Ayat

Terjemahan Per Kata
يَٰدَاوُۥدُ
hai Daud
إِنَّا
sesungguhnya
جَعَلۡنَٰكَ
Kami menjadikan kamu
خَلِيفَةٗ
khalifah/penguasa
فِي
dimuka
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
فَٱحۡكُم
maka berilah keputusan
بَيۡنَ
diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
بِٱلۡحَقِّ
dengan benar
وَلَا
dan tidak
تَتَّبِعِ
kamu mengikuti
ٱلۡهَوَىٰ
hawa nafsu
فَيُضِلَّكَ
maka akan menyesatkan kamu
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَضِلُّونَ
(mereka) tersesat
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
لَهُمۡ
bagi mereka
عَذَابٞ
azab
شَدِيدُۢ
sangat/keras
بِمَا
dengan apa/sebab
نَسُواْ
mereka melupakan
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡحِسَابِ
perhitungan
يَٰدَاوُۥدُ
hai Daud
إِنَّا
sesungguhnya
جَعَلۡنَٰكَ
Kami menjadikan kamu
خَلِيفَةٗ
khalifah/penguasa
فِي
dimuka
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
فَٱحۡكُم
maka berilah keputusan
بَيۡنَ
diantara
ٱلنَّاسِ
manusia
بِٱلۡحَقِّ
dengan benar
وَلَا
dan tidak
تَتَّبِعِ
kamu mengikuti
ٱلۡهَوَىٰ
hawa nafsu
فَيُضِلَّكَ
maka akan menyesatkan kamu
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَضِلُّونَ
(mereka) tersesat
عَن
dari
سَبِيلِ
jalan
ٱللَّهِ
Allah
لَهُمۡ
bagi mereka
عَذَابٞ
azab
شَدِيدُۢ
sangat/keras
بِمَا
dengan apa/sebab
نَسُواْ
mereka melupakan
يَوۡمَ
pada hari
ٱلۡحِسَابِ
perhitungan
Terjemahan

(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.”
Tafsir

(Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah penguasa di muka bumi) yaitu sebagai penguasa yang mengatur perkara manusia (maka berilah keputusan perkara di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu) kemauan hawa nafsu (karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah) dari bukti-bukti yang menunjukkan keesaan-Nya. (Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah) dari iman kepada Allah (mereka akan mendapat siksa yang berat karena mereka melupakan) artinya, disebabkan mereka lupa akan (hari perhitungan) hal ini ditunjukkan oleh sikap mereka yang tidak mau beriman, seandainya mereka beriman dengan adanya hari perhitungan itu, niscaya mereka akan beriman kepada Allah sewaktu mereka di dunia.
Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan. Ini merupakan perintah dari Allah ﷻ kepada para penguasa agar mereka memutuskan perkara di antara manusia dengan kebenaran yang diturunkan dari sisi-Nya, dan janganlah mereka menyimpang darinya, yang berakibat mereka akan sesat dari jalan Allah.
Allah ﷻ telah mengancam orang-orang yang sesat dari jalan-Nya dan yang melupakan hari perhitunganyaitu dengan ancaman yang tegas dan azab yang keras. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Khalid, telah menceritakan kepada kami Al-Walid, telah menceritakan kepada kami Marwan ibnu Janah, telah menceritakan kepadaku Ibrahim alias Abu Zar'ah yang pandai membaca kitab-kitab terdahulu, bahwa Al-Walid ibnu Abdul Malik pernah bertanya kepadanya, "Apakah khalifah juga mendapat hisab? Kuajukan pertanyaan ini kepadamu karena kamu telah membaca kitab-kitab terdahulu, juga telah membaca Al-Qur'an serta memahaminya." Aku (Abu Zar'ah) menjawab, "Wahai Amirul Mu-minin, saya hanya berpesan kepadamu, hendaknyalah engkau berdoa semoga berada di dalam keamanan dari Allah." Kukatakan lagi, "Hai Amirul Mu-minin, apakah engkau lebih mulia bagi Allah ataukah Daud a.s.? Sesungguhnya Allah telah menghimpunkan baginya antara kenabian dan kekhalifahan (kekuasaan), tetapi sekalipun demikian Allah mengancamnya melalui firman-Nya," sebagaimana yang disebutkan di dalam Al-Qur'an; Hai Daud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka Bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Shad: 26) hingga akhir hayat.
Ikrimah telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: mereka akan mendapat azab yang berat, karena melupakan hari perhitungan. (Shad: 26) Ini merupakan ungkapan yang mengandung taqdim dan ta-khir, menurut urutannya adalah berbunyi seperti berikut: ., yang artinya bagi mereka azab yang berat pada hari perhitungan nanti disebabkan mereka lupa daratan. As-Saddi mengatakan bahwa makna ayat ialah bagi mereka azab yang berat disebabkan mereka meninggalkan amal perbuatan untuk bekal mereka di hari perhitungan. Pendapat yang kedua ini lebih serasi dengan makna lahiriah ayat."
Karena ketaatan, kebijaksanaan, dan ilmunya yang luas, Allah memilih Nabi Dawud sebagai khalifah, 'Wahai Nabi Dawud! Sesungguhnya engkau telah Kami jadikan khalifah dan penguasa di bumi. Karena itu, hiasilah kekuasaanmu dengan kesopanan dan tunduk pada aturan Kami. Maka berilah keputusan tentang suatu perkara yang terjadi di antara manusia dengan adil dan mengacu pada wahyu Kami, dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu dalam menjalankan amanah Kami karena hawa nafsu akan menyesatkan engkau dari jalan Allah dan menggiringmu jauh dari kebenaran. ' Sungguh, orang-orang yang sesat dari jalan Allah akibat mengikuti hawa nafsu akan mendapat azab yang berat dan pedih di akhirat. Yang demikian itu karena mereka melupakan hari perhitungan, hari ketika perbuatan manusia dihisab. Ayat ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin harus bersikap adil, amanah, dan mendahulukan kepentingan umum daripada kepentingan pribadi. 27. Usai menegaskan adanya hari perhitungan, Allah beralih menjelas-kan bukti-bukti kekuasaan-Nya di jagat raya. Dan sungguh, Kami tidak serta-merta menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya, seperti bintang, matahari, dan bulan, dengan sia-sia dan tanpa manfaat tertentu (Lihat pula: Surah ad-Dukh'n/44: 38'39). Itu semua adalah anggapan orang-orang kafir yang tidak memercayai kekuasaan Allah, maka celakalah orang-orang yang kafir itu karena mereka akan masuk ke neraka yang telah Allah persiapkan untuk mereka.
Pada ayat ini, Allah menjelaskan pengangkatan Nabi Daud sebagai penguasa dan penegak hukum di kalangan rakyatnya. Allah menyatakan bahwa dia mengangkat Daud sebagai penguasa yang memerintah kaumnya. Pengertian penguasa diungkapkan dengan khalifah, yang artinya pengganti, adalah sebagai isyarat agar Daud dalam menjalankan kekuasaannya selalu dihiasi dengan sopan-santun yang baik, yang diridai Allah, dan dalam melaksanakan peraturan hendaknya berpedoman kepada hidayah Allah. Dengan demikian, sifat-sifat khalifah Allah tercermin pada diri pribadinya. Rakyatnya pun tentu akan menaati segala peraturannya dan tingkah lakunya yang patut diteladani.
Selanjutnya Allah menjelaskan bahwa Dia menyuruh Nabi Daud agar memberi keputusan terhadap perkara yang terjadi antara manusia dengan keputusan yang adil dengan berpedoman pada wahyu yang diturunkan kepadanya. Dalam wahyu itu terdapat hukum yang mengatur kesejahteraan manusia di dunia dan kebahagiaan mereka di akhirat. Oleh sebab itu Allah melarang Nabi Daud memperturutkan hawa nafsunya dalam melaksanakan segala macam urusan yang berhubungan dengan kesejahteraan dan kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat.
Pada ayat ini terdapat isyarat yang menunjukkan pengangkatan Daud sebagai rasul dan tugas-tugas apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang rasul yang mengandung pelajaran bagi para pemimpin sesudahnya dalam melaksanakan kepemimpinannya.
Pada akhir ayat Allah menjelaskan akibat dari orang yang memperturutkan hawa nafsu dan hukuman apa yang pantas dijatuhkan kepadanya.
Memperturutkan hawa nafsu menyebabkan seseorang kehilangan kesadaran. Dengan demikian, ia akan kehilangan kontrol pribadi sehingga ia tersesat dari jalan yang diridai Allah. Kemudian apabila kesesatan itu telah menyelubungi hati seseorang, ia lupa akan keyakinan yang melekat dalam hatinya bahwa di atas kekuasaannya masih ada yang lebih berkuasa. Itulah sebabnya orang yang memperturutkan hawa nafsu itu diancam dengan ancaman yang keras, yang akan mereka rasakan deritanya di hari pembalasan, hari diperhitungkannya seluruh amal manusia guna diberi balasan yang setimpal.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
DUA ORANG MEMOHON PENYELESAIAN PERKARA
Maka selain dari kesalehan, ibadah, rasa selalu kembali kepada Allah SWT, sehingga beliau tidak lupakan tugas sebagai hamba Allah, beliau pun seorang penguasa yang amat bijaksana. Soal kebijaksanaan memerintah dan memutuskan perkara ini adalah pertunjuk yang khas dari Allah kepadanya.
Lalu Allah ﷻ mengisahkan tentang dua orang yang datang mengadu,
Ayat 21
“Dan adakah datang kepada engkau berita tentang orang-orang yang berperkara?"
Pertanyaan Allah dengan cara begini kepada Rasul-Nya adalah mengandung hikmah mendalam pula, demi menghormati dan meninggikan martabat utusan-Nya. Allah tidak langsung menceritakan, melainkan bertanya terlebih dahulu, sudahkah engkau mendengar kisah ini? Niscaya Nabi akan menjawab, “Belum pernah mendengar." Dengan demikian niscaya Nabi akan menyaringkan telinga mendengar apakah bunyi cerita itu.
“Tatkala mereka itu memanjat pagar?"
Tentu saja Nabi Dawud yang sedang duduk di balik pagar itu, suatu tempat yang khas buat Nabi Dawud bermunajat kepada Allah SWT, baik dalam kedudukan beliau sebagai raja atau dalam kedudukan beliau seorang Nabi dan Rasul. Adalah saat-saat yang orang tidak begitu saja mudah masuk ke dalam majelisnya. Bahkan di dalam agama Islam telah diatur sopan santun menemui Nabi atau menemui manusia dalam rumah tangganya. Terlarang menemui sesudah shalat Isya, sebelum shalat Shubuh dan seketika orang membukai baju yang lekat di tubuhnya buat istirahat siang (zhahirah). (Lihat surah an-Nuur ayat 58 dalam Juz 18).
Sekarang orang-orang itu masuk saja ke dalam tempat khalwat Nabi Dawud dengan memanjat pagar. Itu adalah hal yang mengejutkan dan melanggar aturan sopan santun. Tersebut dalam ayat seterusnya,
Ayat 22
“Seketika mereka itu masuk kepada Dawud, maka terkejutlah dia dari mereka."
Terkejut beliau dari sebab kedatangan mereka memanjat dinding itu, karena ha! demikian luar biasa. Sebagai raja pastilah beliau berpengawal. Kalau mereka masuk dari pintu biasa tentu akan adanya permohonan izin lebih dahulu dari pengawal. Mungkin juga orang-orang ini merasa akan sukar bertemu dengan Nabi Dawud, yang meskipun beliau memang seorang Nabi, namun beliau adalah pula seorang raja. Kalau mereka lalui prosedur yang biasa, tidaklah akan berhasil masuk. Begitu barangkali. Tetapi Nabi Dawud dengan sendirinya terkejut.
Lalu, “Mereka berkata, janganlah takut! ini adalah dua orang berperkara, seorang di antara kami berbuat aniaya atas yang seorang." Oleh sebab “,Maka hukumlah di antara kami dengan benar." Yaitu hukum yang adil, air yang jernih, sayap yang landai."Dan janganlah menyimpang “ dari keadilan, sehingga yang teraniaya merasa kembali haknya dengan benar.
“Dan beri tunjuklah kami selurus-lurus jalan."
Niscaya mulailah Nabi Dawud dalam kedudukan belaiu sebagai Hakim Tertinggi mengadakan' pertanyaan dan penyelidikan
kepada yang bertanya, bagaimana duduk soal. Lalu yang mengadu menguraikannya,
Ayat 23
“Sesungguhnya dia ini adalah saudaraku."
“Saudara “ kita jadikan arti dari akhi. Orang yang satu ayah dan satu ibu disebut akh. Orang yang satu ayah saja lain ibu disebut akh juga. Orang yang satu ibu lain ayah juga disebut akh. Orang beriman sesama beriman, disebut akh juga. Menurut tafsir dari Abdullah bin Mas'ud, yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim arti saudaraku dalam ayat ini ialah kawanku seagama."Dia mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing, sedang aku hanya mempunyai seekor kambing saja." Besar kemungkinan bahwa kedua orang bersaudara atau berkawan ini menggembalakan kambing pada tempat yang berdekatan atau pada satu padang rumput, sehingga berjumpa juga tiap hari; seorang menggembala sembilan puluh sembilan ekor dan yang seorang lagi menggembalakan hanya satu ekor. Mungkin kian lama kian berangan-angan yang mempunyai sembilan puluh sembilan ekor itu, kalau kambing yang hanya seekor itu digabungkan saja kepada kambingnya yang 99 ekor, niscaya cukuplah kambingnya 100 ekor. Angan-angan seperti ini senantiasa tumbuh pada orang yang timbal kelobaan apabila dia telah mulai kaya. Dia hendak bertambah kaya lagi. Dengan bermacam akal dia hendak mencoba menambah kekayaan itu. Tetapi orang yang berkambing satu ekor itu, meskipun kambingnya hanya satu, dia tetap hendak mempertahankan haknya. Kian sehari kian bertambahlah keinginan si kaya hendak mempunyai kambing si miskin itu.
“Lalu dia berkata, “Serahkan kepadakulah kambingmu itu! “Dan dia mengalahkan daku dalam pertengkaran."
Itulah bunyi pengaduan saudara yang miskin kepada Nabi Dawud tentang perangai saudaranya yang kaya itu terhadap dirinya.
Ayat 24
“Berkata dia, (yaitu Nabi Dawud), “Sesungguhnya dia telah menganiaya engkau dengan meminta menggabungkan kambing engkau itu ke dalam kambingnya yang banyak itu."
Untuk menjelaskan kebenaran penjelasan Nabi Dawud ini, hendaklah kita ingat tentang kambing itu sendiri. Dalam ayat disebutkan = na'jatun, yang berarti kambing betina. Niscaya si miskin yang hanya mempunyai seekor kambing betina itu tidak akan mau menyerahkan kambingnya, walaupun hanya seekor, buat digabungkan ke dalam kambing temannya yang 99 ekor itu. Dia tidak mau memisah dan menggembala ke tempat yang jauh karena dia mengharap agar kambing jantan kepunyaan si kaya satu waktu bisa mengawan11 dengan kambing betinanya. Tentu kambing betinanya akan mengandung, maka akan bertambahlah kambingnya. Inilah rupanya yang tidak menyenangkan hati si kaya. Mungkin timbul dengki dalam hati si kaya, kalau-kalau si miskin akan banyak pula kambingnya, sedang asal-usul kambing itu dari anak kambing jantannya sendiri. Maka timbullah rupanya suatu waktu pertengkaran, karena si kaya ternyata ingin hendak mempunyai kambing betina yang satu ekor kepunyaan temannya itu. Mungkin pula mulanya secara halus, secara bujuk rayu dan sebagainya, namun si miskin tetap mempertahankan haknya. Akhirnya karena mereka mempunyai raja yang adil merangkap Nabi yang dihormati, mereka pergi bertahkim kepada nabi dan raja mereka, Nabi Dawud. Maka keluarlah keputusan Nabi Dawud sebagaimana tersebut itu, yaitu bahwa yang kaya berkambing 99 ekor itu telah berlaku aniaya, jika dia memaksa atau membujuk hendak mengambil atau menggabungkan kambing betina yang seekor kepunyaan temannya itu kepada kambingnya
Binatang disebut “mengawan". Manusia, “bersetubuh" yang banyak. Karena sebagaimana dia sendiri merasa senang dan bangga karena mempunyai banyak kambing, maka kawan yang mempunyai kambing seekor itu, walaupun sekarang seekor, karena kambing itu betina, dia pun ingin pula berkambing banyak, dan harapan itu tetap ada, asal si kaya sudi membantu, bukan hendak menguasai.
Lalu Nabi Dawud meneruskan nasihat dan pandangan beliau tentang pergaulan hidup manusia. Kata beliau selanjutnya, “Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang yang sepergaulan berlaku sewenang-wenang setengah mereka itu kepada yang setengah." Artinya, pada mulanya pergaulan itu baik-baik saja, aman dan damai. Tetapi kalau sudah ada yang merasa kuat dari yang lain, mulai berangsur yang kuat itu hendak menindas yang lemah. Untuk mendekatkan perumpamaan ini kepada ingatan kita, ingatlah persamaan kita seluruh bangsa Indonesia pada permulaan perjuangan kemerdekaan.
Orang kota dan orang desa, petani dan saudagar, tentara dan pemuda, yang kaya dan yang miskin, semuanya merasa sama. Tetapi dari tahun ke tahun, setelah keadaan damai dan tenang, mulailah ada yang lebih kuat menindas yang lemah, yang kaya memamerkan kekayaannya di hadapan yang miskin."Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh, tetapi amat sedikit orang semacam itu."
Inilah hukum dan hikmah yang dilontarkan Nabi Dawud kepada kedua orang yang berperkara itu. Beliau terangkan secara sejelas-jelasnya, tiada tedeng aling-aling. Di-jelaskannya kepada yang lemah bahwa engkau teraniaya, ditegurnya yang merasa kuat bahwa perbuatan engkau itu salah. Lalu beliau jelaskan bahwa yang sebaik-baik hidup dalam pergaulan bersama ialah harga-menghargai dengan dasar iman kepada Allah dan beramal saleh, berbuat baik untuk sesama manusia. Meskipun kecil jumlah orang yang setia memegang pendirian ini, lebih baiklah pegang pendirian orang yang sedikit itu. Karena keamanan di antara orang sepergaulan, lebih mulia daripada hanya mengumpulkan kekayaan.
“Dan tahulah Dawud bahwa Kami sedang mengujinya, maka bersujudlah dia dan bertobat."
Berartilah, bahwa telah selesai beliau menghadapi perkara kedua orang yang datang sambil memanjat pagar atau dinding itu. Yang membuat beliau terkejut. Terkejut karena menyangka agaknya, bahwa orang-orang itu bermaksud jahat. Ternyata dan duduk persoalan yang dikemukakan oleh yang merasa teraniaya itu, bahwa mereka bukan orang jahat atau bermaksud jahat. Besar kemungkinan mereka masuk dengan melanggar peraturan yang berlaku, masuk rumah dari pintunya, dan kalau hendak menghadap raja hendaklah berurusan terlebih dahulu dengan pengawal yang berlapis, yang berlaku di segala zaman sejak dahulu sampai zaman kita sekarang, telah mereka langgar karena merasa sukar bertemu dengan rajanya kalau melalui peraturan yang biasa itu. Maka setelah keputusan beliau berikan, yang teraniaya merasa tertolong, yang menganiaya insaf dari kesalahannya, bersyukurlah beliau kepada Allah ﷻ atas selesainya urusan itu."Yang kusut sudah bisa diselesaikan dan yang keruh sudah dapat dijernihkan."
Orang-orang yang biasa mengurus suatu perkara, akan dapatlah mengerti bagaimana bersyukurnya Nabi Dawud pada masa itu. Dan terasa pulalah oleh Nabi Dawud, bahwa orang memanjat dinding ini bukanlah musuh atau bahaya, melainkan nikmat Allah ﷻ yang datang kepadanya. Sebab pada ayat 20 terdahulu sudah dijelaskan, bahwa dia telah dianugerahi oleh Allah hikmah, yaitu kebijaksanaan memerintah dan kesanggupan memutuskan perkara-perkara yang sulit diputuskan. Maka mafhumlah Dawud, bahwa
Allah ﷻ sedang mengujinya dan dia lepas dari ujian dengan selamat. Lalu rukulah dia langsung sujud sekali, alamat bersyukur atas karunia Allah ﷻ itu dan bertobatlah dia, memohon maaf atas kesalahterimaannya yang mula-mula, yang membuat terkejut.
Maka dianjurkan pulalah kita oleh Nabi kita Muhammad ﷺ apabila kita membaca surah Shaad ini, bila sampai di akhir ayat 24 ini supaya kita pun bersujud pula kepada Allah SWT, yang disebut sujud syukur dan sujud tilawah. Bagi Dawud adalah syukur lepas dari ujian, bagi kita ialah sujud tilawah karena memang bunyi ayat membuat kita patut bersujud.
Ayat 25
“Maka Kami beri ampunlah dia atas yang demikian itu."
Seorang Rasul yang budinya pastilah sangat luhur, kealpaan yang sedikit saja pun menyebabkan dia segera memohon ampun kepada Allah dan Allah pun segera pula memberi ampun, bahkan dipuji disanjungnya hamba-Nya itu dengan firman-Nya pada akhir ayat;
“Dan sesungguhnya baginya di sisi Kami adalah sangat dekat dan sebaik baik kembali."
Dipuji disanjung beliau setinggi-tingginya sebagai seorang hamba Allah yang sangat dekat kepada Allah dan selalu dia kembali kepada Allah SWT, memulangkan urusannya kepada Allah, dengan sebaik-baiknya.
Ada juga setengah ahli tafsir mengatakan kealpaan Nabi Dawud terletak ialah karena beliau tergesa saja mengeluarkan pertimbangan beliau, bahwa saudara si miskin yang berkambing betina seekor itu belum ditanyai terlebih dahulu, sedang beliau telah bersikap menyalahkannya saja dan memutuskan, bahwa perbuatannya membujuk hendak mengga-bungkan kambing yang seekor itu kepada kambing yang sembilan puluh sembilan adalah perbuatan zalim. Maka memohon ampunlah beliau kepada Allah ﷻ karena kurang usul periksa langsung saja menjatuhkan hukum.
Maka banyak pulalah pembicaraan ahli tafsir dalam penafsiran kejadian ini. Ada yang menyangkut kejadian ini dengan suatu kisah yang tertulis di dalam Kitab Perjanjian Lama, Samuel II, Pasal 11, tentang Nabi Dawud; pada suatu hari berjalan-jalan di atas sutuh istananya, tiba-tiba kelihatan olehnya seorang perempuan sedang mandi bertelanjang. Pe-rempuan itu sangat cantik. Lalu Dawud menyuruh menyelidiki perempuan itu siapa. Lalu didapat keterangan bahwa dia itu istri dari seorang pahlawan perangnya yang bernama Uria. Maka Dawud mendapat akal yang sangat buruk, yaitu dikirimnya perintah kepada Panglima Perangnya yang bernama Yoab, supaya Uria itu dibawa ke medan perang dan diletakkan di barisan paling muka supaya dia mati terbunuh di medan perang. Maksud Dawud itu berhasil karena Uria memang mati di medan perang, lalu istrinya diambilnya.
Cerita di dalam Kitab Perjanjian Lama, Samuel II Pasal 11 itu di dalam kitab-kitab tafsir itu ditambah lagi, yaitu bahwa Nabi Dawud sedang shalat. Lalu hinggaplah seekor burung emas di muka beliau sedang shalat itu sehingga hati beliau tertarik kepadanya, lalu dihentikan shalat dan dikejarnya burung itu, sebab tampaknya sangat jinak. Setelah hampir dapat, burung itu terbang lagi ke atas sutuh istana baginda. Lalu beliau kejar pula ke sana. Sampai di sana kelihatanlah oleh beliau perempuan cantik sedang mandi di taman baginda, rambutnya yang panjang menutupi tubuhnya yang putih menarik itu, sehingga baginda lupa pula kepada burung emas yang sedang dikejarnya itu.
Diterangkan dalam tafsiran itu, bahwa orang yang memanjat pagar itu ialah malaikat. Mereka bertanya tentang 99 ekor kambing betina, dengan seekor lagi adalah sindirian belaka. Menurut tafsiran itu Dawudlah yang beristri 99 orang, dan Urialah yang beristri satu orang, lalu istrinya dirampas dan dia dikirim lebih dahulu ke medan perang. Kata tafsir itu, kedatangan orang-orang memanjat dinding itu adalah sebagai utusan Allah, malaikat-malaikat, guna memberi ingat Dawud akan kesalahannya. Setelah memberi ingat itu, dan keluar dari pengakuan Dawud sendiri bahwa perbuatan itu adalah aniaya, malaikat-malaikat itu gaib tidak kelihatan lagi. Maka insaflah Dawud akan dirinya, lalu segera dia bersujud memohon ampun dosanya itu kepada Allah.
Di antara yang menguatkan tafsir ini ialah Ibnu Jarir ath-Thabari dalam tafsir beliau.
Tetapi as-Sayuuthi dalam tafsir beliau, al-Ikliil memberi komentar demikian,
“Kisah yang mereka ceritakan tentang perempuan itu, bahwa Dawud jatuh hati kepadanya, lalu suaminya disuruhnya kirim ke medan perang supaya mati dalam pertemuan, dan memang mati: Hadits ini dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dari hadits Anas bin Malik, yaitu hadits marfu'. Tetapi dalam sanadnya bertemu nama Ibnu Luhai'ah. Keadaan dia ini dalam meriwayatkan hadits sangat dikenal (tidak dipercaya). Dia menerimanya dari Yazid ar-Raqaasyi, dan orang ini pun dhaif “
Berkata pula Ibnu Katsir dalam tafsirnya, “Kisah semacam ini kebanyakan diambil orang dari cerita-cerita Israiliyyat, dan tidak ada satu hadits kuat pun yang wajib kita ikuti, yang diterima sah dari Nabi yang ma'shum dalam hal seperti ini “
Ibnu Katsir pun menyebutkan pula bahwa terkejut Nabi Dawud ketika orang-orang ke dalam tempat beliau khalwat dengan memanjat pagar atau dinding ialah karena perbuatan itu di luar dugaan, sebab beliau sedang beribadah di dalam.
Keterangan Ibnu Katsir ini alhamdulillah sesuai dengan dugaan dan penafsiran kita yang telah kita uraikan di atas tadi, padahal kita menyusunnya sebelum membaca penjelasan Ibnu Katsir ini, yaitu dalam tahanan di Puncak pada bulan Mei 1964. Sedang tafsir Ibnu Katsir baru dapat dibaca setelah keluar dari tahanan Mei 1966.
Kemudian dari itu, Abu Muhammad ibnu Hazmin al-Andalusi, pemuka Madzhab Ahli zahir yang terkenal itu, ketika mempertahankan pendirian beliau bahwa Nabi-nabi Allah bersih dari dosa-dosa besar, di dalam kitab beliau al-Fishal dengan tegas dan keras menolak penafsiran yang disangkutkan dengan keterangan cerita Israiliyyat dalam Perjanjian Lama itu (Samuel II Pasal 11). Kata beliau,
“Apa yang diceritakan Allah dalam Al-Qur'an tentang Nabi Dawud adalah kata yang benar lagi shahih. Tidak sedikit pun membuktikan apa yang ditafsirkan oleh orang-orang tukang olok-olok, pembohong dan yang berpegang kepada cerita-cerita dongeng yang ditimbulkan oleh orang Yahudi.
Orang-orang yang berperkara itu adalah Anak Adam, tidak syak lagi. Mereka berper-kara dari hal kambing-kambing betina yang benar-benar terjadi di antara mereka. Yang seorang berlaku sewenang-wenang kepada yang seorang; jelas ditulis dalam ayat. Maka barangsiapa yang berkata bahwa mereka itu adalah malaikat karena hendak memberi ingat Dawud tentang perempuan yang suaminya dilemparkan ke medan perang sampai mati itu adalah tafsiran yang membuat dusta atas Allah Ta'aala. Mengatakan atas nama Allah barang yang tidak pernah dikatakan-Nya, Dan menambah pada Al-Qur'an barang yang tidak tersebut padanya. Ini adalah mendustakan Allah dan ini adalah pengakuan bahwa dirinya jahat. Membuat dusta pula atas malaikat. Dengan tafsiran yang dikemukakan orang-orang itu ayat Allah telah dibalik-balik. Karena Allah bertanya,
Ayat 21
“Adakah datang kepada engkau berita tentang orang yang berperkara?"
Cerita ini diubah, tidak ada perkara, melainkan dua orang berperkara. Tidak ada tindakan sewenang-wenang yang satu kepada yang lain, tidak ada urusan kambing betina 99 ekor, dan tidak pula ada kambing betina yang satu ekor tidak pula disebut “Serahkanlah kepadaku kambing itu! “
Seterusnya Ibnu Hazmin berkata, “Dan semua pemutarbalikan tafsir itu tidak ada dalilnya, malahan tuduhan semata-mata. Dan Demi Allah! Sedangkan kita orang biasa saja lagi memelihara dirinya dan kehormatan tetangganya, jangan sampai mencintai atau jatuh hati kepada istri tetangga, atau mencari tipu daya supaya suaminya segera mati, karena istrinya hendak dikawini. Apatah lagi tersebut pula dalam tafsir bahwa Dawud menghentikan shalatnya karena beliau melihat burung dari emas terbang hinggap dekat dia shalat. Semuanya ini adalah perbuatan orang-orang durjana, rendah dan fasik. Bukan perbuatan orang baik-baik dan orang yang bertakwa. Bagaimana akan dikatakan bahwa kelakuan ini pernah diperbuat oleh seorang Rasulullah yang bernama Dawud? Yang Allah pernah mewahyukan kitab-Nya (Zabur) kepadanya? Dan pernah sabda Allah ﷻ diucapkan oleh lidahnya? Allah telah membersihkan hatinya jangan sampai disentuh oleh maksud-maksud jahat, bagaimana itu akan menjadi laku perbuatannya?"
Dan kata Ibnu Hazmin lagi, “Adapun dia memohon ampun kepada Allah dan meniarap sujud, maka ingatlah bahwa perbuatan yang mulia itu adalah amal mulia dari nabi-nabi." Al-istighfaar, memohon ampun dan Allah ﷻ adalah perbuatan baik yang dilakukan oleh malaikat-malaikat dan nabi-nabi. Orang berdosa mengerjakan, orang tidak berdosa pun mengerjakannya juga. Nabi ﷺ memohonkan ampun untuk penduduk bumi semua. Sebagaimana yang tersebut dalam surah al-Mu'min ayat 7, malaikat di langit memohonkan ampun untuk orang-orang yang beriman,
“Dan mereka itu memohonkan ampun untuk orang-orang yang beriman, “Ya Tuhan kami! Telah Engkau luaskan rahmat-Mu atas tiap-tiap sesuatu maka beri ampunlah kiranya orang-orang yang telah bertobat dan mengikuti jalan Engkau, dan peliharalah mereka dari adzab neraka Sa'ir." (al-Mu'min: 7)
Tentang Nabi Dawud memohon diberi ampun, lalu Allah ﷻ memberi ampun sebagaimana yang disebutkan pada ayat 25 itu, menurut Ibnu Hazmin ialah karena Dawud merasa salah sangka kepada Allah SWT, dia menyangka bahwa dia dianugerahi kerajaan begitu besar adalah sebagai fitnah Allah ﷻ terhadap dirinya.
Tapi sudah kita salinkan tafsiran Ibnu Katsir, dia menafsirkan bahwa Nabi Dawud meminta ampun ialah karena dia terkejut, sebagaimana orang ketakutan karena ada orang masuk menghadapnya dengan memanjat pagar atau dinding. Dia salah sangka pada mulanya kepada orang-orang itu. Kemudian ternyata maksud orang itu adalah baik, yaitu meminta diberi hukum yang adil. Syekh Burhan al-Biqaaly memberi tafsir lagi, dia meminta ampun karena dia tergesa saja menjatuhkan hukuman, padahal keterangan yang didengarnya baru sebelah.
Nabi Muhammad ﷺ menganjurkan kepada umatnya, agar selalu memohon ampun kepada Allah SWT, sampai beliau berkata, “Aku sendiri meminta ampun kepada Allah SWT, sampai tujuh puluh kali dalam sehari semalam. Malahan di dalam shalat lima waktu, kita memohon ampun kepada Allah ﷻ sekurang-kurangnya tujuh belas kali, yaitu sebagai pangkal doa yang kita baca tiap-tiap kita duduk di antara dua sujud, yang dimulai dengan “Rabbigh firli."
“Ya Allah! Ampunilah aku."
Dan dianjurkan pula oleh Rasulullah ﷺ agar kita membaca istighfar, memohon ampun sekurang-kurangnya tiga kali setelah selesai menutup shalat dengan salam.
Syekh al-Burhan al-Biqaaly menulis pula dalam tafsirnya, “Cerita Nabi Dawud mencintai istri orang, lalu suaminya disuruh ke medan perang barisan depan agar mati di sana, supaya istrinya beliau ambil, adalah termasuk dalam rangkaian cerita-cerita bohong orang Yahudi."
Al-Qadhi lyadh menulis pula dalam asy-Syifaa', buah tangan beliau yang terkenal tentang Sejarah Nabi Muhammad ﷺ tentang cerita Nabi Dawud ini demikian,
“Adapun kisah Dawud, tidaklah wajib kita menoleh kepada apa yang ditulis oleh tukang-tukang cerita Ahlul Kitab yang telah menukar-nukar dan mengubah-ubah, lalu disalin oleh beberapa penafsir, padahal tidak ada nash (autentik) dari Allah sendiri tentang itu sedikit pun, dan tidak pula terdapat dalam hadits yang shahih."
Berkata ad-Dawuudi, “Tidak ada dalam kisah Dawud dan istri Uria itu suatu riwayat yang dapat dipegangi. Tidaklah patut disangka bahwa ada seorang Nabi yang ingin supaya seorang laki-laki mati karena hendak mengambil istrinya."
Zamakhsyari menyalinkan dalam tafsirnya al-Kasysyaf bahwa pada suatu hari Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang saleh itu duduk mendengarkan seorang menafsirkan ayat ini di hadapan beliau dengan membaca cerita Dawud dan istri Uria sebagaimana yang disebut-sebut itu. Dalam majelis itu hadir seorang alim yang selalu menggali hakikat kebenaran. Orang alim itu dengan tegas membantah cerita itu dengan katanya, “Apa yang tersebut di dalam Kitab Allah janganlah diberi tafsir yang lain. Bahkan sangat besar salahnya jika ditafsirkan dengan yang lain. Kalau memang benar sebagaimana yang engkau tafsirkan itu, padahal Allah Ta'aala sendiri telah menutupi rahasia Nabi-Nya, maka tidaklah layak bagi seorang seperti engkau membongkarnya pula."
Mendengar teguran orang alim itu berkatalah Umar bin Abdul Aziz, “Teguran yang engkau berikan itu sangat mahal harganya bagiku dan aku lebih gembira mendengarkannya daripada menunggu terbitnya matahari."
An-Naashir dalam tafsirnya al-lntishaaf menulis pula, “Penyelidik-penyelidik yang mendalam imam-imam kita yang telah menyelidiki secara mendalam telah mendapat kesimpulan bahwa nabi-nabi, seumpama Dawud dan lain-lain, adalah bersih dari akan jatuh kepada dosa yang kecil-kecil, apatah lagi dosa besar semacam itu."
Sebagaimana telah kita terangkan di atas tadi, bahwa cerita yang tersebut dalam Kitab Perjanjian Lama (Samuel II) Pasal 11 tentang Nabi Dawud timbul nafsu melihat istri Uria mandi bertelanjang, telah ditambah-tambah banyak sekali di dalam beberapa kitab tafsir. Dalam Samuel JI itu tidak ada disebutkan beliau shalat lalu terbang burung bertubuh emas, dan beliau terganggu shalat, bahkan dihentikannya shalat dan dikejarnya burung itu.
Siapa yang membuat cerita ini? Dari mana sumbernya? Tidak jelas.
Al-Qurthubi menyalinkan dalam tafsirnya cerita tentang penyesalan Dawud dari ke-salahannya itu, sambil beliau menangis tersedu-sedu menyesali dosanya dan bersujud empat puluh tahun lamanya sampai dari banyaknya air mata keluar, basahlah tanah tempat sujud dan lantaran itu tumbuhlah rumput di sana.
Al-Qurthubi menyalinkan riwayat dari salah seorang sumber cerita-cerita semacam ini, yaitu Wahab bin Munabbih bahwa setelah empat puluh tahun dia bersujud dan menangis, datanglah Jibril memberitahu bahwa dosanya telah diampuni Allah SWT,
namun dia belum juga mau mengangkat kepalanya. Maka bertanyalah Jibril mengapa dia masih belum mengangkat kepala padahal dosanya telah diampuni, dia menjawab bahwa dia belum puas. Lalu Allah ﷻ menyuruhnya ziarah ke kuburan Uria. Dia pun pergi ke sana dan mengucapkan salam kepada Uria dan memanggil dia, “Wahai saudaraku Uria! Uria menjawab dari dalam kuburnya, “Labbaik. Siapa yang memanggil aku dan memutuskan daku dari kelezatanku? Siapa yang membangunkan daku dari nyenyak tidurku?"
Dawud menjawab, “Aku, saudaramu Dawud. Aku datang kemari meminta maaf dan kerelaanmu, sebab akulah yang mendorongkan engkau ke garis depan sampai mati terbunuh."
“Terima kasih aku ucapkan kepada engkau. Sebab dengan melalui pintu syahid itu engkau dorongkan daku masuk surga. Aku maafkan kesalahanmu."
Disebutkan lagi bahwa sejak dia sadar dari kesalahannya itu, dia tidak mau duduk kecuali bersama orang-orang yang bersalah. Dan dia tidak mau minum kalau tidak ber-campur dengan air matanya. Dia selalu membawa roti kering buat dimakan, dan roti itu baru basah dan lunak kena air matanya. Sebelum dia menyesal dari salahnya—kata cerita itu pula—separuh malam dia shalat dan puasa berganti hari. Tetapi sejak dia menyesali dosanya, dia shalat semalam penuh dan puasa setahun penuh. Dia meminta kepada Allah ﷻ agar dosanya itu dituliskan di telapak tangannya, supaya dia insaf dan menyesal terus. Permohonannya dikabulkan dan dosa itu pun tertulis di tangannya."
Kita salinkan cerita ini sedikit, untuk diketahui oleh kita dengan pikiran jernih, bagai-mana orang melanjutkan karangan khayal tentang Nabi Dawud, sehingga kalau kita terima berita ini keseluruhannya, hendaklah kita tolak keterangan Al-Qur'an bahwa Dawud adalah seorang raja yang kuat pemerintahannya dan dianugerahi Allah hikmah kebijaksanaan dan tangkas memutuskan suatu perkara. Dia nabi dan dia raja.
Kalau cerita ini akan diterima, janganlah ditanyakan, bagaimana mungkin seorang bersujud sampai empat puluh tahun, bersujud sambil menangis, dan air mata jatuh ke bumi, sampai bumi menjadi basah dan subur, sampai rumput tumbuh di situ.
Kesimpulannya, bahwa cerita Nabi Dawud yang dianugerahi Allah kerajaan, bahwa beliau timbul nafsu melihat perempuan mandi telanjang, dan kebetulan perempuan itu berlaki, lalu lakinya beliau kirim ke medan perang garis depan, agar mati di sana, dan memang mati, lalu istrinya dikawininya, terdapat dalam Kitab Perjanjian Lama (Samuel II), Pasal 11. Kita sebagai Muslim yang mempercayai kesucian Nabi-nabi dan Rasul-rasul Allah tidaklah percaya akan berita itu. Dan kita sudah diberi ingat oleh Al-Qur'an sendiri bahwa keaslian dari kitab-kitab Perjanjian Lama itu tidak dijamin lagi. Sudah banyak yang ditukar dan diubah-ubah. Tidak pula terang siapa yang menulis atau mengarang cerita demikian.
Niscaya kita lebih tidak percaya pula kepada tambahan-tambahan yang disunting-kan oleh setengah ahii-ahli tafsir, sebagaimana tambahan dan cerita Perjanjian Lama itu. Siapakah Nabi Dawud, sehingga sampai beliau menghentikan shalatnya karena melihat burung emas? Siapakah Nabi Dawud itu sehingga pergi mengintip orang perempuan mandi bertelanjang dari atas sutuh istananya? Siapakah Nabi Dawud, sehingga sampai hati mengirim suami perempuan itu ke medan perang ke garis depan?
Kemudian disebutkan Nabi Dawud tobat dan menyesal atas dosanya. Sampai disebut menangis dan sujud empat puluh tahun, sampai tumbuh rumput di tempat air matanya titik? Apakah coraknya dan bentuknya kaum Muslimin yang bisa saja menerima cerita yang semacam itu?
Dan tidaklah kita berdosa kalau tidak percaya cerita-cerita itu.
Ayat 26
“Hat Dawud! Sesungguhnya Kami telah menjadikan engkau khalifah di muka bumi."
Tentang arti dan makna khalifah sudah banyak kita temui di dalam kitab-kitab tafsir, dan telah kita uraikan pula pada Tafsir Juz pertama, seketika Allah menyatakan kepada malaikat-malaikat bahwa Dia hendak mengadakan khalifah di muka bumi. Makna yang dekat dengan khalifah ialah pengganti atau pelaksana.
Adam sebagai Bapak pertama dari manusia dapatlah dianggap sebagai Khalifah Allah di muka bumi, untuk dengan akal budi yang dianugerahkan Allah kepadanya, atau kepada manusia memperlihatkan bagaimana kekuasaan Ilahi melalui wahyu-Nya kepada Nabi-nabi dan ilham-Nya kepada manusia yang berpikir, sehingga muka bumi ini menjadi makmur karena perbuatan manusia. Adapun Dawud sekarang ini, bolehlah dia diartikan menyambut tugas Adam jadi khalifah dari Allah, atau khalifah dari generasi yang terdahulu dari dia. Sebab Dawud adalah keturunan dari Ibrahim, dari Ishaq dan Ya'qub melalui Bani Israil. Menilik kepada kedudukannya sebagai raja dari Bani Israil, kedudukannya jadi khalifah itu sudah bukan semata-mata menjadi Rasul dan Nabi saja lagi, bahkan juga jadi pemegang kekuasaan. Maka supaya jabatan jadi khalifah itu berjalan dengan baik, mengisi fungsinya diberilah beberapa pesan oleh Allah ﷻ Pertama, “Maka hukumlah di antara manusia dengan benar." Hukum yang benar ialah hukum yang adil. Di antara kebenaran dengan keadilan adalah satu hal yang memakai nama dua. Yang benar itu juga dan yang adil itu juga, kalau sudah benar pastilah dia adil. Kalau sudah adil pastilah dia benar."Dan janganlah engkau perturutkan hawa." Hawa ialah kehendak hati sendiri yang terpengaruh oleh rasa marah atau kasihan, hiba atau sedih, dendam atau benci. Dalam bahasa asing yang telah dipakai rata dalam bahasa kita bahwa hawa itu ialah emosi atau sentimen. Lalu dilanjutkan bahaya yang akan mengancam jika seorang penguasa menjatuhkan suatu hukum dipengaruhi oleh hawanya, “Niscaya dia akan menyesatkan engkau dari jalan Allah." Artinya, kalau seorang penguasa, atau dia bergelar raja, sultan, khalifah, presiden, atau yang lain tidaklah lagi menghukum dengan benar dan adil, malahan sudah hawa yang jadi hakim, putuslah harapan orang banyak akan mendapat perlindungan hukum dari yang berkuasa dan hilanglah keamanan jiwa dalam negara.
“Sesungguhnya orang-orang yang tersesat dari jalan Allah, untuk mereka adzab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.'"
Sungguh-sungguh kekuasaan itu suatu ujian yang berat. Kekuasaan bisa saja me-nyebabkan orang lupa dari mana dia menerima kekuasaan itu, lalu dia berbuat sewenang-wenang berkehendak hati. Sebab itu disalahgunakannya kekuasaan. Dalam hukum masya-rakat di dunia ini batinnya akan disiksa oleh kekuasaan itu sendiri. Diktator-diktator yang besar-besar ada yang jadi gila karena kekuasaan. Di akhirat mereka akan diadzab. Sebab seseorang penguasa tidaklah datang meningkat naik saja. Dia naik ialah karena menerima jabatan dari yang digantikannya. Sebelum dia menggantikan, dia belum ada apa-apa. Setelah itu dia akan mati. Sehari putus nyawa, kekuasaan tidak ada lagi. Yang ditunggu ialah perhitungan di akhirat. Seorang raja, seorang menteri, seorang budak belian, seorang hamba sahaya, sama saja martabatnya di muka Allah ﷻ kelak. Di sana martabat manusia hanya ditentukan oleh ketakwaannya.
Dikatakan bahwa orang yang telah menempuh jalan Allah ﷻ itu lalu menurutkan jalan hawa ialah karena mereka lupa hari perhitungan, hari Kiamat. Kalau dia ingat itu tentu dia sediakan bekal untuk nanti, untuk keselamatan di hari itu. Tidak ada artinya kemegahan dunia maya ini jika dibandingkan dengan hisab di akhirat.
Maka tersebutlah dalam sejarah bahwa seorang Khalifah Bani Umayah, yang bernama al-Walid bin Abdul Malik, bertanya kepada ulama besar Abu Zar'ah, “Apakah seorang khalifah akan dihisab juga di hari Kiamat? Engkau telah banyak membaca kitab orang dulu-dulu, dan Al-Qur'an pun telah engkau selidik. Bagaimana katanya di sana?"
Abu Zar'ah menyambut, “Ya Amirul Mu'minin, bolehkah aku bercakap?"
“Boleh. Bebas. Katakanlah terus-terang, engkau aman." Jawab Amirul Mu'minin.
Lalu berkata Abu Zar'ah, “Ya Amirul Mu'minin, andakah yang lebih mulia di sisi Aliah atau Nabi Dawud? Nabi Dawud berkumpul padanya nubuwwat dan khilafat, namun dia diwajibkan oleh Allah menghukum kepada manusia dengan benar dan jangan memper-turutkan hawa, dan diancam bahwa orang yang memperturutkan hawanya ialah orang yang lupa akan hari perhitungan."
Khalifah terdiam.
Filsuf, ahli fiqih, dan ahli tafsir yang agung, Fakhruddin ar-Razi menulis dalam tafsirnya, “Ketahuilah bahwa manusia telah ditakdirkan Allah ﷻ suka akan hidup yang lebih maju dan bergaul. Karena hidup seorang saja tidaklah mungkin mencapai apa yang diperlukan, padahal masyarakat bersama ada. Dengan persamaan terjadi pembagian kerja, ini petani, itu menumbuk gandum, sana membuat roti, yang lain menenun dan yang lain menjahit. Semua ada tugasnya dan semua tugas penting, dan tersusun kerja semua untuk maslahat semua. Bertambah jelas bahwa manusia hidup bermasyarakat. Kalau mereka berkumpul hanya pada satu tugas, akan terjadi silang sengketa dan perebutan. Sebab itu mesti ada yang sanggup menguasai semua dan mengatur semua, sehingga perselisihan dapat didamaikan. Pengatur itulah pemerintah. Itulah penguasa yang wibawa hukumnya dapat ditaati oleh semua. Oleh sebab itu, tidaklah mungkin kemaslahatan bersama bisa diatur kalau tidak ada kekuasaan yang ditakuti dan yang mengatur. Kalau penguasa tertinggi itu menghukum hanya menurut hawanya saja dan karena mementingkan kemuslihatan diri dan dunianya saja, akan besarlah bencananya atas orang banyak. Karena dia telah menjadikan rakyatdikorbankanuntukkepentingan dirinya, mereka dijadikannya jembatan pencapai maksudnya. Yang demikian tentu akan membawa kerusakan dan kekacauan, dan akhirnya akan membawa si penguasa itu sendiri ke dalam kebinasaan. Tetapi kalau hukum raja itu sesuai dengan syari'at Ilahi, teraturlah kemuslihatan umum, terbukalah segala pintu kemakmuran dengan sebaik-baiknya. Itulah yang dimaksud dengan ayat, “Maka hendaklah engkau menghukum di antara manusia dengan benar." Logikanya ialah menurutkan hawa membawa sesat, sesat membawa adzab Allah SWT, natijahnya ialah menurutkan hawa menyebabkan adzab Allah.
Ar-Razi, dengan berasalan kepada ayat pengangkatan Allah atas diri Dawud menjadi khalifah di muka bumi ini membatalkan dongeng-dongeng yang disusun orang tentang beliau mengintip istri orang mandi telanjang, lalu mengirim suaminya supaya mati di medan perang, dan menangkis lagi dongeng mengatakan dia menangis empat puluh tahun sampai basah bumi oleh air matanya dan tumbuh rumput pada bumi yang telah basah itu.
***