Ayat
Terjemahan Per Kata
وَهُمۡ
dan mereka
يَصۡطَرِخُونَ
mereka berteriak
فِيهَا
di dalamnya
رَبَّنَآ
ya Tuhan kami
أَخۡرِجۡنَا
keluarkanlah kami
نَعۡمَلۡ
Kami akan mengerjakan
صَٰلِحًا
kebajikan/amal saleh
غَيۡرَ
bukan
ٱلَّذِي
yang
كُنَّا
adalah kami
نَعۡمَلُۚ
kami kerjakan
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
نُعَمِّرۡكُم
Kami beri umur panjang padamu
مَّا
apa
يَتَذَكَّرُ
untuk mengingat/berfikir
فِيهِ
di dalamnya
مَن
orang/siapa
تَذَكَّرَ
mengingat/berfikir
وَجَآءَكُمُ
dan datang kepadamu
ٱلنَّذِيرُۖ
seorang pemberi peringatan
فَذُوقُواْ
maka rasakanlah
فَمَا
maka tidaklah
لِلظَّـٰلِمِينَ
bagi orang-orang zalim
مِن
dari
نَّصِيرٍ
seorang penolong
وَهُمۡ
dan mereka
يَصۡطَرِخُونَ
mereka berteriak
فِيهَا
di dalamnya
رَبَّنَآ
ya Tuhan kami
أَخۡرِجۡنَا
keluarkanlah kami
نَعۡمَلۡ
Kami akan mengerjakan
صَٰلِحًا
kebajikan/amal saleh
غَيۡرَ
bukan
ٱلَّذِي
yang
كُنَّا
adalah kami
نَعۡمَلُۚ
kami kerjakan
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
نُعَمِّرۡكُم
Kami beri umur panjang padamu
مَّا
apa
يَتَذَكَّرُ
untuk mengingat/berfikir
فِيهِ
di dalamnya
مَن
orang/siapa
تَذَكَّرَ
mengingat/berfikir
وَجَآءَكُمُ
dan datang kepadamu
ٱلنَّذِيرُۖ
seorang pemberi peringatan
فَذُوقُواْ
maka rasakanlah
فَمَا
maka tidaklah
لِلظَّـٰلِمِينَ
bagi orang-orang zalim
مِن
dari
نَّصِيرٍ
seorang penolong
Terjemahan
Mereka berteriak di dalam (neraka) itu, “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami (dari neraka), niscaya kami akan mengerjakan kebajikan, bukan (seperti perbuatan) yang pernah kami kerjakan dahulu.” (Dikatakan kepada mereka,) “Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu dalam masa (yang cukup) untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir. (Bukankah pula) telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan? Maka, rasakanlah (azab Kami). Bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun.”
Tafsir
(Dan mereka berteriak di dalam neraka itu) meminta tolong dengan suara yang sangat keras dan jeritan-jeritan kesakitan, seraya mengatakan, ("Ya Rabb kami! Keluarkanlah kami) dari dalam neraka (niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan") lalu dikatakan kepada mereka, ("Dan apakah Kami tidak memanjangkan umur kalian dalam masa) waktu (yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir dan apakah tidak datang kepada kalian pemberi peringatan?") yakni rasul tetapi kalian tidak memenuhi seruannya (maka rasakanlah -azab Kami- dan tidak ada bagi orang yang lalim) orang kafir (seorang penolong pun) yang dapat menolak azab dari diri mereka.
Tafsir Surat Al-Fatir: 36-37
Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. Dan mereka berteriak di dalam neraka itu, "Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan. Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun.
Setelah menceritakan keadaan orang-orang yang berbahagia di dalam surga, maka Allah menceritakan perihal orang-orang yang celaka. Untuk itu Dia berfirman: Dan orang-orang kafir bagi mereka neraka Jahannam. Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati. (Fathir: 36) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: dia tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. (Al-A'la: 13, Thaha: 74) Di dalam kitab Sahih Muslim telah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Adapun ahli neraka yang merupakan penghuni tetapnya, maka mereka tidak mati di dalamnya dan tidak (pula) hidup. Dan Allah ﷻ berfirman menceritakan keadaan mereka: Mereka berseru, "Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.
Dia menjawab, "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini)." (Az-Zukhruf: 77) Keadaan mereka yang demikian itu membuat mereka berpandangan bahwa mati lebih menyenangkan bagi mereka, tetapi tidak ada jalan bagi mereka untuk mati. Allah ﷻ telah berfirman: Mereka tidak dibinasakan sehingga mereka mati dan tidak (pula) diringankan dari mereka azabnya. (Fathir: 36) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat yang lain, yaitu: Sesungguhnya orang-orang yang berdosa kekal di dalam azab neraka Jahannam. Tidak diringankan azab itu dari mereka dan mereka di dalamnya berputus asa. (Az-Zukhruf: 74-75) Tiap-tiap kali nyala api Jahanam itu akan padam, Kami tambah lagi bagi mereka nyalanya. (Al-Isra: 97) Dan firman Allah ﷻ lainnya, yaitu: Karena itu, rasakanlah. Dan kami sekali-kali tidak akan menambah kepada kamu selain azab. (An-Naba: 30) Kemudian Allah ﷻ berfirman: Demikianlah Kami membalas setiap orang yang sangat kafir. (Fathir: 36) Maksudnya, inilah pembalasan bagi orang yang kafir kepada Tuhannya dan medustakan perkara yang hak.
Firman Allah ﷻ: Dan mereka berteriak di dalam neraka itu. (Fathir: 37) Yakni berseru dan berteriak dengan suara yang keras, memohon kepada Tuhan mereka: Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, niscaya kami akan mengerjakan amal yang saleh berlainan dengan yang telah kami kerjakan. (Fathir: 37) Mereka meminta agar dikembalikan ke dunia untuk mengerjakan amal perbuatan yang berlainan dengan yang telah mereka kerjakan di masa lalu. Allah ﷻ telah mengetahui bahwa seandainya mereka dikembalikan ke dunia lagi, pastilah mereka akan kembali mengerjakan apa yang dilarang bagi mereka melakukannya.
Dan sesungguhnya mereka benar-benar dusta dalam pengakuannya itu. Karena itu, Allah ﷻ tidak memperkenankan permintaan mereka, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain yang menceritakan perkataan mereka: Maka adakah sesuatu jalan (bagi kami) untukkeluar (dari neraka)? Yang demikian itu adalah karena kamu kafir apabila Allah saja disembah. Dan kamu percaya apabila Allah dipersekutukan. (Al-Mu-min: 11-12) Yaitu Allah tidak akan memperkenankan kalian untuk dikembalikan ke dunia, karena sikap kalian yang demikian. Dan seandainya kalian dikembalikan ke dunia, niscaya kalian akan kembali mengerjakan apa yang dilarang bagi kalian mengerjakannya.
Karena itulah disebutkan dalam surat ini melalui firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan? (Fathir: 37) Artinya, bukankah kamu hidup di dunia dalam masa yang cukup panjang, sehingga andaikata kamu termasuk orang yang mau mengambil manfaat dari perkara yang hak, tentulah kamu dapat memperolehnya dalam usia kalian yang cukup panjang itu Para ahli tafsir berbeda pendapat sehubungan dengan kadar usia yang dimaksud dalam ayat ini, maka telah diriwayatkan dari Ali ibnul Husain alias Zainul Abidin r.a. Ia pernah mengatakan bahwa kadar usia tersebut adalah tujuh belas tahun.
Qatadah telah mengatakan, "Ketahuilah oleh kalian bahwa panjang usia itu merupakan hujah, maka kami berlindung kepada Allah bila dicela karena usia yang panjang. Allah ﷻ telah berfirman: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) Dan sesungguhnya di antara mereka ada yang diberi usia delapan belas tahun. Hal yang sama telah dikatakan oleh Abu Galib Asy-Syaibani. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan dari Ma'mar, dari seorang lelaki, dari Wahb ibnu Munabbih sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) Bahwa usia yang dimaksud adalah dua puluh tahun.
Hasyim telah meriwayatkan dari Mansur, dari Zazan, dari Al-Hasan sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir. 37) Yakni empat puluh tahun. Hasyim telah meriwayatkan pula dari Mujalid, dari Asy-Sya'bi, dari Masruq, bahwa ia pernah mengatakan, "Apabila usia seseorang di antara kalian mencapai empat puluh tahun, maka hendaklah ia bersikap lebih hati-hati terhadap Allah ﷻ" Hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. menurut apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnul Mufaddal, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Usman ibnu Khais'am, dari Mujahid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Ibnu Abbas r.a. mengatakan bahwa usia yang dijadikan alasan oleh Allah ﷻ terhadap anak Adam, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) adalah empat puluh tahun. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui jalur ini, dari Ibnu Abbas r.a. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir. Kemudian ia meriwayatkan lagi melalui jalur As-Sauri dan Abdullah ibnu Idris yang keduanya dari Abdullah ibnu Usman ibnu Khaisam, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa usia yang dijadikan alasan oleh Allah terhadap anak Adam, seperti yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir. (Fathir: 37) adalah enam puluh tahun.
Riwayat ini merupakan riwayat yang paling sahih bersumber dari Ibnu Abbas r.a., maknanya pun adalah yang paling sahih; karena ada hadis yang menguatkannya menurut penilaian kami, bukan menurut penilaian Ibnu Jarir yang menduga bahwa hadis tersebut tidak sahih, mengingat di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang harus diselidiki terlebih dahulu predikat sahihnya. Asbag ibnu Nabatah telah meriwayatkan dari Ali r.a. yang mengatakan bahwa usia yang dijadikan alasan oleh Allah untuk mencela mereka sebagaimana yang disebutkan di dalam firman-Nya: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) adalah enam puluh tahun.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Dahim, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Ibrahin ibnul Fadl Al-Makhzumi, dari Ibnu Abu Husain Al-Makki yang menceritakan kepadanya dari Ata ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi ﷺ pernah bersabda: Apabila hari kiamat tiba, maka dikatakan, "Di manakah orang-orang yang berusia enam puluh tahun? Yaitu usia yang disebutkan oleh Allah ﷻ di dalam firman-Nya, "Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Ali ibnu Syu'aib, dari Ismail ibnu Abu Fudaik dengan sanad yang sama.
Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Tabrani melalui jalur Ibnu Abu Fudaik dengan sanad yang sama. Hadis ini masih perlu penyelidikan yang lebih lanjut untuk menilai kesahihannya, mengingat keadaan Ibrahim ibnul Fadl; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Hadis lain, ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari seorang laki-laki dari Bani Gifar, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi ﷺ yang telah bersabda: Sesungguhnya Allah ﷻ telah beralasan terhadap seorang hamba yang telah diberi-Nya usia hingga mencapai enam puluh atau tujuh puluh tahun.
Sesungguhnya Allah ﷻ telah beralasan terhadapnya, sesungguhnya Dia telah beralasan terhadapnya. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Bukhari di dalam Kitabur Raqaiq, bagian dari kitab sahihnya, disebutkan bahwa: ". telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Mutahhir, dari Umar ibnu Ali, dari Ma'an ibnu Muhammad Al-Gifari, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Allah ﷻ telah mengemukakan alasan-Nya terhadap seorang hamba yang Dia panjangkan usianya hingga mencapai enam puluh tahun. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa riwayat yang sama diikuti oleh Abu Hazim dan Ibnu Ajian, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a., dari Nabi ﷺ Adapun yang melalui Abu Hazim disebutkan bahwa Ibnu Jarir mengatakan: ". telah menceritakan kepada kami Abu Saleh Al-Fazzari, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Siwar, telah menceritakan kepada kami Ya'qub ibnu Abdur Rahman ibnu Abdul Qadir Al-Iskandari, telah menceritakan kepada kami Abu Hazim, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang diberi usia enam puluh tahun oleh Allah, maka sesungguhnya Allah telah beralasan terhadapnya karena telah memberinya masa tangguh.
Imam Ahmad telah meriwayatkannya juga Imam Nasai di dalam Kitabur Raqaiq-nya, dari Qutaibah, dari Ya'qub ibnu Abdur Rahman dengan sanad yang sama. Al-Bazzar telah meriwayatkannya, untuk itu ia mengatakan bahwa: ". telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Yunus, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Abu Hazim, dari ayahnya, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Usia yang dijadikan oleh Allah sebagai alasan terhadap anak Adam adalah usia enam puluh tahun. Yang dimaksudkan adalah firman Allah ﷻ yang mengatakan: Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berpikir bagi orang yang mau berpikir? (Fathir: 37) Adapun riwayat mutaba'ah yang dilakukan oleh Ibnu Ajlan diketengahkan oleh Ibnu Abu Hatim.
". Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abus Safar Yahya ibnu Muhammad ibnu Abdul Malik ibnu Qur'ah di Samara, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman Al-Muqri, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ajian, dari Sa'id Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Barang siapa yang mencapai usia enam puluh tahun, maka sesungguhnya Allah ﷻ telah beralasan terhadapnya dalam memberikan masa tangguh. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Abdur Rahman Al-Muqri dengan sanad yang sama. Imam Ahmad meriwayatkannya pula dari Khalaf, dari Abu Ma'syar, dari Abu Sa'id Al-Maqbari.
Jalur lain dari Abu Hurairah r.a. diketengahkan oleh Ibnu Jarir. ". Ia mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnul Farj alias Abu Atabah Al-Himsi, telah menceritakan kepada kami Baqiyyah ibnul Wallid, telah menceritakan kepada kami Al-Mutarrif ibnu Mazin Al-Kannani, telah menceritakan kepadaku Ma'mar ibnu Rasyid yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Muhammad ibnu Abdur Rahman Al-Gifari mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ telah bersabda: Sesungguhnya Allah telah beralasan terhadap seorang lelaki dalam memberikan masa tangguh terhadapnya melalui usia yang diberikan kepadanya sampai enam puluh atau tujuh puluh tahun. Hadis ini dinilai sahih melalui jalur-jalur tersebut.
Seandainya tidak ada jalur lain kecuali jalur yang dipilih oleh Abu Abdullah alias Imam Bukhari (pakarnya ilmu hadis ini), tentulah hal ini sudah cukup. Adapun mengenai pendapat Ibnu Jarir yang mengatakan bahwa di dalam sanad hadis ini terdapat seorang perawi yang masih memerlukan penyelidikan lebih lanjut mengenai predikatnya, hal ini tidak usah diindahkan karena ada keterangan dari Imam Bukhari yang menilainya sahih.
Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Sebagian ulama mengatakan bahwa usia yang wajar menurut kalangan para tabib adalah seratus dua puluh tahun. Dengan kata lain, seorang manusia sejak lahirnya terus-menerus bertambah dalam segala hal sampai mencapai usia genap enam puluh tahun, setelah itu barulah menurun dan berkurang serta mencapai usia pikun. Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang penyair: ...
Apabila seorang pemuda mencapai usia enam puluh tahun, maka lenyaplah kesenangan dan usia mudanya (kekuatannya secara berangsur-angsur) Mengingat masa enam puluh tahun merupakan usia yang dijadikan alasan oleh Allah ﷻ terhadap hamba-hamba-Nya dan dijadikan oleh-Nya sebagai hujah terhadap mereka. Maka batas itulah yang dijadikan patokan bagi kebanyakan usia umat ini, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis. ". Al-Hasan ibnu Arafah rahimahullah mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Muhammad Al-Muharibi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Usia (rata-rata) umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun, dan sedikit dari mereka yang melampaui usia tersebut.
Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi dan Ibnu Majah di dalam Kitab Zuhud, dari Al-Hasan ibnu Arafah dengan sanad yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan melalui jalur ini. Ini merupakan hal yang aneh dari sikap Imam Turmuzi, karena sesungguhnya Abu Bakar ibnu Abud Dunia telah meriwayatkannya melalui jalur lain dan sanad yang lebih bermuara sampai kepada Abu Hurairah.
". Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Amr, dari Muhammad ibnu Rabi'ah, dari Kamil Abul Ala, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Usia umatku antara enam puluh sampai tujuh puluh tahun dan sedikit di antara mereka yang melampaui usia tersebut. Imam Turmuzi pun telah meriwayatkannya pula di dalam Kitab Zuhud melalui Ibrahim ibnu Sa'id Al-Jauhari, dari Muhammad ibnu Rabi'ah dengan lafaz yang sama, kemudian ia mengatakan bahwa hadis ini hasan garib bila melalui riwayat Abu Saleh, dari Abu Hurairah r.a. Telah diriwayatkan pula dari Abu Hurairah dengan teks yang sama dalam dua tempat; hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui.
". Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Musa Al-Ansari, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Fudaik, telah menceritakan kepadaku Ibrahim ibnul Fadl maula Bani Makhzum, dari Al-Maqbari, dari Abu Hurairah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Kematian menyerang di antara usia enam puluh sampai tujuh puluh tahun. Dalam sanad yang sama disebutkan pula bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: ". Sedikit dari kalangan umatku yang berusia tujuh puluh tahun. Sanad hadis berpredikat daif. Hadis lain yang semakna diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar di dalam kitab musnadnya. ". Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Hani', telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Mahdi, dari Usman ibnu Matar, dari Abu Malik, dari Rab'i, dari Huzaifah r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepada kami batas maksimal usia umatmu?" Rasulullah ﷺ menjawab: "Antara lima puluh sampai enam puluh.
Mereka bertanya, "Wahai Rasulullah, bagaimanakah dengan orang-orang yang berusia tujuh puluh tahun? Beliau ﷺ menjawab, "Sedikit dari kalangan umatku yang mencapai usia tujuh puluh tahun; semoga Allah merahmati orang-orang yang berusia tujuh puluh tahun, dan semoga Allah merahmati orang-orang yang berusia delapan puluh tahun.Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa tiada yang meriwayatkan dengan lafaz ini selain dari sanad ini, dan Usman ibnu Matar adalah seorang ulama dari Basrah, predikatnya kurang kuat. Di dalam kitab sahih telah disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ hidup dalam usia enam puluh tiga tahun, pendapat yang lainnya mengatakan enam puluh tahun, dan menurut pendapat yang lainnya lagi enam puluh lima tahun.
Akan tetapi, pendapat yang terkenal adalah pendapat yang pertama, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Firman Allah ﷻ: dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan ? (Fathir: 37) Telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., Ikrimah, Abu Ja'far Al-Baqir, Qatadah, Sufyan ibnu Uyaynah, bahwa mereka mengatakan yang dimaksud dengan nazir dalam ayat ini ialah uban (usia tua). As-Saddi dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa yang dimaksud dengan nazir ialah Rasulullah ﷺ Dan Ibnu Zaid sesudah mengatakan pendapatnya membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Ini (Muhammad) adalah seorang pemberi peringatan di antara pemberi-pemberi peringatan yang telah terdahulu. (An-Najm: 56) Pendapat inilah yang.sahih dari Qatadah menurut apa yang diriwayat oleh Syaiban darinya, bahwa Qatadah telah mengatakan, "Allah mengemukakan alasan dan hujah-Nya terhadap mereka dengan usia dan para rasul." Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir, dan pendapat inilah yang kuat, karena ada firman Allah ﷻ yang mengatakan: Mereka berseru, "Hai Malik, biarlah Tuhanmu membunuh kami saja.
Dia menjawab, "Kamu akan tetap tinggal (di neraka ini). Sesungguhnya Kami benar-benar telah membawa kebenaran kepada kamu, tetapi kebanyakan di antara kamu benci kepada kebenaran itu. (Az-Zukhruf: 77-78) Yakni sesungguhnya Kami telah menjelaskan kepada kalian kebenaran itu melalui lisan para rasul, ternyata kalian menolak dan menentangnya. Dan firman Allah ﷻ lainnya yang menyebutkan: Dan Kami tidak akan mengazab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (Al-Isra: 15) Setiap kali dilemparkan ke dalamnya sekumpulan (orang-orang kafir), penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah datang kepada kamu (di dunia) seorang pemberi peringatan?Mereka menjawab, "Benar ada, "sesungguhnya telah dalang kepada kami seorang pemberi peringatan, namun kami mendustakannya dan kami katakan, "Allah tidak menurunkan sesuatu pun; kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar. (Al-Mulk: 8-9) Adapun firman Allah ﷻ: maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolong pun. (Fathir: 37) Yakni rasakanlah oleh kalian azab neraka ini sebagai pembalasan dari perbuatan kalian yang menentang para nabi selama kalian hidup di dunia, maka pada hari ini kalian tidak akan dapat seorang penolong pun yang menyelamatkan kalian dari azab, siksaan, dan belenggu-belenggu yang mengungkung kalian sekarang."
Dan pedihnya siksa membuat mereka berteriak di dalam neraka itu untuk memohon kepada Allah, 'Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari neraka ini, niscaya kami akan mengerjakan kebajikan, yang berlainan de-ngan kedurhakaan dan kemaksiatan yang telah kami kerjakan dahulu. ' (Lihat juga: al-Mu'min'n/23: 107'108). Teriakan itu tidak sama sekali mengurangi siksaan yang mereka terima, bahkan dikatakan kepada mereka, 'Bukankah Kami telah memanjangkan umurmu untuk dapat berpikir bagi orang yang mau berpikir, untuk mengambil pelajaran, padahal telah datang kepadamu seorang pemberi peringatan, yaitu para rasul dengan penjelasan-penjelasan dari Allah' Maka rasakanlah azab Kami, dan bagi orang-orang zalim tidak ada seorang penolong pun. '38. Allah mengabaikan permohonan orang-orang kafir itu, karena sungguh, Allah mengetahui yang gaib dan tersembunyi di langit dan di bumi; tidak ada yang luput dari pengetahuan-Nya. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati dan akan memberinya balasan yang sepadan.
Lebih lanjut diterangkan bahwa orang yang bernasib malang itu memohon kepada Allah agar dilepaskan dari azab dan dikembalikan ke dunia lagi. Mereka berjanji akan menaati Allah yang selama di dunia mereka lalaikan. Akan tetapi, seandainya permohonan itu dikabulkan?dan ini tidak mungkin sama sekali?tentulah mereka akan mengulangi kembali perbuatan lama yang terlarang. Perbuatan yang mereka sesali dan pernah mereka lakukan di dunia dulu adalah perbuatan syirik dan segala perbuatan jahat lainnya. Allah menjawab dan menghardik mereka dengan ucapan yang menghina bahwa di dunia dulu kepada mereka telah diberikan kesempatan hidup dengan umur yang cukup panjang untuk memperbaiki kesalahan dan menerima kebenaran yang disampaikan rasul selaku orang yang memberi peringatan. Dengan kata lain, permohonan demikian tidak diterima Allah sama sekali. Ayat lain menyatakan:
Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami darinya (kembalikanlah kami ke dunia), jika kami masih juga kembali (kepada kekafiran), sungguh, kami adalah orang-orang yang zalim." Dia (Allah) berfirman, "Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku." (al-Mu'minun/23: 107-108)
Allah berfirman:
Dan barang siapa dibiarkan sesat oleh Allah, maka tidak ada baginya pelindung setelah itu. Kamu akan melihat orang-orang zalim ketika mereka melihat azab berkata, "Adakah kiranya jalan untuk kembali (ke dunia)?" (asy-Syura/42: 44)
Tentang umur yang dimaksudkan dalam ayat 37 ini, Ibnu 'Abbas menerangkan dalam satu riwayat, yaitu 40 tahun, dan riwayat lain mengatakan 60 tahun. Ibnu Katsir dalam tafsirnya memilih riwayat yang paling sahih dari Ibnu 'Abbas yakni 60 tahun. Demikian pula hadis riwayat Imam Ahmad dari Abu Hurairah. Di antara sekian banyak lafaz hadis itu, ada yang berarti: Adapun orang yang memberi peringatan yang disebutkan dalam ayat ini adalah Nabi Muhammad sendiri yang mengajarkan Kitabullah kepada umatnya, mengancam mereka dengan siksaan yang pedih bagi siapa yang tidak patuh kepada perintah Allah dan tidak mau menaati-Nya.
Ringkasnya, permohonan mereka itu tidak dikabulkan untuk kembali ke dunia ialah karena dua hal. Pertama, karena mereka rata-rata telah diberi kesempatan untuk hidup begitu lama antara 60 - 70 tahun, dan kedua, rasul sudah diutus kepada mereka untuk menyampaikan ajaran dan peringatan dari Tuhan.
Perhatikan firman Allah:
Hampir meledak karena marah. Setiap kali ada sekumpulan (orang-orang kafir) dilemparkan ke dalamnya, penjaga-penjaga (neraka itu) bertanya kepada mereka, "Apakah belum pernah ada orang yang datang memberi peringatan kepadamu (di dunia)?" (al-Mulk/67: 8)
Dalam Tafsir al-Wadhih dikatakan bahwa nadzir (pemberi peringatan) dalam ayat ini berarti Rasulullah yang membawa Al-Qur'an, boleh pula diartikan sebagai umur tua dan kematian. Memang umur dan kematian tersebut adalah peringatan penting bagi manusia bahwa sebentar lagi dia akan meninggalkan dunia yang fana ini, dan diwajibkan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Jelaslah bahwa orang-orang kafir di atas kekal di dalam neraka dan tidak dikeluarkan selama-lamanya. Azab nerakalah yang mereka rasakan sepanjang masa sebagai imbalan yang setimpal bagi orang yang zalim yang tidak mau tunduk kepada ajaran rasul sebagai utusan Allah dalam kehidupan duniawinya. Ayat ini menegaskan jangan diharap mereka akan memperoleh penolong yang akan menyelamatkan mereka dari azab neraka dari rantai dan belenggu yang terbuat dari api neraka.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AL KITAB DAN PENYAMBUTNYA
Ayat 31
“Dan apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau dari al-Kitab, itulah yang benar."
Al-Kitab yang dimaksudkan di sini ialah Al-Qur'an. Dia adalah benar-benar wahyu yang turun dari Allah ﷻ dengan perantaraan Malaikat Jibril, “Mengakui apa yang sebelumnya." Yaitu mengakui pula akan isi kitab-kitab yang diwahyukan pula kepada Nabi-nabi yang sebelum Nabi Muhammad ﷺ Yang terkemuka sekali ialah Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa dan Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa. Isi utama dari kedua kitab yang terdahulu sebelum Al-Qur'an itu ialah wahyu yang menyatakan bahwa Allah adalah Maha Esa, tidak bersekutu dengan yang lain. Kedatangan sekalian Rasul sejak Adam dan Nuh, sampai kepada Ibrahim dan keturunannya, sampai kepada Musa dan Isa dan penutupnya Muhammad ﷺ ialah mengajar tauhid, melarang menyembah dan memuja kepada yang selain Allah.
Maka kalau ditanyakan orang kepada kita, bagaimanakah sikap Islam terhadap kepada kitab-kitab yang disebut Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru sekarang ini, yang di dalam yang pertama terkandung juga Taurat dan di dalam yang kedua terkandung juga empat kitab yang disebut Injil karangan Matius, Injil karangan Markus, Injil karangan Lukas dan Injil karangan Yohannes?
Dapatlah kita menjawab secara ilmiah, yang diakui oleh ahli-ahli bangsa Barat sendiri bahwa kitab Taurat yang asli sudah tidak ada lagi. Aslinya sudah terbakar sesudah bangsa Babil menyerang Jerusalem, jauh sebelum Nabi Isa lahir, bahkan bahkan jauh sesudah mundurnya Kerajaan Dawud dan Sulaiman. Taurat yang sekarang, yang disebut Kejadian, Keluaran, Ulangan dan Bilangan telah disusun kemudian, terutama oleh Izra atau Uzair.
Kitab Perjanjian Baru mengandung empat kitab yang dikarang oleh empat orang mulia, yaitu Matius, Markus, Lukas, dan Yohannes. Bagaimana jua pun isi keempat kitab itu bukanlah seluruhnya wahyu langsung dari Tuhan, melainkan cerita yang dikarang tentang riwayat Nabi Isa, yang kadang-kadang tidak ada persamaan antara keempat kitab itu.
Tetapi sungguh pun demikian di dalam kitab-kitab itu tentu terdapat juga hal yang patut jadi perhatian, kata-kata hikmah yang mendalam sebagaimana Mazmur Nabi Dawud, Amsal Nabi Sulaiman, seruan al-Khathib. Namun sebagai Muslim kita mempercayai bahwa Al-Qur'an telah melengkapi akan kitab-kitab yang lama-lama itu dan unsur-unsur yang mempertahankan ajaran tauhid, sebagai pokok Hukum Sepuluh sebagai inti kitab Taurat, maka yang semacam itulah yang tetap diakui oleh al-Kitab Al-Qur'an, selain dari perubahan syari'at tentang istirahat hari Sabtu.
“Sesungguhnya Allah terhadap hamba-hamba-Nya adalah Maha Mengetahui, lagi Maha Melihat."
Arti yang terkandung di ujung ayat ini adalah mencakup turunnya syari'at. Bahwa-sanya pokok hukum yang asal adalah tetap, tetapi syari'at dapat berubah-ubah. Pokok hukum yang asal ialah iman. Pertama iman kepada Allah Yang Mahakuasa, kedua iman kepada adanya malaikat, ketiga iman kepada adanya rasul-rasul utusan Allah, keempat iman kepada adanya kitab-kitab suci atau wahyu, kelima iman kepada akan adanya Hari Kiamat dan keenam iman akan takdir adalah pokok ajaran yang dibawa oleh sekalian Rasul. Tetapi cara pelaksanaan syari'at dapat berubah-ubah, misalnya cara perkawinan, cara shalat, cara membayarkan zakat. Di antaranya yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad ﷺ ialah tentang ghanimah, yaitu harta rampasan perang. Pada umat yang terdahulu harta rampasan perang tidak boleh diambil, tetapi di umat Muhammad telah dibolehkan. Perubahan syari'at terjadi karena Allah Maha Mengetahui keadaan perubahan hidup manusia, perubahan zaman dan tempat, dan Allah pun Maha Melihat segi-segi kesanggupan dan kelemahan hamba-Nya.
Ayat 32
“Kemudian itu Kami wariskan at-Kitab itu kepada orang-orang yang telah Kami pilih di antara hamba-hamba Kami."
Yang dimaksud dengan hamba-hamba Allah ﷻ yang telah Dia pilih itu ialah umat Muhammad ﷺ, sejak kitab ini diturunkan sampai kepada akhir zaman. Lantaran itu maka umat Muhammad ﷺ kadang-kadang disebut juga Umatur-Risalah, yaitu umat yang telah memikul risalah. Setelah Rasulullah ﷺ wafat, lebih teranglah pewarisan itu. Sampai seketika Rasulullah ﷺ wafat itu, Abu Bakar berkata, “Barangsiapa yang menyembah Muhammad, maka Muhammad telah meninggal. Tetapi barangsiapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah selalu hidup, tidak mati-mati."
Tentu saja yang diwariskan itu ialah artinya, pemahamannya, isi kandungannya, ilmu-ilmunya, hukum-hukumnya, dan pokok ajaran aqidahnya.
Boleh juga diartikan, bahwa meskipun waktu Rasulullah ﷺ masih hidup telah dijelaskan bahwa kitab ini akan terus-menerus diwariskan dan tetap akan dipegang teguh digenggam erat, turun-temurun.
Maka apabila seseorang telah mengakui dua kalimat syahadat, “Asyhadu Alia Ilaha illallah, Wa Asyhadu Anna Muhammadar Rasulullah “ berartilah bahwa dia telah menerima waris dan diakuilah dia sebagai umat Muhammad ﷺ, terpilihlah dia di antara segala hamba Allah di dunia ini menjadi penerima waris al-Kitab. Tetapi setelah kitab diterima mereka sebagai waris yang kekal, “Lalu di antara mereka ada yang menganiaya kepada dirinya sendiri, dan di antara mereka ada yang berlaku cermat, dan di antara mereka ada yang mendahului berbuat kebajikan dengan izin Allah."
Tiga macamlah rupanya aliran penerima-penerima waris al-kitab itu: pertama, yang aniaya kepada dirinya sendiri, kedua yang bersikap cermat atau hati-hati dan ketiga yang mendahului berbuat kebajikan.
Berbagai ragamlah penafsiran ahli-ahli tafsir dari seginya masing-masing tentang ketiga corak ini: zalim, cermat, dan mendahului.
Sahi bin Abdullah at-Tustury (sufi) berkata, “Yang mendahului ialah orang alim. Orang yang cermat ialah orang yang berguru. Orang yang zalim ialah yang bodoh."
Dzun Nuun al-Mishri berkata, “Yang zalim yang menyebut Allah dengan lidahnya saja. Yang cermat ialah yang ingat akan Allah dalam hatinya. Yang mendahulu ialah yang tidak pernah melupakan Allah."
Al-Inthaki berkata, “Yang zalim hanya omong saja, yang cermat yang beramal, yang mendahulu yang empunya ahwaal (keadaan dirinya selalu dalam ingat) “
Ibnu Athaillah al-Iskandari berkata, “Orang yang zalim ialah cinta kepada Allah karena dunia, yang cermat ialah yang cinta kepada Allah karena memikirkan hari kemudian, yang mendahului ialah yang gugur keinginan dirinya sendiri karena menuruti keinginan Allah ﷻ"
Ada pula yang mengatakan, “Yang zalim ialah yang menyembah kepada Allah karena takut masuk neraka, yang cermat ialah yang takut kepada Allah karena mengharapkan masuk surga dan yang mendahului ialah menyembah Allah semata-mata mengharapkan wajah Allah, tidak tersebab apa pun yang lain."
Yang lain berkata, “Orang yang zalim zahid di dunia, karena dia aniaya diri sendiri, lalu ditinggalkannya, yaitu makrifat dan muhibbah. Orang cermat ialah orang yang arif, orang yang mendahului, ialah orang yang bercinta."
Berkata yang lain, “Orang zalim ialah yang gelisah menghadapi bahaya. Orang yang cermat ialah yang sabar menghadapi bahaya. Orang yang mendahului ialah yang merasa kepuasan jiwa dengan bahaya."
Kata yang lain, “Orang yang zalim ialah yang suka menerima tetapi tak mau memberi. Yang cermat ialah suka menerima dan suka memberi. Yang mendahului, walaupun tidak diberi namun dia tetap bersyukur dan mementingkan orang lain."
Yang lain berkata, “Yang zalim ialah merasa dirinya kaya dengan harta. Yang cermat ialah yang merasa dirinya kaya dengan agamanya. Yang mendahului ialah yang merasa dirinya kaya dengan Allah ﷻ"
Ada puia yang berkata, “Yang zalim ialah suka membaca Al-Qur'an tetapi tidak suka mengamalkan isinya. Yang cermat ialah suka membaca Al-Qur'an dan suka mengamalkan. Yang mendahului ialah suka membaca Al-Qur'an, suka mengamalkan dan mengetahui akan isinya."
Ada lagi yang berkata, “Yang mendahului ialah yang masuk masjid sebelum adzan (bang). Yang cermat ialah yang masuk masjid setelah adzan, yang zalim ialah yang masuk masjid setelah imam mulai shalat “
Kata yang lain pula, “Yang zalim ialah yang mencintai dirinya, yang cermat ialah yang mencintai agamanya, dan yang mendahului ialah yang mencintai Allah ﷻ"
Ada satu qaul dari Aisyah istri Nabi ﷺ (moga-moga Allah meridhainya), “Yang mendahului ialah yang memeluk Islam sebelum hijrah, yang cermat ialah yang masuk Islam sesudah hijrah, yang zalim ialah yang masuk Islam karena takut ancaman pedang."
Semua tafsir dan pengertian ini disalinkan oleh al-Qurthubi dalam tafsirnya, yang menurut keterangan beliau diambilnya dari keterangan ats-Tsalabi dalam tafsir beliau.
Ar-Razi pun menyalinkan pula sepuluh penafsiran dalam tafsir beliau.
Pertama, “Yang zalim ialah yang lebih banyak kesalahannya, yang cermat ialah yang seimbang kesalahannya dengan kebaikannya, yang mendahuluinya ialah yang lebih banyak kebaikannya."
Kedua, “Yang zalim ialah orang yang kulitnya lebih bagus dari isinya. Yang cermat ialah bersamaan kulitnya dengan isinya. Yang mendahului ialah yang isinya lebih baik."
Ketiga, “Yang zalim ialah mengakui tauhid dengan lidah, tetapi dibantah oleh berbeda dengan sepak terjang hidupnya. Yang cermat ialah yang mengakui tauhid, tetapi sikap hidupnya menahan diri dari menyalahinya dengan terpaksa. Yang mendahului ialah yang keyakinan tauhid dalam hatinya sesuai dengan gerak langkah hidupnya."
Keempat, “Yang zalim ialah yang berbuat dosa besar. Yang cermat ialah yang berbuat dosa kecil. Yang mendahului ialah yang ma'shum dari dosa."
Kelima, “Yang zalim ialah yang membaca Al-Qur'an dengan tidak mau mempelajari isinya dan tidak pula mengamalkannya. Yang cermat ialah yang membaca dan mengetahui. Yang mendahului ialah yang membaca, mengetahui, dan mengamalkan."
Keenam, “Yang zalim ialah yang jahil. Yang cermat yang suka belajar. Yang mendahului ialah yang alim."
Ketujuh, “Yang zalim ialah orang-orang masy'amah (celaka). Yang cermat ialah orang-orang maimanah (menempuh jalan kanan). Yang mendahului ialah yang tampil ke muka mendekati Allah ﷻ"
Kedelapan, “Yang zalim ialah yang setelah dihisab kelak masuk neraka. Yang cermat ialah yang setelah dihisab masuk surga. Yang mendahului ialah yang masuk surga dengan tidak melalui hisab lagi."
Kesembilan, “Yang zalim ialah yang tak mau berhenti berbuat maksiat. Yang cermat ialah yang merasa menyesal dan bertobat. Yang mendahului ialah yang menyesal dan bertobat yang tobatnya diterima."
Kesepuluh, “Yang zalim ialah yang mengambil Al-Qur'an tetapi tidak mengamalkan-nya. Yang cermat ialah yang mengamalkannya. Yang mendahului ialah yang mengambil Al-Qur'an untuk diamalkan dan mengajak pula kepada orang lain supaya mengamalkannya. Itulah yang bernama Al-Kamilul-mukammil (sempurna lagi menyempurnakan). Lantaran itu maka orang cermat ialah sempurna sendiri dan yang zalim adalah kekurangan."
Lalu ditambahkan lagi oleh ar-Razi, bahwa orang yang zalim ialah yang menyalahi isi Al-Qur'an, yang diperintahkan dia tinggal, yang dilarang dia kerjakan, dia meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Orang yang cermat ialah yang selalu berusaha meninggalkan hal yang dilarang Allah, meskipun dengan perjuangan yang hebat, maka menjadi selalu dia mawas diri jangan sampai terlanggar perintah Allah SWT, selalu menuju yang benar. Sedang yang mendahului ialah yang tidak pernah melanggar perintah dengan taufik dari Allah, itu sebab maka di ujung ayat disebutkan, “Dengan izin Allah."
Menjadi perbincangan pula di antara ahli tafsir mengapa yang zalim yang dahulu di-sebutkan, sesudah itu baru disebut orang yang hemat cermat dalam beramal, dan kemudian sekali baru yang disebutkan orang yang mendahului sampai kepada yang dituju, yang tidak berpikir panjang lagi.
Tersebutlah dalam sebuah hadits yang dirawikan oleh ath-Thabrani, bahwa Usamah bin Zaid pernah menanyakan kepada Nabi ﷺr “Siapakah yang dimaksud dengan ayat ini, dari mereka ada yang zalim dan dari mereka ada yang cermat dan dari mereka ada yang segera mendahului berbuat baik dengan izin Allah." Nabi menjawab,
“Semuanya itu dari umat ini."
Tersebut pula dalam sebuah atsar yang dirawikan oleh Abu Dawud dari Aisyah, istri Rasulullah ﷺ, bahwa Uqbah bin Shaban al-Hanaai bertanya kepada beliau tentang arti ayat ini dan maksud yang terkandung di dalamnya. Lalu Ibu orang-orang yang beriman itu menjawab, “Wahai anakku! Semua orang itu masuk surga kelaknya. Yang mendahului berbuat kebajikan ialah orang-orang yang telah terdahulu itu, yang telah hidup sezaman dengan Rasulullah ﷺ, yang telah diberi baginya kesaksian oleh Rasulullah dengan kehidupan dan rezeki. Adapun orang-orang yang cermat ialah sahabat-sahabat beliau yang telah mengikuti jejak beliau sampai mereka menuruti beliau. Adapun yang dimaksud dengan orang-orang yang zalim ialah orang yang semacam aku dan engkau ini."
Kata Shahban selanjutnya, “Beliau letakkan dirinya dalam golongan orang yang zalim karena tawadhu merendah diri. Padahal beliau adalah termasuk orang yang melangkah ke muka mendahului yang lain dalam berbuat berbagai kebajikan, karena kelebihan beliau dari sekalian perempuan adalah laksana kelebihan roti dari sekalian makanan/'
Menurut riwayat dari Ibnu Abi Hatim pula, Sayyidina Utsman bin Affan pernah pula mengatakan, “Yang dimaksud dengan yang zalim ialah Badwi kita. Yang cermat ialah orang-orang kota kita. Dan yang dahulu tampil ke muka ialah orang-orang yang pergi berjihad."
Dengan semua keterangan ini jelaslah, bahwa ketiga golongan ini adalah sifat dari umat Muhammad ﷺ, umat yang telah mengakui bahwa mereka bertuhan kepada Allah Yang Maha Esa, tidak ada tuhan melainkan Allah dan Muhammad adalah Rasulullah. Bagaimanapun ada yang kurang mutunya, namun mereka adalah umat terpilih jua adanya.
Ujung ayat berbunyi,
Itulah dia karunia yang amat besar."
Yaitu bahwa orang yang merasa dirinya sudah berlaku zalim dibuka Allah ﷻ baginya pintu buat memohon ampun. Orang yang cermat dibuka Allah ﷻ baginya kesempatan buat mempertinggi mutu amalnya dan orang yang dahulu sekali tampil ke muka dengan tidak merasa ragu lagi, sampai kadang-kadang mencapai syahid di medan juang, akan dimasukkan Allah ﷻ dengan serba kemuliaan ke dalam surga. Demikian juga yang zalim dan yang cermat itu. Memang itulah karunia yang amat besar dari Allah ﷻ kepada umat terpilih.
“Lagi Mensyukuri."
Mensyukuri artinya menerima baik dan memberikan ganjaran besar atas amal ke-bajikan kami, meskipun tidak sepadan kecilnya amalan dengan besarnya karunia.
Ayat 33
“Surga Adn, yang mereka akan masuk ke dalamnya “
Masing-masing dengan izin Allah, masing-masing dengan serba-serbi kepatuhan yang patut diterimanya."Akan dihiasi mereka padanya dengan berbagai gelang dari emas dan mutiara." Yaitu pakaian-pakaian yang layak bagi ahli surga.
“Dan pakaian mereka di dalamnya ialah sutra."
Laki-laki dan perempuan diberi pakaian yang demikian, menurut bentuk yang pantas dan patut. Sehingga jika di dunia ini laki-laki dilarang memakai emas dan sutra, dan diuntukkan itu bagi pakaian perempuan, namun di surga pakaian demikian, sebagaimana gelang emas berhias mutiara dan baju sutra sudah boleh jadi pakaian laki-laki.
Ayat 34
“Dan mereka berkata, “Segala puji-pujian bagi Allahyang telah menghilangkan dari kami duka cita."
Karena tatkala di dunia dahulu sampai mati menutup mata, sampai ke dalam alam kubur dan alam barzakh, kerap kali timbul duka cita memikirkan keadaan yang akan di-tempuh kelak, karena merasakan kekurangan diri melakukan perintah Allah ﷻ dan meng-hentikan larangan-Nya. Sekarang tiba-tiba mendapat karunia dari Allah ﷻ buat masuk ke dalam surga yang sangat diharapkan.
“Sesungguhnya Tuhan kami itu adalah Maha Pemberi Ampun atas beberapa kelalaian, kealpaan yang tidaklah kami sunyi darinya.
Ayat 35
“Dialah yang telah menempatkan kami di negeri yang berketetapan dari sebab kanunia-Nya."
Pantaslah jika surga ini disebut juga negeri tempat berketetapan. Sebab sebelumnya belumlah ada tempat ketetapan bagi manusia. Hidup dalam perut ibu sembilan bulan, hidup di dalam dunia sekian puluh tahun, hidup di dalam alam kubur sekian masa, hidup di Padang Mahsyar sesudah datang panggilan beberapa lamanya pula, belumlah bernama tempat berketetapan. Surgalah tempat berketetapan.
"Di dalamnya kami tidak disinggung oleh kelelahan dan tidak disinggung oleh kelesuan."
Tidak ada di sana sebab buat lelah, sebab suasana di waktu itu tidak ada yang melelahkan badan sebagaimana di dunia ini. Dan tidak pula lesu pada ruhani sehingga melemahkan semangat, sebab di antara segala keadaan di waktu itu berupa nikmat belaka. Apatah lagi beberapa perintah Allah di dunia ini memberatkan dan melelahkan seumpama mengerjakan ibadah haji. Di akhirat kelelahan seperti itu tidak ada lagi, sebagai perintah mengerjakan pekerjaan yang berat semacam itu tidak ada lagi. Di dalam surah al-Haaqqah ayat 24 dijelaskan lagi,
“Makanlah dan minumlah sepuas-puasnya dari sebab apa yang telah kamu perbuat terlebih dahulu pada hari-hari yang telah lalu." (al-Haaqqah: 24)
Kelelahan dan kelesuan biarlah ketika mempersiapkan amal di dunia ini saja. Di akhirat terlepaslah dari kelelahan dan kelesuan itu. Sebagaimana timbalannya,
hendaknya menempuh kembali jalan yang benar. Tegasnya bahwa buat mengelakkan adzab yang keras dan ngeri itu ialah di zaman hidup sekarang ini juga.
Ayat 36
“Dan orang-orang yang kafir, untuk mereka adalah neraka jahanmm."
Di tempat yang penuh sengsara itulah mereka akan ditempatkan. Karena di waktu hidup di dunia seruan kepada al-Haq itu tidak pernah mereka pedulikan, bahkan mereka dustakan di dalam segenap gerak dan langkah mereka."Tidaklah mereka dibinasakan se-hingga mati semua." Sebab mati sudah lepas masanya dan mati itu hanya sekali. Padahal kalau mereka dimatikan pula sekali lagi, niscaya tidak akan mereka rasakan lagi siksaan dan adzab itu.
Bersabda Rasulullah ﷺ,
“Adapun ahli neraka, yang mereka itu memang jadi penduduknya, tidaklah mereka akan mati di sana dan tidak pula hidup." (HR Muslim dalam Shuhih-nya)
“Dan tidak diringankan dari mereka adzabnya itu “Artinya bahwa bertambah lama bukanlah adzab itu bertambah ringan, melainkan bertambah berat dan mengerikan, se-bagaimana yang disebutkan dalam ayat-ayat yang lain dalam Al-Qur'an,
“Seperti demikianlah Kami mengganjali setiap orang yang kufir."
Diberikan peringatan sekeras ini, bahwa adzab dan siksa itu tidak akan dikurangi sedikit pun, bahkan kian lama kian mengerikan, maksudnya ialah agar dari masa hidup ini juga seseorang yang telah terlanjur kufur segera tobat dan memohonkan ampun karunia Allah, moga-moga dengan bimbingan Allah ﷻ jugalah
Ayat 37
“Dan mereka berteriak-teriak di dalamnya."
Menjelaskan bagaimana ngerinya adzab yang dirasakan dalam Jahannam itu, yang kian lama kian memuncak. Teriak-teriakan mereka itu “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami, agar kami beramal yang saleh, lain dari yang telah pernah kami amalkan itu." Sampai berteriak-teriak, bersorak-sorak, rrtemekik-memik dan menggarung lain tidak ialah dari sebab ngeri dan dahsyatnya adzab yang dihadapi. Lalu datanglah jawaban Allah SWT, yang disampaikan oleh malaikat-malaikat penjaga neraka itu."Dan apakah bukan telah kami beri umur kamu?" Bukankah kehidupan itu telah Kami anugerahkan? Umur yang panjang pun Kami beri? Bukankah kesempatan sangat luas dan panjang Kami sediakan buat kamu?"Tetapi tidaklah teringat padanya orang yang mengingat." Peringatan ini terutama kepada orang yang telah dewasa. Pengalaman sudah banyak patutlah menjadi pengajaran. Persediaan akal pun diberikan oleh Allah ﷻ"Dan telah datanglah kepada kamu Pemberi ancaman." Maka bukanlah kamu dibiarkan saja hidup di dunia dengan tidak diberi pimpinan. Rasul pun telah datang, membawakan petunjuk-petunjuk dari Allah. Disampaikan semuanya itu kepada kamu. Namun semuanya itu tidak kamu pedulikan; “Maka rasakanlah! “ Rasakanlah sekarang! Inilah akibat dari keras kepala kamu selama di dunia itu.
“Maka tidaklah ada bagi orang-orang yang aniaya itu seorang penolong pun."
Maka percumalah kalau berteriak-teriak mengeluh, mengaduh, merengek dan minta dikembalikan ke dunia agak sejenak itu, apabila diri telah sampai di sana nanti. Lebih baik di dunia sekarang saja kita memperbaiki langkah, yaitu tunduk kepada bimbingan dan pimpinan Allah dan Rasul,