Ayat
Terjemahan Per Kata
وَلَا
dan janganlah
تَهِنُواْ
kamu berhati hina/lemah
فِي
dalam
ٱبۡتِغَآءِ
mencari/mengejar
ٱلۡقَوۡمِۖ
kaum
إِن
bahwa
تَكُونُواْ
kalian menjadi
تَأۡلَمُونَ
kamu menderita sakit
فَإِنَّهُمۡ
maka sesungguhnya mereka
يَأۡلَمُونَ
menderita sakit
كَمَا
sebagaimana
تَأۡلَمُونَۖ
kamu menderita sakit
وَتَرۡجُونَ
dan kamu mengharapkan
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
مَا
apa
لَا
tidak
يَرۡجُونَۗ
mereka harapkan
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمًا
Maha Bijaksana
وَلَا
dan janganlah
تَهِنُواْ
kamu berhati hina/lemah
فِي
dalam
ٱبۡتِغَآءِ
mencari/mengejar
ٱلۡقَوۡمِۖ
kaum
إِن
bahwa
تَكُونُواْ
kalian menjadi
تَأۡلَمُونَ
kamu menderita sakit
فَإِنَّهُمۡ
maka sesungguhnya mereka
يَأۡلَمُونَ
menderita sakit
كَمَا
sebagaimana
تَأۡلَمُونَۖ
kamu menderita sakit
وَتَرۡجُونَ
dan kamu mengharapkan
مِنَ
dari
ٱللَّهِ
Allah
مَا
apa
لَا
tidak
يَرۡجُونَۗ
mereka harapkan
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمًا
Maha Bijaksana
Terjemahan
Janganlah kamu merasa lemah dalam mengejar kaum itu (musuhmu). Jika kamu menderita kesakitan, sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan sebagaimana yang kamu rasakan. (Bahkan) kamu dapat mengharapkan dari Allah apa yang tidak dapat mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Dan janganlah kamu merasa lemah) atau tidak mampu (dalam mengejar musuh) yakni orang-orang kafir yang kamu perangi (karena jika kamu menderita sakit) disebabkan karena luka misalnya (maka sesungguhnya mereka menderita sakit pula sebagaimana kamu menderitakannya) maksudnya nasib mereka sama dengan kamu, sedangkan mereka tidak merasa takut atau pesimis dalam menghadapimu (dan kamu mengharapkan dari Allah) kemenangan dan pahala (sesuatu yang tidak mereka harapkan) hingga sebetulnya kamu lebih unggul dan ada kelebihan dari mereka, maka seharusnya lebih berani dan bergairah. (Dan Allah Maha Mengetahui) segala sesuatu (lagi Maha Bijaksana) dalam perbuatan dan pengaturan-Nya. Suatu kali Thu'mah bin Ubairiq mencuri sebuah baju besi dan menyembunyikannya di rumah seorang Yahudi. Ketika baju besi itu ditemukan, Thu'mah menuduh si Yahudi dan si Yahudi bersumpah bahwa ia tidak mencurinya. Lalu kaum si Yahudi itu pun meminta kepada Nabi ﷺ agar membelanya dan membersihkan dirinya dari tuduhan tersebut, maka turunlah ayat:.
Tafsir Surat An-Nisa': 103-104
Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat (kalian), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kalian telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka (musuh kalian). Jika kalian menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kalian menderitanya, sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Ayat 103
Allah ﷻ memerintahkan banyak berzikir sesudah mengerjakan shalat khauf, sekalipun zikir sesudah shalat disyariatkan dan dianjurkan pula dalam keadaan lainnya, tetapi dalam keadaan khauf (perang) lebih dikukuhkan, mengingat dalam shalat khauf banyak terjadi keringanan dalam rukun-rukunnya, juga banyak rukhsah (kemudahan) padanya sehingga banyak pekerjaan yang dilakukan padanya, seperti datang dan pergi dan lain-lainnya yang tidak boleh dilakukan dalam shalat lainnya. Sebagaimana yang disebutkan oleh Allah ﷻ dalam firman-Nya sehubungan dengan bulan-bulan haram, yaitu: “Maka janganlah kalian menzalimi diri kalian dalam bulan yang empat itu.” (At-Taubah: 36) Sekalipun hal tersebut dilarang pula pada selain bulan-bulan haram, tetapi larangan ini lebih kuat dalam bulan-bulan haram, mengingat keharaman dan keagungannya yang sangat besar.
Karena itulah dalam ayat ini disebutkan oleh firman-Nya: “Maka apabila kalian telah menyelesaikan shalat (kalian), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring.” (An-Nisa: 103) Maksudnya, ingatlah Allah dalam semua keadaan kalian.
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Kemudian apabila kalian sudah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu.” (An-Nisa: 103) Dengan kata lain, bila kalian telah merasa aman dan tidak takut lagi, sehingga ketenangan dapat kalian peroleh.
“Maka dirikanlah shalat itu.” (An-Nisa: 103) Yaitu sempurnakanlah shalat dan dirikanlah ia sebagaimana kalian diperintahkan untuk melakukannya, lengkap dengan rukun-rukun, khusyuk, rukuk, sujud, dan semua urusannya.
Firman Allah ﷻ: Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 103)
Menurut Ibnu Abbas, makna yang dimaksud ialah yang difardhukan. Ibnu Abbas mengatakan pula bahwa shalat itu mempunyai waktu, sama seperti ibadah haji mempunyai waktu yang tertentu baginya. Hal yang sama diriwayatkan dari Mujahid, Salim ibnu Abdullah, Ali ibnul Husain, Muhammad ibnu Ali, Al-Hasan, Muqatil, As-Suddi, dan Atiyyah Al-Aufi.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar, dari Qatadah sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 103) Bahwa Ibnu Mas'ud mengatakan, "Salat itu mempunyai waktu-waktu tertentu, sama halnya dengan ibadah haji."
Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan firman-Nya: “Sesungguhnya shalat itu adalah fardu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (An-Nisa: 103) Yakni mempunyai waktunya masing-masing. Dengan kata lain, apabila salah satu waktunya pergi, datanglah waktu yang lain.
Ayat 104
Firman Allah ﷻ: “Janganlah kalian berhati lemah dalam mengejar mereka.” (An-Nisa: 104)
Dengan kata lain, janganlah semangat kalian kendur dalam mengejar musuh, melainkan kejarlah terus mereka, perangilah mereka, dan awasilah semua gerakan mereka.
“Jika kalian menderita kesakitan, maka sesungguhnya mereka pun menderita kesakitan (pula), sebagaimana kalian menderitanya.” (An-Nisa: 104)
Yaitu sebagaimana kalian terkena luka dan kematian, maka hal tersebut telah dan akan menimpa mereka pula. Ayat ini semakna dengan ayat lain, yaitu firman-Nya: “Jika kalian (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka sesungguhnya kaum (kafir) itu pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa.” (Ali Imran: 140)
Kemudian Allah ﷻ berfirman: “Sedangkan kalian mengharap dari Allah apa yang tidak mereka harapkan.” (An-Nisa: 104)
Dengan kata lain, kalian dan musuh kalian sama saja mengalami luka dan sakit yang serupw. Tetapi kalian berbeda dengan mereka; kalian mengharapkan pahala, pertolongan dan bantuan dari Allah, sebagaimana yang telah Dia janjikan kepada kalian melalui Kitab-Nya dan melalui lisan Rasulullah ﷺ. Janji-Nya itu adalah nyata dan berita yang benar, sedangkan mereka (musuh kalian) tidak mengharapkan sesuatu pun dari hal tersebut. Kalian lebih utama dengan jihad daripada mereka, dan kalian lebih kuat keinginannya daripada mereka, dan lebih kuat keinginan kalian dalam menegakkan kalimat Allah dan meninggikannya.
“Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (An-Nisa: 104)
Dengan kata lain, Allah lebih mengetahui dan lebih bijaksana dalam semua apa yang ditentukan dan yang diputuskan-Nya serta dalam pelaksanaan-Nya sehubungan dengan peraturan-peraturan hukum syariat dan hukum tatanan alam semesta ini. Dia Maha Terpuji dalam semua keadaan.
Ayat ini masih merupakan rangkaian tuntunan yang diberikan pada ayat 102 yang memerintahkan kaum muslim untuk berhati-hati terhadap musuh kamu. Pada ayat ini Allah memberikan tuntunan dan semangat kepada kaum muslimin. Dan janganlah kamu berhati lemah, berkecil hati, takut, dan pesimistis dalam mengejar mereka, yakni musuhmu, walaupun kamu tahu bahwa mereka memiliki kelebihan dari kamu, kekuatan mereka lebih baik, jumlah mereka lebih banyak, dan persenjataan mereka lebih lengkap. Kamu dan mereka sesungguhnya memiliki kesamaan dalam hal yang lain, yaitu bahwa jika kamu menderita kesakitan, maka ketahuilah bahwa mereka pun menderita kesakitan pula, sebagaimana kamu merasakannya, sedang kamu memiliki kelebihan lain, yaitu masih dapat mengharapkan dari Allah apa yang disebut mati syahid, pahala yang berlipat ganda, dan pertolongan yang tidak dapat mereka harapkan. Allah Maha Mengetahui segala kebaikan bagi semua makhlukNya, Mahabijaksana dalam menetapkan hukum-hukum-Nya Rangkaian ayat-ayat yang lalu membicarakan banyak hal tentang orang-orang munafik dan sifat-sifat buruk yang mereka miliki yang tidak mau melakukan tuntunan, dan perintah untuk bersikap tegas kepada mereka, bahkan dengan memerangi mereka, maka pada ayat ini Allah menyebutkan bahwa kitab Al-Qur'an itu telah membawa kebenaran. Sungguh, Kami, melalui malaikat Jibril, telah menurunkan Kitab Al-Qur'an kepadamu, Nabi Muhammad, yaitu suatu kitab yang sempurna dalam segala aspeknya, yang mengandung tuntunan, petunjuk, nasihat, dan rahmat bagimu dan bagi kaummu yang membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara semua manusia tanpa membedakan jenis kelamin, agama, posisi dan kedudukan sosial mereka dengan apa yang telah Allah ajarkan, ilhamkan, perlihatkan, dan atau tunjukkan kepadamu melalui hati dan akalmu, dan janganlah engkau menjadi penentang bagi orang yang tidak bersalah, karena membela orang-orang yang berkhianat.
Kemudian diterangkan bahwa sesudah selesai pasukan Islam menunaikan ibadah salat, haruslah dia siap kembali menghadapi musuh. Jangan ada sedikit pun rasa gentar dalam menghadapi musuh. Dalam peperangan bila tidak menyerang pasti diserang. Pada ayat ini sebenarnya ada perintah untuk teguh menghadapi musuh, karena semangat tempur yang lebih tinggi akan menentukan keberhasilan. Allah memerintahkan agar pasukan Islam senantiasa bersiaga dengan tawakal pada Allah. Kesudahan suatu peperangan ialah penderitaan, dan penderitaan bukan saja bagi si penyerang bahkan juga bagi yang diserang.
"Jika kamu (pada Perang Uhud) mendapat luka, maka mereka pun (pada Perang Badar) mendapat luka yang serupa. ?." (?'li 'Imran/3:140).
Jika musuh dapat sabar menahan derita, mengapa kaum Muslimin tidak sabar? Pasukan Islam patut lebih sabar dan lebih tabah dari orang kafir, karena mereka mempunyai harapan dari Allah yang tidak dimiliki oleh orang kafir. Allah menjanjikan kepada mujahid Islam sekurang-kurangnya memperoleh satu dari dua keberuntungan. Yaitu mereka memperoleh kemenangan dalam pertempuran atau surga bagi yang syahid. Janji Allah ini mendorong setiap pejuang Islam untuk berjuang lebih gigih, sabar dan berani. Allah Maha Mengetahui segala apa yang bermanfaat bagi agama dan bagi kaum Muslimin. Dia tidak akan memikulkan beban di luar kesanggupan mereka, karena Dia Mahabijaksana. Sesuai dengan ilmu dan kebijaksanaan-Nya, maka keuntungan pasti dipihak yang benar dan kehancuran pasti di pihak yang batil.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SHALAT Di WAKTU PERANG (SHALATUL KHAUF)
Ayat 102
“Dan jika ada engkau di antara mereka".
Artinya, jika ada engkau, wahai Rasul-Ku! Bersama-sama dengan sahabat-sahabat engkau itu di tengah-tengah mereka di medan perang karena engkaulah yang memimpin mereka melakukan peperangan itu, padahal musuh sedang mengancam kamu sekalian. “Lalu engkau mendirikan shalat mengimami mereka." Artinya engkau tampil ke muka menjadi imam. Sebab walaupun betapa hebatnya peperangan, namun shalat hendaklah kamu terus berjamaah juga dengan memakai imam, sebagaimana peperangan itu sendiri pun memakai komando. Dapat pula dipahamkan di sini, bahwa akan mulai shalat itu hendaklah dilakukan juga sebagai biasa yaitu menyerukan, “Qad Qamatish Shaiah," atau lafazh iqamah, menyatakan shalat telah berdiri. “Maka hendaklah berdiri segolongan dari mereka bersama engkau." Di sinilah mulai ditegaskan bahwasanya yang turut bershalat setelah panggilan shalat itu diperdengarkan, tidaklah boleh semuanya, melainkan segolongan. Supaya lebih jelas, bolehlah dibagi dua. Merekalah yang berdiri shalat bersama Nabi, mengikuti Nabi, menjadi makmum. “Dan hendaklah mereka pegang senjata-senjata mereka." Di sini jelas sekali ditekankan kepada yang ikut (makmum) shalat itu diperintahkan supaya tetap memegang senjata dalam melakukan shalat itu.
Misalnya, pedang masih tetap terhunus di tangan, atau bedil tak boleh diletakkan, pistol mesti terisi terus dan siap buat ditembakkan, jangan sekali-kali bercerai dari badan. “Maka apabila mereka telah sujud, maka hendaklah mereka berada di belakang kamu." Artinya, dengan selesainya yang segolongan itu dari sujud, selesai pulalah shalat mereka. Nyata bahwa shalat mereka hanya satu rakaat. Mereka yang selesai sujud itu mesti mundur ke belakang. “Dan hendaklah datang (pula) segolongan yang lain, yang belum shalat" Dengan begini teranglah bahwa sementara golongan yang pertama tadi bershalat di belakang imam dengan tidak melepaskan senjata, dan yang segolongan lagi menjaga gerak-gerik musuh. Setelah golongan pertama selesai di sujud, mereka mundur ke belakang buat menjaga pula dan golongan kedua yang belum shalat tadi, “Maka hendaklah mereka shalat bersama engkau!" Sekarang tiba pula giliran golongan kedua buat shalat mengikut Nabi, dimulai dengan berdiri pula. “Dan hendaklah mereka mengambil penjagaan mereka, dan memegang senjata-senjata mereka." Sebagaimana golongan pertama yang telah berhenti shalat tadi pula senjata golongan kedua ini tidak pula boleh dilepaskan dari tangan, meskipun yang telah menjaga sehabis shalat tadi tidak pula lepas senjata dari tangannya.
Di sini dapatlah dipahamkan, bahwa sedangkan dalam mengerjakan shalat senjata tak boleh dipisahkan dari diri, apatah lagi seketika bertugas mengawal. Dan di sini dapat dipahamkan pula bahwa shalat bagi makmum kedua golongan itu hanyalah satu rakaat saja, hanya imam yang dua rakaat Kemudian datanglah sambungan ayat menjelaskan sebab utama mengapa senjata setiap yang shalat tidak boleh lepas dari tangannya atau dari dirinya selama shalat itu.
Lanjutan ayat, “Ingin sekali orang-orang yang kafir itu kalau kamu lengah dari senjata-senjata kamu dan perlengkapan-perlengkapan kamu." Apabila lengah dari senjata dan lalai memegang peralatan dan perlengkapan. “Lalu mereka menyerang kamu dengan sekali serang." Dan kamu tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kamu binasa dan pertahanan kamu porak-poranda.
Di sini nyata bahwa perintah memegang terus senjata, walaupun dalam shalat, adalah perintah yang wajib. Buktinya ialah firman Allah selanjutnya, “Tetapi tidaklah mengapa atas kamu." Artinya tidaklah kamu berdosa melepaskan senjata dari diri kamu dalam shalat itu. “jika ada halangan bagi kamu dari sebab hujan.'“ Sebab kalau hujan senjata itu mungkin berat dipikul. “Atau kamu dalam keadaan sakit." Halangan hujan dan sakit itulah cuma yang memberi keringanan sehingga kamu boleh melepaskan senjata dari diri di waktu shalat.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Bukhari, bahwa Abdurrahman bin Auf yang pernah mendapat luka dalam suatu peperangan, diberi kelapangan menanggalkan senjata dari badannya karena tidak sanggup memakai senjata itu terus, tersebab luka-lukanya itu. “Dan perteguhlah penjagaan kamu." Diulangkan sekali lagi menyuruh perteguh penjagaan, terus siap dan waspada, sehingga tampaklah bahwa keteguhan beribadah kepada Allah dengan mengerjakan shalat sama wajibnya dengan keawasan menjaga diri daripada ancaman musuh. Karena shalat jangan lengah mengadakan penjagaan, dan karena sangat awas mengadakan penjagaan bahaya musuh jangan lalai daripada shalat, dan dijadikanlah shalat itu salah satu rangka yang tidak terpisah dari penjagaan terhadap musuh. Dan di akhir ayat Allah menegaskan,
“Sesungguhnya Allah telah menyediakan untuk orang yang kafir siksaan yang menghina."
Patutlah dipahamkan penutup ayat ini. Allah telah menyediakan siksaan yang sangat menghinakan bagi orang yang kafir. Ujung ayat ini mengandung “Seligi batik bertimbal, tidak ujung pangkal mengena." Arti yang pertama ialah bahwa jika kaum Muslimin selalu siap sedia, senjata tidak berpisah dari badan disertai shalat apabila tiba waktunya, Allah menyediakan satu pukulan yang menghancurkan terhadap orang kafir itu. Tetapi sebaliknya, kalau orang Islam sendiri tidak awas terhadap musuh dan lupa hubungannya dengan Allah, itu pun termasuk kafir. Buat mereka pun disediakan siksaan yang menghina.
Di sinilah bertemu inti ajaran Islam. Kita disuruh selalu taat kepada Allah, shalat apabila datang waktunya, di samping itu awas dan waspada terhadap musuh. Suatu ketaatan beribadah yang tidak disertai menyusun ke-kuatan menghadapi musuh, belumlah diterima Allah. Dan segala persiapan perang untuk menangkis serangan musuh, kalau melalaikan ibadah, tidak pula akan diridhai Allah. Dan kalau ibadah bersama pertahanan sudah lama teguhnya, pastilah dimenangkan Allah dan timbullah rasa cemas dan takut dalam hati pihak lawan; karena umat ini bukanlah umat lemah yang memisahkan di antara ibadahnya dengan perjuangan hidupnya.
Ayat 103
“Maka apabila telah kamu selesaikan shalat."
Telah engkau kerjakan menurut syarat-syarat yang ditentukan di dalam perang, yang dinamai shalatul khauf. “Maka ingatlah Allah di kala berdiri dan di kala duduk dan di kala (berbaring) di rusuk kamu." Artinya, meski pun shalat telah selesai, Allah hendaklah selalu diingat. Ini adalah untuk menguasai diri supaya jangan lupa bahwa perjuangan ini bukanlah karena semata-mata hendak ber-bunuh-bunuhan dan melepaskan dendam sakit hati. Yang diperjuangkan ialah Sabilillah. jalan Allah. Kalau tidaklah karena hendak mempertahankan jalan Allah, tidaklah senjata ini akan diangkat. Kalau sekiranya di lain waktu kita masih tetap disuruh ingat kepada Allah supaya hati jadi tenteram, betapa lagi di saat seperti ini. Di dalam surah ar-Ra'd (Guruh) ayat 28, dijelaskan bahwa orang yang beriman tenteram hatinya karena selalu ingat kepada Allah. Tidak bimbang menghadapi hidup dengan segala rintangan-rintangannya karena hidup adalah anugerah Allah. Dan tidak pula takut menghadapi maut, walaupun telah bersilang pedang di leher karena mati pun adalah di tangan Allah. Apabila selalu dzikir atau ingat kepada Allah, hilanglah ingatan kepada kepentingan diri atau fana' yang teringat hanya Allah, dan tersedialah diri untuk kepentingan jalan Allah. Sebab itu di sini ditekankan, ingatlah Dia di kala berdiri, ingatlah Dia di kala duduk dan ingatlah Dia di kala sedang berbaring pun.
Dalam hal ini teringatlah kita kepada kaifiyat pengalaman dzikir ahli-ahli tasawuf. Karena wirid dzikir yang tetap, bahkan setelah tertidur pun, setelah mata jadi lelap. Allah masih teringat dalam mimpi, menjadi buah mulut di luar kesadaran. “Maka apabila kamu telah tenteram." Misalnya musuh itu telah jauh atau telah dapat diatasi sehingga bahaya yang menggelisahkan tidak ada lagi; “Maka dirikanlah olehmu shalat" Menurut keadaan yang biasa. Selama dalam perjalanan musafir mengqasharkan seperti biasa. Dan sesampai kamu di tempat kediaman kamu yang asli, shalatlah menurut peraturan-peraturannya yang telah digariskan Allah, dan jangan diubah, jangan ditambah dan jangan dikurangi.
“Sesungguhnya shalat itu atas orang-cnang yang beriman adalah kewajiban yang telah diwaktukan."
Kerjakanlah shalat itu menurut rukunnya, di dalam waktunya, dan lebih utama lagi di awal waktunya.
Jelas dalam susunan ayat ini bahwa shalat perang atau shalatul khauf itu selain dari makmum dibagi dua golongan, segolongan shalat satu rakaat, dan hanya imam yang dua rakaat, adalah bahwa shalat ini tidak diulang lagi kelak. Tidak ada qadha'.
Kalau hanya dipandang apa yang tertulis saja, perintah di pangkal ayat hanyalah kepada Rasulullah saja. Sebab di sana ditulis, “Dan jika ada engkau di antara mereka." Khitab tujuan kita ialah Nabi Muhammad. Tetapi kita harus memahamkan bahwasanya di kala ayat turun, Nabi mempunyai dua tugas. Pertama menjadi Rasul menerima wahyu, kedua beliau berkedudukan sebagai kepala perang. Segala peperangan yang beliau hadiri, beliau sendirilah yang menjadi kepalanya. Maka wahyu yang beliau terima untuk dirinya memimpin shalatul khauf itu berlaku pulalah bagi setiap kepala perang mempertahankan sabilillah buat selama-lamanya. Dan berlaku buat orang yang diwakilkan oleh kepala perang menjadi imam shalat.
Dirawikan oleh Abu Dawud dan an-Nasa'i dan al-Hakim dan Ibnu Abi Syaibah dan lain-lain bahwa Said bin ‘Ash dalam satu peperangan di Thabristan bertanya kepada segenap Mujahidin yang hadir, siapakah di antara mereka yang bershalat perang mengikuti Rasulullah ﷺ Lalu menjawab Huzaifah, “Aku!"
Kepala perang adalah Zaid bin Ash, tetapi karena dia tidak turut dalam peperangan yang Rasulullah melakukan shalatul khauf itu, dipersilakannyalah Huzaifah tampil ke muka. Huzaifah menyuruh mereka membagi shaf kepada dua golongan, dan semua disuruhnya memegang senjata masing-masing. Dan katanya, “Kalau kamu telah diancam oleh ancaman sudah boleh kamu siap berperang." Maka Huzaifah pun shaiatlah dengan satu kelompok satu rakaat, sedang kelompok yang lain berjaga-jaga musuh, dan yang shalat satu rakaat tadi terus berdiri karena telah selesai. Setelah yang pertama itu selesai, yang berjaga tadi pula tampil ke tempat golongan yang telah selesai itu dan shalat pula satu rakaat lagi. Kemudian Huzaifah mengucapkan salam penutup."
Kejadian ini di Thabristan. Berkata setengah ahli riwayat, “Semuanya terjadi di hadapan beberapa sahabat Rasulullah, dan tidak ada di antara mereka yang membantah cara Huzaifah itu."
Menurut satu riwayat dan Abu Dawud dari Abdurrahman bin Samurah, bahwa Abdurrahman bin Samurah ini mengimami shalatul khauf di Kabul (Afghanistan sekarang)
Ini menunjukkan dengan jelas bahwa shalat begini diwahyukan kepada Rasulullah, untuk jadi pegangan umat dan beliau sendiri yang memulainya. Apatah lagi sudah ada hadits yang jelas dari Rasulullah ﷺ Beliau bersabda.
“Shaiatlah sebagaimana kamu lihat shalatku. Dan apabila telah datang waktu shalat, hendaklah salah seorang di antara kamu melakukan adzan dan hendaklah menjadi Imam seseorang yang terbesar di antara kamu." (HR Bukhari)
Yang terbesar itu tentu saja yang menjadi pimpinan perang. Atau yang tertua, disegani di antara mereka walaupun belum tua. Sedangkan dalam musafir biasa, diwajibkan seorang jadi ketua rombongan, apatah lagi dalam perang. Kepala perang sehendaknya merangkap menjadi imam shalat sebagaimana sunnah Nabi tadi. Tetapi kalau kepala perangnya hanya berkelebihan dalam pimpinan perang sebagai Said bin Ash dan ada yang lebih alim dari-padanya, seumpama Hudzaifah bin Yaman tadi, niscaya dialah yang diimamkan.
Adapun awal mulanya turunnya ayat shalatul khauf ini, menurut sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dan Ibnu Abi Syaibah, dan Said bin Manshur, dan Abu Dawud dan an-Nasa'i, dan lain-lain, yang diterima dari Ibnu Abbas, adalah demikian,
“Pada suatu waktu kami bersama Rasulullah ﷺ di Usfan, tiba-tiba kami berhadapan dengan kaum musyrikin. Ketika itu Khalid bin Walid masih di pihak musyrik, dia yang memimpin mereka. Tempat ialah di antara kami dan di antara kiblat. Maka Nabi ﷺ pun mulai mengimami shalat Zhuhur.
Musyrikin itu berkata, “Sekarang mereka dalam suatu keadaan yang mudah saja kita menyerang." Kemudian mereka berkata pula, “Mereka sedang shalat itu suatu perbuatan yang lebih mereka cintai daripada anak-anak mereka sendiri dan diri-diri mereka"
Setelah itu Nabi pun selesailah shalat Zhu-hur sebagai biasa. Setelah di antara Zhuhur dan Ashar, datanglah Jibril membawa wahyu ayat ini, “Dan jika ada engkau di antara mereka," sampai ke akhir ayat, lalu waktu Ashar pun datang, Rasulullah ﷺ memerintahkan segera masing-masing memakai dan memegang senjatanya. Maka bershaflah kami di belakang beliau dua shaf. Beliau pun ruku' dan kami pun ruku' semua. Beliau pun berdiri dan kami berdiri semua. Lalu Rasulullah sujud bersama shaf pertama, sedang shaf yang kedua tetap berdiri menjaga yang sedang sujud. Setelah selesai (shaf pertama) sujud dan setelah itu lalu majulah shaf pertama tadi ke tempat tegak shaf kedua tadi, dan shaf yang pertama pula yang segera tegak mengawal mereka. Setelah shaf kedua sujud, duduk pulalah yang mengawal tadi dan sujud pula. Selesai itu semuanya, Nabi pun mengucapkan salam tanda selesai."
Dijelaskan lagi oleh Abdurrazzaq dari ats-Tsauri dan Hisyam, dengan tambahan, “Shaf yang di muka mundur ke belakang setelah selesai mengangkat muka dan sujud, dan maju shaf yang kedua, lalu sujud pada tempat shaf pertama tadi."
Pada riwayat hadits ini ada perbedaan sedikit dengan yang terdapat dalam ayat. Yaitu berganti-ganti shaf yang pertama dengan shaf yang kedua tegak; sedangkan shaf pertama sujud yang kedua menjaga. Setelah selesai dia sujud, shaf yang kedua pula sujud dan shaf pertama menjaga. Tetapi keduanya dalam rangka satu shalat dan seketika menutup shalat (salam) semua bersatu kembali. Di sini jelas pula bahwa shalat Ashar yang dilakukan ini bukan satu rakaat, melainkan dua, cuma sujudnya saja berganti-ganti.
Bila ditilik dengan saksama memang ada duaatau tiga macam cara shalat khaufitu. Tetapi kita pun melihat pula bagaimana letak strategi medan perang. Shalat khaufyang dilakukan di
Usfan rupanya dibuat demikian rupa, sebab musuh berdiri di antara orang Islam dengan Kiblat yang mereka hadapi. Sebab itu shalat dengan cara satu shaf menjaga dan satu sujud tetapi salam sama. Yang tersebut dalam ayat, makmum dibagi dua shaf, masing-masing hanya shalat satu rakaat terhenti hingga sujud saja, dan hanya imam yang shalat dua rakaat.
Berkata Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Shalat khauf banyak macamnya. Karena musuh kadang-kadang berdiri di jihad Kiblat, dan kadang-kadang di jihad lain, kemudian itu kadang-kadang di jihad lain, kemudian itu kadang-kadang dapat shalat berjamaah dan kadang-kadang perang telah berkecamuk sehingga tak dapat lagi melakukan cara berjamaah. Bahkan sampai suasana menyebabkan shalat terpaksa sendiri-sendiri, ada yang menghadap Kiblat dan kadang-kadang tak sempat menghadap Kiblat lagi. Kadang-kadang sambil berjalan kaki dan kadang-kadang di atas kendaraan. Dalam keadaan seperti itu shalat boleh berjalan terus, bahkan memukul musuh tengah shalat."
Tegas Ishaq bin Rahawaih berkata, “Kalau sudah berlomba hantam-menghantam shalat satu rakaat pun sah juga, dengan isyarat kepala saja. Kalau tak sempat, sujud saja satu kali, karena itu sudah termasuk dzikrullah." Pendeknya kalau perang sudah demikian hebat, sudah bersosoh dengan musuh, datang waktu teruslah shalat, walaupun dengan cara apa yang dapat dikerjakan di waktu itu.
Berkata Imam Ahman bin Hambal, “Semua hadits yang dirawikan berkenaan dengan shaiatul khaufboleh diamalkan." Yaitu menurut medan dan cuaca yang ada pada masa itu.
Yang penting ialah bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan walaupun bagaimana dahsyatnya peperangan.
Dalam praktik Nabi kelihatan seketika pergi mengepung benteng Yahudi Bani Qu-raizhah. Beliau memerintahkan harus segera lekas mengepung benteng itu, jangan terlambat, dan shalat Ashar nanti saja sesampai di sana. Padahai sampai di sana sesudah waktu Maghrib masuk. Maka ada sahabat yang mengerjakan juga shalat di jalanan sebelum matahari terbenam dan ada yang menuruti instruksi Nabi karena taat kepada komando perang, shalat Ashar malamnya saja.
Al-Auzal menegaskan, “Kalau sudah mulai menaklukkan pertahanan musuh sehingga tidak ada waktu buat shalat, hendaklah shalat saja dengan angguk kepala, masing-masing orang dengan caranya sendiri-sendiri, kalau mengangguk pun tidak bisa lagi, boleh undurkan shalat itu sampai selesai penaklukan."
Anas bin Malik yang ikut berperang di Tustur (Persia) mengatakan bahwa mereka mengepung benteng musuh di waktu fajar. Perang amat hebat sehingga tak dapat melakukan shalat. Akhirnya benteng itu dapat kami rebut, dan kami pun shalatlah setelah matahari naik tinggi. Kami shalat bersama Abu Musa. Sangatlah bahagia rasa hati saya waktu shalat itu melebihi dunia dan isinya.
Supaya lebih jelas lagi, untuk menghilangkan keraguan tentang ada banyak macamnya shalatul khauf itu baik kita salinkan suatu penafsiran dari Abu Ali al-Jurjani. Kata beliau, “Di dalam ayat tadi (ayat 102) telah diulang menegaskan, ‘Perteguhlah penjagaan kamu/ Kalimat ini menunjukkan bahwa Rasulullah ﷺ dibolehkan shalat khauf itu dengan cara yang dapat beliau berjaga-jaga, dengan tidak lengah dari gerak-gerik musuh. Yang dijelaskan dalam ayat ini ialah berawas karena musuh ketika itu di Dzatir-Riqa." Mereka menghadap kiblat dan Muslimin membelakangi kiblat. Kalau mereka hadapi kiblat ketika itu, niscaya mereka membelakangi musuh. Sebab itu sudah nyata kalau Rasulullah memerintahkan Muslimin dibagi dua shaf. Satu shaf menghadapi musuh dan satu shaf lagi bersama Nabi menghadapi kiblat. Ada pun seketika Nabi di Usfan dan di Baitul Maqdis, maka beliau tidak membagi sahabat-sahabatnya dua golongan, karena musuh membelakangi kiblat, dan Muslimin menghadap kiblat. Niscaya di waktu itu mereka dapat melihat musuh, sedang kaum Muslimin melakukan shalat. Sebab itu tidak perlu berjaga-jaga, kecuali sedang sujud. Maka dapatlah dipahamkan jika sedang shaf pertama melakukan sujud, shaf kedua mengawal. Dan kalau mereka telah selesai sujud dan mereka berdiri, mereka pun mundur ke belakang dan tampil pula shaf yang kedua dan sujud pula. Dan shaf pertama sambil berdiri itu mengawal shaf kedua tadi pula. Maka dengan bunyi ayat, ‘Perteguhlah penjagaan kamu/ Menunjukkan bahwa segala macam cara itu dibolehkan. Sebab itu tidaklah berlawanan dengan bunyi ayat kalau Nabi ada melakukan cara yang lain."
Dari segala keterangan ini dapatlah kita ambil satu kesimpulan, untuk menguatkan apa yang telah kita terangkan lebih dahulu di atas tadi. Yaitu bagaimana pun berkecamuknya peperangan, namun shalat tidaklah boleh ditinggalkan. Sebab shalat adalah tiang dari kehidupan Muslim. Barulah sesuai maksud peperangan dengan apa yang dituju, kalau shalat tidak dilalaikan. Dan dikerjakan menurut ruang dan waktu, cuaca dan medan yang ada pada masa itu.
Kemudiannya apabila telah aman, suasana telah reda, baik sebelum pulang dari medan perang, ataupun sesudah perang, ingatlah kembali apa yang telah dipesankan di ujung ayat 103. Yaitu bahwa shalat itu diperintahkan oleh Allah, diwajibkan Allah menurut waktu yang telah ditentukan. Kerjakanlah dia menurut waktu sehari semalam: Shubuh, Zhuhur, Ashar, Maghrib, dan Isya.
SHALAT DENGAN WAKTUNYA YANG TERTENTU
Di waktu penulis Tafsir al-Azhar ini dalam tahanan, karena sakit lalu dirawat di rumah sakit 17 bulan lamanya. Pada masa itu adalah seorang dokter yang masih muda, beragama Kristen (Protestan) bercinta-cintaan dan sudah semufakat hendak kawin dengan seorang dokter perempuan, satu pekerjaan. Ayah dokter perempuan itu sangat beriba hati kalau anak perempuannya sampai memeluk agama Kristen. Dia mengharap supaya dokter Kristen itulah yang masuk Islam. Dengan gagah perkasanya dokter Kristen itu menyatakan bahwa dia bersedia masuk Islam asal dia dihadapkan dengan seorang ulama islam. Kalau ulama itu dapat mengalahkannya, dia akan segera masuk Islam.
Orang tua anak gadis itu menghubungi saya, kalau-kalau saya sudi meladeni kedatangan dokter Kristen itu yang akan datang bersama anak gadisnya. Permintaan itu saya terima dan pada waktu yang telah dijanjikan kedua dokter muda itu pun datang.
Apa yang telah kejadian? Apakah benar-benar kedatangannya bertukar pikiran untuk mencari kebenaran?
Lain! Mula saja dia datang, dia telah menyerang dengan celaan yang bertubi-tubi, tampaknya untuk membuktikan pada kekasihnya gadis Islam itu bahwa dia adalah seorang yang ahli, terutama tentang kelemahan Islam. Serangannya yang terutama ialah terhadap shalat orang Islam. Pertama, mengapa pakai berwudhu. Kedua mengapa ditentukan waktunya. Padahal keduanya itu tidak perlu, sebab di segala waktu kita bisa shalat memuja Allah, dalam berbagai sikap yang kita kehendaki. Oleh sebab demikian caranya shalat orang Islam, maka shalat Islam itu kaku. Padahal kalau hati telah bersih, guna apa membersihkan bagian badan, sebab walaupun anggota badan dibersihkan di luar, namun dalam diri kita sendiri masih kotor. Dan perut kita sendiri adalah kantong kotoran.
Nyatalah bahwa dokter muda itu telah berlatih jadi Zending. Caranya menyerang rupanya telah diatur. Nyaris.saja terjebak kepada pertengkaran yang tidak ada ujung. Sebab dengan cara positif dia mencela keras
shalat cara Islam yang memakai wudhu dan memakai ruku', sujud, dan bilangan rakaat itu. Dan anehnya pula, gadis Islam tadi pun selalu menyokong segala serangannya itu. Tandanya pun dia pun telah diserang cara yang demikian. Akhirnya saya hanya bersedia kalau kita bertukar pikiran secara tenang, apatah lagi saya masih dalam keadaan sakit.
Lalu saya minta agar diberinya kesempatan berbicara dengan tenang dan saya harap pula dia pun berbicara dengan tenang.
Lalu saya berkata, “Saudara dokter telah membawa urusan upacara ibadah kepada alam filsafat. Sebab dokter apriori memang tidak memeluk Islam, tentu dokter memandang shalat Islam dari segi negatifnya. Padahal orang beragama yang jujur memegang teguh shalat menurut ajaran agamanya dan menghormati pula pegangan agama orang lain. Karena kefanatikan agama, dokter lupa dasar ilmu dokter, yaitu ilmu kesehatan. Orang Islam terlebih dahulu berwudhu yaitu membersihkan anggota dengan air yang bersih sebelum shalat. Dipandang dari segi ilmu kesehatan, jantung dokter sendiri akan mengakui bahwa shalat cara Islam itu baik, Orang yang sekurangnya lima kali sehari semalam membersihkan anggota badannya yang terbuka (muka, tangan, dan kaki) dengan air ber-sih, tidak ada seorang dokter pun yang akan mengatakan bahwa perbuatan itu tidak baik!"
Lalu dia menyambut, “Kami orang Kristen yang penting adalah hati bersih terhadap Allah!"
Saya jawab, “Tetapi rasa halus dokter sebagai seorang ahli kesehatan pasti mengakui bahwasanya kebersihan besar pengaruhnya kepada kebersihan hati. Dokter sendiri akan mengakui betapa segar rasa badan setelah mencuci muka. Kalau terlepas dari suasana agama, niscaya dokter akan menasihatkan demikian, kepada pasien-pasien dokter!"
Lalu dia pindah ke soal lain. Dia berkata, “Kalau memang demikian pengaruh wudhu bagi kesehatan, mengapa orang Islam kelihatannya banyak yang kotor?"
Saya jawab, “Yang kotor ialah orang Islam yang tidak memahami hikmat wudhu. Kalau hendak membandingkan ajaran Islam kepada praktik hidup setengah orang Islam, kita nanti akan meraba-raba ke dalam lapangan lain. Kita mesti mencari statistik, manakah persentasenya yang lebih banyak orang Islam kotor dengan orang Kristen kotor di tanah air kita ini. Tetapi yang jelas di luar negeri ialah bahwa orang Kristen Eropa yang banyak yang tidak kenal mandi sampai berminggu-minggu. Bajunya yang di luar saja yangbersih, badannya kotor, sebab memang tidak ada peraturan dalam agama mereka yang memerintahkan mereka harus mencuci anggota tubuh lima kali sehari."
Apabila dia terdesak dalam hal wudhu itu, dokter itu pun pindah lagi ke jurusan lain. Dia berkata, “Guna apa ditentukan mesti shalat lima kali sehari? Setiap waktu orang boleh sembahyang. Dia duduk tafakur mengingat Tuhannya, menurut keadaannya yang ada pada waktu itu."
Saya jawab, “Duduk tafakkur mengingat Allah itu ada perintah tersendiri dalam Islam. Menurut istilah ajaran Islam, hal itu bukan bernama shalat, melainkan doa, atau munajat, atau dzikir. Islam menganjurkan penganutnya dzikir, ingat dan menyebut nama Allah, sedang berdiri, sedang duduk dan sedang berbaring pun."
Dia mendesak, “Kalau demikian guna apa shalat pakai wudhu dan pakai waktu tertentu lagi?"
Saya jawab, “Dokter seorang terpelajar, tentu berpikir yang logis! Agama dokter menganjurkan sembahyang atau ingat kepada Tuhan di mana saja dan dalam cara apa saja. Islam pun mempunyai ajaran yang demikian. Tetapi Islam mempunyai tambahan satu lagi, yaitu shalat di waktu tertentu dengan memakai wudhu. Kalau dokter berpikir secara teratur, pastilah dokter akan mengakui bahwa Islam mempunyai ajaran yang lebih lengkap daripada ajaran agama yang dokter peluk. Dan itu memang demikian. Sebab kedatangan Islam ialah melengkapkan apa yang belum cukup, diajarkanlah oleh nabi-nabi yang dahulu."
Dia menyambut, “Tetapi kami juga mempunyai sembahyang pada waktu tertentu, sebagai menyatakan syukur kepada Tuhan."
Saya jawab, “Saya mengetahui itu. Sebagai seorang dokter, artinya seorang terpelajar, dokter seharusnya mengakui bahwa shalat cara Islam lebih sempurna dan lengkap. Sebab beberapa saat sebelum kita memulai shalat, segala perhatian kita telah ditujukan kepada-Nya; sejak dari masuknya waktu sampai kepada melakukan wudhu, sampai kepada masa kita berdiri menghadapkan muka ke kiblat."
Dia bertanya lagi, “Mengapa mesti pakai waktu? Mengapa tidak diserahkan saja kepada keinsafan orang itu?"
Sebelum menjawab pertanyaan itu, saya bertanya terlebih dahulu, “Demi pengetahuan kedokteran saudara, saya bertanya, “Menurut ilmu kesehatan segala sembahyang, baik shalat cara Islam atau cara Kristen, baik atau tidak baik?"
Dengan tegas dia menjawab, “Baik! Segala sembahyang baik!"
Saya tanya lagi, “Menurut ilmu kesehatan, mana yang lebih baik berwudhu dahulu sebelum shalat atau tidak berwudhu?" Dia hanya terdiam! Saya meneruskan dengan tenang. “Kebanyakan manusia, meskipun meng-akui bahwa suatu perbuatan baik atau bermanfaat, tidaklah dia segera mengerjakan yang baik itu kalau hanya diserahkan kepada dirinya sendiri saja. Seumpama penghuni sebuah rumah, tidaklah rumah itu akan terjaga kebersihannya kalau tuan rumah tidak streng dan disiplin memerintahkan menyapu rumah itu setiap hari. Lantai mesti dipel terus sekali pagi sekali petang, walaupun debu tidak ada. Barang-barang alat rumah tangga mesti dibersihkan dengan bulu ayam, walaupun tidak ada kotoran. Rumah begitulah yang akan selalu bersih, dan dengan demikianlah baru akan tercapai kebaikan dan manfaat yang diakui sendiri faedahnya oleh yang empunya rumah itu. Dalam salah satu segi dari ilmu pendidikan, sebagai cabang dari ilmu jiwa, murid diperintahkan pada waktu-waktu yang tertentu membersihkan sesuatu, supaya bersih itu menjadi perangai dan adat kebiasaan. Barangsiapa yang selalu berlatih mencegah suatu bahaya sebelum kejadian atau sebelum membanjir, akan tidak merasa canggung bila berhadapan dengan bahaya itu bila benar datang. Bagi orang Islam shalat bila waktu panggilan telah datang, adalah guna menenteramkan jiwa sejenak setelah lelah menghadapi tugas kehidupan. Shalat bukan semata-mata pengakuan dosa kepada Allah. Tetapi lebih tinggi dari itu, yaitu meningkatkan pribadi sehingga dapat mendekati sifat Allah. Itulah sebabnya dimulai dengan wudhu. Kebersihan hati dilambangkan oleh kebersihan anggota tubuh.
Diulangnya lagi, “Bagi kami kebersihan hati yang utama!"
Saya jawab, “Bagi kami, bersih hati dan bersih badan!" Dia mulai mengejek, “Mengapa isi perut juga tidak dibersihkan lebih dahulu?"
Saya jawab dan jawaban itu membuat dia terdiam, “Sedangkan disuruh membersihkan hati dan membersihkan anggota badan, saudara sudah keberatan, bagaimana pula kalau disuruh lagi membersihkan isi perut? Dan pertanyaan demikian sudah keluar dari garis bertukar pikiran yang sehat, dari seorang ahli kesehatan."
“Mengapa mesti bahasa Arab?" tanyanya tiba-tiba. “Tidakkah Allah itu mengerti segala bahasa?"
Saya jawab, “Kesatuan bahasa yang kami pakai dalam shalat, dan kesatuan cara melakukan shalat itu sendiri, dan kesatuan kiblat tempat kami menghadap, menyebabkan kami umat Islam seluruh dunia adalah satu dalam agama. Saya sebagai seorang bangsa Indonesia, tidak akan ragu-ragu masuk ke dalam sebuah masjid di Tiongkok atau Yugoslavia atau di London. Di dalam kalangan agama kami tidak ada sekte sehingga satu sekte menuduh sekte yang lain keluar dari lingkungan agama, karena berlainan cara shalat dan bahasa shalat. Pertentangan madzhab di kalangan kami tidaklah sama dengan pertentangan Protestan dengan Katolik, atau pertentangan sekte dengan sekte yang lain yang sama-sama Protestan. Sebab shalat kami sama dan satu di seluruh dunia!"
Dia tambah terdiam.
“Sungguh pun demikian, saya tetap tidak setuju shalat cara ajaran Islam!" katanya kemudian.
Dengan senyum saja jawab, “Kalau saudara setuju, niscaya saudara sudah Islam. Dari permulaan kata bukan saya yang menyodorkan supaya dokter pindah kepada cara yang saya pakai. Melainkan dokter menyerang ibadah kami. Setelah saya jawab, bukanlah maksud saya memaksa saudara masuk agama saya, melainkan memberi pengertian duduknya soal. Hidayah dan petunjuk adalah di tangan Allah, bukan di tangan saya."
Ada beberapa soal lain lagi yang kami perkatakan. Dia meminta maaf karena saya yang dalam tahanan dan dalam kamar sakit telah diganggunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang begitu hebat dan bertubi-tubi. Saya lihat wajah dokter perempuan temannya itu, dari satu keluarga Islam yang baik, jelas banyak perubahan sikapnya. Mulanya dia turut aktif agresif menyerang saya, tetapi kemudian kelihatan ragu-ragu dan mulai pula menyerang beberapa pertahanan dari dokter temannya itu.
Akhirnya dia bertanya, “Bolehkah sewaktu-waktu kami datang lagi?"
“Doakanlah saya lekas sembuh dan lekas bebas dari tahanan karena fitnahan ini.
Saya selalu menerima kedatangan dokter keduanya, dengan dada lapang dan tidak fanatik. Sebab apabila dua orang yang berbeda agama, kalau sama-sama taat dan setia dalam agamanya, tidaklah mereka akan bermusuhan. Sebab keimanan agama yang sejati bukanlah menimbulkan rasa benci, melainkan rasa cinta. Silahkan datang, bila-bila saja!"
Kira-kira satu bulan saja setelah mereka ziarah itu, saya bebaslah dari tahanan dan bebas pula dari penyakit (21 Januari 1966) Sampai sekarang mereka saya tunggu-tunggu, namun mereka tak datang lagi. Saya tidak mendengar berita lagi, apakah mereka telah langsung kawin dengan perempuan masuk Kristen atau yang laki-laki masuk Islam, atau mereka telah mengurak kembali tali yang nyaris dibuhulkan.
Memang rupanya dalam perebutan pengaruh agama di bekas tanah jajahan ini, yang dahulu dijajah oleh orang Kristen, pihak mereka mempelajari cara-cara bagaimana memperlemah benteng Islam, dengan tidak terlebih dahulu memberi kesempatan pihak Islam menggoyahkan pokok kepercayaan mereka yang prinsipil, melainkan mereka ganggu terlebih dahulu pihak Islam dengan serangan bertubi-tubi sehingga hanya sempat bertahan. Setelah itu mereka pun pergi, tidak memberikan kesempatan membuat “serangan balasan". -
Kemudian itu Allah berfirman,
Ayat 104
“Dan janganlah kamu merasa lengah di dalam mengerjai kaum itu."
Artinya janganlah kamu merasa lemah hati atau patah semangat di dalam mencari atau menghadapi musuh. Kuatkanlah semangat berperang, intip terus gerak-geriknya, serbu bila mereka terlengah dan jangan dihentikan sebelum mereka mengaku tunduk. Memang perang itu membawa kepayahan dan penderitaan. Datanglah tanjutan ayat, ‘jika adalah kamu menderita sakit; maka sesungguhnya mereka pun menderita sakit pula sebagaimana yang kamu derita." Sebab itu tidak ada satu peperangan pun yang menyenangkan. Sengaja perang artinya sengaja mati. Kalau di kalangan kaum Muslimin ada yang luka, mereka pun ada yang luka. Jika ada yang gugur, di kalangan mereka pun pasti ada pula yang gugur. Rugi sama-sama rugi. Susah sama-sama susah. Tetapi kesusahan adalah dua. Ada suatu kesusahan yang mengandung harapan dan satu kesusahan yang semata-mata kesusahan. Sedang kesusahan kamu jauh berbeda dari kesusahan mereka. “Sedang kamu mengharapkan daripada Allah hal yang tidak mereka harapkan." Meskipun kamu ditimpa kesusahan, namun kamu berperang adalah karena mengandung harapan, kamu menegakkan jalan Allah, bukan jalan setan. Sedang mereka menegakkan kemegahan berhala, memuja benda kayu dan batu.
Alangkah gelapnya hidup ini kalau tidak ada pengharapan, atau raja'. Maut itu sendiri tidaklah takut untuk menempuhnya, kalau pengharapan telah mengisi jiwa. Harapanmu di dunia ialah tegaknya kebenaran agama yang kamu perjuangkan. Dan mencapai janji yang telah dijanjikan oleh Allah dengan perantaraan lidah Rasul-Nya, yaitu menangnya agama kamu di atas segala agama di dunia ini, walau betapa pun orang musyrikin menghambat menghalanginya. Harapanmu di akhirat ialah surga yang telah dijanjikan Allah. Jika kamu menang dan hidup, dapatlah kamu menyaksikan dengan mata kepalamu sendiri kemenangan agamamu itu, dan jika kamu mati dalam pertempuran, di tanganmu telah ada satu “diploma" yaitu syahadah, tegasnya, mati syahid, mengorbankan diri sendiri untuk tegaknya agama Allah.
Adapun orang musyrikin itu, harapan menang tidak akan ada pada mereka. Sebab sesuatu yang batil itu, tidak ada satu berhala pun yang dapat memberikan upah apa pun untuk mereka.
Haruslah kita di zaman modern men-camkan benar-benar dalam hati kita inti sari ayat ini. Menegakkan agama yang benar. Tauhid yang khalis adalah tujuan hidup kita. Di zaman modern pun orang telah mengakui betapa pentingnya berperang menegakkan ideologi, yaitu cita-cita yang diperjuangkan, haruslah jelas. Perang-perang sebagai di zaman feodal dahulu, yaitu memusnahkan harta benda dan jiwa raga untuk kepentingan seorang raja atau pengeran tidak ada lagi. Perang sekarang ialah perang ideologi. Sepihak ideologi komunis, sepihak lagi ideologi kapitalisme. Mana ideologi menegakkan kepercayaan kepada Allah penguasa seluruh alam?
Lalu datanglah akhir ayat,
“Dan adalah Allah itu Maha Mengetahui, lagi Bijaksana."
Allah mempunyai ilmu yang Mahaluas dan mempunyai hikmat yang amat dalam, yang dapat kita korek dari dalam ilmu masyarakat dan sejarah, yaitu bahwa orang yang beriman kepada Allah pasti menang menghadapi orang yang tidak mau percaya kepada Allah, asai saja orang yang beriman mengamalkan petunjuk yang digariskan Allah. Di penutup ayat ini Allah menonjolkan dua sifat-Nya yang utama, yaitu ‘Alim dan Hakim yaitu ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Supaya orang beriman yang hendak menegakkan Agama Allah mengambil sempena daripada kedua nama Allah ini pula. Betapa pun tebalnya iman dan kuatnya harapan dan tingginya ideologi, kalau ilmu perang tidak ada, niscaya akan kalah oleh musuh yang berilmu pengetahuan. Bijaksana mengatur taktik, teknik, dan strategi. Baik ketika menyusun kekuatan sendiri, barisan, kelompok dan penyerbuan, ataupun di dalam menduga dan menyelidiki kekuatan musuh. Kalau semuanya ini telah diperhatikan, maka ada satu lagi hal oleh musuh tidak akan tercapai, yaitu kekuatan iman dan jelasnya apa yang diperjuangkan. Kalau iman telah teguh.
ideologi dapat dipertanggungjawabkan dunia akhirat, dan ilmu serta kebijaksanaan telah dipunyai pula, bertawakallah kepada Allah, Allah telah berjanji pasti.
“Dan sesungguhnya telah Kami utus Rasul-rasul sebelum engkau kepada kaum mereka. Maka rasul-rasul itu telah datang kepada mereka membawa berbagai keterangan. Maka Kami telah memberi balasan setimpal kepada orang-orang yang durhaka. Dan adalah kewajiban Kami memenangkan orang-orang yang beriman." (ar-Ruum: 47)