Ayat
Terjemahan Per Kata
تُرۡجِي
engkau boleh menangguhkan
مَن
siapa
تَشَآءُ
kamu kehendaki
مِنۡهُنَّ
dari/diantara mereka
وَتُـٔۡوِيٓ
kamu beri perlindungan/menggauli
إِلَيۡكَ
kepadamu
مَن
siapa
تَشَآءُۖ
yang dikehendaki
وَمَنِ
dan siapa
ٱبۡتَغَيۡتَ
kamu ingini
مِمَّنۡ
dan siapa/orang
عَزَلۡتَ
kamu sisihkan
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكَۚ
atasmu
ذَٰلِكَ
seperti itulah
أَدۡنَىٰٓ
lebih dekat
أَن
bahwa
تَقَرَّ
menyejukkan
أَعۡيُنُهُنَّ
mata mereka
وَلَا
dan tidak
يَحۡزَنَّ
mereka tidak merasa sedih
وَيَرۡضَيۡنَ
dan mereka rela
بِمَآ
dengan apa-apa
ءَاتَيۡتَهُنَّ
kamu telah berikan kepada mereka
كُلُّهُنَّۚ
semuanya
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
mengetahui
مَا
apa
فِي
pada
قُلُوبِكُمۡۚ
hati kamu
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَلِيمٗا
Maha Penyantun
تُرۡجِي
engkau boleh menangguhkan
مَن
siapa
تَشَآءُ
kamu kehendaki
مِنۡهُنَّ
dari/diantara mereka
وَتُـٔۡوِيٓ
kamu beri perlindungan/menggauli
إِلَيۡكَ
kepadamu
مَن
siapa
تَشَآءُۖ
yang dikehendaki
وَمَنِ
dan siapa
ٱبۡتَغَيۡتَ
kamu ingini
مِمَّنۡ
dan siapa/orang
عَزَلۡتَ
kamu sisihkan
فَلَا
maka tidak
جُنَاحَ
berdosa
عَلَيۡكَۚ
atasmu
ذَٰلِكَ
seperti itulah
أَدۡنَىٰٓ
lebih dekat
أَن
bahwa
تَقَرَّ
menyejukkan
أَعۡيُنُهُنَّ
mata mereka
وَلَا
dan tidak
يَحۡزَنَّ
mereka tidak merasa sedih
وَيَرۡضَيۡنَ
dan mereka rela
بِمَآ
dengan apa-apa
ءَاتَيۡتَهُنَّ
kamu telah berikan kepada mereka
كُلُّهُنَّۚ
semuanya
وَٱللَّهُ
dan Allah
يَعۡلَمُ
mengetahui
مَا
apa
فِي
pada
قُلُوبِكُمۡۚ
hati kamu
وَكَانَ
dan adalah
ٱللَّهُ
Allah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَلِيمٗا
Maha Penyantun
Terjemahan
Engkau (Nabi Muhammad) boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang engkau kehendaki di antara mereka (para istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa (di antara mereka) yang engkau kehendaki. Siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari istri-istrimu yang telah engkau sisihkan, tidak ada dosa bagimu. Itu adalah lebih dekat untuk menyenangkan hati mereka. Mereka tidak merasa sedih dan mereka semua rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka. Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun.
Tafsir
(Kamu boleh menangguhkan) dapat dibaca Turji-u dengan memakai huruf Hamzah pada akhirnya, juga dapat dibaca Turjiy dengan memakai huruf Ya pada akhirnya sebagai ganti dari Hamzah, artinya menangguhkan (siapa yang kamu kehendaki di antara mereka) yakni istri-istrimu itu dari gilirannya (dan boleh pula kamu menggilir) yaitu mengumpulkan gilirannya (siapa yang kamu kehendaki) di antara mereka kemudian kamu mendatanginya. (Dan siapa-siapa yang kamu ingini) kamu sukai untuk menggaulinya kembali (dari perempuan yang telah kamu pisahkan) dari gilirannya (maka tidak ada dosa bagimu) di dalam memintanya dan menggaulinya untukmu. Hal ini disuruh dipilih oleh Nabi sesudah ditentukan bahwa gilir itu wajib baginya. (Yang demikian itu) yakni boleh memilih itu (lebih dekat) kepada ketenangan hati mereka dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka) yaitu tentang hal-hal yang telah disebutkan tadi menyangkut masalah boleh memilih di dalam menggilir (tanpa kecuali) lafal ayat ini mengukuhkan makna Fa'il yang terkandung di dalam lafal Yardhaina. (Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hati kalian) mengenai masalah wanita atau istri dan kecenderungan hatimu kepada sebagian dari mereka. Dan sesungguhnya Kami menyuruh kamu memilih hanyalah untuk mempermudah kamu di dalam melakukan apa yang kamu kehendaki. (Dan adalah Allah Maha Mengetahui) tentang makhluk-Nya (lagi Maha Penyantun) mengenai menghukum mereka.
Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu pisahkan, maka tidak ada dosa bagimu. Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) dalam hatimu.
Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Bisyr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Urwah, dari ayahnya, dari Aisyah r.a., bahwa Siti Aisyah r.a. selalu merasa cemburu terhadap wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada Rasulullah ﷺ (untuk dikawini tanpa maskawin). Siti Aisyah mengatakan: "Apakah tidak malu seorang wanita menyerahkan dirinya tanpa maskawin?" Maka Allah ﷻ menurunkan firman-Nya: Kamu boleh menangguhkan (menggauli) siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. (Al-Ahzab: 51), hingga akhir ayat. Siti Aisyah berkata, "Sesungguhnya aku melihat Tuhanmu selalu tanggap untuk memenuhi kesukaanmu." Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan bahwa Imam Bukhari meriwayatkannya melalui hadis Abu Usamah, dari Hisyam ibnu Urwah.
Hal ini menunjukkan bahwa makna yang dimaksud oleh firman-Nya: Kamu boleh menangguhkan. (Al-Ahzab: 51) Maksudnya, boleh mengakhirkan. siapa yang kamu kehendaki di antara mereka. (Al-Ahzab: 51) Yakni di antara wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepadamu. dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. (Al-Ahzab: 51) Kamu boleh menerima wanita yang kamu kehendaki, boleh pula menolak wanita yang tidak kamu kehendaki di antara wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepadamu itu. Dan terhadap wanita yang telah kamu tolak, kamu masih boleh memilih sesudahnya; jika kamu menginginkannya, kamu boleh kembali kepadanya dan menggaulinya.
Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu pisahkan, maka tidak ada dosa bagimu. (Al-Ahzab: 51) Amir Asy-Sya'bi telah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepadamu). (Al-Ahzab: 51), sampai akhir ayat. Ada beberapa wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ untuk dikawini. Maka sebagian dari mereka ada yang dikawini oleh beliau, dan sebagian yang lainnya ditangguhkan; mereka tidak kawin lagi sesudahnya, di antara mereka adalah Ummu Syarik.
Ulama lainnya mengatakan bahwa bahkan yang dimaksud dengan firman-Nya: Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka. (Al-Ahzab: 51), hingga akhir ayat. Yakni di antara istri-istrimu. Tidak ada dosa bagimu bila meniadakan pembagian giliran terhadap mereka; untuk itu kamu boleh mendahulukan (memprioritaskan) istri yang kamu kehendaki dan menangguhkan istri yang lainnya yang kamu kehendaki, dan kamu boleh menggauli istrimu yang kamu kehendaki, dan membiarkan (yakni tidak menggauli istrimu yang kamu kehendaki).
Hal yang sama telah diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, Abu Razin, dan Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam serta lain-lainnya. Sekalipun demikian, Nabi ﷺ tetap memberlakukan giliran terhadap semua istrinya. Karena itulah ada segolongan ulama dari kalangan mazhab Syafii dan ulama lainnya yang mengatakan bahwa menggilir istri itu tidak wajib bagi Nabi ﷺ Mereka mengatakan demikian dengan berdalilkan ayat ini. Imam Bukhari mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hibban ibnu Musa, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Asim Al-Ahwal, dari Mu'az, dari Aisyah bahwa Rasulullah ﷺ selalu meminta izin kepada kami setiap harinya (untuk pindah giliran) setelah diturunkan ayat ini, yaitu firman-Nya: Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (istri-istrimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki.
Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu pisahkan, maka tidak ada dosa bagimu. (Al-Ahzab: 51) Nabi ﷺ bersabda kepada Aisyah, "Bagaimanakah menurut pendapatmu?" Siti Aisyah menjawab, "Jika hal itu diserahkan kepadaku, maka sesungguhnya aku tidak menginginkan engkau, hai Rasulullah, direbut oleh seorang wanita pun." Hadis ini yang bersumber dari Aisyah menunjukkan bahwa makna yang dimaksud ayat ini ialah tidak ada kewajiban menggilir istri. Sedangkan hadis Aisyah yang pertama menunjukkan kepada pengertian bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ Berangkat dari pengertian inilah maka Ibnu Jarir berpendapat bahwa makna ayat bersifat umum mencakup wanita-wanita yang menyerahkan dirinya kepada Nabi ﷺ dan wanita-wanita yang telah menjadi istrinya.
Bahwa Nabi ﷺ boleh memilih antara menggilir masing-masing dari mereka atau tidak. Jika beliau menginginkan melakukan penggiliran terhadap mereka, diperbolehkan; dan jika tidak menginginkannya diperbolehkan pula baginya tidak melakukan giliran. Pendapat yang dipilih oleh Ibnu Jarir ini baik lagi kuat, yang di dalamnya telah tergabungkan pengertian semua hadis mengenai masalah ini. Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya: Yang demikian itu adalah lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih, dan semuanya rela dengan apa yang telah kamu berikan kepada mereka. (Al-Ahzab: 51) Yakni apabila mereka telah mengetahui bahwa Allah telah menghapuskan dosa darimu dalam hal pembagian giliran.
Untuk itu kamu boleh menggilir, boleh pula tidak melakukan giliran jika kamu menyukainya. Mana saja di antara kedua alternatif itu yang kamu pilih, kamu tidak berdosa. Kemudian walaupun ada kemurahan tersebut, kamu tetap memperlakukan giliran terhadap istri-istrimu dengan kerelaan dirimu sendiri, bukan sebagai suatu kewajiban yang dibebankan atas dirimu. Maka mereka pasti akan merasa gembira dengan keputusanmu itu, dan mereka akan merasa berterima kasih kepadamu atas perlakuanmu yang adil itu kepada mereka.
Mereka pasti merasa berutang budi kepadamu karena mau menggilir mereka, padahal menggilir mereka bukan merupakan suatu kewajiban bagimu. Kamu menyadari tabiat wanita dan kamu perlakukan mereka dengan adil. Firman Allah ﷻ: Dan Allah mengetahui apa yang (tersimpan) di dalam hatimu. (Al-Ahzab: 51) Yakni kecenderunganmu kepada seseorang di antara mereka, bukan kepada semuanya, yang hal ini tidak dapat kamu elakkan. ". Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Abdullah ibnu Yazid, dari Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ memberlakukan giliran kepada semua istrinya dengan adil, kemudian beliau ﷺ bersabda: Ya Allah, inilah perbuatanku terhadap apa yang aku miliki.
Maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memilikinya. Arba'ah telah meriwayatkannya melalui hadis Hammad ibnu Salamah, dan Imam Abu Daud (salah seorang dari Arabah) menambahkan dalam riwayatnya sesudah sabda Nabi ﷺ: Maka janganlah Engkau mencelaku terhadap apa yang Engkau miliki, sedangkan aku tidak memilikinya (yakni hati). Makna yang dimaksud ialah kecenderungan hati Nabi ﷺ kepada seseorang dari istri-istrinya. Sanad hadis sahih, dan semua perawinya berpredikat siqah. Karena itulah disebutkan dalam firman berikutnya: Dan adalah Allah Maha Mengetahui. (Al-Ahzab: 51) Allah Maha Mengetahui semua isi hati dan rahasia yang tersimpan di dalam dada. lagi Maha Penyantun. (Al-Ahzab: 51) Yaitu memaaf dan mengampuninya."
Bila para suami yang berpoligami wajib secara adil mengatur gilir-an untuk mendatangi istri-istri mereka, maka ketentuan demikian tidak Allah berlakukan atas Nabi Muhammad. Engkau, wahai Nabi Muhammad, boleh menangguhkan menggauli siapa yang engkau kehendaki di antara mereka, yakni para istrimu, dan boleh pula menggauli siapa di antara mereka yang engkau kehendaki. Dan siapa yang engkau ingini untuk menggaulinya kembali dari istri-istrimu yang telah engkau sisihkan, yakni engkau tinggalkan untuk tidak menggaulinya kemudian kamu menginginkannya kembali atau mereka yang menginginkannya, maka tidak ada dosa bagimu karena Kami perbolehkan khusus untukmu hal tersebut. Kekhususan yang demikian itu Allah anugerahkan kepadamu agar lebih dekat untuk ketenangan hati mereka, dan mereka tidak merasa sedih ketika engkau tidak mendampingi mereka, dan mereka rela dengan apa yang telah engkau berikan kepada mereka semuanya, karena mereka tahu itulah ketetapan Allah. Dan Allah mengetahui apa yang tersimpan dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang tersimpan dalam hati istri-istrimu, Maha Penyantun dengan tidak segera menghukum hamba yang berbuat salah dan dosa. 52. Ketika ayat ini turun, Nabi mempunyai sembilan istri, yaitu '''isyah, 'af'ah, Zainab, Ummu Salamah, Ummu 'ab'bah, Maim'nah, Saudah, 'afiyyah, dan Juwairiyah. Allah memberi Nabi kekhususan hukum dalam hal relasi suami-istri, tetapi Dia juga memberi batasan dalam pernikahan Nabi. Tidak halal bagimu, wahai Nabi Muhammad, menikahi perempuan-perempuan lain setelah itu, yakni selain yang sudah hidup bersamamu saat ayat ini turun, dan tidak boleh pula bagimu menceraikan lalu mengganti mereka dengan istri-istri yang lain, meskipun kecantikannya menarik hatimu, kecuali perempuan-perempuan hamba sahaya yang engkau miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu di mana dan kapan pun untuk kebaikan alam semesta.
Pada ayat ini, Allah memberi kebebasan kepada Nabi Muhammad untuk menangguhkan siapa di antara istri-istrinya yang beliau kehendaki dan boleh pula menggauli siapa di antara mereka yang beliau kehendaki. Beliau juga diberi kebebasan untuk mengawini kembali istri-istrinya yang telah dicerai mengingat kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat.
Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-thabari dari Abu Razin bahwa ketika diturunkan ayat yang menyuruh istri-istri Nabi. ﷺ untuk memilih antara tetap menjadi istri Nabi. dengan keadaan sederhana tanpa kemewahan atau berpisah dari Nabi ﷺ karena mengejar kesenangan hidup yang lebih sesuai dengan keinginan hawa nafsunya, maka timbullah rasa kekhawatiran pada istri-istri Nabi. ﷺ itu. Mereka secara serentak menyatakan kerelaannya untuk tetap hidup bersama Nabi ﷺ dalam keadaan bagaimanapun juga karena mereka lebih mengutamakan segi kehidupan agama daripada kesenangan duniawi.
Lalu Nabi menangguhkan menggauli beberapa istrinya atas permintaan mereka, seperti Ummu habibah, Maimunah, Saudah, shafiyah, dan Juwairiyah. Terhadap kelima istrinya ini, Nabi ﷺ tidak mengatur giliran bermalam secara teratur. Adapun terhadap istri-istrinya yang empat orang lagi yaitu 'aisyah, Hafshah, Zainab dan Ummu Salamah beliau mengatur giliran untuk bermalam, serta mempersamakan pembagian pakaian dan makanan.
Kebebasan Nabi untuk mengatur giliran, makanan, pakaian, dan lain-lain sesuai dengan sifat adil Nabi dalam melaksanakan petunjuk Allah, sehingga tidak menimbulkan rasa cemburu dalam hati para istrinya. Mereka menerima dengan rela perlakuan Nabi.
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Yazid bahwa 'aisyah pernah berkata, "Adalah kebiasaan Nabi ﷺ untuk membagi-bagi giliran di antara istri-istrinya dengan adil, kemudian Nabi ﷺ berdoa, "Ya Allah, inilah pembagianku tentang apa yang aku kuasai (yaitu soal pembagian benda materi), maka janganlah Engkau mencercaku tentang apa-apa yang Engkau kuasai dan tidak aku kuasai (soal cinta)." (Riwayat Ahmad)
Hadis ini mengandung suatu anjuran supaya tetap memelihara kemurnian hati dan ancaman bagi mereka yang tidak berserah diri kepada ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Allah Maha Mengetahui tentang segala rahasia yang tersimpan di dalam hati, lagi Maha Penyantun, selalu memberi kesempatan untuk bertobat bagi mereka yang telah menyadari akan kesesatannya dan ingin kembali ke jalan yang lurus.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
KETENTUAN ALLAH ﷻ TENTANG ISTRI NABI
Ayat 50
“Wahai Nabi! Sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagi engkau istri-istri engkau yang telah engkau bayarkan mas kawinnya."
Dengan ayat ini diterangkan bahwa Allah ﷻ telah menghalalkan bagi beliau, Nabi kita ﷺ istri-istri beliau yang telah dibayar mas kawinnya. Mujahid mengatakan bahwa mas kawin Nabi kita kepada setiap istri beliau ialah sebelas uqiyah ditambah setengah uqiyah lagi. Jumlah harganya lima ratus dirham. Cuma satu istri beliau yang amat mahal mas kawin-nya, yaitu Ummi Habibah yang nama kecilnya Hindun, anak perempuan dari Abu Sufyan yang berpindah (hijrah) dibawa suaminya ke negeri Habsyi. Sampai di sana suaminya murtad masuk Kristen. Maka terlunta-luntalah Ummi Habibah di negeri itu. Tetap teguh memegang agamanya, tetapi dia tidak mau kembali pulang ke Mekah, sebab ayahnya sendiri masih musyrik dan memusuhi Nabi dengan kerasnya. Lalu Rasulullah ﷺ mengirim utusan ke negeri Habsyi menyampaikan lamaran beliau kepada Ummi Habibah dan beliau wakilkan kepada Negus Negesti Ashhamah untuk menikahinya, karena Najasyi itu telah memeluk Islam. Oleh Raja Habsyi itu dibayarlah mas kawin Nabi dengan uang baginda sendiri empat ratus dinar emas.
Shafiah binti Huyai yang ayahnya mati dalam menjalani hukuman Bani Quraizhah, setelah dia tertawan ketika beliau ﷺ menaklukkan pertahanan Yahudi di Khaibar. Ketika Rasulullah ﷺ tahu bahwa perempuan itu anak dari pemimpin Yahudi yang besar itu dan sekarang telah tertawan, dan suaminya pun telah meninggal dalam perang dengan Nabi, Shafiah dimerdekakan oleh Nabi dari perbudakan, lalu beliau jadikan kemerdekaan yang beliau berikan itu sebagai mas kawin.
Demikian juga Juwairiah binti al-Harits dari Bani al-Mushthaliq. Juwairiah jatuh ke dalam tawanan Tsabit bin Qais bin Syaminas. Lalu Juwairiah ditebus oleh Rasul ﷺ dari Tsabit lalu beliau memerdekakan pula dan beliau kawini. Kemerdekaan itu pula yang beliau jadikan sebagai mas kawin.
Istri beliau enam orang dari perempuan Quraisy yang seketurunan dengan beliau, yaitu (1) Khadijah, (2) Aisyah, (3) Hafshah, (4) Ummi Habibah, (5) Saudah dan (6) Ummi Salamah. Dua orang dari Bani Hilal bin Amir, yaitu Maimunah binti al-Harits dan Zainab yang dikenal dengan sebutan “Ibu orang-orang miskin" karena dermawannya. Dan Zainab binti Jahasy dari Bani Asad.
“Dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kananmu." Ayat ini menyatakan bahwa perempuan-perempuan yang jadi tawanan di medan perang, kalau tidak ada lagi keluarganya yang dapat menebusnya, menjadilah dia termasuk jadi hamba sahaya kepunyaan yang menawannya. Bisa dibuatnya sesuka hati, sebagaimana mempunyai barang. Ada yang tetap jadi budak. Dan tuan yang empunya dia tidak berdosa kalau menyetubuhinya.
Sebagaimana telah kita katakan di atas tadi, pada mulanya Shafiah binti Huyai dan Juwairiah binti al-Harits pada mulanya adalah hamba sahaya tawanan. Tetapi keduanya di-kembalikan ketinggian martabatnya oleh Rasulullah ﷺ, yaitu dimerdekakan lalu dikawini, karena keduanya adalah anak-anak orang bangsawan dalam kaumnya.
Yang tetap jadi jariyah atau hamba sahaya tidak dimerdekakan tetapi dicampuri oleh Rasulullah ialah dua orang, yaitu Raihanah binti Syam'un, anak perempuan dari Bani Nadhir yang ketika terjadi pengusiran besar-besaran terhadap kaum itu, istri dan anak-anak tinggal bebas, dan Raihanah beliau jadikan jariyah. Dikirim pula oleh Muqauqis Raja Mesir seorang dayang perempuan bernama Mariah dari Qubthi (Mesir). Itu pun dijadikan jariyah beliau juga. Dan Mariah Rasulullah ﷺ beroleh putra yang paling bungsu, yaitu Ibrahim yang meninggal di waktu kecil usia 18 bulan. Di ayat ini dijelaskan tentang hamba sahaya itu, “Yang engkau peroleh sebagai rampasan perang,yang diserahkan Allah kepada engkau."
Di sini ditegaskanlah sejarah dari mana asal mulanya timbulnya perbudakan. Yaitu bahwa perbudakan timbul ialah karena terjadi peperangan. Suatu negeri dikalahkan, orang-orang yang kalah dijadikan tawanan. Adakalanya tawanan boleh menebus diri atau ditebuskan oleh kaum kerabatnya. Tetapi kadang-kadang musnah negeri itu, habis laki-lakinya terbunuh dan tinggal perempuan-perempuan dan kanak-kanak. Tidak ada lagi yang akan menebus dari tawanan. Mereka jadi milik dari yang menang. Orang-orang itu langsung jadi budak.
Sayyid Rasyid Ridha memberikan fatwa dengan tegas dalam Tafsir al-Manar bahwa manusia merdeka yang dijarah kampung halamannya oleh penjarah-penjarah, bukan karena perang, melainkan karena mencari orang yang akan dijadikan budak saja, sebagaimana dilakukan oleh bangsa Eropa ke negeri-negeri Afrika satu dua abad yang lalu, perbudakan terhadap mereka tidaklah sah.
Akibat dari jadi budak ialah yang empunya boleh menjualnya dan boleh menghukumnya, tetapi kalau hatinya kasihan bisa juga dimer-dekakannya.
Peraturan perbudakan ini di zaman lampau bukanlah berlaku dalam Islam saja, tetapi berlaku pada seluruh bangsa. Orang-orang kulit hitam di Amerika (Negro) asal-usulnya ialah budak. Perbudakan baru berhenti dalam pertengahan abad kesembilan belas.
Maka Mariah budak perempuan yang dihadiahkan oleh Muqauqis Raja Muda Mesir mewakili Kerajaan Romawi dihadiahkannya kepada Rasulullah ﷺ adalah sah. Dan Nabi mengambilnya jadi jariyah adalah hal yang berlaku pada masa itu. Dalam surah kiriman Rasul, paulus (Perjanjian Baru) diberinya nasihat agar budak-budak tunduk kepada tuannya dan memperhambakan diri sebagaimana kepada Allah juga.
Kemudian dijelaskan lagi siapa-siapa yang halal dirikahi oleh Rasulullah ﷺ, “Dan anak-anak perempuan dari paman engkau." Paman ialah saudara laki-laki dari ayah kandung. Sebab itu maka anak-anak perempuan dari Abu Thalib dan Abu Lahab, Abbas, dan Hamzah, halal belaka dirikahi oleh Nabi. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ayah “engkau," sebagaimana Zainab binti Jahasy itu, setelah diceraikan oleh Zaid lalu dikawini oleh Nabi ﷺ adalah halal baginya, sebab Zainab adalah anak dari Umaimah binti Abdul Muthalib. “Dan anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibu engkau." Di Minangkabau saudara laki-laki dari ibu disebut mamak. Di Minang hal itu disebut “pulang ke anak mamak sesuatu perkawinan yang sangat diingini di daerah itu di zaman adat keibuan Cmatriaarchat) masih kuat. “Dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan ibu engkau." Di negeri Bugis yang seperti ini disebut sepupu sekali. Tetapi menurut adat Minangkabau perkawinan seperti ini tidak boleh karena mereka masih seperut, serumah gedang atau sepayung. Tetapi dalam syari'at Islam nyata halalnya. “Yang semuanya itu berhijrah bersama engkau." Dengan turut berhijrah itu artinya terbukti bahwa mereka telah beriman belaka. Meskipun tidak semua sampai dikawini Nabi ﷺ, namun mereka disebut untuk menghormati hijrah mereka.
Dengan ketentuan yang membolehkan mengawini anak paman, anak uncu, anak makcik, anak Pak Tua ini, bukanlah dia berlaku terhadap Rasulullah ﷺ saja. Ayat ini adalah sebagai pelengkap keterangan dari ayat 23 dari surah an-Nisaa' Sebab dalam ayat ter-sebut dijelaskan mana yang haram dirikahi, maka di ayat ini dijelaskan pula mana yang boleh dirikahi.
Peraturan ini adalah jalan tengah dalam Islam terhadap syari'at yang dijalankan orang Nasrani asli dan orang Yahudi. Ibnu Katsir menerangkan dalam tafsirnya bahwa orang Nasrani terlalu jauh mencari hubungan keluarga dengan perempuan yang akan di-kawininya. Keluarga yang boleh dikawini ialah jika garis lurus pertalian nenek ke atas sudah sampai tujuh. Kalau masih di bawah tujuh keturunan belum boleh. Tetapi orang Yahudi bisa saja sampai sekarang mengawini anak perempuan dari saudara kandungnya, baik saudaranya laki-laki atau saudaranya perempuan. Sehingga bagi kita penganut syari'at Islam agak berdiri juga bulu roma kita, kalau memikirkan seseorang mau mengawini anak dari adik kandungnya.
“Dan perempuan yang beriman yang menghibahkan dirinya kepada Nabi jika sudi Nabi menikahinya." Menghibahkan diri ialah memberikan diri dengan sukarela, jika Nabi sudi mengawini mereka. Menghibahkan itu ialah dengan tidak mengharapkan mas kawin lagi, asal Nabi sudi menerima.
Dalam kenyataannya memang terjadi ada beberapa orang yang menghibahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi sudi mengawininya, tetapi tidaklah keinginan itu dikabulkan oleh Nabi.
Sebuah riwayat yang dirawikan oleh Imam Ahmad bahwa pada suatu hari Anas bin Malik sedang duduk, sedang di dekat beliau duduk pula anak perempuannya dalam majelis Nabi. Lalu Anas berkata bahwa seorang perempuan datang menghadap Nabi ﷺ, lalu berkata, “Ya Nabi Allah! Sudikah tuan menerima saya jadi istri tuan?"
Mendengar perempuan itu menawarkan diri demikian, maka anak perempuan Anas bin Malik itu berkata kepada ayahnya, “Perempuan yang tidak bermalu! “ karena dia meng-hibahkan diri kepada Nabi. Lalu Anas bin Malik berkata kepada anaknya itu, “Dia lebih baik daripada kau! Dia cinta kepada Nabi, lalu ditawarkannya dirinya jadi istri beliau." (Hadits ini pun dirawikan juga dari thuruq yang lain oleh Imam Bukhari sendiri yang diterimanya dengan sanadnya dari Tsabit al-Bunaniy dan Anas bin Malik).
Sebuah hadits lagi yang diterima dengan sanadnya oleh Imam Ahmad dari Sa'ad as-Saa'idi, bahwa pada suatu hari datang seorang perempuan menghadap Rasul, lalu berkata, “Telah aku hibahkan diriku kepada engkau, ya Rasulullah."
Nabi masih diam saja belum menjawab dan perempuan itu telah lama berdiri menunggu-nunggu sambutan Nabi ﷺ dengan harap-harap cemas.
Lalu berdiri pula seorang dan tampil ke muka menyampaikan keinginannya kepada Nabi, ‘Ya Rasulullah! Kalau tuan tidak memerlukannya, kawinkanlah aku dengan dia."
Maka bersabda Nabi, “Adakah padamu sesuatu yang akan engkau jadikan mas kawin?"
Orang itu menjawab, “Aku tidak mempunyai apa-apa selain kain izar ini."
Berkata Rasulullah ﷺ, “Kalau izar itu engkau serahkan kepadanya, tentu kalau engkau duduk tidak berizar. Kalau begitu cobalah cari-cari yang lain."
Dia menjawab, “Tidak ada padaku sesuatu jua pun."
Lalu Nabi bersabda, “Cobalah cari-cari walaupun sebentuk cincin besi." Dia pun keluar mencoba mencari cincin besi. Itu pun tidak dapat dan dia pun kembali tidak membawa apa-apa.
Maka bersabdalah Nabi, “Adakah engkau menghafal sesuatu dari Al-Qur'an?"
Laki-laki itu menjawab, “Kalau ayat-ayat Al-Qur'an memang ada pada saya. Saya hafal surah anu dan surah anu." (Lalu disebutnya beberapa surah yang dia hafal).
Akhirnya berkatalah Nabi ﷺ, “Aku kawinkan engkau dengan dia, dengan mas kawin surah-surah yang ada padamu itu." (Imam Malik pun ada merawikan hadits cincin besi ini).
Ada juga tersebut dalam riwayat bahwa seorang perempuan yang salihah bernama Khaulah binti Hakim datang menghibahkan dirinya pula kepada Nabi.
Selanjutnya disebutkan, “Sebagai pengkhususan bagi engkau, bukan buat seluruh orang-orang yang beriman." Artinya kalau ada perempuan datang menghibahkan diri Kain selendang, kepada Nabi ﷺ, dan kalau beliau suka akan perempuan, itu, beliau boleh langsung mengawininya dengan tidak usah membayar mas kawin lagi. Tetapi bagi yang selain Nabi yaitu kita seluruh umatnya, sejak zaman-zaman sahabat sampai sekarang, kalau ada pula misalnya seorang perempuan datang menghibahkan dirinya, kalau orang itu suka akan perempuan itu lalu hendak dirikahinya, namun mas kawinnya atau mahar mitsilnya wajib juga dibayar.
“Sesungguhnya telah Kami ketahui apa yang Kami fardhukan kepada mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang dimiliki oleh tangan kanan mereka." Artinya bahwa pergaulan umat Muhammad ﷺ dengan istri-istri beliau dan dengan jariyah-jariyah itu sudah diatur oleh Allah ﷻ sendiri. “Supaya bagi engkau tidak jadi keberatan." “Tidak jadi keberatan" artinya ialah tidak merasa ada salahnya atau dosanya jika Nabi ﷺ berbuat demikian,
“Dan Allah adalah Maha Pengampun, Maha Penyayang."
Artinya kalau kiranya ada serba sedikit terdapat kekurangberesan pergaulan suami istri, di antara umat Muhammad ﷺ sehingga tidak persis sebagaimana yang diatur oleh Allah SWT, asal jangan melanggar dasar yang pokok, maka Allah ﷻ memberi ampun kekurangan itu dan Allah pun Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang terkhilaf bukan karena sengaja hendak melanggar.
Ayat 51
“Engkau tangguhkan siapa yang engkau kehendaki di antata mereka dan engkau bawa sentamu siapa yang engkau hendak pengauli."
Maksud ayat ini ialah khusus mengenai perempuan-perempuan yang menghibahkan diri itu. Engkau hanya halal menerima pemberian perempuan itu atas dirinya untuk engkau peristri. Jika engkau terima, Allah ﷻ tidak melarangnya. Tetapi engkau pun boleh menolak pemberian itu dengan baik kalau engkau tidak setuju dan boleh pula memakainya dan memasukkannya jadi tambahan anggota rumah tanggamu. Dalam hal ini benar-benar terserah kepadamu belaka.
Di sini terdapat kalimat turjii yang kita artikan engkau tangguhkan, yaitu pemilihan kata yang lebih halus untuk menyatakan, bahwa keinginan perempuan-perempuan itu menghibahkan diri kepada Rasulullah ﷺ tidak diterima. Tetapi oleh karena menenggang perasaan kaum perempuan yang sangat halus dan jangan sampai mereka merasa tersinggung dipakailah kata-kata ditangguhkan. Artinya dijawab dengan susun kata yang sebaik-baiknya. Atau dicarikan jalan keluar yang baik. Di atas telah kita salinkan sebuah hadits yang dirawikan oleh Imam Ahmad tentang satu di antara mereka yang datang menghibahkan diri itu. Lama perempuan itu terpaksa tegak berdiri menunggu jawaban Rasulullah ﷺ, menerima atau menolak. Mujur ada di sana seorang muda yang hidupnya kurang mampu bersedia menerima perempuan itu kalau Rasul tidak hendak menerimanya. Dan perempuan itu pun patuh menerima putusan Rasulullah.
Aisyah mengakui terus terang bahwa jika ada seorang perempuan datang menyerahkan diri atau menghibahkan diri itu, tersinggung juga perasaannya dan timbul juga cemburu dalam hatinya.
Menurut riwayat dari Ibnu Jarir, dari Abu Kuraib, dan Yunus bin Bukair, “Meskipun Rasulullah diberi kebebasan oleh Allah menerima perempuan yang menghibahkan diri itu, namun tidak seorang pun yang beliau terima."
Kalimat Tu'wii kita artikan “engkau bawa sertamu", artinya jika engkau terima permintaannya, engkau sambut dia menghibahkan diri itu, “Dan barangsiapa yang engkau kehendaki dari mereka yang telah pernah engkau ceraikan, maka tidaklah ada dosanya atas engkau." Maksudnya ialah selain dari yang engkau sambut keinginannya atau yang engkau tolak, ataupun yang pernah engkau ceraikan hendak engkau rujuk kepadanya kembali, semuanya itu tidaklah ada salahnya, tidak ada dosanya atau tidak ada keberatannya, boleh saja; semuanya terserah kepadamu. “Demikian itulah yang lebih dekat untuk menenangkan hati mereka dan mereka tidak akan merasa sedih dan semuanya rela menerima apa yang engkau berikan." Maksud semua ayat ini sudah terang. Yaitu kepada Rasulullah ﷺ sendiri diserahkan kebijaksanaan apa yang akan diambilnya terhadap kepada istri-istri beliau atau menerima atau sebaliknya terhadap perempuan yang menghibahkan diri itu. Demikian kalau ada yang tadinya beliau tangguhkan, kemudian beliau berkenan hendak menerimanya kembali, itu pun tidak ada salahnya. Demikian juga tentang pembagian hari terhadap istri-istri beliau, entah berlebih ke sana, entah berkurang kemari, karena tanggung jawabnya dalam memimpin umat begitu banyak yang lebih besar, tidak pulalah beliau diberati supaya sama. Namun itu Aisyah juga yang memberikan kesaksian, bahwa dalam membagi hari giliran di antara istrinya, beliau adalah sangat adil. Tetapi beliau selalu pula berdoa bermunajat kepada Allah SWT,
“Ya Allah. Inilah yang aku kuasa membuatnya. Maka janganlah Engkau sesali aku pada perkara yang Engkau sendiri saja Yang Kuasa dan aku tidak kuasa." (HR an-Nasa'i dan Abu Dawud)
Artinya bahwa beliau sanggup mengerjakan membagi giliran di antara istri dengan adil. Di sana sekian hari dan di situ sekian hari pula. Tetapi tentang hati ke mana condongnya, entah lebih yang ini dari yang itu dalam hati, Nabi memohon kepada Allah ﷻ dalam hal yang seperti itu, janganlah dia disesali. Maka sesuailah doa Nabi itu dengan lanjutan ayat, “Dan Allah mengetahui apa yang ada dalam hati kamu." Allah Mahatahu bahwa yang ini lebih dikasihinya dari yang itu,
“Dan Allah adalah Maha Mengetahui, Maha Penyantun."
Maka lebih dan kurang kasih sayang, kalau hanya dalam hati saja tidaklah salah di hadapan Allah ﷻ Allah itu Maha Penyantun, dapat mengerti kelemahan hamba-hamba-Nya.
Al-Qurthubi menuliskan tentang istri-istri yang tetap beliau giliri, yaitu empat orang: Aisyah, Hafshah, Ummi Salamah, dan Zainab. Dan yang tidak tetap beliau giliri adalah lima orang: Saudah, Juwairiah, Ummi Habibah (Ramlah) binti Abu Sufyan, Maimunah, dan Shafiah.
Dikatakan dalam ayat, bahwa jika ada yang tetap beliau giliri dan jika ada yang tidak begitu tetap, kalau semuanya sudah mengerti, bahwa Allah ﷻ telah memandang beliau tidak berdosa jika beliau lakukan demikian, niscayatah istri-istri itu akan rela menerima, tenang pikiran mereka dan tidak ada yang akan bersedih hati atau mengomel.
Demikianlah Rasulullah ﷺ berlaku terhadap istri-istri beliau itu, selama hidupnya sampai beliau meninggal dunia. Bahkan Saudah menghadiahkan hari gilirannya kepada Aisyah sebab merasa diri telah tua tidak akan dapat dengan sempurna menyelenggarakan dan merawat Nabi lagi. Bahkan tertulis pula dalam sejarah hidup Aisyah bahwa beliau ini pun mempunyai ilmu tentang mengobat atau thabibah. Karena setelah Rasulullah meningkat umur lebih dari 60 tahun rawatan-nya sudah lebih teliti dan Aisyah mempelajari obat-obatan buat menjaga suaminya, beliau yang agung itu.
Dan setelah beliau sakit yang akan membawa ajalnya, mulanya beliau masih tetap hendak melakukan giliran, padahal badannya sudah sangat payah.
Beliau ingin sekali hendak tidur karena sakit itu di rumah Aisyah saja. Maka apabila hari telah pagi beliau bertanya di rumah siapa aku sekarang, ke rumah siapa lagi aku? Maka istri-istri yang bijaksana itu pun sama maklumlah keinginan beliau agar dirawat oleh Aisyah di rumahnya. Semuanya merelakan.
Ayat 52
“Tidaklah halal bagi engkau perempuan-perempuan sesudah yang itu."
Menurut keterangan dari beberapa ulama tafsir sebagaimana Ibnu Abbas, Mujahid, adh-Dhahhak, Qatadah, Ibnu Zaid, dan Ibnu Jarir, turunnya ayat ini adalah sebagai ganjaran kemuliaan bagi istri-istri Nabi ﷺ yang setelah datang ayat takhyiir (ayat 28 dan 29 di atas), semuanya telah memilih Allah dan Rasul dan kebahagiaan akhirat. Maka untuk meng-hargai pilihan mereka yang tepat itu, diturunkanlah perintah ayat ini kepada Rasulullah ﷺ, bahwa sesudah istri-istri yang tersebut itu beliau tidak boleh lagi oleh Allah ﷻ akan kawin dengan perempuan lain. Dan tidak boleh beliau mengganti istri-istri dengan perempuan lain, “Dan tidak pub bahwa engkau mengganti mereka dengan istri-istri yang lain." Karena istri-istri yang telah menempuh ujian hidup bersakit seperti ini, yang tidak mau lagi menukar Allah dan Rasul dan kebahagiaan Hari Akhirat dengan dunia dan perhiasannya, adalah istri-istri yang telah tahan uji, sudah sukar akan mencari gantinya, “Walaupun memesona hati engkau kecantikan mereka." Maka dalam keteguhan iman dan pemilihan hidup berjuang di samping junjungan alam, Muhammad ﷺ adalah mengatasi segala macam kecantikan. Kecantikan yang bagaimana pun tidak ada lagi artinya jika dibandingkan dengan-pengorbanan perempuan-perempuan yang telah menjadi istri ini. “Kecuali hamba sahaya yang dipunyai oleh tangan kanan engkau." Yakni bahwa yang masih dibolehkan ialah hamba sahaya atau jariyah yang nyata berasal dari perbudakan sebagaimana yang telah kita terangkan di atas, karena mereka itu tidak sama martabatnya dengan istri perempuan merdeka.
“Dan Allah alas tiap-tiap sesuatu adalah Maha Mengawasi."
Maka tidaklah ada sesuatu pun sejak dari barang sebesar-besarnya, sampai kepada yang sekecil-kecilnya yang terlepas dari pengawasan Allah ﷻ
Dua kesan kita dapat dari ayat ini. Meskipun dihadapkan kepada Nabi ﷺ, yang dituju ialah kita.
Kesan pertama janganlah dipakai kelakuan yang tidak pantas, yaitu gampang-gampang saja menukar-nukar bini. Istri seakan-akan dipandang barang permainan saja. Telah kawin bercerai lagi dan ganti pula dengan istri yang lain sehingga hidup tidak mendapat ketenteraman. Tidak tercapai hikmah berumah tangga sebagaimana tersebut di dalam surah ar-Ruum ayat 21 bahwa bersuami-istri itu ialah agar menegakkan mawaddah dan rahmah. bagi mendatangkan sakinah (ketenteraman) dalam hati.
Kesan yang kedua diambil dari bunyi bagian ayat “walaupun memesona kecantikan mereka." Dapatlah disarikan dari bunyi ayat ini, bahwa seorang laki-laki yang ingin meminang seorang perempuan dibolehkan melihat wajah perempuan itu terlebih dahulu, supaya jangan menyesal kemudian, Nabi ﷺ bersabda,
“Dari Jabir bin Abdullah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau pernah berkata, “Bilamana seseorang kamu ingin meminang seorang perempuan, kalau dapat dia melihat perempuan itu terlebih dahulu, agar menarik untuk menikahinya, maka perbuatlah." (HR Abu Dawud)