Ayat
Terjemahan Per Kata
وَسَوَآءٌ
dan sama saja
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
ءَأَنذَرۡتَهُمۡ
apakah kamu beri peringatan mereka
أَمۡ
atau
لَمۡ
tidak
تُنذِرۡهُمۡ
kamu beri peringatan
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka akan beriman
وَسَوَآءٌ
dan sama saja
عَلَيۡهِمۡ
atas mereka
ءَأَنذَرۡتَهُمۡ
apakah kamu beri peringatan mereka
أَمۡ
atau
لَمۡ
tidak
تُنذِرۡهُمۡ
kamu beri peringatan
لَا
tidak
يُؤۡمِنُونَ
mereka akan beriman
Terjemahan
Sama saja bagi mereka, apakah engkau (Nabi Muhammad) memberi peringatan kepada mereka atau tidak. Mereka (tetap) tidak akan beriman.
Tafsir
(Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka) dapat dibaca Tahqiq dan dapat pula dibaca Tas-hil (ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman.).
Tafsir Surat Yasin: 8-12
Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula) dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman. Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, walaupun dia tidak melihatnya.
Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuz). Allah ﷻ berfirman, "Sesungguhnya Kami menjadikan perumpamaan mereka yang telah dipastikan oleh Kami sebagai orang-orang yang celaka dalam hal mencapai petunjuk, sama dengan orang yang lehernya dibelenggu, lalu kedua tangannya disatukan dengan lehernya dalam belenggu itu sehingga kepalanya terangkat dan tidak dapat berbuat sesuatu apa pun." Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: maka karena itu mereka tertengadah. (Yasin: 8) Al-muqmah artinya orang yang terangkat kepalanya, seperti yang dikatakan oleh Ummu Zari' dalam ucapannya, "Saya minum dengan menengadahkan kepala," maksudnya dia minum hingga kenyang dengan menengadahkan kepalanya agar air mudah masuk dan menyegarkan.
Dan sudah dianggap cukup hanya menyebut 'belenggu pada leher' tanpa menyebut 'kedua tangan', sekalipun pada kenyataannya kedua tangan pun dibelenggu pula menjadi satu dengan leher. Sebagaimana pengertian yang terdapat di dalam perkataan seorang penyair, yaitu: ......... Aku mengetahui bila menuju suatu tempat untuk mencari kebaikan, manakah di antara keduanya (baik atau buruk) yang akan kuperoleh. Apakah kebaikan yang menjadi tujuanku yang akan kuperoleh ataukah keburukan yang tidak kuinginkan yang akan kuperoleh.
Dalam bait pertama hanya disebutkan kebaikan, tanpa menyebutkan keburukan, dan sudah cukup dimengerti dari konteks kalimatnya. Demikian pula halnya pengertian dalam ayat ini, mengingat belenggu itu hanya dipakai untuk mengikat kedua tangan bersama dengan leher, maka dianggap cukup hanya dengan menyebutkan leher saja tanpa kedua tangan, karena pengertiannya sudah termasuk di dalamnya. Al-Aufi telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka, lalu tangan mereka (diangkat) ke dagu, maka karena itu mereka tertengadah. (Yasin: 8) Bahwa ayat ini semakna dengan ayat lain yang mengatakan: Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu. (Al-Isra: 29) Yakni tangan mereka terikat ke leher mereka sebagai kata kiasan yang menunjukkan bahwa tangan mereka tidak mau diulurkan untuk memberi kebaikan.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: maka karena itu mereka tertengadah. (Yasin: 8) Mereka menengadahkan kepalanya, sedangkan tangan mereka diletakkan di mulut mereka dan mereka terbelenggu tidak mendapatkan kebaikan apa pun. Firman Allah ﷻ: Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding. (Yasin: 9) Menurut Mujahid, dinding itu menutupi mereka dari kebenaran sehingga mereka kebingungan, yang menurut Qatadah disebutkan berada dalam kesesatan.
Firman Allah ﷻ: dan kami tutup (mata) mereka. (Yasin: 9) Yakni Kami tutup mata mereka dari kebenaran. sehingga mereka tidak dapat melihat. (Yasin: 9) Maksudnya, tidak dapat mengambil manfaat dari kebaikan dan tidak mendapat petunjuk untuk menempuh jalan kebaikan. Ibnu Jarir mengatakan, telah diriwayatkan seterusnya dari Ibnu Abbas, bahwa ia membaca ayat ini dengan bacaan "" dengan memakai huruf 'ain bukan gin, berasal dari akar kata al-asya yang artinya suatu penyakit yang mengenai mata.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa Allah ﷻ menjadikan dinding ini antara mereka dan Islam serta iman, karenanya mereka tidak dapat menembusnya. Lalu Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam membaca firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97) Kemudian ia mengatakan bahwa orang yang telah dicegah oleh Allah ﷻ pasti tidak mampu. Ikrimah mengatakan, bahwa Abu Jahal pernah berkata, "Sekiranya aku melihat Muhammad, sungguh aku akan melakukan anu dan anu." Maka turunlah firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Kami telah memasang belenggu di leher mereka (Yasin: 8) sampai dengan firman-Nya: sehingga mereka tidak dapat melihat. (Yasin: 9).
Ikrimah melanjutkan, bahwa mereka mengatakan, "Inilah Muhammad." Tetapi Abu Jahal bertanya, Mana dia, mana dia ?" Ternyata dia tidak dapat melihatnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Jarir. Muhammad ibnu Ishaq mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Ziad dari Muhammad ibnu Ka'b yang mengatakan, bahwa Abu Jahal pernah berkata saat mereka sedang duduk, "Sesungguhnya Muhammad mengira bahwa jika kalian mengikutinya, pastilah kalian akan menjadi raja-raja.
Dan apabila kalian telah mati, maka kelak akan dibangkitkan hidup kembali sesudah mati kalian, lalu kalian akan mendapatkan taman-taman surga yang lebih baik daripada taman-taman negeri Yordan. Dan jika kalian menentangnya, maka kalian akan disembelih olehnya (yakni dibunuh), kemudian kalian dibangkitkan sesudah mati kalian dan kalian akan mendapat neraka tempat kalian disiksa di dalamnya. Lalu Rasulullah ﷺ saat itu keluar menyambut mereka, sedangkan di tangan beliau ﷺ terdapat segenggam pasir, dan Allah ﷻ telah menutup pandangan mereka dari Nabi ﷺ, maka Nabi ﷺ menaburkan pasir itu di atas kepala mereka seraya membaca firman-Nya Ya sin. Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah. (Yasin: 1-2) sampai dengan firman-Nya: Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. (Yasin: 9); Sedangkan Rasulullah ﷺ pergi menunaikan keperluannya, dan mereka semalaman mengincar keluarnya Nabi ﷺ di depan pintu rumahnya, sehingga keluarlah seseorang sesudah itu dari pintu yang dipakai keluar oleh Nabi ﷺ dari rumah beliau ﷺ, lalu orang itu bertanya keheranan, "Sedang apa kalian di sini?" Mereka menjawab, "Kami sedang menunggu Muhammad." Orang tersebut menjawab, "Dia telah keluar melalui kalian, dan tiada seorang pun dari kalian, melainkan Nabi ﷺ telah meletakkan pasir di atas kepalanya, lalu beliau pergi menuju ke tempat keperluannya." Maka tiap-tiap orang dari mereka menepiskan debu dari kepalanya.
Ikrimah melanjutkan kisahnya, bahwa akhirnya sampai kepada Nabi ﷺ perkataan Abu Jahal tersebut. Maka beliau bersabda: Dan aku akan menegaskan hal tersebut, bahwa sesungguhnya aku akan membunuh mereka dan sesungguhnya aku benar-benar akan menghukum mereka Firman Allah ﷻ: Sama saja bagi mereka apakah kamu memberi peringatan kepada mereka ataukah kamu tidak memberi peringatan kepada mereka, mereka tidak akan beriman. (Yasin: 10) Allah telah memastikan kesesatan atas diri mereka, karenanya tidak ada faedahnya lagi peringatan untuk mereka dan mereka tidak akan terpengaruh oleh peringatan.
Hal yang semisal telah disebutkan di dalam tafsir surat Al-Baqarah; dan ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang telah pasti terhadap mereka kalimat Tuhanmu, tidaklah akan beriman, meskipun datang kepada mereka segala macam keterangan, hingga mereka menyaksikan azab yang pedih. (Yunus: 96-97) Adapun firman Allah ﷻ: Sesungguhnya kamu hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan. (Yasin: 11) Sesungguhnya orang-orang yang mengambil manfaat dari peringatanmu hanyalah orang-orang yang beriman, yaitu mereka yang mau mengikuti peringatan itu alias Al-Qur'an.
dan yang takut kepada Tuhan Yang Maha Pemurah, walaupun dia tidak melihat-Nya. (Yasin: 11) Yakni manakala tiada seorang pun yang melihatnya selain hanya Allah ﷻ, karena ia mengetahui bahwa Allah ﷻ Maha Melihat kepadanya dan Maha Mengetahui segala yang diperbuatnya Maka berilah mereka kabar gembira dengan ampunan dan pahala yang mulia. (Yasin: 11) Yaitu ampunan dari dosa-dosanya dan pahala yang banyak, luas, baik, dan indah. Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya Yang tidak tampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. (Al-Mulk: 12) Adapun firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati. (Yasin: 12) Yakni kelak di hari kiamat.
Di dalam makna ayat terkandung isyarat yang menunjukkan bahwa Allah ﷻ dapat menghidupkan hati orang yang dikehendaki-Nya dari kalangan orang-orang kafir yang hatinya telah mati karena kesesatan, maka Allah memberinya petunjuk kepada jalan yang benar sesudah itu. Sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya sesudah menerangkan tentang orang-orang yang hatinya keras: Ketahuilah olehmu bahwa sesungguhnya Allah menghidupkan bumi sesudah matinya. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepadamu tanda-tanda kebesaran (Kami) supaya kamu memikirkannya (Al-Hadid: 17) firman Allah ﷻ: dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan. (Yasin: 12) Yaitu semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan.
Dan sehubungan dengan makna firman-Nya: dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Ya sin: 12) Ada dua pendapat yang mengenainya. Pendapat pertama, mengatakan bahwa Kami mencatat semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan, juga jejak-jejak mereka yang dijadikan suri teladan sesudah mereka tiada, maka Kami membalas amal perbuatan itu. Jika amal perbuatannya baik, maka balasannya baik; dan jika amal perbuatnnya buruk, maka balasannya buruk pula.
Seperti yang disebutkan di dalam hadis Nabi ﷺ yang mengatakan: ". Barang siapa yang mengerjakan suatu sunnah (perbuatan) baik, maka ia memperoleh pahalanya dan juga pahala dari orang-orang yang mengikuti jejaknya sesudah ia tiada, tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan buruk, maka ia akan mendapatkan dosanya dan juga dosa orang-orang yang mengikuti jejaknya sesudah ia tiada tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun. Imam Muslim meriwayatkannya melalui Syu'bah, dari Aun ibnu Abu Juhaifah, dari Al-Munzir ibnu Jarir, dari ayahnya, dari Jarir ibnu Abdullah Al-Bajali r.a. Di dalamnya terdapat kisah orang-orang Mudar yang memetik buah-buahan.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya dari ayahnya, dari Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, dari Abul Muhayya alias Yahya ibnu Ya'la, dari Abdul Malik ibnu Umair, dari Jarir ibnu Abdullah r.a., lalu disebutkan hal yang semisal dengan panjang lebar, kemudian ia membaca firman-Nya: dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12) Imam Muslim meriwayatkannya melalui Abu Uwwanah, dari Abdul malik ibnu Umair ibnul Munzir ibnu Jarir, dari ayahnya, lalu disebutkan hadis yang semisal.
Hal yang sama dinyatakan di dalam hadis lain yang berada di dalam kitab Sahih Muslim melalui Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Apabila anak Adam mati, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara, yaitu ilmu yang bermanfaat, atau anak saleh yang mendoakannya, atau sedekah jariyah (yang terus mengalir pahalanya) sesudah ia tiada. Sufyan As-Sauri telah meriwayatkan dari Abu Sa'id r.a. yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12) bahwa makna yang dimaksud ialah kesesatan yang mereka tinggalkan. Ibnu Lahi'ah telah meriwayatkan dari Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan makna firman-Nya: dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12) Yakni bekas-bekas yang mereka tinggalkan, dengan kata lain suatu amal perbuatan yang jejaknya diikuti oleh orang lain sesudah ia tiada.
Maka jika bekas-bekas itu baik, maka pelaku pertamanya mendapat pahala yang semisal dengan orang-orang yang mengikuti jejaknya tanpa mengurangi pahala mereka barang sedikit pun. Dan jika hal itu berupa perbuatan buruk, maka pelaku pertamanya mendapatkan dosa yang sama dengan orang-orang yang mengiktui jejaknya, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka barang sedikit pun. Kedua riwayat ini diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim dan dipilih oleh Al-Bagawi.
Pendapat yang kedua, mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah langkah-langkah mereka menuju kepada amal ketaatan atau kemaksiatan. Ibnu Abu Najih dan lain-lainnya telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12) Yaitu langkah-langkah mereka. Hal yang sama dikatakan oleh Al-Hasan dan Qatadah, bahwa yang dimaksud dengan atsarahum (bekas-bekas mereka) adalah langkah-langkah mereka. Qatadah mengatakan bahwa seandainya Allah melupakan sesuatu dari keadaanmu, hai anak Adam, tentulah Dia melupakan sebagian dari jejak-jejak ini yang telah terhapus oleh angin.
Akan tetapi, Dia mencatat terhadap anak Adam semua jejak dan amal perbuatannya, sehingga Dia pun mencatat langkah-langkahnya yang dipakainya untuk ketaatan kepada Allah atau kedurhakaan terhadapNya. Maka barang siapa di antara kalian yang mampu mencatat jejaknya dalam ketaatan kepada Allah, hendaklah ia melakukannya. Sehubungan dengan pengertian ini ada banyak hadis yang mengutarakan hal yang semakna, seperti yang diterangkan berikut: Hadis pertama, ".
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdus Samad, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari Jabir ibnu Abdullah r.a. yang menceritakan bahwa tanah di sekitar Masjid Nabawi kosong, maka Bani Salamah bermaksud akan pindah tempat ke dekat Masjid Nabawi. Ketika berita itu terdengar oleh Rasulullah ﷺ, maka beliau bersabda kepada mereka: 'Sesungguhnya telah sampai berita kepadaku bahwa kalian bermaksud akan pindah tempat ke dekat masjid? Mereka menjawab, "Benar, wahai Rasulullah, kami bermaksud akan pindah" Maka beliau ﷺ bersabda, "Hai Bani Salamah, tetaplah di tempat kalian, niscaya langkah-langkah kalian akan dituliskan; tetaplah di tempat kalian, niscaya langkah-langkah kalian akan dituliskan (oleh Allah)." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui hadis Sa'id Al-Jariri dan Kahmas ibnul Hasan, yang keduanya dari Abu Nadrah yang nama aslinya adalah Al-Munzir ibnu Malik ibnu Qit'ah Al-Abdi, dari Jabir r.a. dengan sanad yang sama.
Hadis kedua, ". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Wazir Al-Wasiti, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnul Azraq, dari Sufyan, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang mengatakan, bahwa dahulu Bani Salamah bermaksud akan pindah ke tempat yang berdekatan dengan masjid, karena mereka tinggal di pinggiran kota Madinah. Maka turunlah ayat ini, yaitu firman Allah ﷻ: Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12) Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepada mereka: Sesungguhnya jejak langkah-langkah kalian dituliskan (oleh Allah pahalanya).
Akhirnya mereka tidak jadi pindah; Imam Turmuzi di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan hadis ini secara tunggal melalui Muhammad ibnul Wazir dengan sanad yang sama. Kemudian ia mengatakan bahwa predikat hadis garib hasan bila melalui hadis Sufyan As-Sauri. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Sulaiman ibnu Umar ibnu Khalid Ar-Ruqi, dari Ibnul Mubarrak, dari Sufyan As-Sauri, dari Tarif alias Ibnu Syihab Abu Sufyan As-Sa'di, dari Abu Nadrah dengan sanad yang sama.
Telah diriwayatkan pula bukan melalui Sufyan As-Sauri. Untuk itu Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan: Telah menceritakan kepada kami Abbad ibnu Ziad As-Saji, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Umar, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Sa'id Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id r.a. yang mengatakan bahwa sesungguhnya Bani Salamah mengadu kepada Rasulullah ﷺ tentang tempat tinggal mereka yang jauh dari masjid. Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12). Akhirnya mereka tetap berada di tempat tinggalnya, tidak jadi pindah.
Dan telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Al-Jariri, dari Abu Nadrah, dari Abu Sa'id r.a., dari Nabi ﷺ, lalu disebutkan hal yang semisal, tetapi di dalamnya terkandung hal yang aneh, karena dipandang dari segi penuturan latar belakang turunnya ayat ini, padahal semua ayat yang ada di dalam surat ini Makkiyyah.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hadis ketiga, Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Al-Jahdami, telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Az-Zubairi, telah menceritakan kepada kami Israil, dari Sammak, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa dahulu tempat-tempat tinggal kaum Ansar berjauhan dengan masjid, lalu mereka beimaksud pindah ke dekat Masjid Nabawi. Maka turunlah ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12); Akhirnya mereka berkata, "Kami akan tetap tinggal di tempat kami semula." Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, tetapi tidak ada tanda sesuatu pun yang menunjukkan ke-marfu '-annya.
Imam Tabrani meriwayatkannya dari Abdullah ibnu Muhammad ibnu Sa'id ibnu Abu Maryam, dari Muhammad ibnu Yusuf Al-Faryabi, dari Israil, dari Sammak, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa rumah orang-orang Ansar jauh dari masj id. Maka mereka berniat akan pindah ke dekat masjid, lalu turunlah firman Allah ﷻ: dan Kami menuliskan apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. (Yasin: 12); Akhirnya mereka tetap di tempat tinggal semula. Hadis keempat, ".
". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahi'ah telah menceritakan kepadaku Huyay ibnu Abdullah, dari Abu Abdur Rahman Al-Habli, dari Abdullah ibnu Amr r.a. yang menceritakan bahwa pernah ada seorang lelaki meninggal dunia di Madinah. Maka Nabi ﷺ menyalatkan jenazahnya, lalu beliau bersabda: Seandainya saja dia meninggal dunia bukan di tempat kelahirannya. Maka ada seseorang yang bertanya, "Mengapa begitu, wahai Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab: Sesungguhnya seseorang itu apabila meninggal dunia bukan di tempat kelahirannya, maka akan dilakukan pengukuran baginya dari tempat kelahirannya hingga batas akhir dari jejaknya (sebagai tempat tinggalnya nanti) di dalam surga. Imam Nasai meriwayatkannya dari Yunus ibnu Abdul A'la, sedangkan Ibnu Majah meriwayatkannya dari Harmalah.
Keduanya meriwayatkannya dari Ibnu Wahb, dari Huyay ibnu Abdullah dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Humaid, telah menceritakan kepada kami Abu Namilah, telah menceritakan kepada kami Al-Husain, dari Sabit yang mengatakan bahwa ia berjalan bersama Anas r.a., lalu ia melangkahkan kakinya dengan cepat, maka Anas memegang tangannya dan akhirnya kami berdua berjalan dengan langkah-langkah biasa.
Setelah kami menyelesaikan salat kami, maka Anas berkata, "Saya pernah berjalan bersama Zaid ibnu Sabit r.a., lalu saya berjalan dengan langkah yang cepat. Maka Zaid ibnu Sabit berkata kepadaku, Hai Anas, tidakkah kamu merasakan bahwa langkah-langkah itu dicatat (pahalanya oleh Allah)?" Pendapat ini pada garis besarnya tidak bertentangan dengan pendapat yang pertama, balikan dalam pendapat yang kedua ini terkandung peringatan dan dalil yang menunjukkan kepada pendapat yang pertama dengan skala prioritas.
Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa apabila langkah-langkah saja ditulis pahalanya, maka terlebih lagi jejak-jejak kebaikan yang di kemudian hari dijadikan suri teladan oleh orang lain. Begitu pula sebaliknya, jika jejak-jejak atau langkah-langkah itu untuk tujuan keburukan, maka balasannya akan buruk pula. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah ﷻ: Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam Kitab Induk yang nyata. (Yasin: 12) Yakni semua yang ada dicatat di dalam kitab secara rinci lagi tepat, yaitu di Lauh Mahfuz.
Yang dimaksud dengan Imamul Mubin dalam ayat ini ialah induk dari kitab (Ummul Kitab), demikianlah menurut apa yang dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Hal yang semakna disebutkan di dalam firman-Nya: (Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap-tiap umat dengan pemimpinnya. (Al-Isra: 71) Yang dimaksud dengan imam dalam ayat ini adalah kitab-kitab amal perbuatan mereka yang menjadi saksi atas mereka terhadap semua amal perbuatan yang telah mereka kerjakan selama di dunia, yaitu amal baik dan amal buruknya.
Seperti juga yang disebutkan di dalam firman-Nya: dan diberikanlah buku (perhitungan perbuatan masing-masing) dan didatangkanlah para nabi dan saksi-saksi. (Az-Zumar: 69) Dan diletakkanlah kitab, lalu kamu akan melihat orang-orang yang berdosa ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya, dan mereka berkata, "Aduhai, celaka kami, kitab apakah ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya, dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis). Dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang jua pun. (Al-Kahfi: 49)"
Itu membuktikan bahwa peringatan apa pun sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi kaum kafir. Dan sama saja bagi mereka, apakah engkau, wahai Nabi Muhammad, memberi peringatan kepada mereka akan adanya azab atau engkau tidak memberi peringatan kepada mereka; pada akhirnya mereka tetap tidak akan beriman juga. Itu semua diakibatkan oleh keengganan mereka menerima petunjuk Allah yang disampaikan oleh para rasul. 11. Untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad atas penolakan kaum kafir Mekah, Sesungguhnya engkau hanya memberi peringatan kepada orang-orang yang mau mengikuti peringatan, yakni peringatanmu hanya berguna bagi mereka yang mau mengikuti, yang percaya akan surga, dan yang takut berbuat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pengasih karena mereka yakin Tuhan selalu mengawasi, walaupun mereka tidak melihat-Nya. Maka, berilah mereka kabar gembira dengan ampunan yang menghapus dosa-dosa mereka dan pahala yang mulia, yaitu surga.
Dalam ayat ini, Allah menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak bisa menerima petunjuk itu walaupun diancam dengan siksaan yang pedih, tidak akan berubah. Sebab hati mereka sebenarnya sudah terpatri mati dan tidak dapat menerima petunjuk. Hal yang demikian disebabkan pikiran mereka tidak sanggup lagi memikirkan kebenaran yang disampaikan, dan mata mereka sudah buta dari kebenaran itu. Ringkasnya, siapa yang telah ditetapkan Allah kesesatannya tidak mungkin lagi bermanfaat baginya segala nasihat yang disampaikan orang. Allah berfirman:
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, engkau (Muhammad) beri peringatan atau tidak engkau beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, penglihatan mereka telah tertutup, dan mereka akan mendapat azab yang berat. (al-Baqarah/2: 6-7)
Dan firman-Nya:
Sungguh, orang-orang yang telah dipastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman. (Yunus/10: 96)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
SURAH YAASIIN
(YAASIIN)
SURAH KE-36
83 AYAT
DITURUNKAN DI MEKAH
Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi
Pengasih.
Ayat 1
“Yaasiin."
Ibnu Jarir menerangkan dalam tafsirnya, bahwa menurut Ibnu Abbas dalam satu riwayat, bahwa kalimat Yaasiin itu adalah satu sumpah yang dipakai Allah ﷻ Menurut riwayat itu, kalimat itu adalah salah satu dari nama Allah.
Qatadah mengatakan, bahwa Yaasiin itu adalah salah satu dari nama Al-Qur'an.
Tersebut dalam Tafsir Syaukani, bahwa menurut Khalil dan Sibawaihi, “Yaasiin adalah semata-mata nama surah."
Salah satu riwayat dari Sa'id bin Jubair dan beberapa ulama yang lain bahwa Yaasiin adalah salah satu dari nama-nama Nabi Muhammad ﷺ.
Abu Bakar al-Warraq mengatakan bahwa arti Yaasiin ialah, “Hai Penghulu segala manusia! “ Dalam riwayat sebuah lagi dari Ibnu Abbas, arti Yaasiin ialah, “Hai Insan! Hai Manusia! “ Yang menganut pendapat ini termasuk Ikrimah, adh-Dhahhak, Hasan Bishri, dan Sufyan bin Uyainah. Sa'id bin Jubair mengatakan pula bahwa dalam bahasa Habsyi arti Yaasiin memang “Hai Manusia! “ Tetapi ini dari dokumen lama. Apakah sampai sekarang bahasa yang terpakai di Ethiopia masih itu, belumlah kita ketahui.
Az-Zajjaj menguatkan bahwa arti Yaasiin ialah “Ya Muhammad! “
Oleh sebab itu, yang terbanyak ahli tafsir membawa artinya kepada nama Nabi Muhammad ﷺ dan kalau dikatakan bahwa artinya ialah “Hai Manusia “ maka yang dimaksud dengan manusia itu ialah Nabi Muhammad. Oleh sebab itu maka bersama dengan dua huruf di pangkal surah Thaahaa, keduanya disebutkan orang menjadi nama dari Nabi kita Muhammad ﷺ. Maka adalah orang yang memakai nama “Muhammad Yaasiin “ dan “Muhammad Thaahaa “. Di tulisan indah untuk menghiasi dinding Masjid Nabawi di Madinah, dituliskan orang nama-nama Nabi kita Muhammad ﷺ, nama Thaahaa dan Yaasiin turut dituliskan.
Tetapi ahli Tafsir yang terkenal al-lmam Fakhruddin ar-Razi ketika menafsirkan kalimat Yaasiin sebagai ayat pertama dari surah Yaasiin ini telah menguraikan demikian,
“Ketahuilah olehmu bahwasanya ibadah itu ada yang ibadah hati, ada ibadah lidah dan ada ibadah anggota tubuh. Dan tiap-tiap satu-satunya itu terbagai dua pula. Satu bagian dapat dicari dengan akal apa maksudnya dan hakikatnya. Tetapi yang sebagian lagi tidak dapat dicari dengan akal apa maksudnya dan hakikatnya. Tetapi yang sebagian lagi tidak dapat dipergunakan akal untuk mengetahui maksud dan hakikatnya. Adapun ibadah hati, meskipun dia sangat jauh dari meragukan dan kebodohan, namun di dalamnya ada juga yang tidak dapat diketahui dalilnya menurut akal. Tetapi kita wajib beriman tentang adanya dan dijadikan kepercayaan sebab telah kita dengar. Umpamanya ialah tentang titian ash-Shirathal Mustaqim. Dikatakan bahwa lebih halus dari rambut, lebih tajam dari pedang, dan orang yang beriman dan yakin akan lalu di atasnya secepat cetusan kilat. Demikian juga tentang miizaan atau timbangan untuk penimbang amalan, yang pada pandangan orang yang memandang tidak ada beratnya. Demikian juga tentang hal-ihwal surga dan neraka. Semuanya ini, tentang wujudnya tidaklah dapat diketahui dengan dalil akal. Yang dapat diakui oleh akal hanyalah kemungkinan terjadinya dan dapat dimaklumi, lalu dipercayai karena demikian yang didengar dari keterangan Rasul sendiri. Begitu juga hal-ihwal yang dapat dipelajari dan diterima; seperti ilmu tauhid, dari hai nubuwwat dan qudrat Allah dan kebenaran Rasul. Seperti itu pula segala macam ibadah yang bersangkutan dengan tubuh, ada yang diketahui maksudnya dan yang tidak, yaitu seumpama berapa ukuran yang satu nisab pada zakat dan berapa rakaat shalat. Hal ini sudah pernah kita uraikan, yaitu bahwa seorang hamba Allah apabila mengerjakan suatu perintah dengan tidak mengetahui terlebih dahulu apa keuntungan yang akan didapatnya niscaya dia mengerjakan semata-mata ibadah.
Lain halnya jika dia mengetahui akan faedah mengerjakannya, tentu dia kerjakan karena mengharapkan faedahataukeuntungan, meskipun dia tidak percaya. Umpamanya ialah seorang tuan yang menyuruh budaknya memindahkan batu, “Pindahkan batu ini dari sini! “ Sedang si budak tidak tahu apa akibat dari pemindahan itu, semata-mata karena turut perintah. Tetapi kalau si tuan berkata, “Pindahkan batu ini dari sini. Di bawahnya ada harta benda. Boleh kau ambil buat dirimu sendiri." Perintah itu akan segera dilaksanakan, meskipun mulanya dia tidak percaya. Karena mengharapkan keuntungan yang dijanjikan.
“Demikian jugalah dengan ibadah yang berhubung dengan sebutan lidah. Wajiblah ada ibadah lidah yang tidak diketahui artinya. Sehingga apabila dianya dibaca oleh seseorang hamba Allah, dia sadar bahwa dia mengerjakannya membawa itu semata-mata karena melaksanakan perintah dari Allah ﷻ yang disembah, yang berhak menyuruh dan berhak melarang. Lantaran itu kalau Allah ﷻ memakai huruf-huruf di awal surah-surah, sebagaimana Haa Miim, Yaa Siin, Alif Laam Miim, Thaa Siin, si hamba membacanya dengan penuh kesadaran bahwa membaca huruf yang tidak diketahui artinya ini adalah semata-mata melaksanakan perintah, dengan tidak memerlukan tahu akan artinya, ataupun tidak tahu."
Demikianlah dijelaskan oleh Imam ar-Razi.
Ayat 2
“Demi Al-Qur'an Yang Mahabijaksana “
Dijadikanlah oleh Allah Al-Qur'an menjadi persumpahan untuk menguatkan keterangan yang akan diberikan Allah ﷻ tentang kedudukan Nabi Muhammad ﷺ pada ayat 3 nanti. Demi Af-Qur'an yang Mahabijaksana. Yang penuh dengan hikmah dan rahasia kebenaran, sebagai wahyu yang turun langsung dari Allah sendiri, bagi keselamatan dan bimbingan umat manusia. Guna mengeluarkan manusia itu dari dalam gelap gulita kepada terang benderang. Dia disebut bijaksana, baik karena isinya, atau karena susunannya, atau karena cocok dan sesuai selalu dengan tiap-tiap zaman yang dilaluinya.
Ayat 3
“Sesungguhnya engkau adalah termasuk orang-orang yang diutus."
Di ayat 2 Allah ﷻ bersumpah “Demi Al-Qur'an Yang Mahabijaksana." Sumpah ini adalah guna menguatkan keterangan yang diberikan Allah ﷻ atau kesaksian Allah di ayat 3 ini bahwa Nabi Muhammad ﷺ benar-benarlah termasuk orang-orang yang diutus oleh Allah. Artinya kalau orang mengakui bahwa dahulu dari Nabi Muhammad ﷺ sudah diutus oleh Allah ﷻ beratus rasul dan beribu nabi-nabi, maka Muhammad adalah salah seorang di antara mereka.
Di antara ayat 2 dengan ayat 3 sangatlah rapat pertaliannya. Bilamana orang kagum membaca dan memerhatikan isi Al-Qur'an, baik bahasanya yang fasih, atau isinya yang tepat, vra'ad-nya dan wa'id-nya (janjinya dan ancamannya), berita yang terkandung di dalamnya, pelajarannya yang kekal, hukumnya yang jitu dan tepat, orang pasti akan mencari siapakah yang membawanya. Dari mana datangnya. Allah ﷻ menguatkan dengan sumpah bahwa Muhammad ﷺ itu adalah termasuk seorang Rasul. Sudah diketahui bahwa Muhammad itu adalah Ummi, tidak tahu menulis dan membaca dan tidak pernah dia belajar kepada seorang guru pun sebelum ayat-ayat AI-Qur'an ini turun setelah genap usianya 40 tahun. Maka kesanggupannya menyampaikan ayat-ayat Al-Qur'an ini dengan jelas, adalah bukti yang terang sekali bahwa dia adalah seorang Rasul. Kalau dia bukan Rasul, yang khusus diutus buat menyampaikan Al-Qur'an ini, tidaklah akan sanggup dia menyampaikan ayat-ayat ini dari kepandaiannya sendiri.
Di samping itu orang-orang kafir selama ini mengingkari dan tidak mau percaya bahwa Muhammad itu Rasulullah. Tetapi setelah Allah ﷻ sendiri mengambil Al-Qur'an menjadi sumpah, maka kalau ada di kalangan yang kafir itu yang berakal dan masih ada sisa pikiran sehat, tidaklah mereka akan dapat membantahnya. Karena memang Al-Qur'an itu suatu susunan bahasa suci yang mengatasi kesanggupan manusia, yang dalam bahasa Arab dinamai al-I'jaaz.
Ayat 4
“Atas jalan yang lurus."
Dalam ayat 4 yang pendek ini Allah ﷻ telah menjelaskan khittah atau garis per-juangan yang digariskan oleh Muhammad ﷺ dalam dakwahnya. Yaitu membawa manusia berjalan dalam hidup ini di atas garis yang lurus.
Telah diketahui bahwasanya garis lurus ialah jarak yang paling dekat di antara dua titik. Titik pertama ialah kita sendiri, titik kedua ialah tujuan yang dituju. Yang dituju itu ialah Allah ﷻ sendiri. Dari Dia kita datang dan kepada-Nya kita akan kembali. Yang menentukan diri kita itu ialah niat dan kesadaran kita. Kesadaran kepada hidup dan kesadaran kepada tugas.
Apabila kita lihat puncak gunung dengan mata telanjang, terasalah bahwa hubungan di antara kita dengan puncak gunung itu disambungkan oleh satu garis lurus dalam alam ingatan. Padahal kalau sudah kita tempuh ternyata bahwa buat mencapai puncak gunung itu kita akan mendaki dan kita akan menurun, akan melereng dan mendatar. Meskipun dalam perjalanan ternyata jalan itu berbelok-belok, asal saja ingatan kita tetap tidak beralih dari tujuan, yaitu puncak gunung itu, tujuan kita masih tetap lurus.
Demikian juga berlayar di lautan. Pulau atau pelabuhan yang dituju, sudah tampak. Tetapi ombak dan gelombang memukul biduk yang kita kayuhkan, sehingga dapat terbelok kepada yang lain. Namun kemudi yang kita pegang tetap ditujukan kepada pulau atau pelabuhan yang dituju.
Sebab itu maka jalan lurus hendaklah dibina dalam jiwa kita sendiri, bukan dalam keadaan jalan darat yang kadang-kadang terpaksa membelok, menurun dan mendaki.
Tujuan lurus hendaklah dibina dalam hati, meskipun pelayaran kadang-kadang diombang-ambingkan oleh ombak besar dan gelombang.
Lanjutan ayat menjelaskan sifat Allah ﷻ dalam membimbing manusia melalui jalan yang lurus itu.
Ayat 5
“Diturunkan oleh Yang Mahaperkasa, Maha Penyayang “
Yaitu mengajak manusia agar menempuh jalan yang lurus menuju Allah ﷻ
Ayat 6
“Supaya engkau beri ancaman kaum yang tidak pernah diancam bapak-bapak mereka."
Yang dimaksud mulanya dengan ayat ini ialah kaum Quraisy, yang sejak meninggalnya Nabi Ibrahim dan Isma'il tidak pernah lagi ada Nabi atau Rasul diutus Allah ﷻ kepada mereka buat menyampaikan ancaman kepada barangsiapa yang tidak menuruti jalan yang lurus. Sebab itu belumlah mereka mengerti apa tujuan hidup. Belumlah mengerti mereka itu apa artinya Bertuhan Yang Tunggal, tiada bersekutu dengan yang lain. Itulah sebabnya maka mereka menyembah berbagai macam berhala. Padahal dahulunya Nabi Ibrahim dan Nabi Isma'il diperintah Allah mendirikan Ka'bah ialah sebagai pusat tempat berkumpul beribadah dari umat yang sepaham menyembah Allah. Sampai berbagai macam kepercayaan yang karat, yang musyrik dimasukkan ke sekeliling Ka'bah itu.
Lantaran itu,
“Maka mereka pun lalai “
Menjadi lalai dan lengah dan tidak lagi mempunyai pedoman hidup selain mengum-pulkan kekayaan, berbangga dengan keturunan, berperang memperebutkan pengaruh, yang kaya menindas yang miskin, memandang hina rendah kepada perempuan, berebut pengaruh di antara kabilah sesama kabilah.
Kemudian itu dijelaskan lagi oleh Allah ﷻ akibat hidup orang yang hatinya telah lalai itu, apakah kemalangan yang akan menimpa dirinya.
Ayat 7
“Sesungguhnya telah pastilah kata atas kebanyakan mereka itu."
Kelalaian memerhatikan keadaan sekeliling, keadaan memerhatikan kepada diri sendiri, kelalaian merenungkan langit dan bumi dan rezeki pemberian Allah SWT, me-nyebabkan,
“Maka tidaklah mereka itu beriman."
Karena kelalaian mereka sejak semula, Allah pun menetapkan kata, menentukan nasib untuk kebanyakan di antara mereka. Nasibnya ialah termasuk dalam golongan orang yang tidak beriman. Begitulah nasib dan ketentuan bagi kebanyakan mereka, mereka menjadi penantang kebenaran. Karena hati mereka telah tertutup dari petunjuk Allah ﷻ Sudah payah mereka buat bangkit.
Ayat 8
“Sesungguhnya telah Kami jadikan pada leher-leher mereka itu belenggu-belenggu."
Leher-leher itu terbelenggu dan belenggu itu terbelit di dagu-dagu mereka."Dan dia pun sampailah ke dagu-dagu mereka." Belenggu itu tebai dan berat sekali, karena tebalnya telah menyundak sampai ke dagu,
“Maka mereka pun tertengadah."
Dalam ayat ini digambarkanlah bahwa dalam hidup di dunia ini mereka tidak mem-punyai kemerdekaan diri lagi karena kelalaian dahulu itu. Mereka telah dibelenggu oleh adat istiadat, oleh kepercayaan yang salah, oleh kemusyrikan dan kebebalan.
Ayat 9
“Dan telah Kami jadikan di hadapan mereka suatu sekatan dan di belakang mereka pun suatu sekatan “
Akan maju ke muka terhambat, akan surut ke belakang terhalang, sehingga mereka hanya berputar di sana ke sana saja, tidak ada kemajuan dan tidak pula surut ke belakang, karena putaran hidup bukanlah surut ke belakang melainkan maju ke muka, namun mereka tidak dapat maju. Terkurung, terbelenggu dan terhambat.
“Lalu Kami selubungilah mereka; maka tidaklah mereka dapat melihat."
Cobalah gambarkan sekali lagi betapa malang nasib orang itu atau kebanyakan dari mereka itu karena iman tidak ada. Tangan dialihkan ke belakang dan dibawa ke kuduk dan kuduk penuh dengan belenggu, sehingga tersundak ke dagu. Dagu tertengadah sehingga tidak dapat lurus melihat ke muka, melainkan tertengadah ke atas. Sebab itu gelaplah jalan yang akan ditempuh, terselubung. Tidak bebas buat melihat dan mempertimbangkan. Diri telah terbatas dari petunjuk dan kebenaran karena di muka tertutup dan di belakang pun tertutup. Semua jadi gelap, semua jadi terhalang dan terhambat.
Ayat 10
“Dan samalah atas mereka, apakah mereka engkau ancam, ataupun tidak engkau ancam mereka; tidaklah mereka akan percaya."
Inilah orang yang telah dicap, dicetak atau dimaterai hatinya, sebagaimana tersebut dalam ayat 7 dari surah al-Baqarah, hati dicap sehingga jadi kesat dan kasar. Pendengaran pun dicap dan disumbat sehingga tidak ada yang terdengar, dan penglihatan telah kabur mendekati buta. Adzab siksalah yang akan mereka terima.