Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ثُمَّ
kemudian
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
ثُمَّ
kemudian
ءَامَنُواْ
beriman
ثُمَّ
kemudian
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
ثُمَّ
kemudian
ٱزۡدَادُواْ
bertambah
كُفۡرٗا
kekafiran
لَّمۡ
tidak
يَكُنِ
ada/akan
ٱللَّهُ
Allah
لِيَغۡفِرَ
untuk memberi ampun
لَهُمۡ
bagi/kepada mereka
وَلَا
dan tidak
لِيَهۡدِيَهُمۡ
untuk memberi petunjuk kepada mereka
سَبِيلَۢا
jalan
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ثُمَّ
kemudian
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
ثُمَّ
kemudian
ءَامَنُواْ
beriman
ثُمَّ
kemudian
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
ثُمَّ
kemudian
ٱزۡدَادُواْ
bertambah
كُفۡرٗا
kekafiran
لَّمۡ
tidak
يَكُنِ
ada/akan
ٱللَّهُ
Allah
لِيَغۡفِرَ
untuk memberi ampun
لَهُمۡ
bagi/kepada mereka
وَلَا
dan tidak
لِيَهۡدِيَهُمۡ
untuk memberi petunjuk kepada mereka
سَبِيلَۢا
jalan
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, lalu kufur, kemudian beriman (lagi), kemudian kufur (lagi), lalu bertambah kekufurannya, Allah tidak akan mengampuninya dan tidak (pula) menunjukkan kepadanya jalan (yang lurus).
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang beriman) kepada Musa, maksudnya orang-orang Yahudi (kemudian mereka kafir) dengan menyembah anak sapi (kemudian beriman) sesudah itu (lalu kafir lagi) kepada Isa (kemudian bertambah kekafiran mereka) kepada Muhammad ﷺ (maka Allah sekali-kali takkan mengampuni mereka) selama mereka dalam keadaan demikian (dan tidak pula akan menuntun mereka ke jalan yang lurus) atau benar.
Tafsir Surat An-Nisa': 137-140
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak pula menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih,
(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mau mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan itu hanya kepunyaan Allah semata.
Dan sungguh Allah telah menurunkan (ketentuan) kepada kalian di dalam Al-Qur'an, bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian), tentulah kalian serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang munafik dan orang kafir di dalam neraka Jahanam.
Ayat 137
Allah ﷻ menceritakan perihal orang yang beriman, lalu ia kafir, kemudian kembali beriman lagi; dan terakhir ia kafir lagi, lalu berkelanjutan dalam kesesatannya dan makin bertambah sesat hingga mati. Maka sesungguhnya tiada tobat baginya sesudah mati, dan Allah tidak akan memberikan ampunan baginya, juga tidak akan menjadikan baginya sesuatu yang dapat menuntunnya ke arah hidayah. Karena itulah disebutkan melalui firman-Nya:
“Maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka dan tidak pula menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-Nisa: 137)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abdah, telah menceritakan kepada kami Hafs ibnu Jami', dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: “Kemudian bertambah kekafirannya.” (An-Nisa: 137) Bahwa makna yang dimaksud ialah mereka berkepanjangan di dalam kekafirannya hingga mati.
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan melalui jalur Jabir Al-Ma'la, dari Amir Asy-Sya'bi, dari Ali , bahwa ia pernah mengatakan, "Orang yang murtad disuruh bertobat sebanyak tiga kali." Kemudian ia membacakan firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya, maka sekali-kali Allah tidak akan memberi ampunan kepada mereka, dan tidak pula menunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-Nisa: 137)
Ayat 138
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksa yang pedih.” (An-Nisa: 138) Bahwa orang-orang munafik itu adalah orang yang mempunyai sifat demikian, karena sesungguhnya pada mulanya mereka beriman, kemudian kafir, lalu hati mereka dikunci mati.
Kemudian Allah menyebutkan sifat mereka yang lain, bahwa mereka mengambil orang-orang kafir sebagai pemimpin mereka selain orang-orang mukmin. Dengan kata lain, mereka pada hakikatnya berpihak kepada orang-orang kafir dan menyembunyikan rasa cinta mereka kepada orang-orang kafir. Apabila mereka kembali kepada orang-orang kafir, mereka mengatakan, "Sesungguhnya kami sependapat dengan kalian, kami hanyalah berolok-olok," yakni terhadap orang-orang mukmin dengan menampakkan sikap sependapat dengan mereka secara lahiriah.
Ayat 139
Allah ﷻ mengingkari sepak terjang mereka yang berpihak kepada orang-orang kafir, yang hal ini diungkapkan oleh firman-Nya: “Apakah mereka mau mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?” (An-Nisa: 139) Kemudian Allah ﷻ memberitahukan bahwa kekuatan itu seluruhnya hanyalah milik Dia semata, tiada sekutu bagi-Nya, dan Dia memberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dalam ayat yang lain disebutkan hal yang semakna, yaitu: “Barang siapa yang menghendaki kemuliaan, maka milik Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (Fathir: 10)
Firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Padahal kekuatan itu hanyalah milik Allah, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tidak mengetahui.” (Al-Munafiqun: 8)
Makna yang dimaksud dari ayat ini ialah menggerakkan hati mereka untuk mencari kekuatan (kemuliaan) di sisi Allah, beribadah kepada-Nya dengan ikhlas, dan menggabungkan diri ke dalam barisan hamba-hamba-Nya yang beriman, karena hanya merekalah yang mendapat pertolongan di dalam kehidupan dunia ini dan di hari semua saksi dibangkitkan (hari kiamat).
Kiranya sesuai bila dalam pembahasan ini kami ketengahkan sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Husain ibnu Muhammad, Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Humaid Al-Kindi, dari Ubadah ibnu Nissi, dari Abu Raihanah, bahwa Nabi ﷺ bersabda: “Barang siapa yang menyebutkan nasabnya sampai kepada sembilan orang kakek moyangnya yang semuanya kafir dengan maksud memuliakan diri dengan mereka dan berbangga diri dengan mereka, maka dia akan menemani mereka di dalam neraka.”
Hadis ini diriwayatkan secara munfarid (menyendiri) oleh Imam Ahmad. Abu Raihanah yang disebut di dalam sanadnya adalah seorang dari kabilah Azd. Menurut pendapat yang lain, dia adalah seorang Ansar, nama aslinya ialah Syam'un. Demikianlah menurut Imam Bukhari. Sedangkan menurut yang lainnya, nama aslinya adalah Sam'un.
Ayat 140
Firman Allah ﷻ: “Dan sungguh Allah telah menurunkan (ketentuan) kepada kalian di dalam Al-Qur'an bahwa apabila kalian mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kalian duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kalian berbuat demikian) tentulah kalian serupa dengan mereka.” (An-Nisa: 140)
Sesungguhnya jika kalian melakukan hal yang terlarang sesudah larangan sampai kepada kalian, dan kalian rela duduk bersama-sama mereka di tempat yang padanya diingkari ayat-ayat Allah, diperolok-olokkan serta dikecam dengan pedas, lalu kalian menyetujui hal tersebut, berarti sesungguhnya kalian berserikat dan bersekongkol dengan mereka dalam hal itu. Karena itulah dinyatakan oleh firman-Nya:
“Tentulah kalian serupa dengan mereka.” (An-Nisa: 140)
Yakni dalam hal dosa, seperti yang disebut di dalam sebuah hadits: “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, maka janganlah ia duduk di dalam sebuah hidangan yang disediakan di dalamnya minuman khamr.” Larangan mengenai hal tersebut yang ada dalam ayat ini, cara menanggulanginya disebutkan di dalam ayat surat Al-An'am melalui firman-Nya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka.” (Al-An'am: 68) hingga akhir ayat.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa ayat surat Al-An'am ini menasakh (merevisi) firman-Nya: “Tentulah kalian serupa dengan mereka.” (An-Nisa: 140) Karena ada dalil firman Allah yang mengatakan: “Dan tidak ada pertanggungjawaban sedikit pun atas orang-orang yang memelihara dirinya terhadap dosa mereka (yang memperolok-olokkan ayat-ayat Allah); tetapi (kewajibannya hanyalah) mengingatkan agar mereka bertakwa.” (Al-An'am: 69)
Adapun firman Allah ﷻ: “Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di dalam neraka Jahanam.” (An-Nisa: 140) Maksudnya, sebagaimana orang-orang munafik itu bersekutu dengan orang-orang kafir dalam kekufuran, maka Allah pun menghimpun mereka semua dalam kekekalan di neraka Jahanam untuk selama-lamanya, dan Dia mengumpulkan mereka semua di dalam rumah azab dan pembalasan dengan belenggu dan rantai yang mengikat mereka serta minuman air yang mendidih bukan air yang tawar dan makanan berupa darah dan nanah.
Ayat ini secara khusus menerangkan keadaan orang-orang munafik. Sesungguhnya orang-orang yang beriman lalu kafir, kemudian beriman lagi, kemudian kafir lagi, lalu bertambah kekafirannya selamanya hingga mati dalam kekafiran, maka Allah tidak akan mengampuni mereka setelah mereka mati, dan tidak pula menunjukkan kepada mereka jalan yang lurus, yaitu jalan menuju surga. Sampaikanlah berita gembira sebagai ejekan dan kecaman kepada orang-orang munafik, wahai Nabi Muhammad, bahwa bagi mereka di akhirat kelak siksaan yang pedih, dan bahkan mereka akan berada pada tingkat yang paling rendah, buruk, dan berat dari neraka Jahanam sebagai balasan dari perbuatan mereka.
Ada sekelompok orang yang telah menyatakan dirinya beriman, kemudian berbalik menjadi kafir. Sesudah itu beriman kembali, lalu berbalik lagi menjadi kafir dan akhirnya mereka bertambah-tambah kekafirannya hingga saat ajal mereka tiba. Orang-orang yang serupa itu sedikit pun tidak akan mendapat ampunan dari Allah, dan tidak akan mendapat bimbingan untuk memperoleh petunjuk.
Mereka selalu dalam keadaan bimbang dan ragu, pendirian mereka berubah-ubah dari iman ke kafir, dari kafir ke iman, mereka telah kehilangan pegangan. Karenanya mereka tidak dapat lagi memahami hakikat kebenaran dan keutamaan iman. Oleh sebab itulah sesuai dengan ketentuan Allah, orang yang hatinya bimbang dan ragu tidak akan mendapat petunjuk ke jalan yang benar. Maka sudah sepantasnyalah apabila mereka jauh dari rahmat Allah, apalagi untuk mendapatkan ampunan-Nya, karena jiwa mereka telah ditutupi noda-noda kekafiran, sehingga tidak lagi dapat melihat cahaya kebenaran.
Sebenarnya tak ada yang dapat menghalang-halangi ampunan dan hidayah Allah yang akan diberikan kepada makhluk-Nya. Hanya saja kehendak Allah itu tidak terlepas dari usaha manusia yang timbul karena ilmu dan amalannya, akan berbekas pada jiwanya. Maka apabila seseorang terus-menerus mengikuti saja sesuatu pendapat tanpa penyelidikan niscaya akalnya tidak mendapat petunjuk. Begitu pula apabila jiwa seseorang telah dikotori dengan kefasikan dan maksiat, maka ia tidak akan mendapat jalan untuk memperoleh ampunan, tanpa bertobat.
"Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertobat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk". (Thaha/20:82).
Ampunan Allah dapat menghapuskan noda-noda dosa di dalam jiwa. Apabila seseorang bertobat dan beramal saleh, maka semua kekotoran jiwa dan dosanya akan terkikis habis.
Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu mengingat (Allah). (Hud/11:114).
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
MENEGAKKAN KEADILAN
Allah berpesan di ayat-ayat tadi, perhatikanlah alam, maka akan kelihatanlah olehmu kekuasaan Tuhanmu yang meliputi semua langit dan bumi. Mengapa semuanya teratur seperti ini? Mengapa semuanya kelihatan sangat indah? Sebab semuanya itu diatur dengan benar! Tidak ada yang dengan percuma atau sia-sia. Mengapa bintang-bintang tidak jatuh dari tempat falaknya? Padahal ada dalil dalam Ilmu Pasti Alam, bahwa di dalam alam ada daya tarik-menarik, ada undang-undang bahwa yang berat jatuh dan yang ringan mengapung. Memang, semuanya itu benar. Semua undang-undang itulah yang diatur dalam keseimbangan atau keadilan. Sehingga matahari tidak mengejar bulan dan malam tidak mendahului siang. Ini yang dinamai harmoni. Apabila jiwa manusia telah menjadi halus lantaran melihat alam yang teratur, niscayatah dia menjadi pencinta kebenaran dan niscayatah dia menjadi pencinta keadilan. Dengan tadinya melihat alam, dibawanyalah keadilan itu ke dalam lapangan hidupnya sendiri.
Ayat 135
“Wahai orang-orang yang beriman!"
Abdullah bin Mas'ud pernah mengatakan bahwa beliau, bilamana mendengar atau membaca tiap-tiap ayat yang dimulai dengan seruan kepada orang-orang yang beriman, beliau menyalangkan mata, beliau pasang pen-dengaran dengan baik, tanda ada apa-apa perintah mula yang akan diturunkan Allah.
Ayat-ayat demikian, kata beliau, adalah ayat penghargaan dan penghormatan tertinggi kepada umat yang percaya kepada Allah. “Jadilah kamu orang-orang yang berdiri tegak dengan keadilan." Di dalam ayat ini bertemu kalimat Qawwamina yang kita diartikan berdiri tegak, sadar; dan membela. Tegasnya, mau tunduk kepada siapa pun yang hendak mencoba meruntuh keadilan yang ditegakkan itu. Keadilan adalah arti yang dipakai untuk untuk kalimat al-Qisthi, yang berarti juga jalan tengah, tidak berat sebelah.
“Menjadi saksi karena Allah" artinya berani menyatakan kebenaran. Sebab keadilan dan kebenaran, adalah dua arti dari maksud yang satu. Barang sesuatu disebut adil sebab dia benar. Barang sesuatu disebut benar karena dia adil. Hendaklah berani menyatakan kesaksian atas keadilan karena Allah. Karena bertanggung jawab kepada Allah sehingga tidak takut lagi akan ancaman sesama manusia yang berusaha hendak memungkiri keadilan.
“Walaupun terhadap dirimu sendiri" Berani menegakkan keadilan, walaupun mengenai diri sendiri adalah satu puncak dari segala keberanian. Inilah yang disebut dalam pepatah orang Melayu, “Tiba di dada jangan dibusungkan, tiba di mata jangan dipicingkan, dan tiba di perut jangan dikempiskan."
“Ataupun kedua ibu bapak, atau keluarga kerabat." Artinya selain dari menegakkan keadilan karena Allah walaupun akan menyusahkan diri, hendaklah demikian juga menegakkan keadilan mengenai ibu bapak dan keluarga. Memang berat kalau menegakkan keadilan akan merugikan diri atau ibu bapak atau keluarga terdekat, tetapi kalau diingat bahwa yang ditegakkan ialah keridhaan dan wajah Allah, yang berat akan jadi ringan. Bukanlah namanya memuliakan dan menghormati ibu bapak kalau mereka salah, dipertahankan juga. Menghormati ibu bapak dan membela keluarga ialah dalam kebenaran dan keadilan. Kebenaran dan keadilan yang wajib ditegakkan di dunia ini, supaya masyarakat manusia jangan kacau-balau. Janganlah bantu membantu di dalam menegakkan kezaliman dan merampas hak orang lain. Karena kekacauan karena keadilan tak ada lagi, adalah bahaya yang menimpa semua orang, dan yang berlaku zalim tidaklah akan terlepas daripadanya.
“Jika dia adalah kaya atau fakir, maka Allah adalah lebih hampir dengan mereka berdua." Artinya, di dalam menegakkan keadilan itu, baik terhadap ayah bunda sekalipun maupun terhadap keluarga yang dekat, sekali-kali jangan terpengaruh kekayaannya atau kemiskinannya. Mentang-mentang dia kaya, jangan dicurangi keadilan karena mengharap balas jasa dari kekayaannya. Mentang-mentang dia miskin jangan dibela jika dia salah karena kemiskinannya. Yang benar tetap benar, yang salah tetap salah. Kaya dan miskin di hadapan keadilan adalah sama.
Dirawikan oleh Abd bin Humaid dan Ibnu Jarir dan Ibnul Mundzir penafsiran Qatadah atas ayat ini. Berkata Qatadah, “Tegakkanlah kesaksian yang benar wahai anak Adam! Walaupun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapakmu atau kaum kerabatmu atau pemuka-pemuka kaummu. Sebab syahadah (kesaksian) adalah untuk Allah bukan untuk manusia. Sesungguhnya Allah meridhai keadilan untuk diri-Nya. Keadilan adalah mizan Ilahi di muka bumi. Untuk membela yang lemah jangan disewenang-wenangi oleh yang kuat. Untuk mempertahankan yang jujur jangan dicurangi oleh si pendusta. Untuk menegakkan yang benar jangan dianiaya oleh yang batil. Dengan keadilanlah dibenarkan yang benar dan disalahkan yang salah. Dengan keadilan dapat ditangkis serangan penyerang dengan tidak semena-mena dan dia diancam oleh Allah. Dengan keadilanlah masyarakat manusia ini diatur jadi baik. Wahai Anak Adam! Kaya atau miskin pun, namun Aku lebih penting. Aku lebih penting dari kekayaanmu atau kemiskinanmu. Aku tak akan dapat dipengaruhi oleh kekayaan si kaya, ataupun kemiskinan si miskin. Sebab itu, kekayaan atau kemiskinan janganlah menghambat kamu untuk menyaksikan kebenaran dan keadilan." Sekian Qatadah.
“Sebab itu janganlah kamu ikuti hawa nafsu, bahwa berpaling kamu." Janganlah karena menuruti hawa nafsu kamu sampai berpaling dari kebenaran sehingga keadilan itu tidak jadi kamu tegakkan. “Karena jika kamu putar-putar atau kamu berpaling." Inilah yang disebut di dalam pepatah Melayu, “Duduk berkisar, tegak berpaling."
“Maka sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu perbuat itu adalah sangat Mengetahui."
Di dalam mencari kebenaran dan menegakkan keadilan, kalau hawa nafsu telah masuk, akan bertambah kacaulah keadaan. Yang kusut tidaklah akan selesai, melainkan bertambah kusut. Oleh sebab itu, penyelidikan dan pemeriksaan menjadi lama dan menambah susah juga. Kebenaran tetap ada walaupun disengaja melindunginya dengan perbuatan yang curang. Kecurangan itu dengan sendirinya akan habis, sebab hakikatnya tidak ada. Berkisar dan berpaling dari keadilan karena dorongan hawa nafsu hanyalah mempersulit diri sendiri. Allah tetap mengetahuinya dan jika orang yang berkisar tegak dan berpaling duduk itu akan ditekan sendiri oleh dosanya.
Ayat ini bagi seorang Muslim bukanlah semata-mata fatwa untuk pegangan hati, bahkan hal yang wajib diperjuangkan untuk pegangan bernegara. Dengan sendirinya dalam jiwa setiap Muslim timbullah cita-cita atau ideologi hendak mencapai suatu masyarakat yang adil dan makmur di bawah naungan keridhaan Allah. Yang akan menjaga keadilan ialah sultan atau kekuasaan. Itu pula sebabnya jalan berpikir seorang Muslim tidak dapat me-misahkan di antara agama dan negara. Agama Islam mewajibkan menegakkan negara dan kekuasaan supaya keadilan terjamin. Keadilan dalam Islam bukanlah cita-cita yang akan dicapai nanti. Keadilan ialah untuk sekarang juga. Ideologi bernegara telah dirumuskan dengan jelas, nyata dan jitu oleh Abu Bakar ash-Shiddiq, Khalifah Nabi ﷺ, yang pertama. Kata beliau,
“Aku telah diangkat memimpin kamu, tetapi aku tidaklah seorang yang lebih baik daripada kamu semuanya. Orang yang merasa kuat di antara kamu adalah lemah di sisiku, sebab haknya akan aku ambilkan dari yang kuat. Sebab itu jika aku terdapat berjalan lurus berkata benar, tolonglah dan bantulah aku. Tetapi jika aku terpilih jalan yang salah lekas-lekas tegakkan aku ke dalam kebenaran."
PEGANGAN KEPERCAYAAN BERAGAMA
Ayat 136
“Wahai orang-orang yang beriman!Percayatah kepada Allah dan Rasul-Nya"
Di pangkal seruan yang pertama telah diseru orang yang beriman. Tetapi di pangkal yang kedua, diperintahkan sekali lagi supaya orang yang beriman itu percaya supaya orang yang beriman itu benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Setelah mengaku beriman, hendaklah diperdalam lagi sehingga dalam seluruh hidup hendaklah pupuk terus sehingga dia subur dan sehingga dia bertambah besar, lalu beranting berdahan, berdaun berbuah.
Sebab kalau tidak ada pemupukan, iman itu bisa jadi tinggal kerosong belaka. Kulit di luar seakan-akan masih berdiri tegak, padahal isi di dalam telah lapuk mumuk dimakan anai-anai atau rayap, setelah datang angin agak keras, dia pun tumbang. Pokok pertama iman ialah kepada Allah, kedua kepada Rasul yang diutus Allah memberikan bimbingan di dalam menempuh jalan Allah. “Dan Kitab yang telah pernah Dia turunkan kepada Rasul-Nya," yaitu Al-Qur'anul Karim. Sebab di dalam Kitab itulah dituliskan dan diperintahkan segala hukum, bimbingan, peraturan, ibadah, dan syari'at, menjadi tuntunan hidup bagi keselamatan dunia dan akhirat.
“Dan Kitab yang telah diturunkan sebelum itu." Dengan ajaran kepercayaan ini dapatlah dipahamkan bahwasanya seorang Muslim bukanlah berpaham sempit, tetapi mengakui kesatuan maksud dan tujuan ajaran sekalian Rasul. Baik Al-Qur'an atau jenis Kitab yang lain atau yang telah turun lebih dahulu, maksudnya hanya satu, yaitu menegakkan agama untuk tunduk taat kepada Allah dan jangan berpecah. Mengakui Allah adalah Esa dan manusia pun adalah satu. (Lihat surah as-Syura ayat 13)
“Dan barangsiapa yang tidak mau percaya kepada Allah dan malaikat-malaikat-Nya, dan kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya dan hari Kemudian, maka sesungguhnya sesatlah dia; sesat yang sejauh-jauhnya."
Dengan ayat ini jelaslah bahwa tiang pertama iman ialah kepercayaan tentang adanya Allah, dan tiang (rukun) kedua, percaya kepada adanya malaikat. Iman kepada adanya kitab-kitab suci yang diturunkan Allah kepada rasul-rasul, dengan perantaraan malaikat adalah tiang ketiga. Oleh rasul-rasul, perintah-perintah yang ada di dalam kitab-kitab disampaikan kepada manusia. Itulah tiang keempat. Iman kepada hari Akhirat, yaitu bahwasanya di belakang hidup yang sekarang ini akan ada lagi hidup yang kekal, bernama hari Akhirat adalah sebagai kandungan utama daripada kitab-kitab yang disampaikan oleh rasul-rasul. Itulah tiangkelima. Kalau ada orang yang hanya beriman dengan setengah kitab dan menolak kitab yang lain, atau hanya iman kepada setengah rasul dan tidak menerima rasul yang lain, padahal isi risalah itu hanya satu, sebagaimana orang Yahudi tidak mau mengimani Isa al-Masih dan Muhammad atau orang Nasrani yang tidak mau iman kepada Muhammad, semuanya itu yang mendinding mereka dari mengakui dan beriman lain tidak hanyalah karena fanatik atau taqlid belaka. Mereka tidak ada mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan buat menolak kebenaran Muhammad ﷺ, kecuali karena fanatik dan taqlid kepada yang telah diterima dari nenek moyang. Kemudian mereka susunlah berbagai berita dusta untuk menolak kepercayaan kepada Muhammad. Misalnya menuduh Islam disebarkan dengan pedang. Atau bahwa Nabi Muhammad mengharamkan daging babi sebab daging babi itu terlalu enak. Atau Nabi Muhammad mendirikan Daulah Islamiyah ialah sebagai kepala perampok. Atau mengatakan bahwa Nabi Muhammad beristri sampai 9 orang sebab hawa nafsunya sangat besar. Atau membuat propagarda bahwa orang Islam adalah menyembah Ka'bah; bahkan ada yang membuat kabar dusta bahwa dalam Ka'-bah ada berhala bernama Mahomet atau Mahound atau Tarfagart, dan sebagainya sehingga beratus-ratus tahun lamanya mereka mempertahankan diri dengan mengilmiahkan kedustaan!
Adapun seorang Muslim, berpeganglah mereka kepada tuntunan ayat ini. Yaitu bahwa mereka beriman kepada Allah, beriman kepada malaikat, beriman bahwa memang rasul-rasul Allah menerima kitab-kitab suci asli dari Allah, yang kandungan isinya yang asli adalah sama, yaitu mengajarkan keesaan Allah. Semua rasul adalah sama mulianya dan sama hormat Muslim kepadanya. Penghargaan kepada ke-25 Rasul yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an, tidaklah melebihkan yang satu daripada yang lain, meskipun Allah ada melebihkan yang satu dengan yang lain karena besar atau kecil tugas yang mereka pikul. Dalam pandangan Islam, barangsiapa yang mengimani separuh-separuh, misalnya percaya kepada adanya Allah, tetapi tidak percaya akan hari Akhirat, demikian juga yang lain-lain, niscaya tersesatlah dia dan jalan yang benar. Iman itulah yang membimbing kita kepada hidup yang lebih baik, untuk selamat dunia dari bahagia di akhirat Kalau ada rasul yang ditotak kebenarannya, niscaya sempitlah pandangan hidup, menolak seluruh keimanan ini adalah sesat yang nyata, atau sesat yang membawa langkah kepada akhir jauh yang jauh sekali, atau bertemu jalan buntu. Kalau ada di antara kelima kepercayaan ini yang ditolak, akal yang menolaknya adalah akal yang sengaja disempitkan. Itulah tanda bahwa orang ini tidak benar-benar menyerahkan dirinya kepada Allah.
Ayat 137
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, kemudian itu mereka kafir, kemudian beriman pula, kemudian kafir lagi, kemudian bertambah kekafirannya."
Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat ini ialah, “Dengan ayat ini Allah menceritakan orang yang mulanya masuk ke dalam iman, kemudian dia keluar kembali, sesudah itu dia masuk pula, sesudah itu keluar lagi, sesudah itu berterusanlah dia, bahkan bertambah-tambah kekafirannya.
“Maka sekali-kali tidaklah Allah akan memberi ampun kepada mereka dan tidak pula akan memberi mereka petunjuk kepada jalan yang benar."
Di sini kita melihat orang yang sebentar masuk sebentar keluar, masuk keluar pula, karena tidak ada pendirian yang tetap. Imannya yang pertama itu samalah di antara segala manusia. Semua orang bisa saja mengakui percaya kepada Allah, kepada rasul, kepada kitab-kitab dan malaikat. Semua orang pun akan bisa saja percaya bahwa memang akan ada lagi kehidupan hari akhirat, yang akan kita alami di balik kematian. Tetapi iman pada pengakuan yang pertama belumlah cukup kalau belum diresapkan, dimasukkan benar ke dalam hati.
Perhatikanlah kembali ayat 136 di atas tadi, lihatlah pangkal ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Percayatah kepada Allah dan Rasul-Nya dan Kitab yang telah pernah Dia turunkan kepada Rasul-Nya dan Kitab yang diturunkan sebelum itu." (sampai ke akhir ayat) Di sini dapat kita ambil kesimpulan bahwa pengakuan iman saja belum cukup. Pengakuan iman yang telah ada hendaklah dipupuk lagi, dan dipupuk lagi, tidak berhenti-henti. Kalau iman atau pengakuan yang pertama itu tidak dipupuk, terutama dengan mendekati Allah (taqarrub) dengan amal dan ibadah, iman pengakuan yang pertama tadi bisa saja luntur kembali. Kalau iman telah luntur, tidak lain kafirlah yang akan gantinya.
Di dalam beberapa ayat, dan yang jelas sekali ayat pertama dari surah al-'Ankabuut (laba-laba) dijelaskan, “Apakah manusia menyangka bahwa mereka akan dibiarkan saja mengakui beriman, padahal mereka tidak diberi percobaan?" Ayat memberi petunjuk bahwa salah satu pemupuk iman itu ialah percobaan. Banyak orang yang tidak tahan menerima percobaan, padahal dia mengakui beriman. Pada ayat 10 dari surah al-'Ankabuut itu juga diceritakan Allah tentang setengah manusia, yang mengaku beriman kepada Allah, tetapi apabila dia disakiti dalam dia menegakkan kepercayaan kepada Allah dianggapnyalah fitnah manusia sama dengan siksaan dari Allah.
Ayat 137 yang tengah kita renungkan ini adalah menceritakan tentang budi perangai setengah manusia, yang dalam beragama hanya ingin mencari enaknya saja. Dia mau beriman kalau iman akan menguntungkan kepadanya. Dia mau beriman kalau dia tidak kena cobaan. Kalau keuntungan tidak didapat, atau percobaan datang juga, kadang-kadang bertimpa-timpa cobaan itu, dia pun kafir kembali. Yang kentara sekali ialah mulainya dia melalaikan ibadah. Tetapi kalau ada pula orang yang mengajak, dia pun suka pula kembali mengakui jadi orang beriman. Tetapi karena iman yang kedua kali itu tidak juga dipupuk, mudah saja dia melompat jadi kafir kembali. Pada kafir yang kedua kali itu dia telah bertambah jauh dari iman, bahkan kafirnya akan bertambah-tambah. Dia tidak merasa ngeri lagi akan berbuat pelanggaran-pelanggaran perintah Allah. Kalau sudah begitu keadaannya, tertutuplah baginya pintu untuk mendapat ampunan Allah lagi dan kian lama kian gelaplah jalan yang ditempuhnya dan Allah tidak lagi akan menunjukinya jalan.
Di dalam ayat ini bertemulah kita dengan kebebasan manusia memilih jalan yang benar. Kebebasan itu diberi pula petunjuk. Petunjuk pertama ialah persediaan akal yang dianugerahkan Allah. Kedua ialah bimbingan yang dikirimkan dengan perantaraan nabi-nabi. Manusia bisa saja tersesat atau salah jalan dengan tidak senjaga. Namun apabila dia telah mendapat keterangan tentang yang salah dan yang benar. Bagaimana pun besar kesalahan yang diperbuat, asalkan yang bersalah itu insaf akan kesalahannya, lalu tobat dan berjanji di antara dirinya sendiri dengan Allah akan mulai menempuh jalan yang benar menurut tuntunan Allah, maka kesalahan yang selama ini akan diampuni oleh Allah. Tidak mungkin ada manusia yang tidak pernah bersalah. Tidak pula mungkin Allah yang mempunyai rahmat Mahaluas tidak mengampuni orang yang telah bertekad kembali kepada ajaran yang benar.
Tetapi kalau hati tidak mempunyai ketetapan, iradah kepada jalan kebajikan sangat lemah, sehingga sebentar iman sebentar kafir, sebentar iman dan sebentar kafir lagi, itu adalah bukti bahwa sikap jiwa selalu dalam kebimbangan, tidak mempunyai pendirian yang tetap dalam menuju jalan yang lurus dan kata yang benar.
Orang yang beginilah yang dinamai rrwd-zabdzab; tak berpendirian, bingung, linglung, lemah pribadi dan menggantungkan kekuatan kepada orang lain. Iman itu tidak pernah masuk ke dalam rongga hatinya, hanya sehingga permainan mulutnya.
Maka sudah sewajarnyalah menurut sun-natullah jika dosa orang itu tidak diampuni.
Dalam bahasa Arab ampunan itu disebut ghafara. Artinya asal ghafara atau ghufraan dalam bahasa kita ialah penghapusan. Artinya bahwa orang yang telah diampuni Allah dosanya ialah orang yang tidak berkesan lagi dalam dirinya dosa yang dahulu itu sebab sudah dihapuskan Allah. Sehingga lantaran kesadaran orang itu akan dirinya dan sesalnya atas kesalahan yang dahulu, dia pun berbuat baik sebanyak-banyaknya. Akhirnya berangsur-angsur diganti Allah corak hidupnya dari yang keruh kepada jernih, dari yang kusut kepada selesai, dari muka yang muram kepada wajah yang gembira berseri.
Dalam surah al-Furqaan (Pembeda) dari ayat 68, 69, 70, dan 71 Allah menerangkan bahwa orang yang berbuat salah satu dari tiga dosa-besar, yaitu mempersekutukan Allah dengan yang lain, membunuh sesama manusia atau dirinya sendiri, dan berzina, adalah berbuat dosa yang akan menerima adzab berlipat ganda di hari Kiamat dan kekal di neraka dalam keadaan hina. Tetapi kalau orang itu tobat, dan tobat diiringi dengan iman, dan iman dibuktikan dengan amal saleh, pastilah Allah akan mengganti kejahatan-kejahatannya itu dengan kebaikan-kebaikan. Karena Allah itu Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Penyayang.
Tetapi kalau mengaku beriman, tetapi tidak dipupuk sehingga terjatuh ke dalam kafir lagi, lalu kemudian beriman lagi, dan kafir pula, lalu bertambah-tambah kafir, pintu ampunan tertutuplah buat mereka dan jalan tidak akan ditunjuki lagi. Itulah inti sari dari ayat ini. Pada zaman kita sekarang ini, yang agama benar-benar terserah kepada kesadaran dan keyakinan seseorang, sehingga orang murtad pun tidak ada kekuasaan tertinggi selain Allah yang dapat menghukumnya sebagaimana tersebut di dalam hadits-hadits Rasulullah ﷺ dan kitab-kitab fiqih, hendaklah tiap orang yang tebal rasa tanggung jawabnya dalam agama membenteng dirinya sendiri dan keluarganya dan orang yang terdekat kepadanya dari penyakit semacam ini.
GEMBIRA BUAT YANG MUNAFIK?
Ayat 138
“Gembirakanlah orang-orang yang munafik itu, bahwa untuk mereka adalah adzab siksaan yang pedih."
Gembirakanlah, atau berilah kabar suka kepada orang munafik itu. Dipakai kalimat Basysyir, yang berarti kabar gembira. Disuruh Rasulullah ﷺ menyampaikan kabar gembira itu kepada si munafik adalah sebagai suatu ejekan karena mereka menempuh jalan yang salah dalam kehidupan mereka, dengan maksud hendak mencari keuntungan di belakang hari bila mengelak dari jalan yang benar. Padahal siksaan yang pedihlah yang pasti akan mereka hadapi. Dengan susun kata seperti ini nyatalah bahwa pengharapan mereka itu hampa adanya.
6. (Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir jadi pemimpin-pemimpin, yang bukan dari orang-orang beriman. Apakah mereka hendak mencari kemuliaan dari sisi mereka itu? Padahal sesungguhnya kemuliaan itu adalah bagi Allah belaka? akan memberikan suatu jalan pun untuk orang-orang yang kafir, terhadap orang-orang yang beriman.
7. Dan sesungguhnya Dia telah turunkan kepada kamu dalam Kitab ini, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah, dia tidak akan dipercayai dan dia akan diolok-olokkan. Maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan lainnya, sesungguhnya kamu, di waktu itu; sudah seumpama mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang yang munafik dan orang-orang yang kafir di dalam Jahannam semua sekali.
8. (Mereka itu ialah) orang-orang yang menunggu-nunggu (perubahan) atas kamu. Maka jika ada bagi kamu satu kemenangan dari Allah, mereka pun berkata, “Bukankah kami ini pun beserta kamu?" Akan tetapi jika ada bagi orang-orang yang kafir itu bagian, mereka pun berkata, “Bukankah kami telah menunjuki atas kamu dan telah merintangi kamu dari orang-orang yang beriman itu?" Maka Allah akan memutuskan dt antara kamu di hari Kiamat. Dan sekali-kali tidaklah Allah
Karena tidak ada imannya kepada Allah, kepercayaannya kepada orang yang beriman pun tidak ada. Mereka terpukau dan terpesona oleh orang-orang yang kafir. Oleh sebab itu, lanjutan ayat menjelaskan lagi siapa dia orang munafik yang diberi kabar gembira dengan siksaan jahannam itu,
Ayat 139
“(Yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir jadi pemimpin-pemimpin."
Mereka lebih suka dan lebih percaya menyerahkan pimpinan hidupnya kepada orang yang kafir. “Bukan dari orang-orang yang beriman." Dari sebab rasa rendah harga diri. “Apakah mereka hendak mencari kemuliaan dari sisi mereka itu?" Apa benarkah yang mereka harapkan dari orang kafir sehingga mereka tidak mau meletakkan kepercayaan kepada orang yang beriman, padahal mereka mengaku beriman? Kalau pimpinan diserahkan kepada orang kafir, ke manakah mereka hendak dibawa oleh orang kafir? Niscaya kepada kafir pula, bukan? Apabila iman sudah lemah, akan banyaklah bertemu hal ini. Lihatlah di zaman kita sekarang, banyak orang yang mengaku Islam menyerahkan pendidikan anak-anaknya ke sekolah-sekolah Kristen. Padahal sekolah-sekolah Kristen adalah sambungan dari Perang Salib dahulu, yang memang ditujukan buat mengkristenkan anak-anak Islam. Ayah bunda yang menyerahkan anaknya ke sekolah Kristen lebih percaya kepada sekolah-sekolah itu. Karena katanya pendidikan anak-anaknya akan lebih sempurna jika dimasukkan ke sana. Beratus bahkan beribu orang tua Islam yang tidak sadar telah berbeda agama dengan anak-anaknya. Akhirnya diamenyesal padasaattidak
ada faedahnya penyesalan lagi. Kebanyakan mereka mencela dan menghina pendidikan kaumnya sendiri. Padahal dia tidak turut berusaha, seakan-akan kaum dan umatnya itu dipandangnya orang lain. Munafik-munafik semacam inilah yang melemahkan Islam karena mereka mengharapkan kemuliaan dan kemegahan dunia. Katanya supaya pendidikan anak-anaknya sempurna dan tinggi. Akhirnya hinalah dia sebagai bangsa.
“Padahal sesungguhnya kemuliaan itu adalah bagi Allah belaka."
Mereka mengambil pimpinan dari kaum kafir. Mereka memandang bahwa segala yang datang dari kafir itu segala baik dan yang datang dari Islam segala buruk, namun mereka masih mengaku beragama Islam. Di zaman jajahan orang seperti ini merasa diri mulia bila dia berdekat dengan orang kafir dan pemerintahan kafir. Orang ini pulalah yang menjadi penghalang kemerdekaan. Setelah merdeka, mereka pula yang menjadi penghalang besar kalau peraturan Islam akan dijalankan dalam masyarakat kaum Muslimin. Padahal kemudian ternyata bahwa kemuliaan yang mereka cari itu tidak bertemu. Yang bertemu hanyalah kehinaan. Kehinaan karena jiwa yang tidak mempunyai tempat berpegang. Jiwa mereka sampai demikian terbalik, karena penilaian atas sesuatu tidaklah lagi mencari isi, melainkan mencari kulit.
Mereka menyangka bahwa yang dikatakan kemuliaan itu ialah rumah yang mewah, kendaraan yang bagus, kekayaan harta benda yang melimpah-limpah, dan pangkat atau kedudukan yang tinggi di sisi orang-orang yang membenci agama mereka. Mereka merasa kalau mereka konsekuen mempertahankan iman dan berjuang menegakkan kehendak Allah, mereka akan terpencil atau akan diisolasi orang. Mereka bertanya, apa yang akan kita dapat, kalau kita tidak bertolak angsur sedikit juga dengan orang kafir? Apa yang dapat diberikan oleh orang yang beriman itu kepada kita? Lantaran itu mereka terimalah segala tawaran yang menggelora dan mempesonakan dari pihak kafir, walaupun agamanya tergadai. Dia mendapat kemuliaan Saraab (fatamorgana) dan agamanya tertindas. Bertambah lama bertambah kaburlah penilaian mereka terhadap kemuliaan pemberian Allah. Yaitu kemuliaan hidup, harga diri dan gengsi di sisi Allah dan di sisi umat yang sadar, karena dibawa hanyut oleh arus kemegahan dan kemuliaan di sisi yang palsu.
Penulis Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Yang dimaksud dengan ini ialah membangkitkan kesadaran dalam jiwa agar kalau hendak mencari kemuliaan carilah kemuliaan yang di sisi Allah dan menghadapkan segenap perhatian kepada ibadah pengabdian kepada Allah, dan masuk dalam barisan hamba-hamba Allah yang beriman. Karena dalam barisan itulah akan tercapai kemenangan abadi pada hidup di dunia ini dan pada hari berdirinya kesaksian kelak!"
Berkata al-Hakim, “Ayat ini menunjukkan atas wajibnya mencari pimpinan dan teman dari orang-orang yang beriman, dan dilarang memberikan pimpinan kepada orang kafir."
Berteman dengan orang kafir tidaklah terlarang. Bahkan orang kafir, sebagai Ahlul Kitab yang berlindung di bawah kekuasaan pemerintahan Islam, wajib dijamin keamanannya. Tetapi menyerahkan pimpinan, terutama dalam hal yang akibatnya akan menyinggung agama, itulah yang wajib dipantangkan.
JAGA KEHORMATAN AGAMA
Salah satu hal yang akan membawa orang jadi munafik ialah kalau dia duduk dalam satu majelis bersama-sama orang yang tidak percaya kepada ajaran Islam, lalu orang-orang itu memperkatakan Islam dengan cara mencemooh. Di Mekah dahulu, ketika kaum beriman masih lemah dan bilangannya sedikit, Allah memberi ingat supaya orang yang
beriman itu jangan duduk dalam majelis itu. Kalau pembicaraan mulai meremehkan Islam, lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Hal ini diperingatkan Allah dalam surah al-An'aam yang diturunkan di Mekah. (Lihat surah al-An'aam, surah ayat 68) Sekarang sudah pindah kaum Muslimin ke Madinah. Di Madinah cemooh dan ejekan kepada Islam akan terdengar lagi dari orang Yahudi. Orang-orang munafik sebagai golongan Abdullah bin Ubay pun senang duduk di dalam majelis yang demikian karena memang hati mereka masih “sebelah iman, sebelah kafir". Lalu datanglah ayat ini.
Ayat 140
“Dan sesungguhnya Dia telah turunkan kepada kamu dalam Kitab ini."
Yaitu apa yang telah diturunkan dalam surah al-An'aam itu, “Bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah, dia tidak akan dipercayai dan dia akan diolok-olokkan." Misalnya dalam majelis itu ada yang membaca ayat-ayat Allah, niscaya orang yang beriman mendengarkan dengan ketekunan karena percaya akan bunyi firman Allah, atau ada pembicaraan mengenai agama. Orang-orang kafir yang ada dalam majelis ada yang sengaja menantang dan menyatakan tidak percaya saja, dan ada yang mengolok-olok saja, ada yang sekali keduanya. Maka untuk menjaga jangan sampai terjadi keonaran, datanglah peringatan Allah, “Maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan lainnya." Artinya tinggalkanlah majelis itu. Karena kalau kamu duduk juga di situ, salah satu akan terjadi. Kalau kamu lemah, karena tenggang-menenggang, kamu pun turut pula berdiam diri. Berdiam diri itu bisa diartikan orang tanda setuju atau tanda lemah. Melihat kamu lemah, mereka tentu akan bertambah berbuat sikap yang akan lebih menyakitkan hati kamu. Kalau kamu tetap juga duduk di situ, tidak menjawab dan tidak membantah, “Sesungguhnya kamu, di waktu i tv, sudah seumpama mereka."
Tegasnya, kalau kamu merasa enak juga duduk dalam majelis kafir yang tidak beradab itu, niscaya kamu telah seumpama mereka pula. Kamu mengakui diri orang Islam, tetapi sikapmu tidak berani menyanggah laku tidak sopan dari kafir itu, niscaya kamu menjadi munafik. Maka tegas Allah berfirman,
“,Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan orang-orang yang munafik dan oiang-orang yang kafir di dalam Jahannam, semua sekali."
Derajat orang munafik telah disamakan dalam ayat ini dengan orang kafir, karena kelemahan hatinya, karena dia masih menongkrong juga duduk dalam majelis orang-orang yang terang-terang menolak dan mengolok-olok ayat Allah.
Nanti sebentar lagi, dalam ayat 145 akan diterangkan bahwa dalam neraka Jahannam itu tempat duduk orang munafik terletak di dasar yang di bawah sekali. Kalau kita pikirkan dapatlah kita maklumi bahwa jiwa orang munafik lebih rendah daripada jiwa orang kafir. Kafir terang menentang, sedang munafik tak dapat menyatakan pendirian yang tegas.
Berkenaan dengan orang yang mengaku beriman masih saja duduk dalam majelis yang menolak ayat Allah dan mencemoohkannya, sudah datang terlebih dahulu perintah. Pada ayat 68 dari surah al-An'aam belumlah sekeras perintah dalam ayat ini. Sebab dalam surah al-An'aam ayat 68 larangan itu masih agak lunak. Orang yang telah lupa karena dikacaukan oleh setan, bila telah sadar akan dirinya, disuruh segera meninggalkan majelis itu. Tetapi di sini larangan sudah lebih keras. Siapa yang duduk juga dalam majelis demikian, dicap Allah sama derajatnya dengan orang-orang kafir dan sama masuk neraka. Sebabnya ialah karena masa di Mekah orang beriman masih lemah dan kecil jumlahnya. Golongan Quraisy musyrik jahiliyyah masih besar. Kerap kali mereka duduk membicarakan hal-hal yang menyinggung kesucian Islam. Pada perintah di Mekah itu orang Islam diberi peringatan, bahwa kalau mau melihat musuh-musuh Islam itu berbicara soal-soal demikian, lebih baik menghindar dari sana. Kalau terpaksa duduk juga, hendaklah setelah ingat lekas-lekas tinggalkan tempat itu. Sekarang setelah berada di Madinah dan masyarakat Islam telah terbentuk, larangan itu diperkeras: dicap munafik siapa yang masih duduk juga di sana.
Berkata as-Samarqandi dalam tafsirnya, “Ayat ini memberikan dalil bahwa orang yang duduk dalam satu majelis yang berbuat maksiat, dan tidak menunjukkan sanggahanz-nya, turutlah dia bertanggung jawab atas dosa-dosa yang dilakukan oleh orang-orang itu. Sebab itu wajiblah dia menyatakan sanggahan terhadap perkataan atau perbuatan-perbuatan maksiat orang-orang itu. Kalau dia tidak sanggup, hendaklah segera tinggalkan majelis itu sehingga dia terlepas dari tuntutan ayat ini."
Menulis pula Ibnu Fars dalam kitabnya al-Iklil, “Dari ayat ini sebagian ulama mengambil dalil bahwa wajib menjauhi orang-orang yang berbuat maksiat dan yang memperturutkan hawa nafsu." Kemudian datang ayat selanjutnya yang menerangkan apa sebab orang-orang seperti demikian wajib dijauhi?
Ayat 141
“(Mereka itu ialah) orang-orang yangmenunggu-nunggu (perubahan) atas kamu."
Mereka adalah menilik ke mana kerasnya angin. Mereka selalu menunggu perubahan atau situasi kamu, menunggu kesempatan kalau ada yang akan menguntungkan mereka. Inilah yang kita di zaman sekarang menamai-nya oportunis tunggu kesempatan! “Maka jika ada bagi kamu satu kemenangan dari Allah, mereka pun berkata, ‘Bukankah kami ini pun beserta kamu?'“
Melihat kaum Muslimin yang memperjuangkan cita-cita telah beroleh kemenangan dalam cita-citanya, mereka pun segera mengangkat mulut bahwa mereka pun turut dalam kemenangan itu, sampai bertanya, “Bukankah kami ini pun beserta kamu? Bukankah kami ini kawan kamu? Kami pun turut berjuang, yang begini dan begitu. Waktu itu pun kami turut mengatur siasat, cuma kami tidak gembar-gembor. Dan kami minta bagian dan keuntungan."
“Akan tetapi jika ada bagi orang-orang kafir itu bagian," di dalam kalimat ini bagi orang kafir tidak disebut kemenangan, melainkan bagian. Meski pun misalnya dalam Peperangan Uhud orang kafir beroleh kemenangan, itu bukanlah kemenangan, melainkan bagian saja dalam kebiasaan perang, yang sekali-sekali penyerbuan mereka pun berhasil sebab adat perang adalah sekali di sini sekali di sana. Sedangkan ketentuannya adalah pada kemenangan terakhir. Itu bukanlah kemenangan, sebab yang mereka perjuangkan adalah yang batil. “Mereka berkata, Bukankah kami telah menunjuki atas kamu dan telah merintangi kamu dari orang-orang yang beriman itu?"
Demi mereka lihat orang yang memerangi Islam satu-satu kali berhasil dan beruntung, kepada orang itu pula mereka datang dan mengatakan bahwa kemenangan yang mereka peroleh dalam memerangi orang-orang yang mengaku beriman kepada risalah Muhammad itu, ialah karena usaha mereka juga. “Kami yang telah menunjukkan kepada kamu di mana segi-segi kelemahan pertahanan orang-orang Islam itu. Kami rintangi perjalanan mereka, kami sekat dan gagalkan rencana mereka. Kalau tidak usaha kami, tidaklah kalian akan menang! Sebab itu kami pun minta pembagian keuntungan!" Datanglah lanjutan ayat guna mengobat hati kaum Muslimin yang berjuang, “Maka Allah akan memutuskan di antara kamu di hari Kiamat"
Kalimat ini adalah obat penawar hati dari Allah kepada kaum Muslimin di atas dataran bumi ini, untuk selama-lamanya. Sejak zaman Rasul sampai dunia ini masih ter-kembang. Sebab dalam setiap perjuangan mesti akan timbul orang seperti ini. Di waktu perjuangan Islam masih bermulai, belum lagi tentu kalah dan menang, mereka menjauh-jauh menunggu hasil. Kalau tampaknya berhasil, mereka pun mendekat lalu mendabik dada mengemukakan bahwa mereka pun berjasa pula. Tetapi kalau dilihatnya pihak lawan yang dapat bagian, mereka pun segera menyeberang ke pihak lawan itu, mengatakan bahwa mereka pun berjasa kepada lawan itu. Mereka selama ini mendekati orang yang beriman hanyalah karena hendak mengetahui segi-segi kelemahannya, “Tuan lihat sendiri, kami tidaklah campur dengan mereka! Sebab kami sudah yakin mereka tidak akan menang menghadapi tuan-tuan." Orang seperti ini akan menang terus!
Sepilah perjuangan dalam dunia ini kalau tidak ada orang-orang seperti itu. Guna menguji keteguhan hati orang-orang yang berjuang dengan ikhlas karena Allah, Sebab itu janganlah diharapkan bahwa hal-hal ini tidak akan ada lagi. Ketahuilah bahwa ketika air bah sedang naik, sarap dan sampahlah yang merapung ke atas. Tetapi kalau air bah telah turun barulah kelihatan batu-batu. Sebab itu berjuanglah terus, wahai orang-orang yang percaya akan kebenaran dan kesucian perjuangannya. Teguhkanlah hatimu menghadapi golongan yang seperti demikian. Golongan begitu tidak akan hilang dari dunia ini. Berjuang terus! Nanti di akhirat kamu akan mendapat keputusan yang sebenarnya dari Allah. Dan di akhir ayat Allah berfirman,
“Dan sekali-kali tidaklah Allah akan memberikan satu jalan pun untuk orang-orangyang kafir, terhadap orang-orang yang beriman."
Artinya, apabila orang-orangyang beriman betul-betul berjuang karena dorongan imannya, demi tidaklah ada satu jalan terluang bagi orang kafir untuk menghambat langkahnya, dia akan jalan terus, segala kesulitan akan dapat diatasinya. Orang-orang kafir ataupun munafik akan berganti-ganti datang, dengan rencana barunya. Gagal rencana pertama, mereka tukar dengan rencana kedua. Gagal yang kedua, mereka tukar dengan rencana ketiga, dan seterusnya. Namun Mukmin jalan terus. Bila tewas atau syahid seorang, datanglah pula gantinya sepuluh lagi, dan seratus lagi. Akhirnya kebenaran jualah yang menang. Dan segala rintangan perintang, hambatan penghambat, hanya menjadi tambahan bukti saja atas benarnya masalah yang diperjuangkan oleh orang yang beriman itu.
Allah memberi jaminan yang tegas kepada orang-orang beriman, bahwa selama mereka masih teguh iman kepada Allah, maka Allah sekali-kali tidak akan membuka jalan untuk orang kafir akan mengalahkan orang yang beriman. Supaya kita jangan sampai tenggelam dalam angan-angan, janganlah sampai kita salah memahamkan ayat ini. Mentang-mentang sudah mengaku beriman, padahal tidak berusaha dan tidak bersiap, kita menyangka kafir tidak akan mendapat jalan mengalahkan kita. Barulah jaminan Allah itu berlaku, dan kita terpelihara dari serbuan musuh, baik mengenai negeri kita maupun mengenai aqidah kita, kalau kita selalu siap dan waspada dan mengetahui serta mengamalkan ajaran Islam sejati dalam kehidupan kita. Kalau benteng iman kita telah kosong dan tinggal kerosong saja, janganlah heran jika pihak kafir terbuka jalan buat menyerang kita.
Dua kali kekalahan perang di zaman Rasul. Pertama dalam Peperangan Uhud karena ada tentara Islam yang melanggar disiplin dan sejak bermula perang telah ada yang munafik. Setelah disiplin ditegakkan kembali, kekalahan dapat dibendung.
Kekalahan yang kedua ialah dalam Peperangan Hunain. Kesalahan terbesar ialah karena bangga dengan banyak bilangan. Padahal bilangan banyak itu adalah karena tambahan orang-orang yang turut berbondong-bondong pergi berperang, padahal belum berpengalaman. Dan kebanyakan mereka mengharapkan mendapat harta rampasan. Di kedua peperangan itu Rasulullah ﷺ tetap bertahan dengan gagah berani dan tidak kehilangan akal (panik) sehingga kekalahan dapat dibendung dan kemenangan dapat dicapai.
Oleh sebab itu, janji Allah yang tersebut dalam ayat ini, bahwa Allah sekali-kali tidak akan membuka jalan bagi kaum kafir buat mengalahkan kaum yang beriman, ialah apabila kaum yang beriman itu memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Allah.
Mari setiap kita yang telah berjanji dengan Allah dan dengan diri sendiri, akan melanjutkan perjuangan Nabi Muhammad ﷺ di dalam dunia ini memerhatikan benar-benar tuntunan ayat ini. Segala jalan yang diatur oleh musuh-musuh kita akan digagalkan Allah, asai kita selalu belajar dari pengalaman-pengalaman orang yang terdahulu dari kita, baik di waktu kita sendiri beroleh kemenangan, maupun di waktu musuh-musuh itu sendiri sekali-sekali diberi Allah bagian dan kesempatan.