Ayat
Terjemahan Per Kata
وَيَسۡتَفۡتُونَكَ
dan mereka minta fatwa kepadamu
فِي
dalam/tentang
ٱلنِّسَآءِۖ
perempuan
قُلِ
katakanlah
ٱللَّهُ
Allah
يُفۡتِيكُمۡ
memberi fatwa kepadamu
فِيهِنَّ
tentang mereka
وَمَا
dan apa yang
يُتۡلَىٰ
dibacakan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فِي
dalam
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
فِي
dalam/tentang
يَتَٰمَى
anak-anak yatim
ٱلنِّسَآءِ
perempuan
ٱلَّـٰتِي
yang
لَا
tidak
تُؤۡتُونَهُنَّ
kamu memberikan pada mereka
مَا
apa
كُتِبَ
ditetapkan
لَهُنَّ
bagi mereka
وَتَرۡغَبُونَ
dan kamu suka/ingin
أَن
akan
تَنكِحُوهُنَّ
kamu menikahi mereka
وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ
dan yang lemah-lemah
مِنَ
dari
ٱلۡوِلۡدَٰنِ
anak-anak
وَأَن
dan akan
تَقُومُواْ
mengurus
لِلۡيَتَٰمَىٰ
untuk anak-anak yatim
بِٱلۡقِسۡطِۚ
dengan adil
وَمَا
dan apa
تَفۡعَلُواْ
kalian kerjakan
مِنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebaikan
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
بِهِۦ
dengannya
عَلِيمٗا
Maha Mengetahui
وَيَسۡتَفۡتُونَكَ
dan mereka minta fatwa kepadamu
فِي
dalam/tentang
ٱلنِّسَآءِۖ
perempuan
قُلِ
katakanlah
ٱللَّهُ
Allah
يُفۡتِيكُمۡ
memberi fatwa kepadamu
فِيهِنَّ
tentang mereka
وَمَا
dan apa yang
يُتۡلَىٰ
dibacakan
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
فِي
dalam
ٱلۡكِتَٰبِ
Kitab
فِي
dalam/tentang
يَتَٰمَى
anak-anak yatim
ٱلنِّسَآءِ
perempuan
ٱلَّـٰتِي
yang
لَا
tidak
تُؤۡتُونَهُنَّ
kamu memberikan pada mereka
مَا
apa
كُتِبَ
ditetapkan
لَهُنَّ
bagi mereka
وَتَرۡغَبُونَ
dan kamu suka/ingin
أَن
akan
تَنكِحُوهُنَّ
kamu menikahi mereka
وَٱلۡمُسۡتَضۡعَفِينَ
dan yang lemah-lemah
مِنَ
dari
ٱلۡوِلۡدَٰنِ
anak-anak
وَأَن
dan akan
تَقُومُواْ
mengurus
لِلۡيَتَٰمَىٰ
untuk anak-anak yatim
بِٱلۡقِسۡطِۚ
dengan adil
وَمَا
dan apa
تَفۡعَلُواْ
kalian kerjakan
مِنۡ
dari
خَيۡرٖ
kebaikan
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah Dia
بِهِۦ
dengannya
عَلِيمٗا
Maha Mengetahui
Terjemahan
Mereka meminta fatwa kepada engkau (Nabi Muhammad) tentang perempuan. Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Qur’an tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu (maskawin) yang ditetapkan untuk mereka, sedangkan kamu ingin menikahi mereka, serta (tentang) anak-anak yang tidak berdaya. (Allah juga memberi fatwa kepadamu) untuk mengurus anak-anak yatim secara adil. Kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.
Tafsir
(Dan mereka minta fatwa kepadamu) mohon agar mereka diberi fatwa (tentang) keadaan (wanita) dan pembagian warisan mereka. (Katakanlah) kepada mereka!, ("Allah akan memberi fatwa kepada kamu tentang mereka itu, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Kitab) yakni Al-Qur'an berupa ayat warisan, juga memfatwakan padamu (tentang wanita-wanita yatim yang tidak kamu beri apa yang telah diwajibkan) (sebagai hak mereka) berupa pusaka (sedangkan kamu tak ingin) hai para wali (untuk mengawini mereka) disebabkan derajat mereka yang rendah atau paras mereka yang buruk, dan kamu halangi kawin karena mengharapkan harta warisan mereka itu. Maksudnya Allah mengeluarkan fatwa yang berisi supaya kamu jangan melakukan itu (dan) tentang (golongan yang dianggap lemah) atau masih kecil (di antara anak-anak) agar kamu berikan kepada mereka hak-hak mereka (dan) disuruhnya kamu (agar mengurus anak-anak yatim secara adil) dalam soal harta warisan dan maskawin. (Dan apa juga yang kamu kerjakan berupa kebaikan, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya.") hingga akan membalasnya.
Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, "Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur'an (juga memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kalian tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedangkan kalian ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh) supaya kalian mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kalian kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya."
Tafsir:
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abu Usamah yang mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Siti Aisyah sehubungan dengan firman-Nya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, ‘Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka’." (An-Nisa: 127) sampai dengan firman-Nya: “Sedangkan kalian ingin mengawini mereka.” (An-Nisa: 127); Maka Siti Aisyah mengatakan, "Hal ini menyangkut seorang lelaki yang memelihara anak yatim perempuan, sedangkan dia sebagai wali dan ahli warisnya sekaligus. Karena itu, si anak yatim berserikat dengannya dalam harta benda sampai dalam pokoknya. Maka ia berminat untuk mengawininya dan tidak suka bila si anak yatim dikawini oleh lelaki lain yang akibatnya lelaki lain itu akan ikut berserikat dengannya dalam harta bendanya, lalu ia bersikap mempersulit anak yatim itu. Maka turunlah ayat ini."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Kuraib dan Abu Bakar ibnu Abu Syaibah, keduanya dari Abu Usamah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa ia pernah belajar kepada Muhammad ibnu Abdullah ibnul Hakam yang mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Ibnu Syihab, telah menceritakan kepadaku Urwah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa Siti Aisyah mengatakan, "Orang-orang meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ mengenai masalah yang menyangkut mereka. Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah, 'Allah memberi fatwa kepada kalian tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepada kalian dalam Al-Qur'an (juga memfatwakan)'.” (An-Nisa: 127) hingga akhir ayat. Siti Aisyah mengatakan, "Yang dimaksud dengan apa yang disebutkan oleh Allah di dalam Al-Qur'an ialah ayat yang ada pada permulaan surat, yaitu firman-Nya: 'Dan jika kalian takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kalian mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kalian senangi'.”(An-Nisa: 3).
Menurut sanad yang sama juga dari Siti Aisyah disebutkan bahwa yang dimaksud dengan firman Allah ﷻ: “Sedangkan kalian ingin mengawini mereka.” (An-Nisa: 127) ialah keinginan seseorang di antara kalian untuk mengawini anak yatim perempuan yang ada di dalam pemeliharaannya, sekalipun anak yatim itu sedikit hartanya dan tidak cantik.
Dengan ayat ini mereka dilarang mengawini anak yatim perempuan yang mereka sukai karena hartanya dan karena kecantikannya, kecuali melalui jalan yang adil, sebagai bukti dari rasa cinta mereka kepada anak-anak yatim perempuan itu. Asal riwayat ini disebut di dalam kitab Shahihain melalui jalur Yunus ibnu Yazid Al-Aili. Makna yang dimaksud ialah bila seorang lelaki mempunyai seorang anak yatim perempuan yang ada dalam pemeliharaannya lagi halal ia kawini, dan adakalanya ia menyukai untuk mengawininya, maka Allah memerintahkan kepadanya agar memberinya mahar yang serupa dengan wanita lainnya.
Jika ia tidak mampu melakukan hal tersebut, hendaklah ia mengurungkan niatnya dan kawin dengan wanita lain yang dalam hal ini Allah ﷻ memberikan keleluasaan baginya. Pengertian inilah yang tersimpul dari ayat permulaan (yakni An-Nisa ayat 3). Adakalanya ia tidak mempunyai keinginan untuk mengawininya, misalnya karena rupanya yang tidak cantik menurutnya atau memang sejak semula dia tidak mempunyai hasrat kepadanya. Maka melalui ayat ini Allah melarangnya bersikap mempersulit si anak yatim untuk kawin dengan lelaki lain karena dorongan rasa khawatir bila hartanya yang merupakan milik bersama antara dia dan si anak yatim dimasuki oleh orang yang ketiga, yaitu suami dari anak yatim itu.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya yang mengatakan, "Yataman nisa” (anak-anak perempuan yatim), disebut di dalam surat An-Nisa ayat 127, hingga akhir ayat. Ibnu Abbas mengatakan bahwa seseorang lelaki di zaman Jahiliah, bila ia mempunyai anak yatim perempuan yang ada di dalam pemeliharaannya, lalu ia melemparkan kain kepadanya, berarti tidak ada seorang lelaki pun yang dapat mengawininya untuk selamanya. Jika anak yatim tersebut cantik, lalu ia menyukainya, maka ia mengawininya dan memakan hartanya. Jika si anak yatim tidak cantik, maka ia melarangnya kawin dengan lelaki lain hingga mati. Apabila si anak yatim mati, maka ia mewarisi hartanya. Tradisi seperti ini dilarang oleh Allah ﷻ dan diharamkan.
Firman Allah ﷻ: “Dan tentang anak-anak yang dipandang masih lemah.” (An-Nisa: 127)
Dahulu di masa Jahiliah mereka tidak memberikan warisan kepada anak-anak, tidak pula kepada anak-anak perempuan. Seperti yang tersirat di dalam makna firman-Nya: “Yang kalian tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka.” (An-Nisa: 127) Maka Allah ﷻ melarang hal tersebut, dan menjelaskan bagi masing-masing orang bagiannya tersendiri (dari harta warisan). Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan.” (An-Nisa: 11)
Baik ia masih kecil ataupun sudah dewasa, semuanya beroleh warisan dengan ketentuan ini.
Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnu Jubair dan lain-lainnya.
Sa'id ibnu Jubair mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “Dan (Allah menyuruh) supaya kalian mengurus anak-anak yatim secara adil.” (An-Nisa: 127) Dengan kata lain, sebagaimana bila anak yatim itu cantik lagi berharta, lalu ia mengawininya dan memperhatikan kemaslahatannya; demikian pula bila si anak yatim tidak cantik dan tidak berharta, maka ia harus mengawininya dan memperhatikan kemaslahatannya.
Firman Allah ﷻ: “Dan kebajikan apa saja yang kalian kerjakan, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya.” (An-Nisa: 127)
Makna ayat ini menggugah mereka untuk mengerjakan kebaikan dan mengerjakan hal-hal yang diperintahkan, karena Allah ﷻ mengetahui semuanya dan kelak Dia akan memberikan balasan pahalanya dengan balasan yang berlimpah lagi sempurna.
Dan mereka meminta fatwa, yaitu penjelasan hukum, kepadamu, wahai Muhammad, tentang berbagai persoalan hukum yang terkait dengan perempuan-perempuan, seperti hak dan kewajiban mereka sebagai istri. Katakanlah, wahai Muhammad, Bukan aku yang memberi fatwa, tetapi Allah memberi fatwa kepada kamu tentang mereka, dan juga apa yang dibacakan kepadamu dalam al-Kitab, yaitu Al-Qur'an, memfatwakan tentang para perempuan yatim yang tidak kamu berikan sesuatu yang ditetapkan untuk mereka, seperti mahar yang wajar bagi mereka dan harta warisan yang merupakan hak mereka, sedang kamu ingin menikahi mereka karena kecantikan dan kekayaan mereka, dan kamu tidak membayar mahar-mahar mereka dengan sempurna dan Allah memberi fatwa pula kepadamu tentang anak-anak yang masih dipandang lemah untuk diberikan hak-hak mereka. Dan Allah menyuruh kamu agar mengurus anak-anak yatim secara adil dalam soal harta waris dan mahar mereka. Dan kebajikan apa pun yang kamu kerjakan, termasuk sikap adil kamu dalam memberikan hak-hak mereka, sesungguhnya Allah selamanya, sejak dahulu hinga sekarang dan akan datang, Maha Mengetahui. Dan jika seorang perempuan, yaitu istri, khawatir suaminya akan melakukan nusyuz (lihat Surah an-Nisa'/4: 34), yaitu sikap kebencian suami terhadap dirinya, aki-bat sikapnya yang buruk, usianya yang lebih tua dari suaminya, atau karena suami menginginkan perempuan lain yang lebih muda dan lebih cantik daripadanya yang mengakibatkan suami meninggalkan kewajibannya selaku suami, tidak memberikan nafkah lahir dan batin, melakukan tindakan kekerasan, dan tindakan-tindakan lainnya yang dapat mengancam keselamatan dirinya, atau khawatir suaminya bersikap tidak acuh dan berpaling dari dirinya, bahkan meninggalkannya yang dapat menyebabkan ikatan perkawinannya terancam putus, maka untuk mengatasi dan menyelesaikan persoalan tersebut keduanya dapat mengadakan musyawarah untuk mencapai perdamaian dan kesepakatan yang sebenarnya, seperti dengan cara mengurangi sebahagian dari hak-hak istri, seperti nafkah, pakaian, dan lainnya dengan harapan suami dapat kembali kepadanya. Kesepakatan dan perdamaian yang diusahakan, itu lebih baik bagi keduanya daripada perceraian, walaupun pada hakikatnya manusia itu, baik suami maupun istri, menurut tabiatnya sama-sama kikir, yaitu bahwa istri hampir hampir tidak mau menerima pengurangan hak-haknya atas nafkah lahir dan batin, dan sementara suami hampir-hampir tidak mau lagi berbagi atau kembali kepada istrinya, apalagi kalau suami sudah mencintai dan menginginkan wanita lain. Dan jika kamu bersikap baik dan memperbaiki pergaulan de-ngan istrimu dan memelihara dirimu dari nusyuz, sikap acuh tak acuh, dan sikap-sikap lain yang menimbulkan dosa, maka sungguh, Allah Ma-hateliti dan Maha Mengetahui terhadap apa yang kamu kerjakan dan memberimu balasan yang lebih baik.
Sejarah telah melukiskan bahwa orang-orang Arab jahiliah pada masa turunnya ayat ini memandang rendah kedudukan perempuan, orang yang lemah dan anak yatim, seakan-akan mereka adalah makhluk yang tidak ada artinya, tidak dapat memiliki sesuatu pun, bahkan mereka sendiri boleh dimiliki dan diperjualbelikan sebagaimana memiliki dan memperjualbelikan barang. Turunnya ayat-ayat pertama sampai dengan ayat 36 Surah An-Nisa' yang memerintahkan agar menjaga hak-hak orang tersebut, mengagetkan orang-orang Arab, karena perintah itu tidak sesuai, bahkan bertentangan dengan adat kebiasaan mereka. Karena itu timbullah di dalam pikiran mereka bermacam-macam pertanyaan, dan mereka ingin agar Allah segera menurunkan ayat-ayat Al-Qur'an untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang timbul itu. Karena itu turunlah ayat 127 sampai dengan ayat 130 untuk mejelaskan lagi hak-hak perempuan, orang yang lemah dan anak yatim yang telah diterangkan pada permulaan Surah ini sehingga terjawablah pertanyaan yang timbul di dalam pikiran orang-orang Arab jahiliah itu.
Para sahabat meminta fatwa kepada Rasulullah ﷺ tentang perempuan, yaitu tentang hak mereka baik yang berhubungan dengan harta, hak mereka sebagai manusia, maupun hak mereka di dalam rumah tangga. Maka ayat ini menjelaskan kepada mereka tentang perempuan-perempuan itu dan menjelaskan hukum-hukum yang tersebut dalam ayat-ayat yang telah diturunkan sebelum ini.
Menurut kebiasaan Arab jahiliah, seorang wali berkuasa atas anak yatim yang berada di bawah asuhan dan pemeliharaannya, serta berkuasa pula atas hartanya, seakan-akan harta itu telah menjadi miliknya. Jika anak yatim itu cantik, dinikahinya, sehingga dengan demikian harta anak yatim itu dapat dikuasainya, dan keinginan nafsunya dapat terpenuhi. Sebaliknya jika anak yatim itu tidak cantik dan ia tidak ingin menikahinya maka dihalang-halanginya nikah dengan laki-laki lain, agar harta anak yatim itu tidak lepas dari tangannya.
Demikian pula halnya orang yang lemah yang mempunyai bagian harta pusaka yang berada di bawah perwalian seseorang. Menurut adat kebiasaan Arab jahiliah, hanyalah orang laki-laki yang telah dewasa dan telah sanggup ikut pergi berperang yang berhak mendapat bagian warisan. Sedang anak-anak yang belum dewasa dan orang-orang yang lemah, baik laki-laki maupun perempuan tidak berhak walaupun yang meninggal itu adalah ayah kandungnya. Yang berhak atas pusaka itu adalah walinya. Bahkan jika seorang perempuan kematian suami dan suaminya mempunyai seorang anak laki-laki yang telah dewasa, maka perempuan janda itu termasuk bagian warisan yang diperoleh putra suaminya. Karena itu janda tersebut dapat dicampuri atau dijadikan istri oleh anak tirinya.
Allah memperingatkan kaum Muslimin agar menjauhkan diri dari kebiasaan Arab jahiliah itu, hendaklah selalu berlaku adil terhadap perempuan, anak yatim dan orang yang lemah. Berikanlah kepada mereka harta dan haknya, seperti hak memilih jodoh selama yang dipilihnya itu sesuai dengan ketentuan agama dan dapat membahagiakan mereka di dunia dan di akhirat, dan bergaullah dengan mereka secara baik, baik sebagai seorang istri maupun sebagai anggota masyarakat.
Allah memerintahkan agar berbuat baik kepada anak yatim. Setiap kebaikan yang dilakukan terhadap mereka pasti diketahui Allah, dan pasti akan diberikan balasan dengan pahala yang berlipat ganda. Sebaliknya Allah ﷻ mengetahui pula setiap kejahatan yang dilakukan terhadap anak yatim dan Allah akan membalasnya dengan azab yang pedih.
Di samping memberikan harta dan hak kepada anak yatim dan orang yang lemah, hendaklah kaum Muslimin berbuat kebajikan kepada anak yatim. Disamping memberikan kepada mereka hak dan hartanya, berikan pulalah kepada mereka pemberian-pemberian yang lain dan peliharalah mereka dengan baik seperti memelihara anak sendiri.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
BEBERAPA FATWA
Di pangkal surah telah dimulai menerangkan kewajiban-kewajiban memelihara perempuan. Sebab sebagaimana disebut pada ayat pertama, kita manusia ini adalah dan satu diri. Diri yang satu itulah yang kemudian dibagi Allah menjadi laki-laki dan menjadi perempuan dan tersebar di muka bumi makhluk laki-laki dan makhluk perempuan. Sebab itu ditariklah perhatian kita kepada urusan perempuan, terutama pula anak yatim perempuan, jangan sampai harta mereka teraniaya. Sampai keizinan beristri sampai empat, asal untuk menjaga perlakuan adil kepada anak yatim, tetapi dianjurkan lebih baik satu saja kalau takut tidak adil. Sampai disebut soal harta waris. Orang perempuan pun mempunyai hak menerima harta waris, bukan laki-laki saja, dan sampai kepada urusan nikah dan bercerai. Sampai kalau dia bersalah, berbuat yang keji, karena dia telah mendapat hak, dia pun mendapat pula kewajiban buat menerima hukum. Sehingga seluruh surah ini dinamai surah an-Nisaa', surah dari hal perempuan-perempuan.
Setelah beres urusan perempuan, berdirilah rumah tangga. Setelah berdiri rumah tangga, berdirilah masyarakat dan berdirilah umat. Setelah umat terbentuk, tegaklah dia sebagai satu masyarakat yang teratur, mem-punyai kekuasaan di bawah pimpinan Rasul. Dalam menegakkan kekuasaan bertemulah dia dengan kawan dan lawan; maka disusunlah persaudaraan yang kukuh dan musuh pun dihadapi. Selalulah diperingatkan dasar hidup, atau pandangan hidup sebagai Muslim, yaitu tauhid. Dijelaskan perbedaannya dengan syirik. Dengan demikian teraturlah dalam jiwa orang seorang teratur pula dalam masyarakat, teratur pula di dalam menghadapi musuh se-hingga sampai diajarkan bagaimana caranya shalat jiwa sedang berperang.
Tetapi di dalam menjalankan itu semuanya, ada lagi beberapa kemusyrikan mengenai
perempuan. Sahabat-sahabat ingin menanyakan lagi kesempurnaannya berkenaan dengan urusan kaum perempuan. Mereka minta fatwa. Ini pun mesti dijelaskan,
Ayat 127
“Dan mereka meminta fatwa kepada engkau darihal perempuan-perempuan."
Yang dahulu pada umumnya sudah jelas, tetapi sekarang setelah peraturan yang lama dijalankan, ada lagi timbul beberapa kemusykilan. Mereka meminta fatwa. Fatwa ialah keterangan yang lebih memperinci dalam suatu soal.
“Katakanlah; Allah akan memberi keterangan kepada kamu darihal mereka." Artinya, kehendak mereka itu agar diberi fatwa yang teperinci tentang urusan yang berkenaan dengan perempuan, akan dikabulkan oleh Allah, sebagaimana dahulu juga telah diberikan. Permohonan itu secara berangsur-angsur telah diberikan Allah, sebagaimana tercatat dengan jelas dalam beberapa surah. Telah ada dalam al-Baqarah, diikuti lagi dalam Ali ‘Imraan, sekarang di dalam surah an-Nisaa', nanti akan berjumpa lagi di dalam surah an-Nuur, di dalam surah al-Ahzaab, dalam surah al-Mujaadalah, dalam surah al-Mumtahanah, dalam surah ath-Thalaaq, dalam surah at-Tahriim dan tersebar pula dalam surah-surah yang lain, yang umumnya diturunkan di Madinah. Maka selain dari meminta fatwa umum tentang urusan perempuan, Allah pun mengabulkan permintaan kamu, memberi fatwa dalam masalah yang khusus, “Dan (juga) apa-apa yang dibacakan kepada kamu di dalam Kitab ini darihal anak-anak yatim perempuan yang tidak kamu serahkan kepada mereka apa-apa yang diwajibkan untuk mereka, padahal kamu ingin menikahi mereka “ Artinya sudah tersebut di dalam kitab Al-Qur'an, telah turun sebagai wahyu suatu fatwa mencela adat jahiliyyah kamu terhadap anak yatim perempuan. Tidak kamu serahkan harta waris kepunyaan mereka yang sudah berhak menerimanya karena kamu yang mengasuhnya setelah ayahnya mati. Kamu tahan harta itu karena kamu ingin mengawininya sebab dia cantik. Dicela kamu karena maksud yang tidak baik itu, mengawininya karena kecantikannya dengan maksud jahat yang lain, yaitu supaya hartanya jangan lepas dari tanganmu. Atau perbuatanmu di zaman jahiliyyah yang lain lagi, harta anak yatim perempuan itu tidak kamu serahkan kepadanya pada waktunya, tetapi karena dia tidak cantik, dia kamu tahan saja dalam wilayahmu. Kamu pun tidak mau menerima pinangan orang lain atau mengawinkannya dengan orang lain. Untuk itu perhatikanlah kembali apa yang telah dibacakan kepada kamu di dalam Al-Qur'an.
Adapunbeberapahaditsyangdiriwayatkan oleh ibu orang yang beriman, Aisyah r.a. telah kita salinkan pada permulaan surah, ketika menafsirkan ayat kebolehan beristri sampai empat, asal jangan menganiaya harta anak yatim perempuan.
“Dan (juga) darihal anak-anak yang lemah." Telah dijelaskan juga kepada kamu darihal anak-anak yang lemah itu. Sebab di zaman jahiliyyah anak kecil, sama juga dengan perempuan, sama-sama tidak menerima waris, hanya orang-orang yang telah besar saja mengambil harta itu. Maka telah diberikan fatwa kepada kamu bahwa anak-anak yang lemah itu pun mempunyai hak buat menerima waris. “Dan bahwa kamu urus anak-anak yatim itu dengan adil"
Pun telah difatwakan kepada kamu, agar harta mereka diserahkan kepada mereka kalau mereka telah dewasa dan dapat mengurusnya sendiri, dan sebelum itu boleh kamu memutarkan hartanya dengan baik, kalau kamu miskin. Tetapi jangan kamu habis musnahkan harta anak yatim, sehingga yang diterimanya kelak hanya hitungan barang yang telah habis saja. Pendeknya, yang berkenaan dengan anak yatim itu sudah dijelaskan kepada kamu, maka perhatikanlah dengan baik dan jalankanlah.
“Maka apa saja pun yang kamu perbuat darihal kebaikan, sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui-Nya."
SUAMI NUSYUZ
Sekarang datanglah satu fatwa yang khusus mengenai pergaulan di rumah tangga di antara suami dan istri. Dahulu telah disebut tentang nusyuz yang berarti si istri durhaka atau tidak senang kepada suaminya. Maka si suami disuruh mengajari atau berpisah tidur, dan kalau keadaan sudah sangat memaksa boleh dipukul. Fatwa tentang ini sudah ada dahulu dari ini. Sekarang ada lagi nusyuz sebaliknya. Yaitu si suami yang tidak senang atau telah benci atau telah bosan kepada istrinya. Hal ini biasa kejadian pada orang yang beristri lebih dari satu, atau telah jatuh hati kepada perempuan lain.
Ayat 128
“Dan jika seorang perempuan takut (akan timbul) dari suaminya kebencian atau perpalingan, maka tidaklah mengapa atasnya bahwa berdamai di antara keduanya dengan suatu perdamaian."
Arti nya,jika seorang istri telah merasatakut atau cemas melihat sikap suaminya terhadap dirinya. Sudah benci atau tidak cinta lagi, atau sudah berpaling hatinya kepada yang lain sehingga menurut pertimbangan perempuan itu suasana ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut, sebab kian lama mungkin membawa muram-suramnya rumah tangga, bolehlah dia mengambil sikap dan tidaklah terlarang jika dia memulai (mengambil inisiatif) terlebih dahulu mencari penyelesaian dengan menghubungi suaminya dengan sebaik-baiknya. Supaya da-pat jalan yang damai. Bolehlah atas usul si istri diadakan pertemuan berdua ataupun disaksikan oleh keluarga, guna mencari sebab-sebab perubahan sikap itu, apa ini tersebab si istri supaya diperbaikinya atau keadaan itu sudah tidak dapat diperbaiki lagi. Misalnya si perempuan sudah tua atau banyak anak atau sakit-sakitan. Bolehlah diambil perdamaian, misalnya asal jangan bercerai, biarlah giliran s: istri tua itu diberikan kepada yang muda, atau si laki-laki mengakui terus terang, memang dia tidak kuat beristri dua dan memang a ia berniat hendak menceraikannya. Tetapi kalau si istri dapat membebaskannya dari memberi nafkah, nafkah zahir atau nafkah batin, si suami tidak keberatan melanjutkan pergaulan. Atau sebagaimana yang telah dibukakan pintunya di surah al-Baqarah ayat 229; ada persesuaian bercerai juga jadinya, tetapi si perempuan menebus talak (khulu') untuk mengganti kerugian si suami, yang di zaman kita sekarang ini kadang-kadang dimasukkan orang dalam ta'liq talak. Pendeknya, tidaklah disalahkan oleh peraturan Allah jika si perempuan yang mengemukakan ini kepada suaminya dengan jalan damai. Lalu datang lanjutan ayat memujikan hal itu, “Dan perdamaian adalah jalan yang baik."
Dengan sambungan ayat ini berarti bukan saja tidak berhalangan jika si istri yang mulai mengambil langkah, bahkan dipujikan. Dalam kalimat itu terkandung lagi rahasia yang lain. Yaitu bahwa sebelum langkah ini dilangsungkan hendaklah ditimbang masak-masak terlebih dahulu oleh perempuan itu. jangan hanya menurutkan perasaan. Karena kalau bermusyawarah karena pengaruh perasaan saja, bukanlah perdamaian yang akan timbul melainkan perselisihan. Karena ada setengah laki-laki karena sangat repot dan sangat sibuk mengurus pekerjaannya di luar, kadang-kadang terbawa-bawa ke dalam rumah tangga sehingga seakan-akan istrinya tidak dipedulikannya, atau terkurang nafkah harta karena dia di dalam susah, atau terkurang syahwat kelamin karena kerap kali nafsu setubuh menjadi kendur karena pikiran yang kacau, sedang setengah perempuan lekas cemburu, lekas merasa dirinya tidak dipedulikan. Tetapi hendaklah perempuan ini mengambil langkah yang cocok buat menjalankan tuntunan Allah di ayat ini, bukanlah perasaan yang tersinggung yang dike-mukakannya, melainkan mencari jalan yang baik buat mereka berdua. Apatah lagi kalau anak sudah berdua bertiga. Dia sebagai ibu tentu akan menenggang juga perasaan anak-anaknya. Lantaran menilik keadaan dirinya sendiri, dan pihak suaminya dan pihak anak-anak, bahkan pihak keluarga, jalan yang sebaik-baiknya ialah berdamai.
Tetapi di dalam menempuh perdamaian itu Allah pun memperingatkan salah satu kelemahan manusia. Lanjutan firman Allah, “Padahal jiwa-jiwa itu diberi perasaan …"
Dengan ini Allah memberi peringatan bahwa mencari jalan damai itu kadang-kadang ada pula kesulitannya, yaitu bahwa jiwa-jiwa kita ini ada rasa degil. Yaitu tidak mau memberi, tidak mau mengalah, dan selalu hendak mencoba menimpakan kesalahan kepada orang lain. Bagaimanapun berkasih sayangnya dua orang suami istri, bila mereka telah berhadap-hadapan karena mempertahankan hak, yang dipertahankan ialah hakdiri.Si suami menuduh bahwa istrilah yang salah. Si istri menuduh si suamilah yang salah dan tidak melaksanakan kewajiban. Si istri menuduh suami tidak cukup memberi nafkah. Si suami menuduh bahwa istrinyalah yang tidak taat, sebab itu dia tidak wajib memberi nafkah kepada istri yang durhaka (nusyuz) Kesudahannya berpusing-pusing sebagai mehasta kain sarung. Atau bertengkar mana yang dahulu, telur ayam atau ayam; ayam atau telur.
Bagaimana mengobatnya supaya rasa degil yang telah jadi naluri jiwa itu dapat diatasi? Obatnya telah ditunjukkan oleh lanjutan ayat,
“Dan bahwa jika kamu berbuat baik dan bertakwa, maka sesungguhnya Allah adalah Amat Tahu akan apa yang kamu perbuat."
Ujung ayat ini menyuruh melawan dan mengatasi kedegilan jiwa dengan berbuat baik kepada sesama manusia, terutama si suami berbuat baiklah kepada istrinya. Si istri mengalahlah dan jangan terlalu banyak tun-tutan. Lawanlah kedegilan yang bersarang dalam jiwa. Ingatlah bahwasanya selarut-se-lama ini suatu rumah tangga dapat tegak dengan bahagianya ialah karena di kedua belah pihak sama-sama suka mengalah dan suka berkorban. Cinta di antara satu sama lain menyebabkan sudi memberi dan menerima sehingga kedegilan itu dapat dikalahkan. Apatah lagi setelah berbuat baik dijadikan adat kebiasaan dan perangai, lalu dipatrikan dengan takwa kepada Allah. Apabila kehidupan telah diberi saripati dengan takwa kepada Allah, Allah akan memberikan bimbingan dan perlindungan-Nya, sebab Dia mengetahui segala perbuatan dan tindak-tanduk kita. De-xngan demikian selain dari mempertahankan hak masing-masing, ada lagi yang lebih tinggi, yaitu tawakal kepada Allah.
Perdamaian karena perempuan takut nusyuz suami, hampir serupalah dengan syiqaq yang telah tersebut di ayat 34 dahulu itu. Cuma syiqaq telah dicampuri oleh orang lain.
Merekalah yang memutuskan sendiri dengan dasar maksud-maksud baik dan takwa, apakah mereka akan bersuami istri terus, tetapi si suami diringankan daripada beban nafkah dan giliran hari, atau si perempuan akan membayar tebus-talak (khuluj supaya dia terlepas dari ikatan suaminya.
Menurut riwayat Bukhari, orang bertanya kepada Aisyah r.a. tentang maksud ayat 128 ini. Kata beliau, “Seorang laki-laki mempunyai seorang istri yang sudah tua, sehingga tidak ada lagi yang diharapkannya dari perempuan itu menurut adat suafni istri sehingga kadang-kadang telah berniat dia menceraikannya. Perempuan itu mengerti perasaan suaminya. Lalu dia berkata, “Engkau saya bebaskan dalam hal yang berkenaan dengan diriku."
Ali bin Abi Thalib ditanyai orang pula tentang tafsir ayat ini. Ali berkata, “Seorang laki-laki mempunyai seorang istri. Tetapi hatinya mulai bosan dengan perempuan itu, baik karena rupanya tidak menarik, atau karena telah tua, atau karena buruk perangainya, atau karena membosankan. Sedang perempuan itu sendiri merasa sedih akan diceraikannya. Maka jika perempuan itu meringankan pembayaran maharnya sekadarnya, halallah itu bagi si suami. ?Jika si suami dibebaskan dari giliran hari, tidaklah suami itu dipandang bersalah lagi." (Riwayat Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
Ketika ditanya orang Abdullah bin Umar tentang ayat ini, dia menjawab pula, “Yang tersebut dalam ayat ini ialah perempuan yang usianya telah amat lanjut dan tidak beranak, Lalu suaminya kawin dengan seorang perempuan yang lebih muda karena mengharap akan dapat anak. Maka jika mereka berdua berdamai dibolehkanlah itu oleh syara." (Artinya tidaklah salah laki-laki itu jika dia tidak memulangi istrinya yang telah dua itu lagi, dengan tidak menceraikannya, asal dengan berdamai terlebih dahulu)
Contoh-contoh dalam hal ini telah diperbuat sendiri oleh istri beliau yang kedua, sesudah Khadijah. Yaitu ibu orang beriman, Siti Saudah, Dirawikan oleh al-Hakim, diterimanya dari ‘Urwah, dari Aisyah, bahwa dia berkata, “Wahai anak saudara perempuanku! Rasulullah tidaklah melebih mengurangkan di antara kami semuanya dalam giliran. Hampir tiap hari beliau mendatangi semua kami, dia singgah ke rumah tiap-tiap kami dengan tidak menyentuh sehingga sampai ke rumah siapa yang datang gilirannya, di sanalah beliau bermalam. Tetapi Saudah binti Zam'ah, sebab sudah tua, diha-diahkannyalah hari gilirannya kepadaku. Katanya kepada Rasulullah, “Hariku ini biarlah untuk Aisyah!" Anjurannya itu beliau terima."
Tersebut pula dalam hadits lain yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim, Aisyah berkata, “Setelah Saudah binti Zam'ah merasa dirinya tua, dihibahkannyalah hari gilirannya kepadaku." Sejak itu Aisyah mendapat dua hari.
Inilah contoh dari rumah tangga Rasulullah ﷺ sendiri.
Banyaklah perempuan yang sama keadaannya dengan Saudah, istri Rasulullah ﷺ yang pertama sesudah Khadijah wafat Dia telah tua dan berjasa kepada suaminya, dia orang patut dihormati, tetapi diatidak sanggup lagi memenuhi kewajiban istri dalam urusan kelamin, sedang suaminya masih bertenaga. Perempuan seperti ini dengan jiwa besar memberi kelapangan suaminya berkawin lagi dengan yang lebih muda, dan perempuan itu dengan secara jiwa besar memberi tahu kepada suaminya, dia boleh kawin, tetapi aku jangan diceraikan. Sebab baginya yang teramat penting ialah menjadi istri terhormat, bukan ribut-ribut bertengkar tidak tahu malu dengan istri muda suaminya. Apatah lagi kalau perempuan itu telah beranak bermenantu dan bercucu-cucu pula. Perempuan demikian telah benar-benar menjadi teman hidup dari suaminya, bukan lagi teman tidur! Perempuan demikian dihormati oleh suaminya dan anak-anaknya!
Dalam ayat ini kita melihat betapa Allah membuka pintu kepada kebesaran jiwa bagi seorang perempuan yang tidak diladeni lagi oleh suaminya, dalam soal kelamin. Dan menganjurkan pula kepada laki-laki supaya tetap memegang teguh perempuan itu dan jangan melepaskannya dari ikatan nikah kawin sampai keduanya diceraikan oleh pintu kubur.
PAYAH MENJAGA KEADILAN BERISTRI BANYAK
Ayat 129
“Dan sekali-kali tidaklah kamu akan sanggup berlaku adil di antara perempuan-perempuan, bagaimana pun kamu menjaga
Yang tidak sanggup mengadilkannya ialah hati. Belanja rumah tangga bisa diadilkan bagi yang kaya. Pergiliran hari dan malam pun bisa diadilkan. Tetapi cinta tidaklah bisa diadilkan, apatah lagi syahwat dan nafsu setubuh. Tafsir begini pun telah dinyatakan oleh Ibnu Abbas dan lain-lain. Kecenderungan kepada yang seorang dan kurang cenderung kepada yang lain adalah urusan hati belaka. Siapakah yang dapat memaksa hati manusia? Dan Allah yang telah menakdirkan demikian pun tidaklah memaksa hati manusia pada perkara pembagian hari dan waktu, sangatlah adil Nabi kita.
Semua istrinya didatanginya dengan bergilir, baik yang telah amat tua sebagaimana Saudah yang di Madinah sudah berusia lebih dari 70 tahun atau Aisyah yang baru berusia belasan tahun. Meskipun pada malam harinya giliran Saudah dengan ridha Saudah sendiri telah diberikannya kepada Aisyah. Dalam hal tidak dapat mengadilkan hati itu, Rasulullah ﷺ bermohon kepada Allah dalam doanya yang terkenal,
“Ya, Allahku, inilah pembagian yang dapat aku berikan pada perkara yang dapat aku kuasai. Maka janganlah Engkau sesali aku dalam perkara yang hanya Engkau menguasai, dan aku tidaklah berkuasa." (HR Imam Ahmad dan Ashhabus Sunan)
Lantaran itu datanglah lanjutan firman Allah, “Sebab itu janganlah condong terlalu condong, sehingga kamu biarkan dia laksana barang tergantung." Artinya sebagai seorang yang beriman, yang sadar bahwa laki-laki dapat mengekang kecenderungan kamu itu. Meskipun hati tidak dapat dipaksa, namun laki-laki yang bijaksana akan dapat mengendalikan diri. Apatah lagi bilamana dari istri-istri yang berbilang itu telah dianugerahi Allah anak-anak. Tidak pun hatimu condong kepada seorang istri, ingatlah bahwa dia adalah ibu anak-anakmu. Perlakuan tidak adil dari ayah kepada ibunya akan meninggalkan kesan yang tidak baik pada anak-anakmu terhadap kamu sebagai ayahnya. Sebab itu sekali-kali jangan dijadikan istri yang kurang dicintai itu laksana barang tergantung. Tergantung tidak bertali, terkatung-katung. Jangan sampai ada aniaya terhadap jiwanya.
“Dan jika kamu berbuat damai dan memelihana takwa, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang,"
Pada ayat 128 di atas, ketika menunjukkan jalan keluar bagi perempuan yang telah merasakan bahwa hati suaminya telah kurang terhadap dirinya, Allah menganjurkan agar dialah yang mengambil prakarsa mencari jalan damai. Kepadanya diberi ingat supaya sudi berbuat baik dan damai dan mendasarkan hidup kepada takwa. Sekarang kepada si laki-laki diberi ingat pula, bahwa Allah tahu kelemahannya. Dia tidak akan sanggup meng-adilkan cinta. Sebab itu janganlah terlalu kentara keluar dari kecenderungan hati itu sehingga sampai hati menggantung istri tidak bertali. Untuk mengendalikan hati yang lemah itu, Allah memberikan resep yang sama di antara laki-laki dan perempuan. Yaitu tegakkanlah dalam dirimu sendiri keinginan damai dan tenteram, mengurangi krisis dalam rumah tangga dan membuat patri yang paling kukuh, yaitu takwa.
Sekali lagi dengan ayat ini kita diberi peringatan yang halus dan bimbingan ruhani yang murni apabila kita hendak berkawin dua, tiga, sampai empat. Supaya jangan ada tekanan jiwa karena syahwat melihat perempuan yang disenangi, diberilah izin beristri lebih dari satu (poligami) Menahan syahwat adalah hal yang sebaik-baiknya, hal yang ideal di dalam hidup. Tetapi agama tidaklah membutakan mata terhadap keadaan jiwa manusia. Kalau syahwat tidak tertahankan lagi, lebih baik kawin lagi daripada berzina, atau memelihara perempuan di luar nikah. Dengan berkawin lagi, syahwat dapat dikendalikan, tetapi kesukarannya tidaklah kurang. Karena tiap-tiap perempuan yang telah dikawini wajib diberi belanja dan nafkah. Sampai disebut nafkah lahir, yaitu makanan, pakaian, dan kediaman. Disebut juga kewajiban memberikan nafkah batin, yaitu persetubuhan. Apabila beristri lebih dari satu, keadilan inilah soal yang besar. Istri adalah manusia berjiwa dan berakal juga, yang mempunyai perasaan halus, sedang dia pun lemah. Seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu, yang bertambah kuat imannya dan takwanya kepada Allah dan bertambah halus perasaannya senantiasa akan merasakan beban berat keadilan itu merekan pundaknya. Suatu hal tidaklah dapat diatasinya, yaitu keadilan hati. Apatah lagi keadilan syahwat setubuh. Tetapi bagaimana pun beratnya soal ini, jauhlah lebih berat apabila seorang laki-laki pergi berzina karena tidak dapat mengendalikan nafsu. Apabila seorang laki-laki karena tidak dapat mengendalikan syahwat, lalu kawin lagi, namun dia masih dapat berjuang dalam batinnya untuk melawan hawa nafsu, menegakkan jalan damai dan takwa. Tetapi seorang yang telah telanjur berzina, hancurlah jiwanya. Dia akan mendapat tekanan batin lebih berat daripada seorang yang beristri lebih dari satu tadi. Maka apabila seseorang laki-laki telah sadar kelemahan dirinya lalu berusaha supaya jangan condong terlalu condong sehingga membiarkan seorang istri “tergantung tidak bertali" dan selalu memupuk rasa perbaikan dan damai dalam jiwanya, selalu takwa kepada Allah, kekurangan-kekurangan serta sedikit akan dapat diampuni Allah. Allah menunjukkan pula kasih sayang-Nya yang dilihat-Nya selalu berusaha menegakkan damai dan takwa dalam rumah tangganya. Allah akan memberinya bimbingan dan pimpinan.
Kedua ayat ini, ayat 128 dan 129 telah memberikan bayangan kepada kita bahwa seorang beriman laki-laki dan perempuan bila bertemu satu kesulitan rumah tangga, tidaklah akan memilih jalan pendek, yaitu bercerai (talak) Di ayat 128 dianjurkan mencari perdamaian, sampai dikatakan, “Damai itulah yang lebih baik." Dan di ayat 129, jika laki-laki merasa bahwa dia tidak sanggup mengadilkan cinta dan nafsu setubuh, tidaklah pula jalan talak yang ditunjukkan, melainkan disuruh merekan perasaan dan “jangan terlalu". Asal ditegakkan rasa damai dan takwa, baik oleh yang perempuan (ayat 128) atau oleh yang laki-laki (ayat 129) Allah akan memberi ampun jika terdapat kesalahan berkecil-kecil dan Allah akan tetap menyayangi hamba-Nya yang insaf akan kelemahan dirinya.
Tersebut di dalam hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dan Abu Dawud,
“Berkata Rasulullah ﷺ, ‘Perkara yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah ialah talak.'" (HR Ibnu Majah dan Abu Dawud)
Dalam ayat 128 perempuan yang dianjurkan, carilah jalan damai. Jangan memperturutkan perasaan (sentimen) Bersuami jauh lebih baik daripada menjadi janda tegang, apatah lagi kalau sudah berumur. Di ayat 129 kepada laki-laki pula dianjurkan, pandai-pandailah mengendalikan diri.
Jangan setelah hati bosan, terus saja membuat istri yang kurang dicintai laksana tergantung tidak bertali, apatah lagi akan menyebut cerai. Kalau setelah engkau bosan, lalu engkau menghambur cerai, nyatalah bahwa engkau laki-laki yang kurang pikir. Atau seorang laki-laki yang tidak patut dihargai. Hadits yang tegas pula dari Rasulullah ﷺ,
“Allah mengutuk laki-laki tukang cicip dan perempuan tukang “cicip."
KALAU TERPAKSA BERCERAI JUGA
Ayat 130
“Dan jika mereka berdua bercerai, Allah akan mencukupkan untuk tiap-tiap seseorang dari karunia-Nya."
Ayat ini menunjukkan bahwa cerai adalah langkah terakhir kalau jalan damai sudah buntu. Memang kadang-kadang ada rahasia suami istri yang orang lain tidak dapat mencampurinya. Bagaimana akan dipaksa mene-ruskan pergaulan di antara dua jiwa yang memang sudah tak dapat dipertemukan lagi? Memang ada kalanya jalan damai tak bisa ditempuh lagi. Sedang mereka adalah dua manusia. Yaitu manusia-manusia yang mempunyai pribadi dan nilai pandangan hidup masing-masing. Kalau pergaulan kedua orang itu diteruskan juga, kemunafikanlah yang akan timbul. Di saat demikian apa boleh buat, dioraklah buhul dan diungkailah kebat. Sama-sama bertawakallah kepada Allah dan mulailah membina hidup masing-masing.
Oleh sebab itu, teranglah dalam urutan ayat sejak ayat 128, 129, dan sampai ayat 130, kedua suami istri terlebih dahulu diperintahkan mencari jalan damai. Kalau hendak bercerai, bercerailah dengan baik, yang telah termaktub dalam surah al-Baqarah,
“Dipegang dengan jalan yang ma'ruf, atau dilepaskan dengan jalan yang sebaik-baiknya." (al-Baqarah: 229)
Sehingga diadakan Allah perintah mut'ah, yaitu si laki-laki memberikan uang belanja yang sepatut dan selayaknya bagi perempuan yang diceraikannya itu ketika menjatuhkan talak.
Kalau demikian halnya, tidaklah Allah memaksa supaya diteruskan juga pergaulan itu. Bila terpaksa bercerai juga, bercerailah dengan baik. Asalkan bercerai dengan baik, di dalam ayat ini Allah telah menyatakan bahwa
Allah akan tetap mencukupkan kurnia-Nya bagi masing-masing mereka.
Ayat ini adalah untuk orang yang beriman, yang di dalam menegakkan rumah tangga tetap hendak bergantung kepada peraturan dan tuntunan Allah. Niscaya seorang Mukmin atau Mukminah, menghadapi hidup di zaman depan bukanlah dengan suram (pesimis) melainkan tetap gembira dan percaya (optimis) Itu sebabnya di penutup ayat, Allah berfirman,
“Dan Allah adalah Mahaluas, lagi Mahabijaksana."
Ketika membicarakan talak di surah yang bernama ath-Thaiaaq dijelaskan pula oleh Allah bahwasanya takwa kepada Allah akan membuka pintu yang tertutup, dan rezeki akan datang di luar perkiraan. Siapa yang ber-tawakal kepada Allah, Allah-lah jaminannya.
Renungkanlah ayat-ayat ini baik-baik, sesudah itu bertanyalah kepada diri sendiri, di atas apa hendaknya rumah tangga didirikan? Apakah di atas semata-mata harta benda? Apakah seorang perempuan menyerahkan jiwa ragarya menjadi istri dari seorang laki-laki karena mengharapkan uangnya? Atau seorang laki-laki mengawini seorang perempuan karena semata-mata kecantikannya? Ataukah harta benda menjadi jaminan Allah apabila rumah tangga itu terlebih dahulu diasaskan atas takwa sehingga rezeki datang kemudian karena hati telah sama-sama terbuka?
Apakah tidak ada padamu keinginan, hendaknya pergaulan ini berpanjang-panjang sampai diceraikan oleh maut?
Oleh sebab itu, kalau terdapat seorang laki-laki kawin semau-mau, beristri lebih dari satu semau-mau, dan kelak bercerai talak pula dengan semau-mau, janganlah itu dibangsakan kepada Islam. Tetapi mereka telah memperkuda keindahan peraturan agama untuk kepentingan hawa nafsunya sendiri. Rumah tangga yang didirikan di atas kekacau-balauan masyarakat. Itu bukanlah dari kesalahan agama, melainkan dari kesalahan orang yang keluar dari garis yang ditentukan agama.
Sungguh terharulah penulis tafsir ini membaca ayat-ayat ini. Dia menunjukkan bahwa ada juga perceraian timbul bukan karena benci, melainkan karena memikirkan hari depan tidak dapat lagi diteruskan berdua. Teringat penulis fatwa setengah ulama, di antaranya Imam Ahman bin Hambal, bahwa cerai yang dijatuhkan sedang sangat marah, gelap mata, tidaklah jatuh, dan cerai yang dijatuhkan sekaligus, atau sekali jatuh talak tiga, ketiganya hanya satu yang jatuh. Ayat 130 memberi tuntunan bahwa ada cerai jatuh karena hasil perdamaian. Penulis tafsir ini per-nah menyaksikan dua suami istri telah bergaul 15 tahun, terpaksa bercerai, sama-sama menitikkan air mata. Berat, tetapi apa boleh buat. Sebabnya ialah karena keduanya ingin beranak, tetapi penyelidikan dokter menunjukkan bahwa pergaulan mereka berdua tidak memungkinkan dapat anak. Mereka bercerai. Yang laki-laki beristri lain, yang perempuan bersuami lain. Kira-kira lima tahun kemudian mereka bertemu lagi. Alhamdulillah keduanya sudah mendapat anak. Si lelaki dengan istrinya yang baru telah dapat anak tiga, si perempuan dengan suaminya yang baru sudah mendapat anak dua. Kurnia Allah diberikan bagi mereka keduanya. Kadang-kadang ziarah-menziarahi-lah kedua keluarga itu, tetap menghubungkan silaturahim. Sampai saya pernah mengatakan kepada mereka, “Moga-moga anak kedua belah pihak berkawin-kawinan, guna menyambung, cinta kasih ayah bunda masing-masing."
Alangkah bahagia hidup kita sebagai Muslim, kalau tuntunan Allah dalam AI-Qur'an-Nya kita ikuti.