Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّا
tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
فِيٓ
pada
ءَابَآئِهِنَّ
bapak-bapak mereka
وَلَآ
dan tidak
أَبۡنَآئِهِنَّ
anak-anak laki mereka
وَلَآ
dan tidak
إِخۡوَٰنِهِنَّ
saudara laki-laki mereka
وَلَآ
dan tidak
أَبۡنَآءِ
anak-anak laki-laki mereka
إِخۡوَٰنِهِنَّ
saudara laki-laki mereka
وَلَآ
dan tidak
أَبۡنَآءِ
anak laki-laki
أَخَوَٰتِهِنَّ
saudara perempuan mereka
وَلَا
dan tidak
نِسَآئِهِنَّ
saudara perempuan mereka
وَلَا
dan tidak
مَا
apa-apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
أَيۡمَٰنُهُنَّۗ
tangan kanan mereka (hamba sahaya)
وَٱتَّقِينَ
dan bertakwalah kamu
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
شَهِيدًا
Maha Menyaksikan
لَّا
tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡهِنَّ
atas mereka
فِيٓ
pada
ءَابَآئِهِنَّ
bapak-bapak mereka
وَلَآ
dan tidak
أَبۡنَآئِهِنَّ
anak-anak laki mereka
وَلَآ
dan tidak
إِخۡوَٰنِهِنَّ
saudara laki-laki mereka
وَلَآ
dan tidak
أَبۡنَآءِ
anak-anak laki-laki mereka
إِخۡوَٰنِهِنَّ
saudara laki-laki mereka
وَلَآ
dan tidak
أَبۡنَآءِ
anak laki-laki
أَخَوَٰتِهِنَّ
saudara perempuan mereka
وَلَا
dan tidak
نِسَآئِهِنَّ
saudara perempuan mereka
وَلَا
dan tidak
مَا
apa-apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
أَيۡمَٰنُهُنَّۗ
tangan kanan mereka (hamba sahaya)
وَٱتَّقِينَ
dan bertakwalah kamu
ٱللَّهَۚ
Allah
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala
شَيۡءٖ
sesuatu
شَهِيدًا
Maha Menyaksikan
Terjemahan
Tidak ada dosa atas mereka (istri-istri Nabi Muhammad untuk berjumpa tanpa tabir) dengan bapak-bapak mereka, anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara perempuan mereka, perempuan-perempuan mereka (wanita-wanita muslimat, baik keluarga maupun bukan) dan hamba sahaya yang mereka miliki. Bertakwalah kamu (istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu.
Tafsir
(Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi terhadap bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan) yang beriman (dan hamba sahaya yang mereka miliki) yakni hamba sahaya laki-laki dan perempuan, untuk melihat dan bercakap dengan mereka tanpa memakai hijab (dan bertakwalah kalian kepada Allah) dalam hal-hal yang diperintahkan-Nya kepada kalian. (Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu) tidak ada sesuatu pun yang samar dari pengetahuan-Nya.
Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa hijab) dengan bapak-bapak mereka, anak-anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara mereka yang perempuan, perempuan-perempuan yang beriman dan hamba sahaya mereka yang mereka miliki, dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. Setelah Allah ﷻ memerintahkan kepada kaum wanita agar memakai hijab bila menemui laki-laki lain yang bukan mahram, lalu Dia menjelaskan bahwa orang-orang yang disebutkan dalam ayat di atas adalah kaum kerabat mereka yang tidak usah mereka memakai tabir bila berhadapan dengan mereka, sebagaimana pengecualian yang disebutkan di dalam surat An-Nur melalui firman-Nya: dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara mereka, atau putra-putra saudara-saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki atau pelayan-pelayan laki-laki-yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. (An-Nur: 31) Di dalam ayat ini terdapat penambahan yang tidak disebutkan oleh ayat di atas, dan ayat ini telah diterangkan tafsirnya sehingga tidak perlu diulangi lagi di sini.
Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa mengapa paman dari pihak ayah dan pihak ibu tidak disebutkan dalam kedua ayat di atas? Maka Ikrimah dan Asy-Sya'bi menjawab, "Keduanya tidak disebutkan karena barangkali keduanya nanti akan menceritakan kecantikannya kepada anak-anak laki-laki masing-masing." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Hajjaj ibnu Minhal, telah menceritakan kepada kami Hammad, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Asy-Sya'bi dan Ikrimah sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi (untuk berjumpa tanpa hijab) dengan bapak-bapak mereka. (Al-Ahzab: 55), hingga akhir ayat.
Daud bertanya, "Mengapa paman dari pihak ayah dan ibu tidak disebutkan dalam ayat ini?" Ikrimah menjawab, "Karena keduanya pasti menceritakan kecantikannya kepada anak lelakinya masing-masing. Dan menanggalkan kain kerudung di hadapan paman dari pihak ayah dan dari pihak ibu hukumnya makruh." Firman Allah ﷻ: perempuan-perempuan yang beriman. (Al-Ahzab: 55) Artinya, boleh tidak memakai hijab bila bersua dengan wanita-wanita yang beriman.
Firman Allah ﷻ: dan hamba sahaya yang mereka miliki. (Al-Ahzab: 55) Yakni budak-budak perempuan dan budak-budak laki-laki yang mereka miliki, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya dalam pembahasan ayat-ayat lain yang semakna. Tetapi menurut Sa'id ibnul Musayyab, makna yang dimaksud oleh hadis mengenai hal ini hanyalah berarti budak-budak perempuan saja. Demikianlah menurut apa yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. firman-Nya: dan bertakwalah kamu (hai istri-istri Nabi) kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Al-Ahzab: 55) Yaitu hendaklah mereka takut kepada Allah, baik dalam keadaan sepi maupun dalam keadaan ramai; karena sesungguhnya Dia Maha Menyaksikan segala sesuatu, tiada sesuatu pun yang samar bagi-Nya. Maka hendaklah mereka selalu merasa berada di bawah pengawasanNya."
Usai menjelaskan ketentuan berinteraksi dan berkomunikasi dengan istri-istri Nabi pada ayat sebelumnya, pada ayat ini Allah menjelaskan orang-orang tertentu yang dikecualikan dari ketentuan itu. Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi untuk berjumpa tanpa tabir dengan bapak-bapak mereka, anak laki-laki mereka, saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara laki-laki mereka, anak laki-laki dari saudara perempuan mereka, perempuan-perempuan mereka yang beriman, baik keluarga maupun bukan, dan hamba sahaya yang mereka miliki. Dan bertakwalah kamu, wahai istri-istri Nabi, kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu yang kamu kerjakan. Laki-laki yang disebutkan pada ayat ini diperbolehkan menjumpai istri-istri Nabi tanpa tabir karena ada hubungan kerabat dan karena hajat, sehingga mereka sering berkunjung. 56. Allah menurunkan ketentuan tentang etika bagi umat Islam ketika berinteraksi dengan istri-istri untuk menjaga kehormatan dan keagungan pribadi Rasulullah. Di antara bukti keagungan beliau ialah bahwa sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Salawat dari Allah berarti memberi rahmat, dan dari malaikat berarti memohonkan ampunan. Karena itu, wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi, seperti dengan berkata all'humma 'alli 'al' Mu'ammad (semoga Allah melimpahkan kebaikan dan ke-berkahan kepada Nabi Muhammad), dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya, dengan mengucapkan perkataan seperti assal'mu 'alaika ayyuhan-nabiy (semoga keselamatan tercurah kepadamu, wahai Nabi).
Tidak ada dosa atas istri-istri Nabi. untuk berjumpa tanpa memakai tabir dengan bapak-bapak mereka, baik bapak kandung maupun bapak sesusuan, anak-anak mereka, baik yang seketurunan maupun yang sesusuan, saudara-saudara mereka, atau anak saudara-saudaranya, baik laki-laki maupun perempuan, perempuan-perempuan muslimat yang dekat maupun yang jauh, atau hamba sahaya yang mereka miliki, baik laki-laki maupun perempuan. Adanya hijab di antara mereka itu akan menimbulkan banyak kesulitan karena mereka selalu berkhidmat dalam urusan rumah tangga. Tetapi, yang perlu diingat adalah agar selalu bertakwa kepada Allah untuk mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, karena Allah selalu menyaksikan segala sesuatu yang mereka perbuat.
Orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu ayah para istri Nabi., anak-anak mereka, saudara-saudara mereka, keponakan atau anak saudara mereka, baik saudara laki-laki maupun saudara perempuan, atau perempuan-perempuan lain dan juga budak mereka adalah mahram yaitu orang-orang yang tidak boleh menikahi mereka.
Adapun orang-orang selain tersebut di atas yaitu yang bukan mahram tidak boleh menemui istri-istri Nabi. tanpa hijab. Hal ini untuk menjaga kehormatan istri-istri Nabi. yang merupakan ummahatul mu'minin.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
ADAB SOPAN SANTUN DI RUMAH NABI ﷺ
Ayat 54
“Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke rumah Nabi kecuali kalau diizinkan bagi kamu untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu masaknya."
Untuk mengetahui sebab turunnya ayat lebih dahulu hendaklah kita ketahui bahwa di zaman jahiliyyah belumlah ada peraturan sopan santun, atau yang di zaman kita sekarang disebut etika yang mengatur hubungan di antara tetamu dengan tuan rumah. Terutama kalau tuan rumah itu ialah pemimpin sendiri. Lalu-lalang saja orang masuk ke dalam rumah seseorang dengan tidak mempertenggangkan perasaan orang itu. Sehingga rahasia keku-rangan orang yang ditamui dapat saja diketahui oleh si tetamu. Terutama terhadap rumah tangga Nabi ﷺ sendiri yang sepatutnya dihormati dan ditenggang perasaannya dalam rumah tangganya. Maka datanglah ayat ini menyatakan satu di antara peraturan sopan santun yang patut dihormati terhadap Nabi sendiri. Nabi ﷺ terang hidup dalam ke-sederhanaannya, sehingga pernah pada suatu hari Umar bin Khaththab ziarah kepada beliau yang sedang duduk dalam rumahnya. Dilihatnya dengan mata kepala sendiri bagaimana sangat sederhananya hidup beliau, padahal kedudukan beliau setelah zaman Madinah sudah sama, bahkan lebih dari kedudukan seorang Raja Besar yang disegani, ditakuti oleh musuh-musuhnya. Sampailah Umar bin Khaththab menangis melihat kehidupan yang amat sederhana itu.
Demikian juga—sebagaimana telah disebutkan di permulaan surah al-Ahzaab ini —istri-istri Rasulullah ﷺ itu hendaklah dianggap sebagai ibu-ibu orang-orang yang beriman. Maka kalau orang leluasa saja bertegur sapa dengan beliau-beliau, apa artinya lagi ke-dudukan beliau-beliau sebagaimana ibu-ibu? Ini pun mesti diatur.
Menurut keterangan dari Bukhari dalam hadits yang beliau rawikan, orang-orang yang tajam dan halus perasaannya dalam hal-hal yang seperti ini ialah Umar bin Khaththab. Beliau ini kerap kali mendapat ilham tersendiri tentang menciptakan suatu peraturan. Kemu-dian suatu hal yang patut diatur itu disampaikannya kepada Rasulullah ﷺ. Tetapi biasanya usulan Umar bin Khaththab itu belum segera diperhatikan oleh Nabi ﷺ. Tiba-tiba kemudian datanglah wahyu yang isinya sesuai dengan usulan Umar bin Khaththab itu.
Maka tersebutlah di dalam sebuah hadits yang sama dishahihkan oleh Bukhari dan Muslim bahwa Umar sendiri pernah berkata, “Bersesuai pendapatku dengan kehendak Allah Yang Mahamulia dalam tiga hal. Pernah aku berkata, “Ya Rasulullah! Alangkah baiknya, Maqam Ibrahim itu dijadikan mushalla (tempat shalat), lalu turunlah ayat,
“Dan ambillah olehmu maqam Ibrahim jadi tempat shalat." (al-Baqarah: 125)
Dan pernah aku katakan, “Ya Rasulullah! Istri-istri tuan masuk saja, lalu lalang me-nemui mereka. Mereka ada orang yang baik-baik dan ada juga orang yang tidak baik. Alang-kah baiknya kalau mereka tuan beri hijab (dinding), lalu datanglah ayat hijab (dinding). Dan pernah aku katakan kepada istri-istri Nabi ﷺ yang mengganggu beliau karena mereka cemburu, “Mudah-mudahan saja, jika kalian ini beliau talak semua, Allah ﷻ akan mengganti untuknya dengan istri-istri yang lebih baik dari kalian." Maka turunlah ayat yang sama bunyinya dengan perkataanku itu."
Muslim menambahkan satu lagi, yaitu usul Umar kepada Nabi ﷺ tentang sikap yang semestinya diambil terhadap orang-orang tawanan di Perang Badar. Ternyata turun wahyu yang menyamai pendapat dan usul Umar itu. Sebab itu maka Muslim dalam hadits yang beliau rawikan menyebut empat bukan tiga.
Ibnu Katsir menamakan ayat ini dengan Ayatul Hijab yang di dalamnya terdapat beberapa peraturan hukum syara'. Dan dalam Tafsir al-Azhar ini akan kita simpulkan makna dari hadits-hadits yang dirawikan oleh Bukhari, Muslim, Ibnu Abi Hatiin, Imam Ahmad, dan Ibnu Jarir. Menurut keterangan Bukhari bahwa Umar bin Khaththab pernah mengusulkan kepada Nabi ﷺ bahwa orang lalu lalang saja masuk menemui istri-istri Nabi, Sedang orang-orangyangdatangitu di samping ada yang orang baik-baik dan terhormat ada pula orang-orang yang tidak baik, yang ingin hendak bercakap tidak berketentuan saja. Sebab itu Umar mengusulkan kepada Nabi agar istri-istri beliau itu dihijab, yaitu didinding. Tegasnya dipisahkan tempat laki-laki dan tetamu-tetamu sebelah luar, dan istri-istri di sebelah dalam, dan kalau seseorang hendak berbicara dengan mereka itu berbicaralah dari balik dinding itu. Jangan terus bertemu muka saja.
Maka bertepatan dengan hari walimah (jamuan makan karena perkawinan) yang di-adakan Nabi ﷺ karena perkawinannya dengan Zainab binti Jahasy setelah lepas iddah-nya dengan Zaid bin Haritsahitu, (sebagaimana tersebut di ayat 37 yang telah lalu), turunlah ayat hijab ini. Hal ini berlaku pada bulan Dzulqa'dah tahun kelima hijrah.
Bukhari menceritakan dalam hadits yang beliau terima dengan sanadnya dari khadam Rasulullah ﷺ, yaitu Anas bin Malik, “Bahwa di hari perkawinan beliau dengan Zainab, te-gasnya Allah ﷻ sendiri yang menikahkan, dipanggillah orang-orang makan minum ja-muan yang beliau sediakan. Sesudah selesai makan minum, orang-orang itu masih saja duduk bercakap-cakap. Kemudian itu Nabi ﷺ sudah kelihatan bersiap hendak berdiri, namun mereka tidak juga berdiri. Melihat yang demikian, Nabi pun benar-benar terus berdiri. Melihat beliau telah berdiri ada yang berdiri pula, tetapi adayang masih duduksaja. Sesudah Nabi ﷺ masuk ke dalam barulah mereka tegak dan pergi. Lalu aku masuk menemui Nabi ﷺ mengatakan bahwa mereka itu telah pada pulang. Di saat saya melapor itulah Nabi ﷺ menurunkan hijab sehingga terbataslah di antara aku dengan beliau oleh hijab itu. Waktu itulah pula turunnya ayat hijab tersebut."
Hadits ini pun dirawikan juga oleh Muslim dan an-Nasa'i dari jalan yang lain, yang sumbernya dari Mu'tamar bin Sulaiman.
Kemudian ada lagi sebuah hadits yang dirawikan sendirian oleh Bukhari dengan sanadnya dari Anas bin Malik juga, “Nabi ketika nikah dengan Zainab binti Jahasy itu mengadakan jamuan walimah dengan roti dan daging. Lalu aku disuruh Nabi ﷺ menemui orang-orang yang diundang menghadiri jamuan itu. Maka datanglah kaum itu, lalu makan lalu keluar. Datang serombongan lagi, lalu makan lalu keluar. Saya masih tetap menemui yang diundang itu, sehingga tidak ada seorang pun lagi yang ketinggalan. Lalu aku berkata, “Ya Rasulullah! Semua yang tuan suruh undang telah saya undang, tidak ada yang ketinggalan lagi. Maka berkatalah beliau, “Kalau demikian selesailah ini dan angkatlah makanan ini ke belakang." Tetapi masih saja tinggal tiga orang masih bercakap-cakap di dalam rumah Rasulullah ﷺ. Lalu Nabi pun keluarlah pergi menemui istri-istri beliau yang lain satu demi satu. Lalu beliau pergi ke bilik Aisyah dan beliau berkata, Assalaamu'alaikum ahial baiti, warahmatullahi wabarakaatuh." (Selamatlah atas kamu semua, ahli rumah, dan rahmat Allah dan berkat-Nya). Aisyah menjawab, “Alaikassalaam warahmatullaah. Bagai-mana keadaan ahli engkau, ya Rasulullah" (Maksudnya ialah mengucapkan selamat terhadap ahli atau istri yang baru dikawini itu, Zainab binti Jahasy).
Beliau mampir ke semua kamar-kamar istrinya dan beliau ucapkan salam sebagaimana kepada Aisyah itu dan semuanya pun menjawab sebagaimana jawaban Aisyah itu pula. Sesudah itu kembalilah Rasulullah ﷺ ke bilik Zainab yang baru dikawini itu. Beliau dapati orang-orang yang bertiga itu masih saja duduk bercakap-cakap.
Nabi adalah sangat pemalu dalam hal seperti ini. Lalu beliau keluar kembali dan pergi ke bilik Aisyah. Maka tidaklah saya tahu lagi apakah saya katakan kepada beliau bahwa orang-orang itu telah pergi. Beliau pun pulang ke tempat Zainab. Setelah kaki beliau sebelah melangkah ke dalam dan sebelah masih di luar, beliau turunkan layar pendinding di antara aku dengan beliau. Waktu itulah rupanya turun ayat hijab."
Dalam sebuah hadits lain yang dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim tersebut pula bahwa Ummi Sulaim, yaitu ibu dari Anas bin Malik sendiri turun pula menyumbangkan makanan masakannya sendiri buat memeriahkan wa-limah itu. Lalu Rasulullah ﷺ memerintahkan kepada Anas mengundang orang, si fulan dan si fulan. Akhir beliau tutup perintahnya, “Pendeknya siapa saja kaum Muslimin yang bertemu olehmu undanglah! “
Maka semua yang diundang itu datang sehingga ramailah dan penuhlah rumah oleh tetamu.
Lalu ada orangyang bertanya kepada Anas, “Berapa orang yang hadir, hai Abu Utsman?" Anas menjawab; “Sekitar tiga ratus orang."
Padahal persediaan makanan itu sedikit, tidak akan mencukupi buat orang sebanyak itu. Lalu Rasulullah ﷺ memanggil Anas menyuruh bawa makanan itu di hadapan beliau, lalu beliau baca doa dan beliau tutup dengan ucapan “Ma syaa Allah". Lalu beliau perintah-kan kepada Anas, “Panggil tetamu-tetamu itu duduk, silakan mereka berkeliling sepuluh-sepuluh, baca bismillah ketika akan makan, dan setiap orang memakan apa yang ada di hadapannya."
Orang-orang itu pun makanlah semuanya dengan membaca bismillah pada permulaan makan sampai kenyang semuanya. Setelah itu Rasulullah ﷺ memanggil aku, kata Anas. Beliau perintahkan aku mengangkat dulang-dulang tempat makan. Lalu aku perhatikan isinya. Aku jadi heran tercengang memikirkannya setelah aku lihat tidak dapat aku per-bedakan mana yang lebih banyak ketika makanan akan aku letakkan tadi dengan lebih makanan setelah orang selesai makan.
Berkata Anas selanjutnya, “Setelah dulang makanan diangkat dan orang-orang sudah ada yang pergi tinggallah beberapa orang masih bercakap-cakap dalam rumah Rasulullah ﷺ sedang istri Rasulullah duduk membelakang kepada mereka di sudut rumah. Mereka masih saja berpanjang-panjang bercakap-cakap, sehingga mereka telah memberati Rasulullah ﷺ, padahal Rasulullah sangat malu akan menyuruh orang-orang itu pergi. Kalau hal itu diberitahu kepada mereka, niscaya mereka akan merasa tersinggung. Lalu Rasulullah ﷺ berdiri dan beliau ucapkan salam kepada seisi rumah dan kepada istri-istri beliau, setelah itu beliau pun kembali. Maka setelah orang-orang itu melihat Rasulullah ﷺ telah kembali, barulah mereka mulai merasa bahwa mereka telah memberati atas Rasulullah ﷺ. Lalu segeralah mereka itu keluar. Nabi pun masuk ke dalam rumahnya dan tirai layar atau hijab diturunkan, sehingga saya di luar, beliau ada dalam rumah. Tidak berapa lamanya beliau pun keluar kembali, membacakan ayat yang baru saja turun, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu masuk ke dalam rumah Nabi “ sampai ke akhirnya.
Anas berkata, “Bahwa ayat-ayat ini beliau bacakan di hadapan saya sebelum beliau baca di hadapan orang lain."
Hadits ini dirawikan oleh Muslim dan an-Nasa'i dari hadits Qutaibah yang diterimanya dari Jalar bin Sulaiman. Bukhari pun memberi catatan hadits ini dalam Shahih Bukhari dalam Kitabun Nikah.
Itulah latar belakang dari syari'at dan peraturan yang diturunkan Allah ﷻ tentang adab dan sopan santun ketika masuk ke dalam rumah tangga Nabi ﷺ. Di permulaan ayat telah dilarang orang yang beriman masuk-masuk saja ke dalam rumah Nabi ﷺ kecuali kalau sudah mendapat izin dari beliau, misalnya karena dipanggil makan. Maka janganlah lekas-lekas datang sehingga lama duduk menunggu makanan akan masak."Tetapi jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu telah selesai makan bertebaranlah dengan tidak memperpanjang percakapan." Maksud sambungan ayat itu sudah terang. Yaitu masuk ke dalam rumah Rasul ialah sesudah mendapat izin, jangan masuk-masuk saja. Dipersilakan dahulu baru masuk. Setelah makanan terhidang, segeralah makan. Selesai makan segeralah bertebaran ke luar dari dalam rumah. Jangan duduk pula memperpanjang waktu untuk bercakap-cakap, “Karena yang demikian itu adalah mengganggu Nabi." Niscaya kalau tamu-tamu masih duduk “nongkrong “ tidak mau keluar dari rumah, padahal makan sudah selesai, niscaya terganggulah Nabi dalam rumahnya. Terganggu hubungan dengan istrinya. Apatah lagi jika diingat ketika ayat turun, yaitu panggilan makan itu adalah walimah karena perkawinan. Berilah kebebasan orang yang baru saja nikah/kawin bersuka cita dalam rumahnya dengan sebutan kita yang terkenal pengantin baru.
Maka kalau masih ada yang duduk-duduk, masih menyambung lagi dengan mengobrol ke hilir ke mudik padahal perut sudah kenyang, nyatalah orang itu kurang halus perasaannya. Akan terganggu Nabi oleh karena masih ada tetamu."Sehingga dia malu dari kamu." Tentu dia malu akan bercanda dengan istri barunya, padahal tamu-tamu masih ada. Niscaya malu dia akan berleluasa dalam rumah tangganya sendiri karena orang luar masih ada."Padahal Allah tidaklah malu dari (menjelaskan) kebenaran." Walaupun ganjil didengar, Allah ﷻ mesti menerangkan juga. Sebab orang yang masih duduk lama juga dalam rumah Nabi, padahal beliau sudah gelisah, sudah mesti diberi paham oleh Allah ﷻ sendiri. Sebab Nabi akan malu pula mengatakan terus terang meminta orang-orang itu segera keluar dari dalam rumah. Sebab hal ini mengenai dirinya sendiri.
“Dan jika kamu meminta sesuatu kepada mereka maka mintalah dari belakang dinding."
Di sambungan ayat ini mulailah dijelaskan bagaimana cara menghubungi istri-istri Rasulullah ﷺ dengan orang-orang laki-laki lain yang bukan mahram mereka. Yaitu kalau ada yang hendak diminta atau kalau ada yang hendak ditanyakan, tidaklah boleh lagi langsung berhadapan, melainkan dari balik hijab yang berarti dinding.
Kejelasannya lagi ialah jika masuk ke dalam rumah Nabi hendaklah sesudah men-dapat izin terlebih dahulu, maka kalau hendak berhubungan dengan istri-istri Nabi hendaklah dari balik dinding dan janganlah langsung melihat wajah beliau-beliau.
Menurut sebuah hadits yang dirawikan oleh Ibnu Abi Hatim, yang diterimanya de-ngan sanadnya dari Aisyah, bahwa Aisyah sendiri bercerita, bahwa sebelum ayat hijab ini turun, pada suatu hari Aisyah sedang makan bersama-sama Nabi ﷺ, di dalam satu dulang. Tiba-tiba datanglah Umar bin Khaththab menemui beliau. Lalu beliau ajaklah Umar supaya makan bersama-sama di satu hidangan yang telah terhidang itu. Umar pun memenuhi undangan Rasulullah ﷺ itu dan turut makan bersama-sama. Tiba-tiba dalam mengambil makanan, bertemulah telapak tangan Umar dengan telapak tangan Aisyah. Maka serta-merta berkatalah Umar, “Sebenarnya kalau orang hendak menghormati Nabi, sebaiknya tidak ada mata orang lain yang melihat kau." Tidak lama kemudian turunlah sambungan ayat ini. “Itulah yang lebih membersihkan hati kamu dan hati mereka." Artinya dengan adanya aturan hijab itu terhadap istri-istri Rasulullah ﷺ, maka baik hati sahabat-sahabat Rasulullah yang datang atau hati beliau-beliau sendiri sama-sama bersih, tidak ada gangguan dan rasa hormat kepada istri Nabi Utusan Allah ﷻ terpelihara pula.
“Dan tidaklah pantas bagi kamu bahwa menyakiti Rasulullah," artinya bahwa sebagai Rasulullah, pemimpin besar yang amat dihormati, menurut adab sopan santun yang tinggi, istri beliau pun haruslah dihormati pula sebagaimana layaknya. Tidaklah enak bagi perasaan beliau sendiri kalau beliau dihormati dan dijunjung tinggi, padahal istri-istri beliau dipandang enteng seperti orang kebanyakan saja. “Dan tidak pula bahwa kamu hendak menikahi istri-istrinya sesudahnya." Artinya ialah kalau Rasulullah meninggal dunia maka janda-janda beliau tidaklah boleh dirikahi lagi oleh siapa jua pun; “untuk selama-lamanya." Maka tetaplah beliau-beliau menjadi Ummahatul Mu'minin, ibu-ibu dari orang-orang yang beriman, sampai satu demi satu beliau-beliau menutup mata pula.
Maka samalah pendapat sekalian ulama Islam bahwa ayat ini telah menutup pintu bagi siapa pun hendak menikahi istri-istri beliau setelah beliau wafat. Padahal Aisyah sendiri seketika beliau meninggal baru berusia 19 tahun. Segala istri itu pun ridha menerima ketentuan itu, sebab ketika turun ayat takhyiir mereka pun telah memilih Allah dan Rasul dan Hari Akhirat dan tidak lagi menginginkan dunia dengan segala perhiasannya itu. Mereka percaya akan janji Allah ﷻ sebagai mana yang tersebut di dalam Al-Qur'an, surah ath-Thuur yang diturunkan di Mekah ayat 52, ayat 23 dari surah ar-Ra'd, atau yang tersebut di dalam surah Ghafir ayat 8; semuanya menunjukkan, bahwa orang-orang yang beriman kepada Allah ﷻ dan diikuti pula oleh keluarganya dengan iman, mereka itu akan bertemu kembali kelak di akhirat. Sedangkan orang-orang beriman biasa lagi akan diberi rahmat demikian, apatah lagi Rasulullah ﷺ. Maka itulah sebabnya Saudah sendiri, istri Rasulullah ﷺ yang tertua sesudah Khadijah, memohon kepada Rasulullah ﷺ agar dia jangan diceraikan, meskipun dia telah tua sehingga tidak sanggup lagi menyelenggarakan suami bagaimana pantasnya. Dia mohonkan agar dia tetap jadi istri beliau ﷺ dan dia bersedia memberikan giliran harinya kepada yang lebih muda, yaitu Aisyah. Sebab Saudah mengharap akan tetap menjadi istri Rasulullah ﷺ juga di akhirat kelak.
Hudzaifah bin al-Yaman berkata kepada istrinya, “Jika kau ingin jadi istriku juga di surga kelak, kalau kita bertemu kembali di sana, janganlah kawin dengan orang lain se-peninggalku. Karena di surga kelak orang perempuan akan dipertemukan kembali dengan suaminya yang terakhir."
Tetapi terjadi kemusykilan pada Abu Bakar ash-Shiddiq ketika beliau jadi Khalifah tentang seorang bekas istri beliau, yang telah beliau talak di kala beliau masih hidup, bolehkah orang lain menikahinya? Pernah terjadi seorang perempuan bernama Qiilah binti al-Asy'ats. Setelah IkrimahbinAbuJahal memeluk Islam setelah Mekah ditaklukkan, dan setelah Rasulullah ﷺ wafat, maka Ikrimah kawin dengan Qiilah binti al-Asy'ats itu. Tampaknya Abu Bakar keberatan atas perkawinan itu. Tetapi sebelum beliau mengambil keputusan beliau panggil Umar bin Khaththab meminta nasihatnya. Dengan tegas Umar mengatakan, “Wahai Khalifah Rasulullah! Perempuan itu bukan istri beliau ﷺ lagi. Ketika beliau menjalankan takhyiir menyuruh pilih Allah dan Rasul dan Hari Akhirat atau dunia dengan perhiasannya, perempuan itu tidak ada lagi dalam bilangan istri-istri Nabi dan seketika turun ayat hijab, dia pun tidak ada lagi. Dia sudah lama diceraikan oleh Nabi, karena dia pernah murtad turut kaumnya."
Mendengar keterangan Umar itu barulah tenteram hati Abu Bakar.
Di ujung ayat Allah ﷻ menjelaskan, “Sesungguhnya yang begitu di sisi Allah adalah suatu hal yang besar."
Artinya mengawini istri Rasulullah sesudah beliau wafat dipandang oleh Allah ﷻ suatu perbuatan yang besar sekali kesalahannya. Tidak patut dilakukan oleh orang-orang yang beriman, yang sepatutnya selalu hormat kepada Nabi mereka, walaupun setelah beliau wafat.
Ayat 54
“Jika ada sesuatu yang kamu nyatakan atau kamu sembunyikan maka sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengetahui."
Sebab turun ayat ini menurut riwayat dari Ibnu Abbas adalah karena salah seorang dari sahabat Rasulullah yang sangat terkemuka, bahkan seorang di antara sepuluh sahabat pilihan, tergerak dalam hatinya, “Kalau meninggal Rasulullah ﷺ akan aku kawini Aisyah. Dia anak pamanku."
Setelah ayat ini turun, yang menyatakan, bahwa baik kata yang dinyatakan ataupun yang disembunyikan, selalu diketahui oleh Allah SWT, sahabat yang terkemuka itu menyesal. Untuk menebus kesalahan perasaan itu, atau untuk membersihkan kembali hatinya dia pun berjalan kaki dari Madinah ke Mekah sambil membawa sepuluh ekor kuda kendaraan untuk disediakan bagi mujahidin pergi ke medan perang dan dimerdekakan seorang budak."
Muqatil mengatakan, sahabat itu ialah Thalhah bin Ubaidillah.
Tetapi riwayat Muqatil ini dibantah oleh setengah ahli tafsir yang teliti. Di antaranya al-Qurthubi. Beliau ini mengatakan, bahwa suara-suara yang sumbang itu tidak mungkin timbul dari sahabat terkemuka. Yang menyakiti hati Nabi ﷺ itu hanya timbul dari kalangan orang-orang munafik
Imam asy-Syafi'i menegaskan, bahwa istri-istri Rasulullah yang beliau tinggalkan ketika beliau meninggal tidaklah halal dikawini oleh siapa jua pun. Barangkali yang mengatakan itu halal, kafirlah dia. Sebab dalam ayat itu jelas sekali bahwa sikap demikian adalah menyakiti atau mengganggu beliau.
Ayat 55
“Tidaklah ada dosa atas mereka pada ayah-ayah mereka."
Artinya tidaklah salah jika istri-istri Rasulullah itu berjumpa dengan ayah-ayah mereka dengan tidak memakai hijab, seumpama pertemuan Aisyah dengan ayahnya, Abu Bakar, dan pertemuan Hafshah dengan ayahnya, Umar. “Dan tidak anak-anak laki-laki mereka." Maka tidaklah salah kalau Salamah bin Abu Salamah, anak kandung Ummi Salamah (nama kecilnya Hindun binti Abu Umayah) jika datang ziarah kepada ibunya. Bahkan yang menjadi wali yang mengawinkan Ummi Salamah dengan Rasulullah ﷺ ialah Salamah bin Abu Salamah ini. “Dan tidak saudara-saudara laki-laki mereka." Maka pernahlah Rasulullah setelah selesai menaklukkan Mekah kembali dari satu perjalanan, didapatinya di rumahnya Ummi Habibah binti Abu Sufyan sedang meletakkan kepala adik laki-lakinya, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, di atas haribaannya dengan penuh kasih sayang. Lalu Rasulullah bertanya, “Sayangkah engkau kepadanya, hai Ummi Habibah?"
Ummi Habibah menjawab, “Betapa hamba tidak akan sayang kepada saudara hamba, ya Rasulullah?"
Lalu Nabi saw, menjawab, “Allah ﷻ di langit pun sayang kepadanya, hai Ummi Habibah."
“Dan tidak anak-anak laki-laki dari saudara-saudara laki-laki mereka." Maka halal-lah Aisyah misalnya tidak memakai hjjab bertemu dengan anak laki-laki dari saudaranya, Muhammad atau Abdurrahman. Dan halallah Hafshah tidak berdinding berbicara dengan anak laki-laki dari saudaranya, Abdullah bin Umar, “Dan tidak anak-anak laki-laki dari saudara-saudara perempuan mereka." Aisyah pun mendidik anak laki-laki dari saudara pe-rempuannya, Asma binti Abu Bakar, yaitu Urwah bin Zubair. Urwah ini adalah seorang tabi'in, yaitu murid pengikut dari sahabat. Dia berguru langsung kepada Aisyah dan dia dapat menemui beliau bila saja dengan tidak memakai hijab. Urwah kalau meriwayatkan suatu hadits yang diterimanya dari jalan Aisyah selalu menyebutkan beliau “Khaalati" yaitu panggilan bagi saudara perempuan ibu. “Dan tidak perempuan-perempuan mereka." Artinya, bahwa sesama perempuan tidaklah wajib bercakap atau untuk suatu keperluan memakai hijab berhadapan dengan istri-istri Nabi ﷺ. Dengan demikian lebih leluasa me-reka untuk menanyakan soal-soal yang penting berkenaan dengan ajaran Nabi kepada istri-istri beliau itu. “Dan tidak barang yang dipunyai oleh tangan kanan mereka." Yaitu budak-budak, hamba sahaya, baik yang perempuan ataupun yang laki-laki. Tetapi Said bin al-Musayyab berpendapat bahwa yang dimaksud dengan yang dipunyai oleh tangan kanan ini hanyalah semata-mata hamba-hamba sahaya perempuan. Yang laki-laki tidak.
“Dan hendaklah mereka takwa kepada Allah." Yaitu meskipun bebas bertemu dengan ayah, atau saudara laki-laki atau keponakan, takwa kepada Allah ﷻ mesti dipelihara juga supaya gengsi dan harga diri tetap terpelihara, apatah lagi bagi orang-orang sebagaimana mereka, ibu-ibu dari orang-orang yang beriman.
“Sesungguhnya Allah atas tiap-tiap sesuatu adalah menyaksikan."
Ujung ayat ini adalah untuk memperkuat pesan Allah ﷻ agar lebih hati-hati menjaga diri.