Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan janganlah
تُجَٰدِلۡ
kamu berdebat
عَنِ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَخۡتَانُونَ
(mereka) mengkhianati
أَنفُسَهُمۡۚ
diri mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
مَن
orang
كَانَ
adalh
خَوَّانًا
orang yang berkhianat
أَثِيمٗا
bergelimang dosa
وَلَا
dan janganlah
تُجَٰدِلۡ
kamu berdebat
عَنِ
dari
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَخۡتَانُونَ
(mereka) mengkhianati
أَنفُسَهُمۡۚ
diri mereka
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُحِبُّ
menyukai
مَن
orang
كَانَ
adalh
خَوَّانًا
orang yang berkhianat
أَثِيمٗا
bergelimang dosa
Terjemahan
Janganlah engkau (Nabi Muhammad) berdebat untuk (membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa.
Tafsir
(Dan janganlah kamu berdebat dengan orang-orang yang mengkhianati diri mereka) artinya berkhianat dengan jalan berbuat maksiat karena bencana pengkhianatan itu akan kembali kepada diri sendiri. (Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang gemar berkhianat) artinya suka berkhianat (dan bergelimang dosa) hingga pasti akan menyiksanya.
Tafsir Surat An-Nisa': 105-109
Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepada kamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat,
Dan mohon ampunlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dan janganlah kamu berdebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa;
Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Dan adalah (ilmu) Allah Maha Meliputi semua yang mereka kerjakan.
Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? Atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?
Ayat 105
Allah ﷻ berfirman, ditujukan kepada Rasul-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran.” (An-Nisa: 105)
Kitab itu adalah kebenaran dari Allah; di dalam semua berita dan perintah serta larangannya mengandung kebenaran.
Firman Allah ﷻ: “Supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu.” (An-Nisa: 105)
Ayat ini dijadikan dalil oleh kalangan ulama usul yang berpendapat bahwa Nabi ﷺ boleh memutuskan peradilan dengan ijtihad, berdasarkan makna ayat ini.
Berdasarkan apa yang telah disebutkan di dalam kitab Sahihain, dari Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Zainab binti Ummu Salamah, dari Ummu Salamah, bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendengar suara gaduh persengketaan di depan pintu rumahnya. Maka beliau keluar menemui mereka, dan bersabda: “Ingatlah, sebenarnya aku adalah seorang manusia, dan aku hanya memutuskan peradilan sesuai dengan apa yang aku dengar. Dan barangkali seseorang dari kalian adalah orang yang lebih lihai dalam beralasan daripada sebagian yang lain, lalu aku memutuskan peradilan untuk (kemenangan)nya. Maka barang siapa yang aku telah putuskan peradilan untuk (kemenangan)nya terhadap hak seorang muslim (karena kelihaiannya dalam beralasan), sesungguhnya hal itu hanyalah sepotong api neraka. Karena itu, silahkan ia membawanya atau melepaskannya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Usamah ibnu Zaid, dari Abdullah ibnu Rafi', dari Ummu Salamah yang menceritakan bahwa ada dua orang lelaki dari kalangan Ansar datang mengadukan persengketaan mereka kepada Rasulullah ﷺ mengenai warisan yang ada di antara keduanya di masa yang lalu, sedangkan masing-masing tidak mempunyai bukti. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya kalian mengadukan perkara kalian kepadaku, dan sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia, barangkali salah seorang dari kalian lebih lihai dalam beralasan daripada yang lain, dan aku hanya memutuskan berdasarkan apa yang aku dengar. Maka barang siapa yang aku putuskan sesuatu untuk kemenangannya menyangkut hak saudaranya (karena kelihaiannya dalam beralasan), maka janganlah dia mengambilnya. Karena sebenarnya aku memberikan kepadanya sepotong api neraka, yang akan ia bawa seraya dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat. Maka kedua lelaki itu menangis, lalu masing-masing mengatakan, "Hakku untuk saudaraku." Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Mengapa tidak kalian katakan itu sejak semula, sekarang pergilah dan berbagilah kalian, dan tegakkanlah kebenaran di antara kalian berdua, kemudian bagikanlah di antara kalian berdua dan hendaklah masing-masing dari kalian menghalalkan kepada temannya.”
Imam Abu Dawud meriwayatkannya melalui hadits Usamah ibnu Zaid dengan lafal yang sama, tetapi ditambahkan: “Sesungguhnya aku hanya memutuskan perkara di antara kalian berdua dengan pendapatku sehubungan dengan hal-hal yang tidak diturunkan wahyu kepadaku mengenainya.”
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui Al-Aufi, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa segolongan orang dari kalangan Ansar ikut berperang bersama-sama Rasulullah ﷺ dalam suatu peperangan. Lalu baju besi salah seorang dari mereka ada yang mencuri. Menurut dugaanku, pencuri tersebut adalah seseorang dari kalangan Ansar. Maka pemilik baju besi itu datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Sesungguhnya Tu'mah ibnu Ubairiq telah mencuri baju besiku." Setelah si pencuri melihat hal tersebut, maka dengan sengaja ia menaruh baju besi itu di dalam rumah seseorang yang tidak mencuri (tanpa sepengetahuannya), lalu ia datang kepada segolongan dari kaum kerabatnya, "Sesungguhnya aku sembunyikan baju besi itu dengan menaruhnya di rumah si Fulan, maka baju besi itu kelak akan dijumpai di dalam rumahnya.” Lalu keluarga si pencuri berangkat menemui Nabi ﷺ di malam hari dan mengatakan, "Wahai Nabi Allah, sesungguhnya teman kami tidak bersalah, dan pemilik baju besi itu (yakni si Fulan) telah mengetahui tuduhan yang dilancarkannya. Maafkanlah teman kami di mata orang banyak dan belalah dia; karena sesungguhnya jika ia tidak dipelihara oleh Allah melaluimu, niscaya dia akan binasa." Rasulullah ﷺ bangkit dan membersihkan namanya serta memaafkannya di hadapan orang banyak. Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat, dan mohonlah ampun kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya.” (An-Nisa: 105-107)
Kemudian Allah ﷻ berfirman, ditujukan kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah ﷺ seraya menyembunyikan kebohongan, yaitu: “Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah.” (An-Nisa: 108), hingga akhir ayat berikutnya. Ayat ini ditujukan kepada orang-orang yang datang kepada Rasulullah ﷺ seraya menyembunyikan sesuatu untuk membela orang yang berbuat khianat.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Dan barang siapa yang mengerjakan kejahatan dan menzalimi diri sendiri.” (An-Nisa: 110), hingga akhir ayat. Yang dimaksud ialah mereka yang datang kepada Rasulullah ﷺ seraya menyembunyikan kebohongan.
Kemudian dalam ayat selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Barang siapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkan kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnya ia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata.” (An-Nisa: 112) Maksudnya, si pencuri tersebut dan orang-orang yang membelanya.
Akan tetapi konteks hadits ini gharib (asing). Mujahid, Ikrimah, Qatadah, As-Suddi, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya telah mengatakan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang pencuri dari kalangan Bani Ubairiq. Mereka mengetengahkan kisahnya dengan konteks yang berbeda-beda, tetapi pengertiannya berdekatan.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan kisah ini secara panjang lebar. Untuk itu Abu Isa At-At-Tirmidzi dalam kitab Jami'-nya dalam tafsir ayat ini dan Imam Ibnu Jarir dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Abu Muslim Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim, dari Umar ibnu Qatadah, dari ayahnya, dari kakeknya (yaitu Qatadah ibnu Nu'man ) yang menceritakan hadits berikut: Dalam salah satu ahli bait dari kalangan kami yang dikenal dengan nama Bani Ubairiq terdapat orang yang bernama Bisyr, Basyir, dan Mubasysyir. Basyir adalah seorang munafik, dia mengucapkan syair untuk mengejek sahabat-sahabat Rasul ﷺ, kemudian ia menisbatkannya kepada seseorang dari kalangan orang-orang Badui. Lalu ia mengatakan bahwa si Fulan telah mengatakan anu dan anu, dan si Fulan yang lain telah mengatakan demikian dan demikian. Akan tetapi, bila sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ mendengar syair tersebut, mereka berkata, "Demi Allah, tidak ada orang yang mengatakan syair ini kecuali lelaki yang jahat itu," atau kalimat yang serupa. Mereka mengatakan bahwa yang mengatakannya adalah Ibnul Ubairiq. Bani Unairiq adalah suatu keluarga yang miskin lagi sengsara, baik di masa Jahiliah maupun di masa Islam. Di Madinah makanan pokok mereka adalah buah kurma dan gandum. Seseorang yang mempunyai kemampuan, bila datang kafilah dari negeri Syam (yaitu dari Darmak), dia membeli makanan pokoknya dari kafilah tersebut khusus untuk dirinya. Adapun anak-anak mereka, makanan pokoknya adalah kurma dan gandum. Ketika datang kafilah dari Syam, pamanku (yaitu Rifa'ah ibnu Zaid) membeli sepikul makanan pokok yang dibawa kafilah itu dari Darmak, lalu ia memasukkannya ke dalam pedaringan (gentong); di dalam pedaringan itu terdapat pula senjata, baju besi, dan pedang. Pada suatu malam sesudah pembelian itu, rumah pamanku kemasukan pencuri yang masuk dari bagian bawah. Si pencuri membobok pedaringan dan mengambil makanan berikut senjata. Pada pagi harinya, pamanku Rifa'ah datang kepadaku melaporkan, "Wahai anak saudaraku, sesungguhnya tadi malam kita kemalingan, tempat penyimpanan makanan kita dibobok dan pencuri membawa makanan serta senjata kita." Lalu kami menyelidiki di sekitar perkampungan itu. Kami bertanya ke sana kemari. Akhirnya ada yang mengatakan bahwa mereka melihat Bani Ubairiq menyalakan api (memasak) tadi malam, dan mereka berpendapat bahwa yang mereka masak itu tiada lain makanan curian dari kami. Ketika kami sedang melakukan penyelidikan, yang saat itu Bani Ubairiq ada di dalam perkampungan itu, mereka mengatakan, "Demi Allah, kami merasa yakin orang yang mencuri makanan kalian itu tiada lain Labid ibnu Sahl, seorang lelaki dari kalangan kita yang dikenal baik dan Islam." Ketika Labid mendengar tuduhan itu, dengan serta merta ia menghunus pedangnya dan berkata, "Aku dikatakan mencuri? Demi Allah, kalian akan merasakan pedang ini atau kalian harus membuktikan pencurian ini." Mereka berkata, "Tenanglah, menjauhlah engkau dari kami, engkau bukan pencurinya." Maka kami terus melakukan penyelidikan di perkampungan itu sampai kami tidak meragukan lagi bahwa mereka adalah pencurinya. Kemudian pamanku berkata kepadaku, "Wahai keponakanku, sebaiknya engkau datang saja kepada Rasulullah ﷺ dan berbicara kepadanya mengenai hal tersebut." Qatadah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia datang kepada Rasulullah ﷺ dan berkata, "Sesungguhnya ada suatu keluarga dari kalangan kami yang miskin, mereka mengincar rumah pamanku Rifa'ah ibnu Zaid, lalu mereka mencuri apa yang tersimpan di dalam tempat makanannya; mereka mengambil senjata dan makanan yang ada padanya. Maka aku memohon kepadamu untuk mengatakan kepada mereka, hendaknya mereka mengembalikan kepada kami senjata kami. Adapun mengenai makanan, maka kami relakan." Nabi ﷺ bersabda, "Aku akan melaksanakan hal tersebut." Tetapi ketika Bani Ubairiq mendengar hal tersebut, mereka datang kepada seorang lelaki dari kalangan mereka yang dikenal dengan nama Usaid ibnu Urwah, lalu mereka berbicara kepadanya mengenai hal itu. Maka mereka sepakat untuk mengadakan pembelaan di hadapan Nabi ﷺ, lalu mereka berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Qatadah ibnun Nu'man dan pamannya datang kepada suatu keluarga dari kalangan kami yang dikenal sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik; lalu mereka menuduhnya berbuat mencuri, tanpa bukti dan saksi." Qatadah melanjutkan kisahnya, maka aku datang lagi kepada Nabi ﷺ untuk membicarakan hal itu, tetapi Nabi ﷺ bersabda (kepadaku), 'Kamu telah datang ke suatu keluarga yang dikenal di kalangan mereka sebagai pemeluk Islam dan orang baik-baik, lalu kamu tuduh mereka mencuri tanpa bukti dan tanpa saksi'." Qatadah mengatakan, "Lalu aku kembali, dan sesungguhnya perasaanku saat itu benar-benar rela mengeluarkan sebagian dari hartaku, tanpa harus membicarakan hal tersebut kepada Rasulullah ﷺ. Lalu pamanku datang kepadaku dan bertanya, 'Wahai keponakanku, apakah yang telah kamu lakukan?' Lalu aku menceritakan kepadanya apa yang telah dikatakan oleh Rasulullah ﷺ kepadaku. Maka pamanku berkata, 'Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan'." Tetapi tidak lama kemudian turunlah wahyu Al-Qur'an yang mengatakan seperti berikut, yaitu: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (An-Nisa: 105)
Ayat 106
“Dan mohon ampunlah kepada Allah.” (An-Nisa: 106)
Yaitu memohon ampun dari apa yang telah kamu katakan kepada Qatadah. Yang dimaksud dengan 'orang-orang yang berkhianat' itu adalah Bani Ubairiq.
Ayat 107
“Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Dan janganlah kamu berdebat untuk membela orang-orang yang mengkhianati dirinya.” (An-Nisa: 106-107) sampai dengan firman-Nya: “Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (An-Nisa: 110)
Dengan kata lain, seandainya mereka meminta ampun, niscaya mereka diampuni.
“Barang siapa yang mengerjakan dosa, maka sesungguhnya ia mengerjakan untuk (kemudaratan) dirinya sendiri.” (An-Nisa: 111) sampai dengan firman-Nya: “Dosa yang nyata.” (An-Nisa: 112)
Firman Allah ﷻ yang ditujukan kepada Labid, yaitu: “Dan kalaulah bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu.” (An-Nisa: 113) sampai dengan firman-Nya: “Maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.” (An-Nisa: 114)
Ketika Al-Qur'an telah diturunkan kepada Rasulullah ﷺ, senjata itu diserahkan kepada Rasulullah ﷺ, dan Rasulullah ﷺ mengembalikannya kepada Rifa'ah.
Qatadah mengatakan, "Aku datang kepada pamanku dengan membawa senjata tersebut, sedangkan pamanku adalah orang yang sudah lanjut usia atau telah tuna netra sejak zaman Jahiliah; 'atau' di sini mengandung makna ragu-ragu dari pihak Abu Isa, dan aku menilai keislaman pamanku masih diragukan. Ketika aku menyerahkan senjata itu kepadanya, ia berkata, "Wahai keponakanku, senjata itu kusedekahkan buat sabilillah." Maka aku merasa yakin bahwa keislamannya adalah benar.” Setelah ayat Al-Qur'an mengenai hal tersebut diturunkan, maka Basyir bergabung dengan orang-orang musyrik, lalu ia bertempat tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd ibnu Sumayyah.
Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: “Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, maka Kami biarkan ia berkuasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu. Dan Kami masukkan ia ke dalam Jahanam, dan Jahanam itu seburuk-buruk tempat kembali. Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu dengan) Dia, dan Dia mengampuni dosa selain itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.” (An-Nisa: 115-116)
Setelah Basyir tinggal di rumah Sulafah binti Sa'd, maka Hissan ibnu Sabit mengejeknya melalui bait-bait syair. Maka Sulafah mengambil pelana unta kendaraan Basyir dan memanggulnya di atas kepala, lalu ia keluar rumah dan mencampakkan pelana itu ke padang pasir. Kemudian ia berkata, "Kamu menghadiahkan kepadaku syairnya Hissan (yang pedas), kamu bukan datang kepadaku dengan kebaikan."
Lafal hadits ini adalah menurut apa yang ada pada Imam At-Tirmidzi. Disebutkan bahwa hadits ini gharib (asing), kami tidak mengetahui seorang pun yang meng-isnad-kan (menyandarkan)nya selain Muhammad ibnu Salamah Al-Harrani. Yunus ibnu Bukair dan lain-lainnya yang tidak hanya seorang telah meriwayatkannya melalui Muhammad ibnu Ishaq, dari Asim ibnu Umar ibnu Qatadah secara mursal, tanpa menyebutkan dari ayahnya, dari kakeknya. Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari Hasyim ibnul Qasim Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama dengan sebagiannya.
Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail (yakni As-Saiq), telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Salamah, lalu ia mengetengahkan hadits ini dengan panjang lebar.
Abusy Syekh Al-Asbahani di dalam kitab tafsirnya telah meriwayatkan hadits ini dari Muhammad ibnu Ayyasy ibnu Ayyub dan Al-Hasan ibnu Ya'qub; keduanya dari Al-Hasan ibnu Ahmad ibnu Abu Syu'aib Al-Harrani, dari Muhammad ibnu Salamah dengan lafal yang sama. Kemudian di akhirnya ia mengatakan bahwa Muhammad ibnu Salamah mengatakan, "Telah mendengar hadits ini dariku Yahya ibnu Mu'in, Ahmad ibnu Hambal, dan Ishaq ibnu Israil."
Hadis ini diriwayatkan pula oleh Imam Hakim Abu Abdullah An-Naisaburi di dalam kitabnya yang berjudul Al-Mustadrak, dari Ibnu Abbas Al-Asam, dari Ahmad ibnu Abdul Jabbar Al-Utaridi, dari Yunus ibnu Bukair, dari Muhammad ibnu Ishaq secara makna lagi lebih lengkap daripada yang lain, dan di dalamnya terdapat syair. Imam Hakim mengatakan bahwa hadits ini sahih dengan syarat Imam Muslim, tetapi keduanya (Imam Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ayat 108
Firman Allah ﷻ: “Mereka bisa bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak bisa bersembunyi dari Allah.” (An-Nisa: 108)
Ayat ini menyanggah perbuatan orang-orang munafik, karena mereka menyembunyikan keburukan-keburukannya dari mata manusia, agar manusia tidak menyanggah mereka (percaya kepada mereka), tetapi mereka berani terang-terangan melakukan hal tersebut terhadap Allah, padahal Allah melihat semua rahasia mereka dan mengetahui apa yang terkandung di dalam hati sanubari mereka.
Karena itu, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Padahal Allah beserta mereka, ketika pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia yang tidak Allah ridai. Adalah (ilmu) Allah Maha Meliputi semua apa yang mereka kerjakan.” (An-Nisa: 108) Ayat ini mengandung makna ancaman dan peringatan terhadap mereka.
Ayat 109
Selanjutnya Allah ﷻ berfirman: “Beginilah kalian, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini.” (An-Nisa: 109)
Dengan kata lain, misalnya mereka menang dalam perkaranya berkat apa yang mereka kemukakan atau berkat alasan-alasan yang mereka ajukan kepada para hakim yang menjalankan tugasnya menurut apa yang ada pada lahiriahnya saja, sekalipun mereka itu dianggap beribadah di dalam pekerjaannya.
Maka apakah yang akan dilakukan oleh mereka kelak di hari kiamat di hadapan peradilan Allah ﷻ yang mengetahui semua rahasia dan yang tidak tampak? Siapakah yang akan membela mereka pada hari kiamat untuk memperkuat pengakuan mereka? Dengan kata lain, makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang dapat menolong mereka. Karena itulah, dalam firman selanjutnya disebutkan: “Atau siapakah yang jadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah)?” (An-Nisa: 109)
Dan janganlah kamu, wahai Nabi Muhammad dan umatmu, berdebat untuk membela orang-orang yang sengaja dan terus-menerus mengkhianati diri mereka. Sungguh, Allah tidak menyukai, yakni tidak menurunkan rahmat-Nya, kepada orang-orang yang selalu mengulangi perbuatan berkhianat dari waktu ke waktu, dan bergelimang dosaMereka yang selalu berkhianat dan bergelimang dosa itu dapat saja bersembunyi dari manusia, termasuk dari kamu sekalian, karena takut ketahuan pengkhianatan dan dosa yang dilakukakannya, tetapi mereka tidak dapat bersembunyi dari Allah. Hal ini disebabkan karena Allah yang mengetahui seluruh gerak-gerik mereka dan apa yang terlintas di dalam hati dan pikiran mereka, selamanya beserta mereka, kapan dan di mana pun mereka berada, dan bahkan ketika pada suatu malam yang gelap gulita lagi tersembunyi mereka tidak diridai-Nya. Dan Allah selamanya Maha Meliputi pengetahuan dan ilmu-Nya, mencakup seluruh apa yang mereka kerjakan, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, yang besar maupun yang kecil, dan yang lahir maupun batin. menetapkan keputusan rahasia yang
Nabi Muhammad ﷺ dilarang membela orang-orang yang mengkhianati dirinya sendiri, seperti thu'mah dengan kaum kerabatnya yang berusaha menutupi kesalahannya. Mereka dikatakan mengkhianati diri sendiri sedang yang dikhianati sebenarnya adalah orang lain karena akibat pengkhianatan itu akan menimpa diri mereka sendiri. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang khianat, berdosa dan mengotori jiwanya dengan perbuatan-perbuatan jahat seperti thu'mah yang ternyata setelah kedok kejahatannya terbuka dia murtad dan melarikan diri ke Mekah bergabung dengan orang-orang musyrik.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ada berbagai riwayat tentang sebab turunnya ayat-ayat dari 105 sampai 113 ini. Tetapi kesimpulannya ialah suatu tuduhan palsu atas orang-orang yang tidak bersalah berkenaan dengan suatu pencurian.
Di dalam riwayat yang dibawakan oleh al-Hafizh Ibnu Mardawaihi sebab turun ayat ini melalui al-Aufi dan Ibnu Abbas sebagai tersebut di dalam Tafsir Ibnu Jarir ath-Thabari, ialah, “Bahwa beberapa orang Anshar turut berperang dengan Rasulullah ﷺ, mengadukan halnya dan menyatakan bahwa yang disangkanya pencuri itu ialah Thu'mah bin Ubairaq. Tetapi setelah si pencuri mengetahui bahwa yang kecurian telah melapor kepada Rasulullah, lekas-lekas perisai itu dijatuhkannya ke rumah seorang laki-laki yang tidak bersalah. Sesudah itu dia segera datang kepada beberapa orang kaumnya, berkata, “Saya telah menghilangkan perisai itu dan telah saya lemparkan ke rumah si Fulan, Kalian akan mendapatinya di sana." Mendengar perkataan si Thu'mah yang demikian, semua keluarganya itu datang kepada Rasulullah ﷺ. Malam-malam dan berkata, “Wahai Nabi Allah! Saudara kami (Si Thu'mah), tidak bersalah dalam hal ini. Yang mengambilnya ialah si Fulan. Kami tahu betul! Kami harap Rasul membersihkan nama saudara kami itu di hadapan orang banyak. Karena kalau dia tidak dipeliharakan Allah dengan perantaraan engkau, niscaya dia akan binasa."
Mendengar permohonan yang demikian, berdirilah Rasulullah ﷺ di hadapan orang banyak, membersihkan nama si Thu'mah dari tuduhan orang banyak itu.
Riwayat lain pula dari Ibnu Jarir, yang diterimanya dari Qatadah, bahwa ayat-ayat ini diturunkan tentang seorang bernama Thu'mah bin Ubairaq, dan tentang nyarisnya Nabi ﷺ membela dan menerima pembelaan atas dirinya. Ayat-ayat ini mengandung peringatan kepada Rasulullah ﷺ supaya jangan membela pengkhianat. Thu'mah bin Ubairaq adalah seorang dari penduduk Madinah. Dia dari kaum Bani Zhafar. Seorang dari Bani Zhafar itu mencuri perisai itu ialah seorang Yahudi. Namanya Zaid bin Syamir. Setelah mendengar bahwa dia dituduh padahal dia merasa tidak bersalah, Yahudi itu datang menghadap Rasulullah ﷺ menyatakan sekali-kali bukanlah dia pencuri perisai yang hilang itu. Setelah itu si Thu'mah melihat Yahudi itu telah menghadap Rasul, dia pun segera pula datang menghadap. Dia membela kaumnya Bani Zhafar dan memperkuat tuduhannya kepada Yahudi itu. ibnu Jarir berkata, “Inilah sebabnya turun ayat-ayat ini!" Dan kata Ibnu Jarir selanjutnya, “Setelah terbuka rahasianya bahwa tuduhannya itu palsu, dan pencuri itu memang dari kaumnya Bani Zhafar sendiri, si Thu'mah lari meninggalkan Madinah, menuju
Mekah dan menggabungkan diri dengan kaum musyrikin."
Menurut riwayat dari as-Suddi, “Seorang Yahudi menitipkan perisai kepada Thu'mah bin Ubairaq. Seketika Yahudi itu datang kembali meminta barang titipannya, si Thu'mah mungkir. Lalu barang itu disembunyikannya ke rumah Abu Mulaik al-Anshari. Thu'mah telah menggelapkan harta titipan orang. Yahudi itu segera melaporkan kelakuan Thu'mah yang tidak jujur itu kepada Rasulullah ﷺ. Tetapi ketika Yahudi itu melaporkan hal itu kepada Rasulullah, si Thu'mah dan sanak keluarganya datang beramai-ramai kepada Rasulullah ﷺ menuduh pula, bahwa Yahudi itulah yang mengadakan tuduhan palsu, sehingga dari pintarnya mereka menyusun siasat fitnah dalam pertemuan rahasia, nyarisiah Rasulullah terpengaruh. Apatah lagi yang dituduh itu orang Yahudi pula. Yang seketika itu dipandang banyak memusuhi Islam.
Menurut riwayat Ibnu Zaid, seorang mencuri sebuah perisai. Karena takut ketahuan diantarkannya perisai curian itu ke rumah seorang Yahudi. Karena melihat di rumahnya telah ada perisai yang bukan kepunyaannya, segera Yahudi itu datang kepada Rasulullah ﷺ. Dia berkata kepada Rasulullah ﷺ, “Demi Allah, bukanlah aku pencuri perisai ini, wahai Abu Qasim, melainkan perisai ini diantarkan orang ke rumahku diam-diam."
Tetapi sanak saudara pencuri membela yang mencuri dan merekankan tuduhan kepada Yahudi itu, seraya mereka berkata, “Memang Yahudi ini jahat dan busuk dan kafir. Dia adalah penantang Allah dan agama yang engkau bawa,"
Demikian pintar mereka mengatur fitnah supaya terlepas yang bersalah daripada hukuman, dengan mengambinghitamkan seorang Yahudi, sehingga nyarisiah Rasulullah terpengaruh oleh susunan kata mereka. Kata Ibnu Zaid, “Inilah sebabnya turun ayat ini. Yaitu menegur Rasulullah ﷺ agar menegakkan hukum berdasar kitab Allah, dan jangan lekas terpengaruh membela yang bersalah."
Ada juga riwayat lain yang diterima dari at-Tirmidzi menyebut Bani Ubairaq juga. Tetapi yang bersangkutan bukan bernama Thu'mah, melainkan bernama Basyir bin Ubairaq.
Menurut ad-Daruquthni bukan Basyir melainkan Busyair bin Ubairaq. Seorang tukang fitnah. Seorang munafik yang kerap kali mengarang-ngarang syair menghina dan mengejek sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ Basyir atau Busyair pemfitnah ini kebetulan dari bani Ubairaq, satu keluarga miskin, baik di zaman jahiliyyah ataupun setelah zaman Islam. Makanan mereka hanya kurma dan roti saja, tidak pernah merasai makanan mewah. Sekali ada Qatadah bin Nu'man menceritakan bahwa pamannya, Rifa'ah bin Zaid, memesan makanan dan beberapa alat senjata dari Syam. Tiba-tiba makanan dan alat senjata itu telah dicuri orang malam-malam. Rifa'ah segera menceritakan hal itu kepada kemenakannya, Qatadah bin Nu'man, bahwa senjata dan makanannya hilang dicuri orang. Rifa'ah menyatakan bahwa penyelidikan telah dilakukan di perkampungan Bani Ubairaq. Cukup tanda-tanda menunjukkan bahwa dari Bani Ubairaqlah pencuri itu. Setelah diperiksa kepada mereka, dengan sengaja mereka menimpakan tuduhan kepada seorang bernama Lubaid bin Sahi, bahwa dialah yang mencuri. -
Mendengar tuduhan yang bukan-bukan itu murkalah Lubaid bin Sahi, sampai disentaknya pedangnya dan berkata, “Demi Allah, mesti buktikan mengapa aku dituduh, kalau tidak aku bunuh kamu semuanya!" Padahal Lubaid bin Sahi itu dikenal seorang yang saleh dan baik amalnya dalam Islam. Qatadah bin Nu'man dan pamannya, Rifa'ah bin Zaid, terpaksa meminta maaf dan mencabut tuduhan itu. Lalu mereka datang mengadukan hal mereka kepada Rasulullah ﷺ dan menerangkan bahwa Bani Ubairaq menuduh Lubaid bin Sahi sehingga nyaris kami menuduh orang yang tidak bersalah. Mereka memohonkan keadilan kepada Rasulullah ﷺ saja. Asal senjata-senjata itu kembali, cukuplah sudah. Yang makanan biarlah mereka makan,
Dari Bani Ubairaq sengaja pula datang menghadap Nabi, yang datang itu bernama Asir bin ‘Urwah. Lalu dia mengadukan Qatadah dan pamannya Rifa'ah itu. Dikatakannya bahwa kedua orang itu main tuduh saja sehingga seorang yang saleh di kalangan kami bernama Lubaid bin Sahi dituduhnya mencuri!"
Mendengar pengaduan Asir bin ‘Urwah itu marahlah Rasulullah ﷺ kepada Qatadah dan Rifa'ah, sebab menuduh-nuduh orang saja, padahal pangkal bala ditimbulkan oleh Basyir tukang fitnah yang tersebut permulaan tadi. Mendengar kemarahan Rasulullah itu, kembalilah Qatadah memberitakan kepada pamannya.
“Ah, sudahlah!" Kata pamannya, “Siapa yang bersalah terserahlah. Harta benda itu tidak akan aku ambil kembali. Biarlah aku sedekahkan dia pada jalan Allah."
Qatadah bercerita, “Tadinya aku sangka keislaman pamanku kurang kuat, penuh tipu dan banyak aib. Tetapi setelah beliau mengatakan bahwa harta itu biar disedekahkan saja pada jalan Allah, barulah aku tahu bahwa pamanku seorang Muslim sejati."
Kata Tirmidzi, kejadian inilah yang menjadi sebab turunnya ayat-ayat ini. Memberi peringatan kepada Rasulullah ﷺ supaya beliau jangan terpengaruh oleh pengaduan palsu, sehingga tergesa memutuskan memurkai orang karena fitnah.
Tersebut pula bahwa setelah terbuka rahasia yang difitnahkan oleh si Basyir atau Busyair itu—karena telah disingkapkan oleh ayat—si Busyair segera lari meninggalkan Madinah, menuju Mekah dan melindungkan diri kepada seorang perempuan musyrikin bernama Sulaqah binti Sa'ad bin Syuhaid. Menurut Tafsir Khazin, Busyair itu mati dalam suatu kecelakaan.
Ahli-ahli tafsir lebih banyak memilih dan menguatkan riwayat Thu'niah bin Ubairaq yang memfitnahkan orang Yahudi itu.
ALKITAB
Sekarang kita masuk ke dalam penafsirannya,
Ayat 105
“Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada engkau Kitab itu, dengan kebenaran. “
Kitab itu ialah Al-Qur'an.
Meskipun pada waktu itu Al-Qur'an belum berbentuk sebagai sebuah Kitab atau buku atau mushaf, wahyu yang diturunkan Allah kepada Rasul-Nya, Kitab namanya. Sebab arti Kitab bukan saja buku, tetapi berarti juga perintah. Di dalam ayat ini Nabi sudah diperingatkan bahwa di dalam mengambil suatu kebijaksanaan, hendaklah dia selalu berpedoman kepada wahyu yang telah diturunkan Allah kepadanya. Di dalam “Kitab itu," bahwa jika datang orang fasik membawa suatu berita, hendaklah cari keterangan, selidiki nilai berita yang dibawanya itu (surah al-Hujuraat ayat 6) Di dalam kitab itu juga telah dijelaskan, “Kalau hendak menghukumkan, hendaklah menghukum dengan adil" (surah an-Nisaa' ayat 57) yang telah lebih dahulu keterangannya. Dengan dasar-dasar yang tersebut di dalam Kitab itulah hendaknya engkau menghukum. “Supaya engkau hukumkan di antara manusia dengan apa yang telah memperlihatkan Allah kepada engkau." Arti tegasnya ialah dengan memakai dasar kitab tuntunan Allah itu, hendaklah engkau menghukum. Dan diberi kelak engkau oleh Allah petunjuk, yaitu diperlihatkan oleh Allah kepada engkau jalan mana yang muslihat yang akan engkau tempuh. Ayat ini memberikan bimbingan yang tegas kepada kita bahwasanya Rasul sebagai pemegang hukum, dengan memegang dasar al-Kitab al-Hakim, boleh memakai ijtihadnya, boleh mengambil keputusan yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Tetapi tidaklah
boleh terburu mengambil keputusan, sebelum terlebih dahulu bersandar kepada dasar yang kuat, yaitu Kitab Allah. Sebab Kitab adalah kebenaran yang mutlak sedang ijtihad manusia bisa salah atau khilaf, kemudian ditekankan lagi di ujung ayat,
“Dan janganlah engkau terhadap orang-orang yang berkhianat itu jadi pembela."
Maksud sebab turun ayat sudah terang. Yaitu pertama jangan terburu-buru menerima saja fitnah yang dibuat oleh si Thu'mah terhadap Yahudi itu, atau si Busyair terhadap Lubaid bin Sahi. Dan sebelum menjatuhkan hukum, hendaklah ingat terlebih dahulu sandaran sebagai hakim Islam, yaitu Kitab Allah. Di dalam mengambil hukum dari Kitab Allah itu, bolehlah engkau memakai ijtihadmu sendiri menurut apa yang diperlihatkan Allah kepada engkau dalam cara timbangan yang sehat. Dasar yang utama pula harus diperhatikan, ialah karena hendak menegakkan keadilan jangan membela orang yang berlaku aniaya. Walaupun yang teraniaya itu orang Yahudi.
Ayat 106
“Dan mohonkanlah ampun kepada Allah."
Dapatlah dipahamkan dari sebelum turun ayat, bahwa Rasul disuruh memohonkan ampun kepada Allah, sebab beliau telah nyaris telanjur membenarkan fitnah orang, karena pandainya orang curang menyusun fitnah. Dan bunyi ayat setegas ini menunjukkan pula bahwa seorang Rasul di dalam mengambil tindakan, bisa juga terkhilaf. Dan itu tidaklah termasuk salah. Ayat inilah yang membuka pintu ijtihad bagi orang yang ada kesanggupan, dengan selalu berdasar kepada al-Kitab. Kalau terkhilaf segera memohon ampun.
Hendaklah diingat pula bahwa kalimat Ghufran bukan saja berarti ampunan, tetapi berarti juga tameng untuk menangkis bahaya. Memohon, istighfar kepada Allah bukan saja berarti memohon ampun daripada kesalahan
atau kekhilafan yang telah telanjur, bahkan berarti juga memohon perlindungan kepada Allah, moga-moga jangan sampai tertempuh jalan yang salah.
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Dengan sebab Allah telah menyebut salah satu daripada sifat-Nya, yaitu Pengampun, hilanglah keraguan bagi seseorang mujtahid buat meneruskan ijtihadnya, asal saja dia tetap berpegang kepada Al-Qur'an dan as-Sunnah Nabi. Dengan Allah menyebut sifat-Nya Penyayang, berarti bahwa Dia akan memberikan petunjuk dan memperlihatkan apa-apa yang patut diperlakukan di dalam menetapkan hukum.
Di dalam ayat 105 tadi Allah telah menyuruh Nabi-Nya menghukum dengan apa yang telah diperlihatkan Allah kepadanya. Artinya ialah dengan ma'rifat dan ilmu dan wahyu yang telah dilimpahkan Allah kepadanya sehingga laksana dilihatnya nyata dengan matanya apa yang terlihat oleh hatinya. Karena Ilmu Yaqin yang timbul dalam hati, lebih nyata oleh penglihatan hati daripada apa yang dilihat oleh mata. Sebab itu Sayyidina Umar bin Khaththab memberi peringatan kepada kita, supaya janganlah seseorang yang telah berhasil memutuskan sesuatu perkara mengatakan bahwa dia telah memutuskan menurut penglihatannya yang diberikan Allah kepadanya. Sebab teropong penglihatan batin yang demikian jitu hanya diberikan Allah kepada Rasul-Nya. Kita hanya berijtihad, dan hasil ijtihad tidaklah yakin, melainkan zhan semata-mata. Sedang ra'yi atau pandangan Rasulullah adalah benar, sebab Allah yang memberinya penglihatan.
Sungguh pun demikian Nabi sendiri pun dengan thawadhunya mengakui juga bahwa dia sebagai manusia tidak akan sunyi dari kekhilafan. Tersebut dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari dan Muslim yang diterima dari istri Rasulullah ﷺ Ummi Salamah, bahwa sedang beliau berada di dalam biliknya, terdengar oleh beliau orang ribut-ribut di luar karena mempertengkarkan suatu perkara dan mereka hendak datang meminta ketentuan hukum dari beliau. Beliau pun keluarlah, lalu berkata kepada mereka, “Ketahuilah, aku ini hanyalah manusia. Aku akan memutuskan hukum hanya sepanjang yang aku dengar. Mungkin salah seorang di antara kamu kelu lidahnya menegakkan alasan di hadapan yang lain, lalu aku mengambil keputusan. Oleh sebab itu, kalau ada keputusanku yang merugikan hak seorang Muslim dan memenangkan yang lain, maka itu adalah sepotong dari api neraka. Sebab itu pikullah hukum itu dan tinggalkanlah."
Dan menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad, bahwa dua orang laki-laki dari golongan Anshar pernah membawa perkara ke hadapan Rasulullah ﷺ Yaitu perkara warisan yang telah lama berlalu masa-nya sehingga di antara kedua pihak tidak ada bukti-bukti yang dapat ditunjukkan. Ber-sabdalah beliau, “Kamu datang kepadaku membawa perkara minta diselesaikan, sedang aku ini hanya seorang manusia. Mungkin sekali salah seorang di antara kamu ada yang kelu lidahnya mengemukakan hujjahnya. Sedang aku menghukum menurut apa yang aku dengar. Kalau kamu merasa ada hukumku yang merugikan saudaranya, janganlah dia ambil itu. Karena itu adalah sepotong dari api akan membakarnya, tergelung di kuduknya di hari Kiamat."
Mendengar sabda beliau yang demikian, menangislah kedua sahabat Anshar bersaudara itu, lalu yang seorang berkata, “Apa yang selama ini aku rasa sebagai hakku, mulai hari ini aku berikan kepada saudaraku."
Dan yang seorang menyambut pula, “Bukan! Malahan seluruh hakku aku serahkan kepada saudaraku." Mendengar pengakuan yang mengharukan hati itu bersabdalah Rasulullah ﷺ, “Kalau sudah demikian kata kalian, pulanglah dan berbahagialah baik-baik tegakkanlah hak di antara kamu berdua baik-baik pula, dan kemudian itu halal-menghalalkantah terlebih terkurang."
Riwayat ini ditambah oleh Abu Dawud, yaitu sabda Rasulullah ﷺ, “Aku mengambil keputusan adalah menurut pandanganku, pada perkara yang tidak ada turun wahyu kepadaku."
Sedangkan sudah terang Rasulullah selalu dituntun oleh wahyu, lagi mengaku beliau akan kekhilafannya sebagai manusia, apatah lagi bagi kita umat Muhammad yang melakukan ijtihad, niscaya akan ada kekhilafan. Itu sebabnya Imam Syafi'i pernah mengatakan bahwa hanya hadits Rasulullah ﷺ yang sahlah madzhabku."
Ayat 107
“Dan janganlah engkau bela orang-orang yang mengkhianati diri mereka. “
Thu'mah telah mengkhianati diri sendiri bersama kawan-kawannya karena telah melemparkan tuduhan palsu kepada orang lain, meskipun orang lain itu orang Yahudi. Perbuatan demikian telah merusakkan budi sebagai Muslim, dan tidak patut dilakukan oleh orang yang beriman. Sebab itu Allah melarang Nabi membela orang yang seperti demikian, meskipun dalam pengakuannya mereka menyatakan diri orang Islam. Perbuatan mereka telah merusak Islam,
“Sesungguhnya Allah tidaklah suka kepada yang berkhianat dan berdosa."
Ujung ayat ini telah menegaskan bahwa Allah tidak suka kepada orang-orang yang curang, siapa pun orangnya, walaupun dia mengaku islam. Dan Allah Adil. Keadilan Allah itu merata bagi semua orang. Yang salah tetap salah dan berdosa, walaupun dia mengaku Islam. Yang teraniaya wajib dibela, walaupun si Yahudi. Mentang-mentang golongan Islam berkuasa, tidaklah boleh kekuasaan disalah
gunakan. Jangan digunakan untuk menindas dan memfitnah orang yang lemah.
Ayat 108
“Mereka bersembunyi dari manusia."
Dengan sembunyi dari mata orang lain dan memencil ke tempat sunyi, Thu'mah dan kawan-kawannya mengatur siasat untuk memfitnah orang Yahudi itu, dan kemudian membawa hasil rencana fitnah itu ke hadapan Nabi ﷺ. “Tetapi mereka tidak (dapat) bersembunyi daripada Allah."
Di dalam surah al-Mujaadalah ayat 7, Allah pun telah menegaskan bahwa Allah mengetahui apa yang tersembunyi di semua langit dan bumi. Kalau ada orang berbisik-bisik bertiga, Allah-iah yang keempat. Kalau orang berbisik berlima, Allah-lah yang keenam, bahkan tidak pun sedikit dari itu, atau lebih banyak dari itu, namun Allah yang bersama mereka di mana saja mereka berada, dan kelak semuanya akan dibuka sendiri oleh Allah apa yang diperbisikkan itu di hari Kiamat. Segala sesuatu diketahui oleh Allah. Lantaran itu Allah lebih menegaskan."Padahal dia ada bersama mereka seketika mereka me-nyusun-nyusun (rencana) pada malam hari." Yaitu bahwa rencana memfitnah Yahudi itu ketika dibuat, Allah sendiri menghadirinya, “Perkataanyang Dia tidak ridha." Sebab, segala rencana yang disusun itu tidaklah diridhai oleh Allah. Hal itu merusak Islam, merusak iman, serta merusak keadilan dan menganiaya, bukan saja terhadap Yahudi tersebut, bahkan lebih utama menganiaya diri yang memfitnah itu sendiri, sebab dia telah merusak jalan hidupnya, mengalih dari kejujuran kepada kecurangan.
“Dan adalah Allah itu, dengan apa-apa yang mereka kerjakan, telah mengepung."
Allah telah mengepung, artinya bahwa satu jalan yang curang, adalah jalan yang tidak berujung, atau jalan buntu, yang tidak mempunyai pintu keluar, sehingga yang menjalani
itu akan terkepung oleh akibat kesalahannya sendiri dari kiri dan kanan, muka dan belakang. Surut tidak bisa lagi dan maju adalah kehancuran,
Ayat 109
“Ha! Itutah kamu, orang-orang yang lelah membela mereka dalam kehidupan dunia"
Dengan dimulai kalimat ha antum, yang kita artikan, ‘Ha! Itulah kamu!' kita bawakanlah ke dalam bahasa Indonesia makna yang tersembunyi dalam pangkal ayat itu, yaitu sebagai “tunjuk hidung" menelanjangi jiwa orang-orang yang telah membela Thu'mah itu. Tandanya mereka bukan seorang dua, melainkan agak banyak, yaitu kaum dan sanak keluarga Thu'mah. Membela Thu'mah walaupun dia salah, menuduh Yahudi walaupun tak bersalah karena mempertahankan nama suku atau kaum. Semuanya ini hanyalah usaha menjaga air muka dalam kehidupan dunia yang fana belaka. Datanglah pertanyaan Allah, sebagai menyadarkan mereka atas kesalahan itu, “Maka siapakah yang akan membela mereka di hari Kiamat?"
Inilah suatu peringatan keras bagi barang-siapa yang mencoba membela yang salah dan menegakkan perbuatan curang. Bahwasanya walaupun menang perkaranya di dunia ini karena cerdik-buruknya, namun di akhirat perkara ini akah dibuka kembali, dan tidak ada yang akan sanggup membela di hadapan mahkamah ilahi.
“Atau siapakah adanya yang akan menjadi pengurus atas mereka?"
Siapa? Sehingga malaikat sendiri pun tidak akan dapat mengangkat mulut kalau tidak seizin Allah (Surah an-Naba' ayat 37) Apatah lagi makhluk yang lain. Kedaulatan mutlak di hari itu adalah di sisi Allah semata-mata dan kebenaran akan tegak dan jayanya. Sebab kebenaran itu adalah salah satu nama dan sifat dari Allah.
Setelah diperingatkan ancaman besar ini, datanglah ayat seterusnya,
Ayat 110
“Dan barangsiapa yang berbuat suatu kejahatan ataupun dia menganiaya dininya, kemudian itu dia pun memohon ampun kepada Allah, niscaya akan didapatinya Allah itu Maha Pengampun, lagi Penyayang."
Datang ayat yang seperti ini menunjukkan bahwa Thu'mah dan kaumnya masih diberi kesempatan memohon ampun kepada Allah. Sebab barangkali di kala itu mereka belum menyangka bahwa perbuatan mereka itu adalah satu pengkhianatan besar, bukan kepada Yahudi itu, melainkan kepada Allah dan Rasul-Nya. (Kata Barangkali adalah penafsiran kita. Bukan keraguan dari Allah) Sebab barangkali mereka menyangka, kalau orang itu cuma Yahudi, tidak mengapa difitnah secara aniaya. Disebutkan sekali lagi di ayat ini bahwa itu adalah jahat dan menganiaya diri sendiri sebab merusak jalan lurus yang wajib dibangunkan dalam jiwa. Kalau mereka lekas tobat dan minta ampun, mereka akan diberi tobat. Sebab Allah Maha Penyayang kepada orang yang insaf dan tobat dari kesalahannya.
Ayat 111
“Dan barangsiapa yang mengusahakan suatu dosa, maka usahanya itu lain tidak hanyalah untuk celaka dininya."
Sebagaimana pepatah, “Siapa yang menggali lubang untuk mencelakakan orang lain, dia sendirilah yang akan menimbuni lubang itu dengan sendirinya." Dan, “Sepandai-pandai membungkus, namun yang busuk akan berbau juga." “
Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Sebab hanya manusia yang dapat didustai, namun Allah tidak. Allah Bijaksana! Dia menentukan suatu ketentuan bahwa sebelum hukum diputuskan, hendaklah diadakan penyelidikan terlebih dahulu. Dan terdahulu dari ini sudah pula diingatkan Allah, bahwa kalau kamu menghukum di antara manusia hendaklah menghukum dengan adil. (Ingat ayat 58)
Ayat 112
“Dan barangsiapa yang mengusahakan suatu kejahatan atau dosa, kemudian dia tuduhkan dengan dia kepada seorang yang benih, maka sesungguhnya dia telah memikut suatu dusta besar dan dosa yang nyata."
Lihat di sini keadilan Allah, dalam ayat ini sudah diberikan pembelaan kepada Yahudi tadi, dia adalah bersih, atau Bari-an, tidak ada salah dalam hal ini. Soal orang Yahudi memusuhi Islam adalah perkara lain dan cara menghadapinya lain pula. Tetapi dalam hal menggelapkan titipan atau mencuri, atau menuduh dengan bohong, dia tidak bersalah sama sekali. Yang bersalah besar, membuat dusta-besar dan dusta yang nyata ialah yang menuduhnya, ialah Thu'mah dan kaumnya.
Ayat 113
“Dan kalau bukanlah karena karnia Allah atas engkau."
Kurnia utama yang diberikan Allah kepada manusia Muhammad itu ialah karena dia yang dipilih (Mushthafa) menjadi Rasul Allah untuk seluruh alam dan diberi Ma'shum, yaitu kesucian jiwa dan terpelihara dari terperosok ke dalam kesalahan. “Dan rahmat-Nyayaitu rahmat kecerdasan pikiran sehingga tidak terburu-buru mengambil keputusan dalam suatu perkara yang belum diperiksai dengan teliti. “Sesungguhnya telah bertekad jahat setengah dari mereka hendak menyesatkan engkau." Yaitu menjerumuskan Rasul ke dalam suatu kesalahan menghukum seorang yang tidak bersalah dengan aniaya. Sehingga kalau fitnah mereka terjadi, hancurlah ke adilan yang Islam didatangkan Allah untuk menegakkannya. Berubah sifat Islam dari menegakkan hukum yang merata, kepada suatu Ashabiyah. Yaitu kaumnya sendiri walaupun bersalah, dan menganiaya orang pemeluk agama lain, walaupun tidak bersalah. “Tetapi tidaklah akan dapat mereka sesatkan, kecuali diri mereka sendiri." Sebab engkau diberi rahmat oleh Allah dengan ketenangan pikiran dan rasa keadilan, sedang mereka tidak.
“Dan tidaklah mereka akan dapat membahayakan engkau sesuatu jua pun." Sebab orang yang tegak atas kebenaran dan membela keadilan selalu dipelihara dan ditolong Allah. Apatah lagi sokongan yang nyata dari Allah kepada Rasul-Nya, telah ada sejak semula, yaitu, “Dan telah diturunkan oleh Allah Kitab itu kepada engkau" Yang lantaran memegang teguh tuntunan Kitab itu engkau tidak akan tersesat. “Dan Hikmat." Kitab yang diturunkan Allah itu dapat engkau renungi dan engkau pahamkan di balik yang tersurat ada yang tersirat, sehingga engkau mendapat rahasia dan maksudnya yang sejati. “Dan telah Dia ajarkan kepada engkau, hal-hal yang tadinya engkau tidak tahu." Yaitu ilmu pengetahuan yang didapat karena pengalaman-pengalaman. Sebab suatu ilmu sebagai suatu teori akan bertambah jelas dan mendalam apabila telah dituruti dengan praktik.
Kemudian itu pada akhir ayat, Allah memuji Rasul-Nya dengan setinggi-tinggi pujian.
“Dan karunia Allah kepada engkau adalah amat besar."
Dapatlah kita pahamkan betapa tinggi pujian Allah kepada Rasul-Nya pada ujung ayat ini, jika kita pikirkan bahwa Nabi kita ﷺ itu bukanlah seorang bersekolah tinggi menurut penilaian kita zaman sekarang. Dia adalah seorang ummi (buta huruf, tak pandai menulis dan membaca), namun tidaklah ada satu kekeruhan yang tak dapat beliau selesaikan. Pada ayat ini dapatlah kita memahamkan lebih dalam bahwa kurnia yang sangat besar yang ditumpahkan Allah kepada Rasui-Nya itu bukanlah kurnia harta benda, melainkan kurnia cahaya jiwa, cahaya iman, cahaya risalah dan nubuwwat sehingga layaklah beliau disebut Khatitnul Anbiyaa-i wal Mursalin. Penutup dari segala nabi-nabi dan rasul-rasul. Moga-moga shalawat dan salam dilimpahkan Allah kepada beliau.