Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
ٱتَّقِ
bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَلَا
dan jangan
تُطِعِ
kamu mentaati
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
وَٱلۡمُنَٰفِقِينَۚ
dan orang-orang munafik
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمٗا
Maha Bijaksana
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلنَّبِيُّ
Nabi
ٱتَّقِ
bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
وَلَا
dan jangan
تُطِعِ
kamu mentaati
ٱلۡكَٰفِرِينَ
orang-orang kafir
وَٱلۡمُنَٰفِقِينَۚ
dan orang-orang munafik
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
كَانَ
adalah
عَلِيمًا
Maha Mengetahui
حَكِيمٗا
Maha Bijaksana
Terjemahan
Wahai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah engkau menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.
Tafsir
(Hai Nabi! Bertakwalah kepada Allah) teguhkanlah dirimu dalam bertakwa kepada Allah (dan janganlah kamu menuruti keinginan orang-orang kafir dan orang-orang munafik) dalam hal-hal yang bertentangan dengan syariatmu. (Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui) apa yang akan terjadi sebelumnya (lagi Maha Bijaksana) di dalam mengatur urusan makhluk-Nya.
Tafsir Surat Al-Ahzab: 1-3
Hai Nabi, bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. Dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan bertawakallah kepada Allah. Dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (Al-Ahzab: 1-3)
Ayat 1
Perintah ini lahiriahnya ditujukan kepada orang yang berkedudukan tinggi (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam), tetapi makna yang dimaksud ditujukan kepada orang yang lebih rendah kedudukannya (umatnya). Karena sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa itu apabila memerintahkan kepada hamba dan rasul-Nya dengan perintah ini, maka terlebih lagi kepada orang yang sebawahnya.
Thalq ibnu Habib pernah mengatakan bahwa takwa ialah bila engkau selalu mengerjakan ketaatan kepada Allah atas dasar cahaya dari Allah dan mengharapkan pahala-Nya, dan bila kamu meninggalkan kedurhakaan terhadap Allah atas dasar cahaya dari Allah dan karena takut terhadap azab-Nya. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan janganlah kamu menuruti (keinginan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik. (Al-Ahzab: l) Artinya, janganlah kamu mendengar ucapan mereka dan jangan pula meminta saran dari mereka.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana. (Al-Ahzab: l) Dia lebih berhak untuk diikuti perintah-perintah-Nya dan ditaati, karena sesungguhnya Dia Maha Mengetahui semua akibat segala urusan, lagi Mahabijaksana dalam semua ucapan dan perbuatan-Nya.
Ayat 2
Karena itulah dalam firman selanjutnya disebutkan: dan ikutilah apa yang diwahyukan Tuhanmu kepadamu. (Al-Ahzab: 2) Yakni berupa Al-Qur'an dan sunnah. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Ahzab: 2) Maka tiada sesuatu pun yang tersembunyi bagi-Nya.
Ayat 3
Dan bertawakallah kepada Allah. (Al-Ahzab: 3) dalam semua urusan dan keadaanmu. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara. (Al-Ahzab: 3) Cukuplah Allah sebagai Pemelihara bagi orang yang bertawakal dan bertobat kepada-Nya.
Wahai Nabi! Bertakwalah kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; dan karenanya janganlah engkau menuruti keinginan orang-orang kafir agar engkau berpaling dari ketaatan kepada Allah, dan janganlah engkau menuruti kehendak orang-orang munafik agar engkau duduk bersama mereka dan menjauhi kaum duafa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui akibatnya, Mahabijaksana dalam segala firman dan aturan-Nya. 2. Dan karena itu, ikutilah dan lakukanlah apa saja yang telah diwah-yukan Tuhanmu kepada engkau. Sungguh, Allah Maha mengetahui dengan sangat teliti terhadap apa yang kamu kerjakan, baik secara terang-terangan maupun tersembunyi; dan Dia akan membalasnya sesuai apa yang telah kamu lakukan.
Ayat ini memerintahkan kepada Nabi Muhammad dan kaum Muslimin agar bertakwa kepada Allah dengan melaksanakan semua perintah-Nya dan menghentikan semua larangan-Nya. Allah juga melarang Nabi ﷺ dan kaum Muslimin menuruti keinginan-keinginan orang-orang kafir yang pernah menganjurkan kepada beliau agar mengusir orang-orang mukmin yang lemah dan miskin dari majelisnya. Ayat ini juga melarang Nabi dan orang-orang mukmin mengikuti orang-orang munafik yang lahirnya mengaku sebagai seorang mukmin, tetapi hatinya tetap kafir, bahkan selalu berusaha dan bekerja sama dengan orang-orang kafir yang lain untuk menghancurkan Islam dan kaum Muslimin.
Berdasarkan ayat ini dan sebab turunnya, yang dimaksud dengan "menuruti keinginan orang-orang kafir dan munafik" ialah "menuruti keinginan mereka agar kaum Muslimin mengakui kepercayaan dan tuhan-tuhan mereka, mempercayai bahwa tuhan-tuhan mereka dapat memberi syafaat dan manfaat kepada orang-orang yang menyembahnya, dan mengakui syariat-syariat mereka sebagaimana mengakui syariat yang diturunkan Allah." Hendaklah kaum Muslimin waspada terhadap segala usaha orang-orang kafir dan munafik yang sengaja mengaburkan dan merusak agama dan kepercayaan mereka, sehingga pemahaman mereka terhadap agama itu menjadi menyimpang dari paham yang sebenarnya.
Akhir ayat ini memperingatkan bahwa Allah Maha Mengetahui segala yang dikatakan, dianjurkan, disampaikan, dan disembunyi-kan dalam hati orang kafir itu, serta segala yang mereka maksudkan dan inginkan. Oleh karena itu, Dia akan menetapkan hukuman yang adil bagi mereka dan Dia Mahabijaksana dalam mengatur segala urusan Nabi dan para sahabat-sahabatnya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Surah al-Ahzaab
(GOLONGAN-GOLONGAN)
SURAH KE-33
73 AYAT
DITURUNKAN DI MADINAH
Bismillahirrahmanirrahim
Ayat 1
“Wahai Nabi Takwalah engkau kepada Allah."
Nabi akan selalu mengacak orang lain supaya bertakwa. Namun ajakan beliau kepada orang lain itu tidak akan ada artinya, cuma akan jadi cemoohan orang kalau beb.au hanya menyuruh padahal dia sendin tidak tertakwa. Sebab itu maka Allah ﷻ menasihatkan ke-padanya supaya takwa itu ditanamnya teguh terlebih dahulu dalam dirinya, sehingga orang lain yang diajak bertakwa akan mematuhi dengan baik dan setia, sebab mereka melihat contohnya pada tingkah laku beliau sendiri. “Dan janganlah engkau ikuti orang-orang yang kafir dan orang-orang munafik."
Tentu saja ajakan dari orang kafir dan munafik tidak boleh dituruti. Ini pun suatu perintah mawas diri dari Ailah kepada Rasul-Nya. Karena kadang-kadang kafir dan munafik itu akan menyusun juga ajakan-ajakan yang pada lahirnya manis, padahal dalam batinnya berisi ajakan yang pahit.
“Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui, Mahabijaksana."
Orang yang kafir, apatah lagi orang munafik kerap kali mengeluarkan perkataan yang manis, padahal mengandung maksud hendak menyeret Rasul ke dalam perangkap yang telah mereka pasang.
Ayat 2
“Dan ikutilah apa yang telah diwahyukan kepada engkau dari Tuhan engkau."
Di ayat pertama melarang mengikuti kehendak kafir dan munafik, di ayat kedua dijelaskan, bahwa jalan yang akan ditempuh hanya satu, yaitu mengikuti wahyu yang di-turunkan Allah ﷻ dari Alif sampai Yaa.
“Sesungguhnya Allah terhadap apa yang kamu kerjakan adalah Mahatahu."
Oleh karena Allah Mahatahu dan Maha-teliti atas segala perbuatan yang dikerjakan oleh manusia, jelaslah bahwa hati sanubari manusia pun dalam kontrol Allah ﷻ selalu. Dia tidak boleh menyeleweng dari garis yang ditentukan-Nya.
Ayat 3
“Dan bertawakallah kepada Allah."
Artinya ialah supaya beliau, Rasulullah ﷺ menyerahkan dirinya sebulat-bulatnya kepada Allah SWT, penuh kepercayaan, jangan bimbang. Harus yakin bahwasanya jalan yang ditunjukkan Allah ﷻ itulah yang benar, yang lain tidak ada.
“Dan cukuplah kepada Allah saja bertawakal."
Kesimpulan dari ketiga ayat ini adalah pegangan hidup bagi Rasul dan bagi setiap orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul. Agama Islam bukanlah semata-mata anutan dan pelukan. Dia bukan semata-mata aqidah yang masuk akal atau yang disebut rasional. Dan bukanlah semata-mata beribadah, melakukan shalat, puasa, zakat dan haji menurut peraturan, rukun dan syarat yang tertentu. Al-Islam bukanlah semata-mata mempertengkarkan soal-soal khilafiyah hasil ijtihad ulama-ulama terkemuka. Islam adalah kumpulan dari itu semuanya yang dijiwai oleh rasa kesadaran, bahwa kita melangkah dalam arena kehidupan dengan penuh kesadaran akan tanggung jawab berhadapan dengan Allah ﷻ
Ayat 4
“Tidaklah Allah menjadikan pada seseorang dua hati dalam rongganya."
Pangkal ayat ini adalah dasar hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang mempunyai aqidah tauhid.
“Dan tidaklah istri-istri kamu yang telah kamu serupakan punggungnya dari kalangan mereka menjadi ibumu."
Kebiasaan orang Arab di zaman jahiliyah jika mereka tidak suka lagi kepada istri mereka, maka mereka katakanlah bahwa punggung istri itu serupa dengan punggung ibunya. Tentu saja kalau punggung istri telah diserupakan dengan punggung ibu sendiri kasih sayang kepada istri sudah disamakan dengan kasih sayang kepada ibu. Kalau istri sudah dianggap ibu, tentu dikacaubalaukan kasih kepada ibumu yang tidak boleh dikawini sudah dikacaubalaukan dengan kasih kepada istri yang menjadi teman tidur. Sikap demikian adalah termasuk kekacauan jiwa juga, tidak dapat dibiarkan, istri tetap istri dan kasih kepada istri ialah disetubuhi dan menghasilkan anak. Ibu tetap ibu dan kasih kepada ibu adalah buat dikhidmati. Sebab itu maka kebiasaan menyerupakan punggung istri dengan punggung ibunya itu adalah perbuatan yang salah dan tidak benar.
Pada surah al-Mujaadilah yang diturunkan di Madinah juga, kebiasaan jahiliyah ini telah dibanteras dan dilarang. Barangsiapa melakukannya dikenakan denda (kaffarah). Yaitu memerdekakan budak, atau memberi makan enam puluh orang miskin atau puasa dua bulan berturut-turut. (Lihat surah pertama dari Juz 28).
“Dan tidaklah Dia menjadikan anak yang kamu angkat jadi anakmu benar-benar." Biasa juga di zaman jahiliyah orang memungut anak orang lain lalu dijadikannya anaknya sendiri. Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang yang mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad ﷺ sendiri. Seorang budak, (hamba sahaya) yang dihadiahkan oleh istrinya Khadijah untuk merawat beliau, bernama Zaid anak Haritsah. Karena sayangnya kepada anak itu beliau angkat anak dan ha-mi diketahui umum. Di ayat 37 kelak akan lebih jelas lagi bahwa Nabi Muhammad ﷺ sendirilah yang disuruh melepaskan diri terlebih dahulu dari kebiasaan yang buruk itu, yaitu mengambil anak orang lain jadi anak angkat. “Itu hanyalah ucapanmu dengan mulutmu." Yaitu bahwa mengatakan anak orang lain jadi anak sendiri itu hanyalah ucapan mulut, bukan keadaan yang sebenarnya. Sebab yang sebenarnya anak ialah aliran dari air dan darah sendiri. “Dan Allah mengatakan yang benar," yaitu anak orang lain bukanlah jadi anakku, walaupun engkau sorakkan di muka umum. Kalau cara sekarangnya walaupun engkau kuatkan dengan kesaksian notaris, dengan surah-surah pemerintah yang sah. Yaitu sah menurut peraturan yang bukan dari Allah SWT,
“Dan Dia akan menunjuki jalan."
Jalan yang ditunjukkan oleh Allah ﷻ itu ialah syari'at Islam. Maka segala peraturan yang lain, termasuk peraturan orang kafir yang dijalankan dalam dunia Islam, mengangkat anak orang lain jadi anak sendiri, bukanlah jalan yang benar. Islam telah mengadakan aturan sendiri dalam menjaga nasab dan keturunan, sehingga apabila seseorang meninggal dunia sudah ada ketentuan pembagian harta pusaka (faraidh). Namun meng-angkat anak orang lain jadi anak sendiri, lalu mengatur pula agar harta pusaka setelah mati diserahkan pula kepada anak angkat itu melanggar pula kepada ketentuan hak milik yang telah ditentukan syari'at. Di Indonesia sebagai sebuah negeri yang 350 tahun lamanya dijajah diakui pula peraturan mengangkat anak itu, sebagai sisa dari peraturan Belanda.
Ayat 5
“Panggillah mereka dengan nama bapak-bapak mereka."
Dahulu Zaid budak yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah oleh Nabi itu dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini datanglah ketentuan supaya dia dipanggil kembali menurut yang sewajarnya, yaitu Zaid bin Haritsah.
“Dan jika tidak kamu ketahui siapa bapak-bapak mereka, maka adalah mereka saudara-saudara kamu seagamaOrang yang tidak terang siapa bapak-bapak mereka ini ialah orang yang biasa ditawan dalam peperangan ketika dia masih kecil, orang tuanya telah mati dan dia telah hidup dalam masyarakat Islam. Atau orang seagama dari negeri lain yang belum kita kenal keturunannya. Ayat ini menunjukkan hendaklah mereka dipanggil sebagai saudara. Maka kalau orang itu masih muda, panggil sajalah dia sebagai saudara.
“Dan maula-maula kamu." Maula mengandung arti perlindungan dan pimpinan timbal balik. Pokok kata ialah dari wilayah, menjadi wali, menjadi maula. Dia dapat diartikan pelindung, raja, tuanku, tetapi dia pun dapat diartikan orang yang diperlindungi. Setelah agama Islam berkembang luas dan negeri yang ditaklukkan oleh tentara Islam bertambah jauh, banyaklah anak muda-muda kehilangan keluarga lalu diambil dan dipelihara oleh tentara Islam yang menang. Mereka dibawa ke negeri Islam dididik dalam Islam. Diakui termasuk kekeluargaan dari kaum yang memeliharanya. Dalam Islam, maula-maula (jamaknya mawaali) diberi didikan yang tinggi. Mereka memperdalam pengetahuan tentang Islam. Imam Bukhari ahli hadits yang masyhur itu adalah seorang maula dari Bani Jula, yaitu Kabilah Arabi yang diperintahkan Khalifah menaklukkan Bukhara di zaman Bani Umayyah. Banyak ulama-ulama Islam di zaman tabi'in adalah maula. Malahan ada di antara mereka yang jadi sahabat Rasulullah, sebagaimana Bilal bin Rabah, Salim Maula Abu Huzaifah, dan lain-lain. Ulama tabi'in yang besar, yaitu Imam Atha di Mekah, al-Hasan al-Bishri di Basrah, keduanya adalah maula. Tuan-tuan besar dari Arab berjuang jadi pahlawan dalam perang, sedang maula-maula jadi pahlawan ilmu pengetahuan Islam.
“Tetapi tidaklah kamu berdosa jika kamu bersalah dengan dia." Yaitu salah yang bukan disengaja karena tidak tahu. “Melainkan jika disengaja oleh hati kamu." Misalnya mem-bangsakan orang kepada yang hina, atau menghinakan orang karena warna kulitnya. Itu sangatlah disalahkan oleh Rasulullah ﷺ.
“Dan Allah adalah Maha Pengampun Maha Penyayang."
Memberi ampun atas kesalahan tempo dulu yang telah terlanjur, Maha Penyayang kepada hamba-Nya yang patuh sehingga Dia beri petunjuk jalan yang benar dan langkah yang betul.