Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَعۡلَمُوٓاْ
mereka mengetahui
أَنَّ
bahwa
ٱللَّهَ
Allah
يَبۡسُطُ
Dia melapangkan
ٱلرِّزۡقَ
rizki
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيَقۡدِرُۚ
dan Dia menentukan/menyempitkan
إِنَّ
sesungguhnya
فِي
pada
ذَٰلِكَ
demikian itu
لَأٓيَٰتٖ
benar-benar tanda-tanda
لِّقَوۡمٖ
bagi kaum
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَعۡلَمُوٓاْ
mereka mengetahui
أَنَّ
bahwa
ٱللَّهَ
Allah
يَبۡسُطُ
Dia melapangkan
ٱلرِّزۡقَ
rizki
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيَقۡدِرُۚ
dan Dia menentukan/menyempitkan
إِنَّ
sesungguhnya
فِي
pada
ذَٰلِكَ
demikian itu
لَأٓيَٰتٖ
benar-benar tanda-tanda
لِّقَوۡمٖ
bagi kaum
يُؤۡمِنُونَ
mereka beriman
Terjemahan
Tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan menyempitkannya (bagi siapa yang Dia kehendaki)? Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman.
Tafsir
(Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki) meluaskannya (bagi siapa yang dikehendaki-Nya) sebagai ujian baginya (dan menyempitkannya?) membatasinya bagi siapa yang dikehendaki-Nya sebagai cobaan baginya. (Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman) kepada-Nya.
Tafsir Surat Az-Zumar: 49-52
Maka apabila manusia ditimpa bahaya, ia menyeru Kami; kemudian apabila Kami berikan kepadanya nikmat dari Kami, ia berkata, "Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku. Sebenarnya itu adalah ujian, tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula, maka tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan. Maka mereka ditimpa oleh akibat buruk dari apa yang mereka usahakan.
Dan orang-orang yang zalim di antara mereka akan ditimpa akibat buruk dari usahanya dan mereka tidak dapat melepaskan diri. Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendaki-Nya? Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. Allah ﷻ menceritakan perihal watak manusia, bahwa di kala sedang susah manusia itu memohon kepada Allah dengan berendah diri, ia kembali kepada-Nya dan memohon kepada-Nya agar dibebaskan dari penderitaannya.
Tetapi apabila ia mendapat nikmat dari-Nya, maka lupalah dia kepada Allah dan bersikap angkuh dan melampaui bataslah ia, lalu ia mengatakan seperti yang disitir oleh firman-Nya: Sesungguhnya aku diberi nikmat itu hanyalah karena kepintaranku. (Az-Zumar: 49) Yakni karena Allah mengetahui bahwa diriku berhak untuk menerimanya; seandainya aku tidak mempunyai kedudukan yang khusus di sisi Allah, tentulah Dia tidak akan memberiku nikmat ini.
Menurut Qatadah, makna ayat ialah sesungguhnya aku diberi ini hanyalah karena kepandaian yang kumiliki. Maka dalam firman berikutnya dijawab oleh Allah ﷻ: Sebenarnya itu adalah ujian. (Az-Zumar: 49) Yaitu keadaan yang sebenarnya tidaklah seperti yang diduga, bahkan nikmat yang Kami berikan kepadanya hanyalah semata-mata sebagai ujian Kami terhadapnya, apakah dia menjadi orang yang taat sesudahnya ataukah menjadi orang yang durhaka, walaupun akibatnya sudah Kami ketahui.
Pada dasarnya nikmat itu merupakan cobaan. tetapi kebanyakan mereka itu tidak mengetahui. (Az-Zumar: 49) Karena itulah mereka mengeluarkan kata-kata tersebut dan berani mengeluarkan pernyataan seperti itu. Sungguh orang-orang yang sebelum mereka (juga) telah mengatakan itu pula. (Az-Zumar: 50) Maksudnya, ucapan dan pengakuan seperti itu telah dikatakan pula oleh kebanyakan orang dari kalangan umat-umat terdahulu. maka tiadalah berguna bagi mereka apa yang dahulu mereka usahakan. (Az-Zumar: 50) Yakni perkataan mereka itu tidak benar, dan tiadalah dapat memberi manfaat kesatuan mereka dan apa yang telah mereka usahakan.
Maka mereka ditimpa oleh akibat buruk dari apa yang mereka usahakan. Dan orang-orang yang zalim di antara mereka. (Az-Zumar: 51) Yaitu dari kalangan mereka yang diajak bicara. akan ditimpa akibat buruk dari usahanya. (Az-Zumar: 51) Sebagaimana akibat buruk yang telah menimpa umat-umat terdahulu itu. dan mereka tidak dapat melepaskan diri. (Az-Zumar: 51) Sebagaimana yang diceritakan oleh Allah ﷻ tentang Qarun saat kaumnya berkata kepadanya: "Janganlah kamu terlalu bangga; sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang terlalu membanggakan diri. Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Qarun berkata, "Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu, karena ilmu yang ada padaku. Dan apakah ia tidak mengetahui, bahwa Allah sungguh telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat daripadanya, dan lebih banyak mengumpulkan harta? Dan tidaklah perlu ditanya kepada orang-orang yang berdosa itu tentang dosa-dosa mereka. (Al-Qasas: 76-78) Juga pengakuan mereka lainnya yang disitir oleh firman-Nya: Dan mereka berkata, "Kami lebih banyak mempunyai harta dan anak-anak (daripada kamu) dan kami sekali-kali tidak akan di azab." (Saba: 35) Adapun firman Allah ﷻ: Dan tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah melapangkan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakinya? (Az-Zumar: 52) Yaitu meluaskan rezeki suatu kaum dan menyempitkan rezeki kaum yang lain.
Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. (Az-Zumar: 52) Yakni benar-benar terdapat pelajaran dan hujjah-hujjah bagi kaum yang beriman."
Dan tidakkah mereka mengetahui dan menyadari bahwa Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan juga membatasinya bagi siapa yang Dia kehendaki' Sesungguhnya pada yang demikian, yakni melapangkan dan menyempitkan rezeki itu, terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. 53. Pada ayat yang lalu digambarkan betapa buruknya sanksi yang diperoleh orang-orang yang durhaka. Segala apa yang sudah mere-ka peroleh di dunia tidak memberi manfaat sedikit pun untuk kese-lamatan mereka. Ayat-ayat berikut menggambarkan betapa Allah itu Maha Pengasih lagi Maha Pengampun bagi hamba-hamba-Nya. Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, 'Wahai hamba-hamba-Ku, yang telah berbuat melampaui batas terhadap diri mereka sendiri karena ba-nyak melakukan kedurhakaan! Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya selama yang berdosa itu bertobat dan kembali ke jalan yang lurus. Sungguh, Dialah Zat Yang Maha Pengampun, Maha Penyayang. ".
Pada ayat ini, Allah memperlihatkan bukti atas kekuasaan, keagungan dan kebijaksanaan-Nya. Orang-orang musyrikin itu tidak mengetahui bahwa Allah-lah yang melapangkan rezeki kepada siapa yang Ia kehendaki dan menyempitkan bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Suatu kenyataan yang tak dapat dibantah bahwa keadaan manusia berbeda-beda tentang milik dan kekayaannya, ada yang sangat kaya dan ada yang sangat miskin. Hal yang demikian itu tidak dapat dikaitkan hanya dengan kepandaian atau keterampilan saja. Kadang-kadang yang berpendidikan tinggi hidupnya serba kekurangan sebaliknya yang berpendidikan rendah hidupnya serba berkecukupan.
Sesungguhnya pada kejadian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang beriman. Mereka mengetahui bahwa semua itu diatur oleh Allah. Tidak ada suatu kejadian pun dalam kehidupan ini yang di luar aturan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
DI ANTARA MATI DAN TIDUR
Ayat 42
“Allah-lah yang memelihara jiwa-jiwa ketika matinya."
Maka apabila seseorang telah meninggal dunia, mengembuskan napasnya yang penghabisan, bukanlah berarti bahwa jiwanya atau nyawanya telah habis saja dalam embusan angin, laksana habisnya nyala korek api bila apinya telah padam. Di dalam surah as-Sajdah ayat 9 (Juz 21) Allah telah menjelaskan juga bahwa setelah tubuh manusia dibentuk Allah di dalam rahim ibu, ditiupkanlah padanya Ruh-Nya, tegasnya bahwa ruh manusia itu Allah yang empunya. Kalau di waktu permulaan kejadian Allah yang memasangkannya pada tubuh maka ketika manusia meninggal, Allah pula yang memeliharanya atau menyimpannya baik-baik. “Dan yang tidak mati dalam masa tidurnya." Di waktu manusia tertidur samalah keadaannya dengan mati, yaitu bahwa hanya napasnya saja yang turun naik. Adapun kesadarannya sebagai insan, kesadaran yang tersebab dan adanya jiwa pada waktu itu tidak ada pada dirinya. Dia pun sedang dalam pemeliharaan Allah. “Lalu Dia tahan jiwa yang Dia putuskan mati atasnya dan Dia lepaskan yang lain sampai suatu masa yang telah di-tentukan."
Dengan keterangan itu samalah keadaannya orang yang mati dengan orang yang tidur, sama-sama dicabut kesadaran sebagai sifat khas dan jiwa. Mana yang sudah keputusan Allah bahwa waktu matinya telah datang, jiwa itu ditahan dalam pemeliharaan Allah, tidak dikembalikan lagi. Mana yang belum ada keputusan Allah bahwa dia telah dipanggil pulang buat selamanya, jiwa itu dilepaskan kembali ke dalam jasmani atau tubuh yang menjadi “sangkarnya" itu. Dan dia masih akan hidup sampai suatu waktu yang telah ditentukan, yaitu apa yang disebut ajal atau janji yang tidak saat dilambatkan barang satu saat pun dan tidak pula saat dipercepat. Ilmu tentang itu pun hanya pada Allah.
Memang sementara waktu dengan memberikan pompaan atau injeksi darah atau memberikan zat asam ingatlah orang itu bernapas sementara. Tetap orang yang hadir, apalah lagi dokter-dokter yang menyaksikan telah maklum sendiri bahwa itu hanya pertahanan sementara, memperlambat putus nyawa. Banyak yang telah berjam-jam, bahkan ada yang beberapa hari tidak sadar lagi akan dirinya, tetapi masih bernapas tetapi buat mengatakan bahwa orang itu diharapkan hidup lagi adalah harapan yang sia-sia.
“Sesungguhnya pada yang demikian menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berbudi."
Benar-benarlah soal hidup dan mati saat menjadi tanda bagi orang yang berpikir bahwa kekuasaan mutlak ada di tangan Allah.
“Berapa banyaknya orang segar bugar meninggal tidak, ada penyakit. Dan berapa banyaknya orang yang lama menderita masih hidup bertahun-tahun."
Kadang-kadang sedang orang enak-enak tidur terus tidur tidak bangun lagi. Setelah diperhatikan ternyata sudah mati. Dan tidak pula kurang orang yang telah pingsan berhari-hari pingsan, kadang-kadang disambung ditambah darah, ditambah infus, namun dia tidak diharap akan hidup lagi, tetapi belum meninggal. Sehingga tidak jarang kejadian bahwa keluarga yang akan ditinggal sudah bertanya-tanya, mengapa belum juga, mengapa terlalu lama dia menderita.
Oleh sebab itu maka akan insaflah orang-orang yang beriman lalu mereka mempergunakan kesempatan hidup yang diberikan Allah ini untuk mengisinya dengan amal saleh sebaik-baiknya, sehingga tidak ada yang terbuang percuma. Sehingga jika tiba-tiba seketika panggilan Allah datang disaati dia masih tetap dalam kesibukan mengisi hidup dengan amal yang berfaedah.
Selain dari itu adalah beberapa kaifiyat (cara) yang ditunjukkan oleh Rasulullah ﷺ apabila kita hendak tidur; mana tahu dengan tidur itu nyawa kita akan disimpan terus dan tidak akan dikembalikan lagi ke tubuh dan hanya di hari Kiamat (berbangkit) saja kelak baru bangun kembali.
“Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi ﷺ, beliau bersabda, ‘Apabila seorang di antara kamu pergi tidur ke tempat tidurnya, hendaklah dia kirapkan tempat tidurnya itu dengan ujung kainnya (selimutnya) tiga kali dan hendaklah baca, ‘Dengan nama Engkau, ya Tuhanku aku letakkan badanku, dengan nama Engkau pula akan aku angkatkan dia. Jika nyawaku akan Engkau tahan, beri ampun dia dan jika hendak Engkau lepaskan dia maka sudilah memeliharanya dengan apa yang Engkau peliharakan dengan dia hamba-hamba Engkau yang saleh.'" (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Dan sebuah hadits lagi dari al-Bara' r.a., ia berkata, Rasulullah ﷺ bersabda,
Apabila engkau datang ke tempat tidurmu, hendaklah lebih dahulu engkau berwudhu sebagai wudhumu untuk shalat, kemudian berbaringlah menghadapi ke kanan setelah itu bacalah, ‘Ya Tuhanku! Aku serahkan wajahku kepada Engkau, aku pulangkan urusanku kepada Engkau, aku sandarkan diriku kepada Engkau, dengan penuh harapan dan ketakutan kepada Engkau, tidak ada tempat berlindung dan tidak ada tempat lari dari Engkau kecuali kepada Engkau. Aku percaya kepada kitab Engkau yang Engkau turunkan dan kepada Nabi Engkau yang Engkau utus.' Maka jika engkau meninggal pada malam itu adalah engkau meninggal dalam fitrah (kemurnian). Dan jadikanlah dia kata-kata yang akhir sekali engkau ucapkan.'" (HR Bukhari, Muslim, Abu Dawaud, Tirmidzi, an-Nasa'i, dan Ibnu Majah)
Kemudian itu ada juga diajarkan Rasulullah yang akan dibaca setelah bangun dari tidur. Dari Huzaifah bin al-Yaman dan Abu Dzar al-Ghiffari (ridha Allah atas beliau keduanya), berkata keduanya, “Adalah Rasulullah ﷺ apabila telah bangun dari tidurnya membaca,
“Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita sesudah Dia mematikan kita dan kepada-Nya jua kita akan kembali." (HR Bukhari)
Dan satu bacaan lagi dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda,
“Apabila seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, hendaklah membaca, ‘Segala puji bagi Allahyang telah mengembalikan ruhku kepadaku dan yang telah menyegarkan pada tubuhku dan telah memberi izin akan daku menyebut nama-Nya." (HR Ibnu Sunni)
Tetapi seperti teiah kita terangkan di atas, ketika menafsirkan ayat 36 bacaan doa barulah berarti apabila ibadah yang pokok telah dijalankan lebih dahulu, yang berarti hubungan kita telah lancar terlebih dahulu dengan Allah. Sebab bacaan-bacaan doa bukanlah dianggap sebagai mantra atau ucapan-ucapan sim sala-bim tukang sulap, tetapi hubungan jiwa yang penuh iman, tawakal, dan ridha terhadap Allah. Kunci hubungan doa dengan ibadah tersimpul di dalam ayat 5 dari al-Faatihah,
“Kepada Engkau saja kami memperhambakan diri, dan kepada Engkau saja kami memohonkan pertolongan." (al-Faatihah: 5)
Yang berarti memperhambakan diri lebih dahulu kepada-Nya saja, baru kemudian memohon pertolongan kepada-Nya saja. Bukan sebaliknya.
Ayat 43
“Ataukah mereka adakan selain dari Allah menjadi perantara."
Bersifat pertanyaan, tetapi penyesalan. Diha... kan kepada kaum musyrikin tadi juga. Tadi di dalam ayat 38 sudah dinyatakan, kalau ditanyakan kepada mereka dari hati ke hati siapakah yang menciptakan semua langit dan bumi, mereka pasti akan menjawab bahwa Allah-lah yang menciptakannya semuanya. Maka kalau sudah mereka akui sendiri dan rasakan sendiri bahwa Maha Pencipta itu hanya Allah semata-mata, mengapa lagi mesti menyembah dan memohon kepada Maha Pencipta itu dengan memakai perantaraan atau syafi'? Mengapa lagi memakai perantara dengan berhala, dengan patung persembahan. Mereka sudah mengakui bahwa tidak ada barang sesuatu pun di dalam alam ini sesuatu pun yang sama derajatnya dengan Allah, bahkan semuanya adalah makhluk dari Allah. Dan Allah mengirimkan rasul-rasul-Nya buat menyampaikan seruan agar semua hamba-hamba Allah berhubungan langsung de ngan Allah; rnengapa lagi mesti mencari orang lain atau barang lain jadi perantaraan? “Katakanlah, Apakah kalau keadaan mereka itu,'" -yaitu yang diambil jadi perantaraan itu, menjadi syafi' yang diharapkan syafaatnya itu-
“Tidak menguasai sesuatu pun dan tidak berakal?"
Yang dijadikan perantara itu berhala yang membikinnya ialah tangan manusia sendiri. Yang mengatakan dia bertuah hanyalah khayat mereka sendiri. Dia dibuat dari batu atau dari kayu, disaat dan dilukis, diberi berhidung, bermata, berbibir, berkaki dan bertangan dan berjari. Tetapi dia tersandar saja, sebab dia tidak bernyawa. Dia tidak mempunyai kekuasaan buat berganjak dari tempatnya dan dia tidak berakal. Kalau dia manusia itu pun lemah tidak berdaya dan tidak berupaya kalau bukan karena kasihan Allah. Allah memanggil semua hamba-Nya, marilah dekati Aku, sembah Aku sendiri, ibadah kepada-Ku saja. Hikmah tertinggi dari Allah ialah supaya jiwa itu bebas dari pengaruh segala yang masih alam. Karena selain dari Allah adalah alam belaka. Selain dari Allah sebagai Khaliq (Maha Pencipta) adalah makhluk (ciptaan) belaka. Allah mau mengangkat derajat manusia supaya tinggi, mendekati Allah (taqarrub'), mengapa dia sendiri merendahkan jiwanya ke bawah lalu dia pergi berlindung kepada alam bikinan Allah? Manusia ada akal, mengapa dia meminta syafaat kepada yang tidak berakal?
Ayat 44
“Katakanlah, ‘Kepunyaan Allah-lah perantaraan itu semuanya.'"
Artinya, bahwasanya perantaraan itu tidak ada sama sekali, syafaat adalah langsung pada Allah, mutlak kepunyaan Allah. Memang ada dalam ayat-ayat yang lain, seumpama dalam ayat al-Kursi (al-Baqarah ayat 255), Allah bertanya siapa pula yang berhak memberi syafaat kalau tidak dengan izin dari sisi Allah? Maka kalau orang memikirkan ayat ini secara mendalam, jelas bahwa Allah sendiri sudi mengaruniakan syafaat itu kepada barang-siapa yang dikehendaki oleh Allah sendiri. Kalau demikian halnya mengapa maka tidak langsung diminta kepada Allah supaya Allah memberikan karunia keizinan syafaat itu untuk dirimu sendiri, tidak dengan mengharapkan agar orang lain yang diberi Allah keizinan memberi syafaat itu yang kamu jadikan perantara? Allah dengan tegas mengatakan,
“Bagi-Nyalah semua kekuasaan di semua langit dan bumi dan kepada-Nyalah kamu sekalian akan kembali."
Sudah begitu jelas keterangan dan Allah maka siapa lagi yang akan kita percayai selain dari Allah? Adakah berhala-berhala atau manusia-manusia yang kamu jadikan thagut itu memberikan jaminan sebagaimana yang diberikan oleh Allah? Kalau mereka memberikan jaminan sampai sebagai jaminan Allah itu, mana yang kamu pilih? Kalau kamu lebih percaya perkataan mereka, tentu perkataan Allah kalian bohongkan maka kafirlah kalian. Kalau kalian pun mengakui bahwa memang kekuasaan mutlak hanya ada pada Allah dan hanya kepada Allah saja makhluk sekaliannya akan kembali, nyatalah bahwa perbuatan memuja yang lain dan mensyafaatkan yang lain suatu perbuatan yang sangat menurunkan martabat perikemanusiaan.
Di zaman sekarang teringatlah hampir di seluruh dunia Islam orang-orang yang menghormati kuburan orang-orang yang telah meninggal dunia, sama saja dengan kaum musyrikin menyembah berhala. Kuburan itu mereka hiasi dengan berbagai hiasan, mereka bernazar kalau maksudnya tercapai akan pergi ziarah mengucapkan syukur kepada kuburan itu. Bahkan ada kuburan itu yang sampai diberi kelambu seperti kelambu pengantin. Mereka katakan bahwa Tuan Syekh atau Waiiyullah yang berkubur di sana akan menjadi syafaat di akhirat kelak, atau permintaan dan doa di waktu di dunia ini pun sebaiknya jangan langsung kepada Allah, lebih baik dengan “berkat jaah (kebesaran) beliau" yang berkubur itu. Tiap tahun berkumpul ramAl-ramai di sana, makan dan minum, berhari raya, berkenduri, berdzikir, berdoa, sehingga sama keadaannya dengan Ka'bah kecil-kecilan.
Kalau mereka mengakui diri orang Islam, mengapa mereka tidak saja memohon kepada Allah, dengan tidak usah meminta syafaat kubur itu, padahal ayat-ayat ini sudah terang mengatakan bahwa seluruh kekuasaan di langit dan di bumi adalah mutlak dengan tangan Allah?
Sedang Rasulullah ﷺ sendiri mengakui bahwa beliau adalah manusia seperti kita ini juga, bisa benar dan bisa salah. Pernah khilaf sehingga shalat empat rakaat beliau terlupa lalu beliau kerjakan tiga rakaat. Sedangkan Nabi lagi begitu, apalah lagi orang-orang yang dianggap keramat itu.
Dan mengapa mesti ke kuburnya? Padahal doa kita didengar Allah walau di mana kita ucapkan!
Oleh sebab itu maka tepat sekalilah apa yang dikisahkan Allah tentang nasihat Luqman kepada putranya tentang berbahaya mempersekutukan Allah,
“Sesungguhnya syirik itu adalah aniaya yang paling besar." (Luqmaan: 13)
Ayat 45
“Dan apabila disebut orang nama Allah sendiri saja, mendongkollah sekalian hati orang-orang yang tidak beriman kepada akhirat itu."
Di dalam ayat bertemu kalimat isy-ma-azzat yang kita mencoba mencari artinya yang tepat dalam bahasa Indonesia yang terpakai secara umum sekarang, yaitu mendongkol.
Mujahid memberi arti kecewa, as-Suddi memberi arti menjauh. Qatadah memberi arti kafir dan menyombong.
Dalam ayat 5 dari surah Shaad kemen-dongkolan mereka itu telah digambarkan dengan ucapan mereka sendiri, “Apakah dia menjadikan tuhan-tuhan itu hanya satu tuhan? Sungguh ini adalah suatu yang sangat mencengangkan!" Dan pada ayat selanjutnya, ayat 6 mereka bertekad akan memperjuangkan pendirian itu dan jalan terus dan sabar mempertahankannya,
“Dan apabila disebut yang lain-lain selain Dia, segeralah mereka itu bergembira."
Inilah ciri-ciri yang khas dari orang musyrikin di mana-mana saja dan bila saja di dunia ini. Senang sekali hati mereka bila tuhan-tuhan mereka disebut dan berhala mereka dihargai. Sehingga dalam masa hebatnya Rasulullah ﷺ menegakkan keyakinan dan aqidah tauhid itu di Mekah, yang di waktu itu berhala-berhala masih bersandaran di dinding-dinding Ka'bah, sedang Muhammad ﷺ dan orang-orang yang telah beriman thawaf juga mengelilinginya menurut manasik ajaran Ibrahim, sekilas pun Nabi saw, tidak pernah menoleh mukanya kepada berhala-berhala itu. Sehingga yang demikian itu wajiblah dijadikan contoh oleh umat Muhammad sejati di dalam mempertahankan tauhid. Mereka tidak boleh bertolak angsur, demi karena hendak mengambil muka atau menarik hati pihak yang mempertahankan syirik itu, tidaklah boleh umat tauhid menunjukkan persetujuannya dalam perbuatan yang bersifat atau menunjukkan atau saat ditafsirkan syirik.
Ayat 46
“Katakanlah, ‘Wahai Tuhan Pencipta semua langit dan bumi!'"
Di sini Allah menyuruhkan Rasul-Nya agar membaca, atau mendoa sebagaimana yang Dia ajarkan. Agar Nabi menyeru Allah sebagai Pencipta. Dalam ayat ini Allah disebut Faathir.
Kalimat Faathir di sini kita artikan dengan Pencipta. Di dalam kamus Arab dijelaskan tentang Faathir.
Fatharahu, artinya memperbuatnya, memulainya, dan menimbulkannya.
Tetapi kalimat lain, yaitu Khalaqa kita artikan pencipta juga. Di kamus dijelaskan Khalaqaha, artinya mengadakannya dan membikinnya dari tidak ada sama sekali.
Maka khalaqa dengan fathara setelah kita pahamkan dalam logat Indonesia kita anggap mutaradif yaitu berbilang kalimat untuk arti yang satu, sama dengan persamaan arti tidur dengan lelap.
“Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata." Yang gaib atau tersembunyi bagi kita manusia, bagi Allah tidak ada yang tersembunyi dan tidak tidak ada yang gaib. Bagi Allah semuanya nyata. Penglihatan Allah meliputi masa lampau, masa kini, dan masa depan. Mengumpulkan seluruh ruang angkasa di atas di bawah, di muka di belakang.
“Engkaulah yang akan menghukum di antara hamba-hamba-Mu tentang apa-apa yang mereka persengketakan."
Inilah doa yang diajarkan Allah kepada Rasul-Nya bilamana Rasul menghadapi persengketaan di antara hamba-hamba Allah di atas dunia ini karena perlainan pensaat perbedaan pikiran dan berbagai ragam pandangan atas soal-soal di dalam hidup ini. Baik penilaian tentang aqidah ataupun sikap hidup. Kadang-kadang timbullah sengketa, yang satu menyalahkan yang lain dan menganggap … sendirilah yang benar dan orang lain salah. Dalam ayat ini Rasul diperingatkan oleh Allah agar jangan terlibat dalam persengketaan di antara hamba-hamba Allah itu, jangan berpihak ke sana atau kemari, melainkan mohonlah langsung petunjuk kepada Allah. Sebab Dialah Maha Pencipta dari seluruh alam ini. Sebab itu Dia pulalah yang lebih mengetahui akan segala apa jua pun yang ada dalam alam itu. Tidak ada yang gaib bagi Allah, bahkan semuanya syahadah, semuanya Dia saksikan, Dia lihat dan Dia dengar dengan teliti sampai kepada yang sekecil-kecilnya.
Maka segala sengketa pertengkaran dan selisih di antara hamba-hamba di dalam dunia ini dan masing-masing mendakwakan diri di pihak yang benar, ingatlah bahwa Allah sendirilah yang akan menentukan hukumnya kelak di hari akhirat mana yang benar di antara pihak-pihak yang berselisih itu.
Gunanya ialah agar menghindarkan manusia yang tekun dan taat kepada Allah daripada terseret ke dalam suasana bertengkar, membuang tempo dalam mempertahankan pensaat yang kadang-kadang sampai menimbulkan permusuhan di antara satu golongan dengan golongan yang lain. Dan ayat ini pun saat membawa hamba Allah ke dalam suasana tenteram, sejuk, bebas dari pertengkaran yang saat menimbulkan hawa nafsu.
Ditanyai orang Aisyah r.a., “Dengan apakah Rasulullah memulai membuka shalat, kalau beliau bangun tengah malam (tahajud)?" Berkatalah beliau, “Adalah Rasulullah apabila berdiri shalat malam, memulai shalatnya dengan,
“Ya Tunan! Tuhan jibril, Mikail, dan isra'il, pencipta semua langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata. Engkaulah yang menghukum di antara hamba-hamba Engkau pada apa-apa yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku tentang yang mereka perselisihan itu, mana yang benar, dengan izin Engkau. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki kepada jalan yang lurus.'" (HR Muslim)
Ada sebuah hadits lagi dari Abdullah bin Mas'ud r.a., bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda,
“Barangsiapa yang menyebut, ‘Ya Tuhanku, pencipta semua langit dan bumi, Yang Maha Mengetahui yang gaib dan yang nyata: aku janjikan di hadapan Engkau di dunia ini bahwa aku telah naik saksi bahwa tidak ada Tuhan melainkan Engkau, Maha Esa Engkau, tidak ada sekutu bagi Engkau dan bahwa Muhammad adalah hamba Engkau dan utusan Engkau. Maka jika Engkau lepaskan saja aku menuruti diriku niscaya Engkau dekatkan aku kepada yang jahat dan jauhkan aku dari yang baik, sedang aku tidaklah ada yang saat aku pegang kecuali rahmat Engkau. Maka bermohonlah aku agar disediakan di sisi Engkau untuk aku jaminan yang akan Engkau penuhkan dianya kepadaku di hari Kiamat.'" Kalau doa ini diucapkan, niscaya Allah akan berfirman kepada malaikat-Nya di hari Kiamat, “Sesungguhnya hamba-Ku itu telah berjanji dengan Daku maka penuhilah janji itu kepadanya. Lalu dia dimasukkan Allah ke surga." (HR Imam Ahmad)
Ayat 47
“Dan kalau sekirenya ada pada orang-orang yang zalim itu apa yang di bumi sekaliannya dan bersama itu sebanyak itu pula, niscaya akan mereka tebuslah diri mereka dengan dia dari sangat sakitnya adzab di hari Kiamat."
Di pangkal ayat ini diterangkanlah bagaimana besarnya tanggung jawab yang akan dihadapi oleh orang-orang yang zalim itu kelak kemudian hari, yaitu di hari Kiamat Orang yang zalim ialah yang telah mempersekutukan Allah di masa hidupnya, yang menyembah berhala atau yang mengambil yang lain jadi perantara akan menghubungkan dengan Allah. Di dalam surah an-Nisaa'sampai dua kali Allah menjelaskan (ayat 48 dan 116) bahwa Allah tidak saat memberi ampun kalau Dia dipersekutukan dengan yang lain, sedang dosa-dosa lain dari syirik saat Dia beri ampun. Maka kalau manusia yang musyrik itu diha... kan di hadapan mahkamah Allah kelak di akhirat akan terasalah olehnya betapa besar tindihan perasaan berdosa itu atas dirinya, sehingga misalnya adalah padanya kekayaan sepenuh bumi dan ditambah sepenuh bumi lagi, artinya dua kali lipat, maulah dia rasanya menebus kesalahan itu dengan harta itu.
“Dan nyatalah bagi mereka, dari Allah, barang yang tadinya tidak mereka perkirakan."
Artinya ialah bahwa pada waktu itulah mereka akan melihat dengan nyata betapa besarnya adzab yang akan mereka derita karena kezaliman di masa hidup itu. Dahulu disangka amalan itu tidak begitu berbahaya, kesalahannya tidak begitu besar. Rupanya suatu perbuatan yang sangat dimurkai oleh Allah, sehingga mau rasanya menebus dengan kekayaan sepenuh dunia tambah dua kali dan itu tidak terkabul.
Ayat 48
‘Dan jelaslah bagi mereka kejahatan-kejahatan dari apa yang telah mereka usahakan."
Artinya, dijelaskanlah satu demi satu hukuman yang diterima dan apa sebab dihukum. Kesalahan yang mana dan yang kapan. Sehingga terasalah bahwa hukuman yang dijatuhkan Allah bukanlah dengan sembarangan saja, melainkan semuanya berlaku menurut garis keadilan dan kebenaran Ilahi belaka.
“Dan telah berada di keliling mereka apa-apa yang pernah mereka perolok-olokkan itu."
Karena dahulu semasa di dunia bukan sekali dua kali mereka memperolok-olokkan keterangan Nabi. Di antaranya sebagaimana yang disebutkan di dalam surah Yaasiin ayat 78, ada yang membawa sebuah pecahan tulang orang yang telah mati ke hadapan Nabi ﷺ lalu dia bertanya sambil mengolok-olok."Siapakah yang akan menghidupkan tulang-tulang ini, padahal dia telah jadi abu?" Maka akan datanglah masanya mereka akan dikelilingi oleh segala hal yang jadi olok-olokkannya di masa dahulu itu. Ajakan dan dakwah yang sungguh-sungguh dari Allah, yang timbul dari rahman dan rahim Ilahi kepada hamba-Nya, lalu mereka terima dengan olok-olok.
Ayat 49
“Dan apabila disinggung manusia oleh suatu bahaya, dia menyeru Kami."
Ini pun suatu contoh jalan berpikir mereka yang buruk. Yaitu kalau mereka disinggung oleh kesusahan, misalnya kemiskinan, penderitaan, penyakit yang menimpa dirinya, kerugian yang tidak terelakkan; ketika itu mereka serulah Allah Ta'aala. Ketika itu tidak ada lagi pikirannya teringat kepada yang lain yang akan saat menolongnya, hanya Allah sajalah yang akan saat membebaskannya dari segala penderitaan itu. “Kemudian apabila Kami karuniakan kepadanya nikmat dari Kami, dia berkata, ‘Sesungguhnya saya diberi, lain tidak adalah karena kepintaranku!'"
Kalau tadi di waktu susah mereka ingat hanya meminta kepada Allah, namun setelah lepas dan bahaya, sesudah menderita kemelaratan dia menjadi kaya, sesudah menderita sakit dia menjadi sembuh, sesudah rugi berturut-turut dia mensaat keuntungan, bukanlah dia bersyukur kepada Allah, melainkan berani dia mengatakan bahwa perubahan baik yang diterimanya itu adalah karena kebijaksanaannya sendiri. Karena ikhtiarnya, karena usahanya. Allah memberikan peringatan, “Bahkan dia adalah percobaan." Artinya, bahwa perubahan dari keadaan yang buruk kepada yang baik itu belum tentu akan menetap. Itu baru percobaan. Yang sewaktu-waktu bisa pula berubah.
“Akan tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui"
Diperingatkan kepada orang yang beriman bahwasanya bahaya yang sedang menyinggung adalah percobaan, apakah engkau sabar menerimanya. Dan bilamana kesusahan berganti dengan kemudahan, itu pun adalah percobaan, adakah engkau bersyukur. Sakit badan yang diderita adalah percobaan, sabarkah engkau? Sembuh dari sakit adalah percobaan, syukurkah engkau? Hidup selanjutnya adalah pergantian di antara sabar dan syukur, atau di dalam syukur hendaklah sabar, di dalam sabar hendaklah syukur. Memang banyak orang yang tidak mengetahui ini, sehingga di dalam susah penuhlah hidupnya dengan keluhan dan di dalam kedatangan nikmat lupalah dia kepada Allah.
Ayat 50
“Sudah pennah dikatakan begitu oleh orang-orang yang sebelum mereka."
Yang dekat dalam ingatan ialah perkataan Qarun salah seorang dari kaum Nabi Musa, tetapi kemudian dia menentang Musa dan memilih maunya sendiri lalu dicobanya mengumpulkan kekayaan, sehingga dia diberi oleh Allah kekayaan yang berlipat ganda sehingga terbungkuk-bungkuk beberapa orang yang diupah istimewa buat membawa kunci-kunci kekayaannya saja. Maka menyombonglah dia dengan kekayaannya itu dan jika dia ditegur orang jangan menyombong mentang-mentang kaya, dia menjawab bahwa kekayaan yang disaatnya itu adalah semata-mata karena keahliannya belaka, tidak ada Allah campur tangan menolong dia dalam hal kekayaan itu.
Inilah satu di antara orang-orang yang sebelum mereka yang mengatakan bahwa kekayaan dan kemegahan disaatnya adalah semata-mata karena kepintaran dan keahliannya.
“Maka tidaklah berguna bagi mereka apa yang telah mereka usahakan."
Artinya bagaimanapun berlimpah ruah banyaknya harta dan kekayaan, tidaklah harta dan kekayaan itu akan berguna, tidaklah akan saat menolong kalau kehendak Allah akan berlaku untuk menimpakan suatu bahaya.
Misalnya jika penyakit yang berat datang menyerang, berapalah harga harta di waktu itu?
Tering ingatlah kita kisah ketika alim pendeta Ibnus Samaak yang terkenal datang ke dalam majelis Raja Harun al-Rasyid. Raja meminta agar Baginda diberi pengajaran, diberi ceramah agama. Ketika itu hari sedang tengah hari di musim panas. Ketika mendengar ceramah itu Raja terasa haus. Lalu Baginda titahkan seorang khadam mengambil air dingin buat diminum. Setelah khadam itu datang membawakan air dan seketika Raja akan meminum air itu, bertanyalah Ibnus Samaak, “Tuanku! Patik hendak bertanya. Jika tidak segera saat air yang Tuanku minta itu, padahal Tuanku sedang sangat haus, bagaimanakah sikap Tuanku?"
Raja menjawab, “Akan aku perintahkan orang mencari air itu di mana saja di seluruh dunia walaupun akan habis separuh dari kekayaanku buat belanja mencari air itu!"
Maka perkataan itu disambut oleh Syekh Ibnus Samaak, ‘Tuanku, kalau demikian halnya, adakalanya segelas air lebih mahal daripada separuh kekayaan!"
Raja menganggukkan kepala tanda setuju bahwa kadang-kadang seteguk air lebih mahal dari separuh kerajaan Baginda.
Lalu Baginda pun terus meminum air itu hingga habis.
Setelah air itu habis diminum oleh Baginda, Ibnus Samaak sekali lagi bertanya, “Tuanku, masih ada pertanyaan hamba! Jika sekiranya air yang segelas yang Tuanku minum sebentar ini, tidak mau keluar dari dalam tubuh Tuanku, bagaimana akal Tuanku?"
“Itu adalah penyakit amat berbahaya."
“Kalau misalnya kejadian demikian itu, bagaimana ikhtiar Tuanku?"
“Saya akan suruh cari dokter yang ahli di mana saja walaupun dia berada di ujung bumi ini. Aku suruh datangkan kemari buat mengobatiku. Seluruh kekayaanku ini pun tidak mengapa licin tandas, asal segelas air itu saat keluar kembali dari badanku!"
“Maafkan daku, Tuanku!" sambung Ibnus Samaak selanjutnya."ingatlah kiranya Tuanku berpikir bahwa kadangkala segelas air najis, lebih mahal harganya dari seluruh kerajaan Tuanku. Apalah guna kerajaan kalau badan tidak ada kesehatannya lagi."
Raja termenung mendengarkan.
Ayat 51
“Maka menimpalah kepada mereka akibat buruk dari apa yang mereka usahakan itu."
Mereka mempunyai kekayaan, namun kekayaan itu telah mereka pergunakan untuk usaha yang buruk, yaitu usaha mendurhakai Allah. Mereka sangka dengan mempergunakan harta benda kekayaan maksud mereka yang buruk akan tercapai. Ternyata bahwa tidaklah berhasil apa yang mereka citakan dan tidaklah menolong harta benda yang banyak itu. Malahan sebaliknya, yaitu akibat buruklah yang mereka terima sebagai hasil dari usaha yang salah. Sebab orang yang bertanam lalang, tidaklah akan membuahkan padi."Dan orang-orang yang zalim dari antara mereka itu akan menimpalah kepada mereka bekas buruk dari apa yang mereka usahakan." Diulangkan peringatan dua kali dalam satu ayat, yaitu usaha yang buruk pastilah membawa akibat yang buruk dan panjang ekornya di belakang. Tidak ada suatu kecurangan yang membawa laba, melainkan rugi yang berturut-turut dan kadang-kadang turun-temurun.
“Dan tidaklah mereka akan saat melepaskan diri."
Artinya ialah bahwa adalah suatu yang sia-sia saja kalau mereka mencoba hendak memakai seribu akal melepaskan diri dari tilikan Allah. Janganlah dicoba mengadu kekuatan dengan Allah. Allah tidaklah akan saat engkau lemahkan atau engkau per-bodoh.
Ayat 52
“Apakah mereka tidak mengetahui bahwasanya Allah melapangkan rezeki kepada barangsiapa yang Dia kehendaki dan juga membatasi."
Memberi kelapangan rezeki ialah terhadap kepada orang yang biasa kita rebut kaya. Membatasi adalah membuat rezeki itu sempit, saat hanya sekadar akan dimakan, bahkan kadang-kadang yang akan dimakan itu pun tidak mencukupi.
Menentukan agakan rezeki itu benar-benar menurut kebijaksanaan Allah. Ada yang jujur, saleh, dan dermawan diberinya rezeki banyak tidak terbatas. Ada pula orang yang loba, tamak, rakus, mengumpul harta sesuka hati, tidak peduli dari yang halal atau dari yang haram, dan harta itu pun banyak bertumpuk. Tetapi ada pula orang cerdik pandai, berpikiran tinggi, bercita-cita luhur, namun hidupnya miskin, melarat dan sempit.
Kadang-kadang orang menjadi kaya raya karena sebuah jembatan belum dibangun di tempat itu, lalu dia mendirikan sebuah lepau (kedai) nasi di tepi sungai.Tiap-tiap orang akan menyeberang singgah makan di lepaunya, sehingga dia menjadi kaya. Tiba-tiba pemerintah mendirikan sebuah jembatan besi yang kukuh guna menyeberangi sungai tersebut. Sebab itu orang tidak pernah lagi berhenti di lepaunya. Lepaunya menjadi sepi, lalu ditutup dan dia pun jatuh melarat.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu jadi tanda-tanda bagi kaum yang beriman."
Banyaklah tanda-tanda di dunia ini, khusus tentang kaya dan miskin yang saat menambah iman seseorang kepada Allah. Empat orang bersaudara pindan urban dari desa ke kota besar. Mereka dari satu ayah dan satu ibu, dibesarkan dan dididik dalam sebuah rumah, tetapi sesampai di kota besar mereka dibawa untung masing-masing. Seorang jadi kaya raya tinggal di gedung besar dengan kendaraan megah dan jabatan yang tinggi, sedang adiknya perempuan menurut suaminya yang jadi saudagar dan adiknya yang seorang lagi hanya menjadi sopir mobil kepunyaan seorang menteri dan yang seorang melarat tercampak ke lorong becek.
Ada seorang jujur yang melarat hidupnya. Ada seorang pengadu untung yang tidak tinggi sekolahnya, tetapi menjadi kaya raya karena pandai mendekati orang-orang berjabatan tinggi, dan lain-lain sebagainya.