Ayat
Terjemahan Per Kata
مَّا
tidak
كَانَ
ada
عَلَى
atas
ٱلنَّبِيِّ
nabi
مِنۡ
dari
حَرَجٖ
keberatan
فِيمَا
dalam/tentang apa
فَرَضَ
telah menetapkan
ٱللَّهُ
Allah
لَهُۥۖ
baginya
سُنَّةَ
sunnah/peraturan
ٱللَّهِ
Allah
فِي
pada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
خَلَوۡاْ
(mereka) berlalu
مِن
dari
قَبۡلُۚ
sebelumnya/dahulu
وَكَانَ
dan adalah
أَمۡرُ
perintah/perkara
ٱللَّهِ
Allah
قَدَرٗا
ketetapan/keputusan
مَّقۡدُورًا
telah ditetapkan
مَّا
tidak
كَانَ
ada
عَلَى
atas
ٱلنَّبِيِّ
nabi
مِنۡ
dari
حَرَجٖ
keberatan
فِيمَا
dalam/tentang apa
فَرَضَ
telah menetapkan
ٱللَّهُ
Allah
لَهُۥۖ
baginya
سُنَّةَ
sunnah/peraturan
ٱللَّهِ
Allah
فِي
pada
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
خَلَوۡاْ
(mereka) berlalu
مِن
dari
قَبۡلُۚ
sebelumnya/dahulu
وَكَانَ
dan adalah
أَمۡرُ
perintah/perkara
ٱللَّهِ
Allah
قَدَرٗا
ketetapan/keputusan
مَّقۡدُورًا
telah ditetapkan
Terjemahan
Tidak ada keberatan apa pun pada Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunah Allah pada (nabi-nabi) yang telah terdahulu. Ketetapan Allah itu merupakan ketetapan yang pasti berlaku,
Tafsir
(Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan) yang telah dihalalkan (Allah baginya, sebagai sunah Allah) lafal Sunatallah dinashabkan setelah huruf Jarnya dicabut (pada orang-orang yang telah berlalu dahulu) dari kalangan para nabi, yaitu bahwasanya tidak ada dosa bagi mereka dalam hal tersebut sebagai kemurahan bagi mereka dalam masalah nikah. (Dan adalah ketetapan Allah itu) yakni keputusan-Nya (suatu ketetapan yang pasti berlaku) pasti terlaksana.
Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Allah telah menetapkan yang demikian) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. Firman Allah ﷻ: Tidak ada suatu keberatan pun atas Nabi tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. (Al-Ahzab: 38) Yakni tentang apa yang dihalalkan baginya dan apa yang diperintahkanNya, yaitu mengawini Zainab r.a. yang telah diceraikan oleh anak angkat beliau sendiri (Zaid ibnu Harisah r.a.) Firman Allah ﷻ: (Allah telah menetapkan yang demikian itu) sebagai sunnah-Nya pada nabi-nabi yang telah berlalu dahulu. (Al-Ahzab: 38) Hal ini merupakan hukum Allah pada nabi-nabi sebelumnya.
Allah tidak sekali-kali memerintahkan kepada mereka untuk melakukan sesuatu yang menyebabkan mereka berdosa karenanya. Ayat ini merupakan sanggahan terhadap sebagian orang dari kalangan orang-orang munafik yarig menduga bahwa martabat Nabi ﷺ menjadi berkurang karena mengawini bekas istri anak angkatnya. Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. (Al-Ahzab: 38) Maksudnya, itu urusan yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ itu pasti terjadi dan tidak akan bisa dielakkan lagi; karena apa yang dikehendakiNya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi.
Pernikahan dengan Zainab menjadi beban bagi Nabi karena erat kaitannya dengan persoalan yang sangat peka dalam masyarakat. Allah menguatkan hati Nabi untuk menjalani pernikahan tersebut dan menegaskan, 'Tidak ada keberatan apa pun pada Nabi Muhammad tentang apa yang telah ditetapkan Allah baginya. Allah telah menetapkan yang demikian sebagai sunah, yakni ketetapan-ketetapan Allah pada nabi-nabi yang telah terdahulu. Dan ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku. 39. Nabi-nabi terdahulu itu adalah orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah dan syariat-syariat Allah kepada manusia; mereka takut hanya kepada-Nya dan tidak merasa takut kepada siapa pun selain kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan amal perbuatan manusia secara cepat dan cermat. ' (Lihat juga: al-Anbiy'/21: 47).
Pada ayat ini, Allah menguatkan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya yaitu bahwa tidak ada suatu keberatan apa pun atas Nabi ﷺ apa yang telah menjadi ketetapan Allah baginya untuk mengawini perempuan bekas istri anak angkatnya setelah dijatuhi talak oleh suaminya dan habis masa idahnya. Orang-orang Yahudi sering mencela Nabi Muhammad ﷺ karena mempunyai istri yang banyak, padahal mereka mengetahui bahwa nabi-nabi sebelumnya ada yang lebih banyak istrinya seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman.
Nabi Muhammad diperintahkan Allah supaya tidak menghiraukan pembicaraan khalayak ramai sehubungan dengan pernikahan beliau dengan Zainab. Ketika Zaid telah menceraikan istrinya, Allah menikahkan Nabi ﷺ dengan Zainab agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk menikahi bekas istri anak angkat apabila telah diceraikan. Ketetapan Allah tentang pernikahan Zainab dengan Nabi adalah suatu ketetapan yang sudah pasti.
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan at-Tirmidzi bahwa Zainab sering membangga-banggakan dirinya di hadapan istri-istri Nabi. lainnya dengan ucapan, "Kamu dinikahkan oleh keluargamu sendiri, tetapi saya dinikahkan oleh Allah. Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir ath-thabari dari Sya'bi bahwa Zainab pernah berkata kepada Nabi, "Saya mempunyai kelebihan dengan tiga perkara yang tidak dimiliki oleh istri-istrimu yang lain, yaitu: kakekku dan kakekmu adalah sama yaitu Abdul Muththalib; Allah menikahkan engkau denganku dengan perintah wahyu dari langit; dan yang ditugaskan menyampaikannya adalah Malaikat Jibril.".
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
DARI HAL PERKAWINAN NABI ﷺ DENGAN ZAINAB BINTI JAHASY
Ayat 37
“Dan (ingatlah) tatkala engkau berkata kepada orang yang diberi nikmat oleh Allah kepadanya dan engkau pun telah memberi nikmat kepadanya,"
Orang yang diberi Allah ﷻ nikmat dan Nabi ﷺ pun memberinya nikmat pula ialah Zaid bin Haritsah. Allah ﷻ memberinya nikmat karena semasa masih kecil telah jadi hamba sahaya, dibeli oleh Khadijah lalu dihadiahkan oleh Khadijah kepada suaminya ﷺ, sehingga oleh karena wahyu liahi turun ke atas diri Nabi, dia pun turut mendengarkan sehingga terbukalah hatinya menerima Islam dan termasuklah dia dalam lingkungan “as-Saabiqquunal awwaluuna," orang-orang yang mula pertama menerima Islam.
Nabi ﷺ pun memberikan nikmat kepadanya, karena dia segera dimerdekakan dan diangkat pula jadi anak sehingga disebut oranglah dia Zaid bin Muhammad, dan sangat dia dikasihi Nabi seperti mengasihi putrinya, Siti Fatimah, juga layaknya. Kemudian di-pinangkan Nabi seorang istri dari kalangan Quraisy bangsawan. Ini semua adalah nikmat yang diberikan Nabi kepadanya.
Tetapi setelah kawin dan bergaul lebih setahun, rumah tangga itu tidaklah bahagia. Meskipun Zainab sebagai seorang perempuan yang beriman telah tunduk kepada kehendak Nabi ﷺ, ternyata dia tidak akur bersuami. Suaminya itu disanggahnya saja, dipandangnya kurang derajatnya dari dia sehingga mengadulah Zaid kepada Rasulullah ﷺ. Lalu Nabi berkata kepadanya, “Pegang teguhlah istrimu dan takwalah kepada Allah."
Di waktu telah jelas oleh Nabi ﷺ bahwa kasih sayangnya kepada Zaid sajalah yang mendorongnya meminangkan saudara sepupunya, anak dari saudara perempuan ayahnya Umaimah, untuk istri dari Zaid itu. Zainab telah mematuhi keputusan Nabi ﷺ. Tetapi hatinya sebagai seorang perempuan yang mempunyai harga diri tidak dapat dipaksa buat kasih mesra kepada suaminya itu. Nabi sendiri pun pernah berdoa kepada Allah SWT,
“Ya Allah, janganlah Engkau sesali aku pada perkara yang aku tidak dapat menguasainya."
Yaitu tentang menyamakan kasih kepada segala istri.
Sekarang setelah perkawinan itu dilangsungkan disangka akan berbahagia, bahkan sebaliknya yang terjadi, sengketa tiap hari. Omelan si perempuan dan kecewa si laki-laki. Di situ telah terbuka pikiran beliau, atau beliau telah mendapat ilham, bahwa perbuatannya meminang Zainab untuk Zaid, sampai memberikan mas kawin secara besar-besaran, tanda cinta kepada anak angkat, kuranglah tepat. Mengapa waktu itu tidak beliau pinang Zainab untuk dirinya sendiri? Bukankah Zainab itu anak perempuan Umaimah binti Abdul Muthalib dan beliau Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib? Bukankah Zainab itu yang sebenarnya adalah sesuai buat dia, bukan buat Zaid?
Tetapi seketika Zaid datang mengadukan halnya, perasaan yang terasa di hatinya itu beliau tekan, lalu beliau berkata kepada Zaid, “Pegang teguhlah istrimu dan takwalah kepada Allah."
“Sedang engkau menyembunyikan dalam hatimu apa yang Allah ﷻ akan menyatakannya." Yang beliau sembunyikan dalam hati itu ialah perasaan beliau tentang tidak tepatnya sikap beliau meminang Zainab buat Zaid. “Dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah-lah yang lebih berhak engkau takuti."
Di ayat pertama dari surah ini, lebih dahulu telah diperingatkan kepada beliau ﷺ bahwa beliau jangan sekali-kali mengikuti keinginan orang-orang kafir dan munafik. Di ayat selanjutnya dijelaskan kepadanya, bahwa yang mesti beliau takuti hanya perintah Allah ﷻ saja, dan untuk melaksanakan perintah Allah itu hendaklah tawakal.
Setelah itu dijelaskan bahwa menyerupakan punggung istri dengan punggung ibu, bukanlah istrimu sudah dianggap haram disetubuhi sebagaimana haramnya menye-tubuhi ibu. Dan telah dijelaskan pula, bahwa anak orang lain yang diangkat jadi anak, tidaklah dia benar-benar jadi anak sendiri. Dia tetap anak orang lain, sebab yang mengalir dalam dirinya bukanlah darah dari orang yang mengangkatnya, melainkan darah ayah kandungnya yang mencampuri ibunya. Dan hendaklah jika memanggil seseorang di-bangsakan kepada ayahnya, jangan kepada orang lain yang mengangkatnya. Ini adalah pegangan yang sudah ditegaskan.
Maka datanglah ayat 37 ini sekarang menjelaskan, bahwa kembali pokok ayat-ayat di pangkal surah. Tergerak di hati Nabi, bahwa Zainab adalah jodoh dirinya, bukan jodoh Zaid. Kalau bercerai Zaid dengan Zainab, beliau tidak salah jika dia kawin dengan Zainab. Yaitu berdasar kepada ayat-ayat di awal surah, bahwa anak angkat bukanlah anak sendiri. Nabi Muhammad ﷺ takut kepada manusia akan melakukan itu. Sebab orang kelak akan menuduhnya mengawini janda dari anak angkat, atau mengawini bekas menantu.
Maka datanglah perintah yang tegas dari Allah, “Maka tatkala telah selesai hubungan Zaid terhadap istrinya, Kami kawinkanlah engkau dengan dia."
Ayat ini turun ialah setelah Zaid menceraikan istrinya juga. Meskipun Rasulullah ﷺ menyuruh memegang teguh istrinya dan menyuruhnya takwa kepada Allah SWT, namun Zaid tidaklah dapat meneruskan pergaulan itu lagi. Itu adalah hak pribadi Zaid yang tidak dapat dicampuri oleh Nabi lagi.
Menurut riwayat yang disampaikan oleh Imam Ahmad yang diterimanya dengan sanad-nya dari Sulaiman bin al-Mughirah dari Anas bin Malik, bahwa setelah habis iddah Zainab dari Zaid, disuruhlah oleh Rasulullah Zaid bin Haritsah itu sendiri pergi menemui Zainab, dan Nabi berpesan, “Pergilah kepadanya dan katakan kepadaku kesan engkau tentangnya,"
Zaid pun pergilah melaksanakan perintah itu. Didapatinya Zainab sedang memperhalus tumbukan tepungnya. Baru saja bertemu, perasaan Zaid sudah jadi lain terhadap jandanya itu, “Aku pandang dia menjadi lebih besar, sehingga aku tidak sanggup lagi seperti biasa buat melihat wajahnya bertentangan." Lalu aku membelakang kepadanya dan aku menghadap ke tempat lain dan aku berkata, “Bergembiralah! Aku diutus oleh Rasulullah ﷺ buat melihat keadaanmu dan minta berita tentang engkau."
Maka menjawablah Zainab, “Saya tidak akan mengambil sesuatu sikap sebelum saya menunggu ketentuan dari Allah ﷻ" Lalu dia pun berdiri dan terus masuk ke tempat shalatnya melakukan shalat. Lalu Al-Qur'an mengenai ayat tersebut pun turunlah. Maka datanglah Rasulullah ﷺ dan masuk ke dalam rumah Zainab dengan tidak meminta izin lagi. Demikian kita salinkan riwayat dari Zaid bin Haritsah sendiri, yang menceritakan dengan segenap kejujuran dan kesetiaan bagaimana berlangsungnya perkawinan Rasulullah ﷺ dengan Zainab setelah sampai iddah Zainab dari perceraian dengan dia.
Dengan firman Allah SWT, “Kami kawin-kawinlah engkau dengan dia," ternyatabahwaAllah ﷻ sendiri dengan wahyunya yang merestui perkawinan itu. Dan Zaid juga menceritakan dalam hadits yangdirawikan oleh Imam Malik, bahwa Nabi ﷺ mengadakan walimah juga, yaitu jamuan perkawinan terhadap sahabat-sahabatnya seketika dia memaklumkan hari perkawinannya itu. Setelah berlangsung perkawinan itu beliau singgah kepada istri-istri yang lain, dan semuanya mengucapkan selamat kepada beliau sambil bertanya, “Bagaimanakah hal-ihwal ahli tuan, ya Rasulullah?" Dan Zaid pun menceritakan pula bahwa dia sendiri pun turut mengantarkan Nabi ﷺ sampai ke rumahnya dengan Zainab itu dan setelah beliau masuk ke dalam, Zaid sendiri pula yang menurunkan kain gordin pembatas bagian dalam yang bernama hariim itu dan Zaid pun pergi.
“Agar supaya tidak ada atas orang-orang beriman keberatan pada istri-istri anak-anak angkat mereka apabila telah selesai hubungannya dengan merekaYaitu supaya tidak ada halangan lagi bagi seseorang mengawini bekas istri dari anak angkatnya apabila telah selesai iddahnya dari sebab perceraian dengan anak angkat itu. Baik karena iddah talak raj'i yang telah habis, atau iddah talak baa'in (talak tiga), atau 4 bulan 10 hari karena iddah wafat.
“Dan adalah ketentuan Allah itu sesuatu yang mesti dilaksanakan."
Allah ﷻ telah menetapkan sesuatu ketentuan atau sesuatu keputusan atau suatu hukum. Yaitu menghabiskan kebiasaan jahiliyyah mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, yang di dalam bahasa Indonesia disebut anak angkat. Di ayat 4 di awal surah sudah dijelaskan, bahwa anak orang lain yang dikatakan jadi anak sendiri, tidaklah benar-benar dia jadi anak dari yang mengangkat itu. Itu cuma kata-kata dengan mulut. Sekarang mengangkat anak itu di zaman jahiliyyah, sebelum ada ketentuan Islam telah terjadi pada Nabi Muhammad ﷺ sendiri, sampai Zaid bin Haritsah disebut Zaid bin Muhammad, malahan sampai dikawinkannya dengan perempuan dari kaumnya sendiri, yaitu Zainab. Tetapi pergaulan Zaid dan Zainab tidak bisa kekal, sampai bercerai. Maka untuk melaksanakan ketentuan Allah ﷻ itu, Nabi Muhammad ﷺ yang pertama wajib melaksanakannya. Kalau tidak demikian, maka ketentuan Allah ﷻ tidak akan berjalan dan tidak akan dipatuhi orang.
Kemudian dijelaskan lagi tekanan suara kepada Rasulullah ﷺ sendiri,
Ayat 38
“Tidaklah ada atas seorang Nabi suatu keberatan pun pada apa yang Allah fardhukan kepadanya".
Barangsiapa yang mendurhakai perintah Allah dan Rasul, dia akan tersesat Itulah disiplin yang keras atas diri seorang yang beriman, baik dia laki-laki atau dia perempuan. Nabi sendiri pun bahkan lebih dari itu. Kalau ketentuan Allah ﷻ sudah datang, dialah yang terlebih wajib memulai menjalankannya, “Demikianlah Sunnah Allah pada mereka-mereka yang telah lalu sebelumnya/' Yaitu nabi-nabi yang dahulu dari Nabi Muhammad ﷺ, mereka mendapat perintah dan mereka pula terlebih dahulu yang melaksanakan perintah itu, untuk dituruti oleh orang banyak. Tidaklah ada seorang nabi pun yang keberatan, walaupun akan menempuh pengorbanan yang hebat.
“Dan adalah ketentuan Allah itu suatu qadanyang telah dihinggakan."
Artinya bahwa perkawinan Nabi dengan Zainab ini adalah qadar atau takdir yang telah ditentukan oleh Allah ﷻ sendiri. Berbagai fitnah dan prasangka pasti akan diperbuat oleh musuh-musuh Islam, namun dalam hati orang yang beriman, perkawinan ini adalah wajar belaka.
Pernahlah Zainab binti Jahasy ini menyatakan syukurnya atas kelebihan dirinya dalam hubungan perkawinannya dengan Rasulullah ﷺ, dan dinyatakannya rasa bahagianya itu kepada Rasulullah sendiri. Dia berkata, “Tiga keistimewaanku daripada istri-istrimu yang lain, ya Rasulullah. Pertama nenekku dan nenek engkau satu. Kedua yang mengawinkan daku dengan engkau Allah Ta'aala sendiri. Ketiga yang menyampaikan berita sebagai utusan ialah Jibril sendiri."
Ayat 39
“(Yaitu) orang-orang yang telah menyampaikan risalah-risalah Allah."
Itulah tugas dari rasul-Rasulullah itu. Yaitu menyampaikan risalah, atau dalam bahasa yang terpakai tiap hari menyampaikan pesan Allah ﷻ bagi keselamatan manusia dan mengatur masyarakatnya agar lebih baik. “Dan mereka pun takut kepada-NyaKarena tiap-tiap nabi itu telah membuat janji dengan Allah SWT; mereka takut akan memungkiri janji. “Dan tidak ada tempat mereka takut seorang pun selain Allah."
Inilah pengaruh iman dan tauhid yang mengisi seluruh rongga hati nabi-nabi. Tidak ada seorang pun atau tidak ada sesuatu pun tempat mereka merasa takut melainkan Allah ﷻ Sebab takut kepada manusia atau benda hanyalah sementara hidup ini. Setinggi-tinggi aniaya yang akan dijatuhkan manusia hanyalah membunuh sampai mati. Padahal bagi orang yang beriman, mati adalah liqaa'a rabbihii, artinya pertemuan dengan Penciptanya. Bahkan orang yang beriman merasa sangat mulia kematiannya kalau dalam keadaan syahid.
“Dan cukuplah dengan Allah sebagai Penghitung."
Tidaklah ada selain Allah ﷻ yang demikian telitinya di dalam menghitung, memerhatikan dan meneliti amal seseorang di kala hidupnya di dunia sehingga tidak ada yang luput dari pertanggungjawaban kelak di akhirat. Sebab itu Rasulullah ﷺ pun di dalam melaksanakan perintah Allah ﷻ mengawini Zainab setelah habis urusannya dengan Zaid, dia tidak boleh segansegan dan takut kepada sesama manusia yang akan menyalahkan beliau mengapa dikawini janda dari anak angkat. Adat anak angkat itulah yang disuruh Allah ﷻ meruntuhnya kepada Nabi, dengan mengawini janda Zaid. Dan akhirnya Allah ﷻ menegaskan lagi,
Ayat 40
“Tidaklah ada Muhammad itu bapak dari seorang laki-laki kamu “
Semua orang yang ada di waktu itu, yang bertemu dengan beliau lalu menyatakan iman kepada ajaran beliau semua adalah sahabatnya. Besar kecil tua dan muda adalah sahabatnya. Semua berhak memangilkan beliau “Ya Rasulullah" atau “Ya Nabi Allah". Dengan takdir Allah ﷻ pula anak-anak beliau yang laki-laki, yaitu Qasim (jadi kunniyat beliau Abui Qasim), Thayib dan Thahir. Kemudian itu setelah di Madinah lahir Ibrahim, meninggal semua di waktu mereka masih kecil. Tinggallah Zaid seorang saja di zaman yang sudah-sudah yang dipanggil Zaid bin Muhammad, padahal bukan anak beliau yang sebenarnya. Sekarang adat istiadat itu dihapus, tidak boleh dipakai lagi. Tidak seorang jua pun yang berhak memanggilnya “Bapak “Tetapi dia adalah Rasul Allah, “Utusan Allah." Dan penutup nabi-nabi." Sesudah beliau tidak ada seorang Nabi pun lagi.
“Dan adalah Allah itu terhadap tiap-tiap sesuatu Maha Mengetahui."
Nabi kita adalah khaatam, yang sama pendapat segala ahli tafsir artinya ialah penutup. Artinya penutup nabi-nabi, tidak ada nabi sesudah beliau lagi. Sedangkan nabi lain tidak ada sesudahnya lagi, apatah lagi rasul. Sebab dengan kedatangan Nabi dan Rasul Muhammad ﷺ sempurnalah syari'at, tidak ada tambahnya lagi.
Tersebutlah dalam sebuah hadits,
“Dari Anas bin Malik, berkata dia, berkaca Rasulullah ﷺ, “Risalah dan nubuwwah telah terputus. Maka tidaklah ada lagi rasul sesudah-ku dan tidak pula nabi." Maka terasa beratlah rupanya hal itu kepada manusia. Lalu beliau berkata pula, “Kecuali al-Mubasysyirat." Lalu mereka bertanya, “Apakah al-Mubasysyirat itu, ya Rasulullah?" Beliau jawab, “Mimpi seorang Muslim. Mimpi itu adalah satu bagian dari nubuwwah." (HR Imam Ahmad dan Tirmidzi)
Sebuah hadits lagi,
“Dari Jabir bin Abdullah, berkata dia, berkata Rasulullah ﷺ, “Perumpamaan daku diumpamakan dengan nabi-nabi adalah seumpama seorang laki-laki membangun sebuah rumah, yang disempurnakannya pembikinannya dan diper-bagusnya kecuali terlowong sebuah batu tembok. Maka barangsiapa yang masuk ke dalam lalu dilihatnya tempat yang kosong dan sebuah batu tembok itu dia berkata, “Alangkah bagusnya rumah ini, sayang sekali tempat yang kosong satu batu tembok ini. Maka akulah tempat untuk satu batu tembok, dengan aku ditutuplah sekalian nabi-nabi." (HR Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Hibban, dan Abu Dawud)
Dan sebuah hadits lagi,
“Dari Abu Hurairah, berkata dia, berkata Rasulullah ﷺ, “Dilebihkan aku dari nabi-nabi yang lain dengan enam: (1) Diberikan kepadaku simpulan kata-kata, (2) diberi aku kemenangan dengan menimbulkan rasa takut di hati musuh, (3) dihalalkan bagiku rampasan perang, (4) dijadikan bumi bagiku untuk masjid dan alat bersih, (5) diutus aku untuk makhluk seluruhnya dan (6) ditutup dengan daku sekalian nabi." (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah. Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan dan shahih.")
Keutamaan pertama simpulan kata-kata ialah Al-Qur'an sendiri. Keutamaan keempat dijadikan bumi tempat bersujud dan tanahnya bersih ialah karena di mana saja kecuali di tempat yang terang kelihatan bernajis seorang Muslim boleh bershalat mencecahkan kening-nya ke bumi dan bumi itu bersih, sebab itu boleh dijadikan untuk tayamum akan ganti air.
Dan banyaklah lagi hadits-hadits yang lain yang sama isi serta maksudnya menyatakan, bahwa sesudah Nabi Muhammad ﷺ tidak akan ada nabi atau rasul lagi. Pokok aqidah sudah cukup, ibadah sudah teratur dan syari'at pun sudah sempurna. Di dalam surah al-Maa'idah ayat 3 telah tercantum dengan jelas bahwa pada hari itu, yaitu sesudah Haji Wada, agama Islam ini telah disempurnakan dan nikmat telah dilengkapkan dan Islam telah diridhakan sebagai agama. Maka kalau ada orang sesudah Nabi Muhammad ﷺ mengakui dirinya sebagai nabi atau sebagai rasul, orang itu adalah pembohong. Oleh sebab itu, termasuk pembohong paiing besarlah orang-orang sebagaimana Babullah dan Baha Ullah di Persia, yang pertama mendirikan sebuah agama diberinya nama Babiyah dan yang kedua mendirikan agama dinamainya Bahaiyah. Dan pembohong besar pula seorang yang bernama Mirza Ghulam Ahmad mendakwakan dirinya nabi, rasul, Mahdi, Isa al-Masih dan segala macam dakwaan. Ketika mubaligh-mubalighnya mula datang ke Indonesia, mereka mengatakan bahwa hadits “Laa Nabiyya ba'di" (Tidak ada sebarang Nabi pun sesudah aku), ialah nabi yang membawa syari'at. Adapun orang yang semata-mata mengaku jadi nabi saja, tidaklah dikatakan oleh Nabi Muhammad ﷺ. Tetapi kemudian setelah orang turut menyelidiki ajaran yang disebarkan oleh kaum Ahmadiyah itu, ternyata bahwa kata demikian hanya tipuan saja. Sebab ternyata dia pun mendakwakan dirinya jadi rasul dan bahwa syari'at sendiri menghapuskan syari'at yang dibawa Muhammad ﷺ. Yang paling penting bahwa Mirza Ghulam Ahmad ialah rasul dan nabi yang rnenasikhkan syari'at ajaran Muhammad yang mengatakan berjihad untuk menegakkan agama Allah, kalau perlu dengan pedang adalah wajib. Dengan keras Ghulam Ahmad mengatakan bahwa ajaran yang diterimanya atau wahyu yang diturunkan kepadanya telah menghapuskan syari'at jihad itu, terutama dengan senjata. Bahkan haramlah jihad itu menurut syari'at beliau. Ujungnya ialah wajib bagi kaum Muslimin taat setia kepada Kerajaan Inggris yang telah memberikan perlindungan kepada umat Islam di benua India.
Kian lama kian nyatalah bahwa “Nabi" ini mendapat sokongan keras dari pemerintah Inggris.
Setelah anak benua India merdeka dari penjajahan Inggris, dan India terbagi jadi India dan Pakistan, orang Ahmadiyah ini membuat negeri di bagian Pakistan yang mereka namai Rabwah, akan ganti dari Qadian yang telah termasuk dalam wilayah India, Tetapi setelah mereka kian lama kian merasa kuat kedudukannya di daerah Rabwah itu, mulailah mereka melanggar syari'at nabi mereka, bahkan mulailah mereka berjihad menantang umat islam di Pakistan yang tidak menyetujui mereka dan tidak menerima kenabian Ghulam Ahmad, sampai terjadi mereka menganiaya orang Islam yang melewati daerah mereka. Oleh karena ternyata bahwa mereka telah hendak membuat negara dalam negara yang sah, maka pemerintah Pakistan memutuskan, bahwa Qadiani atau Ahmadi tidaklah termasuk dalam kalangan kaum Muslimin. Mereka dianggap salah satu golongan kecil (minoritas) yang bukan Islam dalam negara Islam Pakistan.
Agama Babiyah menurut keterangan mereka sendiri telah bubar dengan sendirinya, karena digantikan oleh Bahaiyah. Mereka mengatakan bahwa kedatangan Babullah adalah sebagai pembuka jalan bagi kedatangan Baha Ullah, sebagaimana kedatangan Yahya Pem-baptis membuka bagi kedatangan Isa al-Masih menurut kepercayaan orang Kristen. Amerika senang sekali kepada agama Bahaiyah ini, sehingga di Chicago diberi kelapangan mendirikan rumah tempat mereka beribadah. Sebab mereka menganjurkan ajaran yang mereka katakan baru, yaitu perdamaian dunia dan memerlukan suatu bahasa persatuan dunia. Katanya bahasa yang baik buat persatuan dunia ialah bahasa inggris. Dan dalam hal jihad sama ajarannya dengan Mirza Ghulam, yaitu bahwa yang terutama sekali dihapuskan oleh agamanya dari syari'at Muhammad ﷺ ialah jihad fi sabilillah.
Nabi-nabi yang disokong oleh negara-negara penjajah dan kapitalisme dunia ini telah ditimbulkan di akhir-akhir abad kesembilan belas, di waktu penjajahan Barat mulai berkuku dan kesadaran islam mulai timbul di mana-mana. Semangat jihad dan berjuang yang diajarkan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab di Tanah Arab dan ajaran Said Jamaluddin al-Afghani yang sangat menentang penjajahan Barat Kristen, harus diperangi dengan membuat nabi baru. Tetapi setelah negara-negara Islam merdeka, gerakan-gerakan itu mulai sepi karena pembantu mereka pun tidak memandang perlu mereka lagi.
KEMBALI DARI HAL ZAID DAN ZAINAB
Perkawinan Rasulullah dengan Zainab sesudah diceraikan oleh Zaid ini adalah satu bahan yang sangat bagus yang dijadikan pintu menikam dan menghinakan kepribadian Nabi kita Muhammad ﷺ oleh kaum Zending dan Misi Kristen, untuk menuduh bahwa Nabi kita bukanlah seorang rasul yang patut dipuji, melainkan seorang laki-laki yang penuh hidupnya dengan hawa nafsu sehingga dia jatuh cinta tergila-gila kepada istri dari anak angkatnya sendiri semasa perempuan itu masih jadi menantunya. Kata mereka, karena melihat bahwa Nabi Muhammad ﷺ sudah jatuh cinta kepada istrinya, lalu diceraikannya saja istrinya itu baik-baik. Bunyi yang terkandung dalam ayat 37 yang mengatakan, bahwa Nabi saw, menyembunyikan dalam hatinya apa yang Allah ﷻ akan menyatakannya, dilanjutkan oleh bunyi ayat, “Engkau takut kepada manusia, sedang Allah-lah yang lebih berhak buat engkau takuti", yang maksudnya, bahwa Allah ﷻ telah memberi isyarat kepada Nabi ﷺ bahwa dia boleh kawin dengan Zainab setelah Zaid menceraikannya, diartikan bahwa Nabi menyimpan rasa cinta kepada Zainab, tetapi dia sembunyikan saja perasaan itu karena takut kepada manusia, padahal yang sepatutnya dia takuti ialah Allah ﷻ
Memang mereka menyusun tuduhan yang timbul dari rasa benci. Sebab itu mereka tidak peduli masuk akalkah tuduhan yang mereka susun itu.
Coba pikirkan! Kalau memang Rasulullah ﷺ jatuh cinta kepada Zainab, bila jatuh cintanya itu? Tidakkah si penyusun cerita memedulikan suatu kenyataan bahwa Zainab itu adalah anak dari saudara perempuan ayahnya? Yaitu Umaimah binti Abdul Muthalib, yang telah dikenalnya sejak kecilnya sampai dibawa pindah sekeluarga ke Madinah? Kalau memang dia mencintainya sejak semula, mengapa Zainab dipinangnya untuk anak angkatnya Zaid? Padahal ketika dia meminang itu belum turun ayat hijab? Yaitu ayat yang melarang leluasa menengok wajah perempuan? Dan kalau dia pinang untuk dirinya sendiri, seluruh kaum Quraisy tidak akan ada yang membantah, bahkan akan mengatakan, bahwa mereka memang jodoh?
Taruhlah, kita turuti sebentar, Beliau jatuh cinta kepada Zainab, anak perempuan dari saudara perempuan ayahnya, atau saudara sepupunya, salahkah dia kalau perasaan cinta itu disimpannya saja dalam hatinya, tidak diberitahukannya kepada seorang jua pun? Atau mestikah Nabi ﷺ mengarang syair dan sastra untuk memuja-muja Zainab supaya orang tahu? Dan kalau rahasianya itu dipendamnya saja dalam hatinya, itu dijadikan satu kehinaan besar?
Padahal sebagaimana telah kita nyatakan di atas, Allah ﷻ memberi peringatan kepadanya bahwa kalau iddah Zainab dengan Zaid telah habis, Allah ﷻ mengawinkan dia dengan Zainab, namun ketentuan Allah ﷻ itu disimpannya saja, nyaris dia ragu menjalankan. Bahkan ketika Zaid minta izin hendak menceraikan istrinya, beliau memberi nasihat agar istrinya dipegang terus, jangan diceraikan, dan takwa saja kepada Allah ﷻ Malahan di ayat 38 diperingatkan oleh Allah ﷻ kepadanya, bahwa dia sebagai seorang nabi tidak boleh keberatan mengerjakan apa yang difardukan oleh Allah ﷻ Dia merasa takut kepada manusia, bukanlah karena jatuh cinta kepada Zainab, melainkan karena
Allah ﷻ memerintahkan mengawininya setelah iddah Zainab lepas. Karena selama ini anak angkat dipandang orang sebagai benar-benar anak kandung sendiri, sebab itu Zainab dianggap sebagai menantu. Adat jahiliyyah ini yang mesti dibanteras. Dan dia yang harus melaksanakan. Sebagai Rasul dia tidak boleh mundur.
Di sekitar tahun 1938 timbullah polemik paling hebat, terutama dalam majalah yang dipimpin oleh pengarang tafsir ini, di Medan. Majalah yang bernama Pedoman Masyarakat. Sebab Soemandari dan Soeroto, dua orang pemuda terpelajar di masa itu mengarang satu artikel membongkar riwayat perkawinan Zaid dan Zainab dan perceraian Zaid dengan Zainab, lalu Nabi Muhammad saw, mengawini Zainab. Karangan itu tidak lain dari hasil pembacaan mereka atas buku-buku kaum Orientalis dan Zending Misi Kristen yang bermaksud tersembunyi (tendens') menjatuhkan martabat Nabi Muhammad ﷺ, yang maksudnya mengambil kesan bahwa Nabi Muhammad ﷺ telah jatuh cinta terlebih dahulu kepada Zainab sedang Zainab jadi istri anak angkatnya Zaid itu. Ditambah lagi fantasi dengan cerita bahwa ketika Zaid tidak di rumah, Zainab hanya memakai kutang saja, Nabi Muhammad ﷺ datang, lagi nafsu beliau timbul melihat tubuh Zainab.