Ayat
Terjemahan Per Kata
لَّا
tidak
يَحِلُّ
halal
لَكَ
bagimu
ٱلنِّسَآءُ
perempuan
مِنۢ
dari
بَعۡدُ
sesudah
وَلَآ
dan tidak
أَن
bahwa
تَبَدَّلَ
boleh kamu mengganti
بِهِنَّ
dengan mereka
مِنۡ
dari
أَزۡوَٰجٖ
istri-istri
وَلَوۡ
walaupun
أَعۡجَبَكَ
menarik hatimu
حُسۡنُهُنَّ
kebaikan/kecantikan mereka
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
يَمِينُكَۗ
tangan kananmu
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala/semua
شَيۡءٖ
sesuatu
رَّقِيبٗا
Maha Pengawas
لَّا
tidak
يَحِلُّ
halal
لَكَ
bagimu
ٱلنِّسَآءُ
perempuan
مِنۢ
dari
بَعۡدُ
sesudah
وَلَآ
dan tidak
أَن
bahwa
تَبَدَّلَ
boleh kamu mengganti
بِهِنَّ
dengan mereka
مِنۡ
dari
أَزۡوَٰجٖ
istri-istri
وَلَوۡ
walaupun
أَعۡجَبَكَ
menarik hatimu
حُسۡنُهُنَّ
kebaikan/kecantikan mereka
إِلَّا
kecuali
مَا
apa
مَلَكَتۡ
yang dimiliki
يَمِينُكَۗ
tangan kananmu
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلَىٰ
atas
كُلِّ
segala/semua
شَيۡءٖ
sesuatu
رَّقِيبٗا
Maha Pengawas
Terjemahan
Tidak halal bagimu (Nabi Muhammad) menikahi perempuan-perempuan (lain) setelah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain) meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang engkau miliki. Allah Maha Mengawasi segala sesuatu.
Tafsir
(Tidak halal) dapat dibaca Tahillu atau Yahillu (bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu) sesudah sembilan orang istri yang telah Aku pilih buatmu (dan tidak boleh pula mengganti) lafal Tabaddala asalnya adalah Tatabaddala, kemudian salah satu huruf Ta dibuang sehingga jadilah Tabaddala, (mereka dengan istri-istri yang lain) misalnya kamu menalak mereka atau sebagian dari mereka, kemudian kamu menggantikannya dengan istri yang lain (meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan hamba sahaya yang kamu miliki) yakni wanita sahaya yang kamu miliki, ia halal bagimu. Dan Nabi ﷺ sesudah sembilan orang istri itu memiliki Siti Mariah, yang daripadanya lahir Ibrahim, akan tetapi Ibrahim meninggal dunia semasa Nabi ﷺ masih hidup. (Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu) Maha Memelihara segala sesuatu.
Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha Mengawasi segala sesuatu. Banyak ulama seperti Ibnu Abbas, Mujahid, Ad-Dahhak, Qatadah, Ibnu Zaid, Ibnu Jarir serta yang lainnya menyebutkan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan balasan Allah dan rida-Nya kepada istri-istri Nabi ﷺ karena sikap mereka yang baik yaitu lebih memilih Allah dan Rasul-Nya serta pahala akhirat saat mereka disuruh memilih oleh Rasulullah ﷺ, sebagaimana yang kisahnya telah disebutkan dalam ayat sebelum ini.
Setelah mereka memilih Rasulullah ﷺ, maka sebagai imbalan dari Allah ialah Dia membatasi Nabi ﷺ hanya dengan mereka, dan mengharamkan baginya kawin lagi dengan wanita lain, atau menggantikan mereka dengan istri yang lain selain mereka, sekalipun kecantikan wanita lain itu mempesona hati beliau ﷺ Terkecuali budak-budak perempuan dan para tawanan wanita, maka diperbolehkan baginya mengawini mereka. Kemudian Allah ﷻ menghapuskan dosa bagi Nabi ﷺ dalam hal ini (kawin lagi dengan wanita lain) dan merevisi hukum ayat ini, serta membolehkannya kawin lagi. Tetapi Nabi ﷺ tidak kawin lagi sesudahnya, agar hal ini dianggap sebagai karunia Rasulullah ﷺ kepada istri-istrinya. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr, dari Ata, dari Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ belum diwafatkan sebelum Allah menghalalkan baginya kawin lagi dengan wanita lain. Hal yang sama telah diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad melalui hadis Ibnu Juraij, dari Ata, dari Ubaid ibnu Umair, dari Aisyah. Imam Turmuzi dan Imam Nasai telah meriwayatkan hadis ini di dalam kitab sunannya masing-masing. Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Abdul Malik ibnu Syaibah, telah menceritakan kepadaku Umar ibnu Abu Bakar, telah menceritakan kepadaku Al-Mugirah ibnu Abdur Rahman Al-Khuza'i, dari Abun Nadr maula Umar ibnu Abdullah, dari Abdullah ibnu Wahb ibnu Zam'ah, dari Ummu Salamah; Sesungguhnya Ummu Salamah pernah mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ belum diwafatkan sebelum Allah meghalalkan baginya kawin dengan wanita yang disukainya, selain wanita yang ada hubungan mahram dengannya.
Demikian itu disebutkan oleh firman Allah ﷻ: Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka. (Al-Ahzab: 51), hingga akhir ayat. Maka ayat ini me-mansukh (merevisi) ayat sesudahnya dalam hal tilawah (bacaan)nya, sebagaimana dua ayat yang membicarakan masalah idah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam surat Al-Baqarah. Ayat yang pertama me-mansukh ayat yang kedua, hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan makna ayat berikut, yaitu firman-Nya: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu. (Al-Ahzab: 52) Yakni sesudah dijelaskan kepadamu wanita-wanita yang dihalalkan bagimu di antara wanita-wanita yang telah engkau berikan maskawin mereka, hamba sahaya perempuan yang kamu miliki, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ayahmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayahmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibumu, dan wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepadamu, sedangkan wanita lainnya tidak dihalalkan bagimu.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b dan Mujahid menurut suatu riwayat yang bersumber darinya. Juga menurut Ikrimah, dan Ad-Dahhak dalam suatu riwayatnya, Abu Razin dalam suatu riwayatnya, Abu Saleh, Al-Hasan, Qatadah dalam suatu riwayatnya, dan As-Saddi serta lain-lainnya. Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Aliyyah, dari Daud ibnu Abu Hindun, telah menceritakan kepadaku Muhammad ibnu Abu Musa, dari Ziad, dari seorang lelaki kalangan Ansar yang menceritakan bahwa ia pernah bertanya kepada Ubay ibnu Ka'b, "Bagaimanakah menurut pendapatmu sekiranya istri-istri Nabi ﷺ meninggal dunia, bolehkah beliau kawin lagi?" Ubay ibnu Ka'b balik bertanya, "Lalu apakah yang mencegahnya untuk tidak boleh kawin lagi." Ia menjawab, "Karena ada firman Allah ﷻ yang mengatakan: 'Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu' (Al-Ahzab: 52)" Ubay ibnu Ka'b berkata memberikan penjelasan, bahwa sesungguhnya yang dihalalkan oleh Allah bagi Nabi ﷺ hanyalah sejumlah wanita tertentu, yang disebutkan dalam firman-Nya: Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu. (Al-Ahzab: 50) sampai dengan firrnan-Nya: dan perempuan mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi. (Al-Ahzab: 50) Kemudian dikatakan kepada Nabi ﷺ: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu. (Al-Ahzab: 52) Abdullah ibnu Ahmad meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Daud dengan sanad yang sama.
Imam Turmuzi telah meriwayatkan melalui Ibnu Abbas yang mengatakan, bahwa Rasulullah ﷺ dilarang mengawini berbagai macam wanita, kecuali wanita-wanita yang mukmin lagi ikut berhijrah, melalui firman Allah ﷻ: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. (Al-Ahzab: 52) Maka Allah menghalalkan gadis-gadis kalian yang mukmin dan wanita yang mukmin yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ dan diharamkan bagimu wanita yang beragama selain Islam. Kemudian Allah ﷻ berfirman: Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam), maka hapuslah amalannya. (Al-Maidah: 5), hingga akhir ayat. Adapun firman Allah ﷻ: Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu yang telah kamu berikan maskawinnya. (Al-Ahzab: 50) sampai dengan firman-Nya: sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin. (Al-Ahzab: 50) dan diharamkan bagimu wanita-wanita yang selain dari itu.
Mujahid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu. (Al-Ahzab: 52) Yakni sesudah disebutkan kepadamu wanita-wanita yang halal bagimu, baik wanita muslimah atau wanita Yahudi atau wanita Nasrani atau wanita Kafir. Abu Saleh mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu. (Al-Ahzab: 52) Ini merupakan suatu perintah yang melarang Nabi ﷺ mengawini wanita Badui dan wanita Arab, tetapi boleh mengawini wanita-wanita lainnya sesudah itu dari kalangan kaum wanita Tihamah dan wanita-wanita yang dikehendakinya dari kalangan anak-anak perempuan saudara laki-laki ayah, anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu, dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu.
Jika ia menyukainya, boleh mengawini tiga ratus orang wanita. Ikrimah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu. (Al-Ahzab: 52) Yakni sesudah wanita-wanita yang telah disebutkan oleh Allah ﷻ dalam ayat-ayat sebelumnya. Ibnu Jarir memilih pendapat yang mengatakan bahwa makna ayat ini umum mencakup berbagai macam wanita yang telah disebutkan sebelumnya dan wanita-wanita (istri-istri) yang telah dinikahinya yang jumlahnya ada sembilan orang. Pendapat yang dikemukakan oleh Ibnu Jarir ini cukup baik. Barangkali apa yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini merupakan gabungan dari semua riwayat yang telah kami kemukakan melaluinya dari sejumlah ulama Salaf.
Karena sesungguhnya kebanyakan dari mereka (ulama Salaf) telah meriwayatkan pendapat ini dan pendapat itu, yang pada hakikatnya tidak bertentangan di antara semuanya. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Kemudian Ibnu Jarir mengetengahkan kepada dirinya sendiri sebuah riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceraikan Siti Hafsah, kemudian merujuknya kembali. Dan beliau pernah berniat akan menceraikan Siti Saudah, pada akhirnya Saudah memberikan hari gilirannya kepada Siti Aisyah. Kenjudian ia menjawab bahwa hal ini terjadi sebelum firman berikut diturunkan, yaitu: Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu, dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain). (Al-Ahzab: 52), hingga akhir ayat.
Pendapat yang dikatakan oleh Ibnu Jarir ini yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut terjadi sebelum ayat ini diturunkandinilai benar pula. Tetapi alasan tersebut tidak diperlukan, karena sesungguhnya makna ayat hanya menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak boleh mengawini wanita lain selain dari istri-istri yang telah ada padanya, dan bahwa Nabi ﷺ tidak boleh menggantikan mereka dengan wanita (istri) yang lain. Dan hal ini tidak menunjukkan bahwa Nabi ﷺ tidak pernah menceraikan seseorang dari mereka tanpa menggantikannya dengan yang lain. Hanya Allah-lah Yang Maha Mengetahui. Adapun mengenai peristiwa yang dialami oleh Saudah, disebutkan di dalam kitab sahih melalui Siti Aisyah r.a. yang mengatakan bahwa dialah yang melatarbelakangi turunnya ayat berikut, yaitu firman Allah ﷻ: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya. (An-Nisa: 128), hingga akhir ayat.
Sedangkan mengenai peristiwa yang dialami oleh Hafsah disebutkan oleh Imam Abu Daud, Imam Nasai, Imam Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui berbagai jalur dari Yahya ibnu Zakaria ibnu Abu Zaidah, dari Saleh ibnu Saleh ibnu Huyayin, dari Salamah Ibnu Kahil, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Umar yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menceraikan Hafsah (anak perempuan Umar), kemudian beliau merujuknya. Sanad riwayat ini cukup kuat. Al-Hafiz Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib, telah menceritakan kepada kami Yunus ibira Bukair, dari Al-A'masy, dari Abu Saleh, dari Ibnu Umar yang menceritakan bahwa Umar pernah masuk ke dalam rumah Hafsah yang saat itu sedang menangis.
Maka Umar bertanya, "Apakah yang menyebabkan kamu menangis? Apakah barangkali Rasulullah ﷺ menceraikanmu? Sesungguhnya beliau pernah menceraikanmu sekali, lalu merujukmu kembali karena memandang aku. Demi Allah, jika beliau meceraikanmu lagi, aku tidak mau berbicara denganmu selama-lamanya." Para perawi hadis ini harus memenuhi persyaratan sahihain (baru dapat diterima) Firman Allah ﷻ: dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu. (Al-Ahzab: 52) Melalui ayat ini Allah ﷻ melarang Nabi ﷺ menambah istri seandainya beliau menceraikan salah seorang dari mereka, lalu menggantikannya dengan istri yang lain, terkecuali hamba sahaya yang dimilikinya. Al-Hafiz Abu Bakar Al-Bazzar telah meriwayatkan sebuah hadis yang perlu diketengahkan dalam pembahasan ini karena ada kaitan dengannya. ". ". ". Ia mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ibrahim ibnu Nasr, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Ismail, telah menceritakan kepada kami Abdus Salam ibnu Harb, dari Ishaq ibnu Abdullah Al-Qurasyi, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yasar, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa di masa Jahiliah pembarteran istri dapat dilakukan oleh seseorang dengan orang lain.
Seorang lelaki mengatakan kepada lelaki yang lain, "Tukarkanlah istrimu dengan istriku, maka aku rela menukarkan istriku dengan istrimu." Hal ini sering dilakukan di masa Jahiliah; yang seorang menceraikan istrinya, lalu dikawini oleh yang lain. Begitu pula sebaliknya, ia pun menceraikan istrinya, lalu dikawini oleh temannya yang baru menceraikan istrinya itu. Singkatnya seseorang mengatakan, "Lepaskanlah istrimu untukku, maka aku akan melepaskan istriku untukmu." Maka Allah menurunkan firman-Nya: dan tidak boleh (pula) mengganti mereka dengan istri-istri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu. (Al-Ahzab: 52).
Abu Hurairah r.a. melanjutkan kisahnya, bahwa Uyaynah ibnu Hisn Al-Fazzari masuk ke rumah Nabi ﷺ untuk menemuinya; saat itu beliau ﷺ sedang bersama Siti Aisyah r.a. Uyaynah masuk tanpa meminta izin terlebih dahulu, maka Rasulullah ﷺ menegurnya, "Kamu masuk tidak meminta izin terlebih dahulu?" Uyaynah berkata, "Wahai Rasulullah, saya sejak usia balig belum pernah meminta izin untuk menemui seseorang dari kalangan Mudar." Kemudian Uyaynah berkata, "Siapakah wanita yang berkulit putih kemerah-merahan yang ada di sampingmu itu?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Ini adalah Aisyah Ummul Mu-minin." Uyaynah bertanya, "Maukah engkau menukarnya dengan istriku yang paling cantik?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Hai Uyaynah, sesungguhnya Allah telah mengharamkan hal tersebut." Setelah Uyaynah keluar, Siti Aisyah bertanya, "Siapakah orang tadi?" Rasulullah ﷺ menjawab: Dia adalah orang dungu yang ditaati. Sesungguhnya dia, sebagaimana yang kamu lihat dari sikapnya itu, benar-benar menjadi penghulu kaumnya. Kemudian Al-Bazzar mengatakan bahwa Ishaq ibnu Abdullah lemah sekali dalam periwayatan hadis. Dan sesungguhnya kami sengaja mengetengahkan hadis ini karena kami tidak hafal hadis ini melainkan dari jalur ini, dan kami telah menjelaskan cela (kekurangan) yang ada padanya."
Ketika ayat ini turun, Nabi mempunyai sembilan istri, yaitu '''isyah, 'af'ah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu 'ab'bah, Maim'nah, Saudah, 'afiyyah, dan Juwairiyah. Allah memberi Nabi kekhususan hukum dalam hal relasi suami-istri, tetapi Dia juga memberi batasan dalam pernikahan Nabi. Tidak halal bagimu, wahai Nabi Muhammad, menikahi perempuan-perempuan lain setelah itu, yakni selain yang sudah hidup bersamamu saat ayat ini turun, dan tidak boleh pula bagimu menceraikan lalu mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuan-perempuan hamba sahaya yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu di mana dan kapan pun untuk kebaikan alam semesta. 53. Saat Nabi merayakan pernikahan dengan Zainab binti Ja'sy, beliau mengundang tamu untuk mencicipi hidangan walimah. Di antara tamu-tamu itu, ada tiga orang yang terlalu asyik dan lama berbincang karena merasa betah di kediaman Rasulullah. Melalui ayat berikut Allah menjelaskan etika berkunjung ke rumah Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi sambil menunggu-nunggu waktu makan Rasulullah, kecuali jika kamu diizinkan untuk makan tanpa menunggu waktu makanannya masak. Tetapi, jika kamu dipanggil maka masuklah, dan apabila kamu selesai makan, keluarlah kamu dari kediaman Nabi tanpa memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu, yakni berlama-lama di rumah beliau, adalah mengganggu Nabi, sehingga dia malu kepadamu untuk memintamu pulang, dan Allah tidak malu menerangkan hal yang benar.
Allah tidak membolehkan Nabi ﷺ untuk menikahi perempuan-perempuan lain setelah ayat ini turun. Allah juga melarang untuk mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik perhatian Nabi saw, kecuali perempuan-perempuan hamba sahaya yang diperoleh dari peperangan atau yang dihadiahkan kepada beliau.
Abu Dawud dan al-Baihaqi meriwayatkan dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, "Setelah Allah menyuruh memilih kepada istri-istri Nabi., lalu mereka memilih supaya tetap berada di bawah naungan rumah tangga Nabi, maka Allah Taala pun membatasi Nabi untuk menambah istri-istrinya yang sembilan orang itu dengan tidak nikah lagi." Dan Allah adalah Maha Mengawasi segala sesuatu.
Allah mengizinkan Nabi Muhammad beristri lebih dari empat mengandung hikmah yang sangat tinggi karena pernikahan itu ditentukan oleh Allah Yang Maha Mengetahui dan Mahabijaksana. Di antara hikmah itu ialah:
1. Menyampaikan hukum khusus kaum wanita yang tidak diketahui kecuali oleh suami istri. Jika istri banyak, maka banyak pula hukum tentang perempuan yang dapat diperoleh. Diterima atau tidaknya riwayat yang berasal dari mereka sangat terpengaruh oleh banyaknya riwayat.
2. Kebutuhan terhadap pendukung yang kuat bagi dakwah pada permulaan Islam. Hubungan besan dan perkawinan secara tradisi pasti saling mendukung dan menolong.
3. Setiap orang Islam pasti ingin menjalin hubungan keluarga dengan Nabi saw, agar bebas masuk ke rumah Nabi ﷺ Bahkan, setiap muslim ingin dapat melayani Nabi.
4. Nabi ﷺ membalas jasa orang yang membelanya dalam perjuangan Islam. Balasan yang sangat berharga adalah besanan dan menikahi keluarganya, seperti perkawinan Nabi dengan 'aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti 'Umar.
5. Menghapus tradisi jahiliah dengan hukum yang lebih bermanfaat, seperti pernikahannya dengan Zainab. Sebetulnya Nabi tidak menginginkannya karena takut pada celaan orang, namun hal ini berguna untuk mempertahankan nasab dan kerabat.
6. Nabi mampu berbuat adil dan memberikan bimbingan kepada keluarganya, yang tidak dimiliki oleh orang lain.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KETENTUAN ALLAH ﷻ TENTANG ISTRI NABI
Ayat 50
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagi engkau istri-istri engkau yang telah engkau bayarkan mas kawinnya."
Dengan ayat ini diterangkan bahwa Allah ﷻ telah menghalalkan bagi beliau, Nabi kita ﷺ istri-istri beliau yang telah dibayar mas kawinnya. Mujahid mengatakan bahwa mas kawin Nabi kita kepada setiap istri beliau ialah sebelas uqiyah ditambah setengah uqiyah lagi. Jumlah harganya lima ratus dirham. Cuma satu istri beliau yang amat mahal mas kawin-nya, yaitu Ummi Habibah yang nama kecilnya Hindun, anak perempuan dari Abu Sufyan yang berpindah (hijrah) dibawa suaminya ke negeri Habsyi. Sampai di sana suaminya murtad masuk Kristen. Maka terlunta-luntalah Ummi Habibah di negeri itu. Tetap teguh memegang agamanya, tetapi dia tidak mau kembali pulang ke Mekah, sebab ayahnya sendiri masih musyrik dan memusuhi Nabi dengan kerasnya. Lalu Rasulullah ﷺ mengirim utusan ke negeri Habsyi menyampaikan lamaran beliau kepada Ummi Habibah dan beliau wakilkan kepada Negus Negesti Ashhamah untuk menikahinya, karena Najasyi itu telah memeluk Islam. Oleh Raja Habsyi itu dibayarlah mas kawin Nabi dengan uang baginda sendiri empat ratus dinar emas.
Shafiah binti Huyai yang ayahnya mati dalam menjalani hukuman Bani Quraizhah, setelah dia tertawan ketika beliau ﷺ menaklukkan pertahanan Yahudi di Khaibar. Ketika Rasulullah ﷺ tahu bahwa perempuan itu anak dari pemimpin Yahudi yang besar itu dan sekarang telah tertawan, dan suaminya pun telah meninggal dalam perang dengan Nabi, Shafiah dimerdekakan oleh Nabi dari perbudakan, lalu beliau jadikan kemerdekaan yang beliau berikan itu sebagai mas kawin.
Demikian juga Juwairiah binti al-Harits dari Bani al-Mushthaliq. Juwairiah jatuh ke dalam tawanan Tsabit bin Qais bin Syaminas. Lalu Juwairiah ditebus oleh Rasul ﷺ dari Tsabit lalu beliau memerdekakan pula dan beliau kawini. Kemerdekaan itu pula yang beliau jadikan sebagai mas kawin.
Istri beliau enam orang dari perempuan Quraisy yang seketurunan dengan beliau, yaitu (1) Khadijah, (2) Aisyah, (3) Hafshah, (4) Ummi Habibah, (5) Saudah dan (6) Ummi Salamah. Dua orang dari Bani Hilal bin Amir, yaitu Maimunah binti al-Harits dan Zainab yang dikenal dengan sebutan “Ibu orang-orang miskin" karena dermawannya. Dan Zainab binti Jahasy dari Bani Asad.
“Dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu." Ayat ini menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang jadi tawanan di medan perang, kalau tidak ada lagi keluarganya yang dapat menebusnya, menjadilah dia termasuk jadi hamba sahaya kepunyaan yang menawannya. Bisa dibuatnya sesuka hati, sebagaimana mempunyai barang. Ada yang tetap jadi budak. Dan tuan yang empunya dia tidak berdosa kalau menyetubuhinya.
Sebagaimana telah kita katakan di atas tadi, pada mulanya Shafiah binti Huyai dan Juwairiah binti al-Harits pada mulanya adalah hamba sahaya tawanan. Tetapi keduanya di-kembalikan ketinggian martabatnya oleh Rasulullah ﷺ, yaitu dimerdekakan lalu dikawini, karena keduanya adalah anak-anak orang bangsawan dalam kaumnya.
Yang tetap jadi jariyah atau hamba sahaya tidak dimerdekakan tetapi dicampuri oleh Rasulullah ialah dua orang, yaitu Raihanah binti Syam'un, anak perempuan dari Bani Nadhir yang ketika terjadi pengusiran besar-besaran terhadap kaum itu, istri dan anak-anak tinggal bebas, dan Raihanah beliau jadikan jariyah. Dikirim pula oleh Muqauqis Raja Mesir seorang dayang perempuan bernama Mariah dari Qubthi (Mesir). Itu pun dijadikan jariyah beliau juga. Dan Mariah Rasulullah ﷺ beroleh putra yang paling bungsu, yaitu Ibrahim yang meninggal di waktu kecil usia 18 bulan. Di ayat ini dijelaskan tentang hamba sahaya itu, “Yang engkau peroleh sebagai rampasan perang,yang diserahkan Allah kepada engkau."
Di sini ditegaskanlah sejarah dari mana asal mulanya timbulnya perbudakan. Yaitu bahwa perbudakan timbul ialah karena terjadi peperangan. Suatu negeri dikalahkan, orang-orang yang kalah dijadikan tawanan. Adakalanya tawanan boleh menebus diri atau ditebuskan oleh kaum kerabatnya. Tetapi kadang-kadang musnah negeri itu, habis laki-lakinya terbunuh dan tinggal perempuan-perempuan dan kanak-kanak. Tidak ada lagi yang akan menebus dari tawanan. Mereka jadi milik dari yang menang. Orang-orang itu langsung jadi budak.
Sayyid Rasyid Ridha memberikan fatwa dengan tegas dalam Tafsir al-Manar bahwa manusia merdeka yang dijarah kampung halamannya oleh penjarah-penjarah, bukan karena perang, melainkan karena mencari orang yang akan dijadikan budak saja, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Eropa ke negeri-negeri Afrika satu dua abad yang lalu, perbudakan terhadap mereka tidaklah sah.
Akibat dari jadi budak ialah yang empunya boleh menjualnya dan boleh menghukumnya, tetapi kalau hatinya kasihan bisa juga dimer-dekakannya.
Peraturan perbudakan ini di zaman lampau bukanlah berlaku dalam Islam saja, tetapi berlaku pada seluruh bangsa. Orang-orang kulit hitam di Amerika (Negro) asal-usulnya ialah budak. Perbudakan baru berhenti dalam pertengahan abad kesembilan belas.
Maka Mariah budak perempuan yang dihadiahkan oleh Muqauqis Raja Muda Mesir mewakili Kerajaan Romawi dihadiahkannya kepada Rasulullah ﷺ adalah sah. Dan Nabi mengambilnya jadi jariyah adalah hal yang berlaku pada masa itu. Dalam surah kiriman Rasul, paulus (Perjanjian Baru) diberinya nasihat agar budak-budak tunduk kepada tuannya dan memperhambakan diri sebagaimana kepada Allah juga.
Kemudian dijelaskan lagi siapa-siapa yang halal dirikahi oleh Rasulullah ﷺ, “Dan anak-anak perempuan dari paman engkau." Paman ialah saudara laki-laki dari ayah kandung. Sebab itu maka anak-anak perempuan dari Abu Thalib dan Abu Lahab, Abbas, dan Hamzah, halal belaka dirikahi oleh Nabi. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah “engkau," sebagaimana Zainab binti Jahasy itu, setelah diceraikan oleh Zaid lalu dikawini oleh Nabi ﷺ adalah halal baginya, sebab Zainab adalah anak dari Umaimah binti Abdul Muthalib. “Dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu engkau." Di Minangkabau saudara laki-laki dari ibu disebut mamak. Di Minang hal itu disebut “pulang ke anak mamak sesuatu perkawinan yang sangat diingini di daerah itu di zaman adat keibuan Cmatriaarchat) masih kuat. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu engkau." Di negeri Bugis yang seperti ini disebut sepupu sekali. Tetapi menurut adat Minangkabau perkawinan seperti ini tidak boleh karena mereka masih seperut, serumah gedang atau sepayung. Tetapi dalam syari'at Islam nyata halalnya. “Yang semuanya itu berhijrah bersama engkau." Dengan turut berhijrah itu artinya terbukti bahwa mereka telah beriman belaka. Meskipun tidak semua sampai dikawini Nabi ﷺ, namun mereka disebut untuk menghormati hijrah mereka.
Dengan ketentuan yang membolehkan mengawini anak paman, anak uncu, anak makcik, anak Pak Tua ini, bukanlah dia berlaku terhadap Rasulullah ﷺ saja. Ayat ini adalah sebagai pelengkap keterangan dari ayat 23 dari surah an-Nisaa' Sebab dalam ayat ter-sebut dijelaskan mana yang haram dirikahi, maka di ayat ini dijelaskan pula mana yang boleh dirikahi.
Peraturan ini adalah jalan tengah dalam Islam terhadap syari'at yang dijalankan orang Nasrani asli dan orang Yahudi. Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa orang Nasrani terlalu jauh mencari hubungan keluarga dengan perempuan yang akan di-kawininya. Keluarga yang boleh dikawini ialah jika garis lurus pertalian nenek ke atas sudah sampai tujuh. Kalau masih di bawah tujuh keturunan belum boleh. Tetapi orang Yahudi bisa saja sampai sekarang mengawini anak perempuan dari saudara kandungnya, baik saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan. Sehingga bagi kita penganut syari'at Islam agak berdiri juga bulu roma kita, kalau memikirkan seseorang mau mengawini anak dari adik kandungnya.
“Dan perempuan yang beriman yang menghibahkan dirinya kepada Nabi jika sudi Nabi menikahinya." Menghibahkan diri ialah memberikan diri dengan sukarela, jika Nabi sudi mengawini mereka. Menghibahkan itu ialah dengan tidak mengharapkan mas kawin lagi, asal Nabi sudi menerima.
Dalam kenyataannya memang terjadi ada beberapa orang yang menghibahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi sudi mengawininya, tetapi tidaklah keinginan itu dikabulkan oleh Nabi.
Sebuah riwayat yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa pada suatu hari Anas bin Malik sedang duduk, sedang di dekat beliau duduk pula anak perempuannya dalam majelis Nabi. Lalu Anas berkata bahwa seorang perempuan datang menghadap Nabi ﷺ, lalu berkata, “Ya Nabi Allah! Sudikah tuan menerima saya jadi istri tuan?"
Mendengar perempuan itu menawarkan diri demikian, maka anak perempuan Anas bin Malik itu berkata kepada ayahnya, “Perempuan yang tidak bermalu! “ karena dia meng-hibahkan diri kepada Nabi. Lalu Anas bin Malik berkata kepada anaknya itu, “Dia lebih baik daripada kau! Dia cinta kepada Nabi, lalu ditawarkannya dirinya jadi istri beliau." (Hadits ini pun dirawikan juga dari thuruq yang lain oleh Imam Bukhari sendiri yang diterimanya dengan sanadnya dari Tsabit al-Bunaniy dan Anas bin Malik).
Sebuah hadits lagi yang diterima dengan sanadnya oleh Imam Ahmad dari Sa'ad as-Saa'idi, bahwa pada suatu hari datang seorang perempuan menghadap Rasul, lalu berkata, “Telah aku hibahkan diriku kepada engkau, ya Rasulullah."
Nabi masih diam saja belum menjawab dan perempuan itu telah lama berdiri menunggu-nunggu sambutan Nabi ﷺ dengan harap-harap cemas.
Lalu berdiri pula seorang dan tampil ke muka menyampaikan keinginannya kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah! Kalau tuan tidak memerlukannya, kawinkanlah aku dengan dia."
Maka bersabda Nabi, “Adakah padamu sesuatu yang akan engkau jadikan mas kawin?"
Orang itu menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa selain kain izar ini."
Berkata Rasulullah ﷺ, “Kalau izar itu engkau serahkan kepadanya, tentu kalau engkau duduk tidak berizar. Kalau begitu cobalah cari-cari yang lain."
Dia menjawab, “Tidak ada padaku sesuatu jua pun."
Lalu Nabi bersabda, “Cobalah cari-cari walaupun sebentuk cincin besi." Dia pun keluar mencoba mencari cincin besi. Itu pun tidak dapat dan dia pun kembali tidak membawa apa-apa.
Maka bersabdalah Nabi, “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Qur'an?"
Laki-laki itu menjawab, “Kalau ayat-ayat Al-Qur'an memang ada pada saya. Saya hafal surah anu dan surah anu." (Lalu disebutnya beberapa surah yang dia hafal).
Akhirnya berkatalah Nabi ﷺ, “Aku kawinkan engkau dengan dia, dengan mas kawin surah-surah yang ada padamu itu." (Imam Malik pun ada merawikan hadits cincin besi ini).
Ada juga tersebut dalam riwayat bahwa seorang perempuan yang salihah bernama Khaulah binti Hakim datang menghibahkan dirinya pula kepada Nabi.
Selanjutnya disebutkan, “Sebagai pengkhususan bagi engkau, bukan buat seluruh orang-orang yang beriman." Artinya kalau ada perempuan datang menghibahkan diri Kain selendang, kepada Nabi ﷺ, dan kalau beliau suka akan perempuan, itu, beliau boleh langsung mengawininya dengan tidak usah membayar mas kawin lagi. Tetapi bagi yang selain Nabi yaitu kita seluruh umatnya, sejak zaman-zaman sahabat sampai sekarang, kalau ada pula misalnya seorang perempuan datang menghibahkan dirinya, kalau orang itu suka akan perempuan itu lalu hendak dirikahinya, namun mas kawinnya atau mahar mitsilnya wajib juga dibayar.
“Sesungguhnya telah Kami ketahui apa yang Kami fardhukan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan mereka." Artinya bahwa pergaulan umat Muhammad ﷺ dengan istri-istri beliau dan dengan jariyah-jariyah itu sudah diatur oleh Allah ﷻ sendiri. “Supaya bagi engkau tidak jadi keberatan." “Tidak jadi keberatan" artinya ialah tidak merasa ada salahnya atau dosanya jika Nabi ﷺ berbuat demikian,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Artinya kalau kiranya ada serba sedikit terdapat kekurangberesan pergaulan suami istri, di antara umat Muhammad ﷺ sehingga tidak persis sebagaimana yang diatur oleh Allah SWT, asal jangan melanggar dasar yang pokok, maka Allah ﷻ memberi ampun kekurangan itu dan Allah pun Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang terkhilaf bukan karena sengaja hendak melanggar.
Ayat 51
“Engkau tangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antata mereka dan engkau bawa sentamu siapa yang engkau hendak pengauli."
Maksud ayat ini ialah khusus mengenai perempuan-perempuan yang menghibahkan diri itu. Engkau hanya halal menerima pemberian perempuan itu atas dirinya untuk engkau peristri. Jika engkau terima, Allah ﷻ tidak melarangnya. Tetapi engkau pun boleh menolak pemberian itu dengan baik kalau engkau tidak setuju dan boleh pula memakainya dan memasukkannya jadi tambahan anggota rumah tanggamu. Dalam hal ini benar-benar terserah kepadamu belaka.
Di sini terdapat kalimat turjii yang kita artikan engkau tangguhkan, yaitu pemilihan kata yang lebih halus untuk menyatakan, bahwa keinginan perempuan-perempuan itu menghibahkan diri kepada Rasulullah ﷺ tidak diterima. Tetapi oleh karena menenggang perasaan kaum perempuan yang sangat halus dan jangan sampai mereka merasa tersinggung dipakailah kata-kata ditangguhkan. Artinya dijawab dengan susun kata yang sebaik-baiknya. Atau dicarikan jalan keluar yang baik. Di atas telah kita salinkan sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad tentang satu di antara mereka yang datang menghibahkan diri itu. Lama perempuan itu terpaksa tegak berdiri menunggu jawaban Rasulullah ﷺ, menerima atau menolak. Mujur ada di sana seorang muda yang hidupnya kurang mampu bersedia menerima perempuan itu kalau Rasul tidak hendak menerimanya. Dan perempuan itu pun patuh menerima putusan Rasulullah.
Aisyah mengakui terus terang bahwa jika ada seorang perempuan datang menyerahkan diri atau menghibahkan diri itu, tersinggung juga perasaannya dan timbul juga cemburu dalam hatinya.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dan Yunus bin Bukair, “Meskipun Rasulullah diberi kebebasan oleh Allah menerima perempuan yang menghibahkan diri itu, namun tidak seorang pun yang beliau terima."
Kalimat Tu'wii kita artikan “engkau bawa sertamu", artinya jika engkau terima permintaannya, engkau sambut dia menghibahkan diri itu, “Dan barangsiapa yang engkau kehendaki dari mereka yang telah pernah engkau ceraikan, maka tidaklah ada dosanya atas engkau." Maksudnya ialah selain dari yang engkau sambut keinginannya atau yang engkau tolak, ataupun yang pernah engkau ceraikan hendak engkau rujuk kepadanya kembali, semuanya itu tidaklah ada salahnya, tidak ada dosanya atau tidak ada keberatannya, boleh saja; semuanya terserah kepadamu. “Demikian itulah yang lebih dekat untuk menenangkan hati mereka dan mereka tidak akan merasa sedih dan semuanya rela menerima apa yang engkau berikan." Maksud semua ayat ini sudah terang. Yaitu kepada Rasulullah ﷺ sendiri diserahkan kebijaksanaan apa yang akan diambilnya terhadap kepada istri-istri beliau atau menerima atau sebaliknya terhadap perempuan yang menghibahkan diri itu. Demikian kalau ada yang tadinya beliau tangguhkan, kemudian beliau berkenan hendak menerimanya kembali, itu pun tidak ada salahnya. Demikian juga tentang pembagian hari terhadap istri-istri beliau, entah berlebih ke sana, entah berkurang kemari, karena tanggung jawabnya dalam memimpin umat begitu banyak yang lebih besar, tidak pulalah beliau diberati supaya sama. Namun itu Aisyah juga yang memberikan kesaksian, bahwa dalam membagi hari giliran di antara istrinya, beliau adalah sangat adil. Tetapi beliau selalu pula berdoa bermunajat kepada Allah SWT,
“Ya Allah. Inilah yang aku kuasa membuatnya. Maka janganlah Engkau sesali aku pada perkara yang Engkau sendiri saja Yang Kuasa dan aku tidak kuasa." (HR an-Nasa'i dan Abu Dawud)
Artinya bahwa beliau sanggup mengerjakan membagi giliran di antara istri dengan adil. Di sana sekian hari dan di situ sekian hari pula. Tetapi tentang hati ke mana condongnya, entah lebih yang ini dari yang itu dalam hati, Nabi memohon kepada Allah ﷻ dalam hal yang seperti itu, janganlah dia disesali. Maka sesuailah doa Nabi itu dengan lanjutan ayat, “Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu." Allah Mahatahu bahwa yang ini lebih dikasihinya dari yang itu,
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Penyantun."
Maka lebih dan kurang kasih sayang, kalau hanya dalam hati saja tidaklah salah di hadapan Allah ﷻ Allah itu Maha Penyantun, dapat mengerti kelemahan hamba-hamba-Nya.
Al-Qurthubi menuliskan tentang istri-istri yang tetap beliau giliri, yaitu empat orang: Aisyah, Hafshah, Ummi Salamah, dan Zainab. Dan yang tidak tetap beliau giliri adalah lima orang: Saudah, Juwairiah, Ummi Habibah (Ramlah) binti Abu Sufyan, Maimunah, dan Shafiah.
Dikatakan dalam ayat, bahwa jika ada yang tetap beliau giliri dan jika ada yang tidak begitu tetap, kalau semuanya sudah mengerti, bahwa Allah ﷻ telah memandang beliau tidak berdosa jika beliau lakukan demikian, niscayatah istri-istri itu akan rela menerima, tenang pikiran mereka dan tidak ada yang akan bersedih hati atau mengomel.
Demikianlah Rasulullah ﷺ berlaku terhadap istri-istri beliau itu, selama hidupnya sampai beliau meninggal dunia. Bahkan Saudah menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah sebab merasa diri telah tua tidak akan dapat dengan sempurna menyelenggarakan dan merawat Nabi lagi. Bahkan tertulis pula dalam sejarah hidup Aisyah bahwa beliau ini pun mempunyai ilmu tentang mengobat atau thabibah. Karena setelah Rasulullah meningkat umur lebih dari 60 tahun rawatan-nya sudah lebih teliti dan Aisyah mempelajari obat-obatan buat menjaga suaminya, beliau yang agung itu.
Dan setelah beliau sakit yang akan membawa ajalnya, mulanya beliau masih tetap hendak melakukan giliran, padahal badannya sudah sangat payah.
Beliau ingin sekali hendak tidur karena sakit itu di rumah Aisyah saja. Maka apabila hari telah pagi beliau bertanya di rumah siapa aku sekarang, ke rumah siapa lagi aku? Maka istri-istri yang bijaksana itu pun sama maklumlah keinginan beliau agar dirawat oleh Aisyah di rumahnya. Semuanya merelakan.
Ayat 52
“Tidaklah halal bagi engkau perempuan-perempuan sesudah yang itu."
Menurut keterangan dari beberapa ulama tafsir sebagaimana Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir, turunnya ayat ini adalah sebagai ganjaran kemuliaan bagi istri-istri Nabi ﷺ yang setelah datang ayat takhyiir (ayat 28 dan 29 di atas), semuanya telah memilih Allah dan Rasul dan kebahagiaan akhirat. Maka untuk meng-hargai pilihan mereka yang tepat itu, diturunkanlah perintah ayat ini kepada Rasulullah ﷺ, bahwa sesudah istri-istri yang tersebut itu beliau tidak boleh lagi oleh Allah ﷻ akan kawin dengan perempuan lain. Dan tidak boleh beliau mengganti istri-istri dengan perempuan lain, “Dan tidak pub bahwa engkau mengganti mereka dengan istri-istri yang lain." Karena istri-istri yang telah menempuh ujian hidup bersakit seperti ini, yang tidak mau lagi menukar Allah dan Rasul dan kebahagiaan Hari Akhirat dengan dunia dan perhiasannya, adalah istri-istri yang telah tahan uji, sudah sukar akan mencari gantinya, “Walaupun memesona hati engkau kecantikan mereka." Maka dalam keteguhan iman dan pemilihan hidup berjuang di samping junjungan alam, Muhammad ﷺ adalah mengatasi segala macam kecantikan. Kecantikan yang bagaimana pun tidak ada lagi artinya jika dibandingkan dengan-pengorbanan perempuan-perempuan yang telah menjadi istri ini. “Kecuali hamba sahaya yang dipunyai oleh tangan kanan engkau." Yakni bahwa yang masih dibolehkan ialah hamba sahaya atau jariyah yang nyata berasal dari perbudakan sebagaimana yang telah kita terangkan di atas, karena mereka itu tidak sama martabatnya dengan istri perempuan merdeka.
“Dan Allah alas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengawasi."
Maka tidaklah ada sesuatu pun sejak dari barang sebesar-besarnya, sampai kepada yang sekecil-kecilnya yang terlepas dari pengawasan Allah ﷻ
Dua kesan kita dapat dari ayat ini. Meskipun dihadapkan kepada Nabi ﷺ, yang dituju ialah kita.
Kesan pertama janganlah dipakai kelakuan yang tidak pantas, yaitu gampang-gampang saja menukar-nukar bini. Istri seakan-akan dipandang barang permainan saja. Telah kawin bercerai lagi dan ganti pula dengan istri yang lain sehingga hidup tidak mendapat ketenteraman. Tidak tercapai hikmah berumah tangga sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ruum ayat 21 bahwa bersuami-istri itu ialah agar menegakkan mawaddah dan rahmah. bagi mendatangkan sakinah (ketenteraman) dalam hati.
Kesan yang kedua diambil dari bunyi bagian ayat “walaupun memesona kecantikan mereka." Dapatlah disarikan dari bunyi ayat ini, bahwa seorang laki-laki yang ingin meminang seorang perempuan dibolehkan melihat wajah perempuan itu terlebih dahulu, supaya jangan menyesal kemudian, Nabi ﷺ bersabda,
“Dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah berkata, “Bilamana seseorang kamu ingin meminang seorang perempuan, kalau dapat dia melihat perempuan itu terlebih dahulu, agar menarik untuk menikahinya, maka perbuatlah." (HR Abu Dawud)