Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَكُمۡ
dan bagi kamu
نِصۡفُ
separuh
مَا
apa/harta
تَرَكَ
yang meninggalkan
أَزۡوَٰجُكُمۡ
isteri-isterimu
إِن
jika
لَّمۡ
tidak
يَكُن
ada
لَّهُنَّ
bagi mereka
وَلَدٞۚ
anak laki-laki
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
لَهُنَّ
bagi mereka
وَلَدٞ
anak laki-laki
فَلَكُمُ
maka bagimu
ٱلرُّبُعُ
seperempat
مِمَّا
dari apa/harta
تَرَكۡنَۚ
mereka tinggalkan
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudahnya
وَصِيَّةٖ
(dipenuhi) wasiat
يُوصِينَ
mereka berwasiat
بِهَآ
dengannya
أَوۡ
atau
دَيۡنٖۚ
hutang
وَلَهُنَّ
dan bagi mereka
ٱلرُّبُعُ
seperempat
مِمَّا
dari apa (harta)
تَرَكۡتُمۡ
kamu tinggalkan
إِن
jika
لَّمۡ
tidak
يَكُن
ada
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَلَدٞۚ
anak laki-laki
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
لَكُمۡ
bagi kalian
وَلَدٞ
anak laki-laki
فَلَهُنَّ
maka bagi mereka
ٱلثُّمُنُ
seperdelapan
مِمَّا
dari apa/harta
تَرَكۡتُمۚ
kamu tinggalkan
مِّنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
وَصِيَّةٖ
(dipenuhi) wasiat
تُوصُونَ
kamu buat wasiat
بِهَآ
dengannya
أَوۡ
atau
دَيۡنٖۗ
hutang
وَإِن
dan jika
كَانَ
ada
رَجُلٞ
seorang laki-laki
يُورَثُ
diwariskan
كَلَٰلَةً
tidak punya ibu-bapak dan anak
أَوِ
atau
ٱمۡرَأَةٞ
perempuan
وَلَهُۥٓ
dan baginya
أَخٌ
saudara laki-laki
أَوۡ
atau
أُخۡتٞ
saudara perempuan
فَلِكُلِّ
maka bagi tiap-tiap
وَٰحِدٖ
seorang
مِّنۡهُمَا
dari keduanya
ٱلسُّدُسُۚ
seperenam
فَإِن
maka jika
كَانُوٓاْ
adalah mereka
أَكۡثَرَ
lebih banyak
مِن
dari
ذَٰلِكَ
demikian itu
فَهُمۡ
maka bagi mereka
شُرَكَآءُ
bersekutu
فِي
dalam
ٱلثُّلُثِۚ
dalam sepertiga
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
وَصِيَّةٖ
(dipenuhi) wasiat
يُوصَىٰ
diwasiatkan
بِهَآ
dengannya
أَوۡ
atau
دَيۡنٍ
hutang
غَيۡرَ
tidak
مُضَآرّٖۚ
memudlaratkan
وَصِيَّةٗ
wasiat/ketetapan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۗ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
وَلَكُمۡ
dan bagi kamu
نِصۡفُ
separuh
مَا
apa/harta
تَرَكَ
yang meninggalkan
أَزۡوَٰجُكُمۡ
isteri-isterimu
إِن
jika
لَّمۡ
tidak
يَكُن
ada
لَّهُنَّ
bagi mereka
وَلَدٞۚ
anak laki-laki
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
لَهُنَّ
bagi mereka
وَلَدٞ
anak laki-laki
فَلَكُمُ
maka bagimu
ٱلرُّبُعُ
seperempat
مِمَّا
dari apa/harta
تَرَكۡنَۚ
mereka tinggalkan
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudahnya
وَصِيَّةٖ
(dipenuhi) wasiat
يُوصِينَ
mereka berwasiat
بِهَآ
dengannya
أَوۡ
atau
دَيۡنٖۚ
hutang
وَلَهُنَّ
dan bagi mereka
ٱلرُّبُعُ
seperempat
مِمَّا
dari apa (harta)
تَرَكۡتُمۡ
kamu tinggalkan
إِن
jika
لَّمۡ
tidak
يَكُن
ada
لَّكُمۡ
bagi kalian
وَلَدٞۚ
anak laki-laki
فَإِن
maka jika
كَانَ
ada
لَكُمۡ
bagi kalian
وَلَدٞ
anak laki-laki
فَلَهُنَّ
maka bagi mereka
ٱلثُّمُنُ
seperdelapan
مِمَّا
dari apa/harta
تَرَكۡتُمۚ
kamu tinggalkan
مِّنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
وَصِيَّةٖ
(dipenuhi) wasiat
تُوصُونَ
kamu buat wasiat
بِهَآ
dengannya
أَوۡ
atau
دَيۡنٖۗ
hutang
وَإِن
dan jika
كَانَ
ada
رَجُلٞ
seorang laki-laki
يُورَثُ
diwariskan
كَلَٰلَةً
tidak punya ibu-bapak dan anak
أَوِ
atau
ٱمۡرَأَةٞ
perempuan
وَلَهُۥٓ
dan baginya
أَخٌ
saudara laki-laki
أَوۡ
atau
أُخۡتٞ
saudara perempuan
فَلِكُلِّ
maka bagi tiap-tiap
وَٰحِدٖ
seorang
مِّنۡهُمَا
dari keduanya
ٱلسُّدُسُۚ
seperenam
فَإِن
maka jika
كَانُوٓاْ
adalah mereka
أَكۡثَرَ
lebih banyak
مِن
dari
ذَٰلِكَ
demikian itu
فَهُمۡ
maka bagi mereka
شُرَكَآءُ
bersekutu
فِي
dalam
ٱلثُّلُثِۚ
dalam sepertiga
مِنۢ
dari
بَعۡدِ
sesudah
وَصِيَّةٖ
(dipenuhi) wasiat
يُوصَىٰ
diwasiatkan
بِهَآ
dengannya
أَوۡ
atau
دَيۡنٍ
hutang
غَيۡرَ
tidak
مُضَآرّٖۚ
memudlaratkan
وَصِيَّةٗ
wasiat/ketetapan
مِّنَ
dari
ٱللَّهِۗ
Allah
وَٱللَّهُ
dan Allah
عَلِيمٌ
Maha Mengetahui
حَلِيمٞ
Maha Penyantun
Terjemahan
Bagimu (para suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) utangnya. Bagi mereka (para istri) seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, bagi mereka (para istri) seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) utang-utangmu. Jika seseorang, baik laki-laki maupun perempuan, meninggal dunia tanpa meninggalkan ayah dan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Akan tetapi, jika mereka (saudara-saudara seibu itu) lebih dari seorang, mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) utangnya dengan tidak menyusahkan (ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Tafsir
(Dan bagi kamu, suami-suami, seperdua dari harta peninggalan istri-istrimu jika mereka tidak mempunyai anak) baik dari kamu maupun dari bekas suaminya dulu. (Tetapi jika mereka mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta peninggalan, yakni setelah dipenuhinya wasiat yang mereka buat atau dibayarnya utang mereka.) Dalam hal ini cucu dianggap sama dengan anak menurut ijmak. (Dan bagi mereka) artinya para istri itu baik mereka berbilang atau tidak (seperempat dari harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak; dan jika kamu mempunyai anak) baik dari istrimu itu maupun dari bekas istrimu (maka bagi mereka seperdelapan dari harta peninggalanmu, yakni setelah dipenuhinya wasiat yang kamu buat atau dibayarnya utangmu). Dalam hal ini cucu dianggap sama dengan anak menurut ijmak. (Jika seorang laki-laki yang diwarisi itu) menjadi sifat, sedangkan khabarnya: (kalalah) artinya tidak meninggalkan bapak dan tidak pula anak (atau perempuan) yang mewaris secara kalalah (tetapi ia mempunyai) maksudnya yang diwarisi itu (seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan) maksudnya yang seibu, dan jelas-jelas dibaca oleh Ibnu Masud dan lain-lain (maka masing-masing jenis saudara itu memperoleh seperenam) harta peninggalan. (Tetapi jika mereka itu) maksudnya saudara-saudara yang seibu itu, baik laki-laki maupun perempuan (lebih daripada itu) maksudnya lebih dari seorang (maka mereka berserikat dalam sepertiga harta) dengan bagian yang sama antara laki-laki dan perempuan (sesudah dipenuhinya wasiat yang dibuatnya atau dibayarnya utangnya tanpa memberi mudarat) menjadi hal dari dhamir yang terdapat pada yuushaa; artinya tidak menyebabkan adanya kesusahan bagi para ahli waris, misalnya dengan berwasiat lebih dari sepertiga harta (sebagai amanat) atau pesan, dan merupakan mashdar yang mengukuhkan dari yuushiikum (dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui) faraid atau tata cara pembagian pusaka yang diatur-Nya buat makhluk-Nya (lagi Maha Penyantun) dengan menangguhkan hukuman terhadap orang-orang yang melanggarnya. Kemudian mengenai pembagian pusaka terhadap ahli-ahli waris tersebut yang mengandung keraguan dengan adanya halangan seperti pembunuhan atau perbedaan agama dan menjadi murtad, maka penjelasannya diserahkan pada sunah.
Tafsir Surat An-Nisa': 12
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayarkan hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayarkan hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kerugian) kepada ahli waris. (Allah menetapkan yang demikian) itu sebagai syari'at dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Ayat 12
Allah ﷻ berfirman: “Bagi kalian, wahai kaum lelaki, separuh harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kalian, jika mereka mati tanpa meninggalkan seorang anak pun. Jika mereka mempunyai seorang anak, maka bagi kalian hanyalah seperempat dari apa yang mereka tinggalkan setelah dipenuhi wasiat dan sesudah dibayarkan utangnya."
Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa pelunasan utang harus didahulukan atas penunaian wasiat; sesudah utang diselesaikan, maka barulah wasiat; dan sesudah wasiat, baru harta dibagikan kepada ahli waris si mayat. Ketetapan ini telah disepakati oleh para ulama. Hukum cucu lelaki dari anak lelaki sama dengan hukum anak lelaki sendiri yang menurunkan mereka.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Para istri memperoleh seperempat harta yang kalian tinggalkan.” (An-Nisa: 12), hingga akhir ayat.
Baik dalam seperempat atau seperdelapan seorang istri dua orang istri, tiga orang istri, atau empat orang istri mereka bersekutu dalam bagian tersebut.
Firman Allah ﷻ: “Sesudah dipenuhi wasiat.” Tafsir firman ini telah dikemukakan di atas.
Firman Allah ﷻ: “Jika seseorang diwaris secara kalalah.” (An-Nisa: 12)
Al-kalalah berakar dari kata iklil, artinya kalungan yang diletakkan di atas kepala dan meliputi semua sisinya. Makna yang dimaksud ayat ini ialah seseorang yang mati, kemudian harta peninggalannya diwarisi oleh kaum kerabat dari sisi-sisinya, bukan dari pokok (orang tua), bukan pula dari cabang (anak keturunannya).
Asy-Sya'bi meriwayatkan dari Abu Bakar As-Siddiq, bahwa ia pernah ditanya mengenai kalalah, maka ia menjawab, "Aku akan menjawab masalah ini melalui ra’yu (pendapat)ku sendiri. Jika jawabanku ini benar maka itu berasal dari Allah; dan jika keliru, berarti itu dariku dan dari setan. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya bebas darinya.
Al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai orang tua dan tidak mempunyai anak," (dengan kata lain, yang mewarisinya hanyalah saudara-saudaranya). Ketika Umar pergi, ia berkata, "Sesungguhnya aku benar-benar malu bila berbeda pendapat dengan Abu Bakar."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan lain-lainnya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan di dalam kitab tafsirnya: Telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Yazid, dari Sufyan, dari Sulaiman Al-Ahwal, dari Tawus yang mengatakan bahwa dia pernah mendengar ibnu Abbas mengatakan, "Saya adalah orang yang paling akhir menemui sahabat Umar. Aku dengar di akhir usianya ia mengatakan, ‘Apakah yang pernah saya katakan, apakah yang pernah saya katakan.’ Ibnu abbas mengatakan bahwa al-kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak dan tidak mempunyai orang tua (yang mewarisi hanyalah saudara-saudaranya saja)."
Hal yang sama dikatakan oleh Ali dan Ibnu Mas'ud dan menurut pendapat yang shahih diriwayatkan tidak hanya oleh seorang saja, bersumber dari Ibnu Abbas serta Zaid ibnu Sabit.
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Asy-Sya'bi, An-Nakha'i, Al-Hasan, Qatadah, Jabir ibnu Zaid, dan Al-Hakam. Hal yang sama dikatakan oleh ulama Madinah, Kufah dan Basrah. Pendapat inilah yang dikatakan oleh tujuh ulama fiqih, empat orang imam dan jumhur ulama Salaf dan Khalaf, bahkan seluruhnya. Telah diriwayatkan tidak hanya oleh seorang tentang adanya ijma' (kesepakatan) di kalangan para ulama sehubungan dengan pendapat ini.
Telah diriwayatkan sebuah hadits marfu' yang mengatakan hal yang sama. Abu Husain ibnul Labban mengatakan: Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas suatu pendapat yang berbeda dengan pendapat ini. Yaitu bahwa kalalah ialah orang yang tidak mempunyai anak. Tetapi riwayat yang shahih yang bersumber dari Ibnu Abbas adalah riwayat yang pertama tadi. Barangkali si perawi masih belum memahami apa yang dimaksud oleh Ibnu Abbas.
Firman Allah ﷻ: “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja)” (An-Nisa: 12)
Yang dimaksud dengan saudara dalam ayat ini ialah saudara seibu, seperti menurut qiraat sebagian ulama Salaf, antara lain ialah Sa'd ibnu Abu Waqqas. Hal yang sama dikatakan oleh Abu Bakar As-Siddiq menurut yang diriwayatkan oleh Qatadah darinya.
Firman Allah ﷻ: “Tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (An-Nisa: 12)
Saudara seibu berbeda dengan saudara seayah dalam hal mewarisi ditinjau dari berbagai segi seperti berikut:
Pertama, mereka dapat mewarisi bersama adanya yang menurunkan mereka, yaitu ibu.
Kedua, jenis laki-laki dan jenis perempuan dari mereka sama bagian warisannya.
Ketiga, mereka tidak dapat mewarisi kecuali jika mayat mereka diwaris secara kalalah. Oleh karena itu mereka tidak dapat mewarisi bila ada ayah si mayat atau kakek si mayat, atau cucu laki-laki si mayat.
Keempat bagian mereka tidak lebih dari sepertiga sekalipun jumlah mereka yang terdiri atas laki-laki dan perempuan itu jumlahnya banyak.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri yang menceritakan bahwa Khalifah Umar memutuskan bahwa warisan saudara yang seibu di antara sesama mereka bagian laki-laki sama dengan bagian perempuan. Az-Zuhri mengatakan tidak sekali-kali Khalifah Umar memutuskan demikian melainkan ia telah mengetahuinya dari Rasulullah ﷺ. Ayat berikut inilah yang dikatakan oleh Allah ﷻ mengenai masalah tersebut, yaitu firman-Nya: “Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu.” (An-Nisa: 12)
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah musytarakah (persekutuan mewarisi antara saudara seibu dan saudara seibu seayah). Masalah musytarakah ini terdiri atas suami, ibu atau nenek dan dua orang saudara seibu serta seorang atau lebih dari seorang dari saudara laki-laki seibu seayah.
Menurut pendapat jumhur ulama, suami mendapat setengah, ibu atau nenek mendapat seperenam, dan saudara seibu mendapat sepertiga; dan bersekutu dalam bagian ini saudara-saudara seibu seayah, mengingat adanya persekutuan di antara sesama mereka, yaitu persaudaraan seibu.
Masalah ini pernah terjadi di masa pemerintahan Amirul Muminin Umar ra. Karenanya ia memberi suami setengah, ibu seperenam, dan memberikan yang sepertiganya kepada anak-anak ibu (saudara-saudara seibu). Maka saudara-saudara (lelaki) yang seibu dan seayah dari si mayat berkata kepada Umar, "Wahai Amirul Mukminin, seandainya ayah kami adalah keledai, bukankan kami berasal dari satu ibu juga?" Akhirnya Khalifah Umar mempersekutukan mereka dalam bagian sepertiga itu, antara saudara seibu dan saudara seibu seayah.
Persekutuan dalam sepertiga ini pernah pula dikatakan oleh Usman menurut riwayat yang shahih. Hal yang sama dikatakan menurut salah satu di antara kedua riwayat dari Ibnu Mas'ud dan Zaid ibnu Sabit serta Ibnu Abbas, semoga Allah melimpahkan rida-Nya kepada mereka.
Hal yang sama dikatakan oleh Sa'id ibnul Musayyab, Syuraih Al-Qadi, Masniq, Tawus, Muhammad ibnu Sirin, Ibrahim An-Nakha'i. Umar ibnu Abdul Aziz, Ats-Tsauri, dan Syarik. Pendapat inilah yang dipegang oleh mazhab Imam Malik, Imam Syafii, dan Ishaq ibnu Rahawaih.
Disebutkan bahwa Khalifah Ali ibnu Abu Thalib pernah tidak mempersekutukan mereka (dalam perkara itu), bahkan dia menjadikan bagian yang sepertiga itu hanya untuk saudara-saudara seibu si mayat, sedangkan saudara-saudara seibu dan seayah tidak mendapat apa-apa, karena mereka terdiri atas laki-laki (asyabah).
Pendapat inilah yang dikatakan oleh Ubay ibnu Kab dan Abu Musa Al-Asy'ari, yang terkenal dari Ibnu Abbas. Pendapat inilah yang dijadikan pegangan oleh Asy-Syabi, Ibnu Abu Laila, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad ibnul Hasan, Al-Hasan ibnu Ziyad, Zufar ibnul Huzail, Imam Ahmad, Yahya ibnu Aslam, Nuaim bin Hammad, Abu Tsaur dan Daud Al-Zahiri.
Firman Allah ﷻ: “Sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya (si mayat) atau sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudarat (kerugian) kepada ahli waris.”
Hendaknya wasiat yang dibuat oleh si mayat tidak merupakan mudarat kepada ahli waris, tidak zalim, dan tidak menyimpang. Hal yang menyimpang ialah misalnya si mayat dengan wasiatnya itu mengakibatkan terhalangnya sebagian ahli waris dari bagiannya atau mengurangi bagiannya, atau memberinya lebih dari apa yang telah ditetapkan baginya oleh Allah ﷻ. Barang siapa yang berbuat demikian, berarti sama saja dengan orang yang menentang Allah dalam Hukum dan syariat-Nya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abun Nadr Ad-Dimasyqi telah menceritakan kepada kami Umar ibnul Mugirah, dan Dari Ibn Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ bersabda: “Menimpakan mudarat (kerugian) terhadap ahli waris dalam wasiat termasuk dosa besar.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari jalur Umar bin Mughirah, dia adalah Abu Hafs Basri. Sehubungan dengan Abu Hafs ini, Ibnu Asakir mengatakan bahwa dia dikenal sebagai orang yang memberikan kecukupan kepada orang-orang miskin. Telah meriwayatkan darinya banyak orang dari kalangan para imam. Abu Hatim Ar-Razi mengatakan dia adalah seorang syekh (guru). Ali ibnul Madini mengatakan: Dia orang yang tidak dikenal dan aku tidak mengenalnya.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa menurut pendapat yang shahih, hadits ini mauquf. Karena itulah para Imam berselisih pendapat tentang ikrar (pengukuhan) buat ahli waris apakah hal ini dianggap tindakan yang benar ataukah tidak? Ada dua pendapat mengenainya. Salah satunya mengatakan, tidak sah mengikrarkan bagian waris kepada ahli waris. Rasululah ﷺ pernah bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada setiap orang (ahli waris) hak yang diperoleh, maka tidak ada wasiat bagi ahli waris.” Pendapat ini merupakan mazhab Malik, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Abu Hanifah serta qaul qadim (pendapat awal) Imam Syafii, sedangkan dalam qaul jadid (pendapat baru) Imam Syafii mengatakan ikrar adalah sah (dibenarkan).
Pendapat yang mengatakan sah ini merupakan mazhab Tawus, ‘Atha’, Al-Hasan, dan Umar ibnu Abdul Aziz; pendapat ini pulalah yang dipilih oleh Abu Abdullah Al-Al-Bukhari di dalam kitab shahih-nya, dengan alasan bahwa Rafi' ibnu Khadij pernah berwasiat bahwa Al-Fazariah yang telah ditutup pintunya tidak boleh dibuka.
Ibnu Jarir mengatakan sebagian ulama mengatakan seseorang tidak boleh melakukan ikrar karena hal ini memberikan kesan buruk prasangka terhadap para ahli waris. Karena sesungguhnya Nabi ﷺ pernah bersabda: “Hati-hatilah kalian terhadap prasangka karena sesungguhnya prasangka adalah perkataan yang paling dusta.”
Allah ﷻ telah berfirman: “Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa: 58) Dalam ayat ini Allah tidak mengkhususkan kepada seorang ahli waris pun, juga tidak kepada yang lainnya.
Sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa manakala ikrar dinyatakan sah sesuai dengan duduk perkara yang sebenarnya, maka berlakulah perbedaan pendapat seperti yang disebut di atas. Tetapi manakala ikrar yang dimaksud adalah sebagai tipu muslihat dan sarana untuk menambahi bagian sebagian ahli waris atau mengurangi bagian sebagian dari mereka, maka hal ini haram hukumnya menurut kesepakatan ulama dan nas ayat yang mulia yang mengatakan: “Dengan tidak memberi mudarat (kerugian) kepada ahli waris. (Allah menetapkan yang demikian) itu sebagai syari'at dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.” (An-Nisa: 12)
Setelah dijelaskan tentang perincian bagian warisan sebab nasab, berikut ini dijelaskan tentang pembagian warisan karena perkawinan. Dan adapun bagian kamu, wahai para suami, apabila ditinggal mati istri adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak darimu atau anak dari suami lain. Jika mereka yaitu istri-istrimu itu mempunyai anak laki-laki atau perempuan, maka kamu hanya berhak mendapat bagian seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah dipenuhi wasiat yang mereka buat sebelum mereka meninggal atau setelah dibayar utangnya apabila mereka mempunyai utang. Jika suami meninggal, maka para istri memperoleh bagian seperempat dari harta warisan yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak dari mereka atau anak dari istri lain. Jika kamu mempunyai anak laki-laki atau perempuan, maka para istri memperoleh bagian seperdelapan dari harta warisan yang kamu tinggalkan setelah dipenuhi wasiat yang kamu buat sebelum kamu meninggal atau setelah dibayar utang-utangmu apabila ada utang yang belum dibayar. Jika seseorang meninggal, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan kalalah, yakni orang yang meninggal dalam keadaan tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak sebagai pewaris langsung, tetapi orang yang meninggal tersebut mempunyai seorang saudara laki-laki seibu atau seorang saudara perempuan seibu, maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu mendapat bagian seperenam dari harta yang ditinggalkan secara bersama-sama. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka mendapat bagian secara bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu tanpa ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan.
Pembagian waris ini baru boleh dilakukan setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya sebelum meninggal atau setelah dibayar utangnya apabila mempunyai utang yang belum dilunasi. Wasiat yang dibolehkan adalah untuk kemaslahatan, bukan untuk mengurangi apalagi menghalangi seseorang memperoleh bagiannya dari harta warisan tersebut dengan tidak menyusahkan ahli waris lainnya. Demikianlah ketentuan Allah yang ditetapkan sebagai wasiat yang harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan, Maha Penyantun dengan tidak segera memberi hukuman bagi orang yang melanggar perintah-Nya. Apa yang dijelaskan di atas itulah batas-batas hukum yang ditetapkan Allah sebagai ketetapan yang tidak boleh dilanggar. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengikuti hukum-hukum Allah, maka Dia akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai sebagai balasan yang Allah berikan kepada mereka. Mereka mendapatkan kenikmatan di surga dan kekal di dalamnya selalu dalam keadaan sehat dan tidak mengalami penuaan. Dan itulah kemenangan yang agung yang tidak pernah diganggu oleh ketakutan atau kesedihan sedikit pun.
Ayat ini menjelaskan perincian pembagian hak waris untuk suami atau istri yang ditinggal mati. Suami yang ditinggalkan mati oleh istrinya jika tidak ada anak maka ia mendapat ? dari harta, tetapi bila ada anak, ia mendapat ? dari harta warisan. Ini juga baru diberikan setelah lebih dahulu diselesaikan wasiat atau utang almarhum. Adapun istri yang ditinggalkan mati suaminya dan tidak meninggalkan anak maka ia mendapat ? dari harta, tetapi bila ada anak, istri mendapat 1/8. Lalu diingatkan bahwa hak tersebut baru diberikan setelah menyelesaikan urusan wasiat dan utangnya.
Apabila seseorang meninggal dunia sedang ia tidak meninggalkan bapak maupun anak, tapi hanya meninggalkan saudara laki-laki atau perempuan yang seibu saja maka masing-masing saudara seibu itu apabila seorang diri bagiannya adalah 1/6 dari harta warisan dan apabila lebih dari seorang, mereka mendapat 1/3 dan kemudian dibagi rata di antara mereka. Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Allah menerangkan juga bahwa ini dilaksanakan setelah menyelesaikan hal-hal yang berhubungan dengan wasiat dan utang almarhum. Allah memperingatkan agar wasiat itu hendaklah tidak memberi mudarat kepada ahli waris. Umpama seorang berwasiat semata-mata agar harta warisannya berkurang atau berwasiat lebih dari 1/3 hartanya. Ini semua merugikan para ahli waris.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KALALAH
Ada orang yang ayah bundanya tak ada lagi, telah meninggal lebih dahulu. Dia pun tidak pula mempunyai anak yang akan menerima pusakanya. Ayah bunda telah mati, anak pun tidak ada. Orang yang begini dinamai da-lam keadaan kalalah. Baik orang itu laki-laki maupun perempuan. Sekarang datang pula ketentuan Allah tentang pembagian harta orang kalalah jika dia meninggal.
Ayat 12
Beginilah lanjutan ayat, “Dan jika seorang ataupun perempuan yang diwarisi itu kalalah (tidak mempunyai ibu bapak dan anak), tetapi ada mempunyai seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan, maka untuk mereka itu masing-masing seperenam."
Keterangan; Seorang yang dalam keadaan kalalah, baik orang itu laki-laki maupun perempuan, peratuan pembagian warisnya ada lagi. Cobalah gambarkan terlebih dahulu. Ada seorang suami atau seorang istri mati. Ayah dan bundanya tak ada lagi dan anak-anaknya pun tak ada. Yang ada hanya istri atau yang ada hanya suami. Keluarga mereka yang terdekat hanyalah saudara. Baik saudara itu seorang laki-laki maupun seorang perempuan. Maka, saudara itu, baik dia laki-laki maupun perempuan mendapatlah seperenam. Sama saja bagian itu, baik yang meninggal laki-laki atau yang meninggal perempuan. Dapatlah kita bayangkan bahwasanya bagian yang seperenam itu, jika ibunya masih hidup, ibulah yang harus mendapat. Sekarang sebab tidak ada lagi, saudara yang seorang itulah yang menerima bagian seperenam itu. Jika suami perempuan itu masih ada, niscaya mudahlah kita membagi harta itu menjadi 12 bagian. Seperdua untuk si suami, menjadi enam bagian dan seperenam bagi saudara yang seorang itu (baik laki-laki ataupun perempuan), menjadi dua bagian. Yang lebihnya (empat), serahkan kepada ‘ashabah.
“Tetapi jika mereka lebih dari itu, maka bersekutulah mereka pada yang sepertiga itu."
Jelaslah bahwa kalau saudara yang tinggal hanya satu orang laki-laki atau satu orang perempuan, dia mendapat seperenam. Akan tetapi, kalau mereka lebih dari satu orang, yaitu berdua atau lebih, mereka mendapat sepertiga. Yang sepertiga mereka bagi-bagi dengan ketentuan yang laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan.
Niscaya akan timbul keraguan kalau ayat ini yang menentukan satu saudara yang kalalah mendapat seperenam, dan kalau lebih dari satu mendapat sepertiga, padahal di akhir surah an-Nisaa' ini juga, ayat 177, tersebut lagi seorang kalalah dalam ketentuan yang lain. Di sana disebutkan pula bahwa saudara perempuan orang kalalah mendapat separuh; kalau dia berdua mendapat sepertiga. Kalau mereka banyak, ada yang laki-laki dan ada yang perempuan di ayat 177 tersebut dua pertiga juga, dengan dibagi laki-laki mendapat dua kali bagian perempuan. Niscaya akan timbul kesan seakan-akan berlawanan. Sebab, di ayat ini disebutkan seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan mendapat seperenam, sedang di ayat 177 saudara perempuan seorang dikatakan mendapat separuh. Setelah ditilik hadits-hadits dan alasan-alasan Al-Qur'an, ternyata bahwa yang dimaksud dengan ayat 12 ini ialah saudara seibu. Kalau yang tinggal itu hanya saudara seibu, mereka mendapat seperenam kalau seorang dan mendapat sepertiga kalau lebih dari seorang. Yang dimaksud dengan ayat 177, ialah kalau si mati kalalah meninggalkan saudara seibu sebapak. Bukan yang seibu saja. Dalam hal itu saudara perempuan mendapat separuh harta, bukan seperenam sebagai bagian untuk saudara yang seibu saja. Niscaya jelas perbedaan ini karena menurut turunan aliran darah, saudara seibu sebapak lebih dekat daripada saudara seibu saja, malahan saudara sebapak lain ibu pun lebih dekat daripada saudara seibu saja. Semuanya ini ialah, “(Yaitu) sesudah wasiatnya dipenuhi ataupun utangnya dibayarkan."
Tentang mendahulukan wasiat dan utang selalu diulang-ulang, supaya ketika membagikan harta waris jangan sampai kepunyaan dan hak orang lain dilupakan. Akan tetapi, sekarang Allah menjelaskan lagi tentang wasiat itu, “(Dengan) tidak menyusahkan" Yaitu jangan sampai suatu wasiat diperbuat merugikan kepada ahli waris yang benar-benar berhak, sebagaimana telah diterangkan beberapa kali sebelum ini. Di penutup ayat Allah berfirman, “Dan Allah Maha Mengetahui." Allah Maha Mengetahui isi hatimu, apakah kamu jujur atau tidak, terutama ketika menyusun wasiat, “Lagi Penyabar." AI-Halim kita artikan saja dengan penyabar. Maksudnya yang lebih dalam ialah Allah Mahatahu kalau kamu berbuat suatu kesalahan pada waktu yang lampau. Akan tetapi, Allah tidaklah segera mengambil tindakan memurkai kamu karena Allah terlebih dahulu hendak membukakan keinsafan bagi kamu untuk memperbaiki kesalahan yang telanjur. Oleh sebab sifat al-Halim, kamu sendiri pun hendaklah lebih hati-hati, jangan sampai ceroboh dan memandang enteng pembagian waris. Misalnya kamu ter-lambat menentukan pembagian itu sesudah kematian. Kalau terlambat itu hanya karena kesibukan yang tak dapat dielakkan, dapatlah Allah yang bersifat al-Halim menunggu. Akan tetapi, jika kamu sengaja memperlambat-lambat karena ada niat tertentu, niscaya Allah tidak akan membiarkannya.
Dapat pula kita rentang-panjang filsafat yang terkandung dalam sifat al-Halim. Misalnya, agama sudah menentukan siapa yang mendapat dan siapa yang tidak dan kalau mendapat berapa bagiannya. Orang-orangyangmendapat bagian sedikit hendaklah bersifat al-Halim pula, mengambil sempena dari sifat Allah. Bahkan ada orang laki-laki yang mendapat bagian tertentu, kemudian menghibahkan, menghadiahkan bagiannya seluruhnya kepada saudaranya yang perempuan. Dengan sifat al-Halim, kekeluargaan yang mesra tidak akan putus karena wafatnya orang yang dicintai.
Setelah mempelajari pokok-pokok faraidh yang telah dibentangkan Allah dalam Al-Qur'an, jelaslah bagi kita bahwa ini telah jadi salah satu cabang ilmu fiqih Islam yang penting. Dengan sendirinya memerlukan ke-pintaran dalam ilmu hitung sehingga tidak mungkin memimpin umat kalau tidak pandai berhitung. Tentang ilmu faraidh, bersabdalah Rasulullah ﷺ dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi dalam sunnahnya dari Abdullah bin Mas'ud berkata Rasulullah ﷺ,
“Pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada manusia. Karena sesungguhnya aku ini seorang manusia, yang akan dicabut nyawaku, dan ilmu pun akan (banyak) yang tercabut dan akan timbul pula banyak fitnah sehingga orang berselisihlah tentang faraidh, tidak didapat orang yang akan menyelesaikan." (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Dan sebuah hadits lagi dikeluarkan oleh al-Hakim dan al-Baihaqi juga, dari Abu Hurairah katanya, berkata Rasulullah ﷺ,
“Pelajarilah faraidh dan ajarkan dia, karena sesungguhnya itu separuh ilmu, yang akan dilupakan orang dan yang mula-mula akan dicabut dari umatku." (HR al-Hakim dan al-Baihaqi)
Sebagaimana dapat dipahami, hadits ini adalah sebagai tarhib, peringatan dari Nabi bahwa kalau tidak dipelajari ilmu ini dengan saksama, dia akan hilang lenyap saja, padahal sangat diperlukan.
Apatah lagi terlalu lama negeri kita Indonesia dijajah bangsa asing yang berlainan agama dengan kita. Walaupun tanah air kita sudah merdeka, perhatian pihak yang berkuasa boleh dikatakan belum ada kepada jurusan ini, padahal bagi kita ini adalah salah satu peraturan; sebagian dari syari'at.
Pemerintah penjajah dahulu sengaja menjauhkan urusan-urusan faraidh ini dari pengakuan hukum. Mereka lebih suka menonjolkan hukum-hukum adat daripada hukum-hukum agama kita yang jelas jadi pegangan kita dunia akhirat Ini adalah satu rencana besar dalam melemahkan dan menghilangkan kekuatan Islam. Setelah pemerintah penjajah habis, ahli-ahli agama Islam telah berkurang, sebab itu perhatian kepada faraidh jadi kurang. Padahal adanya hukum faraidh dalam Islam adalah salah satu keutamaan agama ini sehingga kita boleh berkata bahwa bagi seluruh bangsa di dunia ini, yang memeluk agama Islam, corak peraturan faraidh-nya adalah sama. Sedang pada bangsa-bangsa lain, mereka terpaksa membuat tradisi sendiri-sendiri yang sebagian besar sampai sekarang ini belum juga memberikan hak tertentu kepada perempuan sehingga kaum perempuan terpaksa lebih dahulu berjuang mati-matian menuntut haknya.
Seyogianya kita umat Islam memerhatikan pesan-pesan Rasulullah yang telah kita tukil-kan di atas. Segala peraturan tali sekali lagi dikukuhkan oleh Allah dengan lanjutan firman-Nya,
Ayat 13
“Yang demikian itulah batas-batas Allah."
Yaitu peraturan-peraturan yang telah Dia tentukan sehingga tidak timbul lagi fitnah dan hasad dengki dalam keluarga dan tidak ada lagi aniaya yang lebih tua kepada yang masih kecil: “Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya." Di sini disebutkan taat kepada Allah diikuti dengan taat kepada Rasul. Sebab, aturan faraidh yang ada dalam Al-Qur'an adalah semata-mata garis besar. Adapun dalam hal perinciannya bila terjadi misalnya ‘ashabah atau …, atau penjelasan tentang kalalah, Rasulullah yang memberi tafsirannya dengan sunnah. Diajarkan pula kepada orang-orang istimewa untuk itu, seumpama Zaid bin Tsabit,
“Niscaya akan dimasukkan-Nya ke surga, mengalir air sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Yang demikianlah kejadian yang besar."
Kejadian besar di akhirat, karena tidaklah akan sulit lagi jika datang berbagai pertanyaan tentang harta benda yang jadi fitnah di dunia ini. Hawa nafsu manusia mengumpulkan harta benda kadang-kadang menyebabkan mereka tidak menilai lagi antara halal dengan haram. Satu demi satu segala sumber harta benda kelak akan dipertanggungjawabkan kepada Allah. Akan ringanlah rasanya otak dan tenteramlah kalau waris telah terbagi menurut yang ditentukan Allah. Banyak sedikit bilangan yang diterima, semuanya disambut dengan sabar dan syukur; tidak ada aniaya atau pemalsuan.
Tentu timbul pertanyaan, “Apakah tidak cukup kalau disebutkan taat kepada Allah saja? Karena dengan taat kepada Allah, dengan sendirinya sudah mesti taat kepada Rasul?" Memang! Bagi orang yang telah sempurna iman, tidak disebutkan taat kepada Rasul, dengan menyebutkan taat kepada Allah saja mencukupilah. Akan tetapi, kadang-kadang hal ini mesti diperingatkan Allah. Karena kita sendiri banyak mengalami, terutama dalam zaman kemajuan ilmu pengetahuan alam dan filsafat ini. Banyak orang yang percaya dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Ta'aala ada! Mereka berjanji dalam hati sendiri akan taat kepada Allah, dengan menurutkan ilham penilaian buruk dan baik yang ada dalam hati mereka sendiri. Ini kebanyakan terjadi di Eropa, terutama di akhir-akhir abad kedelapan belas, dengan timbulnya gerakan Deisme, suatu Rationalisme. Voltaire dikenal sebagai pelopornya. Gerakan ini menjalar juga kepada beberapa negeri.
Bagi kita orang Islam nyatalah bahwa taat hanya kepada Allah, tidak disertai taat kepada Rasul, belumlah bernama agama. Sebab, Rasul adalah teladan yang diutus Allah untuk menjadi contoh melaksanakan ketaatan ke-pada Allah. Orang boleh menentang agama buatan manusia, bid'ah yang diada-ada, kekuasaan pendeta atau ulama yang melebihi apa yang dituntunkan Rasul, tetapi orang tidak akan dapat beragama, kalau tidak menaati tuntunan Rasul,
Misal yang terdekat, ialah ayat-ayat faraidh. Ada ayat yang mutasyabih (tengok kembali tafsiran mutasyabih pada surah Aali ‘Imraan ayat 7) Pada ayat 12 surah an-Nisaa' terdapat bahwa saudara hanya mendapat seperenam dan kalau mereka banyak mendapat separuh dan kalau berdua dan lebih mendapat dua pertiga. Di mana kita tahu memperbedakannya, kalau tidak kita “tanyakan" kepada Rasul dan ditaati cara beliau menjalankan?
Dengan taat kepada Allah disertai taat kepada Rasul, dengan jalan demikianlah kita akan diberi Allah kurnia ganjaran surga, yang mengalir air sungai di bawahnya dan kekal di dalamnya selama-lamanya,
Ayat 14
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar akan batas-batas-Nya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke neraka, kekal di dalamnya, dan baginya adzab yang menghinakan."
Tujuan yang semula ayat ini tentu sudah nyata terhadap orang-orang yang tidak mengacuhkan peraturan faraidh yang telah disebutkan di atas tadi. Mafhumlah kita bahwasanya Islam bukan saja mengatur ibadah kepada Allah, shalat, puasa, dan sebagainya, tetapi melingkungi segala soal yang mengenai kemasyarakatan dan kekeluargaan juga. Apalah lagi pada ayat pertama, pembukaan surah telah diperingatkan takwa kepada Allah dan memelihara hubungan kasih sayang kekeluargaan, yang disebut al-Arham. Keduanya dijadikan satu. Dalam ayat ini dapatlah kita pahamkan, betapa pun taatnya seseorang misalnya beribadah, kalau batas-batas yang ditentukan Allah mengenai faraidh dia abaikan, neraka jugalah tempatnya. Sebagai Muslim dalam masyarakat modern, taatilah peraturan Islam dalam hal faraidh, yang lebih sempurna daripada peraturan yang mana juapun. Jangan membuat wasiat yang mengubah ketentuan Allah. Sebagai orang Islam yang hidup dalam masyarakat keibuan (seperti di Minangkabau) atau masyarakat kebapakan (seperti di Tapanuli), apabila bertemu dua peraturan yang berlawanan, dahulukanlah Islam dari yang lain supaya jangan masuk neraka.
Menurut hadits yang dirawikan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik, bersabda Rasulullah ﷺ,
“Barangsiapa yang memotongkan warisan dari ahli warisnya, akan dipotong Allah pula warisnya dari surga pada hari Kiamat." (HR Ibnu Majah)
Susunan firman Allah memang menarik hati bagi orang yang suka merenungkan. Dalam ayat 13, Allah menyatakan bahwa orang yang taat kepada Allah dan Rasul, akan dimasukkan-Nya dia ke dalam surga dan kekal di dalamnya. Sedang di ayat 14 diterangkan bahwa siapa yang melanggar batas yang ditentukan Allah, akan dimasukkan-Nya dia ke neraka dan kekal di dalamnya.
Di sini kita mendapat kesan bahwa dengan amal sendiri, masing-masing orang akan dimasukkan ke dalam surga dan akan menikmati surga bersama-sama. Sehingga ketika di dalam, mengecap nikmat yang kekal ber-sama-sama. Karena kelezatan suatu nikmat ialah bisa dirasakan bersama. Akan tetapi, bila dimasukkan ke dalam neraka karena kesalahan sendiri, meskipun di dalamnya akan beramai-ramai juga, tidaklah akan ada hubungan kasih mesra dengan orang lain karena masing-masing menderitakan adzab sendiri-sendiri.
Berkenaan dengan faraidh, beberapa orang ulama Islam Indonesia telah menulis bukunya.
Di antara yang telah menulis ialah ayah dan guru saya, Dr. Syekh Abdulkarim Amrullah,
Syekh Taher Jalaluddin, Ahmad Hasan Bangil, dan Prof. Mahmud Yunus. Untuk melihat perkembangan dan ijtihad ulama tentang ‘araidh, sebagai perkembangan dari pokoknya yang ada di dalam Al-Qur'an, baiklah buku-buku itu kita baca.