Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
يَعۡصِ
mendurhakai
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥ
dan RasulNya
وَيَتَعَدَّ
dan ia melanggar
حُدُودَهُۥ
ketentuan-ketentuanNya
يُدۡخِلۡهُ
Dia/Allah memasukkannya
نَارًا
neraka/api
خَٰلِدٗا
kekal
فِيهَا
di dalamnya
وَلَهُۥ
dan baginya
عَذَابٞ
siksa
مُّهِينٞ
menghinakan
وَمَن
dan barang siapa
يَعۡصِ
mendurhakai
ٱللَّهَ
Allah
وَرَسُولَهُۥ
dan RasulNya
وَيَتَعَدَّ
dan ia melanggar
حُدُودَهُۥ
ketentuan-ketentuanNya
يُدۡخِلۡهُ
Dia/Allah memasukkannya
نَارًا
neraka/api
خَٰلِدٗا
kekal
فِيهَا
di dalamnya
وَلَهُۥ
dan baginya
عَذَابٞ
siksa
مُّهِينٞ
menghinakan
Terjemahan
Siapa saja yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar batas-batas ketentuan-Nya, niscaya Dia akan memasukkannya ke dalam api neraka. (Dia) kekal di dalamnya. Baginya azab yang menghinakan.
Tafsir
(Dan siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya serta melanggar aturan-aturan-Nya, maka akan dimasukkan-Nya) ada dua versi dengan memakai ya dan ada pula dengan memakai nun (ke dalam api neraka, kekal ia di dalamnya dan baginya) di dalamnya (siksa yang menghinakan) di samping menciutkan hati. Pada kedua ayat terdapat lafal man sedangkan pada khaalidiina makna atau artinya.
Tafsir Surat An-Nisa': 13-14
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.
Ayat 13
Dengan kata lain, bagian-bagian dan ketentuan-ketentuan yang telah dijadikan oleh Allah untuk para ahli waris sesuai dengan dekatnya hubungan nasab mereka dengan si mayat dan keperluan mereka kepadanya serta kesedihan mereka di saat ditinggalkan. Semuanya itu merupakan batasan-batasan yang telah ditetapkan oleh Allah maka janganlah kalian melanggar dan menyimpang darinya.
Allah berfirman: “Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya.” (An-Nisa: 13)
Yakni dalam batasan-batasan tersebut, dan tidak menambahi atau mengurangi bagian sebagian ahli waris melalui cara tipu muslihat dan sarana penggelapan, melainkan membiarkan mereka menuruti hukum Allah, bagian, dan ketetapan yang telah ditentukan-Nya.
“Niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedangkan mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka, sedangkan ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa: 13-14)
Dikatakan demikian karena hal tersebut berarti mengubah hukum yang telah ditentukan oleh Allah dan menentang Allah dalam hukum-Nya. Sikap seperti itu tiada lain hanyalah timbul dari orang yang merasa tidak puas dengan apa yang telah dibagikan dan ditetapkan Allah untuknya. Karena itu, Allah membalasnya dengan penghinaan dalam siksa yang sangat pedih lagi terus-menerus.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Mamar, dari Asy'as ibnu Abdullah, dari Syahr ibnu Hausab, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan amal ahli kebaikan selama tujuh puluh tahun, tetapi apabila ia berwasiat dan berlaku zalim dalam wasiatnya, maka amal perbuatan terakhirnya ditetapkan amal perbuatan yang buruk, lalu ia masuk neraka. Dan sesungguhnya seorang lelaki benar-benar mengerjakan perbuatan ahli keburukan selama tujuh puluh tahun, tetapi ia berlaku adil dalam wasiatnya. maka amal perbualan terakhir-nya adalah amal kebaikan, lalu masuklah ia ke dalam surga.”
Ayat 14
Kemudian sahabat Abu Hurairah mengatakan, "Bacalah oleh kalian jika kalian suka," yaitu firman-Nya: “Hukum-hukum tersebut adalah ketentuan dari Allah. (An-Nisa: 13) sampai dengan firman-Nya: “Dan baginya siksa yang menghinakan.” (An-Nisa: 14)
Imam Abu Dawud mengatakan di dalam Bab "Menimpakan Mudarat dalam Berwasiat", bagian dari kitab sunannya: Telah menceritakan kepada kami Ubaidah ibnu Abdullah, telah menceritakan keruda kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnn Ali Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Al-Asyas ibnu Abdullah ibnu Jabir Al-Haddani, telah menceritakan kepadaku Syahr ibnu Hausyab, bahwa sahabat Abu Hurairah pernah menceritakan kepadanya bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya seorang lelaki atau seorang wanita benar-benar melakukan amal ketaatan kepada Allah selama enam puluh tahun, kemudian keduanya menjelang kematiannya, keduanya menimpakan mudarat (kerugian) kepada ahli warisnya dalam wasiatnya, maka pastilah keduanya masuk neraka.”
Perawi melanjutkan kisahnya, bahwa Abu Hurairah ra. membacakan firman-Nya kepadaku mulai dari firman-Nya: “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayarkan utangnya dengan tidak memberi mudarat (kerugian) kepada ahli waris.” (An-Nisa: 12) sampai dengan firman-Nya: “Dan itulah kemenangan yang besar.” (An-Nisa: 13)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam Ibnu Majah melalui hadits Asy'as dengan lafal yang lebih lengkap darinya. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan garib. Tetapi lafal hadits Imam Ahmad jauh lebih lengkap dan lebih sempurna.
Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dengan melakukan perbuatan dosa, tidak menaati perintah-perintah-Nya, dan melanggar batas-batas hukum-Nya yang telah disyariatkan untuk hamba-hambaNya, niscaya Allah akan membalas atas pelanggaran yang dilakukan dengan memasukkannya ke dalam api neraka yang penuh penderitaan, dia kekal abadi di dalamnya dan dia akan mendapat azab yang pedih dan menghinakan. Balasan yang mereka terima setimpal dengan tindakan mereka melecehkan ketentuan Allah dan meremehkan orang-orang yang mereka halangi hak-haknya.
Setelah Allah menjelaskan peringatan bagi pelanggar ketentuan Allah terkait dengan kewarisan, selanjutnya Allah menjelaskan peringatan yang terkait dengan harga diri kaum perempuan yang mesti dijaga. Dan kamu, wahai kaum laki-laki, apabila kamu mendapati para perempuan yang melakukan perbuatan keji seperti zina atau lesbianisme di antara perempuan-perempuanmu, yakni istri-istrimu, hendaklah terhadap mereka ada empat orang saksi di antara kamu yang adil dan bisa dipercaya yang menyaksikan perbuatan mereka. Kemudian apabila mereka yakni para saksi telah memberi kesaksian dengan jelas dan tidak ada lagi keraguan terhadap kesaksian tersebut, maka kurunglah mereka yakni istri-istrimu dalam rumah tempat tinggal mereka, dan cegahlah untuk keluar rumah sampai mereka menemui ajalnya. Ketentuan tersebut sebagai pelajaran atau hukuman atas pelanggaran yang telah mereka perbuat sampai Allah memberi jalan yang lain kepadanya tentang ketetapan atau ketentuan hukum lain. Ketentuan hukum tersebut adalah hukuman had berupa dera seratus kali bagi pelaku zina gairu muhshan (lihat juga Surah anNur/24: 2) dan hukum rajam bagi pelaku zina yang sudah menikah (muhshan). Adapun bagi perempuan lesbian hendaknya segera bertobat dan menempuh hidup normal dengan menikahi laki-laki pilihannya.
Sebaliknya barang siapa yang durhaka dan tidak mematuhi apa yang telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya maka Allah memberikan peringatan akan memasukkan orang tersebut ke dalam neraka yang penuh siksa dan derita.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KALALAH
Ada orang yang ayah bundanya tak ada lagi, telah meninggal lebih dahulu. Dia pun tidak pula mempunyai anak yang akan menerima pusakanya. Ayah bunda telah mati, anak pun tidak ada. Orang yang begini dinamai da-lam keadaan kalalah. Baik orang itu laki-laki maupun perempuan. Sekarang datang pula ketentuan Allah tentang pembagian harta orang kalalah jika dia meninggal.
Ayat 12
Beginilah lanjutan ayat, “Dan jika seorang ataupun perempuan yang diwarisi itu kalalah (tidak mempunyai ibu bapak dan anak), tetapi ada mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka untuk mereka itu masing-masing seperenam."
Keterangan; Seorang yang dalam keadaan kalalah, baik orang itu laki-laki maupun perempuan, peratuan pembagian warisnya ada lagi. Cobalah gambarkan terlebih dahulu. Ada seorang suami atau seorang istri mati. Ayah dan bundanya tak ada lagi dan anak-anaknya pun tak ada. Yang ada hanya istri atau yang ada hanya suami. Keluarga mereka yang terdekat hanyalah saudara. Baik saudara itu seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Maka, saudara itu, baik dia laki-laki maupun perempuan mendapatlah seperenam. Sama saja bagian itu, baik yang meninggal laki-laki atau yang meninggal perempuan. Dapatlah kita bayangkan bahwasanya bagian yang seperenam itu, jika ibunya masih hidup, ibulah yang harus mendapat. Sekarang sebab tidak ada lagi, saudara yang seorang itulah yang menerima bagian seperenam itu. Jika suami perempuan itu masih ada, niscaya mudahlah kita membagi harta itu menjadi 12 bagian. Seperdua untuk si suami, menjadi enam bagian dan seperenam bagi saudara yang seorang itu (baik laki-laki ataupun perempuan), menjadi dua bagian. Yang lebihnya (empat), serahkan kepada ‘ashabah.
“Tetapi jika mereka lebih dari itu, maka bersekutulah mereka pada yang sepertiga itu."
Jelaslah bahwa kalau saudara yang tinggal hanya satu orang laki-laki atau satu orang perempuan, dia mendapat seperenam. Akan tetapi, kalau mereka lebih dari satu orang, yaitu berdua atau lebih, mereka mendapat sepertiga. Yang sepertiga mereka bagi-bagi dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.
Niscaya akan timbul keraguan kalau ayat ini yang menentukan satu saudara yang kalalah mendapat seperenam, dan kalau lebih dari satu mendapat sepertiga, padahal di akhir surah an-Nisaa' ini juga, ayat 177, tersebut lagi seorang kalalah dalam ketentuan yang lain. Di sana disebutkan pula bahwa saudara perempuan orang kalalah mendapat separuh; kalau dia berdua mendapat sepertiga. Kalau mereka banyak, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan di ayat 177 tersebut dua pertiga juga, dengan dibagi laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Niscaya akan timbul kesan seakan-akan berlawanan. Sebab, di ayat ini disebutkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan mendapat seperenam, sedang di ayat 177 saudara perempuan seorang dikatakan mendapat separuh. Setelah ditilik hadits-hadits dan alasan-alasan Al-Qur'an, ternyata bahwa yang dimaksud dengan ayat 12 ini ialah saudara seibu. Kalau yang tinggal itu hanya saudara seibu, mereka mendapat seperenam kalau seorang dan mendapat sepertiga kalau lebih dari seorang. Yang dimaksud dengan ayat 177, ialah kalau si mati kalalah meninggalkan saudara seibu sebapak. Bukan yang seibu saja. Dalam hal itu saudara perempuan mendapat separuh harta, bukan seperenam sebagai bagian untuk saudara yang seibu saja. Niscaya jelas perbedaan ini karena menurut turunan aliran darah, saudara seibu sebapak lebih dekat daripada saudara seibu saja, malahan saudara sebapak lain ibu pun lebih dekat daripada saudara seibu saja. Semuanya ini ialah, “(Yaitu) sesudah wasiatnya dipenuhi ataupun utangnya dibayarkan."
Tentang mendahulukan wasiat dan utang selalu diulang-ulang, supaya ketika membagikan harta waris jangan sampai kepunyaan dan hak orang lain dilupakan. Akan tetapi, sekarang Allah menjelaskan lagi tentang wasiat itu, “(Dengan) tidak menyusahkan" Yaitu jangan sampai suatu wasiat diperbuat merugikan kepada ahli waris yang benar-benar berhak, sebagaimana telah diterangkan beberapa kali sebelum ini. Di penutup ayat Allah berfirman, “Dan Allah Maha Mengetahui." Allah Maha Mengetahui isi hatimu, apakah kamu jujur atau tidak, terutama ketika menyusun wasiat, “Lagi Penyabar." AI-Halim kita artikan saja dengan penyabar. Maksudnya yang lebih dalam ialah Allah Mahatahu kalau kamu berbuat suatu kesalahan pada waktu yang lampau. Akan tetapi, Allah tidaklah segera mengambil tindakan memurkai kamu karena Allah terlebih dahulu hendak membukakan keinsafan bagi kamu untuk memperbaiki kesalahan yang telanjur. Oleh sebab sifat al-Halim, kamu sendiri pun hendaklah lebih hati-hati, jangan sampai ceroboh dan memandang enteng pembagian waris. Misalnya kamu ter-lambat menentukan pembagian itu sesudah kematian. Kalau terlambat itu hanya karena kesibukan yang tak dapat dielakkan, dapatlah Allah yang bersifat al-Halim menunggu. Akan tetapi, jika kamu sengaja memperlambat-lambat karena ada niat tertentu, niscaya Allah tidak akan membiarkannya.
Dapat pula kita rentang-panjang filsafat yang terkandung dalam sifat al-Halim. Misalnya, agama sudah menentukan siapa yang mendapat dan siapa yang tidak dan kalau mendapat berapa bagiannya. Orang-orangyangmendapat bagian sedikit hendaklah bersifat al-Halim pula, mengambil sempena dari sifat Allah. Bahkan ada orang laki-laki yang mendapat bagian tertentu, kemudian menghibahkan, menghadiahkan bagiannya seluruhnya kepada saudaranya yang perempuan. Dengan sifat al-Halim, kekeluargaan yang mesra tidak akan putus karena wafatnya orang yang dicintai.
Setelah mempelajari pokok-pokok faraidh yang telah dibentangkan Allah dalam Al-Qur'an, jelaslah bagi kita bahwa ini telah jadi salah satu cabang ilmu fiqih Islam yang penting. Dengan sendirinya memerlukan ke-pintaran dalam ilmu hitung sehingga tidak mungkin memimpin umat kalau tidak pandai berhitung. Tentang ilmu faraidh, bersabdalah Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi dalam sunnahnya dari Abdullah bin Mas'ud berkata Rasulullah ﷺ,
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena sesungguhnya aku ini seorang manusia, yang akan dicabut nyawaku, dan ilmu pun akan (banyak) yang tercabut dan akan timbul pula banyak fitnah sehingga orang berselisihlah tentang faraidh, tidak didapat orang yang akan menyelesaikan." (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dan sebuah hadits lagi dikeluarkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi juga, dari Abu Hurairah katanya, berkata Rasulullah ﷺ,
“Pelajarilah faraidh dan ajarkan dia, karena sesungguhnya itu separuh ilmu, yang akan dilupakan orang dan yang mula-mula akan dicabut dari umatku." (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Sebagaimana dapat dipahami, hadits ini adalah sebagai tarhib, peringatan dari Nabi bahwa kalau tidak dipelajari ilmu ini dengan saksama, dia akan hilang lenyap saja, padahal sangat diperlukan.
Apatah lagi terlalu lama negeri kita Indonesia dijajah bangsa asing yang berlainan agama dengan kita. Walaupun tanah air kita sudah merdeka, perhatian pihak yang berkuasa boleh dikatakan belum ada kepada jurusan ini, padahal bagi kita ini adalah salah satu peraturan; sebagian dari syari'at.
Pemerintah penjajah dahulu sengaja menjauhkan urusan-urusan faraidh ini dari pengakuan hukum. Mereka lebih suka menonjolkan hukum-hukum adat daripada hukum-hukum agama kita yang jelas jadi pegangan kita dunia akhirat Ini adalah satu rencana besar dalam melemahkan dan menghilangkan kekuatan Islam. Setelah pemerintah penjajah habis, ahli-ahli agama Islam telah berkurang, sebab itu perhatian kepada faraidh jadi kurang. Padahal adanya hukum faraidh dalam Islam adalah salah satu keutamaan agama ini sehingga kita boleh berkata bahwa bagi seluruh bangsa di dunia ini, yang memeluk agama Islam, corak peraturan faraidh-nya adalah sama. Sedang pada bangsa-bangsa lain, mereka terpaksa membuat tradisi sendiri-sendiri yang sebagian besar sampai sekarang ini belum juga memberikan hak tertentu kepada perempuan sehingga kaum perempuan terpaksa lebih dahulu berjuang mati-matian menuntut haknya.
Seyogianya kita umat Islam memerhatikan pesan-pesan Rasulullah yang telah kita tukil-kan di atas. Segala peraturan tali sekali lagi dikukuhkan oleh Allah dengan lanjutan firman-Nya,
Ayat 13
“Yang demikian itulah batas-batas Allah."
Yaitu peraturan-peraturan yang telah Dia tentukan sehingga tidak timbul lagi fitnah dan hasad dengki dalam keluarga dan tidak ada lagi aniaya yang lebih tua kepada yang masih kecil: “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya." Di sini disebutkan taat kepada Allah diikuti dengan taat kepada Rasul. Sebab, aturan faraidh yang ada dalam Al-Qur'an adalah semata-mata garis besar. Adapun dalam hal perinciannya bila terjadi misalnya ‘ashabah atau …, atau penjelasan tentang kalalah, Rasulullah yang memberi tafsirannya dengan sunnah. Diajarkan pula kepada orang-orang istimewa untuk itu, seumpama Zaid bin Tsabit,
“Niscaya akan dimasukkan-Nya ke surga, mengalir air sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Yang demikianlah kejadian yang besar."
Kejadian besar di akhirat, karena tidaklah akan sulit lagi jika datang berbagai pertanyaan tentang harta benda yang jadi fitnah di dunia ini. Hawa nafsu manusia mengumpulkan harta benda kadang-kadang menyebabkan mereka tidak menilai lagi antara halal dengan haram. Satu demi satu segala sumber harta benda kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Akan ringanlah rasanya otak dan tenteramlah kalau waris telah terbagi menurut yang ditentukan Allah. Banyak sedikit bilangan yang diterima, semuanya disambut dengan sabar dan syukur; tidak ada aniaya atau pemalsuan.
Tentu timbul pertanyaan, “Apakah tidak cukup kalau disebutkan taat kepada Allah saja? Karena dengan taat kepada Allah, dengan sendirinya sudah mesti taat kepada Rasul?" Memang! Bagi orang yang telah sempurna iman, tidak disebutkan taat kepada Rasul, dengan menyebutkan taat kepada Allah saja mencukupilah. Akan tetapi, kadang-kadang hal ini mesti diperingatkan Allah. Karena kita sendiri banyak mengalami, terutama dalam zaman kemajuan ilmu pengetahuan alam dan filsafat ini. Banyak orang yang percaya dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Ta'aala ada! Mereka berjanji dalam hati sendiri akan taat kepada Allah, dengan menurutkan ilham penilaian buruk dan baik yang ada dalam hati mereka sendiri. Ini kebanyakan terjadi di Eropa, terutama di akhir-akhir abad kedelapan belas, dengan timbulnya gerakan Deisme, suatu Rationalisme. Voltaire dikenal sebagai pelopornya. Gerakan ini menjalar juga kepada beberapa negeri.
Bagi kita orang Islam nyatalah bahwa taat hanya kepada Allah, tidak disertai taat kepada Rasul, belumlah bernama agama. Sebab, Rasul adalah teladan yang diutus Allah untuk menjadi contoh melaksanakan ketaatan ke-pada Allah. Orang boleh menentang agama buatan manusia, bid'ah yang diada-ada, kekuasaan pendeta atau ulama yang melebihi apa yang dituntunkan Rasul, tetapi orang tidak akan dapat beragama, kalau tidak menaati tuntunan Rasul,
Misal yang terdekat, ialah ayat-ayat faraidh. Ada ayat yang mutasyabih (tengok kembali tafsiran mutasyabih pada surah Aali ‘Imraan ayat 7) Pada ayat 12 surah an-Nisaa' terdapat bahwa saudara hanya mendapat seperenam dan kalau mereka banyak mendapat separuh dan kalau berdua dan lebih mendapat dua pertiga. Di mana kita tahu memperbedakannya, kalau tidak kita “tanyakan" kepada Rasul dan ditaati cara beliau menjalankan?
Dengan taat kepada Allah disertai taat kepada Rasul, dengan jalan demikianlah kita akan diberi Allah kurnia ganjaran surga, yang mengalir air sungai di bawahnya dan kekal di dalamnya selama-lamanya,
Ayat 14
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar akan batas-batas-Nya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke neraka, kekal di dalamnya, dan baginya adzab yang menghinakan."
Tujuan yang semula ayat ini tentu sudah nyata terhadap orang-orang yang tidak mengacuhkan peraturan faraidh yang telah disebutkan di atas tadi. Mafhumlah kita bahwasanya Islam bukan saja mengatur ibadah kepada Allah, shalat, puasa, dan sebagainya, tetapi melingkungi segala soal yang mengenai kemasyarakatan dan kekeluargaan juga. Apalah lagi pada ayat pertama, pembukaan surah telah diperingatkan takwa kepada Allah dan memelihara hubungan kasih sayang kekeluargaan, yang disebut al-Arham. Keduanya dijadikan satu. Dalam ayat ini dapatlah kita pahamkan, betapa pun taatnya seseorang misalnya beribadah, kalau batas-batas yang ditentukan Allah mengenai faraidh dia abaikan, neraka jugalah tempatnya. Sebagai Muslim dalam masyarakat modern, taatilah peraturan Islam dalam hal faraidh, yang lebih sempurna daripada peraturan yang mana juapun. Jangan membuat wasiat yang mengubah ketentuan Allah. Sebagai orang Islam yang hidup dalam masyarakat keibuan (seperti di Minangkabau) atau masyarakat kebapakan (seperti di Tapanuli), apabila bertemu dua peraturan yang berlawanan, dahulukanlah Islam dari yang lain supaya jangan masuk neraka.
Menurut hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang memotongkan warisan dari ahli warisnya, akan dipotong Allah pula warisnya dari surga pada hari Kiamat." (HR Ibnu Majah)
Susunan firman Allah memang menarik hati bagi orang yang suka merenungkan. Dalam ayat 13, Allah menyatakan bahwa orang yang taat kepada Allah dan Rasul, akan dimasukkan-Nya dia ke dalam surga dan kekal di dalamnya. Sedang di ayat 14 diterangkan bahwa siapa yang melanggar batas yang ditentukan Allah, akan dimasukkan-Nya dia ke neraka dan kekal di dalamnya.
Di sini kita mendapat kesan bahwa dengan amal sendiri, masing-masing orang akan dimasukkan ke dalam surga dan akan menikmati surga bersama-sama. Sehingga ketika di dalam, mengecap nikmat yang kekal ber-sama-sama. Karena kelezatan suatu nikmat ialah bisa dirasakan bersama. Akan tetapi, bila dimasukkan ke dalam neraka karena kesalahan sendiri, meskipun di dalamnya akan beramai-ramai juga, tidaklah akan ada hubungan kasih mesra dengan orang lain karena masing-masing menderitakan adzab sendiri-sendiri.
Berkenaan dengan faraidh, beberapa orang ulama Islam Indonesia telah menulis bukunya.
Di antara yang telah menulis ialah ayah dan guru saya, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah,
Syekh Taher Jalaluddin, Ahmad Hasan Bangil, dan Prof. Mahmud Yunus. Untuk melihat perkembangan dan ijtihad ulama tentang ‘araidh, sebagai perkembangan dari pokoknya yang ada di dalam Al-Qur'an, baiklah buku-buku itu kita baca.