Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذَا
dan apabila
ضَرَبۡتُمۡ
kamu bepergian
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi
فَلَيۡسَ
maka tidak
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
berdosa
أَن
bahwa
تَقۡصُرُواْ
kamu mengqasar
مِنَ
dari
ٱلصَّلَوٰةِ
sholat
إِنۡ
jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَن
akan
يَفۡتِنَكُمُ
memfitnah/menyerang
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُوٓاْۚ
kafir/ingkar
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
كَانُواْ
adalah mereka
لَكُمۡ
bagi kalian
عَدُوّٗا
musuh
مُّبِينٗا
nyata
وَإِذَا
dan apabila
ضَرَبۡتُمۡ
kamu bepergian
فِي
di
ٱلۡأَرۡضِ
muka bumi
فَلَيۡسَ
maka tidak
عَلَيۡكُمۡ
atas kalian
جُنَاحٌ
berdosa
أَن
bahwa
تَقۡصُرُواْ
kamu mengqasar
مِنَ
dari
ٱلصَّلَوٰةِ
sholat
إِنۡ
jika
خِفۡتُمۡ
kamu takut
أَن
akan
يَفۡتِنَكُمُ
memfitnah/menyerang
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُوٓاْۚ
kafir/ingkar
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
كَانُواْ
adalah mereka
لَكُمۡ
bagi kalian
عَدُوّٗا
musuh
مُّبِينٗا
nyata
Terjemahan
Apabila kamu bepergian di bumi, maka tidak dosa bagimu untuk mengqasar salat jika kamu takut diserang orang-orang yang kufur. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Tafsir
(Dan jika kamu mengadakan perjalanan) atau bepergian (di muka bumi, maka tak ada salahnya kamu) (apabila mengqasar salat) dengan membuat yang empat rakaat menjadi dua (jika kamu khawatir akan diperangi) atau mendapat cidera dari (orang-orang kafir) menyatakan peristiwa yang terjadi di kala itu, maka mafhumnya tidak berlaku. Menurut keterangan dari sunah, yang dimaksud dengan suatu perjalanan panjang ialah empat pos atau dua marhalah. Dan dari firman-Nya, "Maka tak ada salahnya kamu," ditarik kesimpulan bahwa mengqasar salat itu merupakan keringanan dan bukan kewajiban. Dan ini merupakan pendapat Imam Syafii. (Sesungguhnya orang-orang kafir itu bagi kamu musuh yang nyata) maksudnya jelas dan terang permusuhannya terhadap kamu.
Tafsir Surat An-Nisa': 101
Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidak mengapa kalian mengqasar shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagi kalian.
Allah ﷻ berfirman: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi.” (An-Nisa: 101)
Yaitu melakukan perjalanan ke berbagai negeri; semakna dengan pengertian yang terkandung di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dia mengetahui bahwa ada di antara kalian orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah.” (Al-Muzzammil: 20), hingga akhir ayat.
Adapun firman Allah ﷻ: “Maka tidak mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) Yakni meringankan; adakalanya dari segi rakaatnya, misalnya shalat yang empat rakaat dijadikan dua rakaat, seperti yang disimpulkan oleh jumhur ulama dari ayat ini. Mereka menjadikannya sebagai dalil shalat qasar dalam perjalanan, sekalipun mereka masih berselisih pendapat mengenainya. Karena di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan yang dilakukan harus mengandung ketaatan, seperti berjihad, atau haji atau umrah, atau mencari ilmu atau ziarah, atau lain-lainnya yang serupa. Seperti yang diriwayatkan oleh ‘Atha’ dan Yahya, dari Malik, dari Ibnu Umar, karena berdasarkan kepada makna lahiriah firman-Nya yang mengatakan: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101)
Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa tidak disyaratkan bepergian harus dalam rangka taqarrub (mendekatkan diri kepada Allah), melainkan boleh pula dalam rangka bepergian yang mubah (tidak diharamkan), karena berdasarkan kepada firman-Nya yang mengatakan: “Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa.” (Al-Maidah: 3), hingga akhir ayat. Seperti halnya diperbolehkan baginya memakan bangkai bila dalam keadaan darurat, tetapi dengan syarat hendaknya dia tidak bertujuan maksiat dengan perjalanannya itu. Demikianlah menurut pendapat Imam Syafii dan Imam Ahmad serta selain keduanya dari kalangan para imam.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', dari Al-A'masy, dari Ibrahim yang menceritakan bahwa seorang lelaki datang kepada Rasulullah ﷺ, lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku adalah seorang pedagang, aku biasa pulang pergi ke Bahrain." Lalu Nabi ﷺ memerintahkan kepadanya shalat dua rakaat (yakni shalat qasar). Hadis ini berpredikat mursal.
Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa perjalanan ini bersifat mutlak. Dengan kata lain, baik yang mubah ataupun yang terlarang, sekalipun dia bepergian untuk tujuan membegal jalan dan menakut-nakuti orang yang lewat (meneror). Hukum qasar diperbolehkan baginya karena safar (perjalanan) diartikan mutlak. Hal ini merupakan pendapat Imam Abu Hanifah, As-Sauri, dan Daud, karena berdasarkan kepada keumuman makna ayat. Tetapi jumhur ulama berpendapat berbeda dengan mereka.
Adapun firman-Nya: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) Barangkali hal ini diinterpretasikan menurut kebanyakan yang terjadi di lingkungan saat ayat ini diturunkan. Karena sesungguhnya pada permulaan Islam sesudah hijrah, kebanyakan perjalanan yang mereka lakukan dipenuhi oleh bahaya yang menakutkan. Bahkan mereka tidak beranjak meninggalkan tempat tinggalnya melainkan untuk menuju ke peperangan tahunan, atau sariyyah (pasukan) khusus, sedangkan keadaan lainnya merupakan perang terhadap Islam dan para pengikutnya.
Pengertian mantuq (pemahaman langsung dari lafal yang tertulis/terucap) apabila diungkapkan dalam bentuk prioritas atau berdasarkan suatu kejadian, maka ia tidak mempunyai subyek pengertian. Sama halnya dengan pengertian yang terdapat di dalam ayat lain, yaitu firman-Nya: “Dan janganlah kalian paksa budak-budak wanita kalian untuk melakukan pelacuran, sedangkan mereka sendiri mengingini kesucian.” (An-Nur: 33) Juga seperti pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: “Dan anak-anak istri kalian yang ada dalam pemeliharaan kalian dari istri kalian.” (An-Nisa: 23) hingga akhir ayat.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Idris, telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij, dari Abu Ammar, dari Abdullah ibnu Rabiyah, dari Ya'la ibnu Umayyah yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Umar ibnul Khattab mengenai makna firman-Nya: “Tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat, jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) Sedangkan orang-orang di masa sekarang dalam keadaan aman (ke mana pun mereka mengadakan perjalanan)? Maka Umar berkata kepadaku bahwa ia pun pernah merasa heran seperti apa yang aku rasakan, lalu ia bertanya kepada Rasulullah ﷺ mengenai hal tersebut. Maka beliau ﷺ menjawab: “Itu adalah sedekah yang diberikan oleh Allah kepada kalian. Karena itu, terimalah sedekah-Nya.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim dan para pemilik kitab sunan melalui hadits Ibnu Juraij, dari Abdur Rahman ibnu Abdullah ibnu Abu Ammar dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih. Ali ibnul Madini mengatakan bahwa hadits ini hasan sahih melalui Umar, dan tiada yang hafal kecuali dari jalur ini; semua perawinya dikenal.
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan telah menceritakan kepada kami Abu Na'im, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Magul, dari Abu Hanzalah Al-Hazza yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat safar (shalat dalam perjalanan). Maka ia menjawab bahwa shalat perjalanan itu adalah dua rakaat (yakni qasar). Lalu aku bertanya, "Kalau demikian, bagaimanakah dengan firman Allah ﷻ yang mengatakan: 'Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.’ (An-Nisa: 101). Sedangkan kita sekarang dalam keadaan aman?" Maka Ibnu Umar menjawab, "Itulah sunnah Rasulullah ﷺ."
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Muhammad ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Muhammad ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Minjab, telah menceritakan kepada kami Syarik, dari Qais ibnu Wahb, dari Abul Wadak yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar mengenai dua rakaat dalam perjalanan. Maka ia menjawab bahwa hal itu adalah rukhsah (keringanan) yang diturunkan dari langit; jika kalian tidak menginginkannya, maka kalian boleh mengembalikan ke asalnya (yaitu empat rakaat).
Abu Bakar ibnu Abu Syaibah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aun, dari Ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan, "Kami shalat bersama Rasulullah ﷺ di antara Mekah dan Madinah sebanyak dua rakaat-dua rakaat, padahal kami dalam keadaan aman dan tidak takut dengan apa pun di antara Mekah dan Madinah itu."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui Muhammad ibnu Abdul A'la, dari Khalid Al-Hazza, dari Abdullah ibnu Aun dengan lafal yang sama. Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, demikian pula telah diriwayatkan oleh Ayyub, Hisyam, dan Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ dengan lafal yang serupa.
Menurut kami, hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi dan Imam An-Nasai; semuanya dari Qutaibah, dari Hasyim, dari Mansur, dari Zazan, dari Muhammad ibnu Sirin, dari Ibnu Abbas yang menceritakan bahwa Nabi ﷺ berangkat dari Madinah menuju Mekah tanpa ada rasa takut kecuali kepada Tuhan semesta alam, tetapi beliau ﷺ shalat dua rakaat (yakni qasar). Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini sahih.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abu Ishaq yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Anas menceritakan hadits berikut: Kami keluar bersama-sama Rasulullah ﷺ dari Madinah ke Mekah, beliau ﷺ shalat dua rakaat-dua rakaat hingga kami kembali ke Madinah. Aku (Yahya ibnu Abu Ishaq) bertanya, "Apakah kalian tinggal di Mekah selama beberapa waktu?" Anas menjawab, "Kami bermukim selama sepuluh hari di Mekah."
Hal yang sama diketengahkan oleh jamaah lainnya melalui berbagai jalur dari Yahya ibnu Abu Ishaq Al-Hadrami dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Wa-ki telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Abu Ishaq, dari Harisah ibnu Wahb Al-Khuza'i yang menceritakan bahwa ia pernah shalat dengan Nabi ﷺ (yaitu shalat Zuhur dan Asar) di Mina dan banyak orang yang bermakmum kepadanya, dalam keadaan yang aman, masing-masing dua rakaat.
Hadis ini diriwayatkan oleh jamaah selain Ibnu Majah melalui berbagai jalur dari Ibnu Abu Ishaq, dari Anas dengan lafal yang sama.
Menurut lafal yang ada pada Imam Bukhari: Telah menceritakan kepada kami Abul Walid, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, telah menceritakan kepada kami Abu Ishaq, bahwa ia pernah mendengar Harisah ibnu Wahb menceritakan hadits berikut: “Kami shalat bersama-sama Rasulullah ﷺ dalam situasi yang aman sekali di Mina sebanyak dua rakaat.”
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah, telah menceritakan kepadaku Nafi, dari Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa ia shalat dua rakaat bersama Rasulullah ﷺ (yakni di Mina), begitu pula pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalifah Umar, dan permulaan masa Khalifah Usman; kemudian Usman menggenapkannya empat rakaat.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadits Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan dengan lafal yang sama.
Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Qutaibah, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahid, dari Al-A'masy, telah menceritakan kepada kami Ibrahim, bahwa ia pernah mendengar Abdur Rahman ibnu Yazid menceritakan atsar berikut: Khalifah Usman ibnu Affan shalat bersama kami di Mina empat rakaat. Lalu diceritakan kepada Abdullah ibnu Mas'ud hal tersebut, maka Abdullah mengucapkan istirja' (yakni inna lillahi wa inna ilaihi raji'un). Kemudian Abdullah mengatakan, “Aku shalat bersama Rasulullah ﷺ di Mina dua rakaat, dan aku shalat bersama Abu Bakar di Mina dua rakaat, dan aku shalat bersama Umar ibnul Khattab di Mina dua rakaat pula. Aduhai, keberuntunganku dari dua rakaat yang pasti diterima ketimbang empat rakaat."
Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadits As-Sauri, dari Al-A'masy dengan lafal yang sama. Imam Muslim mengetengahkannya melalui berbagai jalur dari As-Sauri, antara lain dari Qutaibah, sama seperti yang disebut di atas. Hadis-hadits ini secara jelas menunjukkan bahwa qasar itu tidak disyaratkan adanya situasi yang menakutkan. Karena itu ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan qasar dalam bab ini ialah qasar dari segi kaifiyah (bagaimana), bukan kammiyyah (kuantitas). Demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Mujahid, Adh-Dhahhak, dan As-Suddi, seperti yang akan diterangkan kemudian.
Mereka memperkuat alasannya dengan hadits yang diriwayatkan oleh Imam Malik, dari Saleh ibnu Kaisan, dari Urwah ibnuz Zubair, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa shalat itu pada asal mulanya difardukan dua rakaat-dua rakaat, baik dalam bepergian maupun di tempat tinggal. Kemudian shalat dalam bepergian ditetapkan, sedangkan shalat di tempat tinggal ditambahkan (menjadi empat rakaat). Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Abdullah ibnu Yusuf At-Tanisi, dan Muslim dari Yahya ibnu Yahya, sedangkan Abu Dawud dari Al-Qa'nabi, dan Imam An-Nasai dari Qutaibah; keempat-empatnya dari Malik dengan lafal yang sama.
Timbul suatu pertanyaan dari mereka, apabila asal shalat dalam perjalanan adalah dua rakaat, bagaimanakah yang dimaksud dengan qasar kammiyyah dalam bab ini? Mengingat sesuatu yang merupakan asal tidak dapat disebut demikian (yakni istilah qasar, karena sejak semula sudah dua rakaat), seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: “Maka tidaklah mengapa kalian mengqasar shalat.” (An-Nisa: 101)
Hal yang lebih jelas lagi penunjukannya dari ayat ini ialah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki' dan Sufyan serta Abdur Rahman, dari Zubaid Al-Yami, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari Umar yang mengatakan bahwa shalat dalam perjalanan itu dua rakaat, shalat Hari Raya Kurban dua rakaat, shalat Hari Raya Fitri dua rakaat, dan shalat Jumat dua rakaat, sebagai shalat yang lengkap, bukan qasar (ditetapkan) melalui lisan Nabi Muhammad ﷺ.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui berbagai jalur dari Zubaid Al-Yami dengan lafal yang sama. Sanad hadits ini sama dengan syarat Imam Muslim.
Imam Muslim menetapkan di dalam mukadimah kitab sahihnya bahwa Ibnu Abu Laila benar pernah mendengar hadits dari Umar. Sesungguhnya hal itu disebutkan dengan jelas dalam hadits ini, juga dalam hadits lainnya. Hal ini, insya Allah benar, sekalipun Yahya ibnu Mu'in dan Abu Hatim serta Imam An-Nasai mengatakan bahwa Ibnu Abu Laila belum pernah mendengar dari Umar.
Menanggapi pendapat ini Imam Muslim mengatakan pula, "Sesungguhnya telah terjadi dalam sebagian jalur Abu Ya'la Al-Mausuli melalui jalur As-Sauri, dari Zubaid, dari Abdur Rahman ibnu Abu Laila, dari seorang yang tsiqah, dari Umar, lalu Imam Muslim mengetengahkannya. Imam Ibnu Majah disebutkan melalui jalur Yazid ibnu Abu Ziyad ibnu Abul Ja'd, dari Zubaid, dari Abdur Rahman, dari Ka'b ibnu Ujrah, dari Umar.
Imam Muslim di dalam kitab sahihnya, Imam Abu Dawud, Imam An-Nasai, dan Imam Ibnu Majah meriwayatkan melalui hadits Abu Uwwanah Al-Waddah ibnu Abdullah Al-Yasykuri; Imam Muslim dan Imam An-Nasai menambahkan dan melalui Ayyub ibnu Aiz, keduanya dari Bukair ibnul Akhnas, dari Mujahid, dari Abdullah ibnu Abbas yang mengatakan bahwa Allah mewajibkan shalat melalui lisan Nabi kalian (Nabi Muhammad ﷺ) empat rakaat di tempat dan dua rakaat dalam perjalanan, sedangkan dalam keadaan khauf (takut) adalah satu rakaat. Sebagaimana beliau melakukan shalat qabliyah dan ba'diyah di tempat, demikian pula beliau ﷺ melakukannya dalam shalat perjalanan.
Ibnu Majah meriwayatkannya melalui hadits Usamah ibnu Zaid, yang ia riwayatkan dari Tawus sendiri. Hal ini membuktikan bahwa hadits ini benar-benar bersumber dari Ibnu Abbas. Akan tetapi, hal ini tidaklah bertentangan dengan apa yang telah dikisahkan oleh Siti Aisyah yang mengatakan bahwa asal shalat itu adalah dua rakaat, tetapi pada shalat di tempat ditambahkan (dua rakaat lagi). Setelah keadaannya mapan, maka benarlah bila dikatakan bahwa shalat di tempat difardukan seperti apa yang diceritakan oleh Ibnu Abbas (yakni empat rakaat). Akan tetapi, hadits Ibnu Abbas dan hadits Siti Aisyah sepakat mengatakan bahwa shalat safar itu adalah dua rakaat; dan bahwa dua rakaat tersebut merupakan shalat yang lengkap, bukan qasar, seperti juga yang diterangkan di dalam hadits Umar. Bilamana demikian, berarti firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat .” (An-Nisa: 101) Makna yang dimaksud ialah qasar kaifiyyah, seperti halnya dalam shalat Khauf. Karena itulah maka dalam firman selanjutnya disebutkan: “Jika kalian takut diserang orang-orang kafir.” (An-Nisa: 101) hingga akhir ayat.
Dalam ayat berikutnya disebutkan pula: “Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu), lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka.” (An-Nisa: 102) hingga akhir ayat. Maka dalam ayat selanjutnya disebutkan tujuan utama dari qasar disertai dengan penyebutan gambaran dan tata caranya. Karena itulah ketika Imam Bukhari hendak mencatat Bab Salat Khauf dalam kitab sahihnya, terlebih dahulu ia memulainya dengan menyebutkan firman-Nya: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) sampai dengan firman-Nya: “Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang yang kafir itu.” (An-Nisa: 102)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Juwaibir dari Adh-Dhahhak sehubungan dengan firman-Nya: “Maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) Bahwa keadaan tersebut di saat peperangan, seorang lelaki yang berkendaraan boleh shalat dengan dua takbir menghadap ke arah mana saja kendaraannya mengarah.
Asbat meriwayatkan dari As-Suddi sehubungan dengan firman-Nya: “Dan apabila kalian bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat, jika kalian takut.” (An-Nisa: 101), hingga akhir ayat. Sesungguhnya jika kalian shalat dua rakaat dalam perjalanan, maka itulah batas qasar yang diperbolehkan baginya. Tidak diperbolehkan selain itu kecuali bila ia takut diserang oleh orang-orang kafir di saat ia melakukan shalat, maka qasar-nya boleh hanya dengan satu rakaat.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Maka tidaklah mengapa kalian meng-qasar shalat.” (An-Nisa: 101) Hal tersebut terjadi ketika Nabi ﷺ dan para sahabatnya berada di Asfan, sedangkan pasukan kaum musyrik berada di Daunan, maka mereka menjadi berhadap-hadapan. Nabi ﷺ shalat Zuhur bersama semua sahabatnya empat rakaat lengkap dengan rukuk dan sujudnya, dan mereka berdiri bersama-sama pula. Maka pasukan kaum musyrik hampir saja hendak menyerang dan menjarah barang-barang serta perabotan yang dibawa pasukan kaum muslim. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mujahid, As-Suddi, dari Jabir dan Ibnu Umar. Ibnu Jarir memilih pendapat ini pula, karena ternyata ia mengemukakan pendapatnya sehubungan dengan hal tersebut sesudah meriwayatkan hadits ini, dan inilah yang benar.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Zi-b, dari Ibnu Syihab, dari Umayyah ibnu Abdullah ibnu Khalid ibnu Usaid, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar, "Kami menjumpai di dalam Kitabullah masalah qasar shalat khauf, tetapi kami tidak menjumpai qasar shalat safar." Maka Abdullah ibnu Umar menjawab, "Sesungguhnya kami menjumpai Nabi kami mengamalkan perbuatan yang kita kerjakan sekarang. Salat Khauf itu dinamakan shalat qasar, serta menginterpretasikan ayat dengan pengertian tersebut, bukan dengan pengertian qasar shalat untuk musafir."
Ibnu Umar menetapkan hal tersebut. Ia menyimpulkan dalil sehubungan dengan shalat qasar musafir hanya dari perbuatan pentasyri (pembuat undang-undang), bukan dengan nas Al-Qur'an.
Hal yang lebih jelas dari itu ialah apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnul Walid Al-Qurasyi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Syu'bah ibnu Sammak Al-Hanafi yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat safar. Maka Ibnu Umar menjawab, "Salat safar adalah dua rakaat sebagai shalat yang lengkap, bukan qasar. Sesungguhnya shalat qasar hanyalah pada keadaan Khauf saja." Lalu aku (Al-Hanafi) bertanya, "Bagaimanakah caranya shalat khauf itu?" Ibnu Umar menjawab, "Hendaknya imam shalat dengan segolongan orang sebanyak satu rakaat, kemudian mereka yang sudah shalat datang ke posisi mereka yang belum shalat untuk menggantikannya, lalu mereka yang belum shalat datang menggantikan kedudukan mereka yang sudah shalat, lalu imam shalat bersama golongan yang kedua satu rakaat lagi. Dengan demikian, imam melakukan shalat dua rakaat, sedangkan masing-masing dari dua golongan tersebut satu rakaat-satu rakaat.
Dan apabila kamu bepergian di bumi untuk melakukan peperangan atau melakukan perniagaan atau lainnya, maka tidaklah berdosa kamu mengqashar salat, yaitu dengan cara memperpendek jumlah rakaat salat yang empat rakaat menjadi dua rakaat, seperti salat Zuhur, Asar, dan Isya, jika kamu takut diserang atau takut akan bahaya yang ditimbulkan oleh orang-orang kafir yang merupakan musuhmu. Sesungguhnya orangorang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimuKalau pada ayat sebelumnya Allah memberikan kemudahan kepada kaum muslim untuk meng-qashar salat dalam perjalanan dan karena rasa takut, maka pada ayat ini Allah menjelaskan tata cara pelaksanaan salat itu. Dan apabila suatu ketika ada situasi yang membahayakan keselamatan, seperti karena adanya musuh dan ketika itu engkau, wahai Nabi Muhammad, berada di tengah-tengah mereka, para sahabatmu, lalu engkau hendak melaksanakan salat khauf bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri besertamu untuk melaksanakan salat dan segolongan yang lain menghadapi musuh yang mungkin dapat melakukan penyerangan terhadapmu dan yang bersamamu itu hendaklah menyandang senjata mereka. Kemudian apabila mereka yang salat besertamu itu melakukan sujud, yakni telah menyempurnakan satu rakaat atau telah selesai melaksanakan salat, maka hendaklah mereka itu pindah dari belakangmu untuk menghadapi musuh dan berjaga-jaga seperti yang telah dilakukan oleh kelompok yang sebelumnya, dan hendaklah datang golongan yang lain, yakni golongan kedua, yang belum salat, lalu mereka melakukan salat seperti kelompok pertama melakukannya denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata mereka. Hal ini dilakukan karena orang-orang kafir ingin dengan keinginan dan harapan yang besar agar kalian lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu kamu sekaligus. Dan tidak ada dosa atas kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan atau kesulitan yang disebabkan karena hujan yang menyebabkan rusaknya senjata kamu atau karena kamu sakit yang menyebabkan kamu tidak dapat menyandang senjatamu, dan bersiap siagalah kamu menghadapi berbagai kemungkinan yang terjadi pada kalian akibat dari dua kondisi itu. Sungguh, Allah telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu, baik di dunia maupun di akhirat.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa dibenarkan umat Islam menunaikan fardu salat qasar (qashar) pada waktu dia dalam perjalanan, baik dalam keadaan aman atau dalam ancaman musuh.
Salat dalam perjalanan yang aman disebut salat safar. Pada salat safar, salat yang terdiri dari empat rakaat: zuhur, asar, dan isya diqasar menjadi dua rakaat. Magrib dan subuh tidak diqasar. Syarat menqasar salat safar ialah perjalanan yang jauhnya diukur dengan perjalanan kaki selama tiga hari tiga malam. Menurut Imam Syafii, perjalanan dua hari atau 89 km. Menurut perhitungan mazhab Hanafi 3 farsakh (18 km). Sedangkan menurut pendapat lain, kebolehan mengkasar salat tidak terikat dengan ketentuan jauh jarak, tetapi asal sudah boleh dinamai safar, boleh mengkasar.
Salat dalam perjalanan yang diancam bahaya disebut salat khauf, seperti dikatakan dalam ayat: "Jika kamu takut diserang orang-orang kafir." Cara salat khauf ini diterangkan dalam ayat berikut.
(102) Dalam ayat ini dijelaskan cara salat khauf, yaitu bilamana Rasulullah berada dalam barisan kaum Muslimin dan beliau hendak salat bersama pasukannya, maka lebih dahulu beliau membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama salat bersama Rasul sedang kelompok kedua tetap ditempatnya menghadapi musuh sambil melindungi kelompok yang sedang salat. Kelompok yang sedang salat ini diharuskan menyandang senjata dalam salat untuk menjaga kemungkinan musuh menyerang dan agar mereka tetap waspada. Bilamana kelompok pertama ini telah menyelesaikan rakaat pertama hendaklah mereka pergi menggantikan kelompok kedua, dan Nabi menanti dalam salat. Kelompok kedua ini juga harus menyandang senjata bahkan harus lebih bersiap siaga. Nabi salat dengan kelompok kedua ini dalam rakaat kedua. Sesudah rakaat kedua ini beliau membaca salam, kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan satu rakaat lagi dengan cara bergantian.
Dari Ibnu Umar r.a. beliau berkata:
"Nabi ﷺ mengerjakan salat khauf dengan salah satu di antara dua kelompok satu rakaat, sedang kelompok lainnya menghadapi musuh. Kemudian kelompok pertama pindah menempati kelompok teman-teman mereka sambil menghadapi musuh, lalu datanglah kelompok kedua dan bersalat di belakang Nabi satu rakaat pula kemudian Nabi membaca salam. Kemudian masing-masing kelompok menyelesaikan salatnya satu rakaat lagi." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Ibnu 'Umar).
Ayat ini menjadi dasar salat khauf. Dalam ayat ini Allah ﷻ menjelaskan alasan kaum Muslimin salat menyandang senjata dalam salat khauf, yaitu bila musuh yang berada tidak jauh dari mereka selalu mengintai saat-saat pasukan Islam kehilangan kewaspadaan dan meninggalkan senjata dan perlengkapan mereka, maka pada saat itulah pasukan kafir mendapat kesempatan menggempur mereka. Kemudian Allah menerangkan bilamana pasukan itu mendapat kesusahan karena hujan atau sakit atau kesulitan lain, maka membawa senjata dalam salat khauf dibolehkan walaupun tidak disandang. Sesungguhnya Allah telah menyediakan azab yang menghinakan terhadap orang-orang kafir yaitu kekalahan yang mereka alami.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SHALAT QASHAR DAN SHALAT PERANG
Pada ayat-ayat surah an-Nisaa' Juz 5 ini, telah kita temui perintah-perintah yang penting tentang jihad menegakkan jalan Allah. Kita pun telah menemui kewajiban hijrah, kalau sekiranya di tempat kita sendiri kita tidak leluasa menegakkan keyakinan agama kita. Jihad dengan harta benda dan hijrah meninggalkan kampung halaman, semuanya itu adalah hal-hal yang berat, tetapi betapa pun beratnya suatu perintah yang diturunkan Allah, shalat tidaklah boleh diabaikan karena menjalan perintah berat itu. Apabila orang hijrah dan Mekah ke negeri Habsyi atau dari Mekah ke Madinah, terasalah baratnya melakukan perjalanan. Tetapi betapa pun beratnya perjalanan (musafir) itu, shalat sekali-kali tidak boleh ditinggalkan. Yang ada hanyalah sekadar shalat yang sesuai dengan kesulitan perjalanan.
Bahkan berperang, berjihad fit sabilillah itu pun lebih berat lagi karena sudah nyata-nyata akan berhadapan dengan musuh. Namun demikian, shalat di saat itu tidak juga boleh ditinggalkan. Yang boleh hanyalah mengatur shalat yang sesuai dengan suasana perang.
Jadi, apabila ayat berkenaan dengan shalat Qashar dan shalat takut (shalat dalam peperangan) terletak di tengah-tengah ayat-ayat yang menerangkan jihad dan hijrah, dapatlah kita maklumi, bahwasanya shalat atau menyembah dan memuja Allah sekali-kali tidak boleh diabai dan ditinggalkan. Mengapa shalat akan ditinggalkan, padahal yang kita perjuangkan ialah jalan Allah? Dan kita terpaksa hijrah dari tempatyang disayangi selama ini, lain tidak hanyalah karena hijrah kepada Allah dan Rasul? Artinya karena hendak shalat.
Sekarang datanglah tuntunan Allah tentang shalat ketika kita dalam perjalanan yang dinamai Qashar, dan kemudian akan menyusul tuntunan shalat jika kita dalam peperangan.
Ayat 101
“Dan apabila kamu bepergian di bumi."
Di dalam ayat disebut, Dharabturn fii ardhi, yang arti harfiahnya, “apabila kamu memukul di bumi," yaitu berjalan atau musafir, berangkat meninggalkan tempat kediaman kita. Orang Arab menamai berjalan di atas bumi ini memukul bumi. Saya teringat bahasa yang dipakai orang di Minangkabau bahwa orang yang berjalan kaki dari satu tempat ke tempat yang lain agak jauh, orang itu dinamai “menumbuk". Dan kuda atau unta yang melangkah di jalan yang dijalani laksana menumbuk atau memukul juga sehingga tanah yang diinjak jadi berkesan. “Pasar jalan karena ditempuh," ibarat padi ditumbuk dalam lesung menjadi “ceruh" karena selalu ditumbuk.
Apabila kamu bepergian di bumi itu, “Maka tidaklah mengapa atas kamu mengqasharkan shalat." Artinya, kamu pendekkan. Yaitu segala shalat yang empat rakaat (Zhuhur, Ashar, dan Isya) kamu jadikan menjadi dua rakaat. Yaitu, “Jika takut kamu bahwa akan diganggu kamu oleh orang-orang yang kafir." Karena mereka yang kafir itu tersebab kafirnya, kadang-kadang tidaklah mereka menghormati orang yang sedang shalat sehingga terganggu rasa khusyu kepada Allah lantaran gangguan mereka,
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu adalah mereka terhadap kamu, musuh yang nyata."
Di dalam ayat ini bertemu dua sebab. Pertama sebab musafir, dan kedua sebab takut gangguan orang kafir. Tetapi jumhur ulama telah bersamaan paham bahwasanya yang terpenting diperhatikan dalam masalah ini bukanlah gangguan orang kafir, melainkan keadaan dalam musafir. Sebabnya ialah karena Sunnah Rasul ﷺ sendiri yang menjadi contoh teladan kita di dalam mengamalkan syari'at agama Islam.
Dirawikan oleh Tirmidzi dan an-Nasa'i dan Ibnu Abi Syaibah dari Ibnu Abbas, bahwasanya Rasulullah ﷺ pernah keluar dari dalam kota Madinah (musafir), tidak ada tempat takut selain Allah Rabbul Alamin, beliau pun shalat dua rakaat. Dirawikan pula hadits lain dari Bukhari dan Jamaah dari Haritsah bin Wahab, bahwa Rasulullah shalat dengan kami dalam keadaan aman di Mina dua rakaat. Hadits Anas yang dirawikan oleh Bukhari juga menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ keluar meninggalkan Madinah menuju Mekah. Beliau shalat dua rakaat sampai kami pulang ke Madinah kembali. Lalu ditanyakan kepada Anas berapa lama di Mekah waktu itu. Dia menjawab, “Sepuluh hari!"
Bertambah jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kebolehan mengqashar shalat ini ialah ketika dalam musafir karena suatu riwayat yang dibawakan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan Ashhabus Sunnan, yang diterima dari Ya'la bin Umayyah. Pernah dia bertanya kepada Umar bin Khaththab tentang ayat ini. Dalam ayat jelas tersebut bahwa boleh mengqashar ketika musafir dan ditakuti kalau-kalau diganggu oleh orang kafir, “Bagaimana sekarang padahal manusia telah aman?" Demikian tanya Ya'la. Umar menjawab, “Aku pun heran juga sebagaimana keherananmu itu. Lalu aku tanyakan kepada Rasulullah ﷺ dari hal itu. Beliau menjawab, “Ini adalah sedekah yang telah disedekahkan oleh Allah kepada kamu. Sebab itu terimalah sedekah Allah itu!"
Ibnu Umar, anak beliau, pun pernah ditanyai orang seperti demikian pula. Dirawikan oleh Abu Bakar bin Syaibah dari Abu Hanzhalah ai-Hadzdzaak. Bahwa dia bertanya kepada Ibnu Umar berapa rakaat shalat di dalam perjalanan. Ibnu Umar menjawab, “Dua rakaat!" Lalu Abu Hanzhalah bertanya kembali karena ada sangkut-pautnya pada ayat ini, yaitu kalau kamu takutkan gangguan orang kafir, sedang kita sekarang telah aman. Dengan tegas Ibnu Umar menjawab, “Begitulah Sunnah Rasulullah ﷺ!"
Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Abu Wadak, bahwa dia bertanya kepada Ibnu Umar tentang shalat empat rakaat yang dilakukan dua rakaat dalam musafir. Dengan tegas pula Ibnu Umar menjawab, “Dia adalah rukhshah (kelapangan) dari langit. Kalau engkau mau, boleh engkau kembalikan rukhshah itu (ke langit)!" Menilik jawab ini, nyatalah Ibnu Umar tidak senang kalau orang masih menanya-nanya soal yang telah terang sebagai anugerah kelapangan yang telah diberikan Ilahi.
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Nujaih dari mujahid, asal usul turun ayat ini adalah kejadian pada diri Nabi ﷺ sendiri bersama-sama sahabat-sahabatnya dalam suatu peperangan di dekat Usfan. Kononnya kaum musyrikin masih jauh dan sedang berhenti.
Dalam masa terluang itu Rasulullah dan sahabat-sahabatnya teruslah shalat Zhuhur empat rakaat dengan cukup ruku' dan cukup sujudnya. Tiba-tiba sedang mereka khusyu shalat, tibalah musuh itu hendak mengepung mereka dan hendak merampas senjata-senjata mereka. Kata mujahid, lantaran itulah ayat ini turun, sehingga dengan demikian, menurut aliran pendapat mujahid ini, di antara ayat 101 dan 102 adalah satu. Tetapi keterangan mujahid itu telah dilemahkan oleh sunnah sendiri. Itu sebabnya dengan tegas ulama-ulama mengambil kesimpulan bahwasanya mengqashar shalat di waktu musafir tidaklah dapat semata-mata diambil alasannya dari ayat ini, melainkan dari perbuatan Rasulullah saw, sendiri dan perbuatan sahabat-sahabat beliau seterusnya.
Yang menjadi perbincangan panjang-lebar pula dalam kalangan ulama ialah, apakah qashar shalat di waktu musafir ini sebagai suatu rukhshah? Yaitu suatu kelapangan yang boleh diambil jika kita suka, atau kita sempurnakan juga empat rakaat kalau kita mau? Atau suatu kewajiban dan perintah?
Ibnu Abbas menegaskan,
“Allah telah memerintahkan shalat dengan lidah Nabi kamu, yaitu ketika hadir di kota empat rakaat, di dalam musafir dua rakaat, dan di dalam ketakutan (perang) satu rakaat."
Kemudian terdapat pula perkataan Umar bin Khaththab demikian bunyinya,
“Shalat dalam musafir dua rakaat. Shalat Jum' at dua rakaat. Shalat Hari Raya (Idul Fitri, Idul Adha) dua rakaat. Itu adalah sempurna, bukan qashar. Begitulah menurut lidah Muhammad ﷺ sendiri, dan celakalah barangsiapa yang membuat-buat (aturan lain)"
Aisyah pun berkata,
Berkata Aisyah, “Shalat itu telah difardhukan dua rakaat dua rakaat. Tetapi setelah Rasulullah ﷺ berhijrah ke Madinah, ditambahlah pada shalat Hadhar dan ditetapkan pada shalat dalam musafir. “
Shalat Hadhar yaitu sedang menetap dalam negeri, tidak ke mana-mana. Menurut segala keterangan dari sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ yang berwenang ini, yaitu Umar, Ibnu Abbas, dan Aisyah, jika di dalam perjalanan kita mengerjakan shalat semestinya empat rakaat menjadi dua rakaat, bukanlah karena diqasharkan, melainkan memang sudah seyogianya shalat dalam perjalanan mesti dua rakaat. Malahan Aisyah menegaskan bahwa asal mula shalat fardhu itu semuanya dua rakaat, setelah pindah ke Madinah barulah untuk shalat orang yang telah menetap itu ditambahkan shalat pada waktu Zhuhur, Ashar, dan Isya menjadi empat rakaat.
Dari keterangan-keterangan inilah timbul segolongan besar ulama sahabat dan tabi'in dan lain-lain berpendapat bahwa shalat empat rakaat menjadi dua rakaat dalam musafir bukanlah mengqashar, tetapi adalah perintah Allah.
Al-Qasimi di dalam tafsirnya Mahaasin at-Ta'wil menjelaskan bahwa madzhab ulama dalam soal qashar dalam perjalanan ini terbagi empat macam.
Pertama: qashar dalam perjalanan adalah rukhshah (kelapangan yang diberikan) Menyempurnakan sampai empat lebih afdhal.
Kedua: mengqashar di dalam perjalanan adalah wajib.
Ketiga: mengqashar di dalam perjalanan hanya sunnah, bukan wajib.
Keempat; terserah kepada yang bersangkutan sendiri, sebagaimana terserahnya memilih kafarat sumpah menurut kesanggupan. (Lihat surah al-Maa'idah; 89) Tegasnya dia boleh memilih akan menyempurnakan empat atau mencukupkan dua.
Untuk menguatkan pendapat terakhir ini, yaitu terserah kepada yang bersangkutan mana yang akan dipilihnya, tetap melakukan empat ataupun dua, adalah mereka berpegang kepada sebuah hadits yang dirawikan oleh Abu Nu'aim dan lain-lain dari Aisyah, bahwa beliau pernah mengerjakan umrah mengikuti Nabi dari Madinah ke Mekah. Sesampai di Mekah, Aisyah berkata kepada Nabi, “Ya Rasul Allah! Demi Allah Pemelihara ayahku dan ibuku dan engkau! Engkau mengqashar, sedang aku menyempurnakan empat. Aku tetap berpuasa, sedang engkau berbuka." Lalu Rasulullah ﷺ menjawab, “Perbuatanmu itu baik, hai Aisyah!"
Hadits Aisyah itu dirawikan pula oleh an-Nasa'i, ad-Daruquthni, dan Baihaqi. Ad-Daruquthni di dalam 5w«an-nya mengatakan hadits itu hasan. Tetapi ahli-ahli kritik hadits, di antaranya Ibnu Hazm al-Andalusi dengan tegas menolak hadits itu. Katanya, “Hadits ini tidak ada kebaikan padanya. (La khaira fihi)"
Ibnu Nahwi di dalam kitabnya al-Nadrul Munir berkata, “Di dalam hadits-hadits ini terdapat kata-kata yang tak dapat diterima. Sebab Nabi umrah di bulan Dzulqaidah, padahal di dalam hadits ini Aisyah menyebut-nyebut puasa (Ramadhan)" Lebih tegas lagi adalah tolakan Ibnu Taimiyah atas hadits ini. Beliau berkata, “Hadits ini adalah satu kebohongan terhadap Aisyah. Tidaklah masuk akal Aisyah ibu orang-orang beriman mengerjakan suatu ibadah melaini daripada ibadah Nabi, dan ibadah sekalian sahabat-sahabat beliau sehingga dia akan bershalat melaini shalat mereka. Padahal yang shahih hadits dari beliau ialah beliau pernah menegaskan bahwa pada mulanya sekalian shalat lima waktu itu diturunkan dua rakaat dua rakaat, kemudian setelah ke Madinah barulah diperintahkan shalat waktu Hadhar ditambah jadi empat rakaat dan shalat dalam musafir ditetapkan sebagai semula (dua rakaat) Begitu tegas keterangan beliau, bagaimana dapat diterima bahwa dia akan shalat berlain dengan shalat Nabi dan shalat kaum Muslimin yang serombongan dengan Nabi?" Begitulah tegasnya bantahan Ibnu Taimiyah atas riwayat ini.
Ada riwayat bahwa Utsman bin Affan di akhir pemerintahannya kembali shalat empat rakaat dalam musafir, bukan dua. Hal ini mendapat bantahan keras dari sahabat-sahabat yang lain, di antaranya dari Ibnu Mas'ud. Bahkan ada diriwayatkan orang bahwa satu di antara kritik orang kepada beliau ialah tentang hal ini!
Imam Syafi'i berpendirian bahwa qashar dalam perjalanan itu bukanlah mesti, melainkan rukhshah saja. Kata beliau, “Jika di dalam musafir shalat difardhukan dua rakaat, niscaya Utsman dan Aisyah dan Ibnu Mas'ud tidak akan menyempurnakan empat. Padahal Aisyah sendiri telah menyaksikan bahwa Rasulullah pernah menyempurnakan empat dan pernah juga mencukupkan dua rakaat saja."
Panjang jugalah perbincangan ulama tentang riwayat dari Aisyah ataupun Utsman ini. Az-Zuhri berpendapat bahwa perbuatan mereka itu adalah semata-mata takwil dari mereka sendiri. Dan az-Zuhri menjelaskan bahwa yang diterima adalah riwayat yang shahih yang mereka bawakan, bukan takwil salah seorang daripada mereka itu. Padahal terang pula bahwa yang lain tidak semua menyetujui takwil mereka.
Pada suatu hari, bertanyalah Umayyah bin Khalid kepada Abdullah bin Umar, “Di dalam Al-Qur'an kita dapati keterangan yang jelas tentang shalat di waktu Hadhar (mukim) dan
kita dapati pula keterangan yang jelas tentang shalat di waktu takut (shalatul khauf), tetapi tidak ada kita menemui keterangan yang jelas dalam Al-Qur'an tentang shalat di waktu musafir. Bagaimana ini?"
Ibnu Umar menjawab, “Ya Akhi! (wahai saudaraku) Allah telah mengutus Muhammad ﷺ menjadi Rasul-Nya. Sedang waktu mula dia diutus tidak tahu apa-apa. Maka apa saja pun yang kita perbuat ini tidak lain hanyalah apa yang diperbuat Muhammad ﷺ!"
Dalam kesempatan yang lain Ibnu Umar mengatakan pula bahwa dia telah mengikut Rasulullah dalam perjalanan, tidak pernah dia mendapati Rasulullah shalat melebihi dua rakaat. Demikian juga Abu Bakar, Umar, dan Utsman (moga-moga ridha Allah terlimpah atas mereka semuanya)!"
Kemudian as-Syaukani di dalam Nailul Author menyatakan lebih tegas lagi, “Orang yang mengatakan qashar dalam perjalanan itu adalah rukhshah mengambil dalil dengan hadits Aisyah. Tetapi dalil ini telah ditangkis orang karena haditsnya yang kedua itu tidak dapat jadi hujjah. Karena perbuatan Aisyah sebagai sahabat, tidaklah jadi hujjah apatah lagi setelah nyata berlain dengan amalan Nabi. Hadits yang dikatakan orang yaitu kata Aisyah bahwa Nabi memujinya “Perbuatanmu itu baik," tadi, kalau hadits ini shahih bolehlah jadi hujjah.
Tetapi hadits ini telah jatuh karena amat bertentangan dengan hadits-hadits yang di-rawikan oleh Bukhari Muslim dan lain-lain yang diterima dari satu jumlah besar (jamaah) sahabat-sahabat Rasulullah ﷺ!"
Kesimpulan: “Pendapat bahwa shalat dalam musafir adalah dua rakaat, sebab itu mengerjakan bukanlah rukhshah, melainkan suatu kemestian, jauh lebih kuat daripada pendapat yang mengatakan hanya rukhshah. Imam Syaff i yang berpendapat rukhshah tadi, kalau bertemu hadits yang shahih, sudah pasti beliau akan berpegang kepada yang shahih itu jua. Sebab dengan tegas beliau telah pernah menjelaskan madzhabnya, yaitu bahwa hadits yang shahih itulah madzhabku."
Meskipun demikian, satu-satu waktu agaknya kita akan bertemu pula keadaan yang lain yang menyebabkan keempat pendapat yang disebutkan oleh al-Qasimi tadi harus kita tinjau dengan tidak kaku. Misalnya kita dalam satu perjalanan (musafir) Lalu singgah dua tiga hari di satu kota dan kita pun masuklah ke dalam satu masjid padahal orang akan melakukan shalat Isya misalnya dengan berjamaah. Maka adalah suatu keadaan lain yang akan kita pertimbangkan ketika itu sehingga kita melakukan shalat (Isya empat rakaat) menurut shalatnya jamaah itu, karena menghormati shalat jamaah itu sendiri. Apatah lagi bagi seseorang ulama yang menjadi tetamu dalam satu kota.Terlalu kakulah sikapnya kalau dia mengelakkan diri lalu berkata, “Aku tidak dapat menjadi imam kamu, sebab aku musafir. Shalat lsya-ku hanya dua rakaat!" Padahal pahala jamaah itu pun harus menjadi pertimbangan pula. Kalau dia hendak tetap qashar sebaiknya dia memberi keterangan kepada hadirin tentang sebab-sebabnya. Karena orang yang tidak alim lebih banyak dari yang alim.
BERAPA BATAS PERJALANAN BARU BOLEH QASHAR?
Dengan kandungan umum dari ayat, “Apabila kamu bepergian di atas bumi" dapatlah diambil kesimpulan bahwa dalam ayat ini tidak ada ditentukan berapa ukuran perjalanan itu, musafir dekatkah atau musafir jauh. Ayat telah memberikan ketegasan bahwa asal saja sudah mulai berjalan, berangkat, bertolak, meninggalkan tempat kediaman, sudahlah bernama musafir. Atau lebih tegas lagi, segala yang telah dipandang musafir, sudahlah boleh qashar. Nabi selalu keluar dari rumahnya, berjalan kaki ziarah ke kuburan Baqi', tidaklah beliau mengqashar. Oleh sebab itu, dalam hal ini hendaklah ditinjau arti safar atau musafir itu sendiri menurut bahasa dan menurut syara' ataupun menurut kebiasaan. Orang yang keluar dari kotanya atau kampung halamannya menuju satu tempat lain atau kota lain, maka kepergiannya itu biasanya telah disebut musafir. Sebab itu dia telah boleh mengqasharkan shalat, meskipun yang ditujunya itu kurang dari satu barid (satu pos) Ada yang mengatakan bahwa satu barid itu ialah satu hari perjalanan, ada pula yang mengatakan dua hari dan ada yang mengatakan tiga hari, tetapi segala perkataan atau pendapat itu tidak mempunyai sandaran yang jelas. Pegangan orang untuk menentukan ukuran perjalanan adalah hadits larangan Nabi, yaitu perempuan musafir dengan tidak ditemani mahram. Satu riwayat mengatakan tiga hari. Satu riwayat lagi mengatakan sehari semalam. Tetapi satu hadits lagi mengatakan satu barid.
Keterangan ini kita simpulkan dari yang ditulis oleh al-Qasimi dalam tafsir beliau.
Berkata pula Sayyid Rasyid Ridha dalam al-Manar, “Suatu pembahasan yang bersangkut dengan ayat ini, ialah bahwa ulama-ulama fiqih, yang ditaqlid oleh kebanyakan kaum Muslimin di zaman-zaman kita ini telah membuat satu pegangan tentang mengqasharkan shalat, demikian juga menjama'kannya dan membukakan .puasa. Kata mereka hal ini tidak berlaku dalam sembarang musafir saja, melainkan hendaklah musafir yang panjang. Paling sedikit menurut Malikiyah dan Sya-fi'iyah dua marhalah, dan menurut Hanafiyah tiga marhalah dan yang dianggap musafir ialah bepergian. Satu marhalah ialah 20 mil hasyi-miyah, yaitu sehari perjalanan kaki atau sehari perjalanan unta membawa pikulan berat."
Kata Sayyid Rasyid Ridha selanjutnya, “Dan hal ini tidaklah ada persesuaian (ijma atasnya dan tidak pula tersebut dalam hadits shahih, dan memang telah menjadi pertikaian di antara ahli-ahli fiqih salaf dan imam-imam al-Anshar. Dalam kitab Fathul Bah tersebut bahwa Ibnul Mundzir dan lain-lain telah menukilkan pendapat tentang masalah ini tidak kurang dari 29 macam banyaknya. Ketika menafsirkan ayat, “Dan jika kami sakit atau dalam safar, hendaklah diperhitungkan di hari-hari yang lain." (lihat surah al-Baqarah; 184) sudah kita jelaskan bahwa membuka puasa di bulan Ramadhan dibolehkan (mubah) pada tiap-tiap yang di dalam logat (bahasa) telah dinamai musafir, baik pendek atau panjang, sebagai yang cepat dapat dipikirkan dari bunyi ayat. Dan tidak didapat keterangan yang dapat dipegang dari Sunnah Nabi yang memberi batasan (Qayyid) dari umum maksud ayat."
Sekian Sayyid Rasyid Ridha.
Salah seorang ulama kita Indonesia yang terkemuka, yaitu Syekh Muhammad Basiyuni ‘Imran Maharaja Imam Negeri Sambas telah menanyakan masalah batas Safar ini kepada Sayyid Rasyid Ridha dalam majalah al-Manar dan telah beliau salinkan bunyi pertanyaan itu di dalam tafsir al-Manar jilid 5 bersama jawabnya, dan telah beliau batas pertanyaan itu dengan keterangan yang maksudnya sebagaimana yang kita jelaskan itu.
Pendeknya, penyelidikan yang saksama tidak ada yang menunjukkan dengan tegas berapa batasnya safar itu baru boleh meng-qashar. Asal sudah dapat dinamai musafir, sudahlah boleh mengqashar.
Kemudian daripada itu zaman pun beredar terus dan perhubungan di antara satu bagian dunia dengan bagian yang lain bertambah lancar dengan adanya kereta api, kapal laut, dan kapal udara. Kaum Muslimin setiap hari telah mengedari dunia dan umumnya perjalanan itu aman. Perjalanan telah sangat cepat. Tetapi meskipun cepat, yang batas dan ukuran tidaklah berubah. Ayat yang menjadi pegangan kita ini masih tetap jadi pegangan dan bertambah jelas tafsir firman Allah, “Jika kamu takut bahwa akan diganggu kamu oleh orang-orang yang kafir."
Arti yaftina kum diganggu, adalah umum. Meskipun dunia aman, perang tak ada, gangguan itu masih akan kita rasai kalau sekiranya kita shalat di tempat umum dalam negeri orang lain. Akan hilanglah khusyu kita jika kita misalnya mengerjakan shalat Zhuhur di lapangan terbang di London dan Paris atau kita shalat di pelabuhan New York. Jadi tontonan orang banyak, di negeri orang yang tidak mengenal agama dan upacara ibadah kita, pun termasuk suatu gangguan juga.
Oleh sebab itu, dengan segala kerendahan hati dapatlah kita melanjutkan jawaban yang diberikan oleh Abdullah bin Umar seketika beliau ditanya orang, mengapa shalat qashar dilakukan dalam keadaan musafir, padahal ayatnya yang tegas dalam Al-Qur'an tidak ada? Lalu beliau jawab bahwa Nabi Muhammad telah diutus Allah menjadi Rasul dan kita tidak mengetahui apa-apa. Lalu beliau berbuatlah shalat qashar dalam musafir, kita pun menurut apa yang beliau amalkan itu dan kita pun shalat menurut teladan beliau, meskipun keadaan telah aman.
Dengan segala kerendahan hati dapat kita katakan pula, kalau sekiranya Sayyidina Abdullah bin Umar hidup di zaman kita ini, niscaya beliau akan menjawab apa artinya, “Jika kamu takut akan diganggu oleh orang-orang kafir itu." Yaitu karena pergaulan kita telah amat luas, masuk ke negeri orang lain yang tidak seagama dengan kita, masuk ke daerah yang tidak mengenal agama kita, padahal kadang-kadang kita datang ke negeri itu bukanlah berombongan, melainkan dua tiga orang saja, dan tempat beribadah kaum Muslimin tidak ada di negeri itu. Sedangkan di zaman Rasulullah, setelah Futuh Mekah, agama Islam telah aman damai, gangguan musuh tidak ada lagi, masih berlaku qashar shalat di kala musafir, apatah lagi di zaman kita sekarang ini, meskipun telah aman, gangguan masih ada. Niscaya bertambah kuatlah pegangan kita bahwa walaupun bagaimana dan di mana, shalat tidak boleh ditinggalkan.
Untuk menyempurnakan pendapat ini, kita salinkan di sini buah renungan kita yang berjudul Pandangan Hidup Muslim pada tahun 1960 bertajuk “Shalat di Zaman Modern" dalam Majalah Panji Masyarakat.
SHALAT DI ZAMAN MODERN
Tatkala Rasulullah ﷺ akan menutup mata, walaupun jasmaninya menderita sakit, masih dikayaikannya (diusahakannya) juga naik mimbar di Masjid Madinah, memberikan nasihatnya yang penghabisan kepada umatnya. Di antara nasihat yang terpenting itu, dan semuanya penting, diperingatkannya benar agar shalat lima waktu jangan ditinggalkan, jangan disia-siakan. Beliau cemas benar kalau-kalau setelah dia mati, shalat itulah yang lebih dahulu diabaikan.
Oleh karena lebih 350 tahun bangsa kita dijajah oleh bangsa dan agama lain, tinggallah bekas dan jejak pendidikan bangsa itu, walaupun mereka telah pergi, yaitu perasaan dan gejala yang timbul dari mulut orang-orang yang kena angin didikan itu, bahwasanya shalat lima waktu itu sangat menghalangi pekerjaan. “Sebab itu—kata mereka—shalat menghalangi kemajuan!"
Setelah kita mengalami gelora kesibukan zaman yang dahsyat ini, mengalami segala sesuatu mesti serba cepat, yang dinamai zaman mesin, zaman atom, dan zaman sputnic, terasalah oleh kita sehingga menjadi keyakinan hidup, bahwa shalat tidak boleh dilalaikan. Hanya shalat yang dapat menenteramkan jiwa dalam arus kesibukan ini.
Mobil-mobil bersilang siur di kota ramai sehingga kadang-kadang roda auto seakan-akan berjalan di atas kening kita. Tiap-tiap sekeping dari waktu adalah sekeping dari emas. Lalai sedikit saja memburu waktu, ada harapan dimakan kawan. Dalam kesibukan, orang merasa perlu istirahat, mengasoh, piknik, tetirah ke bukit. Kadang-kadang orang mencari pengasohan dengan minuman keras. Sehingga jantungnya dibakarnya sendiri. Kadang-kadang orang mencari pengasohan dengan “mengubah-ubah selera" lalu lebih banyak hidup malam daripada siang.
Ada pula orang yang merasa sepi jiwanya, walaupun ramai berkeliling.
Sehingga pernah kita lihat di Wallstreet New York, ada bendi atau andong sewaan ditarik kuda, berjalan lambat sebagaimana andong Yogya, Ternyata sewanya lebih mahal dari taksi, karena telah sangat banyak orang kaya yang telah bosan naik mobil mengkilap, lalu mencari istirahat dengan naik andong di tengah kota New York.
Mencari istirahat dengan cara demikian laksana orang haus meminum air laut, bertambah diminum, bertambah haus. Atau sebagai orang yang merasa gatal di punggung lalu digaruk, tapi tak kena, sehingga gatalnya tetap juga.
Dengan demikian, istirahat itu pun telah jadi beban hidup.
Ilmu kedokteran bertambah maju menyelidiki penyakit-penyakit baru dalam jiwa manusia, yakni penyakit di zaman “atom" dan “sputnic" ini. jiwa yang selalu gelisah, jiwa yang selalu cemas, serasa perang dunia ketiga akan terjadi esok.
Di Amerika telah timbul satu ilmu pengobatan yang semata-mata berdasar atas kepercayaan agama, yaitu pengobatan yang dinamai Christian Science. Dasarnya ialah keyakinan agama, tetapi dia ilmiah. Bahwasanya satu penyakit pada tubuh, adalah timbul dari jiwa. Apa jua pun macam penyakit, asalnya pasti dari jiwa. Obat yang utama untuk memberantas penyakit yang ada dalam jiwa itu, tiada lain hanyalah shalat.
Ini adalah ilmu modern, bukan ilmu kolot.
Jika saudara pernah melihat seorang pendeta Kristen bernama Osborn mengadakan demonstrasi pengobatan dengan sembahyang di tanah lapang bukanlah semata-mata tontonan. Itu adalah kepercayaan dan keyakinan.
Terpaksalah kita menengok contoh ke Barat karena di zaman sekarang kerap kali orang baru mau percaya dasar, setelah ada kesaksian dari Barat.
Memang! Shalat dalam pengertian Islam pun mencakup akan pengobatan jiwa.
Bertambah maju dan bertambah sibuk dunia, bertambah pentinglah kedudukan shalat bagi keseimbangan hidup kita. Jiwa kita bisa hancur lebur laksana kaca terempas ke batu, karena tidak kuat menjawab tantangan kesibukan ini atas diri kita.
Nabi kita Muhammad ﷺ pernah bersabda pada Bilal, tukang adzan Nabi yang terkenal itu, seketika waktu shalat telah masuk,
“Marilah kita istirahat dengan dia (dengan shalat), hai Bilal!"
Di situ Nabi merekankan, bahwasanya shalat itu adalah istirahat jiwa yang utama; lebih utama dari segala yang utama.
Lebih dahulu ingatlah bahwa kita diberi modal oleh Allah 24 jam dalam sehari semalam. Maka ambillah 10% saja dari yang 24 jam, artinya 2 jam 24 menit.
Bagilah waktu yang 2 jam 24 menit itu sebaik-baiknya untuk shalat. Lima waktu yang fardhu, tambah nawafil; pukul rata 10 menit, jadi 50 menit.
Yang tinggal 1 jam 34 menit lagi yang dipergunakan untuk shalat sunnah (nawafil) ditambah dengan dzikir (mengingat Allah) dan i'tikaf. Dan lebih utama lagi kalau yang 34 menit itu disediakan khusus untuk shalat malam (tahajud), dikerjakan di sepertiga malam terakhir kira-kira 1 jam sebelum masuk waktu shubuh.
Dalam shalat itu kita melepaskan soal-soal kehidupan. Soal utang dan piutang, sekalian pikiran yang bersangkut dengan soal laba dan rugi, soal politik dan ekonomi, bahkan seluruh soal yang berkenaan dengan kebendaan.
Lepaskan itu semuanya dan tujukan kepada Yang Satu.
“Satu"-nya benar-benar “Satu" dan tak terbilang. Sedangkan atom, yang tadinya disangka satu, sudah nyata bahwa dia berbilang.
Dimulai pada shalat Shubuh. Sebelum keluar rumah mencari rezeki di atas permukaan bumi, menurut kecenderungan diri yang ditentukan Allah, sebelum berangkat meninggalkan rumah tangga, mengarung kehidupan dengan ombak gelombangnya itu, jiwa saudara telah diisi lebih dahulu dengan dinamo pancaran Ilahi. Telah dikontakkan ke langit sebelum menjalar di bumi.
Coba saudara perhatikan susunan amalan shalat itu sejak dari wudhunya. Pertama, pembersihan muka, karena di sana terletak mata, hidung, mulut, dan kuping. Dengan dia saudara akan menghadapi orang lain. Kemudian itu pembersihan tangan, yang dengan dia saudara akan menjamba (meraih) dan memegang. Penyapuan kepala, yang di sana terletak otak, alat berpikir menghadapi soal-soal hidup. Membersihkan kaki, yang akan saudara langkahkah ke muka.
Akan lebih terasalah bekas shalat itu bagi jiwa, kalau saudara bangun dan pergi ke langgar atau ke masjid dengan tetangga-tetangga. Kadang-kadang tetangga itu yang terdekat, kadang-kadang tukang rumput, kadang-kadang kuli borongan. Di sana akan dapat saudara kikis penyakit masyarakat zaman modern, yaitu hidup egoistis, tak ada hubungan dengan orang lain. Di sana akan dapat saudara kikis rasa berkelas yang tumbuh dalam masyarakat.
Di masjid akan saudara rasai, bahwa tak ada kelebihan saudara dari orang lain, atau tak ada kekurangan saudara dari orang lain, saudara sama bershaf dengan makmum yang lain, yang lebih mulia hanyalah siapa yang lebih takwa.
Shalat mengajar dan mendidik hidup berorganisasi; sejak dari matahari belum terbit, walaupun hanya dua orang yang berjamaah, seorang juga yang diimamkan. Kalau imam belum ruku', kita belum boleh ruku'.
Selesai mengerjakan shalat Shubuh, mulailah bersiap menghadapi usaha hidup. Berusaha dalam hidup itu diwajibkan oleh agama.
“Dialah yang telah menjadikan bumi itu untuk kamu, mudah dipergunakan; sebab itu berjalanlah kamu melalui segenap penjurunya, mohonlah rezeki-Nya, dan kepada-Nya kamu dibangkitkan." (al-Mulk: 15)
Kekuatan saudara terbatas. Setelah payah dan lelah bekerja, saudara mesti berhenti buat mengistirahatkan badan, buat makan dan minum. Lepaskan lagi pengaruh kesibukan yang tadi. Putuskan hubungan dengan segala-nya itu, lupakan sama sekali dan ingatlah hanya satu: Allah!
Memang! Ingatlah itu tidak bisa dua, usahakan sepuluh. Kalau ingatan telah dibulatkan kepada Allah. Yang lain tidak teringat lagi. Tetapi kalau yang lain juga yang teringat, shalat tidak banyak menolong. Dan ini dapat dicapai dengan latihan. Dan kalau sulit juga, in syaa Allah dalam 10 shalat semoga satu pun dapat khusyu sudahlah menolong kepada yang 9 lagi. Di waktu shalat yang khusyu bunyi ribut keliling tidak kedengaran lagi. Kesibukan berhenti dalam jiwa kita, segala sesuatu jadi hening. Kita hanya bercakap dengan yang esa; Allah!
Kata orang, lebih mudah mengerjakan meditasi—tafakur—mengheningkan cipta Dengan itu, kata mereka, pikiran bisa dibulatkan. Tetapi dengan ajaran menurut Islam seluruh tubuh shalat. Seluruh anggota bergerak menghadap Allah. Bukan hati saja, bahkan badan juga.
zaman modern? Apakah kita akan menuruti lebih dahulu hidup nafsi-nafsi secara Barat itu sampai kita hancur sendiri?
Orang yang kita turutkan telah mulai pulang. Apakah kita akan meneruskan perjalanan juga sampai ke batas tempat dia kembali?
Kita mempunyai tempat-tempat penting yang bagi kita lebih penting daripada gereja yang hanya diramaikan sekali seminggu. Kita dimestikan shalat berjamaah. Shalat berjamaah lebih 27 kali lipat pahalanya daripada shalat sendiri-sendiri. Imam-imam madz-hab tidak ada yang meringankan nilai shalat berjamaah. Ada di antara mereka yang menyatakan pendapat bahwa shalat berjamaah itu adalah syarat bagi sah shalat. Se-ringan-ringan pendapat mereka tentang shalat berjamaah ialah sunnah muakkad. Hanya sunnah, tetapi hendaklah diperlukan. Dan ada pula ketentuan dari Nabi, bahwasanya orang yang berdiam dekat masjid, tidak boleh shalat di rumahnya; harus pergi berjamaah ke masjid. Sabda beliau dalam hadits yang shahih,
“Barangsiapa di antara tetangga-tetangga masjid yang mendengar seruan (adzan), akan tetapi tidak diperkenankannya, sedang ia sendiri sehat dan tidak ada beruzur, maka shalatnya tidak sah," (HR Imam Ahmad)
Sayyidina Umar bin Khaththab menganjurkan mendirikan langgar-langgar, atau surau kecil tempat berjamaah orang selorong, atau sekorong. Dan tiap hari Jum'at, shalat Jum'at, yaitu jamaah besar ke masjid jami' Masjid jami' artinya ialah masjid yang mengumpulkan surau, langgar dan masjid kecil-kecil yang banyak itu.
Pada langgar-langgar kecil itu dapatlah kita bergaul, berkumpul, kenal-mengenal, dan tumbuhlah kekeluargaan. Ketaatan masing-masing kepada Allah mengikat hati kita di antara satu dengan yang lain. Orang yang selama ini merasa dirinya “rendah" menjadi naik ke atas. Menjadi sama rata. Jika ada yang tak datang berjamaah, timbul pertanyaan yang
lain mengapa si Anu tak datang, sakitkah dia?