam yang suci itu beranak Isa adalah dengan jalan yang hina. Sampai kemudiannya mereka telah bersikap hendak membunuh al-Masih, syukurlah Allah menyelamatkannya. Sungguhpun demikian, orang Yahudi masih tetap membanggakan bahwa memang kematian Isa itu karena mereka bunuh, dan banyak lagi janji yang lain yang mereka mungkiri.
Ayat 160
“Maka dari sebab kezaliman orang-orang Yahudi itu, Kami haramkanlah atas mereka beberapa yang baik, yang pernah dihalalkan bagi mereka."
Di dalam ayat ini dijelaskanlah bahwa banyak makanan yang baik diharamkan Allah memakannya kepada mereka, oleh kezaliman mereka juga. Kezaliman ini sudah terdapat sejak bermula mereka pindah dari Mesir se-hingga di Padang Tih hanya dua makanan saja yang disediakan untuk mereka, Manna dan Salwa. Bagaimana pun enaknya makanan itu, mereka masih mengeluh meminta bawang, timun, kacang,danbawangputih, sebagaimana tersebut di dalam surah al-Baqarah, sehingga Musa disuruh menjawab, “Pindahlah ke salah satu kota, di sana akan kamu dapat apa yang kamu kehendaki!" Sejak masa itu tampaklah perbuatan mereka yang zalim, memungkiri janji dengan Allah, menyembah Ijil, membunuh nabi-nabi, sebagaimana disebutkan di ayat-ayat yang baru lalu, sehingga bilamana bertambah kezaliman mereka bertambah banyaklah barang yang halal dimakan, diharamkan bagi mereka. Di dalam surah al-An'aam kelak (5:147) kita akan berjumpa binatang-binatang ternak yang tidak boleh mereka makan, terutama yang kukunya tidak berbelah, dan sampai mereka dilarang memakan lemak-lemak binatang di bagian yang tertentu dari tubuh binatang itu. Di dalam kitab Imamat Orang Lewi, Pasal 11 terdaftarlah apa-apa makanan yang tidak boleh mereka makan, baik binatang darat maupun binatang laut. Kalau bagi kita orang Islam sekalian yang bernama binatang laut halal dimakan, bagi orang Yahudi banyak yang diharamkan.
Mana kezaliman itu? Dan apa barang baik yang diharamkan sesudah halal itu? Di dalam ayat ini tidaklah ditegaskan, sebab penegasan akan berjumpa juga kelak pada ayat-ayat yang lain. Tetapi yang dipentingkan dalam ayat ini ialah memberi tahu bahwa Allah pun dapat menurunkan hukuman yang tepat karena kezaliman sedang dalam dunia ini pun sebelum akhirat. Kemudian disebutkanlah sebab yang kedua dari hukuman itu,
“Dan dari sebab mereka menghalangi dari jalan Allah sangat sekali."
Mereka telah menghalangi diri mereka sendiri dari jalan Allah, artinya tidak mau menempuh jalan itu, dan mengajak serta memberi contoh pula kepada yang lain supaya menuruti langkah mereka yang sesat itu. Lain yang diserukan oleh Nabi Muhammad ﷺ, lain pula yang mereka perbuat untuk menghalanginya. Yang mungkar mereka suruhkan dan yang ma'ruf mereka cegah, yaitu sebagai sambungan dari tingkah laku mereka kepada Nabi Musa dan nabi-nabi yang lain.
Ayat 161
“Dan dengan sebab mereka makan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya."
Terkenal di atas dunia, sejak zaman dahulu sampai ke zaman sekarang ini, bahwa di antara riba dan Yahudi payah dipisahkan. Umumnya perangai mereka bakhil, sempilit, dan suka memberi utang. Berapa saja hendak berutang, mereka sediakan mempiutangi asal saja diberi bunga (renta) Sehingga dalam buku yang berjudul Saudagar dari Venesia, yang membuat janji dengan orang yang diberinyautang, sebab tidak terbayar oleh orang itu pada waktunya, tetapi dengan syarat bahwa setetes darah pun tidak boleh keluar dari badan orang itu, sebab dalam perjanjian hanya tersebut daging. Meskipun ini hanya semacam dongeng dari seorang pujangga besar, namun isinya sudah nyata menggambarkan bagaimana kejamnya si Yahudi itu di dalam memakan riba yang berjangkit beratus-ratus tahun di benua Eropa.
Maka tersebutlah larangan itu di dalam kitab suci mereka, “Jikalau kamu memberi pinjaman uang kepada umatku, yaitu kepada orang miskin yang ada di antara kamu, maka jangan kamu menjadi baginya sebagai penagih utang yang keras dan jangan ambil bunga daripadanya." (Keluaran, 22:25)
Di dalam Imamat Orang Lewi tersebut pula larangan itu, “Maka jikalau saudaramu telah menjadi orang miskin dan tangannya gemetar sertamu, maka hendaklah engkau memegang akan dia, jikalau ia orang dagarg atau orang menumpang sekalipun, supaya ia pun boleh hidup sertamu."
36. Maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga atau laba yang terlalu, melainkan takutlah kamu akan Allahmu, supaya saudaramu boleh hidup sertamu.
37. Jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan makan bunga, dan makananmu pun jangan engkau berikan kepadanya dengan mengambil untung."
Mungkin ayat-ayat inilah ayat larangan riba yang diturunkan Allah kepada mereka dengan perantaraan Nabi Musa a.s. yang diisyaratkan oleh ayat yang sedang kita tafsirkan ini, bahwa mereka telah dilarang memakan riba (bunga), tetapi mereka kerjakan juga.
Mengapa mereka seberani itu melanggar hukum Taurat mereka sendiri? Mereka jadi berani, karena di dalam kumpulan Taurat itu pula bertemu satu ayat di dalam Kitab Ulangan Pasal 23, ayat 20, “Maka daripada orang lain bangsa boleh kamu mengambil bunga, tetapi dari saudaramu tidak boleh kamu mengambil dia, supaya diberkati Tuhan Allahmu akan kamu dalam segala perkara pegangan tanganmu dalam negeri, yang kamu tuju sekarang hendak mengambil dia akan bagianmu pusaka"
Ayat inilah pegangan orang Yahudi sedunia sampai zaman kita ini. Mereka biar tidak duduk dalam pemerintahan suatu negeri, tetapi mereka menguasai pemerintahan itu sendiri dengan membungakan uang mereka.
Baron Rotchild yang mempiutangi pemerintah Inggeris di zaman Ratu Victoria, yang Perdana Menterinya waktu itu seorang Yahudi pula (Disraeli), untuk membeli saham Terusan Suez, karena Khadewi Isnia'il telah bangkrut, sehingga berkuasalah Inggris atas terusan itu sampai 75 tahun lamanya. Baru tahun 1956 rakyat Mesir baru dapat mengusir mereka. Kekuasaan uang Yahudi merata di seluruh negara kapitalis. Mereka menguasai Wallstreet, pusat ekonomi Amerika di New York. Akhirnya di tahun 1949 mereka dapat mendirikan negara Israel di tengah-tengah negeri-negeri Arab, dengan alasan bahwa nenek moyang mereka datang dari sana 2.000 (dua ribu) tahun yang lalu.
Mereka berpendirian, hanya sesama Yahudi tidak boleh memakan riba; sedang yang tidak Yahudi boleh!
Apa benarkah ayat 20 dari Kitab Ulangan ini asli firman Allah dengan perantaraan Nabi Musa? Menilik kepada ayat-ayat yang telah lalu tadi, yang kita salinkan dari Kitab Imamat Orang Lewi dan Kitab Keluaran tadi, kita tidak percaya akan keaslian Kitab Ulangan Pasal 25; 20 ini. Apatah lagi dalam sabda nabi-nabi yang lain sesudah Musa, terdapat pula larangan riba yang keras.
Tersebut dalam Mazmur Dawud ke-15, “Maka tidak ia menjalankan uangnya dengan makan bunga dan tiada ia makan suap akan melawan orang yang tidak bersalah. Maka ba-rangsiapa yang memeliharakan segala perkara ini, pada selama-lamanya tiada ia akan ber-gelincuh." (Mazmur 15; 5)
Dalam Amsal Sulaiman, Pasal 28; 8 tersebut pula tentang orang yang dipandang jahat melanggar perintah Tuhan, “Orang yang menambahi hartanya denganr dan laba yang keji, yaitu mengumpulkan dia bagi orang yang menaruh kasihan akan orang miskin."
Dan Nabi Hezeikeil dan nabi-nabi Bani Israil yang lain adalah menjalankan hukum Taurat. Padahal tampak pertentangan seruan dan bimbingan mereka dengan ayat di Kitab Ulangan Fasal 23 ayat 20 itu. Nyatalah bahwa ayatyang asli terbakar di zaman Nebukadnezar dan disusun kembali oleh Tzra Imam Besar. Mereka tinggalkan kata yang asli dari Musa, Dawud, Sulaiman, dan Hezeikeil mereka pegang ayat yang membolehkan menganiaya orang lain, sebab orang lain itu bukan Yahudi.
“Dan dari sebab mereka makan harta manusia dengan jalan salah." Ini pun sebagai tambahan kezaliman mereka, yang di dalam ayat-ayat Mazmur Dawud tadi dan dalam peringatanAmsalSulaiman dan Sabda Hezeikeil, pun dicela keras. Asal mendapat keuntungan, biar tidak halal, mudah saja memakan risywah (uang sogok) untuk mengalahkan orang yang miskin jika berperkara dengan orang yang kaya. Atau dengan memakai pengaruh dan kekuasaan merampas harta milik orang yang lemah sehingga yang teraniaya itu tidak dapat berbuat apa-apa. Semua yang tersebut itu adalah zalim, aniaya. Hukuman pertama di dunia ialah kehinaan mereka, terpencar-pen-carnya mereka di seluruh dunia menjadi kebencian orang,
“Dan telah Kami sediakan untuk orang-orang yang kafirt dari mereka itu adzab yang pedih."
Yaitu adzab akhirat kelak, sesudah adzab dunia sekarang.
Meskipun demikian, tidaklah semua orang Yahudi itu jahat. Di kalangan mereka pun ada yang jernih pikirannya, dalam pada ilmunya dan ada keinsafannya. Sebab itu ayat selanjutnya menghargai golongan ini,
Ayat 162
“Akan tetapi orang-orang yang telah mendalam pada bidang ilmu dari kalangan mereka, dan orang-orang yang beriman, akan percayalah mereka kepada apa yang diturunkan kepada engkau dan apa yang diturunkan dari sebelum engkau."
Maka di kalangan orang Yahudi itu sendiri ada yang mendalam ilmunya, yang raasich. Mereka tidak dapat dipengaruhi lagi oleh ketentuan-ketentuan pendeta mereka, yang menolak kebenaran kalau tidak sesuai dengan apa yang mereka tentukan. Orang-orang yang berilmu itu bersama-sama dengan orang-orang yang beriman, yaitu iman sejati yang diikuti dengan amal yang saleh, bebas dari pengaruh turut-turutan dan taqlid, lepas dari pangkuan istiadat kolot dan tradisi. Orang-orang begini—baik karena ilmunya yang telah mendalam maupun karena imannya yang timbul sejak dari lubuk jiwa—segeralah mereka percaya kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Muhammad, sebagaimana juga mereka mempercayai Taurat yang diturunkan kepada Musa,
“Dan (terutama) lagi orang-orang yang mendirikan shalat." Ditekankan kata utama lagi dalam anti ayat wal muqimi nash shalata, sebab shalat adalah aqidah yang wajar dari ilmu dan iman. Betapa pun dalamnya ilmu dan betapa pun pengakuan iman, belumlah ada artinya kalau belum mendirikan shalat. Maka apabila ilmu yang mendalam dan iman yang sempurna telah menjadi kenyataan dengan shalat yang khusyu, akan mengikutlah amal yang lain.
“Dan orang-orang yang mengeluarkan zakat." Sebab dari rapatnya hubungan jiwa kepada Allah dengan tekun khusyu shalat, murahlah tangan berbuat baik, mengeluarkan zakat dan sedekah kepada sesama manusia, sebagaimana yang telah dianjurkan oleh segala Rasul itu sejak Musa, Isa, dan lain-lain, sampai kepada Muhammad ﷺ.
“Dan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian." Meskipun dalam menyebut golongan orang yang beriman yang disertakan dengan orang yang dalam ilmunya tadi sudah nyata bahwa yang diilmui dan diimani itu adalah Allah, diulang merekankan ini kembali. “Iman kepada Allah dan hari Kemudian," sebab keduanya itu tidaklah boleh terpisah, dalam kepercayaan orang yang beriman. Mudah dengan akal dan ilmunya orang percaya akan adanya Allah, tetapi belum tentu orang langsung percaya kepada hari Kemudian, kalau iman itu belum disempurnakan dengan mempercayai keterangan-keterangan yang diberikan oleh para Rasul.
“Mereka ini, Kami akan berikan kepada mereka ganjaran yang besar."
Menurut riwayat lbnu Ishaq dan al-Baihaqi di dalam ad-Dala-il dari lbnu Abbas, bahwa orang Yahudi yang mendapat pujian karena dalam ilmunya disertai oleh tubuhnya, iman ialah mengenai diri seorang Yahudi bernama Abdullah bin Salam beserta temannya Usaid bin Sya'ah, dan Tsa'labah bin Sya'ah. Inilah orang-orang berilmu di kalangan Yahudi yang membebaskan diri dari mereka dan langsung masuk Islam, Abdullah bin Salam itu sendiri adalah bekas Ahbar (pendeta) yang mengerti seluk-beluk Taurat dan mempercayai Al-Qur'an karena kesanggupan mempertalikan di antara inti sari kedua kitab suci itu.