Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَن
dan barang siapa
يَكۡسِبۡ
mengerjakan
خَطِيٓـَٔةً
kesalahan
أَوۡ
atau
إِثۡمٗا
dosa
ثُمَّ
kemudian
يَرۡمِ
ia melemparkan/menuduhkan
بِهِۦ
dengannya
بَرِيٓـٔٗا
orang yang tidak bersalah
فَقَدِ
maka sesungguhnya
ٱحۡتَمَلَ
ia menanggung
بُهۡتَٰنٗا
kebohongan
وَإِثۡمٗا
dan dosa
مُّبِينٗا
nyata
وَمَن
dan barang siapa
يَكۡسِبۡ
mengerjakan
خَطِيٓـَٔةً
kesalahan
أَوۡ
atau
إِثۡمٗا
dosa
ثُمَّ
kemudian
يَرۡمِ
ia melemparkan/menuduhkan
بِهِۦ
dengannya
بَرِيٓـٔٗا
orang yang tidak bersalah
فَقَدِ
maka sesungguhnya
ٱحۡتَمَلَ
ia menanggung
بُهۡتَٰنٗا
kebohongan
وَإِثۡمٗا
dan dosa
مُّبِينٗا
nyata
Terjemahan
Siapa yang berbuat kesalahan atau dosa, kemudian menuduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, sungguh telah memikul suatu kebohongan dan dosa yang nyata.
Tafsir
(Dan siapa yang mengerjakan suatu kesalahan) atau satu dosa kecil (atau suatu dosa) besar (kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah) membuatnya (maka sesungguhnya ia telah memikul suatu kebohongan) dan tuduhannya (dan dosa yang nyata) disebabkan kerja dan usahanya itu.
Tafsir Surat An-Nisa': 110-113
Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudaratan) dirinya sendiri. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.
Dan kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak bisa menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu. Dan (juga karena) Allah telah menurunkan Kitab dan hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. Dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu adalah sangat besar.
Ayat 110
Allah ﷻ memberitakan tentang kemurahan dan kedermawanan-Nya, bahwa semua orang yang bertobat kepada-Nya, pasti Dia terima tobatnya atas semua dosa yang telah ia lakukan. Untuk itu Allah ﷻ berfirman:
“Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 110)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Ibnu Abbas telah mengatakan sehubungan dengan ayat ini, bahwa Allah ﷻ memberitahukan kepada hamba-hamba-Nya tentang ampunan-Nya, sifat penyantun-Nya, kemurahan-Nya, keluasan rahmat-Nya, dan pemaafan-Nya. Barang siapa yang mengerjakan suatu dosa, baik kecil maupun besar kemudian ia mohon ampun kepada Allah, “niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 110) Sekalipun dosa-dosanya lebih besar daripada langit, bumi dan semua gunung.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Musanna, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Asim, dari Abu Wail yang mengatakan bahwa Abdullah pernah menceritakan, ''Dahulu kaum Bani Israil, apabila seseorang dari mereka melakukan suatu dosa, tercatat kifarat dosanya itu di atas pintu rumahnya. Apabila ada air seni yang mengenai sesuatu dari pakaiannya, maka ia harus menggunting bagian yang terkena itu dengan gunting dan membuangnya. Maka ada seorang lelaki berkata, ‘Sesungguhnya Allah telah memberikan kebaikan kepada kaum Bani Israil.’ Lalu Abdullah ibnu Mas'ud berkata, ‘Apa yang diberikan oleh Allah kepada kalian lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepada mereka. Allah telah menjadikan air suci lagi menyucikan bagi kalian.’ Selanjutnya Abdullah ibnu Mas'ud membacakan firman-Nya: ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mereka mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka.’ (Ali Imran: 135); ‘Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’.” (An-Nisa: 110)
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Ibnu Aun, dari Habib ibnu Abu Sabit yang menceritakan bahwa ada seorang wanita datang kepada Abdullah ibnu Mugaffal, lalu wanita itu menanyakan kepadanya tentang seorang wanita yang berbuat zina hingga mengandung. Setelah melahirkan bayinya, maka bayi itu ia bunuh. Abdullah ibnu Mugaffal menjawab, bahwa wanita tersebut masuk neraka. Maka wanita yang bertanya itu pergi seraya menangis. Lalu Abdullah ibnu Mugaffal memanggilnya dan berkata kepadanya, "Menurutku, perkaramu itu hanyalah salah satu di antara dua pilihan," lalu Abdullah membacakan firman-Nya: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 110) Mendengar hal tersebut wanita itu mengusap air matanya, kemudian pergi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur-Razzaq, telah menceritakan kepada kami Abdur-Rahman ibnu Mahdi, telah menceritakan kepada Kami Syu'bah, dari Usman ibnul Mugirah yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Ali ibnu Rabi'ah dari Bani Asad menceritakan hadits kepada Asma atau Ibnu Asma dari Bani Fazzarah, bahwa Ali pernah mengatakan, "Apabila aku mendengar dari Rasulullah ﷺ sesuatu hal, maka Allah memberikan manfaat kepadaku mengenainya menurut apa yang dikehendaki-Nya. Telah menceritakan kepadaku Abu Bakar As-Siddiq, dan memang Abu Bakar itu orangnya siddiq (benar); ia mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: 'Tidak sekali-kali seorang muslim melakukan suatu dosa, lalu ia melakukan wudu dan shalat dua rakaat, kemudian memohon ampun kepada Allah untuk dosa tersebut, melainkan Allah memberikan ampun baginya'. Kemudian Rasulullah ﷺ membacakan kedua ayat berikut, yaitu firman-Nya: ‘Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi dirinya.’ (An-Nisa: 110) hingga akhir ayat. ‘Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri.’ (Ali Imran: 135) hingga akhir ayat.
Kami membicarakan tentang hadits ini dan menisbatkannya kepada orang-orang dari kalangan ashabus sunan yang meriwayatkannya. Kami menyebutkan pula perihal sesuatu kelemahan pada sanadnya dalam Musnad Abu Bakar As-Siddiq. Sebagian darinya telah diterangkan di dalam surat Ali Imran.
Ibnu Mardawaih meriwayatkan di dalam kitab tafsirnya melalui jalur lain dari Ali Untuk itu ia mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ziyad, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Ishaq Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Daud ibnu Mihran Ad-Dabbag, telah menceritakan kepada kami Umar ibnu Yazid, dari Abdu Khair, dari Ali yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Bakar As-Siddiq menceritakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Tidak sekali-kali seorang hamba melakukan perbuatan dosa, lalu ia bangkit melakukan wudu dengan wudu yang baik, kemudian berdiri melakukan shalat, lalu memohon ampun dari dosanya, melainkan pasti Allah memberikan ampunan kepadanya. Karena Allah ﷻ telah berfirman, ‘Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menzalimi dirinya’." (An-Nisa: 110) hingga akhir ayat.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui jalur Abban (ibnu Abu Ayyasy), dari Abu Ishaq As-Subai'i, dari Al-Haris, dari Ali, dari As-Siddiq dengan lafal yang serupa. Tetapi sanad hadits ini tidak sahih.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Duhaim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hazim, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Marwan Ar-Ruqqi, telah menceritakan kepada kami Mubasysyir ibnu Ismail Al-Halbi, dari Tammam ibnu Nujaih, telah menceritakan kepadaku Ka'b ibnu Zahl Al-Azdi yang menceritakan bahwa ia pernah mendengar Abu Darda menceritakan hadits berikut: "Bilamana kami sedang duduk di sekitar Rasulullah ﷺ, lalu beliau hendak membuang hajatnya, maka beliau bangkit untuk menunaikan hajatnya; dan bila beliau hendak kembali lagi ke majelisnya, maka ditinggalkannya sepasang terompahnya atau salah satu dari pakaiannya. Kali ini beliau ﷺ bangkit ke hajatnya dan meninggalkan sepasang terompahnya." Abu Darda melanjutkan kisahnya, "Lalu Nabi ﷺ membawa segayung air, dan aku mengikutinya. Kemudian beliau pergi selama sesaat, tetapi kembali lagi tanpa menunaikan hajatnya, lalu bersabda: 'Sesungguhnya telah datang utusan dari Tuhanku yang menyampaikan, barang siapa yang mengerjakan kejahatan atau menzalimi dirinya, kemudian ia mohon ampun kepada Allah, niscaya ia mendapati Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Maka aku bermaksud untuk menyampaikan berita gembira ini terlebih dahulu kepada sahabat-sahabatku’." Abu Darda melanjutkan kisahnya, "Terasa berat oleh orang-orang ayat yang sebelumnya, yaitu firman-Nya: 'Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu.' (An-Nisa: 123). Setelah Rasulullah ﷺ menyampaikan berita gembira itu, maka aku bertanya, 'Wahai Rasulullah, sekalipun dia telah berzina dan telah mencuri, lalu ia memohon ampun kepada Tuhannya, niscaya Allah memberikan ampunan baginya?' Rasulullah ﷺ menjawab, 'Ya.' Aku bertanya lagi untuk yang kedua kalinya, dan beliau menjawab, 'Ya.' Ketika aku bertanya untuk yang ketiga kalinya, maka beliau ﷺ bersabda: 'Ya, sekalipun dia telah berbuat zina, dan sekalipun dia telah mencuri, lalu ia memohon ampun kepada Allah, niscaya Allah megampuninya, sekalipun hidung Abu Darda keropos'." Perawi melanjutkan kisahnya, "Setiap kali aku melihat Abu Darda menceritakan hadits ini, ia selalu memukul hidungnya dengan jarinya."
Hadis ini gharib (asing) sekali bila ditinjau dari segi sanadnya dengan konteks seperti ini, dan di dalam sanadnya terdapat kelemahan.
Ayat 111
Firman Allah ﷻ: “Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakannya untuk (kemudaratan) dirinya sendiri.” (An-Nisa: 111)
Ayat ini semakna dengan ayat yang lain, yaitu firman-Nya: “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (Al-An'am: 164) Dengan kata lain, seseorang tidak dapat menyelamatkan orang lain. Sesungguhnya setiap orang akan menerima sendiri akibat dari apa yang dikerjakannya, tidak dapat membebankannya kepada orang lain. Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan:
“Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (An-Nisa: 111)
Hal tersebut terjadi berkat pengetahuan-Nya, kebijaksanaan-Nya, keadilan-Nya, dan rahmat-Nya.
Ayat 112
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah.” (An-Nisa: 112) hingga akhir ayat. Seperti yang dilakukan oleh Bani Ubairiq, ketika ia melemparkan tuduhan perbuatan jahatnya kepada orang lain yang dikenal saleh, yaitu Labid ibnu Sahl, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadits di atas. Atau seperti apa yang dituduhkan orang-orang kepada Zaid ibnus Samin (seorang Yahudi), padahal Zaid tidak bersalah; dan mereka yang menuduhnya sebagai orang-orang zalim yang berkhianat, seperti yang diperlihatkan oleh Allah kepada Rasul-Nya.
Ancaman dan sindiran ini bersifat umum. Dengan kata lain, mencakup pula selain mereka yang disebut dari kalangan orang-orang yang melakukan perbuatan jahat seperti mereka dan berkarakter seperti mereka; maka baginya hukuman yang sama seperti yang diterima mereka.
Ayat 113
Firman Allah ﷻ: “Dan kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka telah berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak bisa menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu.” (An-Nisa: 113)
Imam Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani dalam surat yang ditujukannya kepadaku, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, dari Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah Al-Ansari, dari ayahnya, dari kakeknya Qatadah ibnun Nu'man, lalu ia menyebutkan kisah Bani Ubairiq, dan Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Tentulah segolongan dari mereka telah berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. Tetapi mereka tidak bisa menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka tidak dapat memberi mudarat sedikit pun kepadamu.” (An-Nisa: 113)
Yang dimaksud dengan 'mereka' adalah Usaid ibnu Urwah dan kawan-kawannya. Dengan kata lain, ketika Usaid ibnu Urwah dan kawan-kawannya memuji tindakan Bani Ubairiq dan mencela Qatadah ibnu Nu'man karena ia menuduh mereka yang mereka anggap sebagai orang baik-baik dan tidak bersalah, padahal duduk perkaranya tidaklah seperti apa yang mereka sampaikan kepada Rasulullah ﷺ. Karena itulah maka Allah menurunkan penyelesaian masalah tersebut dan membukakannya kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian Allah menganugerahkan kepadanya dukungan-Nya dalam semua keadaan dan memelihara dirinya. Allah menganugerahkan pula kepadanya Al-Qur'an dan hikmah, yakni sunnah.
“Dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui.” (An-Nisa: 113)
Yakni sebelum hal tersebut diturunkan kepadamu. Perihalnya sama dengan makna yang terkandung dalam ayat lain, yaitu firman-Nya:
“Dan demikianlah Kami wahyukan kepadamu wahyu (Al-Qur'an) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al-Kitab (Al-Qur'an) itu?” (Asy-Syura: 52) hingga akhir ayat.
“Dan kamu tidak pernah mengharap agar Al-Qur'an diturunkan kepadamu, tetapi ia (diturunkan) karena suatu rahmat yang besar dari Tuhanmu.” (Al-Qasas: 86)
Karena itulah dalam ayat ini Allah ﷻ berfirman: “Dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu adalah sangat besar.” (An-Nisa: 113)
Dan barang siapa berbuat kesalahan, yaitu perbuatan atau pelanggaran yang dilakukan tanpa sengaja, atau perbuatan dosa yang dilakukan dengan sengaja, kemudian dia tuduhkan atau lemparkan kesalahan dan perbuatan dosa itu kepada orang lain yang tidak bersalah, maka sungguh, dia telah memikul suatu kebohongan yang besar dan dosa yang nyata karena dia yang melakukan kesalahan dan perbuatan dosa ituAyat ini menggambarkan begitu banyak nikmat dan rahmat yang Allah anugerahkan kepada Nabi Muhammad, termasuk nikmat melindungi beliau dari segala upaya orang-orang munafik untuk menyesatkan beliau. Dan kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya yang beraneka ragam yang dianugerahkan kepadamu, wahai Nabi Muhammad, termasuk memelihara kamu dari kesalahan, tentulah segolongan dari mereka, orang-orang munafik, berkeinginan keras dan berusaha untuk menyesatkanmu dan memalingkan kamu dari kebenaran. Tetapi apa yang mereka inginkan dan usahakan itu hanya menyesatkan diri mereka sendiri, dan tidak membahayakanmu sedikit pun, kapan dan di mana pun. Dan juga karena Allah telah menurunkan Kitab, yaitu AlQur'an yang amat sempurna dengan petunjuk-petunjuk yang ada di dalamnya, yang dengannya engkau dapat mengambil keputusan yang benar dan menjadi petunjuk bagi umatmu dan juga memberikan Hikmah kepadamu, yaitu pemahaman dan pengamalan melalui sunahsunahmu yang dapat diteladani, dijadikan pedoman, dan diikuti oleh umatmu dan Dia juga telah mengajarkan kepadamu apa yang belum engkau ketahui, yaitu hal-hal yang belum disampaikan Allah di dalam Al-Qur'an maupun hikmah. Demikianlah karunia-karunia Allah yang dianugerahkan kepadamu dan karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu itu sangat besar.
Orang yang melakukan perbuatan dosa dengan tidak disengaja atau dengan sengaja, kemudian mereka melemparkan kesalahan itu kepada orang lain dan menuduh orang lain mengerjakannya, sedang ia mengetahui orang lain itu tidak bersalah, maka dia sesungguhnya telah membuat kebohongan yang besar dan akan memikul dosanya seperti yang dilakukan keluarga Banu Ubairiq yang melemparkan kejahatan Tu'mah kepada Zaid bin Saleh. Orang seperti Tu'mah dan keluarganya tetap melakukan dua macam kejahatan. Kejahatan melakukan perbuatan dosa itu sendiri dan kejahatan melemparkan tuduhan yang tidak benar kepada orang lain.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ada berbagai riwayat tentang sebab turunnya ayat-ayat dari 105 sampai 113 ini. Tetapi kesimpulannya ialah suatu tuduhan palsu atas orang-orang yang tidak bersalah berkenaan dengan suatu pencurian.
Di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Mardawaihi sebab turun ayat ini melalui al-Aufi dan Ibnu Abbas sebagai tersebut di dalam Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, ialah, “Bahwa beberapa orang Anshar turut berperang dengan Rasulullah ﷺ, mengadukan halnya dan menyatakan bahwa yang disangkanya pencuri itu ialah Thu'mah bin Ubairaq. Tetapi setelah si pencuri mengetahui bahwa yang kecurian telah melapor kepada Rasulullah, lekas-lekas perisai itu dijatuhkannya ke rumah seorang laki-laki yang tidak bersalah. Sesudah itu dia segera datang kepada beberapa orang kaumnya, berkata, “Saya telah menghilangkan perisai itu dan telah saya lemparkan ke rumah si Fulan, Kalian akan mendapatinya di sana." Mendengar perkataan si Thu'mah yang demikian, semua keluarganya itu datang kepada Rasulullah ﷺ. Malam-malam dan berkata, “Wahai Nabi Allah! Saudara kami (Si Thu'mah), tidak bersalah dalam hal ini. Yang mengambilnya ialah si Fulan. Kami tahu betul! Kami harap Rasul membersihkan nama saudara kami itu di hadapan orang banyak. Karena kalau dia tidak dipeliharakan Allah dengan perantaraan engkau, niscaya dia akan binasa."
Mendengar permohonan yang demikian, berdirilah Rasulullah ﷺ di hadapan orang banyak, membersihkan nama si Thu'mah dari tuduhan orang banyak itu.
Riwayat lain pula dari Ibnu Jarir, yang diterimanya dari Qatadah, bahwa ayat-ayat ini diturunkan tentang seorang bernama Thu'mah bin Ubairaq, dan tentang nyarisnya Nabi ﷺ membela dan menerima pembelaan atas dirinya. Ayat-ayat ini mengandung peringatan kepada Rasulullah ﷺ supaya jangan membela pengkhianat. Thu'mah bin Ubairaq adalah seorang dari penduduk Madinah. Dia dari kaum Bani Zhafar. Seorang dari Bani Zhafar itu mencuri perisai itu ialah seorang Yahudi. Namanya Zaid bin Syamir. Setelah mendengar bahwa dia dituduh padahal dia merasa tidak bersalah, Yahudi itu datang menghadap Rasulullah ﷺ menyatakan sekali-kali bukanlah dia pencuri perisai yang hilang itu. Setelah itu si Thu'mah melihat Yahudi itu telah menghadap Rasul, dia pun segera pula datang menghadap. Dia membela kaumnya Bani Zhafar dan memperkuat tuduhannya kepada Yahudi itu. ibnu Jarir berkata, “Inilah sebabnya turun ayat-ayat ini!" Dan kata Ibnu Jarir selanjutnya, “Setelah terbuka rahasianya bahwa tuduhannya itu palsu, dan pencuri itu memang dari kaumnya Bani Zhafar sendiri, si Thu'mah lari meninggalkan Madinah, menuju
Mekah dan menggabungkan diri dengan kaum musyrikin."
Menurut riwayat dari as-Suddi, “Seorang Yahudi menitipkan perisai kepada Thu'mah bin Ubairaq. Seketika Yahudi itu datang kembali meminta barang titipannya, si Thu'mah mungkir. Lalu barang itu disembunyikannya ke rumah Abu Mulaik al-Anshari. Thu'mah telah menggelapkan harta titipan orang. Yahudi itu segera melaporkan kelakuan Thu'mah yang tidak jujur itu kepada Rasulullah ﷺ. Tetapi ketika Yahudi itu melaporkan hal itu kepada Rasulullah, si Thu'mah dan sanak keluarganya datang beramai-ramai kepada Rasulullah ﷺ menuduh pula, bahwa Yahudi itulah yang mengadakan tuduhan palsu, sehingga dari pintarnya mereka menyusun siasat fitnah dalam pertemuan rahasia, nyarisiah Rasulullah terpengaruh. Apatah lagi yang dituduh itu orang Yahudi pula. Yang seketika itu dipandang banyak memusuhi Islam.
Menurut riwayat Ibnu Zaid, seorang mencuri sebuah perisai. Karena takut ketahuan diantarkannya perisai curian itu ke rumah seorang Yahudi. Karena melihat di rumahnya telah ada perisai yang bukan kepunyaannya, segera Yahudi itu datang kepada Rasulullah ﷺ. Dia berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Demi Allah, bukanlah aku pencuri perisai ini, wahai Abu Qasim, melainkan perisai ini diantarkan orang ke rumahku diam-diam."
Tetapi sanak saudara pencuri membela yang mencuri dan merekankan tuduhan kepada Yahudi itu, seraya mereka berkata, “Memang Yahudi ini jahat dan busuk dan kafir. Dia adalah penantang Allah dan agama yang engkau bawa,"
Demikian pintar mereka mengatur fitnah supaya terlepas yang bersalah daripada hukuman, dengan mengambinghitamkan seorang Yahudi, sehingga nyarisiah Rasulullah terpengaruh oleh susunan kata mereka. Kata Ibnu Zaid, “Inilah sebabnya turun ayat ini. Yaitu menegur Rasulullah ﷺ agar menegakkan hukum berdasar kitab Allah, dan jangan lekas terpengaruh membela yang bersalah."
Ada juga riwayat lain yang diterima dari at-Tirmidzi menyebut Bani Ubairaq juga. Tetapi yang bersangkutan bukan bernama Thu'mah, melainkan bernama Basyir bin Ubairaq.
Menurut ad-Daruquthni bukan Basyir melainkan Busyair bin Ubairaq. Seorang tukang fitnah. Seorang munafik yang kerap kali mengarang-ngarang syair menghina dan mengejek sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ Basyir atau Busyair pemfitnah ini kebetulan dari bani Ubairaq, satu keluarga miskin, baik di zaman jahiliyyah ataupun setelah zaman Islam. Makanan mereka hanya kurma dan roti saja, tidak pernah merasai makanan mewah. Sekali ada Qatadah bin Nu'man menceritakan bahwa pamannya, Rifa'ah bin Zaid, memesan makanan dan beberapa alat senjata dari Syam. Tiba-tiba makanan dan alat senjata itu telah dicuri orang malam-malam. Rifa'ah segera menceritakan hal itu kepada kemenakannya, Qatadah bin Nu'man, bahwa senjata dan makanannya hilang dicuri orang. Rifa'ah menyatakan bahwa penyelidikan telah dilakukan di perkampungan Bani Ubairaq. Cukup tanda-tanda menunjukkan bahwa dari Bani Ubairaqlah pencuri itu. Setelah diperiksa kepada mereka, dengan sengaja mereka menimpakan tuduhan kepada seorang bernama Lubaid bin Sahi, bahwa dialah yang mencuri. -
Mendengar tuduhan yang bukan-bukan itu murkalah Lubaid bin Sahi, sampai disentaknya pedangnya dan berkata, “Demi Allah, mesti buktikan mengapa aku dituduh, kalau tidak aku bunuh kamu semuanya!" Padahal Lubaid bin Sahi itu dikenal seorang yang saleh dan baik amalnya dalam Islam. Qatadah bin Nu'man dan pamannya, Rifa'ah bin Zaid, terpaksa meminta maaf dan mencabut tuduhan itu. Lalu mereka datang mengadukan hal mereka kepada Rasulullah ﷺ dan menerangkan bahwa Bani Ubairaq menuduh Lubaid bin Sahi sehingga nyaris kami menuduh orang yang tidak bersalah. Mereka memohonkan keadilan kepada Rasulullah ﷺ saja. Asal senjata-senjata itu kembali, cukuplah sudah. Yang makanan biarlah mereka makan,
Dari Bani Ubairaq sengaja pula datang menghadap Nabi, yang datang itu bernama Asir bin ‘Urwah. Lalu dia mengadukan Qatadah dan pamannya Rifa'ah itu. Dikatakannya bahwa kedua orang itu main tuduh saja sehingga seorang yang saleh di kalangan kami bernama Lubaid bin Sahi dituduhnya mencuri!"
Mendengar pengaduan Asir bin ‘Urwah itu marahlah Rasulullah ﷺ kepada Qatadah dan Rifa'ah, sebab menuduh-nuduh orang saja, padahal pangkal bala ditimbulkan oleh Basyir tukang fitnah yang tersebut permulaan tadi. Mendengar kemarahan Rasulullah itu, kembalilah Qatadah memberitakan kepada pamannya.
“Ah, sudahlah!" Kata pamannya, “Siapa yang bersalah terserahlah. Harta benda itu tidak akan aku ambil kembali. Biarlah aku sedekahkan dia pada jalan Allah."
Qatadah bercerita, “Tadinya aku sangka keislaman pamanku kurang kuat, penuh tipu dan banyak aib. Tetapi setelah beliau mengatakan bahwa harta itu biar disedekahkan saja pada jalan Allah, barulah aku tahu bahwa pamanku seorang Muslim sejati."
Kata Tirmidzi, kejadian inilah yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat ini. Memberi peringatan kepada Rasulullah ﷺ supaya beliau jangan terpengaruh oleh pengaduan palsu, sehingga tergesa memutuskan memurkai orang karena fitnah.
Tersebut pula bahwa setelah terbuka rahasia yang difitnahkan oleh si Basyir atau Busyair itu—karena telah disingkapkan oleh ayat—si Busyair segera lari meninggalkan Madinah, menuju Mekah dan melindungkan diri kepada seorang perempuan musyrikin bernama Sulaqah binti Sa'ad bin Syuhaid. Menurut Tafsir Khazin, Busyair itu mati dalam suatu kecelakaan.
Ahli-ahli tafsir lebih banyak memilih dan menguatkan riwayat Thu'niah bin Ubairaq yang memfitnahkan orang Yahudi itu.
ALKITAB
Sekarang kita masuk ke dalam penafsirannya,
Ayat 105
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada engkau Kitab itu, dengan kebenaran. “
Kitab itu ialah Al-Qur'an.
Meskipun pada waktu itu Al-Qur'an belum berbentuk sebagai sebuah Kitab atau buku atau mushaf, wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, Kitab namanya. Sebab arti Kitab bukan saja buku, tetapi berarti juga perintah. Di dalam ayat ini Nabi sudah diperingatkan bahwa di dalam mengambil suatu kebijaksanaan, hendaklah dia selalu berpedoman kepada wahyu yang telah diturunkan Allah kepadanya. Di dalam “Kitab itu," bahwa jika datang orang fasik membawa suatu berita, hendaklah cari keterangan, selidiki nilai berita yang dibawanya itu (surah al-Hujuraat ayat 6) Di dalam kitab itu juga telah dijelaskan, “Kalau hendak menghukumkan, hendaklah menghukum dengan adil" (surah an-Nisaa' ayat 57) yang telah lebih dahulu keterangannya. Dengan dasar-dasar yang tersebut di dalam Kitab itulah hendaknya engkau menghukum. “Supaya engkau hukumkan di antara manusia dengan apa yang telah memperlihatkan Allah kepada engkau." Arti tegasnya ialah dengan memakai dasar kitab tuntunan Allah itu, hendaklah engkau menghukum. Dan diberi kelak engkau oleh Allah petunjuk, yaitu diperlihatkan oleh Allah kepada engkau jalan mana yang muslihat yang akan engkau tempuh. Ayat ini memberikan bimbingan yang tegas kepada kita bahwasanya Rasul sebagai pemegang hukum, dengan memegang dasar al-Kitab al-Hakim, boleh memakai ijtihadnya, boleh mengambil keputusan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Tetapi tidaklah
boleh terburu mengambil keputusan, sebelum terlebih dahulu bersandar kepada dasar yang kuat, yaitu Kitab Allah. Sebab Kitab adalah kebenaran yang mutlak sedang ijtihad manusia bisa salah atau khilaf, kemudian ditekankan lagi di ujung ayat,
“Dan janganlah engkau terhadap orang-orang yang berkhianat itu jadi pembela."
Maksud sebab turun ayat sudah terang. Yaitu pertama jangan terburu-buru menerima saja fitnah yang dibuat oleh si Thu'mah terhadap Yahudi itu, atau si Busyair terhadap Lubaid bin Sahi. Dan sebelum menjatuhkan hukum, hendaklah ingat terlebih dahulu sandaran sebagai hakim Islam, yaitu Kitab Allah. Di dalam mengambil hukum dari Kitab Allah itu, bolehlah engkau memakai ijtihadmu sendiri menurut apa yang diperlihatkan Allah kepada engkau dalam cara timbangan yang sehat. Dasar yang utama pula harus diperhatikan, ialah karena hendak menegakkan keadilan jangan membela orang yang berlaku aniaya. Walaupun yang teraniaya itu orang Yahudi.
Ayat 106
“Dan mohonkanlah ampun kepada Allah."
Dapatlah dipahamkan dari sebelum turun ayat, bahwa Rasul disuruh memohonkan ampun kepada Allah, sebab beliau telah nyaris telanjur membenarkan fitnah orang, karena pandainya orang curang menyusun fitnah. Dan bunyi ayat setegas ini menunjukkan pula bahwa seorang Rasul di dalam mengambil tindakan, bisa juga terkhilaf. Dan itu tidaklah termasuk salah. Ayat inilah yang membuka pintu ijtihad bagi orang yang ada kesanggupan, dengan selalu berdasar kepada al-Kitab. Kalau terkhilaf segera memohon ampun.
Hendaklah diingat pula bahwa kalimat Ghufran bukan saja berarti ampunan, tetapi berarti juga tameng untuk menangkis bahaya. Memohon, istighfar kepada Allah bukan saja berarti memohon ampun daripada kesalahan
atau kekhilafan yang telah telanjur, bahkan berarti juga memohon perlindungan kepada Allah, moga-moga jangan sampai tertempuh jalan yang salah.
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Dengan sebab Allah telah menyebut salah satu daripada sifat-Nya, yaitu Pengampun, hilanglah keraguan bagi seseorang mujtahid buat meneruskan ijtihadnya, asal saja dia tetap berpegang kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah Nabi. Dengan Allah menyebut sifat-Nya Penyayang, berarti bahwa Dia akan memberikan petunjuk dan memperlihatkan apa-apa yang patut diperlakukan di dalam menetapkan hukum.
Di dalam ayat 105 tadi Allah telah menyuruh Nabi-Nya menghukum dengan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Artinya ialah dengan ma'rifat dan ilmu dan wahyu yang telah dilimpahkan Allah kepadanya sehingga laksana dilihatnya nyata dengan matanya apa yang terlihat oleh hatinya. Karena Ilmu Yaqin yang timbul dalam hati, lebih nyata oleh penglihatan hati daripada apa yang dilihat oleh mata. Sebab itu Sayyidina Umar bin Khaththab memberi peringatan kepada kita, supaya janganlah seseorang yang telah berhasil memutuskan sesuatu perkara mengatakan bahwa dia telah memutuskan menurut penglihatannya yang diberikan Allah kepadanya. Sebab teropong penglihatan batin yang demikian jitu hanya diberikan Allah kepada Rasul-Nya. Kita hanya berijtihad, dan hasil ijtihad tidaklah yakin, melainkan zhan semata-mata. Sedang ra'yi atau pandangan Rasulullah adalah benar, sebab Allah yang memberinya penglihatan.
Sungguh pun demikian Nabi sendiri pun dengan thawadhunya mengakui juga bahwa dia sebagai manusia tidak akan sunyi dari kekhilafan. Tersebut dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim yang diterima dari istri Rasulullah ﷺ Ummi Salamah, bahwa sedang beliau berada di dalam biliknya, terdengar oleh beliau orang ribut-ribut di luar karena mempertengkarkan suatu perkara dan mereka hendak datang meminta ketentuan hukum dari beliau. Beliau pun keluarlah, lalu berkata kepada mereka, “Ketahuilah, aku ini hanyalah manusia. Aku akan memutuskan hukum hanya sepanjang yang aku dengar. Mungkin salah seorang di antara kamu kelu lidahnya menegakkan alasan di hadapan yang lain, lalu aku mengambil keputusan. Oleh sebab itu, kalau ada keputusanku yang merugikan hak seorang Muslim dan memenangkan yang lain, maka itu adalah sepotong dari api neraka. Sebab itu pikullah hukum itu dan tinggalkanlah."
Dan menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, bahwa dua orang laki-laki dari golongan Anshar pernah membawa perkara ke hadapan Rasulullah ﷺ Yaitu perkara warisan yang telah lama berlalu masa-nya sehingga di antara kedua pihak tidak ada bukti-bukti yang dapat ditunjukkan. Ber-sabdalah beliau, “Kamu datang kepadaku membawa perkara minta diselesaikan, sedang aku ini hanya seorang manusia. Mungkin sekali salah seorang di antara kamu ada yang kelu lidahnya mengemukakan hujjahnya. Sedang aku menghukum menurut apa yang aku dengar. Kalau kamu merasa ada hukumku yang merugikan saudaranya, janganlah dia ambil itu. Karena itu adalah sepotong dari api akan membakarnya, tergelung di kuduknya di hari Kiamat."
Mendengar sabda beliau yang demikian, menangislah kedua sahabat Anshar bersaudara itu, lalu yang seorang berkata, “Apa yang selama ini aku rasa sebagai hakku, mulai hari ini aku berikan kepada saudaraku."
Dan yang seorang menyambut pula, “Bukan! Malahan seluruh hakku aku serahkan kepada saudaraku." Mendengar pengakuan yang mengharukan hati itu bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Kalau sudah demikian kata kalian, pulanglah dan berbahagialah baik-baik tegakkanlah hak di antara kamu berdua baik-baik pula, dan kemudian itu halal-menghalalkantah terlebih terkurang."
Riwayat ini ditambah oleh Abu Dawud, yaitu sabda Rasulullah ﷺ, “Aku mengambil keputusan adalah menurut pandanganku, pada perkara yang tidak ada turun wahyu kepadaku."
Sedangkan sudah terang Rasulullah selalu dituntun oleh wahyu, lagi mengaku beliau akan kekhilafannya sebagai manusia, apatah lagi bagi kita umat Muhammad yang melakukan ijtihad, niscaya akan ada kekhilafan. Itu sebabnya Imam Syafi'i pernah mengatakan bahwa hanya hadits Rasulullah ﷺ yang sahlah madzhabku."
Ayat 107
“Dan janganlah engkau bela orang-orang yang mengkhianati diri mereka. “
Thu'mah telah mengkhianati diri sendiri bersama kawan-kawannya karena telah melemparkan tuduhan palsu kepada orang lain, meskipun orang lain itu orang Yahudi. Perbuatan demikian telah merusakkan budi sebagai Muslim, dan tidak patut dilakukan oleh orang yang beriman. Sebab itu Allah melarang Nabi membela orang yang seperti demikian, meskipun dalam pengakuannya mereka menyatakan diri orang Islam. Perbuatan mereka telah merusak Islam,
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada yang berkhianat dan berdosa."
Ujung ayat ini telah menegaskan bahwa Allah tidak suka kepada orang-orang yang curang, siapa pun orangnya, walaupun dia mengaku islam. Dan Allah Adil. Keadilan Allah itu merata bagi semua orang. Yang salah tetap salah dan berdosa, walaupun dia mengaku Islam. Yang teraniaya wajib dibela, walaupun si Yahudi. Mentang-mentang golongan Islam berkuasa, tidaklah boleh kekuasaan disalah
gunakan. Jangan digunakan untuk menindas dan memfitnah orang yang lemah.
Ayat 108
“Mereka bersembunyi dari manusia."
Dengan sembunyi dari mata orang lain dan memencil ke tempat sunyi, Thu'mah dan kawan-kawannya mengatur siasat untuk memfitnah orang Yahudi itu, dan kemudian membawa hasil rencana fitnah itu ke hadapan Nabi ﷺ. “Tetapi mereka tidak (dapat) bersembunyi daripada Allah."
Di dalam surah al-Mujaadalah ayat 7, Allah pun telah menegaskan bahwa Allah mengetahui apa yang tersembunyi di semua langit dan bumi. Kalau ada orang berbisik-bisik bertiga, Allah-iah yang keempat. Kalau orang berbisik berlima, Allah-lah yang keenam, bahkan tidak pun sedikit dari itu, atau lebih banyak dari itu, namun Allah yang bersama mereka di mana saja mereka berada, dan kelak semuanya akan dibuka sendiri oleh Allah apa yang diperbisikkan itu di hari Kiamat. Segala sesuatu diketahui oleh Allah. Lantaran itu Allah lebih menegaskan."Padahal dia ada bersama mereka seketika mereka me-nyusun-nyusun (rencana) pada malam hari." Yaitu bahwa rencana memfitnah Yahudi itu ketika dibuat, Allah sendiri menghadirinya, “Perkataanyang Dia tidak ridha." Sebab, segala rencana yang disusun itu tidaklah diridhai oleh Allah. Hal itu merusak Islam, merusak iman, serta merusak keadilan dan menganiaya, bukan saja terhadap Yahudi tersebut, bahkan lebih utama menganiaya diri yang memfitnah itu sendiri, sebab dia telah merusak jalan hidupnya, mengalih dari kejujuran kepada kecurangan.
“Dan adalah Allah itu, dengan apa-apa yang mereka kerjakan, telah mengepung."
Allah telah mengepung, artinya bahwa satu jalan yang curang, adalah jalan yang tidak berujung, atau jalan buntu, yang tidak mempunyai pintu keluar, sehingga yang menjalani
itu akan terkepung oleh akibat kesalahannya sendiri dari kiri dan kanan, muka dan belakang. Surut tidak bisa lagi dan maju adalah kehancuran,
Ayat 109
“Ha! Itutah kamu, orang-orang yang lelah membela mereka dalam kehidupan dunia"
Dengan dimulai kalimat ha antum, yang kita artikan, ‘Ha! Itulah kamu!' kita bawakanlah ke dalam bahasa Indonesia makna yang tersembunyi dalam pangkal ayat itu, yaitu sebagai “tunjuk hidung" menelanjangi jiwa orang-orang yang telah membela Thu'mah itu. Tandanya mereka bukan seorang dua, melainkan agak banyak, yaitu kaum dan sanak keluarga Thu'mah. Membela Thu'mah walaupun dia salah, menuduh Yahudi walaupun tak bersalah karena mempertahankan nama suku atau kaum. Semuanya ini hanyalah usaha menjaga air muka dalam kehidupan dunia yang fana belaka. Datanglah pertanyaan Allah, sebagai menyadarkan mereka atas kesalahan itu, “Maka siapakah yang akan membela mereka di hari Kiamat?"
Inilah suatu peringatan keras bagi barang-siapa yang mencoba membela yang salah dan menegakkan perbuatan curang. Bahwasanya walaupun menang perkaranya di dunia ini karena cerdik-buruknya, namun di akhirat perkara ini akah dibuka kembali, dan tidak ada yang akan sanggup membela di hadapan mahkamah ilahi.
“Atau siapakah adanya yang akan menjadi pengurus atas mereka?"
Siapa? Sehingga malaikat sendiri pun tidak akan dapat mengangkat mulut kalau tidak seizin Allah (Surah an-Naba' ayat 37) Apatah lagi makhluk yang lain. Kedaulatan mutlak di hari itu adalah di sisi Allah semata-mata dan kebenaran akan tegak dan jayanya. Sebab kebenaran itu adalah salah satu nama dan sifat dari Allah.
Setelah diperingatkan ancaman besar ini, datanglah ayat seterusnya,
Ayat 110
“Dan barangsiapa yang berbuat suatu kejahatan ataupun dia menganiaya dininya, kemudian itu dia pun memohon ampun kepada Allah, niscaya akan didapatinya Allah itu Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Datang ayat yang seperti ini menunjukkan bahwa Thu'mah dan kaumnya masih diberi kesempatan memohon ampun kepada Allah. Sebab barangkali di kala itu mereka belum menyangka bahwa perbuatan mereka itu adalah satu pengkhianatan besar, bukan kepada Yahudi itu, melainkan kepada Allah dan Rasul-Nya. (Kata Barangkali adalah penafsiran kita. Bukan keraguan dari Allah) Sebab barangkali mereka menyangka, kalau orang itu cuma Yahudi, tidak mengapa difitnah secara aniaya. Disebutkan sekali lagi di ayat ini bahwa itu adalah jahat dan menganiaya diri sendiri sebab merusak jalan lurus yang wajib dibangunkan dalam jiwa. Kalau mereka lekas tobat dan minta ampun, mereka akan diberi tobat. Sebab Allah Maha Penyayang kepada orang yang insaf dan tobat dari kesalahannya.
Ayat 111
“Dan barangsiapa yang mengusahakan suatu dosa, maka usahanya itu lain tidak hanyalah untuk celaka dininya."
Sebagaimana pepatah, “Siapa yang menggali lubang untuk mencelakakan orang lain, dia sendirilah yang akan menimbuni lubang itu dengan sendirinya." Dan, “Sepandai-pandai membungkus, namun yang busuk akan berbau juga." “
Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Sebab hanya manusia yang dapat didustai, namun Allah tidak. Allah Bijaksana! Dia menentukan suatu ketentuan bahwa sebelum hukum diputuskan, hendaklah diadakan penyelidikan terlebih dahulu. Dan terdahulu dari ini sudah pula diingatkan Allah, bahwa kalau kamu menghukum di antara manusia hendaklah menghukum dengan adil. (Ingat ayat 58)
Ayat 112
“Dan barangsiapa yang mengusahakan suatu kejahatan atau dosa, kemudian dia tuduhkan dengan dia kepada seorang yang benih, maka sesungguhnya dia telah memikut suatu dusta besar dan dosa yang nyata."
Lihat di sini keadilan Allah, dalam ayat ini sudah diberikan pembelaan kepada Yahudi tadi, dia adalah bersih, atau Bari-an, tidak ada salah dalam hal ini. Soal orang Yahudi memusuhi Islam adalah perkara lain dan cara menghadapinya lain pula. Tetapi dalam hal menggelapkan titipan atau mencuri, atau menuduh dengan bohong, dia tidak bersalah sama sekali. Yang bersalah besar, membuat dusta-besar dan dusta yang nyata ialah yang menuduhnya, ialah Thu'mah dan kaumnya.
Ayat 113
“Dan kalau bukanlah karena karnia Allah atas engkau."
Kurnia utama yang diberikan Allah kepada manusia Muhammad itu ialah karena dia yang dipilih (Mushthafa) menjadi Rasul Allah untuk seluruh alam dan diberi Ma'shum, yaitu kesucian jiwa dan terpelihara dari terperosok ke dalam kesalahan. “Dan rahmat-Nyayaitu rahmat kecerdasan pikiran sehingga tidak terburu-buru mengambil keputusan dalam suatu perkara yang belum diperiksai dengan teliti. “Sesungguhnya telah bertekad jahat setengah dari mereka hendak menyesatkan engkau." Yaitu menjerumuskan Rasul ke dalam suatu kesalahan menghukum seorang yang tidak bersalah dengan aniaya. Sehingga kalau fitnah mereka terjadi, hancurlah ke adilan yang Islam didatangkan Allah untuk menegakkannya. Berubah sifat Islam dari menegakkan hukum yang merata, kepada suatu Ashabiyah. Yaitu kaumnya sendiri walaupun bersalah, dan menganiaya orang pemeluk agama lain, walaupun tidak bersalah. “Tetapi tidaklah akan dapat mereka sesatkan, kecuali diri mereka sendiri." Sebab engkau diberi rahmat oleh Allah dengan ketenangan pikiran dan rasa keadilan, sedang mereka tidak.
“Dan tidaklah mereka akan dapat membahayakan engkau sesuatu jua pun." Sebab orang yang tegak atas kebenaran dan membela keadilan selalu dipelihara dan ditolong Allah. Apatah lagi sokongan yang nyata dari Allah kepada Rasul-Nya, telah ada sejak semula, yaitu, “Dan telah diturunkan oleh Allah Kitab itu kepada engkau" Yang lantaran memegang teguh tuntunan Kitab itu engkau tidak akan tersesat. “Dan Hikmat." Kitab yang diturunkan Allah itu dapat engkau renungi dan engkau pahamkan di balik yang tersurat ada yang tersirat, sehingga engkau mendapat rahasia dan maksudnya yang sejati. “Dan telah Dia ajarkan kepada engkau, hal-hal yang tadinya engkau tidak tahu." Yaitu ilmu pengetahuan yang didapat karena pengalaman-pengalaman. Sebab suatu ilmu sebagai suatu teori akan bertambah jelas dan mendalam apabila telah dituruti dengan praktik.
Kemudian itu pada akhir ayat, Allah memuji Rasul-Nya dengan setinggi-tinggi pujian.
“Dan karunia Allah kepada engkau adalah amat besar."
Dapatlah kita pahamkan betapa tinggi pujian Allah kepada Rasul-Nya pada ujung ayat ini, jika kita pikirkan bahwa Nabi kita ﷺ itu bukanlah seorang bersekolah tinggi menurut penilaian kita zaman sekarang. Dia adalah seorang ummi (buta huruf, tak pandai menulis dan membaca), namun tidaklah ada satu kekeruhan yang tak dapat beliau selesaikan. Pada ayat ini dapatlah kita memahamkan lebih dalam bahwa kurnia yang sangat besar yang ditumpahkan Allah kepada Rasui-Nya itu bukanlah kurnia harta benda, melainkan kurnia cahaya jiwa, cahaya iman, cahaya risalah dan nubuwwat sehingga layaklah beliau disebut Khatitnul Anbiyaa-i wal Mursalin. Penutup dari segala nabi-nabi dan rasul-rasul. Moga-moga shalawat dan salam dilimpahkan Allah kepada beliau.