Ayat
Terjemahan Per Kata
لِيُكَفِّرَ
karena akan menutup
ٱللَّهُ
Allah
عَنۡهُمۡ
dari mereka
أَسۡوَأَ
paling buruk
ٱلَّذِي
yang
عَمِلُواْ
mereka kerjakan
وَيَجۡزِيَهُمۡ
dan Dia memberi balasan kepada mereka
أَجۡرَهُم
pahala/ganjaran mereka
بِأَحۡسَنِ
dengan yang lebih baik
ٱلَّذِي
yang
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
لِيُكَفِّرَ
karena akan menutup
ٱللَّهُ
Allah
عَنۡهُمۡ
dari mereka
أَسۡوَأَ
paling buruk
ٱلَّذِي
yang
عَمِلُواْ
mereka kerjakan
وَيَجۡزِيَهُمۡ
dan Dia memberi balasan kepada mereka
أَجۡرَهُم
pahala/ganjaran mereka
بِأَحۡسَنِ
dengan yang lebih baik
ٱلَّذِي
yang
كَانُواْ
adalah mereka
يَعۡمَلُونَ
mereka kerjakan
Terjemahan
(Demikian itu) agar Allah menghapus (dosa) perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan dan memberi pahala kepada mereka dengan yang lebih baik daripada apa yang dahulu mereka kerjakan.
Tafsir
(Agar Allah menutupi mengampuni bagi mereka perbuatan buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang baik dari apa yang telah mereka kerjakan) lafal Aswa-a dan Ahsana bermakna As-Sayyi dan Al-Hasan.
Tafsir Surat Az-Zumar: 32-35
Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? Bukankah di neraka Jahanam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir? Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah menutupi (mengampuni) perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan.
Allah ﷻ berfirman ditujukan kepada orang-orang musyrik yang telah mengada-adakan kedustaan terhadap Allah dan menjadikan tuhan-tuhan lain beserta-Nya; mereka juga mengatakan bahwa malaikat-malaikat itu adalah anak-anak perempuan Allah, dan mereka berkeyakinan bahwa Allah beranak, padahal Mahasuci Allah dari apa yang dikatakan oleh mereka dan Mahatinggi dengan ketinggian yang setinggi-tingginya. Selain itu mereka mendustakan perkara yang hak ketika perkara yang hak itu datang kepada mereka melalui lisan rasul-rasul Allah, karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Maka siapakah yang lebih zalim daripada orang yang membuat-buat dusta terhadap Allah dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya? (Az-Zumar: 32) Yakni tiada seorang pun yang lebih zalim daripadanya, karena sesungguhnya hal ini berarti dia telah melakukan dua kebatilan secara bersamaan, yaitu membuat-buat kedustaan terhadap Allah dan mendustakan rasul-Nya.
Mereka mengatakan kebatilan dan menolak kebenaran, karena itulah maka Allah ﷻ berfirman kepada mereka dengan nada mengancam: Bukankah di neraka Jahanam tersedia tempat tinggal bagi orang-orang kafir? (Az-Zumar: 32) Mereka adalah orang-orang yang ingkar (kepada Allah) dan mendustakan (rasul-Nya) Firman Allah ﷻ: Dan orang yang membawa kebenaran dan membenarkannya. (Az-Zumar: 33) Mujahid, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa orang yang membawa kebenaran itu adalah Rasulullah ﷺ As-Saddi mengatakan bahwa dia adalah Jibril a.s. Dan yang dimaksud dengan firman-Nya: dan membenarkannya. (Az-Zumar: 33) Yaitu Nabi Muhammad ﷺ Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya. (Az-Zumar: 33) Yang dimaksud dengan kebenaran ialah kalimah 'tidak ada Tuhan yang wajib disembah melainkan Allah' dan yang dimaksud dengan orang yang membenarkannya ialah Rasulullah ﷺ Lain pula dengan Ar-Rabi' ibnu Anas, dia membaca ayat ini dengan bentuk jamak, sehingga artinya menjadi seperti berikut: "Dan orang-orang yang membawa kebenaran dan yang membenarkannya," bahwa yang dimaksud dengan mereka adalah para nabi, sedangkan yang dimaksud dengan orang-orang yang membenarkannya ialah para pengikut mereka.
Lais ibnu Abu Sulaim telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya. (Az-Zumar: 33) Bahwa orang-orang yang mengamalkan Al-Qur'an yaitu orang-orang mukmin. Mereka datang pada hari kiamat dan mengatakan, "Inilah yang telah Engkau berikan kepada Kami, maka kami mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya sesuai dengan apa yang Engkau perintahkan kepada kami." Pendapat yang bersumber dari Mujahid ini mempunyai pengertian yang mencakup semua orang mukmin.
Karena sesungguhnya orang-orang mukminlah yang mengatakan kebenaran dan mengamalkannya. Dan Rasulullah ﷺ adalah orang yang paling berhak termasuk ke dalam makna ayat ini, menurut tafsir versi ini. Karena sesungguhnya beliaulah yang membawa kebenaran, membenarkan rasul-rasul, serta beriman kepada apa yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya. Juga orang-orang mukmin, semuanya beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan dengan makna firman Allah ﷻ: Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya. (Az-Zumar: 33) ialah Rasulullah ﷺ dan kaum muslim. mereka itulah orang-orang yang bertakwa. (Az-Zumar: 33) Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa mereka menghindari perbuatan syirik. Mereka memperoleh apa yang mereka kehendaki pada sisi Tuhan mereka. (Az-Zumar: 34) Yakni di surga nanti, apa pun yang mereka minta, mereka dapat memperolehnya.
Demikianlah balasan orang-orang yang berbuat baik, agar Allah menutupi (mengampuni) perbuatan yang paling buruk yang mereka kerjakan dan membalas mereka dengan upah yang lebih baik daripada apa yang telah mereka kerjakan. (Az-Zumar: 34-35) Seperti apa yang disebutkan di dalam ayat lain melalui firman-Nya: Mereka itulah orang-orang yang Kami terima dari mereka amal yang baik yang telah mereka kerjakan dan Kami ampuni kesalahan-kesalahan mereka, bersama-sama penghuni-penghuni surga, sebagai janji yang benar yang telah dijanjikan kepada mereka. (Al-Ahqaf: 16)"
Di samping itu, orang-orang yang bertakwa juga beroleh janji, agar Allah senantiasa menghapus, yakni memberikan pengampunan atas perbuatan mereka yang paling buruk yang pernah mereka lakukan, dan juga memberi pahala kepada mereka dengan yang terbaik daripada apa yang mereka kerjakan selama hidup di dunia. 36. Setelah menjelaskan anugerah bagi orang-orang bertakwa, Allah menyatakan pada ayat ini bahwa Dialah pelindung hamba-hamba-Nya dengan mencukupi segala keperluan mereka. Bukankah Allah yang Mahakuasa dan Maha Pemurah itu telah mencukupi segala sesuatu yang diperlukan oleh hamba-Nya' Mereka, orang-orang musyrikin Mekah itu, menakut-nakutimu wahai Nabi Muhammad, dengan tuhan-tuhan yang selain Dia. Barang siapa yang dibiarkan secara bebas memilih kesesatan oleh Allah dan hatinya cenderung kepada kesesatan itu, maka tidak ada seorang pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Semua rahmat, pahala, dan karunia dilimpahkan Allah kepada mereka. Allah juga mengampuni perbuatan yang paling buruk yang pernah mereka kerjakan di dunia. Allah tidak membalas dosa-dosa dan kesalahan mereka dengan azab, bahkan menutupi dosa dan perbuatan mereka yang buruk itu dan membalas dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Dalam ayat ini didahulukan ampunan dosa daripada pemberian pahala, karena seseorang yang diampuni dosanya telah merasakan ketenangan. Lagi pula, ampunan Allah lebih luas daripada dosa hamba-hamba-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ENGKAU AKAN MATI
Ayat 30
“Sesungguhnya engkau akan mati dan mereka pun sungguh akan mati pula."
Supaya jelaslah bahwa soal ini bukanlah soal hidup di dunia saja. Engkau -wahai Rasul Kami- dan mereka semua akan berkumpul ke hadirat Allah di hari Kiamat. Tidak ada seorang pun yang akan saat mengelakkan diri daripada maut.
Ayat 31
“Kemudian dari itu, sesungguhnya kamu semuanya di hari Kiamat, di sisi Tuhan kamu akan berbantah-bantahan."
Bagaimanapun besarnya perbantahan itu kelak, namun yang selamat berbahagia ialah orang-orang yang beriman, ikhlas, dan bertauhid. Dan yang akan menderita ialah yang kafir, tidak mau percaya, menolak, membantah, mendustakan dan mempersekutukan. Perbantahan di dunia akan diulangi lagi di akhirat, bukan lagi menegakkan hujjah pada diri masing-masing, melainkan keluhan yang bersalah dan penyesalan dan yang taat, mengapa mereka tidak mengacuhkan tatkala hidup di dunia dahulu. Dan terjadi pula perbantahan di antara pengikut yang disesatkan oleh pemimpin-pemimpin itu sendiri sebagaimana tersebut pada surah-surah yang lain.
Kedua ayat ini pulalah, ayat 30 dan 31 dari surah az-Zumar ditambah dengan ayat 144 dan surah Aali ‘Imraan yang dibaca oleh Sayyidina Abu Bakar untuk mengembalikan semangat yang mulai kacau balau karena kematian Rasulullah ﷺ.
Karena setelah terdengar pekik istri-istri beliau dan anak beliau ﷺ melihat beliau tidak bernapas lagi di atas haribaan istrinya, Aisyah, di hadapan anak perempuannya, Fatimah, ributlah sahabat-sahabat yang masih belum pulang ke rumah mereka sehabis shalat Shubuh, terutama Sayyidina Umar bin Khaththab. Beliau seakan-akan kehilangan pedoman di saat itu. Beliau merasa Rasulullah tidak wafat; beliau hanya pergi sementara sebagaimana perginya Nabi Musa ke hadirat Allah di Gunung Thursina, dan dia akan segera kembali. Sampai beliau berkata, “Rasulullah tidak meninggal. Barang-siapa yang mengatakan dia meninggal, aku pancung lehernya."
Peristiwa ini lekas-lekas disampaikan orang kepada Abu Bakar yang telah sampai di rumahnya setelah shalat Shubuh di masjid.
Dengan segera beliau kembali ke masjid dan terus ke dalam bilik Aisyah. Beliau lihat jenazah Rasulullah telah ditidurkan baik-baik. Lalu beliau bukakan tutup mukanya dan setelah beliau lihat dengan tenang sejenak beliau ciumlah kening yang masih panas itu, lalu beliau berkata,
“Alangkah wanginya engkau wahai Rasulullah di kala hidup dan ketika mati."
Sesudah itu beliau tutup wajah itu kembali. Lalu beliau keluar dari bilik itu dengan langkah gontai menuju ke atas mimbar Rasulullah. Umar duduk termenung dekat mimbar itu. Setelah berdiri di atas mimbar itu, beliau lihat orang banyak, lalu dengan kata-kata tenang dan padat beliau berucap,
“Ingat Allah, barangsiapa yang menyembah Muhammad maka sungguh Muhammad telah me-ninggal. Tetapi barangsiapa yang menyembah Allah maka sesungguhnya Allah hidup terus dan tidak akan mati."
Lalu beliau baca,
“Sesungguhnya engkau akan mati dan mereka itu pun akan mati pula. Kemudian dari itu, sesungguhnya kamu semua pada hari Kiamat di hadapan Tuhanmu akan berbantah-bantahan." (az-Zumar: 30-31)
Dan beliau baca pula ayat 144 dari surah Aali ‘Imraan,
“Dan tidaklah Muhammad itu melainkan seorang Rasulyang telah berlalu dari sebelumnya beberapa rasul-rasul. Maka apakah jika dia meninggal atau dibunuh orang, kamu akan berpaling atas tumit kamu? Maka barangsiapa yang berpaling atas tumitnya, sekali-kali tidaklah akan membahayakan bagi Allah sedikit pun. Dan Allah akan memberikan pahala kepada orang-orang yang bersyukur." (Aali ‘Imraan: 144)
Mendengar perkataan itu heninglah orang semuanya dan menangislah Umar menyesali dirinya dan kembalilah dia kepada pokok aqidah Islam sebagai yang telah dikatakan oleh Abu Bakar itu, bahwa dia bukanlah menyembah Muhammad yang telah datang waktunya dan telah mati, melainkan menyembah kepada Allah yang selaiu hidup dan tidak akan mati selama-lamanya. Sampai dia mengakui terus terang bahwa kedua ayat yang dibaca oleh Abu Bakar itu seakan-akan baru turun pada hari itu layaknya. Maka ingatlah dikatakan bahwa pada saat itu kedatangan Abu Bakar adalah di saatnya yang tepat, sehingga tidaklah mengherankan, meskipun terjadi pertikaian di antara Muhajirin dengan Anshar tentang siapa yang akan melanjutkan tugas Rasulullah, menjadi khalifah beliau dan jadi pemimpin kaum Muslimin, ketika Abu Bakar yang dicalonkan oleh Umar dan Abu Ubaidah, tidak banyak bantahan lagi.
Sejarah kejadian ini menunjukkan bahwa di saat-saat pening timbullah yang disebut Rajulus Sa'ah, orang yang muncul pada waktunya, yang jabatan penting bukan dikejar dan dicarinya, melainkan saat di waktu itu yang menyebabkan dia diantarkan ke tempat yang penting itu.
Ayat 32
“Maka siapakah yang lebih zalim?"
Atau siapakah yang lebih aniaya kelakuannya, lebih jahat pekertinya, “Dari orang yang membuat dusta terhadap Allah." Yaitu dikarang-karangnya dusta tentang Allah, misalnya dikatakannya bahwa Allah itu beranak, atau dikatakannya bahwa kalau akan memohon apa-apa kepada Allah itu tidak boleh secara langsung saja, mesti adakan orang perantaraan, dan orang perantaraan itu hendaklah orang yang disebut wali Allah, hendaklah datang meminta kepada wali itu di kuburnya. “Dan mendustakan kebenaran ketika datang kepadanya?" Ketika datang keterangan yang dibawakan oleh utusan-utusan Allah sendiri, atau wahyu yang disampaikan hendaklah langsung sendiri memohon kepada Allah dan janganlah dipersekutukan yang lain dengan Allah, mereka dustakan keterangan yang benar itu dan mereka masih tetap mempertahankan pendiriannya yang salah.
“Bukankah di dalam Jahannam tempat berdiam orang-orang yang kafir?"
Kedua suku ayat bersifat pertanyaan karena dia menyadarkan pikiran tentang suatu perbuatan yang sangat salah terhadap Allah. Zalim biasa kita artikan aniaya, ambilan kata ialah dari zhulm yang berarti gelap. Orangyang berbuat suatu pelanggaran terhadap ketentuan Allah sama artinya dengan menempuh jalan yang gelap, yang tidak saat diterima oleh pikiran yang sehat. Gelap, tidak tentu ujung pangkalnya. Dan dengan sendirinya tempat orang yang seperti itu menurut pertimbangan akal yang sehat ialah dalam neraka Jahannam. Tidak mungkin masuk ke dalam surga yang indah dan nyaman.
Ayat 33
“Dan orang yang datang dengan kebenaran."
Dalam hal manusia dibawa oleh yang zalim ke tempat yang gelap, dia pun datang membawa ajaran yang terang. Di dalam manusia berpegang pada ajaran yang salah, misalnya mempersekutukan yang lain dengan Allah, dia datang membawa kebenaran. Orang itu ialah Rasul! Orang itu ialah Muhammad ﷺ"Dan membenarkan terhadap nya." Yaitu orang-orang yang menyatakan percaya akan kebenaran ajaran yang dibawanya itu. Itulah sahabat-sahabatnya assabiquunal awaa-luuna. Yang mula-mula yang dahulu sekali menyatakan iman, mulanya Muhajirin kemudian itu Anshar, kemudian itu sekalian umat yang sedia menjalankan kebenaran yang dibawa oleh Rasul itu, melaksanakan perintah dan menghentikan yang dilarang.
“Orang-orang itulah orang yang bertakwa."
Ayat 33 ini adalah imbalan dari ayat 32 yang menyatakan akibat dari orang yang zalim aniaya, yang mendustakan dan menolak kebenaran. Tempat mereka neraka. Tetapi Rasul dan orangyang beriman atas syari'at yang beliau bawa, beriman dan mengamalkannya sekali itulah orang yang bertakwa. Apalah lagi bilamana imannya itu dipelihara, dipupuk, dan dipertingginya tingkatnya.
Ayat 34
“Bagi mereka apa yang mereka kehendaki di sisi Tuhan mereka."
Sebab orang-orang yang bertakwa itu kian sehati kian dekat kepada Allah, didengar Allah keluhannya, dikabulkan Allah permohonannya, diterima Allah permintaannya, dan diridhai Allah segala sikap hidupnya. Sebab setiap langkahnya di dalam hidup diukurnya dengan hidayah yang dituntunkan oleh Rasul kepada mereka.
“Demikianlah ganjaran bagi orang-orang yang berbuat kebajikan."
Rahasia kejayaan yang mereka capai di dunia dan di akhirat kelak bertemu di ujung ayat 34 itu. Yaitu bahwa mereka selalu berbuat kebajikan. Kebajikan adalah arti yang kita ambil untuk kalimat ihsaan. Di ujung ayat disebutkan muhsiniin, yaitu orang-orang yang berbuat kebajikan.
Menurut arti yang umum dari ihsan ialah jika berbuat atau beramal suatu perbuatan, selalu perbuatan itu diperbaiki, diperhalus dan dipertinggi mutunya. Kian sehari kian naik; bukan kian sehari kian merosot. Dan di dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim yang dirawikan dari Umar bin Khaththab, adalah tiga yang ditanyakan oleh malaikat Jibril ketika dia datang menziarahi Nabi ﷺ dengan merupakan dirinya sebagai manusia waktu Nabi ﷺ dikelilingi oleh banyak sahabat-sahabatnya. Jibril menanyakan apakah yang Islam? Nabi menjawab, “Dua kalimat syahadat, shalat, zakat, puasa dan naik haji bagi barangsiapa yang sanggup melakukan perjalanan ke Mekah." Ditanyakannya pula apakah yang iman? Nabi menjawab, “Beriman kepada Allah, kepada malaikat-malaikat, kepada kitab-kitab suci, kepada diutusnya rasul-rasul, kepada hari Kiamat, dan keenam tentang takdir buruk dan baik." Akhirnya Jibril bertanya, “Apakah yang ihsan?" Lalu Nabi menjawab,
“Bahwa engkau mengabdikan diri kepada Allah, seakan-akan engkau melihat Dia maka meskipun engkau tidak melihat Dia, sesungguhnya Dia melihat engkau."
Seterusnya Allah memberikan harapan kepada mereka.
Ayat 35
“Karena Allah akan menutupi dari mereka seburuk-buruk perbuatanyang pernah mereka kerjakan dan Dia akan memberi pahala kepada mereka dengan sebaik-baik apa yang akan terus mereka kerjakan."
Inilah janji yang indah dari Allah. Di ujung ayat 34 dijelaskan sebab-sebabnya, yaitu bahwa mereka selau suka berbuat kebajikan, suka berbuat yang lebih baik, meninggikan mutu usaha dan amal. Maka dalam usaha mengisi hidup dengan amal yang saleh itu, namun semuanya itu tidaklah jadi tujuannya. Ibarat orang mendaki bukit yang begitu tinggi dan begitu curam, sedang angin ribut dan hujan lebat sehingga jalan yang dilalui basah dan lincir. ingatlah dimaklumi kalau mereka pernah terjatuh. Kejatuhan itu tidak diambil berat oleh Allah. Kealpaan itu ditutupi oleh Allah, tidak dijadikan tuntutan berat, sebab nyata bahwa hidupnya penuh menuju Allah. Sebab maka usaha dan amalnya yang selanjutnya diberikan penghargaan dan ganjaran. Sebab seburuk-buruk amalan telah saat diatasi dengan sebaik-baik perbuatan.
Di sinilah kita melihat dua kalimat; ketika Allah menerangkan amalan yang ditutupi atau diberi ampun yang seburuk-buruk amal masa lalu; Fi'il yang dipakai ialah fi'il maadhi; ‘Amiluu -dan untuk amalan seterusnya, yang sebaik-baik amalan dipakai di ujung ayat fi'il mudhari'. Sedang fi'il mudhari' adalah untuk zaman kini dan zaman seterusnya, yaitu ya'maluun =
‘Amiluu artinya telah mereka kerjakan. Ya'maluun artinya yang sedang mereka kerjakan atau akan kerjakan.
Di sinilah terpasang pula hadits Nabi ﷺ.
“Takwalah kepada Allah dalam keadaan bagaimanapun engkau dan turutilah kerja yang buruk dengan yang baik, supaya pengaruh yang buruk itu saat dihapuskannya dan berakhlaklah terhadap manusia dengan akhlak yang baik." (HR Tirmidzi dari Abu Hurairah)
Ayat 36
“Bukankah Allah cukup pelindung hamba-Nya?"
Pangkal ayat ini cukup menjadi perisai dan tameng bagi hamba Allah yang beriman. Dia bersifat sebagai pertanyaan, namun isinya ialah sebagai penjelasan dan peyakinan. Orang yang beriman akan menjawab, demi pengalaman yang telah dialaminya dalam hidup, hanya iman percaya kepada Allah seratus persen, tawakal, ikhlas dan ridha, menyerah yang bulat, itulah pelindung sejati. Tidak ada yang lain tempat berlindung melainkan Allah. Padahal Allah itu Yang Mahakuasa atas semua! Tidak ada yang bergerak, tidak ada yang bertindak kalau tidak dengan izinnya. Apakah musuh yang paling besar bagi manusia di dalam alam ini selain setan iblis? saatkah setan dan iblis berbuat leluasa kepada hamba Allah kalau hamba Allah itu benar-benar berlindung kepada Allah? Bukankah Allah telah menjelaskan,
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku tidaklah ada kekuasaanmu atas mereka." (al-Israa': 65)
Maka musuh-musuh yang lain yang akan memperdayakan manusia tidaklah ada yang lebih tinggi kejahatannya daripada setan dan iblis. Maka kalau pengaruh setan iblis itu saat kita tangkis dengan semata-mata mencukupkan berlindung kepada Allah, betapa lagi musuh yang lain?
Ada orang yang datang kepada penulis tafsir ini minta diajarkan doa-doa untuk menangkis bahaya musuh, sejak dari setan sampai kepada musuh-musuh yang lain. Memang ada doa-doa itu diajarkan oleh Nabi ﷺ. Namun doa-doa itu tidak ada artinya kalau jiwa sendiri tidak tunduk takwa terlebih dahulu kepada Allah. Kalau jiwa telah tunduk, shalat telah khusyu, ibadah telah dihayati, walaupun doanya belum hapal, kekhusyuan itu saja pun sudah cukup.
Demikianlah pada suatu hari dalam saya ditahan di Sukabumi, di akhir bulan Maret 1964 (Dzulqa'dah 1383), inspektur polisi yang memeriksa sambil memaksa agar saya mengakui suatu kesalahan yang difitnahkan ke atas diri saya, padahal saya tidak pernah berbuatnya. Inspektur itu masuk kembali ke dalam bilik tahanan saya membawa sebuah bungkusan, yang saya pandang sepintas lalu saya menyangka bahwa itu adalah sebuah tape recorder buat menyadap pengakuan saya. Dia masuk dengan muka garang sebagai kebiasaan selama ini. Dan saya menunggu dengan penuh tawakal kepada Allah dan memohon kekuatan kepada-Nya semata-mata. Setelah mata yang garang itu melihat saya dan saya sambut dengan sikap tenang pula, tiba-tiba kegarangan itu mulai menurun sedikit demi sedikit. Setelah menanyakan apakah saya sudah makan malam, apakah saya sudah shalat dan pertanyaan lain tentang penyelenggaraan makan minum saya, tiba-tiba dilihatnya arlojinya dan dia berkata, “Biar besok saja dilanjutkan pertanyaan. Saudara istirahAllah dahulu malam ini," ujarnya dan dia pun keluar membawa bungkusan itu kembali.
Setelah dia agak jauh, masuklah polisi muda (agen polisi) yang ditugaskan menjaga saya, yang usianya baru kira-kira 25 tahun. Dia melihat terlebih dahulu kiri kanan. Setelah jelas tidak ada orang yang melihat, dia bersalam dengan saya sambil menangis, diciumnya tangan saya, lalu dia berkata, “Alhamdulillah, Bapak selamat! Alhamdulillah!"
“Mengapa?" tanya saya.
“Bungkusan yang dibawa oleh Inspektur M. itu adalah strum. Kalau dikontakkan kebadan Bapak, Bapak bisa pingsan dan kalau sampai maksimum bisa mati!" Demikian jawaban polisi muda yang ditugaskan menjaga saya itu dengan berlinang air mata,
“Bapak sangka tape recorder," jawabku dengan sedikit darah tersirap, tetapi saya bertambah ingat kepada Allah.
“Semoga Allah memelihara diri Bapak! Ah, Bapak orang baik!" kata anak itu.
Dua hari kemudian inspektur itu datang lagi, tetapi bukan malam hari, melainkan jam empat sore sehabis saya istirahat sesudah shalat Ashar. Dia tidak membawa apa-apa. Dia duduk di kursi yang disediakan di dekat bangku tempat tidur bilik tahanan saya. Belum lama duduk langsung dia bertanya, “Saudara ada baca doa-doa kalau akan diperiksa atau ditanya?"
Saya jawab, “Di mana ada saja kesempatan saya tetap berdoa. Saudara dengar sendiri kalau habis shalat Shubuh saya selalu membaca Al-Qur'an. Di antara Maghrib dan Isya saya baca Al-Qur'an. Akan tidur saya berdoa, bangun tidur pun saya berdoa. Sehabis shalat saya berdzikir mengingat Allah."
“Ketika saya masuk malam itu saudara baca doa apa?"
“Saya membaca doa akan tidur."
“Dapatkah itu saudara ajarkan kepada saya?"
“Dapat saja, mengapa tidak?" jawab saya.
“Tolonglah tuliskan dan tuliskan juga artinya," katanya.
“Apakah saudara mengerti huruf Arab?"
“Saya tidak mengerti," jawabnya terus terang.
Lalu saya jawab, “Akan saya tuliskan doa akan tidur itu dengan huruf Latin dan artinya pun dalam bahasa Indonesia." Lalu saya minta kertasnya dan bolpoinnya. Dan mulailah saya tuliskan doa yang biasa dibacakan Nabi waktu akan tidur, yang dimulai dengan, Allahumma innii aslamtu nafsii ilaika sampai akhirnya. Dan dia duduk menunggu dengan tenang.
Setelah selesai lalu saya serahkan. Dan dia pun mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Tetapi sebelum dia meninggalkan kamar tahanan saya, saya pegang tangannya dan saya berkata, “Apakah saudara mengerjakan shalat lima waktu?"
“Selama ini belum," jawabnya terus terang.
Lalu kata saya, “Doa ini ajaran Nabi Muhammad dan bacaan Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Padahal beliau tetap shalat. Dia tidak ada membawa kesan kalau saudara tidak shalat lebih dahulu."
Dia berjanji akan memulai shalat dan dia mengatakan bahwa anak-anaknya sudah mulai diserahkan ke sekolah agama.
Antara tiga hari kemudian datang seorang inspektur lagi, yang ditugaskan memeriksa teman-teman yang kena fitnah yang lain, di antaranya yang memeriksa saudara Ghazali Shalan. Dia pun datang dengan berbisik minta diajarkan doa-doa.
Maka saat disimpulkan bahwa doa-doa itu pun harus dibaca, tetapi tidak ada manfaatnya kalau hati tidak dekat dan lekat kepada Allah. Ketika inspektur masuk ke dalam bilik tahanan saya, saya tidak membaca sembarang doa pun. Tetapi saya ingat kepada Allah dan menyerah kepada-Nya. Karena sehari dua sebelum itu seorang inspektur lain, berasal dari Tapanuli telah memanggil saya dan menyuruh menanggali seluruh pakaian, tinggal celana kolor sehelai saja, lalu saya digertak-gertak dan dipaksa mengakui apa yang dituduhkan, yaitu berkomplot hendak membunuh Presiden Soekarno. Saya hanya menerima paksaan itu dengan tenang dan saya tidak memberikan lebih dari apa yang telah saya terangkan sebelumnya. Dalam menghadapi paksaan, hinaan dan hardikan itu saya hanya memohon kepada Allah agar diberi keselamatan, atau selamat dan hidup untuk melanjutkan perjuangan menegakkan agama Allah, atau selamat tidak terlalu lama menderita dan mati syahid dengan pendirian yang tetap bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah.
Maka ketika Inspektur M. datang membawa bungkusan malam itu, demikian jugalah pendirian saya, “Bukankah Allah cukup pelindung hamba-Nya?"
“Sedang mereka itu mempertakut-takuti engkau dengan yang selain Dia!" Kalau seorang Mukmin telah memegang keyakinan bahwa pelindungnya cukup Allah saja, dengan apa pun dia dipertakut-takuti, tidaklah akan berbekas gertakan orang itu."
“Dan barangsiapa yang disesatkan oleh Allah maka tidaklah ada baginya yang akan memberi petunjuk."
Maka hanyutlah dia terus ke dalam kegelapan, tidak ada yang akan memintasi.
Ayat 37
“Dan barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidaklah ada baginya yang akan menyesatkan.
Dia telah bertemu dengan jalan yang bertemu. Doanya yang disebutkan di pertengahan al-Faatihah, agar kiranya Allah menunjuki kepada jalan yang lurus, sudah terkabul. Tangan Allah sendiri yang membimbingnya.
“Maka bukanlah Allah Mahaperkasa," kelas aturan-Nya, teguh disiplin-Nya. “Lagi mempunyai kuasa membalas?"
Sehingga seorang yang melanggar peraturan Allah dan mengabaikannya, memandang enteng dan tidak menghargai, akan kena pukulan oleh keperkasaan Allah dan akan merasakan bagaimana hebat dan dahsyat bekas cemeti balasan Allah.