Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
tidak
تَدۡخُلُواْ
kamu memasuki
بُيُوتَ
rumah
ٱلنَّبِيِّ
nabi
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
يُؤۡذَنَ
diizinkan
لَكُمۡ
bagi kalian
إِلَىٰ
kecuali
طَعَامٍ
makanan
غَيۡرَ
tidak
نَٰظِرِينَ
menunggu-nunggu
إِنَىٰهُ
sesungguhnya
وَلَٰكِنۡ
dan adalah
إِذَا
apabila
دُعِيتُمۡ
kamu diundang
فَٱدۡخُلُواْ
maka masuklah
فَإِذَا
maka apabila
طَعِمۡتُمۡ
kamu selesai makan
فَٱنتَشِرُواْ
maka bertebaranlah/keluarlah
وَلَا
dan jangan
مُسۡتَـٔۡنِسِينَ
beramah tamah/asyik
لِحَدِيثٍۚ
untuk percakapan
إِنَّ
sesungguhnya
ذَٰلِكُمۡ
yang demikian itu
كَانَ
adalah
يُؤۡذِي
menyakiti/mengganggu
ٱلنَّبِيَّ
nabi
فَيَسۡتَحۡيِۦ
lalu dia malu
مِنكُمۡۖ
dari kamu/kepadamu
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يَسۡتَحۡيِۦ
malu
مِنَ
dari
ٱلۡحَقِّۚ
kebenaran
وَإِذَا
dan apabila
سَأَلۡتُمُوهُنَّ
kamu meminta kepada mereka
مَتَٰعٗا
satu keperluan
فَسۡـَٔلُوهُنَّ
maka mintalah kepada mereka
مِن
dari
وَرَآءِ
belakang
حِجَابٖۚ
tabir
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَطۡهَرُ
lebih mensucikan
لِقُلُوبِكُمۡ
bagi hatimu
وَقُلُوبِهِنَّۚ
dan hati mereka
وَمَا
dan tidak
كَانَ
adalah
لَكُمۡ
bagi kalian
أَن
bahwa
تُؤۡذُواْ
kamu menyakiti/mengganggu
رَسُولَ
utusan/rasul
ٱللَّهِ
Allah
وَلَآ
dan tidak
أَن
bahwa
تَنكِحُوٓاْ
kamu mengawini
أَزۡوَٰجَهُۥ
istri-istrinya
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦٓ
sesudahnya
أَبَدًاۚ
selama-lamanya
إِنَّ
sesungguhnya
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
كَانَ
adalah
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
عَظِيمًا
besar
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
لَا
tidak
تَدۡخُلُواْ
kamu memasuki
بُيُوتَ
rumah
ٱلنَّبِيِّ
nabi
إِلَّآ
kecuali
أَن
bahwa
يُؤۡذَنَ
diizinkan
لَكُمۡ
bagi kalian
إِلَىٰ
kecuali
طَعَامٍ
makanan
غَيۡرَ
tidak
نَٰظِرِينَ
menunggu-nunggu
إِنَىٰهُ
sesungguhnya
وَلَٰكِنۡ
dan adalah
إِذَا
apabila
دُعِيتُمۡ
kamu diundang
فَٱدۡخُلُواْ
maka masuklah
فَإِذَا
maka apabila
طَعِمۡتُمۡ
kamu selesai makan
فَٱنتَشِرُواْ
maka bertebaranlah/keluarlah
وَلَا
dan jangan
مُسۡتَـٔۡنِسِينَ
beramah tamah/asyik
لِحَدِيثٍۚ
untuk percakapan
إِنَّ
sesungguhnya
ذَٰلِكُمۡ
yang demikian itu
كَانَ
adalah
يُؤۡذِي
menyakiti/mengganggu
ٱلنَّبِيَّ
nabi
فَيَسۡتَحۡيِۦ
lalu dia malu
مِنكُمۡۖ
dari kamu/kepadamu
وَٱللَّهُ
dan Allah
لَا
tidak
يَسۡتَحۡيِۦ
malu
مِنَ
dari
ٱلۡحَقِّۚ
kebenaran
وَإِذَا
dan apabila
سَأَلۡتُمُوهُنَّ
kamu meminta kepada mereka
مَتَٰعٗا
satu keperluan
فَسۡـَٔلُوهُنَّ
maka mintalah kepada mereka
مِن
dari
وَرَآءِ
belakang
حِجَابٖۚ
tabir
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
أَطۡهَرُ
lebih mensucikan
لِقُلُوبِكُمۡ
bagi hatimu
وَقُلُوبِهِنَّۚ
dan hati mereka
وَمَا
dan tidak
كَانَ
adalah
لَكُمۡ
bagi kalian
أَن
bahwa
تُؤۡذُواْ
kamu menyakiti/mengganggu
رَسُولَ
utusan/rasul
ٱللَّهِ
Allah
وَلَآ
dan tidak
أَن
bahwa
تَنكِحُوٓاْ
kamu mengawini
أَزۡوَٰجَهُۥ
istri-istrinya
مِنۢ
dari
بَعۡدِهِۦٓ
sesudahnya
أَبَدًاۚ
selama-lamanya
إِنَّ
sesungguhnya
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
كَانَ
adalah
عِندَ
disisi
ٱللَّهِ
Allah
عَظِيمًا
besar
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang, masuklah dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mengganggu Nabi sehingga dia malu kepadamu (untuk menyuruhmu keluar). Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), mintalah dari belakang tabir. (Cara) yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. Kamu tidak boleh menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak boleh (pula) menikahi istri-istrinya selama-lamanya setelah Nabi (wafat). Sesungguhnya yang demikian itu sangat besar (dosanya) di sisi Allah.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kalian diizinkan) memasukinya karena mendapat undangan (untuk makan) kemudian kalian boleh memasukinya (dengan tidak menunggu-nunggu) tanpa menunggu lagi (waktu masak makanannya) yakni sampai makanan masak terlebih dahulu; Inaa berakar dari kata Anaa Ya-niy (tetapi jika kalian diundang maka masuklah dan bila kalian selesai makan, keluarlah kalian tanpa) berdiam lagi (asyik memperpanjang percakapan) sebagian dari kalian kepada sebagian yang lain. (Sesungguhnya yang demikian itu) yakni berdiamnya kalian sesudah makan (akan mengganggu nabi lalu nabi malu kepada kalian) untuk menyuruh kalian keluar (dan Allah tidak malu menerangkan yang hak) yakni menerangkan supaya kalian keluar; atau dengan kata lain Dia tidak akan mengabaikan penjelasannya. Menurut qiraat yang lain lafal Yastahyi dibaca dengan hanya memakai satu huruf Ya sehingga bacaannya menjadi Yastahiy. (Apabila kalian meminta sesuatu kepada mereka) kepada istri-istri Nabi ﷺ (yakni suatu keperluan, maka mintalah dari belakang tabir) dari belakang hijab. (Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka) dari perasaan-perasaan yang mencurigakan. (Dan tidak boleh kalian menyakiti hati Rasulullah) dengan sesuatu perbuatan apa pun (dan tidak pula mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu di sisi Allah) dosanya (besar).
Tafsir Surat Al-Ahzab: 53-54
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.
Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. Inilah ayat hijab yang di dalamnya terkandung hukum-hukum dan etika-etika syariyyah. Penurunan ayat ini bertepatan dengan perkataan sahabat Umar ibnul Khattab r.a., sebagaimana yang telah disebutkan di dalam kitab sahihain yang bersumber darinya.
Disebutkan bahwa Umar pernah berkata, "Aku bersesuaian dengan Tuhanku dalam tiga perkara, yaitu aku pernah berkata, "Wahai Rasulullah, sekiranya engkau menjadikan maqam Ibrahim sebagai tempat salat," lalu Allah menurunkan firman-Nya: Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. (Al-Baqarah: 125), Dan aku pernah berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu banyak ditemui oleh orang-orang, di antaranya ada yang bertakwa dan ada yang durhaka (yakni ada yang baik dan ada yang buruk), maka sekiranya engkau buatkan hijab untuk mereka,' lalu turunlah ayat hijab ini.
Dan aku pernah berkata kepada istri-istri"Nabi ﷺ pada saat mereka bersekongkol memprotes Nabi ﷺ karena terdorong oleh rasa cemburu mereka, 'Jika Nabi menceraikan kalian, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih"baik daripada kamu.' Maka turunlah ayat yang menyebutkan hal yang sama," yaitu firman-Nya: Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya istri-istri yang lebih baik daripada kamu. ' (At-Tahrim: 5) Di dalam riwayat Imam Muslim disebutkan pula bahwa Umar mengeluarkan pendapatnya sehubungan dengan tawanan Perang Badar, dan masalah ini adalah hal yang keempatnya. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Musaddad, dari Yahya, dari Humaid, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Umar ibnul Khattab berkata, "Wahai Rasulullah, yang masuk menemuimu ada orang yang bertakwa dan ada pula yang durhaka, maka sebaiknya enkau perintahkan kepada Ummahatul Mu-minin (semua istrimu) memakai hijab." Maka Allah menurunkan ayat hijab ini.
Disebutkan bahwa penurunan ayat ini bertepatan dengan pagi hari perkawinan Rasulunah ﷺ dengan Zainab binti Jahsy yang perkawinannya dilakukan langsung oleh Allah ﷻ (melalui wahyu-Nya). Peristiwa ini terjadi pada bulan Zul Qa'dah tahun lima hijriah, menurut pendapat Qatadah, Al-Waqidi, dan selain keduanya. Tetapi Abu Ubaidah alias Ma'mar ibnul Musanna dan Khalifah ibnu Khayyat mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi pada tahun tiga hijriah. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah Ar-Raqqasyi, telah menceritakan kepada kami Mu'tamir ibnu Sulaiman yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar ayahnya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Mijlaz, dari Anas ibnu Malik r.a. yang mengatakan, "Ketika Rasulullah ﷺ menikahi Zainab binti Jahsy, beliau mengundang sejumlah orang, lalu menjamu mereka, kemudian mereka bercakap-cakap di majelis itu.
Kemudian kelihatan beliau ﷺ hendak bangkit, dan kaum masih duduk-duduk saja. Melihat keadaan itu beliau terus bangkit. Ketika beliau bangkit, sebagian orang bangkit pula, tetapi masih ada tiga orang yang tetap duduk. Nabi ﷺ datang lagi dan hendak masuk (ke kamar pengantin), tetapi ternyata masih ada sejumlah orang yang masih duduk dan belum pergi. Tidak lama kemudian mereka bangkit dan pergi. Lalu Aku (Anas ibnu Malik) menghadap dan menceritakan kepada Nabi ﷺ bahwa kaum telah pergi. Lalu Nabi ﷺ bangkit hendak masuk, dan aku pergi mengikutinya. Tetapi tiba-tiba beliau menurunkan hijab antara beliau dan aku, lalu turunlah firman Allah ﷻ: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu' (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat." Imam Bukhari telah meriwayatkannya pula di tempat yang lain, juga Imam Muslim dan Imam Nasai melalui berbagai jalur dari Mu'tamir ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama.
Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya secara tunggal dengan sanad yang sama melalui hadis Abu Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Anas r.a., lalu disebutkan hal yang semisal. [] ". Kemudian Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Ma'mar, telah menceritakan kepada kami Abdul Waris, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Suhaib, dari Anas ibnu Malik yang mengatakan, bahwa Nabi ﷺ ketika kawin dengan Zainab binti Jahsy mengadakan jamuan walimah dari makanan roti dan daging.
Lalu aku disuruh untuk mengundang kaum kepada jamuan walimah itu. Maka datanglah suatu kaum, lalu mereka makan, setelah itu pergi. Kemudian datang pula kaum yang lain, mereka langsung makan, dan sesudahnya mereka keluar. Aku terus mengundang orang-orang hingga tidak kutemukan lagi seseorang yang kuundang, lalu aku berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, semua orang telah kuundang dan tiada lagi yang tertinggal." Maka beliau ﷺ bersabda: Bereskanlah jamuan kalian. Tetapi masih ada tiga orang yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah.
Maka Nabi ﷺ keluar dan menuju ke kamar Siti Aisyah r.a., lalu mengucapkan salam: Semoga keselamatan, rahmat Allah, dan berkah-Nya terlimpahkan kepada kalian, hai Ahlul Bait. Siti Aisyah menjawab, "Semoga keselamatan dan rahmat Allah terlimpahkan kepadamu. Bagaimanakah engkau jumpai istri barumu, ya Rasulullah? Semoga Allah memberkatimu." Lalu beliau ﷺ mendatangi tiap-tiap kamar istrinya, semuanya menjawab jawaban yang sama seperti yang dikatakan oleh Aisyah, dan mengucapkan kata selamat seperti yang diucapkan oleh Aisyah. Setelah itu Nabi ﷺ kembali, dan ternyata masih ada tiga orang di dalam rumahnya sedang asyik bercakap-cakap. Nabi ﷺ adalah seorang yang pemalu, maka beliau berangkat menuju kamar Siti Aisyah. Aku (Anas) tidak ingat lagi apakah aku memberitahukan kepadanya ataukah beliau telah diberi tahu bahwa semua tamu telah pergi, jelasnya beliau kembali; dan pada saat beliau melangkahkan kakinya di balik pintu bagian dalamnya, sedangkan kaki yang lainnya masih di luar pintu, tiba-tiba beliau menurunkan kain penutup yang menghalang-halangi antara aku dan beliau.
Dan saat itulah diturunkan ayat hijab ini. Kemudian Imam Bukhari meriwayatkannya dari Ishaq ibnu Mansur, dari Abdullah ibnu Bukair As-Sahmi, dari Humaid, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Kemudian Imam Bukhari mengatakan bahwa ada dua orang perawi yang meriwayatkannya melalui jalur ini secara tunggal. Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim secara tunggal melalui hadis Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabit, dari Anas.
"" ". [". -: ". ". ". "". Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Muzaffar, telah menceritakan kepada kami Ja'far ibnu Sulaiman, dari Al-Ja'id Abu Usman Al-Yasykuri, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ melakukan malam pertamanya dengan salah seorang istri barunya. Maka Ummu Sulaim membuat hais (makanan), kemudian meletakkannya di sebuah baki, lalu berkata, "Bawalah makanan ini kepada Rasulullah ﷺ dan sampaikanlah salamku kepadanya, serta katakanlah kepadanya bahwa kiriman ini dari kami untuk beliau dengan apa adanya." Anas mengatakan bahwa saat itu orang-orang sedang dalam keadaan paceklik, lalu aku sampaikan kiriman tersebut dan kukatakan kepada Rasulullah, "Wahai Rasulullah, Ummu Sulaim mengirimkan hidangan ini kepadamu, dan dia menyampaikan salamnya untukmu seraya mengatakan bahwa makanan yang apa adanya ini darinya buat engkau." Rasulullah ﷺ melihat kiriman itu, lalu bersabda, "Letakkanlah." Maka makanan itu kuletakkan di salah satu sudut rumah Nabi ﷺ Kemudian beliau ﷺ bersabda, "Undanglah si Fulan dan si Anu," beliau menyebutkan nama beberapa orang lelaki yang jumlahnya cukup banyak, lalu beliau menambahkan, "Dan undang pulalah orang muslim yang kamu jumpai." Maka aku sampaikan undangan beliau kepada orang-orang yang telah beliau sebutkan namanya, juga setiap orang muslim yang kujumpai.
Ketika aku datang, rumah, halaman dan ruangan tamu penuh dengan orang-orang. Maka aku bertanya, "Hai Abu Usman, berapa orangkah mereka semuanya?" Abu Usman menjawab, "Kurang lebih ada tiga ratus orang." Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Kemarikanlah makanan itu!" Maka aku datangkan makanan itu kepadanya, dan beliau meletakkan tangannya di atas makanan tersebut, lalu berdoa dan bersabda, "Ini adalah kehendak Allah." Kemudian bersabda: Hendaklah tiap sepuluh orang membuat suatu lingkaran dan hendaklah mereka membaca bismillah, dan hendaklah setiap orang memakan makanan yang ada didekatnya.
Lalu mereka membaca basmalah dan makan hingga semuanya merasa kenyang. Setelah itu Rasulullah ﷺ bersabda kepadaku, "Angkatlah hidangan itu!" Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mengambil baki yang berisikan makanan itu, dan ia melihat isinya, tetapi ia tidak ingat lagi apakah saat ia meletakkan hidangan itu lebih banyak ataukah saat mengambilnya lebih banyak (maksudnya makanan tersebut kelihatannya masih utuh seperti semula). Anas r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa ada beberapa orang lelaki yang masih asyik dalam percakapannya di dalam rumah Rasulullah ﷺ, sedangkan istri Rasulullah ﷺ yang baru dinikahi itu ada bersama mereka, memalingkan wajahnya ke arah tembok. Ternyata mereka memperpanjang percakapannya. Hal itu membuat Rasulullah ﷺ keberatan, tetapi beliau tidak mau menegur mereka karena beliau adalah orang yang sangat pemalu. Seandainya diberi tahu, pastilah mereka merasa tidak enak karena sedang asyik dalam obrolannya. Maka Rasulullah ﷺ pergi dan menemui tiap-tiap istrinya di kamarnya masing-masing, kepada tiap orang dari mereka beliau mengucapkan salam.
Ketika para hadirin yang masih ada melihat Rasulullah ﷺ tiba, mereka baru sadar bahwa diri mereka merepotkan Rsulullah ﷺ Karena itu, mereka segera bangkit menuju pintu, lalu keluar. Rasulullah ﷺ datang, lalu menutupkan kain pintu dan masuk ke dalam kamar, sedangkan aku (Anas) berada di ruang tamunya. Rasulullah ﷺ tinggal di dalam kamarnya sesaat yang tidak lama, dan Allah menurunkan wahyu Al-Qur'an kepadanya. Setelah itu beliau keluar dari kamar dan membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat. Sahabat Anas mengatakan bahwa Nabi ﷺ terlebih dahulu membacakan ayat-ayat tersebut kepadaku sebelum orang lain, lalu aku menceritakannya kepada orang-orang selama suatu masa. Imam Muslim, Imam Turmuzi, dan Imam Nasai telah meriwayatkannya melalui Qutaibah, dari Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan sahih. Imam Bukhari meriwayatkannya secara ta'liq di dalam Kitabun Nikah.
Ia mengatakan bahwa Ibrahim ibnu Tuhman telah meriwayatkan hadis ini dari Al-Ja'd alias Abu Usman, dari Anas, lalu disebutkan hal yang semisal. Imam Muslim meriwayatkannya pula dari Muhammad ibnu Rafi', dari Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Al-Jahd dengan sanad yang sama. Abdullah ibnul Mubarak telah meriwayatkan hadis ini melalui Syarik, dari Bayan ibnu Bisyr, dari Anas dengan lafaz yang semisal.
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula melalui hadis Abu Nadrah Al-Abdi, dari Anas ibnu Malik dengan lafaz yang semisal, tetapi mereka tidak ada yang mengetengahkannya melalui jalur ini. Ibnu Jarir meriwayatkannya melalui hadis Amr ibnu Sa'id dan hadis Az-Zuhri, dari Anas dengan lafaz yang semisal. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Bahz dan Hasyim ibnul Qasim.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnul Mugirah, dari Sabitt, dari Anas yang mengatakan bahwa setelah idah Zainab habis, Rasulullah ﷺ bersabda kepada Zaid (bekas suaminya): Pergilah kamu kepadanya, dan ceritakanlah kepadanya bahwa aku menyebut-nyebutnya. Zaid berangkat hingga sampai ke rumah Zainab, saat itu Zainab sedang membuat adonan roti. Ketika aku melihatnya, terasa dadaku keberatan memandangnya. Lalu disebutkan hadis selanjutnya seperti yang telah dikemukakan jauh sebelum ini, pada tafsir firman-Nya: Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya). (Al-Ahzab: 37) Pada akhir riwayat ini ditambahkan pula bahwa lalu Nabi ﷺ menasihati orang-orang dengan nasihat yang biasa beliau utarakan kepada mereka.
Hasyim dalam hadisnya mengatakan (menyitir firman Allah ﷻ): Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan. (Al-Ahzab: 53), hingga akhir ayat. Imam Muslim dan Imam Nasai telah mengetengahkannya melalui hadis Ja'far ibnu Sulaiman dengan sanad yang sama. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ahmad ibnu Abdur Rahman anak saudaranya Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku pamanku Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Yunus, dari Az-Zuhri, dari Urwah, dari Aisyah yang mengatakan bahwa istri-istri Nabi ﷺ apabila membuang hajat besarnya di malam hari keluar menuju ke Manasi', yaitu tanah lapang yang luas.
Dan Umar r.a. selalu berkata kepada Rasulullah ﷺ, "Wahai Rasulullah, pakailah hijab buat istri-istrimu," tetapi Rasulullah ﷺ tidak mengindahkannya. Lalu Saudah binti Zam'ah (istri Rasulullah ﷺ) keluar untuk membuang hajat besarnya. Dia adalah seorang wanita yang berperawakan tinggi, maka Umar menyerunya dengan suara yang keras, "Kami telah mengenalmu, hai Saudah." Umar melakukan demikian karena keinginannya yang sangat agar diturunkan wahyu mengenai hijab. Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah ﷻ menurunkan ayat hijab. Demikianlah menurut riwayat ini secara apa adanya. Tetapi menurut pendapat yang terkenal, peristiwa ini terjadi sesudah turunnya ayat hijab, sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Imam Bukhari, dan Imam Muslim melalui hadis Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a. yang menceritakan: ". bahwa Saudah keluar untuk suatu keperluannya sesudah diturunkan ayat hijab.
Saudah adalah seorang wanita yang berperawakan besar lagi tinggi, tidak samar lagi bagi orang yang mengenalnya. Lalu Saudah kelihatan oleh Umar ibnul Khattab, maka Umar berkata, "Hai Saudah, ingatlah, demi Allah, engkau tidak samar lagi bagi kami. Karena itu, perhatikanlah dahulu di sekitarmu sebelum kamu keluar." Maka Saudah kembali lagi ke rumah, saat itu Rasulullah ﷺ sedang makan malam dan sedang memegang daging paha di tangannya. Saudh masuk, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya keluar untuk suatu keperluan, lalu Umar mengatakan anu dan anu." Siti Aisyah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa lalu Allah ﷻ menurunkan wahyu kepada Nabi ﷺ Setelah wahyu selesai dan tangan Nabi ﷺ masih keringatan karena beratnya wahyu, beliau bersabda: Sesungguhnya telah diizinkan bagi kalian (kaum wanita) untuk keluar guna keperluan kalian. Lafaz hadis ini menurut apa yang ada pada Imam Bukhari. Firman Allah ﷻ: Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi. (Al-Ahzab: 53) Melalui ayat ini Allah ﷻ melarang orang-orang mukmin masuk ke dalam rumah-rumah Nabi ﷺ tanpa izin, tidak sebagaimana biasanya yang mereka lakukan di masa Jahiliah dan masa permulaan Islam di mana mereka masuk ke rumah-rumah mereka tanpa izin.
Maka Allah merasa cemburu dengan umat ini, lalu Dia memerintahkan mereka agar meminta izin terlebih dahulu bila mau masuk ke rumah orang. Hal ini pun merupakan suatu penghormatan dari Allah ﷻ terhadap umat ini. Untuk itulah maka Rasulullah ﷺ bersabda: Jangan sekali-kali kalian masuk menemui wanita. hingga akhir hadis. Kemudian dikecualikan dari hal tersebut melalui firman-Nya: kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). (Al-Ahzab: 53) Mujahid dan Qatadah serta selain keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah tidak menunggu-nunggu masaknya makanan itu. Dengan kata lain, janganlah kalian mengintai-intai makanan bila sedang dimasak; sehingga manakala makanan itu hampir masak, lalu kalian masuk ke rumah (yang mempunyai hajat).
Hal ini termasuk perbuatan yang tidak disukai oleh Allah ﷻ dan dicela-Nya. Ayat ini mengandung dalil yang mengharamkan sikap slamit (jawa, mengharamkan sesuatu dari orang lain, pent.) yang menurut orang Arab disebut dengan istilah daifan. Sehubungan dengan topik ini Al-Khatib Al-Bagdadi telah menulis sebuah kitab tersendiri yang membahas tercelanya sifat ini, lalu dikemukakan pula sebagian dari kisah-kisah mereka yang berperangai demikian; hal itu tidak akan dibahas di sini. Kemudian Allah ﷻ berfirman: tetapi jika kamu diundang, maka masuklah; dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu. (Al-Ahzab: 53) Di dalam kitab Sahih Muslim disebutkan melalui Ibnu Umar r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: Apabila seseorang di antara kalian mengundang saudaranya untuk suatu jamuan, hendaklah orang yang diundang memenuhinya, baik undangan pernikahan ataupun undangan lainnya.
Asal hadis ini terdapat di dalam kitab Sahihain. Di dalam kitab sahih disebutkan pula sebuah hadis dari Rasulullah ﷺ yang telah bersabda: Seandainya aku diundang untuk makan kaki kambing, pastilah aku akan memenuhinya. Dan seandainya aku dikirimi masakan kikil kambing, tentulah aku terima. Maka apabila kalian telah selesai dari menyantap jamuan, janganlah kalian merepotkan pemilik rumah, dan segeralah kalian keluar (dari rumahnya). Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: tanpa asyik memperpanjang percakapan. (Al-Ahzab: 53) Sebagaimana yang dilakukan oleh ketiga orang yang disebutkan oleh hadis di atas, mereka asyik dengan obrolannya sehingga memberatkan Rasulullah ﷺ yang saat itu menjadi pengantin.
Allah ﷻ telah berfirman menceritakannya: Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi, lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar). (Al-Ahzab: 53) Menurut suatu pendapat, makna yang dimaksud ialah sesungguhnya masuk kalian ke dalam rumah Nabi ﷺ tanpa izin adalah sikap yang memberatkannya dan membuatnya terganggu. Tetapi beliau ﷺ merasa berat untuk menyuruh mereka keluar, sebab Nabi ﷺ adalah seorang yang pemalu, hingga pada akhirnya Allah ﷻ menurunkan ayat yang melarang hal tersebut. Untuk itulah maka disebutkan dalam firman selanjutnya: dan Allah tidak malu (menerangkan) yang benar. (Al-Ahzab: 53) Karena itulah maka Allah ﷻ melarang kalian bersikap demikian dan memperingatkan kalian supaya jangan mengganggu Nabi lagi. Kemudian dalam firman selanjutnya disebutkan: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. (Al-Ahzab: 53) Yakni sebagaimana Allah melarang kalian masuk menemui istri-istri Nabi, maka dilarang pula kalian memandang mereka dalam keadaan bagaimanapun, sekalipun bagi seseorang di antara kalian ada keperluan yang hendak diambilnya dari mereka. Dia tidak boleh memandangnya, tidak boleh pula meminta suatu keperluan kepada mereka melainkan dari balik hijab. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Mis'ar, dari Musa ibnu Abu Kasir, dari Mujahid, dari Aisyah yang menceritakan bahwa pada suatu hari ia makan hais bersama Nabi ﷺ di dalam sebuah mangkuk besar, lalu lewatlah Umar.
Maka Nabi ﷺ mengundangnya untuk makan bersama, dan Umar pun makan bersama kami. Jari Umar bersentuhan dengan jariku (Aisyah), maka Umar berkata, "Alangkah baiknya, atau aduh, seandainya Nabi ﷺ ditaati oleh kalian, niscaya tiada suatu mata pun yang melihat kalian (istri-istri Nabi ﷺ)." Maka turunlah firman-Nya: Cara yang demikian itu lebih suci bagi hati kalian dan hati mereka. (Al-Ahzab: 53) Yakni apa yang telah Kuperintahkan kepada kalian dan apa yang telah Kusyariatkan kepada kalian tentang berhijab adalah lebih suci dan lebih baik bagi kalian. Firman Allah ﷻ: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini istri-istrinya sesudah ia wafat selama-lamanya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Ahzab: 53) Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Husain, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abu Hammad, telah menceritakan kepada kami Mahran, dari Sufyan ibnu Abu Hindun, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah. (Al-Ahzab: 53) Bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang lelaki yang berniat akan mengawini bekas istri Nabi ﷺ bila beliau ﷺ sudah tiada.
Seorang lelaki bertanya kepada Sufyan, "Apakah dia adalah Aisyah?" Sufyan menjawab, "Mereka telah menceritakan hal tersebut." Hal yang sama telah dikatakan oleh Muqatil ibnu Hayyan dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam. Telah meriwayatkan pula berikut sanadnya dari As-Saddi, bahwa lelaki yang berniat demikian adalah Talhah ibnu Abdullah r.a. hingga turunlah wahyu yang mengingatkannya bahwa hal itu diharamkan. Karena itulah para ulama telah sepakat bahwa setelah Rasulullah ﷺ wafat, maka istri-istrinya haram dikawini oleh orang lain karena mereka bukan saja sebagai istri-istri beliau di dunia ini, tetapi juga di akhirat, mereka juga adalah Ummahatul Mu-minin alias ibu-ibu semua kaum mukmin, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya.
Para ulama berselisih pendapat sehubungan dengan masalah seorang lelaki yang sempat kawin dan menggaulinya, lalu menceraikannya semasa Rasulullah ﷺ masih hidup. Maka apakah wanita itu halal bagi lelaki lain untuk dikawininya? Ada dua pendapat sehubungan dengan masalah ini. Permasalahan keduanya timbul dari pertanyaan, bahwa apakah hal ini termasuk ke dalam pengertian umum firman-Nya: sesudah ia wafat. (Al-Ahzab: 53) Ataukah tidak? Adapun mengenai masalah seseorang yang mengawininya (yakni bekas istri Nabi ﷺ), lalu ia menceraikannya sebelum menggaulinya, maka kami tidak mengetahui apakah dia halal atau tidak bagi orang lain.
Bila keadaannya demikian, masalahnya masih diperselisihkan. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnul Musanna, telah menceritakan kepada kami Abdul Wahab, telah menceritakan kepada kami Daud, dari Amir, bahwa Nabi ﷺ wafat, sedangkan Qailah bintil Asy'as (yakni Ibnu Qais) berada dalam kepemilikan Nabi ﷺ sebagai hamba sahayanya. Sesudah itu Qailah dikawini oleh Ikrimah ibnu Abu Jahal, maka peristiwa ini sangat memberatkan hati Abu Bakar. Lalu Umar mengemukakan pendapatnya kepada Abu Bakar, "Hai Khalifah Rasulullah, sesungguhnya dia (Qailah) bukan termasuk salah seorang istri Nabi ﷺ Sesungguhnya Rasulullah ﷺ tidak pernah memilihnya, tidak pula menghijabnya (memakaikan hijab padanya). Allah telah melepaskan dia dari Nabi ﷺ karena dia pernah murtad mengikut kepada kaumnya." Amir melanjutkan kisahnya, bahwa setelah mendengar saran dari sahabat Umar itu barulah hati Abu Bakar r.a. merasa tenang. Allah ﷻ menganggap hal itu termasuk dosa besar dan memperingatkan serta mengancam pelakunya melalui firman-Nya: Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah. (Al-Ahzab: 53) Kemudian Allah ﷻ berfirman: Jika kamu melahirkan sesuatu atau menyembunyikannya, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Al-Ahzab: 54) Maksudnya, betapapun hati sanubari kalian menyimpan sesuatu dan menyembunyikan rahasia, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya. Karena sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi dari pengetahuan Allah, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati. (Al-Mu-min: 19)"
Saat Nabi merayakan pernikahan dengan Zainab binti Ja'sy, beliau mengundang tamu untuk mencicipi hidangan walimah. Di antara tamu-tamu itu, ada tiga orang yang terlalu asyik dan lama berbincang karena merasa betah di kediaman Rasulullah. Melalui ayat berikut Allah menjelaskan etika berkunjung ke rumah Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi sambil menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu makanannya masak. Tetapi, jika kamu dipanggil maka masuklah, dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu dari kediaman Nabi tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu, yakni berlama-lama di rumah beliau, adalah mengganggu Nabi, sehingga dia malu kepadamu untuk memintamu pulang, dan Allah tidak malu menerangkan hal yang benar. 54. Jika kamu menyatakan sesuatu, baik ucapan maupun perbuatan, atau menyembunyikannya dalam hatimu yang paling dalam, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang tampak maupun yang tersembunyi.
Pada ayat ini, Allah mengajarkan sopan santun atau etika terhadap rumah tangga Nabi ﷺ Allah melarang orang-orang yang beriman untuk memasuki rumah-rumah Nabi ﷺ kecuali dengan izin beliau, untuk makan di rumahnya tanpa menunggu waktu masak makanannya. Pada masa Rasulullah pernah terjadi ada orang-orang yang menunggu waktu makannya. Lalu turun ayat ini yang melarang perbuatan tersebut. Bilamana Rasulullah mengundang beberapa orang sahabat ke rumahnya untuk menghadiri walimah, maka mereka dilarang memasuki rumah Nabi saw, kecuali bila mereka sudah mengetahui bahwa makanannya sudah siap dihidangkan.
Bila hidangan belum siap dan mereka masih sibuk menyiapkan hidangan, maka masuknya tamu itu akan mengganggu ketenangan keluarga Nabi ﷺ Hal ini juga mengganggu istri Nabi. ﷺ yang sedang bekerja karena akan terlihat sebagian anggota tubuhnya yang tidak boleh dilihat oleh para tamu. Mereka dipersilakan masuk jika telah diundang. Apabila telah selesai makan, supaya segera keluar tanpa memperpanjang percakapan, karena hal itu benar-benar mengganggu Nabi saw, dan beliau sendiri merasa malu untuk menyuruh tamunya keluar. Akan tetapi, Allah tidak segan untuk menerangkan yang benar.
Allah mengajarkan kesopanan di dalam rumah tangga supaya diperhatikan oleh seluruh tamu-tamu yang berkunjung ke rumah orang. Bilamana ada kepentingan untuk meminta atau meminjam suatu barang ke rumah istri-istri Nabi. saw, maka hendaklah permintaan itu dilakukan dari belakang tabir dan tidak berhadapan secara langsung. Hal yang demikian itu lebih menyucikan hati kedua belah pihak dan tidak pula menyakiti hati Rasulullah. Termasuk perbuatan yang menyakiti hati Rasulullah ialah menikahi istri-istrinya setelah beliau meninggal dunia. Larangan untuk menikahi bekas istri-istri Nabi. ﷺ adalah larangan yang berlaku untuk selamanya karena perbuatan itu amat besar dosanya di sisi Allah.
Nabi itu lebih utama bagi orang-orang mukmin dibandingkan diri mereka sendiri dan istri-istrinya adalah ibu-ibu mereka. (al-Ahzab/33: 6).
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Anas bahwa Umar bin Khaththab. pernah berkata, "Ada tiga pendapatku yang sesuai dengan wahyu yang diturunkan oleh Allah. Pertama, Aku berkata kepada Rasulullah, 'Wahai Rasulullah, alangkah baiknya bila engkau menjadikan maqam Ibrahim tempat salat, lalu Allah menurunkan ayat:
Dan jadikanlah maqam Ibrahim itu tempat salat. (al-Baqarah/2: 125)
Kedua, saya berkata, 'Wahai Rasulullah, sesungguhnya istri-istrimu sering didatangi tamu orang baik dan orang jahat, seandainya engkau membuat tabir untuk mereka tentu lebih baik, maka Allah menurunkan ayat hijab ini. Ketiga, saya pernah berkata kepada istri-istri Nabi. ketika mereka berselisih karena rasa cemburu terhadap Nabi, maka turunlah ayat ini:
Jika dia (Nabi) menceraikan kamu, boleh jadi Tuhan akan memberi ganti kepadanya dengan istri-istri yang lebih baik dari kamu. (at-Tahrim/66: 5)
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KETENTUAN ALLAH ﷻ TENTANG ISTRI NABI
Ayat 50
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagi engkau istri-istri engkau yang telah engkau bayarkan mas kawinnya."
Dengan ayat ini diterangkan bahwa Allah ﷻ telah menghalalkan bagi beliau, Nabi kita ﷺ istri-istri beliau yang telah dibayar mas kawinnya. Mujahid mengatakan bahwa mas kawin Nabi kita kepada setiap istri beliau ialah sebelas uqiyah ditambah setengah uqiyah lagi. Jumlah harganya lima ratus dirham. Cuma satu istri beliau yang amat mahal mas kawin-nya, yaitu Ummi Habibah yang nama kecilnya Hindun, anak perempuan dari Abu Sufyan yang berpindah (hijrah) dibawa suaminya ke negeri Habsyi. Sampai di sana suaminya murtad masuk Kristen. Maka terlunta-luntalah Ummi Habibah di negeri itu. Tetap teguh memegang agamanya, tetapi dia tidak mau kembali pulang ke Mekah, sebab ayahnya sendiri masih musyrik dan memusuhi Nabi dengan kerasnya. Lalu Rasulullah ﷺ mengirim utusan ke negeri Habsyi menyampaikan lamaran beliau kepada Ummi Habibah dan beliau wakilkan kepada Negus Negesti Ashhamah untuk menikahinya, karena Najasyi itu telah memeluk Islam. Oleh Raja Habsyi itu dibayarlah mas kawin Nabi dengan uang baginda sendiri empat ratus dinar emas.
Shafiah binti Huyai yang ayahnya mati dalam menjalani hukuman Bani Quraizhah, setelah dia tertawan ketika beliau ﷺ menaklukkan pertahanan Yahudi di Khaibar. Ketika Rasulullah ﷺ tahu bahwa perempuan itu anak dari pemimpin Yahudi yang besar itu dan sekarang telah tertawan, dan suaminya pun telah meninggal dalam perang dengan Nabi, Shafiah dimerdekakan oleh Nabi dari perbudakan, lalu beliau jadikan kemerdekaan yang beliau berikan itu sebagai mas kawin.
Demikian juga Juwairiah binti al-Harits dari Bani al-Mushthaliq. Juwairiah jatuh ke dalam tawanan Tsabit bin Qais bin Syaminas. Lalu Juwairiah ditebus oleh Rasul ﷺ dari Tsabit lalu beliau memerdekakan pula dan beliau kawini. Kemerdekaan itu pula yang beliau jadikan sebagai mas kawin.
Istri beliau enam orang dari perempuan Quraisy yang seketurunan dengan beliau, yaitu (1) Khadijah, (2) Aisyah, (3) Hafshah, (4) Ummi Habibah, (5) Saudah dan (6) Ummi Salamah. Dua orang dari Bani Hilal bin Amir, yaitu Maimunah binti al-Harits dan Zainab yang dikenal dengan sebutan “Ibu orang-orang miskin" karena dermawannya. Dan Zainab binti Jahasy dari Bani Asad.
“Dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu." Ayat ini menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang jadi tawanan di medan perang, kalau tidak ada lagi keluarganya yang dapat menebusnya, menjadilah dia termasuk jadi hamba sahaya kepunyaan yang menawannya. Bisa dibuatnya sesuka hati, sebagaimana mempunyai barang. Ada yang tetap jadi budak. Dan tuan yang empunya dia tidak berdosa kalau menyetubuhinya.
Sebagaimana telah kita katakan di atas tadi, pada mulanya Shafiah binti Huyai dan Juwairiah binti al-Harits pada mulanya adalah hamba sahaya tawanan. Tetapi keduanya di-kembalikan ketinggian martabatnya oleh Rasulullah ﷺ, yaitu dimerdekakan lalu dikawini, karena keduanya adalah anak-anak orang bangsawan dalam kaumnya.
Yang tetap jadi jariyah atau hamba sahaya tidak dimerdekakan tetapi dicampuri oleh Rasulullah ialah dua orang, yaitu Raihanah binti Syam'un, anak perempuan dari Bani Nadhir yang ketika terjadi pengusiran besar-besaran terhadap kaum itu, istri dan anak-anak tinggal bebas, dan Raihanah beliau jadikan jariyah. Dikirim pula oleh Muqauqis Raja Mesir seorang dayang perempuan bernama Mariah dari Qubthi (Mesir). Itu pun dijadikan jariyah beliau juga. Dan Mariah Rasulullah ﷺ beroleh putra yang paling bungsu, yaitu Ibrahim yang meninggal di waktu kecil usia 18 bulan. Di ayat ini dijelaskan tentang hamba sahaya itu, “Yang engkau peroleh sebagai rampasan perang,yang diserahkan Allah kepada engkau."
Di sini ditegaskanlah sejarah dari mana asal mulanya timbulnya perbudakan. Yaitu bahwa perbudakan timbul ialah karena terjadi peperangan. Suatu negeri dikalahkan, orang-orang yang kalah dijadikan tawanan. Adakalanya tawanan boleh menebus diri atau ditebuskan oleh kaum kerabatnya. Tetapi kadang-kadang musnah negeri itu, habis laki-lakinya terbunuh dan tinggal perempuan-perempuan dan kanak-kanak. Tidak ada lagi yang akan menebus dari tawanan. Mereka jadi milik dari yang menang. Orang-orang itu langsung jadi budak.
Sayyid Rasyid Ridha memberikan fatwa dengan tegas dalam Tafsir al-Manar bahwa manusia merdeka yang dijarah kampung halamannya oleh penjarah-penjarah, bukan karena perang, melainkan karena mencari orang yang akan dijadikan budak saja, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Eropa ke negeri-negeri Afrika satu dua abad yang lalu, perbudakan terhadap mereka tidaklah sah.
Akibat dari jadi budak ialah yang empunya boleh menjualnya dan boleh menghukumnya, tetapi kalau hatinya kasihan bisa juga dimer-dekakannya.
Peraturan perbudakan ini di zaman lampau bukanlah berlaku dalam Islam saja, tetapi berlaku pada seluruh bangsa. Orang-orang kulit hitam di Amerika (Negro) asal-usulnya ialah budak. Perbudakan baru berhenti dalam pertengahan abad kesembilan belas.
Maka Mariah budak perempuan yang dihadiahkan oleh Muqauqis Raja Muda Mesir mewakili Kerajaan Romawi dihadiahkannya kepada Rasulullah ﷺ adalah sah. Dan Nabi mengambilnya jadi jariyah adalah hal yang berlaku pada masa itu. Dalam surah kiriman Rasul, paulus (Perjanjian Baru) diberinya nasihat agar budak-budak tunduk kepada tuannya dan memperhambakan diri sebagaimana kepada Allah juga.
Kemudian dijelaskan lagi siapa-siapa yang halal dirikahi oleh Rasulullah ﷺ, “Dan anak-anak perempuan dari paman engkau." Paman ialah saudara laki-laki dari ayah kandung. Sebab itu maka anak-anak perempuan dari Abu Thalib dan Abu Lahab, Abbas, dan Hamzah, halal belaka dirikahi oleh Nabi. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah “engkau," sebagaimana Zainab binti Jahasy itu, setelah diceraikan oleh Zaid lalu dikawini oleh Nabi ﷺ adalah halal baginya, sebab Zainab adalah anak dari Umaimah binti Abdul Muthalib. “Dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu engkau." Di Minangkabau saudara laki-laki dari ibu disebut mamak. Di Minang hal itu disebut “pulang ke anak mamak sesuatu perkawinan yang sangat diingini di daerah itu di zaman adat keibuan Cmatriaarchat) masih kuat. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu engkau." Di negeri Bugis yang seperti ini disebut sepupu sekali. Tetapi menurut adat Minangkabau perkawinan seperti ini tidak boleh karena mereka masih seperut, serumah gedang atau sepayung. Tetapi dalam syari'at Islam nyata halalnya. “Yang semuanya itu berhijrah bersama engkau." Dengan turut berhijrah itu artinya terbukti bahwa mereka telah beriman belaka. Meskipun tidak semua sampai dikawini Nabi ﷺ, namun mereka disebut untuk menghormati hijrah mereka.
Dengan ketentuan yang membolehkan mengawini anak paman, anak uncu, anak makcik, anak Pak Tua ini, bukanlah dia berlaku terhadap Rasulullah ﷺ saja. Ayat ini adalah sebagai pelengkap keterangan dari ayat 23 dari surah an-Nisaa' Sebab dalam ayat ter-sebut dijelaskan mana yang haram dirikahi, maka di ayat ini dijelaskan pula mana yang boleh dirikahi.
Peraturan ini adalah jalan tengah dalam Islam terhadap syari'at yang dijalankan orang Nasrani asli dan orang Yahudi. Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa orang Nasrani terlalu jauh mencari hubungan keluarga dengan perempuan yang akan di-kawininya. Keluarga yang boleh dikawini ialah jika garis lurus pertalian nenek ke atas sudah sampai tujuh. Kalau masih di bawah tujuh keturunan belum boleh. Tetapi orang Yahudi bisa saja sampai sekarang mengawini anak perempuan dari saudara kandungnya, baik saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan. Sehingga bagi kita penganut syari'at Islam agak berdiri juga bulu roma kita, kalau memikirkan seseorang mau mengawini anak dari adik kandungnya.
“Dan perempuan yang beriman yang menghibahkan dirinya kepada Nabi jika sudi Nabi menikahinya." Menghibahkan diri ialah memberikan diri dengan sukarela, jika Nabi sudi mengawini mereka. Menghibahkan itu ialah dengan tidak mengharapkan mas kawin lagi, asal Nabi sudi menerima.
Dalam kenyataannya memang terjadi ada beberapa orang yang menghibahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi sudi mengawininya, tetapi tidaklah keinginan itu dikabulkan oleh Nabi.
Sebuah riwayat yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa pada suatu hari Anas bin Malik sedang duduk, sedang di dekat beliau duduk pula anak perempuannya dalam majelis Nabi. Lalu Anas berkata bahwa seorang perempuan datang menghadap Nabi ﷺ, lalu berkata, “Ya Nabi Allah! Sudikah tuan menerima saya jadi istri tuan?"
Mendengar perempuan itu menawarkan diri demikian, maka anak perempuan Anas bin Malik itu berkata kepada ayahnya, “Perempuan yang tidak bermalu! “ karena dia meng-hibahkan diri kepada Nabi. Lalu Anas bin Malik berkata kepada anaknya itu, “Dia lebih baik daripada kau! Dia cinta kepada Nabi, lalu ditawarkannya dirinya jadi istri beliau." (Hadits ini pun dirawikan juga dari thuruq yang lain oleh Imam Bukhari sendiri yang diterimanya dengan sanadnya dari Tsabit al-Bunaniy dan Anas bin Malik).
Sebuah hadits lagi yang diterima dengan sanadnya oleh Imam Ahmad dari Sa'ad as-Saa'idi, bahwa pada suatu hari datang seorang perempuan menghadap Rasul, lalu berkata, “Telah aku hibahkan diriku kepada engkau, ya Rasulullah."
Nabi masih diam saja belum menjawab dan perempuan itu telah lama berdiri menunggu-nunggu sambutan Nabi ﷺ dengan harap-harap cemas.
Lalu berdiri pula seorang dan tampil ke muka menyampaikan keinginannya kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah! Kalau tuan tidak memerlukannya, kawinkanlah aku dengan dia."
Maka bersabda Nabi, “Adakah padamu sesuatu yang akan engkau jadikan mas kawin?"
Orang itu menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa selain kain izar ini."
Berkata Rasulullah ﷺ, “Kalau izar itu engkau serahkan kepadanya, tentu kalau engkau duduk tidak berizar. Kalau begitu cobalah cari-cari yang lain."
Dia menjawab, “Tidak ada padaku sesuatu jua pun."
Lalu Nabi bersabda, “Cobalah cari-cari walaupun sebentuk cincin besi." Dia pun keluar mencoba mencari cincin besi. Itu pun tidak dapat dan dia pun kembali tidak membawa apa-apa.
Maka bersabdalah Nabi, “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Qur'an?"
Laki-laki itu menjawab, “Kalau ayat-ayat Al-Qur'an memang ada pada saya. Saya hafal surah anu dan surah anu." (Lalu disebutnya beberapa surah yang dia hafal).
Akhirnya berkatalah Nabi ﷺ, “Aku kawinkan engkau dengan dia, dengan mas kawin surah-surah yang ada padamu itu." (Imam Malik pun ada merawikan hadits cincin besi ini).
Ada juga tersebut dalam riwayat bahwa seorang perempuan yang salihah bernama Khaulah binti Hakim datang menghibahkan dirinya pula kepada Nabi.
Selanjutnya disebutkan, “Sebagai pengkhususan bagi engkau, bukan buat seluruh orang-orang yang beriman." Artinya kalau ada perempuan datang menghibahkan diri Kain selendang, kepada Nabi ﷺ, dan kalau beliau suka akan perempuan, itu, beliau boleh langsung mengawininya dengan tidak usah membayar mas kawin lagi. Tetapi bagi yang selain Nabi yaitu kita seluruh umatnya, sejak zaman-zaman sahabat sampai sekarang, kalau ada pula misalnya seorang perempuan datang menghibahkan dirinya, kalau orang itu suka akan perempuan itu lalu hendak dirikahinya, namun mas kawinnya atau mahar mitsilnya wajib juga dibayar.
“Sesungguhnya telah Kami ketahui apa yang Kami fardhukan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan mereka." Artinya bahwa pergaulan umat Muhammad ﷺ dengan istri-istri beliau dan dengan jariyah-jariyah itu sudah diatur oleh Allah ﷻ sendiri. “Supaya bagi engkau tidak jadi keberatan." “Tidak jadi keberatan" artinya ialah tidak merasa ada salahnya atau dosanya jika Nabi ﷺ berbuat demikian,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Artinya kalau kiranya ada serba sedikit terdapat kekurangberesan pergaulan suami istri, di antara umat Muhammad ﷺ sehingga tidak persis sebagaimana yang diatur oleh Allah SWT, asal jangan melanggar dasar yang pokok, maka Allah ﷻ memberi ampun kekurangan itu dan Allah pun Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang terkhilaf bukan karena sengaja hendak melanggar.
Ayat 51
“Engkau tangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antata mereka dan engkau bawa sentamu siapa yang engkau hendak pengauli."
Maksud ayat ini ialah khusus mengenai perempuan-perempuan yang menghibahkan diri itu. Engkau hanya halal menerima pemberian perempuan itu atas dirinya untuk engkau peristri. Jika engkau terima, Allah ﷻ tidak melarangnya. Tetapi engkau pun boleh menolak pemberian itu dengan baik kalau engkau tidak setuju dan boleh pula memakainya dan memasukkannya jadi tambahan anggota rumah tanggamu. Dalam hal ini benar-benar terserah kepadamu belaka.
Di sini terdapat kalimat turjii yang kita artikan engkau tangguhkan, yaitu pemilihan kata yang lebih halus untuk menyatakan, bahwa keinginan perempuan-perempuan itu menghibahkan diri kepada Rasulullah ﷺ tidak diterima. Tetapi oleh karena menenggang perasaan kaum perempuan yang sangat halus dan jangan sampai mereka merasa tersinggung dipakailah kata-kata ditangguhkan. Artinya dijawab dengan susun kata yang sebaik-baiknya. Atau dicarikan jalan keluar yang baik. Di atas telah kita salinkan sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad tentang satu di antara mereka yang datang menghibahkan diri itu. Lama perempuan itu terpaksa tegak berdiri menunggu jawaban Rasulullah ﷺ, menerima atau menolak. Mujur ada di sana seorang muda yang hidupnya kurang mampu bersedia menerima perempuan itu kalau Rasul tidak hendak menerimanya. Dan perempuan itu pun patuh menerima putusan Rasulullah.
Aisyah mengakui terus terang bahwa jika ada seorang perempuan datang menyerahkan diri atau menghibahkan diri itu, tersinggung juga perasaannya dan timbul juga cemburu dalam hatinya.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dan Yunus bin Bukair, “Meskipun Rasulullah diberi kebebasan oleh Allah menerima perempuan yang menghibahkan diri itu, namun tidak seorang pun yang beliau terima."
Kalimat Tu'wii kita artikan “engkau bawa sertamu", artinya jika engkau terima permintaannya, engkau sambut dia menghibahkan diri itu, “Dan barangsiapa yang engkau kehendaki dari mereka yang telah pernah engkau ceraikan, maka tidaklah ada dosanya atas engkau." Maksudnya ialah selain dari yang engkau sambut keinginannya atau yang engkau tolak, ataupun yang pernah engkau ceraikan hendak engkau rujuk kepadanya kembali, semuanya itu tidaklah ada salahnya, tidak ada dosanya atau tidak ada keberatannya, boleh saja; semuanya terserah kepadamu. “Demikian itulah yang lebih dekat untuk menenangkan hati mereka dan mereka tidak akan merasa sedih dan semuanya rela menerima apa yang engkau berikan." Maksud semua ayat ini sudah terang. Yaitu kepada Rasulullah ﷺ sendiri diserahkan kebijaksanaan apa yang akan diambilnya terhadap kepada istri-istri beliau atau menerima atau sebaliknya terhadap perempuan yang menghibahkan diri itu. Demikian kalau ada yang tadinya beliau tangguhkan, kemudian beliau berkenan hendak menerimanya kembali, itu pun tidak ada salahnya. Demikian juga tentang pembagian hari terhadap istri-istri beliau, entah berlebih ke sana, entah berkurang kemari, karena tanggung jawabnya dalam memimpin umat begitu banyak yang lebih besar, tidak pulalah beliau diberati supaya sama. Namun itu Aisyah juga yang memberikan kesaksian, bahwa dalam membagi hari giliran di antara istrinya, beliau adalah sangat adil. Tetapi beliau selalu pula berdoa bermunajat kepada Allah SWT,
“Ya Allah. Inilah yang aku kuasa membuatnya. Maka janganlah Engkau sesali aku pada perkara yang Engkau sendiri saja Yang Kuasa dan aku tidak kuasa." (HR an-Nasa'i dan Abu Dawud)
Artinya bahwa beliau sanggup mengerjakan membagi giliran di antara istri dengan adil. Di sana sekian hari dan di situ sekian hari pula. Tetapi tentang hati ke mana condongnya, entah lebih yang ini dari yang itu dalam hati, Nabi memohon kepada Allah ﷻ dalam hal yang seperti itu, janganlah dia disesali. Maka sesuailah doa Nabi itu dengan lanjutan ayat, “Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu." Allah Mahatahu bahwa yang ini lebih dikasihinya dari yang itu,
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Penyantun."
Maka lebih dan kurang kasih sayang, kalau hanya dalam hati saja tidaklah salah di hadapan Allah ﷻ Allah itu Maha Penyantun, dapat mengerti kelemahan hamba-hamba-Nya.
Al-Qurthubi menuliskan tentang istri-istri yang tetap beliau giliri, yaitu empat orang: Aisyah, Hafshah, Ummi Salamah, dan Zainab. Dan yang tidak tetap beliau giliri adalah lima orang: Saudah, Juwairiah, Ummi Habibah (Ramlah) binti Abu Sufyan, Maimunah, dan Shafiah.
Dikatakan dalam ayat, bahwa jika ada yang tetap beliau giliri dan jika ada yang tidak begitu tetap, kalau semuanya sudah mengerti, bahwa Allah ﷻ telah memandang beliau tidak berdosa jika beliau lakukan demikian, niscayatah istri-istri itu akan rela menerima, tenang pikiran mereka dan tidak ada yang akan bersedih hati atau mengomel.
Demikianlah Rasulullah ﷺ berlaku terhadap istri-istri beliau itu, selama hidupnya sampai beliau meninggal dunia. Bahkan Saudah menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah sebab merasa diri telah tua tidak akan dapat dengan sempurna menyelenggarakan dan merawat Nabi lagi. Bahkan tertulis pula dalam sejarah hidup Aisyah bahwa beliau ini pun mempunyai ilmu tentang mengobat atau thabibah. Karena setelah Rasulullah meningkat umur lebih dari 60 tahun rawatan-nya sudah lebih teliti dan Aisyah mempelajari obat-obatan buat menjaga suaminya, beliau yang agung itu.
Dan setelah beliau sakit yang akan membawa ajalnya, mulanya beliau masih tetap hendak melakukan giliran, padahal badannya sudah sangat payah.
Beliau ingin sekali hendak tidur karena sakit itu di rumah Aisyah saja. Maka apabila hari telah pagi beliau bertanya di rumah siapa aku sekarang, ke rumah siapa lagi aku? Maka istri-istri yang bijaksana itu pun sama maklumlah keinginan beliau agar dirawat oleh Aisyah di rumahnya. Semuanya merelakan.
Ayat 52
“Tidaklah halal bagi engkau perempuan-perempuan sesudah yang itu."
Menurut keterangan dari beberapa ulama tafsir sebagaimana Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir, turunnya ayat ini adalah sebagai ganjaran kemuliaan bagi istri-istri Nabi ﷺ yang setelah datang ayat takhyiir (ayat 28 dan 29 di atas), semuanya telah memilih Allah dan Rasul dan kebahagiaan akhirat. Maka untuk meng-hargai pilihan mereka yang tepat itu, diturunkanlah perintah ayat ini kepada Rasulullah ﷺ, bahwa sesudah istri-istri yang tersebut itu beliau tidak boleh lagi oleh Allah ﷻ akan kawin dengan perempuan lain. Dan tidak boleh beliau mengganti istri-istri dengan perempuan lain, “Dan tidak pub bahwa engkau mengganti mereka dengan istri-istri yang lain." Karena istri-istri yang telah menempuh ujian hidup bersakit seperti ini, yang tidak mau lagi menukar Allah dan Rasul dan kebahagiaan Hari Akhirat dengan dunia dan perhiasannya, adalah istri-istri yang telah tahan uji, sudah sukar akan mencari gantinya, “Walaupun memesona hati engkau kecantikan mereka." Maka dalam keteguhan iman dan pemilihan hidup berjuang di samping junjungan alam, Muhammad ﷺ adalah mengatasi segala macam kecantikan. Kecantikan yang bagaimana pun tidak ada lagi artinya jika dibandingkan dengan-pengorbanan perempuan-perempuan yang telah menjadi istri ini. “Kecuali hamba sahaya yang dipunyai oleh tangan kanan engkau." Yakni bahwa yang masih dibolehkan ialah hamba sahaya atau jariyah yang nyata berasal dari perbudakan sebagaimana yang telah kita terangkan di atas, karena mereka itu tidak sama martabatnya dengan istri perempuan merdeka.
“Dan Allah alas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengawasi."
Maka tidaklah ada sesuatu pun sejak dari barang sebesar-besarnya, sampai kepada yang sekecil-kecilnya yang terlepas dari pengawasan Allah ﷻ
Dua kesan kita dapat dari ayat ini. Meskipun dihadapkan kepada Nabi ﷺ, yang dituju ialah kita.
Kesan pertama janganlah dipakai kelakuan yang tidak pantas, yaitu gampang-gampang saja menukar-nukar bini. Istri seakan-akan dipandang barang permainan saja. Telah kawin bercerai lagi dan ganti pula dengan istri yang lain sehingga hidup tidak mendapat ketenteraman. Tidak tercapai hikmah berumah tangga sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ruum ayat 21 bahwa bersuami-istri itu ialah agar menegakkan mawaddah dan rahmah. bagi mendatangkan sakinah (ketenteraman) dalam hati.
Kesan yang kedua diambil dari bunyi bagian ayat “walaupun memesona kecantikan mereka." Dapatlah disarikan dari bunyi ayat ini, bahwa seorang laki-laki yang ingin meminang seorang perempuan dibolehkan melihat wajah perempuan itu terlebih dahulu, supaya jangan menyesal kemudian, Nabi ﷺ bersabda,
“Dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah berkata, “Bilamana seseorang kamu ingin meminang seorang perempuan, kalau dapat dia melihat perempuan itu terlebih dahulu, agar menarik untuk menikahinya, maka perbuatlah." (HR Abu Dawud)