Ayat
Terjemahan Per Kata
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَتۡلُونَ
(mereka) membaca
كِتَٰبَ
kitab
ٱللَّهِ
Allah
وَأَقَامُواْ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَأَنفَقُواْ
dan mereka menafkahkan
مِمَّا
sebagian apa
رَزَقۡنَٰهُمۡ
telah Kami beri rezeki mereka
سِرّٗا
sembunyi-sembunyi
وَعَلَانِيَةٗ
terang-terangan
يَرۡجُونَ
mereka mengharapkan
تِجَٰرَةٗ
perdagangan
لَّن
tidak akan
تَبُورَ
merugi
إِنَّ
sesungguhnya
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
يَتۡلُونَ
(mereka) membaca
كِتَٰبَ
kitab
ٱللَّهِ
Allah
وَأَقَامُواْ
dan mereka mendirikan
ٱلصَّلَوٰةَ
sholat
وَأَنفَقُواْ
dan mereka menafkahkan
مِمَّا
sebagian apa
رَزَقۡنَٰهُمۡ
telah Kami beri rezeki mereka
سِرّٗا
sembunyi-sembunyi
وَعَلَانِيَةٗ
terang-terangan
يَرۡجُونَ
mereka mengharapkan
تِجَٰرَةٗ
perdagangan
لَّن
tidak akan
تَبُورَ
merugi
Terjemahan
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah (Al-Qur’an), menegakkan salat, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepadanya secara sembunyi-sembunyi dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perdagangan yang tidak akan pernah rugi.
Tafsir
(Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca) selalu mempelajari (kitab Allah dan mendirikan salat) yakni mereka melaksanakannya secara rutin dan memeliharanya (dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan) berupa zakat dan lain-lainnya (mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi) tidak bangkrut.
Tafsir Surat Al-Fatir: 29-30
Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Allah ﷻ menceritakan tentang hamba-hamba-Nya yang beriman, yaitu orang-orang yang membaca Kitab-Nya dan beriman kepadanya serta mengamalkan isi yang terkandung di dalamnya, antara lain mendirikan salat dan menginfakkan sebagian dari apa yang diberikan oleh Allah kepada mereka di waktu-waktu yang telah ditetapkan, baik malam ataupun siang hari, baik sembunyi-sembunyi ataupun terang-terangan.
mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi. (Fathir: 29) Maksudnya, mereka mengharapkan pahala di sisi Allah yang pasti mereka dapati, seperti yang telah kami terangkan dalam permulaan kitab tafsir ini dalam pembahasan keutamaan Al-Qur'an, bahwa dikatakan kepada pelakunya, "Sesungguhnya tiap-tiap orang itu berada di belakang perniagaannya, dan sesungguhnya kamu pada hari ini berada di belakang semua perniagaan" Karena itulah disebutkan oleh firman berikutnya: agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. (Fathir: 30) Yakni agar Allah menyempurnakan pahala amal perbuatan mereka dan melipatgandakannya dengan tambahan-tambahan yang belum pernah terdetik dalam kalbu mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun. (Fathir: 0) terhadap dosa-dosa mereka. lagi Maha Bersyukur. (Fathir: 30) Yaitu tetap akan membalas amal perbuatan mereka betapapun kecilnya amal perbuatan mereka. Qatadah mengatakan bahwa Mutarrif rahimahullah bila membaca ayat ini mengatakan bahwa ini adalah ayat mengenai ahli qurra (membaca Al-Qur'an). Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Haiwah, telah menceritakan kepada kami Salim ibnu Gailan yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Darij alias Abus Samah menceritakan hadis berikut dari Abul Haisam, dari Abu Sa'id Al-Khudri r.a. yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: Sesungguhnya Allah ﷻ apabila rida kepada hamba-Nya, maka Dia memujinya dengan tujuh macam kebaikan yang tidak dikerjakannya. Dan apabila murka kepada hamba-Nya, maka Dia menyebut-nyebutnya dengan tujuh macam keburukan yang tidak dilakukannya. Hadis ini berpredikat garib."
29-30. Pada ayat ini Allah menyebutkan sebagian tanda orang yang takut kepada-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah, yakni Al-Qur'an, lalu mereka mengkaji dan mengamalkan kan-dungannya, dan melaksanakan salat dengan sempurna syarat dan rukunnya, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada-nya dengan diam-diam dan terang-terangan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mereka itu mengharapkan perdagangan dengan Allah yang tidak akan pernah rugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun segala khi-laf dan dosa, Maha Mensyukuri, yakni memberi pahala atas perbuatan baik hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya, dan sebagainya. 29-30. Pada ayat ini Allah menyebutkan sebagian tanda orang yang takut kepada-Nya. Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah, yakni Al-Qur'an, lalu mereka mengkaji dan mengamalkan kan-dungannya, dan melaksanakan salat dengan sempurna syarat dan rukunnya, dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada-nya dengan diam-diam dan terang-terangan, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, mereka itu mengharapkan perdagangan dengan Allah yang tidak akan pernah rugi, agar Allah menyempurnakan pahalanya kepada mereka dan menambah karunia-Nya. Sungguh, Allah Maha Pengampun segala khi-laf dan dosa, Maha Mensyukuri, yakni memberi pahala atas perbuatan baik hamba-Nya, memaafkan kesalahannya, menambah nikmat-Nya, dan sebagainya.
Pada ayat ini, Allah menerangkan bahwa orang-orang yang selalu membaca Al-Qur'an, meyakini berita, mempelajari kata dan maknanya lalu diamalkan, mengikuti perintah, menjauhi larangan, mengerjakan salat pada waktunya sesuai dengan cara yang telah ditetapkan dan dengan penuh ikhlas dan khusyuk, menafkahkan harta bendanya tanpa berlebih-lebihan dengan ikhlas tanpa ria, baik secara diam-diam atau terang-terangan, mereka adalah orang yang mengamalkan ilmunya dan berbuat baik dengan Tuhan mereka. Mereka itu ibarat pedagang yang tidak merugi, tetapi memperoleh pahala yang berlipat ganda sebagai karunia Allah, berdasarkan amal baktinya. Firman Allah:
Adapun orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, Allah akan menyempurnakan pahala bagi mereka dan menambah sebagian dari karunia-Nya. (an-Nisa'/4: 173)
Selain dari itu, mereka juga akan memperoleh ampunan atas kesalahan dan kejahatan yang telah dilakukan, karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri hamba-hamba-Nya, memberikan pahala yang sempurna terhadap amal-amal mereka, memaafkan kesalahannya dan menambah nikmat-Nya. Sejalan dengan ini firman Allah:
Sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Mensyukuri. (asy-Syura/42: 23)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Ayat 19
“Dan tidaklah sama oramg yang buta dengan orang yang melihat."
Buta di sini ialah buta hati karena pengajaran dan tuntunan Allah ﷻ tidak masuk ke dalam. Seumpama orang yang disebut buta huruf, meskipun huruf-huruf itu berdiri se-besar tonggak di hadapan matanya, tidaklah akan pandai dia membacanya. Adapun orang yang melihat yang dimaksud di sini ialah orang yang terbuka mata hatinya menerima kebenaran.
Orang yang buta hati, tidaklah dia akan melihat hakikat dari sesuatu, walaupun mata-nya nyalang melihat. Orang yang terbuka mata hati, niscaya akan melihat apa yang tidak ke-lihatan oleh orang lain.
Kalau kita hendak menafsirkan Al-Qur'an dengan Al-Qur'an, marilah lihat surah al-Hajj ayat 46. Di sana dijelaskan apa yang dimaksud dengan buta ini.
“Maka sesungguhnya dia bukanlah buta penglihatan, melainkan buta hati yang ada di dada-dada itu." (al-Hajj: 46)
Ayat 20
“Dan tidak (pula) sama yang gelap dengan yang terang."
Gelap di sini pun gelap hati, dan terang pun terang hati. Hati jadi gelap karena pe-tunjuk iman tidak ada. Sebab itu tidak jelas ke mana arah perjalanan yang akan dituju. Kadang-kadang hidup seperti mehesta kain sarung saja, berputar-putar di sana ke sana saja. Langkah menjadi tidak lurus ke muka. Karena hati tidak mempunyai kebenaran buat menempuhnya. Amat berbeda orang yang hidup dalam gelap gulita jiwa dengan orang yang dicahayai hidupnya oleh iman. Tujuan hidup orang yang tidak beriman itu jadi kabur. Pikirannya hanya sekadar kepentingan diri, mengumpulkan benda, dan hidup orang yang jiwanya dicahayai oleh iman, hidupnya ialah memikirkan hari depan. Cahaya itu timbul dalam dirinya sendiri.
Ayat 21
“Dan tidak sama yang teduh dengan yang panas."
Orang merasakan nyaman dan sejuk apabila dia tertegun di tempat yang berteduh, dia berhenti sebentar menghirup udara segar mengumpul tenaga baru, buat melanjutkan perjalanan. Dia merasakan keteduhan dan rehat bila dia istirahat sejenak sesudah bekerja keras beramal saleh, untuk melanjutkan perjalanan, mungkin yang lebih berat lagi.
“Hidup pejuang tak kenal nganggur, amalan siang, tahajud malam, istirahat hanya di lubang kubur, jiwa bersinar, tak kenal kelam.
Tetapi orang yang buta hati, gelap batin adalah selalu kepanasan. Selalu dalam keadaan haruur, yaitu pelak panas. Karena kerja yang tak beres, karena pikiran selalu ragu, karena kepercayaan kepada diri sendiri tidak ada, tersebab kepercayaan kepada Allah ﷻ tidak ada. Panas berkipas padahal tak ada yang dikerjakannya.
Ayat 22
“Dan tidaklah sama orang-orang yang hidup dengan orang-orang yang mati."
Walaupun masih hidup di dalam dunia, padahal iman tidak ada, samalah artinya de-ngan mati. Tetapi orang yang telah lama mati, jasadnya tidak ada di muka bumi lagi, telah hancur tulang belulangnya dalam kubur, kerap kali masih hidup karena kenang-kenangan yang baik atas dirinya.
“Sesungguhnya Allah memberikan pendengaran kepada barangsiapayang dikehendaki-Nya." Tegasnya bahwa Allah-lah yang menentukan siapa yang akan mau mendengarkan pengajaran yang diberikan Rasul dan siapa pula yang enggan.
“Dan tidaklah engkau akan membuat mendengar, orang yang dalam kubur."
Dalam pergaulan hidup kita sehari-hari, terutama dakwah kepada manusia dapatlah kita lihat, bahwa kita manusia tidaklah berkuasa apa-apa buat memberi orang petunjuk kepada jalan kebenaran. Keinsafan orang itu memang bergantung kepada karunia Allah belaka. Kadang-kadang orang yang disangka akan lekas menerima seruan dakwah menjadi penantang sama sekali, padahal kita menyangka melihat kepada kecerdasannya, ketinggian ilmunya dan banyak pengalamannya bahwa dialah yang akan terlebih dahulu menerima. Tiba-tiba yang menerima dakwah itu orang lain yang tidak disangka saja.
Ayat 23
“Tidak lain engkau hanyalah pemberi ancaman."
Tegasnya ayat ini disambungkan dengan ayat-ayat sebelumnya, bahwa yang akan men-beri petunjuk kepada seseorang adalah terpulang kepada Allah semata-mata. Nabi ﷺ sendiri tidak usah kecewa kalau ada di antara mereka yang membantah, menghalang, atau mendustakan. Malahan hendaklah Rasul ﷺ meneruskan tugasnya, teruskan berdakwah, teruskan menyeru, teruskan mengajak manusia kepada jalan yang benar. Namun seruan ini kelak pasti berhasil juga.
Setelah itu Allah ﷻ menegaskan lagi tugas Rasul ﷺ,
Ayat 24
“Sesungguhnya Kami telah mengutus engkau dengan kebenaran ."
Kebenaran itu adalah mutlak, tidak dapat diubah oleh manusia dan tidak dapat ditukar. Cuma menyampaikan kebenaran itu adalah memakai cara. Kadang-kadang sampaikanlah kebenaran itu dengan membawa berita gembira. Itulah yang bernama basyiiran.
Di kala yang lain diberikan peringatan kebenaran itu dengan cara nadziiran, yaitu peringatan keras dan ancaman, bahwa kalau masih tetap membangkang, mendustakan, tidak menerima dan tidak mau percaya, padahal hanya karena keras kepala saja, sengsaralah yang akan menimpa, baik sengsara jiwa di dunia atau adzab siksaan di akhirat.
Itulah yang dimaksud pada sambungan ayat, “Pembawa berita gembira dan berita ancaman." Oleh sebab itu, janganlah kita terpesona hanya ketika mendengar berita yang menggembirakan, bahwa orang yang beriman akan masuk surga, akan diberikan gedung-gedung indah dan istana-istana permai dengan kebun-kebun yang indah, dihidangi oleh anak-anak bidadari dan pemuda-pemuda sebaya, laksana mutiara yang tersimpan dalam lokan giwang dan sebagainya, tetapi ingatlah lagi bahwa yang dijanjikan sedemikian itu tidak akan tercapai, bahkan sebaliknyalah yang akan ditemui, yaitu neraka Jahannam, terbenam di dalam api menyala, dicambuk dengan cemeti oleh malaikat yang tidak mengenal kasihan, kalau kiranya kita tidak menuruti ajakan Allah ﷻ
“Dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah pernah ada pada mereka pemberi ancaman."
Dengan ujung ayat ini jelaslah bahwa umat-umat yang dahulu, jauh sebelum Nabi Muhammad ﷺ sekalian yang telah patut disebut umat telah ada dikirim Allah ﷻ kepada mereka nabi-nabi atau rasul untuk menyampaikan ancaman dan kabar yang meng-gembirakan itu. Ada yang tersebut namanya dalam Al-Qur'an dan ada yang tidak. Ada yang diceritakan tentang mereka oleh Allah ﷻ dan ada yang tidak diceritakan.
Sebab itu mungkin raja Kong Hu Tsu atau Buddha, atau Socrates di Yunani dan lain-lain, mereka itu nabi juga.
Ayat 25
“Dan jika mereka mendustakan engkau, maka sesungguhnya telah mendustakan pula orang-orang yang sebelum mereka."
Ini adalah sebagai hiburan bagi Nabi karena sewaktu-waktu tolakan dan tantangan kaumnya itu sangat keras terhadap dirinya. Yang demikian adalah hal yang lumrah bagi seorang Rasul yang berjuang menyampaikan dakwah kepada jalan Allah SWT, meskipun telah dipakai taktik basyiiron dan nadziiran, atau dipakai cara-cara berdakwah yang tiga tingkat; bilhikmati (dengan hikmah) wal mau'izhatil hasanati (pengajaran yang baik) dan wa jaadilhum billatii h iya ahsan (bertukar pikiran dengan mereka dengan jalan yang sebaik-baiknya), namun pasti ada yang mendustakan. Sebab-sebab buat mendustakan itu pun banyak. Yang utama sekali karena sukar meninggalkan tradisi yang telah biasa diterima dari nenek moyang, yang kedua kadang-kadang bersangkut paut dengan kepentingan pribadi, takut pengaruhnya akan ditandingi, atau takut kekuasaannya akan dikurangi atau takut keuntungan hartanya akan berkurang.
“Telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan berbagai keterangan." Berbagai keterangan itu pun dua keterangan dengan lisan, hujjah dan alasan yang jitu dan ada pula keterangan yang berupa mukjizat yang benar-benar menunjukkan kekuasaan Allah ﷻ yang mutlak yang Dia pertunjukkan dengan perantaraan rasul-rasul itu, seumpama unta Nabi Shalih, tongkat Nabi Musa, menghidupkan orang mati, menyalangkan mata orang yang telah buta bagi Nabi Isa bin Maryam dan lain-lain; “dan zabur-zabur, “ yaitu beberapa zabur atau brosur kecil yang dibawa oleh rasul-rasul tadi, seumpama Zabur yang dibawa oleh Nabi Dawud yang berisi Mazmur pujian kepada Allah, atau Zabur yang dibawa oleh Nabi Asy'iya dan nabi-nabi yang lain.
“dan dengan kitab yang bercahaya."
Yang isinya begitu jelas dan terang, sebagaimana hukum Taurat yang diturunkan Allah kepada Nabi Musa buat mengatur masyarakat Bani Israil.
Dengan menyebut perlengkapan kedatangan rasul-rasul itu, sejak dari membawa berbagai keterangan dan penjelasan, sampai kepada adanya kitab kecil-kecil yang bernama zabur dan jamaknya disebutzubur sampai pula kepada kitab yang menerangi jelaslah bahwa keterangan rasul-rasul itu benar-benar membawa tugas yang berat. Tetapi apakah hendak dikatakan, namun yang kafir masih tetap ada.
Ayat 26
“Kemudian Aku adzablah orang-orang yang kafir itu."
Ada yang hancur, ada yang digulung topan, ada yang ditunggangbalikkan negerinya, di-hancukan oleh angin, disapu habis oleh gempa, dan berbagai adzab yang lain, baik di dunia apatah lagi di akhirat kelak.
“Maka betapa jadinya akibat kemurkaan-Ku."
Semuanya itu bukan karena Allah yang aniaya, melainkan merekalah yang menganiaya diri sendiri.
***
ULAMA MERENUNG ALAM
Setelah Allah ﷻ menjelaskan sejak ayat 19 sampai ayat 26 tentang hubungan Nabi dengan insan, dan menjelaskan bahwa kekafiran berarti buta dan iman berarti mata nyalang, dan gelap gulita berarti kufur dan iman ialah sinar yang selalu memancar, sudahlah dapat dipahamkan pasangan ayat yang sesudahnya, yaitu orang disuruh melihat dan memerhatikan.
Ayat 27
“Tidakkah engkau lihat bahwasanya Allah telah menurunkan air dari langit."
Banyak sekali ayat dalam Al-Qur'an menganjurkan perhatian kita terhadap hujan dan terhadap air. Tentang terjadinya hujan telah disebutkan tentang angin yang dikirim oleh Allah ﷻ lalu dari membangkitkan awan dan awan itu dihalau ke negeri yang telah kering mati, maka Allah hidupkan bumi sesudah matinya.
Tentang air itu sendiri sudah dijelaskan pula bahwa segala sesuatu ini menjadi hidup lantaran air. Ini dijelaskan dalam surah al-Anbiyaa' ayat 29.
Dalam ayat ini diterangkan lagi bagaimana Allah menurunkan air itu dari langit yaitu dari tempat yang di atas kita. "Maka Kami keluarkan dengan dia buah-buahan yang berbagai warnanya."
Artinya dengan sebab tumpahnya air dari langit, yang berupa hujan itu maka suburlah bumi dan hiduplah segala-galanya. Di antaranya keluarlah dari dalam bumi berbagai macam, berbagai jenis buah-buahan. Ada berbagai macam buah seperti apel, delima, anggur, kurma, durian, rambutan, manggis, duku, langsat, kelapa, nangka, cempedak, limau, belimbing, sawo, sirsak, alpukat, dan beratus-ratus macam lagi yang lain. Demikian juga kacang-kacangan, jagung; gandum, padi; dan berbagai ubi dan umbi, ubi batang, ubi jalar, wortel, labu, mentimun, paria, merica, adas, dan lain-lain.
“Dan dari gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah, berlain-lainan warnanya dan yang pekat hitam."
Selain dari jenis buah-buahan hasil bumi yang berbagai warna, berbagai rasa, berbagai bentuk disuruh pula kita melihat gunung-gunung. Gunung-gunung itu pun menarik perhatian. Berbagai warna terdapat pada gunung, baik gunung-gunung di Tanah Arab yang terdiri dari batu-batu granit yang keras belaka, atau gunung-gunung yang mengeluarkan lahar dan memancarkan api, atau gunung-gunung menghijau seperti di negeri kita, atau gunung-gunung yang kadang-kadang diselaputi salju sebagaimana gunung-gunung di benua Eropa, semuanya pun penuh dengan campuran warna.
Tuan akan kagum berdiri ketika matahari telah mulai condong ke barat di Grand Canyon di Amerika, terlihat warna bukit-bukit yang begitu dahysat, ngarai yang begitu dalam, tebing-tebing beraneka warna. Di bawah sekali kelihatan mengalir Sungai Colorado. Tuan pun akan kagum apabila tuan berdiri di tepi Ngarai Sianok di Bukittinggi, di tempat pemandangan indah. Di sebelah utara kelihatan Gunung Singgalang menjulang langit. Di sana pun kita melihat campuran warna, putih-putih, merah-merah dan hitam pekat. Bunyi burung bernyanyi, air Sungai Sianok kedengaran riaknya mengalir.
Ujung ayat “Gharaabibu suud “, yang kita artikan pekat hitam, menurut Ikrimah artinya ialah puncak gunung yang tinggi menghitam. Judadun biidhun yang kita artikan dengan garis-garis putih, menurut ibnu Abbas artinya ialah jalan-jalan yang lesa karena jejak kaki orang yang selalu lalu lintas di sana yang dinamai jalan memintas.
Seruan secara sederhana dalam ayat ini dapat diperdalam lagi, yang menimbulkan ilmu pengetahuan. Dalam kata buah-buahan berbagai warna akan timbullah ilmu tumbuh-tumbuhan, ilmu pertanian, ilmu memupuk, ilmu okulasi (menyilang tumbuh-tumbuhan sejenis) agar dapat hasil yang lebih unggul. Dan di dalam menyebut tentang warna garis putih, merah-merah, pekat hitam di gunung-gunung, orang dapat mempelajari keadaan tanah di tempat itu, mineral apa yang dikandungnya, logam apa yang terdapat di dalam, adakah besi, loyang, tembaga, perak, emas, mangan, alumunium, timah, dan sebagainya,
Ayat 28
“Dan di antara manusia, binatang-binatang melata, dan binatang ternak beraneka warnanya pula."
Di ayat ini disebut tiga kelompok besar makhluk bernyawa pengisi bumi. Pertama ialah manusia dengan berbagai warna, bangsa, dan bahasa. Menduduki benua Asia, Eropa, Amerika Utara dan Selatan, Afrika, dan Australia. Di samping itu terdapat negara kepulauan, sebagaimana Inggris di Eropa, Indonesia, Filipina, dan jepang di Asia. Ketika tafsir ini disusun penduduk dunia mencapai 4 miliar penduduk, atau 4.000 juta (9 nolnya). Jika perikemanusiaan yang kita bicarakan akan panjanglah persoalan ini. Kita akan melihat percaturan manusia dalam menyesuaikan hidupnya dengan alam berkeliling.
Kita akan melihat berbagai ragam bangsa, berbagai ragam suku, berbagai apa yang dinamai ras. Kita pun akan melihat berbagai warna kulit; ada yang dinamai orang kulitputih, untuk nama bagi bangsa-bangsa yang berdiam di benua Eropa, Ada yang berkulit hitam, untuk orang yang berdiam di benua Afrika. Ada yang berkulit merah, yaitu Indian yang tinggal di benua Amerika, sebagaimana penduduk asli di benua itu. Ada yang disebut kulit kuning, yaitu bangsa Cina, Burma, Vietnam; ada yang sawo matang, yaitu warna umumnya bangsa yang disebut ras Melayu, termasuk bangsa Indonesia ini. Ada warna kehitaman, sebagaimana kebanyakan penduduk Asia, yaitu bangsa India, Jazirah Arab dan lain-lain.
Ini pun mengandung ilmu dengan berbagai cabangnya pula sebagaimana geografi, ethnologi, ilmu-ilmu sosial (sosiologi), politik dan kebudayaan, antropologi, dan lain-lain.
Yang kedua diminta perhatian kita kepada binatang-binatang yang melata di muka bumi ini, baik yang berjalan dengan berkaki empat, atau yang berkaki enam, atau yang mempunyai berpuluh kaki seperti lipan, ulat pipisan, ulat sampah yang merah, dan lain-lain. Demikian juga bangsa serangga, kumbang-kumbang, lipan, kecoa, jangkrik, dan beratus macamnya pula sampai kepada cacing, termasuk juga binatang di rimba yang masih liar dan buas.
Ketiga disebutlah tentang binatang-binatang ternak; sejak dari unta, kerbau, sapi, kambing dan domba. Ada pula yang diternakkan buat dikendarai sebagaimana kuda, keledai dan bighal. Dikatakan di ujungnya bahwa semuanya beraneka warnanya pula.
Demi setelah menyuruh kita melihat dan memerhatikan itu semuanya, yang dapat menimbulkan berbagai ilmu pengetahuan dan pengalaman, berfirmanlah Allah SWT, “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu."
Dengan jelas pada kalimat dalam ayat ini dijelaskan, bahwa orang yang bisa merasakan takut kepada Allah ialah orang-orang yang berilmu.
Di pangkal kata ini Allah ﷻ memakai kata “Innamaa “, yang berarti lain tidak hanya. Ahli-ahli ilmu nahwu mengatakan bahwa huruf Innamaa itu adalah adaatu hashr, yang
artinya alat untuk pembatas. Sebab itu artinya yang tepat dan jitu ialah, “Lain tidak hanyalah orang-orang yang berilmu jua yang akan merasa takut kepada Allah “. Kalau ilmu tidak ada, tidaklah orang akan merasa takut kepada Allah. Karena timbulnya suatu ilmu ialah setelah diselidiki. Maka jelaslah di pangkal ayat tadi bahwa Allah telah berfirman, “Tidakkah engkau lihat." Maka kalau tidak dilihat tidaklah akan tahu. Kalau sudah dilihat dan diketahui, dengan sendirinya akan mengertilah bagaimana kebesaran Allah, kekuatan-Nya, dan keagungan-Nya. Terasa kecil diri di hadapan kekuasaan Mahabesar itu; maka timbullah takut Kalau takut telah timbul niscaya timbullah ketundukan, lalu segala perintah di-laksanakan dan segala larangan dihentikan.
Dalam ayat ini bertemu kalimat ulama, yang berarti orang-orang yang berilmu. Dan jelas pula bahwa ilmu itu adalah luas sekali. Alam di keliling kita, sejak dari air hujan yang turun dari langit menghidupkan bumi yang telah mati, sampai kepada gunung-gunung menjulang langit, warna-warni pada gunung, sampai yang lain-lain yang disebutkan manusia, binatang melata, binatang ternak, dan berbagai warna, sungguh-sungguh menakjubkan dan meyakinkan tentang kekuasaan Allah. Di ujung ayat dijelaskan,
“Sesungguhnya Allah Mahaperkasa, tapi Maha Pengampun."
Maka tampaklah bahwa memang Allah itu Mahaperkasa, Sebesar itu alam keliling, hanya patuh menuruti qudrat iradat-Nya. Namun kita manusia kerap kali lupa akan kebesaran Ilahi itu, sehingga kerap kali terlanggar perintah terbuat dosa. Namun apabila telah insaf dan mohon ampun, Dia tetap akan mengampuni.
Tentang ulama, atau orang-orang yang berpengetahuan, Ibnu Katsir telah menafsir-kan, ‘‘Tidak lain orang yang akan merasa takut kepada Allah itu hanyalah ulama yang telah mencapai makrifat, yaitu mengenal Allah ﷻ menilik hasil kekuasaan dan ke-besaran-Nya. Mahabesar, Mahakuasa, Yang Maha Mengetahui, yang mempunyai sekalian sifat kesempurnaan dan yang empunya Asmaul Husna (nama-nama yang indah). Apabila makrifat bertambah sempurna dan ilmu terhadap-Nya bertambah matang, ketakutan kepada-Nya pun bertambah besar dan bertambah banyak.
Ibnu Abbas mengatakan, “Alim sejati di antara hamba Arrahman ialah yang tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun, dan yang halal tetap halal dan yang haram tetap haram, serta memelihara perintah-Nya dan yakin bahwa dia akan bertemu dengan Dia, lalu selalu menilik dan menghitung amalnya sendiri."
Abdullah bin Mas'ud berkata, “Bukanlah seorang dikatakan alim karena dia banyak hafal hadits. Alim sejati ialah yang banyak khasyyah atau takutnya kepada Allah ﷻ"
Imam Malik berkata, “Ilmu bukanlah karena banyak menghafal riwayat hadits, bahkan ilmu adalah Nur yang dinyalakan Allah ﷻ dalam hati."
Suatu riwayat yang dibawakan dari Sufyan Tsauri, “Ulama itu tiga macam, (1) Alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, (2) Alim yang mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah dan (3) Alim yang mengenal perintah tetapi tidak mengenal Allah."
Adapun Alim yang mengenal Allah dan mengenal perintah Allah, ialah yang takut kepada Allah dan mengenal batas-batas dan perintah serta larangan.
Alim yang mengenal Allah tetapi tidak mengenal perintah Allah ialah yang takut kepada Allah tetapi tidak melaksanakan perintah karena tidak tahu.
Alim yang mengenal perintah Allah tetapi tidak mengenal Allah ialah yang sangat tahu batas-batas dan perintah Allah tetapi tidak ada rasa takut kepada Allah.
Kita dapat mengatakan bahwa yang nomor tiga inilah yang banyak sekarang, sehingga Nur atau cahaya itu dicabut Allah ﷻ dari dirinya, sehingga pengetahuannya dari hal halal dan haram, hanyalah laksana pengetahuan seorang pokrol bambu yang dapat memutar-mutar ayat bagaimana yang akan senang hati orang yang menanyakan.
Apabila direnungkan ayat 27 dan 28 ini, jelaslah bahwa jangkauan ulama itu amatlah luas. Tampaklah bahwa guru bukanlah semata-mata kitab saja. Alam itu sendiri adalah kitab yang terbuka luas. Ada juga pepatah, “Alam terbentang jadikan guru, “
Setelah berguru kepada alam terbukalah hijab dan jelaslah Allah ﷻ dengan serba-serbi kebesaran dan keagungan-Nya, lalu timbullah rasa takut kalau-kalau umur telah terbuang percuma saja.
Dengan demikian jelas pula bahwa ulama bukanlah sempit hanya sekadar orang yang tahu hukum-hukum agama secara terbatas, dan bukan orang yang hanya mengaji kitab fiqih, dan bukan pula ditentukan oleh jubah dan serban besar. Malahan kadang-kadang dalam perjalanan sejarah telah kerap kali agama terancam bahaya karena ulah serban besar.
Ayat 29
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca Kitab Allah."
Ayat ini mengemukakan tiga syarat yang harus dipenuhi supaya ilmu pengetahuan bisa berfaedah dan ketakutan kepada Allah dapat dipupuk. Yang pertama hendaklah selalu membaca Kitab Allah, Yang dimaksud di sini tentu Al-Qur'an.
Maka yang dimaksud dalam syarat pertama ini ialah orang semacam yang disebut dalam ayat ini, yaitu yang membaca sebenar membaca, bukan membaca sebagaimana air hilir saja, atau sebagaimana pernah disebutkan dalam ucapan Sayyidina Umar bin Khaththab, mereka membaca Al-Qur'an mendengung laksana dengung lebah terbang, tetapi tidak meningkat lebih atas dari ke-rongkongnya, atau hanya dalam sebutan lip service, laksana serbet penghapus bibir belaka.
"Dan mendirikan shalat “ Inilah syarat yang kedua. Karena dengan mendirikan shalat yang sekurang-kurangnya sekadar yang wajib belaka lima waktu sehari semalam, jiwa selalu berkontak dengan Allah ﷻ"Dan menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka." Inilah syarat penyempurnaan pribadi yang ketiga. Mendirikan shalat memperkuat hubungan dengan Allah dan mengeluarkan zakat memperkukuh hubungan dengan masyarakat dan menjaga agar diri sendiri jangan ditumbuhi penyakit bakhil yang amat berbahaya bagi perkembangan jiwa itu."Dengan diam-diam dan terang-terang." Dengan diam-diam, yaitu hanya orang yang bersangkutan atau yang ditolong saja yang tahu; dan ini biasanya kalau kita menolong seseorang yang sangat perlu atau pantas ditolong, tetapi yang ditolong itu malu jika dia ditolong itu diketahui oleh orang lain. Dengan terang-terangan ialah ketika berlomba sesama orang yang beriman hendak membangun sesuatu amal bersama, yang menghendaki perlombaan yang sehat, berdasar “Fastabiqul Khairaat “ (Berlomba-lombalah kamu di dalam berbuat kebajikan). Dalam hal ini adalah lebih baik terang-terang.
Di ujung ayat Allah ﷻ menjelaskan,
“Mereka itu mengharapkan perniagaan yang sekali-kali tidak akan merugi."
Seakan-akan kita ini berniaga dengan Allah dan Allah berjanji akan selalu memberikan keuntungan yang lumayan besarnya; kadang-kadang satu kebajikan diberi sepuluh ganda pahala, kadang-kadang satu kebajikan diberi ganjaran tujuh ratus pahala, bahkan kadang-kadang keuntungan lipat ganda yang tidak dapat dihitung lagi berapa nilainya, lebih dari satu berlaba sepuluh, lebih dari satu berlaba tujuh ratus.
Itu dijelaskan lagi pada ayat selanjutnya,
Ayat 30
“Karena Allah akan menyempurnakan untuk mereka pahala mereka."
Allah ﷻ menyempurnakan pahala ialah diberikan menurut yang telah dijanjikan, satu berpahala sepuluh, atau satu berpahala tujuh ratus."Dan akan Dia tambah untuk mereka dari karunia-Nya." Artinya bahwa di samping pembayaran pahala dengan sempurna me-nurut yang telah dijanjikan, akan ditambah lagi dengan karunia yang lain."Sesungguhnya Allah Maha Pengampun, “ karena tidaklah ada manusia yang akan terlepas dari kelalaian dan kealpaan. Namun dia akan tetap diberi ampun asalkan saja niatnya tidak pernah berubah tujuannya kepada Yang Satu, tidak beralih,
“Lagi Maha Mensyukuri."
Artinya bahwa segala amalan hamba-Nya itu disambut baik oleh Allah ﷻ asal timbul dari hatinya yang ikhlas, betapa pun kecilnya.