Ayat
Terjemahan Per Kata
مُّذَبۡذَبِينَ
mereka dalam keadaan ragu-ragu
بَيۡنَ
antara
ذَٰلِكَ
demikian
لَآ
tidak
إِلَىٰ
kepada
هَٰٓؤُلَآءِ
ini/itu
وَلَآ
dan tidak
إِلَىٰ
kepada
هَٰٓؤُلَآءِۚ
ini/itu
وَمَن
dan barang siapa
يُضۡلِلِ
menyesatkan
ٱللَّهُ
Allah
فَلَن
maka tidak
تَجِدَ
mendapat
لَهُۥ
baginya
سَبِيلٗا
jalan
مُّذَبۡذَبِينَ
mereka dalam keadaan ragu-ragu
بَيۡنَ
antara
ذَٰلِكَ
demikian
لَآ
tidak
إِلَىٰ
kepada
هَٰٓؤُلَآءِ
ini/itu
وَلَآ
dan tidak
إِلَىٰ
kepada
هَٰٓؤُلَآءِۚ
ini/itu
وَمَن
dan barang siapa
يُضۡلِلِ
menyesatkan
ٱللَّهُ
Allah
فَلَن
maka tidak
تَجِدَ
mendapat
لَهُۥ
baginya
سَبِيلٗا
jalan
Terjemahan
Mereka (orang-orang munafik) dalam keadaan ragu antara yang demikian (iman atau kafir), tidak termasuk golongan (orang beriman) ini dan tidak (pula) golongan (orang kafir) itu. Siapa yang dibiarkan sesat oleh Allah (karena tidak mengikuti tuntunan-Nya dan memilih kesesatan), kamu tidak akan menemukan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.
Tafsir
(Mereka dalam keadaan bimbang) ragu-ragu (antara demikian) yakni antara kafir dan iman (tidak) masuk (kepada mereka ini) artinya golongan orang-orang kafir (dan tidak pula kepada mereka itu) artinya golongan orang-orang beriman. (Dan siapa yang disesatkan Allah, maka tidak akan kamu temui baginya jalan) untuk menerima petunjuk.
Tafsir Surat An-Nisa': 142-143
Sesungguhnya orang-orang munafik itu (bermaksud) mau menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka mengingatt Allah kecuali sedikit sekali.
Mereka dalam keadaan ragu-ragu di antara yang demikian (iman atau kafir); tidak masuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir). Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapat jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.
Ayat 142
Dalam permulaan surat Al-Baqarah disebutkan melalui firman-Nya: “Mereka hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman.” (Al-Baqarah: 9) Sedangkan dalam surat ini Allah ﷻ berfirman: “Sesungguhnya orang-orang munafik itu (bermaksud) mau menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (An-Nisa: 142) Tidak diragukan lagi bahwa Allah ﷻ itu tidak dapat tertipu, karena sesungguhnya Allah mengetahui semua rahasia dan semua yang terkandung di dalam hati, tetapi orang-orang munafik itu karena kebodohan dan minimnya pengetahuan serta wawasan mereka akhirnya menduga bahwa perkara mereka adalah seperti yang terlihat oleh manusia dan pemberlakuan hukum-hukum syariat atas diri mereka secara lahiriahnya dan di akhirat pun perkara mereka akan seperti itu juga.
Perkara mereka di sisi Allah adalah seperti apa yang diberlakukan terhadap mereka di dunia. Allah ﷻ menceritakan perihal mereka, bahwa di hari kiamat kelak mereka berani bersumpah kepada Allah bahwa diri mereka berada dalam jalan yang lurus dan benar, dan mereka menduga bahwa hal tersebut memberi manfaat kepada mereka. Sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: “(Ingatlah) hari (ketika) mereka semuanya dibangkitkan oleh Allah, lalu mereka bersumpah kepada-Nya (bahwa mereka bukan orang musyrik) sebagaimana mereka bersumpah kepada kalian.” (Al-Mujadilah: 18) hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Dan Allah membalas tipuan mereka.” (An-Nisa: 142) Artinya, Allah menyeret mereka secara perlahan-lahan ke dalam kesesatan dan keangkaramurkaan, membutakan mereka dari kebenaran dan untuk sampai kepadanya di dunia. Demikian juga keadaan mereka nanti pada hari kiamat, seperti yang dinyatakan oleh firman-Nya: “Pada hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan berkata kepada orang-orang yang beriman, ‘Tunggulah kami supaya kami dapat mengambil sebagian dari cahaya kalian’." (Al-Hadid: 13) sampai dengan firman-Nya: “Dan neraka itu adalah sejahat-jahat tempat kembali.” (Al-Hadid: 15)
Di dalam sebuah hadits disebutkan: “Barang siapa yang ingin terkenal, maka Allah membuatnya terkenal dengan apa yang diharapkannya. Dan barang siapa yang riya, maka Allah menjadikannya terkenal dengan apa yang dipamerkannya.” Di dalam hadits lain disebutkan: “Sesungguhnya Allah memerintahkan (kepada malaikat untuk) membawa hamba-Nya ke dalam surga menurut penilaian manusia, tetapi Allah membelokkannya ke dalam neraka.” Semoga Allah melindungi kita dari hal seperti itu.
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (An-Nisa: 142) hingga akhir ayat.
Demikianlah gambaran sifat orang-orang munafik dalam melakukan amal yang paling mulia lagi paling utama, yaitu shalat. Jika mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan penuh kemalasan; karena tiada niat dan iman bagi mereka untuk melakukannya, tiada rasa takut, dan mereka tidak memahami makna shalat yang sesungguhnya.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari jalur Ubaidillah ibnu Zahr, dari Khalid ibnu Abu Imran, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan, makruh bagi seseorang berdiri untuk shalat dengan sikap yang malas, melainkan ia harus bangkit untuk menunaikannya dengan wajah yang berseri, hasrat yang besar, dan sangat gembira. Karena sesungguhnya dia akan bermunajat kepada Allah, dan sesungguhnya Allah berada di hadapannya, memberikan ampunan kepadanya jika dia berdoa kepada-Nya. Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman Allah ﷻ: “Dan apabila mereka (orang-orang munafik) berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (An-Nisa: 142)
Hal yang mirip telah diriwayatkan melalui berbagai jalur dari Ibnu Abbas.
Firman Allah ﷻ: “Dan apabila mereka berdiri untuk shalat, mereka berdiri dengan malas.” (An-Nisa: 142)
Hal ini merupakan gambaran lahiriah orang-orang munafik. Perihalnya sama dengan apa yang disebut di dalam ayat lainnya, yaitu firman-Nya:
“Dan mereka tidak mengerjakan shalat melainkan dengan malas.” (At-Taubah: 54)
Kemudian Allah ﷻ menyebutkan gambaran batin mereka (orang-orang munafik) yang rusak. Hal ini diungkapkan melalui firman-Nya: “Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia.” (An-Nisa: 142) Tiada keikhlasan pada mereka, dan amal mereka bukan karena Allah, melainkan hanya ingin disaksikan oleh manusia untuk melindungi diri mereka dari manusia; mereka melakukannya dengan berpura-pura (dibuat-buat).
Karena itu, mereka sering sekali meninggalkan shalat yang sebagian besarnya tidak kelihatan di mata umum, seperti shalat Isya di hari yang gelap, dan shalat Subuh di saat pagi masih gelap. Di dalam kitab Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Shalat yang paling berat bagi orang-orang munafik ialah shalat Isya dan shalat Subuh. Seandainya mereka mengetahui pahala yang ada pada keduanya, niscaya mereka akan mendatanginya, sekalipun dengan merangkak. Dan sesungguhnya aku telah berniat akan memerintahkan agar shalat didirikan, kemudian aku perintahkan seorang lelaki untuk shalat sebagai imam bersama orang-orang. Lalu aku sendiri berangkat bersama-sama sejumlah orang yang masing-masing membawa seikat kayu untuk menuju ke tempat kaum yang tidak ikut shalat (berjamaah), lalu aku bakar rumah-rumah mereka dengan api.”
Di dalam riwayat yang lain disebutkan: "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya seseorang dari mereka mengetahui bahwa dia akan menjumpai tulang paha yang gemuk atau dua kikil yang baik, niscaya dia menghadiri shalat (berjamaah). Dan seandainya di dalam rumah-rumah itu tidak terdapat kaum wanita dan anak-anak, niscaya aku akan membakar rumah mereka dengan api.”
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Abu Bakar Al-Maqdami, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Dinar, dari Ibrahim Al-Hajri, dari Abul Ahwas, dari Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa yang melakukan shalatnya dengan baik karena ingin dilihat oleh manusia dan melakukannya dengan jelek bila sendirian, maka hal itu merupakan penghinaan yang ia tujukan kepada Tuhannya Yang Maha Perkasa lagi Maha Agung.”
Firman Allah ﷻ: “Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit sekali.” (An-Nisa: 142)
Yakni dalam shalat mereka; mereka tidak khusyuk mengerjakannya dan tidak mengetahui apa yang diucapkannya, bahkan dalam shalat itu mereka lalai dan bermain-main serta berpaling dari kebaikan yang seharusnya mereka kehendaki.
Imam Malik meriwayatkan dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Itulah shalat orang munafik, itulah shalat orang munafik, itulah shalat orang munafik, dia duduk seraya memperhatikan matahari; di saat matahari berada di antara dua tanduk setan (yakni saat-saat hendak tenggelam), barulah ia berdiri, lalu mematuk (maksudnya shalat dengan cepat) sebanyak empat patukan (rakaat) tanpa mengingat Allah kecuali sedikit sekali.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam At-Tirmidzi, dan Imam An-Nasai melalui hadits Ismail ibnu Ja'far Al-Madani, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih.
Ayat 143
Firman Allah ﷻ: “Mereka dalam keadaan ragu di antara yang demikian (iman atau kafir); tidak termasuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir).” (An-Nisa: 143) Orang-orang munafik itu dalam keadaan bingung antara iman dan kekafiran; mereka tidak bersama golongan orang-orang mukmin lahir dan batinnya, tidak pula bersama golongan orang-orang kafir lahir batinnya. Dengan kata lain, lahiriah mereka bersama orang-orang mukmin, tetapi batiniah mereka bersama-sama orang-orang kafir. Di antara mereka ada orang yang pendiriannya labil lagi ragu, adakalanya cenderung kepada orang-orang mukmin, dan adakalanya cenderung kepada orang-orang kafir. Seperti yang disebutkan oleh Allah ﷻ melalui firman-Nya: “Setiap kali kilat itu menyinari mereka, mereka berjalan di bawah cahayanya; dan bila gelap menimpa mereka, mereka berhenti.” (Al-Baqarah: 20) hingga akhir ayat.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mereka dalam keadaan ragu di antara yang demikian itu (iman atau kafir); tidak termasuk golongan ini (orang-orang beriman).” (An-Nisa: 143) Yang dimaksud dengan ha-ula-i (golongan) pertama ialah para sahabat Nabi Muhammad ﷺ. “Dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir).” (An-Nisa: 143) Yang dimaksud dengan ha-ula-i (golongan) yang kedua ialah orang-orang Yahudi.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahhab, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ. Disebutkan bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Perumpamaan orang munafik sama seperti seekor kambing yang kebingungan di antara dua kelompok ternak kambing; adakalanya ia mengembik untuk kumpulan ini dan adakalanya mengembik untuk kumpulan itu, sedangkan ia tidak mengerti manakah di antara kedua kumpulan itu yang harus ia ikuti.”
Hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim secara munfarid. Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnul Musanna di lain kesempatan, dari Abdul Wahhab, dan ia meriwayatkannya hanya sampai pada Ibnu Umar, tanpa di-marfu-kan. Muhammad ibnul Musanna mengatakan bahwa Abdul Wahhab menceritakannya kepada kami sebanyak dua kali dengan predikat yang sama. Menurut kami, hadits ini diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dari Ishaq ibnu Yusuf ibnu Ubaidillah dengan lafal yang sama secara marfu'. Hal yang sama diriwayatkan oleh Ismail ibnu Ayyasy dan Ali ibnu Asim, dari Ubaidillah, dari Nafi', dari Ibnu Umar secara marfu'. Hal yang sama diriwayatkan oleh Usman ibnu Muhammad ibnu Abu Syaibah, dari Abdah, dari Abdullah secara marfu'. Ahmad ibnu Salamah meriwayatkan dari Ubaidillah atau Abdullah ibnu Umar, dari Nafi', dari Ibnu Umar secara marfu'. Diriwayatkan pula oleh Saklir ibnu Juwairiyah, dari Nafi', dari Ibnu Umar, dari Nabi ﷺ dengan predikat yang serupa (yakni marfu').
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Khalaf ibnul Walid, telah menceritakan kepada kami Al-Huzail ibnu Bilal, dari Ibnu Abu Ubaid, bahwa pada suatu hari ia duduk bersama Abdullah ibnu Umar di Makkah. Ibnu Abu Ubaid mengatakan bahwa ayahnya (yakni Abu Ubaid) mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan orang munafik di hari kiamat nanti seperti seekor kambing di antara dua kelompok ternak kambing. Jika ia datang kepada salah satu dari kelompok itu, maka kelompok tersebut menandukinya (mengusirnya); dan jika ia datang kepada kelompok yang lain, maka kelompok tersebut menandukinya pula.”
Ibnu Umar berkata kepadanya, "Kamu bohong." Kaum yang ada memuji ayahnya dengan pujian yang baik atau sepantasnya (yakni mengiyakan apa yang dikatakannya). Lalu Ibnu Umar berkata, "Saya tidak mempunyai prasangka lain terhadap teman kalian ini, melainkan seperti apa yang kalian nilai. Tetapi aku, Allah-lah yang menjadi saksi-ku, menyaksikan ketika beliau ﷺ mengucapkannya, yaitu 'Seperti seekor kambing di antara dua kumpulan ternak kambing'." Abu Ubaid berkata, "Itu sama saja." Ibnu Umar mengatakan bahwa memang demikianlah yang pernah ia dengar.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Al-Mas'udi, dari Ibnu Ja'far Muhammad ibnu Ali yang menceritakan bahwa ketika Ubaid ibnu Umair mengisahkan sebuah hadits yang saat itu Abdullah ibnu Umar ada di tempat yang sama, lalu Ubaid ibnu Umair mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: “Perumpamaan orang munafik adalah seperti seekor kambing di antara dua kelompok ternak kambing; apabila ia datang kepada salah satu kelompok, maka semuanya menandukinya (mengusirnya); dan apabila datang kepada kelompok yang lainnya, maka semuanya menandukinya.” Maka Ibnu Umar mengatakan, "Bunyi hadits tidak seperti itu, sesungguhnya yang diucapkan oleh Rasulullah ﷺ ialah, ‘Sepert seekor kambing di antara dua kelompok ternak kambing'." Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Ubaid ibnu Umair yang telah berusia lanjut itu menjadi marah dan emosi. Ketika Ibnu Umar melihat gelagat tersebut, maka ia mengatakan, "Ingatlah, seandainya aku belum pernah mendengarnya, niscaya aku pun tidak berani membuat sanggahan kepadamu."
Jalur lain dari Ibnu Umar, diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Usman ibnu Madawaih, dari Ya'fur ibnu Zaudi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ubaid ibnu Umair mengisahkan apa yang disabdakan oleh Rasulullah ﷺ, yaitu: “Perumpamaan orang munafik adalah seperti seekor kambing yang berada di antara dua kumpulan ternak kambing.” Maka Ibnu Umar berkata, "Celakalah kalian, janganlah kalian berdusta terhadap Rasulullah ﷺ. Sesungguhnya Rasulullah ﷺ hanya mengatakan: 'Perumpamaan orang munafik adalah seperti seekor kambing yang kebingungan di antara dua kelompok ternak kambing'."
Imam Ahmad meriwayatkannya pula melalui berbagai jalur dari Ubaid ibnu Umair dan Ibnu Umar.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula. Untuk itu ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwas, dari Abdullah (yaitu Ibnu Mas'ud) yang mengatakan bahwa perumpamaan orang mukmin, orang munafik, dan orang kafir ialah seperti tiga orang yang sampai ke suatu lembah. Salah seorang dari mereka menyeberangi lembah itu, kemudian yang kedua menyeberanginya pula; tetapi ketika sampai di pertengahan lembah, ia diseru oleh orang yang berada di pinggir lembah, "Celakalah kamu, ke manakah kamu akan pergi, yaitu ke arah kebinasaan. Kembalilah kamu ke tempat semula kamu berangkat!" Sedangkan orang yang telah menyeberang menyerunya, "Kemarilah menuju jalan selamat!" Dia kebingungan, sesekali memandang ke arah orang ini dan sesekali yang lain memandang ke arah orang itu. Ibnu Mas'ud melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu datanglah banjir yang deras hingga orang tersebut tenggelam. Perumpamaan orang yang telah menyeberang adalah orang mukmin, dan orang yang tenggelam itu adalah orang munafik. Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); “Tidak termasuk kepada golongan ini (orang-orang beriman) dan tidak (pula) kepada golongan ini (orang-orang kafir).” (An-Nisa: 143) Orang yang tetap tinggal (tidak menyeberang) adalah perumpamaan orang kafir.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bisyr, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qatadah sehubungan dengan makna firman-Nya: “Mereka dalam keadaan ragu-ragu antara yang demikian (iman dan kafir); tidak termasuk kepada golongan ini (orang-orang ber-iman) dan tidak (pula) kepada golongan itu (orang-orang kafir).” (An-Nisa: 143) Qatadah mengatakan bahwa mereka bukan orang-orang mukmin yang murni, bukan pula orang-orang musyrik yang terang-terangan dengan kemusyrikannya.
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi Allah pernah membuat perumpamaan bagi orang mukmin dan orang munafik serta orang kafir. Perihalnya sama dengan tiga orang yang berangkat menuju ke sebuah sungai. Lalu orang mukmin menceburkan dirinya ke sungai itu dan berhasil menyeberanginya. Kemudian orang munafik menceburkan dirinya; tetapi ketika ia hampir sampai ke tempat orang mukmin, tiba-tiba orang kafir menyerunya, "Kemarilah kepadaku, karena sesungguhnya aku merasa khawatir denganmu." Lalu orang mukmin menyerunya pula, "Kemarilah kepadaku, kemarilah ke sisi ku." Padahal jika ia berenang terus, niscaya ia dapat memperoleh apa yang ada di sisi orang mukmin itu. Tetapi orang munafik itu terus-menerus dalam keadaan kebingungan di antara kedua orang tersebut, hingga keburu datang air bah yang menenggelamkannya. Orang munafik masih tetap dalam keadaan ragu dan kebingungan hingga ajal datang menjemputnya, sedangkan dia masih tetap dalam keraguannya.
Qatadah mengatakan, telah diceritakan kepada kami bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: “Perumpamaan orang munafik sama dengan seekor kambing yang mengembik sendirian di antara dua kumpulan ternak kambing. Ia melihat sekumpulan kambing di atas tempat yang tinggi, lalu ia datang kepadanya dan bergabung dengannya, tetapi ia tidak dikenal. Kemudian ia melihat sekumpulan ternak kambing yang lain di atas tempat yang tinggi, lalu ia mendatanginya dan bergabung dengannya, tetapi ia tidak dikenal. Karena itulah disebutkan di dalam firman-Nya: “Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (An-Nisa: 143) Dengan kata lain, barang siapa yang dipalingkan oleh Allah dari jalan hidayah maka dia tidak akan mendapatkan petunjuk.
Perihalnya sama dengan apa yang disebut dalam ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (Al-Kahfi: 17) Karena sesungguhnya apa yang disebut oleh firman-Nya: “Barang siapa yang disesatkan Allah, maka kamu sekali-kali tidak akan mendapakan jalan (untuk memberi petunjuk) baginya.” (Al-A'raf: 186) Mereka adalah orang-orang munafik, Allah telah menyesatkan mereka dari jalan keselamatan. Karena itu, tiada seorang pun yang dapat menunjuki mereka ke jalan hidayah, dan tiada seorang pun yang dapat menyelamatkan mereka dari kesesatannya. Sesungguhnya Allah ﷻ tiada yang meminta pertanggungjawaban terhadap keputusan-Nya dan tiada yang bertanya tentang apa yang diperbuat-Nya, sedangkan mereka pasti dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya.
Mereka adalah orang-orang yang senantiasa dalam keadaan ragu dan bingung antara yang demikian, yaitu iman atau kafir. Mereka tidak termasuk kepada golongan ini, yaitu golongan orang-orang beriman, dan tidak pula kepada golongan itu, yaitu orang-orang kafir. Keraguan mereka disebabkan karena mereka tidak mengikuti petunjuk Allah dan memilih kesesatan. Barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka kamu, wahai Muhammad, sekali-kali tidak akan mendapatkan jalan untuk memberi petunjuk baginya Perbuatan orang-orang munafik yang memilih orang-orang kafir sebagai auliya' mereka pada ayat di atas mendapat kecaman dari Allah. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya', yakni pemimpin-pemimpin, teman-teman penolong serta pendukung kamu, dengan meninggalkan orang-orang mukmin, yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan iman yang mantap. Maukah kamu memberi alasan yang jelas bagi Allah untuk menghukum dan menyiksamu'
Kaum munafik kadang-kadang memihak orang-orang mukmin dan kadang-kadang memihak orang-orang kafir. Sikap mereka memihak itupun tidak dilakukan secara ikhlas, karena mereka hanya menginginkan ketentuan duniawi dan melepaskan diri dari tekanan-tekanan yang akan dijumpainya dari kedua belah pihak.
Barang siapa yang disesatkan dari hidayah Allah, maka tidak ada yang dapat menolong dan tidak ada yang dapat menunjukinya kepada jalan yang benar yang akan melepaskan mereka dari kesesatan.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dilanjutkan lagi membuka rahasia orang-orang yang munafik itu.
Ayat 142
“Sesungguhnya orang-orang yang munafik itu menipu Allah, dan Allah pun (balas) menipu mereka."
Meskipun bukan terang-terang mereka bermaksud hendak menipu Allah, tetapi tingkah laku mereka, “main-main komidi" mereka terhadap Rasulullah dan orang yang beriman, samalah artinya dengan menipu Allah. Sebab apa yang dijalankan oleh Rasul dan orang-orang beriman tidaklah lain daripada kehendak Allah. Di permulaan surah al-Baqarah sudah pernah diterangkan juga bahwa kaum yang munafik itu menipu Allah dan orang-orang yang beriman tetapi hasil penipuan mereka itu ialah menipu diri sendiri. Di ayat ini diterangkan lagi bahwa Allah pun membalas menipu mereka. Artinya jalan yang mereka tempuh itu dengan tidak mereka sadari ialah menipu diri sendiri. Sebab sudah menjadi sunnatullah bahwa kalau orang menempuh jalan yang salah, sudah pasti kesesatan dan kerugian jualah yang akan didapatinya pada akhirnya. Tentu bukanlah maksud ayat menerangkan bahwa Allah pun bertindak menipu mereka pula, melainkan jalan salah yang mereka tempuh itu menyebabkan mereka sampai pada kerugian buat diri sendiri. Begitulah garis sunnatullah yang pasti.
Kemudian diterangkaniah beberapa tanda dari orang munafik itu, “Dan apabila mereka berdiri kepada shalat, mereka berdiri dalam keadaan malas."
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Inilah sifat orang munafik terhadap suatu amalan semulia-mulianya dan seutama-utamanya dan sebaik-baiknya, yaitu shalat Kalau mereka berdiri akan mengerjakannya, mereka pun merasa malas, karena tidak ada niat terhadap shalat itu dan tidak ada imannya, dan tidak ada rasa takutnya kepada Allah, dalam perasaan malas. Tetapi hendaklah dia berdiri dengan muka jernih berseri, dengan sebesar-besar keinginan dan kegembiraan. Sebab dia akan menyampaikan permohonan kepada Allah dan akan berhadapan dengan Dia, dan Allah akan memberinya ampun dan akan memperkenankan doanya. “Mereka hendak menonjol-nonjol kepada manusia."
Artinya, meskipun mereka mengerjakan shalat juga, namun maksud mereka hanya semata-mata riya, yaitu hendak mempertontonkan kepada manusia bahwa dia orang shalat dan beriman. Bukan karena ikhlas dan bukan karena taat kepada Allah. Oleh sebab itu, suatu shalat yang akan mengganggu kesenangan nafsunya malaslah dia mengerjakan. Seumpama shalat Isya di gelap malam, dan shalat Shubuh di waktu fajar. Sebab itu di dalam suatu hadits shahih yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim tersebut, Nabi berkata bahwa shalat yang paling berat me-ngerjakannya bagi orang munafik ialah shalat Isya dan shalat Shubuh. Beliau pun berkata, kalau sekiranya mereka tahu betapa besar pengaruh Isya dan Shubuh bagi pembersihan dan pembangunan jiwa, betapa pun jauhnya, niscaya akan mereka datangi.
Dan haruslah jadi perhatian juga bahwa shalat berjamaah adalah menjadi salah satu bagian dari mendirikan shalat. Nabi pernah menyatakan murkanya atas orang yang lalai mendatangi shalat berjamaah, sehingga pernah dia menyatakan, satu kali beliau hendak mewakilkan berjamaah kepada salah seorang sahabatnya, lalu beliau sendiri datang membakar kampung-kampung orang yang malas pergi berjamaah itu.
Menurut satu riwayat dari al-Hafizh dan Abu Ja'ala dari Abdullah, berkata Nabi ﷺ,
“Barangsiapa yang memperbagus shalat ketika kelihatan oleh manusia, tetapi buruk apabila dia telah shalat sendiri di tempat sunyi, maka perbuatan itu adalah menghina. Yaitu menghina kepada Tuhannya Yang Mahamulia."
Disalinkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa' dari hadits Anas bin Malik bahwa Rasulullah ﷺ mengatakan shalat orang seperti itu, “Itulah shalat munafik. Itulah shalat munafik. Itulah shalat munafik." (Sampai tiga kali)
“Dan tidaklah mereka mengingat Allah kecuali sedikit. “
Mereka hanya mengingat Allah di waktu susah. Kalau dia telah senang, Allah dilupakannya. Bahkan kadang-kadang lebih dari itu, tidak senang perasaannya kalau nama Allah banyak disebut orang dekat dia.
Seyogianyalah kita pahamkan ayat ini, bukan semata-mata untuk mencela orang lain, bahkan terutama hendaklah untuk menguji jiwa kita sendiri, adakah agak riya tanda-tanda munafik itu pada kita. Kalau bertemu tanda-tanda itu lekaslah obati.
tetap beragama Islam, padahal dia takut akan terikat hawa nafsunya kalau dia mengerjakan agama. Sebab itu maka agamanya hanya menilik ke mana angin yang keras. Pucuk aru di puncak bukit.
Akhirnya Allah memberikan kepastian tentang hari depan orang seperti ini,
“Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah, sekali-kali tidaklah akan engkau dapat untuk mereka Suatu jalan pun."
Sejak semula mereka telah memilih jalan yang salah. Mereka telah tersesat. Laksana sebuah kendaraan bermotor melalui jurang yang amat curam. Telah diberi beberapa tanda peringatan bahwa tempat itu berbahaya, namun dia tidak mempedulikan juga. Akhirnya dia terjerumus hancur lebur dalam jurang. Tentu tidaklah ada lagi suatu kekuatan pun yang akan dapat menahan mereka dari kejatuhan itu. Sebab kehancuran masuk jurang itu adalah sunnatullah atau undang-undang alam yang sewajarnya mereka temui.
Ayat 143
“Hal keadaan mereka terombang-ambing di antara yang demikian itu."
Mereka terombang-ambing di antara kafir dan Islam, karena pendirian yang tiada tetap, atau karena jiwa yang berpecah belah. Sebagian ditawan dunia, sebagian lagi ingin juga hendak Islam, tetapi ditahan oleh hawa nafsu. “Tidak kepada mereka itu dan tidak kepada mereka ini." Tidak masuk ke dalam golongan orang Mukmin betul-betul, sebab masih berat terlepas dari maksiat, atau merasa kalau jadi Mukmin dia jadi terikat dengan suruhan dan larangan, jadi kafir benar pun tidak; bahkan mau dia memukul orang kalau dia dikatakan kafir!
Alangkah banyaknya orang seperti itu di zaman kita. Islamnya hanya pada merk luar saja, namun hidupnya menolak Islam. Kadang-kadang dia mendabik dada mengatakan dia
MEMILIH PIMPINAN
Ayat 144
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu ambil orang-orang kafir menjadi pemimpin, yang bukan dari orang-orang yang beriman".
Di ayat 139 sudah diperingatkan dengan tegas bahwa mengambil orang yang kafir jadi pimpinan adalah salah satu perangai kelakuan orang munafik. Sekarang ditegaskan kepada orang yang beriman, bahwa mereka sekali-kali jangan berbuat demikian. Jangan dipercayakan pimpinan kamu kepada orang yang tidak percaya kepada Allah. Keingkaran mereka kepada Allah dan peraturan-peraturan Allah akan menyebabkan rencana pimpinan mereka tidak tentu arah. Kalau demikian, niscaya kamu yang mereka pimpin akan celaka. Akhirnya datanglah pertanyaan sebagai sesalan dari Allah,
“Apakah kamu ingin bahwa Allah menjadikan atas kamu sesuatu kekuasaan yang nyata?"
Di sini terdapat satu kalimat, yaitu sul-than; yang berarti kekuasaan. Artinya, karena pimpinan suatu umat Islam diserahkan oleh orang Islam sendiri kepada orang yang bukan Islam, atau bukan berjiwa Islam, atau tidak mengerti sama sekali apakah maksud Islam, atau tidak mau mengerti, timbullah kacau-balau dan keruntuhan kaum Muslimin itu sendiri.
Di saat demikian, tentu Allah akan memakai kekuasaan menjatuhkan adzab siksaan-Nya kepada kamu. Apakah itu yang kamu ingini?
Sebab itu orang yang beriman tidaklah akan menyerahkan pimpinan kepada orang kafir, ataupun kepada orang munafik. Yang akan menyerahkan pimpinan kepada orang yang bukan mementingkan Islam adalah orang munafik pula, sebagai tersebut dalam ayat 139 tadi.
Ayat 145
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah di tingkat yang paling bawah dari mereka"
Dalam ayat 140 sudah dijelaskan bahwa orang munafik dan orang kafir akan sama dikumpulkan dalam neraka Jahannam. Di ayat 140 ini sudah jelas bahwa munafik didahulukan menyebutnya dari kafir. Sekarang datang ayat 145 ini, menjelaskan lagi, bahwa meskipun munafik dan kafir sama-sama masuk neraka, namun tempat munafik adalah di alas yang di bawah sekali. Sebab karena dipandang lebih hina.
Orang kafir sudah terang yang dikafir-kannya. Bagaimana orang munafik? Seketika kita mulai membaca Al-Qur'an surah al-Baqarah, dengan 4 ayat permulaan sudah jelas pendirian orang Islam. Dan dengan 2 ayat berikutnya sudah terang pendirian orang kafir. Tetapi kecurangan orang munafik diterangkan dalam 12 ayat. Orang munafik adalah musuh dalam selimut bagi orang yang beriman. Dia bersama Muslimin, hatinya bersama orang lain. Dia mudah berkhianat, membuka rahasia pertahanan atau kelemahan orang Islam kepada musuhnya, dan dia mengukur sesuatu dengan keuntungan pribadi. Orang kafir bisa diperangi sebab dia ada di muka front. Sedangkan orang munafik tidak bisa! Sebab dia di dalam tubuh sendiri. Tidaklah heran jika tempat mereka dalam neraka Jahannam ialah pada dasar yang di bawah sekali.
“Dan sekali-kali tidak akan engkau dapati untuk mereka satu penolongan pun."
Tegasnya tidak seorang pun yang dapat menolong mereka, melepaskan dari siksaan itu. Sebab masuk ke dalam alas neraka itu adalah pilihan mereka sendiri.
Tetapi, bagaimanapun keras ancaman Allah atas jiwa yang sesat karena tindakan sendiri itu, namun pintu untuk kembali kepada jalan yang benar masih tetap dibuka. Allah lebih mengetahui tentang jiwa manusia. Manusia tersesat adalah karena memperturutkan kelemahan jiwa. Namun dalam sudut jiwa manusia itu masih tetap ada sesuatu kekuatan yang selalu menyanggah kesalahan-kesalahannya sendiri. Dalam diri manusia selalu ada peperangan di antara nafsu jahat dengan cita-cita yang baik. Oleh sebab itu, ayat-ayat ancaman keras selalu diikuti oleh ayat bujukan kepada hamba-Nya supaya kembali kepada jalan yang benar. Hati sanubari yang suci bersih itu diketuk Allah supaya tobat. Ini dapat kita lihat dalam ayat sambungannya.
Ayat 146
“Kecuali orang-orang yang telah tobat."
Tobat, artinya kembali ke jalan yang benar. “Sesat surut, terlangkah kembali." Ini menghendaki kekuatan ruhani yang besar.
Melepaskan diri dari kebiasaan yang buruk, terutama kebiasaan munafik adalah berat. Tetapi kalau berhasil, adalah kemenangan yang besar pula. Sesudah tobat, “Dan memperbaiki," yaitu memperbaiki langkah hidup, mem-perbaiki jiwa yang telah berantakan. Sebab semata tobat barulah suatu azam, atau suatu tekad dalam hati. Barulah sempurna kalau telah diikuti oleh perbaikan. Kalau selama ini, misalnya shalat lalai, hendaklah kembali segera mengerjakan shalat bila waktunya telah datang. Kalau selama ini tidak suka berkorban berbuat baik, atau malas atau hanya ambil muka kepada manusia (riya), hendaklah segera latih diri jadi dermawan, walaupun nama tidak disebut orang. “Dan berpegang teguh dengan Allah." Sebagai ganti dari sikap selama ini yang hanya berpegang teguh dengan cari nama, dengan megah kebendaan. Berpegang teguh kepada Allah ialah dengan mengerjakan yang disuruh, menghentikan yang ditegah, menurut bimbingan Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.
Ibadah diperkuatdan diperbanyaksehingga perasaan bahwa kita hidup adalah selalu di dalam penilaian Allah bertambah mendalam, ‘Dan mengikhlaskan agama mereka kepada Allah." Dalam kata dua ini, pertama berpegang teguh kepada Allah, kedua mengikhlaskan agama kepada Allah, terdapatlah pertalian di antara aqidah dan ibadah. Karena hendak berpegang teguh kepada Allah, tidaklah akan tercapai kalau ibadah kepada-Nya tidak diperkuat. Dengan demikian, seluruh ad-diin atau agama, benar-benar ikhlas karena Allah. Tidak ada yang lain lagi yang terlintas dalam pikiran, kecuali Allah.
Inilah empat syarat yang harus dipenuhi buat membersihkan diri dari hidup munafik. Yaitu tobat, memperbaiki, berpegang teguh kepada Allah, dan mengikhlaskan agama karena Allah. Kalau ini sudah tercapai, datanglah sambungan ayat, “Maka mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang beriman."
Keempat syarat itu adalah obat penyakit jiwa. Obat munafik dan obat kekafiran juga. Kadang-kadang timbulnya sesalan atas suatu dosa, lebih mempertinggi martabat ruhani daripada orang yang merasa dirinya tidak pernah berdosa. Sesalan atas kesesatan jiwa di zaman lampau menyebabkan selalu berusaha mencapai tath-hir (pembersihan) dan tazkiyah (penyucian) Niat dalam hati pun hendak naik keluar dari dalam lembah kehinaan itu. Sebab itu selalu berusaha. Usaha itu tidakkan gagal. Sebab Allah sendiri pun akan menolong-menarik tangan orang itu naik ke atas.
Itu sebabnya Allah mengatakan bahwa orang itu karena usahanya sendiri akan mendapat tempatnya dalam barisan orang yang beriman. Sebab Allah hanya al-Muntaqim (berdendam) kepada orang yang tidak mau me-nempuh jalan yang telah dibukakan oleh Allah. Adapun kepada yang menempuh jalan yang dibuka oleh Allah itu, Allah adalah mempunyai pula sifat al-'Afwu (pemberi maaf), at-Tawwab (pemberi tobat), dan ar-Rahim (pengasih), dan sifat-sifat yang lain.
“Dan Allah akan memberikan kepada orang-orang yang beriman itu ganjaran yang besar."
Dengan demikian tentu cap yang begitu hina selama ini, yaitu munafik, pepat di luar pencung di dalam, lain di mulut lain di hati, tidak jujur jiwa kecil, semuanya itu tidak ada lagi. Karena jiwa mereka sudah berubah oleh karena iman. Maka apa yang dijanjikan Allah kepada orang yang beriman, mereka pun pasti akan menerimanya pula. Yaitu ganjaran besar, karena iman telah dituruti dengan amal. Maka sepadanlah janji Allah dengan usaha mereka memperbaiki diri, berpegang dengan tali dan tauhid yang ikhlas.
Tak usah ragu lagi!
Ayat 147
“Apakah Allah akan berbuat mengadzab kamu, jika kamu telah bersyukur dan beriman?"
Ayat yang mengandung pertanyaan seperti ini adalah lanjutan dari ayat sebelumnya, buat menghilangkan keraguan hati manusia apabila mereka telah tobat dari jalan yang salah. Sebab ada orang yang merasa khawatir dalam hatinya mengingat dosanya yang sudah-sudah, kalau-kalau Dia masih murka kepadanya, sedemikian banyak kesalahannya selama ini. Tidak bersyukur berterima kasih atas nikmat Allah dan tidak pula memegang iman yang sejati, banyak perangai munafik.
Kalau kamu telah benar-benar bersyukur atas nikmat Allah dan benar-benar percaya kepada-Nya, beriman dan beramal saleh, beribadah dengan hati yang patuh, apa gunanya lagi Allah akan mengadzab menyiksa kamu? Apakah Allah itu akan melepaskan dendam dan sakit hati? Manfaat apa yang akan diambil Allah dengan menyiksa kamu? Padahal kamu telah tobat kepada-Nya? Apakah engkau sangka bahwa Allah Yang Mahamulia, Mahasayang, Pemurah, dan Kasih, akan serupa dengan raja-raja yang zalim dan kepala negara yang bersifat diktator? Melepaskan dendam kepada musuh-musuh politiknya karena takut akan dirampas kekuasaannya?
Tidak!
Jika Dia menyiksa kamu hanyalah karena kamu bersalah, yaitu menolak kebenaran yang disampaikan Allah kepadamu. Kalau itu telah hilang dan syukurmu telah terbukti dan imanmu telah berbuah, tidak ada jalan lagi buat mengadzab menyiksa kamu. “Dan adalah Allah itu pembalas terima kasih." Artinya, bahwa Allah senang dan gembira sekali apabila ham-ba-Nya itu bersyukur dan berterima kasih kepada-Nya. Terima kasih itu akan dibalasnya lagi, dan nikmat akan diperganda-gandakan-Nya. Sekali kamu berbuat baik, sepuluh gandanya akan engkau terima. Di dalam sabda yang lain, dalam surah ibraahiim ayat 7, Allah memberikan kepastian janji, bahwasanya jika kamu telah bersyukur berterima kasih, Dia berjanji akan menambahi lagi nikmat-Nya kepada kamu. Sebagaimana seorang Mukmin tingkatmu akan bertambah naik dan dosa-dosamu selama ini akan diampuni.
“Lagi Mengetahui."
Dia mengetahui kelemahanmu selama ini. Dia mengetahui betapa pun hawa nafsumu memengaruhimu sehingga selama ini tertem-puh jalan yang sesat, namun maksud yang terpendam di dalam hati sanubari senantiasa hendak mencari jalan yang baik, jalan kepada Allah. Maka Allah adalah Maha Mengetahui perjuanganmu itu, yaitu perjuangan dalam batin yang hebat sekali sehingga akhirnya cita-cita yang mulia jua yang menang. Allah mengetahui itu, dan Allah pun tidak melupakan memberi penghargaan kepada perjuangan kamu itu.
Selesai.