Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَرَوۡاْ
mereka memperhatikan
أَنَّا
bahwasanya Kami
نَسُوقُ
Kami mencurahkan
ٱلۡمَآءَ
air
إِلَى
ke
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
ٱلۡجُرُزِ
tandus
فَنُخۡرِجُ
lalu Kami keluarkan
بِهِۦ
dengannya
زَرۡعٗا
tanaman-tanaman
تَأۡكُلُ
memakan
مِنۡهُ
dari padanya
أَنۡعَٰمُهُمۡ
binatang ternak mereka
وَأَنفُسُهُمۡۚ
dan mereka sendiri
أَفَلَا
maka apakah tidak
يُبۡصِرُونَ
mereka memperhatikan
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَرَوۡاْ
mereka memperhatikan
أَنَّا
bahwasanya Kami
نَسُوقُ
Kami mencurahkan
ٱلۡمَآءَ
air
إِلَى
ke
ٱلۡأَرۡضِ
bumi
ٱلۡجُرُزِ
tandus
فَنُخۡرِجُ
lalu Kami keluarkan
بِهِۦ
dengannya
زَرۡعٗا
tanaman-tanaman
تَأۡكُلُ
memakan
مِنۡهُ
dari padanya
أَنۡعَٰمُهُمۡ
binatang ternak mereka
وَأَنفُسُهُمۡۚ
dan mereka sendiri
أَفَلَا
maka apakah tidak
يُبۡصِرُونَ
mereka memperhatikan
Terjemahan
Tidakkah mereka memperhatikan bahwa Kami mengarahkan (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami menumbuhkan dengannya (air hujan) tanam-tanaman, sehingga hewan-hewan ternak mereka dan mereka sendiri dapat makan darinya. Maka, mengapa mereka tidak memperhatikan?
Tafsir
(Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwasanya Kami menghalau awan yang mengandung air ke bumi yang tandus) yakni bumi yang tidak ada tumbuh-tumbuhan padanya (lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang daripadanya dapat makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan?) hal tersebut sehingga menuntun mereka untuk mengetahui, bahwa Kami mampu untuk mengembalikan mereka hidup kembali sesudah mereka mati nanti.
Tafsir Surat As-Sajdah: 26-27
Dan apakah tidak menjadi petunjuk bagi mereka, berapa banyak umat-umat sebelum mereka yang telah Kami binasakan, sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)? Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri. Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajda: 26-27)
Ayat 26
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman bahwa tidakkah menjadi pelajaran bagi mereka yang mendustakan para rasul keadaan umat-umat terdahulu yang telah dibinasakan oleh Allah karena telah mendustakan para rasul dan menentang jalan yang lurus yang didatangkan oleh para rasul kepada mereka, sehingga tiada yang tersisa dari mereka, dan tidak ada bekas atau mata air pun bekas peninggalan mereka.
Adakah kamu melihat seorang pun dari mereka atau kamu dengar suara mereka yang samar-samar? (Maryam: 98) Karena itulah dalam surat ini disebutkan melalui firman-Nya: sedangkan mereka sendiri berjalan di tempat-tempat kediaman mereka itu. (As-Sajdah: 26) Yakni mereka yang mendustakan para rasul itu berjalan di tempat-tempat kediaman orang-orang terdahulu yang telah mendustakan-para rasul, maka pastilah mereka tidak akan melihat seorang pun dari kalangan orang-orang yang dahulu menghuni dan membangunnya.
Mereka semuanya telah tiada darinya, seolah-olah mereka belum pernah berdiam di tempat itu. (Al-Araf 92, Hud: 68 dan 95) Ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Maka itulah rumah-rumah mereka dalam keadaan runtuh disebabkan kezaliman mereka. (An-Naml: 52) Dan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Berapalah banyaknya kota yang Kami telah membinasakannya, yang penduduknya dalam keadaan zalim, maka (tembok-tembok) kota itu roboh menutupi atap-atapnya dan (berapa banyak pula) sumur yang telah ditinggalkan dan istana yang tinggi, maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi. (Al-Hajj: 45-46) sampai dengan firman-Nya: tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada. (Al-Hajj: 46)
Karena itulah dalam surat ini disebutkan: Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Tuhan). (As-Sajdah: 26) Yaitu sesungguhnya lenyapnya kaum tersebut, kebinasaan mereka, serta azab yang menimpa mereka disebabkan mereka mendustakan para rasul; dan selamatnya orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat Allah, benar-benar terdapat pelajaran, nasihat, dan bukti-bukti yang terang (yang menunjukkan kekuasaan Tuhan). Maka apakah mereka tidak mendengarkan (memperhatikan)? (As-Sajdah: 26) Berita-berita orang-orang yang terdahulu, bagaimanakah kesudahan urusan mereka.
Ayat 27
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27) Allah subhaanahu wa ta’aalaa menjelaskan kasih sayang-Nya kepada makhluk-Nya dan kebaikan-Nya kepada mereka, yang antara lain Dia menghalau air yang adakalanya diturunkan dari langit (hujan) atau dari hulu-hulu sungai yang diturunkan dari atas bukit, lalu mengalir ke dataran-dataran rendah yang memerlukannya tepat pada waktunya. Karena itulah disebutkan oleh firman-Nya: ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27) Yaitu tanah yang tidak ada tetumbuhannya. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menjadikan (pula) apa yang di atasnya menjadi tanah rata lagi tandus. (Al-Kahfi: 8) Yakni kering, tidak dapat menumbuhkan sesuatu pun.
Dan bukanlah yang dimaksud oleh firman-Nya: ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27) tanah Mesir saja, bahkan itu adalah sebagian dari makna yang dimaksud, Sekalipun banyak kalangan ulama tafsir yang menjadikannya sebagai contoh, tetapi sebenarnya bukan hanya tanah Mesir saja yang dimaksud oleh ayat ini. Ditakwilkan demikian karena memang tanah Mesir itu sendiri merupakan tanah yang datar lagi luas serta keras.
Ia memerlukan air, tetapi bukan berupa air hujan; karena seandainya diturunkan hujan yang lebat padanya, tentulah bangunan-bangunannya akan roboh. Karena itulah maka Allah menghalau air ke negeri Mesir melalui Sungai Nil yang membawa air hujan dari negeri Habasyah, yang mengandung lumpur merah, dan lumpur merah itu menutupi sebagian tanah Mesir yang merupakan tanah yang berpasir lagi tandus dan sangat memerlukan lumpur itu.
Berkat adanya lumpur itulah maka tanah Mesir dapat menumbuhkan tetumbuhan. Dengan demikian, berarti setiap tahunnya para penduduk negeri Mesir dapat memanfaatkan air dari hujan yang diturunkan bukan di negerinya, juga beroleh lumpur dari bumi yang bukan berasal dari buminya. Mahasuci Allah Yang Mahabijaksana, Mahamulia, Maha Pemberi anugerah, lagi Maha Terpuji selama-lamanya. Ibnu Lahi'ah telah meriwayatkan dari Qais ibnu Hajjaj, dari seseorang yang menceritakan asar ini kepadanya, bahwa ketika negeri Mesir ditaklukkan, maka para penduduknya datang menghadap kepada Amr ibnul ‘Ash yang saat itu menjabat sebagai amir di negeri Mesir; mereka datang menghadap kepadanya saat menjelang tiba suatu bulan yang menurut mereka disebut Ba'unah.
Mereka berkata, "Wahai Amirul Mu-minin, sesungguhnya Sungai Nil kami setiap tahunnya ada suatu bulan yang ia tidak mau mengalirkan airnya pada bulan itu." Amr ibnul ‘Ash bertanya, "Mengapa begitu?" Mereka menjawab, "Apabila telah berlalu dua belas hari dari bulan ini, maka kami mencari seorang gadis yang menjadi anak pertama dari kedua orang tuanya. Lalu kami membujuk kedua orang tuanya hingga dapat kami bawa untuk tumbal.
Dan kami pakaikan kepada anak gadis itu segala macam pakaian dan perhiasan yang terbaik yang ada di masa sekarang, sesudah itu kami lemparkan dia ke Sungai Nil (sebagai tumbal agar mau mengalir)." Amr ibnul ‘Ash berkata' kepada mereka, "Hal seperti itu tidak ada dalam Islam, sesungguhnya Islam itu menghapus apa yang biasa dilakukan sebelumnya." Maka mereka diam saja di bulan Ba'unah itu tanpa mengadakan korban, sedangkan Sungai Nil tidak mengalir, sehingga hampir saja mereka berniat akan meninggalkan negeri Mesir.
Kemudian Amr ibnul ‘Ash berkirim surat kepada Khalifah Umar ibnul Khattab untuk menceritakan perihal tradisi tersebut. Maka Khalifah Umar menjawab suratnya yang isinya mengatakan, "Sesungguhnya apa yang kamu lakukan itu benar, dan sekarang aku kirimkan bersama surat ini kepadamu suatu kartu yang padanya tertulis surat dariku. Lemparkanlah kartu ini ke Sungai Nil." Setelah surat Khalifah Umar tiba dan dibaca oleh Amr ibnul ‘Ash, ternyata di dalamnya tertulis kalimat berikut: Dari hamba Allah Umar Amirul Mu-minin, ditujukan kepada Sungai Nil penduduk negeri Mesir.
Amma Ba'du: Sesungguhnya kamu jika memang mengalir karena kehendakmu sendiri, maka janganlah kamu mengalir. Dan sesungguhnya jika memang Allah Yang Maha Esa lagi Maha Perkasalah yang mengalirkanmu, maka kami memohon kepada Allah semoga Dia membuatmu mengalir. Maka Amr ibnul ‘Ash melemparkan surat itu ke Sungai Nil. Pada pagi hari Sabtu Allah telah membuat Sungai Nil menjadi mengalir sedalam enam belas hasta hanya dalam waktu satu malam.
Dan Allah telah menghapuskan tradisi itu dari negeri Mesir sampai sekarang. Al-Hafidzh Abul Qasim Al-Lalika'i Ath-Thabari telah meriwayatkan asar ini di dalam Kitabus Sunah-nya. Karena itulah dalam surat ini disebutkan oleh firman-Nya: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwasanya Kami menghalau (awan yang mengandung) air ke bumi yang tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan air hujan itu tanam-tanaman yang darinya (dapat) makan binatang-binatang ternak mereka dan mereka sendiri.
Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah: 27) Semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain: maka hendaklah manusia itu memperhatikan makanannya. Sesungguhnya Kami benar-benar telah mencurahkan air (dari langit). ('Abasa: 24-25) Karena itulah dalam surat ini disebutkan: Maka apakah mereka tidak memperhatikan? (As-Sajdah: 26) Ibnu Abi Nujaih telah meriwayatkan dari seorang lelaki dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: ke bumi yang tandus. (As-Sajdah: 27) Yaitu bumi yang tidak mendapat air hujan dalam kadar yang mencukupinya terkecuali melalui banjir yang melewatinya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Mujahid, bahwa yang dimaksud adalah tanah yang ada di negeri Yaman. Al-Hasan rahimahullah telah mengatakan, yang dimaksud adalah kota-kota yang ada di antara negeri Yaman dan negeri Syam. Ikrimah, Adh-Dhahhak, Qatadah, As-Suddi, dan Ibnu Zaid mengatakan bahwa tanah yang tandus ialah tanah yang tidak ada tetumbuhannya lagi berdebu (berpasir). Menurut kami, ayat ini semakna dengan apa yang disebutkan oleh firman-Nya dalam ayat lain, yaitu: Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati Kami hidupkan bumi itu. (Yasin: 33), hingga akhir ayat.
Allah kuasa membinasakan dan menghidupkan mereka kem-bali. Dan tidakkah mereka, yakni para pendusta hari kebangkitan, memperhatikan bahwa Kami mampu menghidupkan orang yang sudah mati sebagaimana Kami mampu mengarahkan awan yang mengandung air ke bumi yang tandus, lalu dengan air hujan itu Kami tumbuhkan tanam-tanaman sehingga hewan-hewan ternak mereka dan juga mereka sendiri dapat makan darinya sehingga tubuh mereka sehat dan kuat' Maka, mengapa mereka tidak memperhatikan hal tersebut sebagai bukti kemampuan Kami membangkitkan manusia pada hari kebangkitan'28. Enggan memperhatikan bukti kuasa Allah membangkitkan manusia yang telah mati, kaum kafir justru menantang Nabi Muhammad. Dan dengan maksud mengejek mereka bertanya, 'Kapankah kemenangan atas kami itu datang kepadamu dan kapan pula azab yang engkau ancam kami dengannya itu akan datang, jika engkau memang orang yang benar dalam pengakuanmu sebagai rasul''.
Ayat ini mempertanyakan apakah orang-orang kafir itu buta, sehingga tidak dapat melihat bukti-bukti kebesaran dan kekuasaan Allah? Bukankah Allah yang menghalau awan ke tempat yang kering dan tandus serta tidak mempunyai tumbuh-tumbuhan? Awan itu berubah menjadi air hujan yang menyirami tanah itu sehingga memungkinkan manusia mengalirkannya ke tanah-tanah yang kering. Tanah itu lalu menjadi subur dan ditumbuhi oleh bermacam-macam tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman. Sebagian tanaman itu dimakan oleh manusia dan sebagian lagi oleh binatang ternak piaraan mereka.
Apakah mereka tidak melihat bukti-bukti yang demikian itu sehingga mereka dapat mengakui kebesaran dan kekuasaan Allah dalam menghidupkan manusia yang telah mati dan membangkitkan mereka dari kuburnya? Jika mau memperhatikan, mereka tentu akan sampai kepada keyakinan bahwa Allah Mahakuasa, tidak ada yang sukar bagi-Nya. Jika Dia meng-hendaki, cukuplah Dia mengatakan "kun" (jadilah), maka jadilah yang dikehendaki-Nya itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dalam ayat yang akan kita tafsirkan ini, kita merasakan bagaimana Allah ﷻ menunjukkan kasih-Nya kepada Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad ﷺ dan bagaimana pula hubungan tugas beliau dengan nabi-nabi yang terdahulu daripada beliau, terutama seorang nabi pejuang besar, Nabi Musa.
Maka berfirmanlah Allah SWT,
Ayat 23
“Dan sesungguhnya telah Kami berikan sebuah Kitab kepada Musa. Maka janganlah engkau, ragu-ragu dari menemuinya."
Dalam banyak hal, jalan perjuangan Nabi Muhammad sama pada garis besarnya dengan perjuangan Nabi Musa. Nama Musa pun sampai tiga ratus kali di dalam Al-Qur'an. Qatadah menafsirkan janganlah Nabi Muhammad ﷺ merasa ragu-ragu, bahwa dia akan mendapat martabat yang paling tinggi lagi. Kalau Musa mendapat kehormatan dengan diajak bercakap-cakap oleh Allah ﷻ di atas Gunung Thursina yang permai itu, maka Nabi Muhammad ﷺ tak usah ragu-ragu lagi, bahwa dia pun akan diberi peluang kesempatan bertemu dengan Allah ﷻ pada martabat yang lebih tinggi dari Musa. Dan itu pun telah berlaku ketika Nabi kita Muhammad ﷺ dipanggil Allah ﷻ melakukan Isra' dan Mfraj, sehingga pertemuan beliau dengan Allah ﷻ bukan berlaku di bumi, melainkan pada martabat yang paling tinggi, di atas lebih di atas lagi dari langit yang tujuh tingkat, lebih tinggi lagi dari Sidratul Muntaha. Maka yang dimaksud dengan menemui-Nya di sini tentu saja ialah menemui Allah ﷻ
Ada juga dibawakan orang riwayat dari tafsir yang dibangsakan kepada Ibnu Abbas, bahwa menemui-Nya dalam ayat ini ialah akan menemui Nabi Musa itu sendiri kelak di langit ketika melakukan Mi raj. Tetapi kita berat kepada tafsir Qatadah yang pertama itu, karena sudah nyata, bahwa Al-Kitab Al-Qur'an sendiri lebih sempurna dan penggenap dari Kitab Taurat, dan Nabi Musa menurut keterangan Nabi kita Muhammad ﷺ, sendiri, jika misalnya dia hidup, dia pasti akan menuruti syari'at Nabi Muhammad ﷺ. Sebab itu kalau sekadar hanya bertemu dengan ruh Nabi Musa di langit, bukan kemuliaan yang lebih tinggi bagi Nabi kita Muhammad ﷺ. Barulah kemuliaan lebih tinggi jika Nabi kita menemui Allah ﷻ di atas Sidratul Muntaha itu, sedang Musa hanya mendengar suaranya di bumi.
Adapun bertemu secara muwaajahah sehingga Allah ﷻ terlihat oleh mata, dalam keadaan yang sekarang, tidaklah dapat baik Musa atau Muhammad. Lihat kembali dalam surah al-A'raaf ayat 143. Di sana jelas dikatakan bahwa ketika Musa ingin Allah ﷻ memperlihatkan diri kepada beliau, Allah telah menyatakan dengan tegas,
“Engkau sekali-kali tidak akan dapat melihat-Ku." (al-A'raaf: 143)
Setelah Allah ﷻ memperlihatkan kuat kuasa-Nya ke gunung sehingga gunungitu jatuh runtuh, pingsanlah Musa, lalu setelah siuman dia memohon ampun atas kelancangannya meminta hal yang dia tidak berhak.
Nabi kita pun demikian. Setelah beliau turun dari langit, ada sahabat yang bertanya, di antaranya Abu Dzar, “Apakah engkau dapat melihat Allah SWT?" Beliau jawab tegas,
“Bagaimana aku akan dapat melihat Dia?"
Kata-kata Annaa menunjukkan tidak mungkin!
Kemudian lanjutan firman Allah SWT,
“Dan Kami jadikan Kitab itu petunjuk bagi Bani lsmail."
Yaitu bahwa kitab yang diturunkan kepada Musa tadi dijadikan oleh Allah ﷻ akan petunjuk bagi Bani Israil. Sebagaimana kitab yang diturunkan kepada Muhammad ﷺ untuk petunjuk pula bagi seluruh alam, yang lebih luas dari semata-mata satu kaum atau bangsa saja.
Ayat 24
“Dan telah Kami jadikan di antara mereka itu."
Yaitu di antara Bani Israil yang kepada mereka Nabi Musa membawa kitab Taurat itu, “Beberapa imam yang dapat memberikan petunjuk dengan perintah Kami." Artinya oleh karena berpedoman dan memegang teguh isi kitab yang diturunkan kepada Nabi Musa itu, maka dalam kalangan Bani Ismail muncullah imam-imam, yaitu orang-orang yang dapat memimpin Bani Israil, walaupun setelah Nabi Musa dan Nabi Harun wafat. “Tatkala mereka bersabar." Dalam ayat ini dijelaskan bahwa mereka dapat mencapai derajat yang tinggi, menjadi imam-imam dari kaum mereka ialah karena mereka bersabar. Dalam susunan kata yang sedikit ini saja diberi pedoman untuk barangsiapa yang hendak jadi pemimpin dari kaumnya. Maksudnya yang mulia itu tidaklah akan tercapai, kalau mereka tidak mempunyai kesabaran, kalau mereka lekas berputus asa. Karena untuk naik ke tempat pimpinan tidaklah mudah. Mestilah melalui berbagai macam rintangan dan hambatan. Kalau lekas naik pitam, naik darah atau putus asa, tidaklah akan sampai ke tempat yang dituju, jadi imam dari kaum.
“Dan mereka itu adalah terhadap ayat-ayat Kami amat yakin."
Maka sekalian orang yang telah mencapai derajat jadi imam-imam itu oleh karena kesabaran, tetap jugalah martabat itu, tumbuh sinar pimpinan oleh karena mereka terus-menerus pula memupuk keyakinan kepada Allah SWT, keyakinan akan ada-Nya, keyakinan akan kebenaran janji-Nya, keyakinan akan benarnya apa yang mereka perjuangkan.
Ayat 25
“Sesungguhnya Tuhan engkau, Dialah yang akan memutuskan di antara mereka di hari Kiamat, pada hal-ihwat yang selama ini mereka perselisihan."
Artinya, bahwa dalam memimpin umat, di antara imam-imam yang benar akan terjadi juga beberapa perlainan pendapat, perbedaan hasil ijtihad. Bukti bahwa manusia itu bebas berpikir dalam rangka kesatuan aqidah. Maka perselisihan pendapat yang demikian, jangan sampai jadi selisih yang mendalam, lalu membawa perbedaan haluan, melainkan serahkanlah kepada Allah ﷻ tentang ke-putusan mana yang benar dan mana yang salah. Asal saja ada iktikad baik, tidaklah Allah akan memburukkan perselisihan pikiran.
Ayat 26
“Dan apakah tidak jadi petunjuk bagi mereka, benapa telah Kami binasakan dari sebelum mereka, berbagai abad demi abad."
Maksudnya ialah memberikan peringatan, bahwa sebelum mereka, yaitu musyrikin Quraisy sebagai tujuan pertama dari ayat yang diturunkan di Mekah ini, tidaklah mereka perhatikan, untuk dijadikan pengajaran, betapa kurun demi kurun yang telah lalu, atau menurut bahasa sekarang generasi demi generasi, zaman demi zaman, angkatan demi angkatan yang telah berganti datang berganti pergi. Ada dalam kalangan kaum yang telah lalu itu tidak mau menerima, mereka berpaling dari petunjuk yang dibawakan oleh rasul-rasul. Seperti kaum Ad, kaum Tsamud, penduduk Madyan, negeri Sadum dan Gamurah, semuanya telah habis dibinasakan Allah SWT, dihancurkan sehingga yang tinggal hanya bekas. “Yang mereka telah berjalan pada tempat-tempat tinggal mereka." Yaitu bahwa kaum yang mendustakan sekarang selalu berjalan melalui bekas-bekas negeri yang telah musnah karena menantang seruan nabi-nabi Allah itu. Karena bekas-bekas runtuhan negeri itu terdapat di tempat-tempat yang dapat dijalani manusia, dalam perhubungan jalan dari Hejaz ke Syam atau dari Hejaz ke sebelah Yaman dan Hadramaut.
“Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar jadi tanda-tanda" yang membuktikan bahwa Allah ﷻ pun dapat berbuat demikian pula terhadap mereka, kalau mereka masih terus-menerus saja menantang kebenaran.
“Apakah mereka tidak mendengar?"
Apakah tidak sampai kepada mereka berita itu, apakah mereka tidak juga mau men-dengarkan pelajaran dan peringatan yang disampaikan kepada mereka?
Ayat 27
“Dan apakah tidak mereka lihat bahwa Kami mencurahkan air ke bumi tandus, lalu Kami tumbuhkan dengan dia tanam-tanaman."
Bumi yang tandus atau kering menjadi subur setelah Allah mencurahkan air hujan dari langit, maka bumi yang tandus itu pun menjadi suburlah sehingga tidak lama kemudian tumbuhlah tanam-tanaman berbagai ragam. “Yang darinyalah makan ternak-ternak mereka dan diri mereka sendiri." Sayur-mayur dimakan oleh manusia, rumput-rumputan dimakan oleh binatang-binatang ternak, namun yang jadi sebab tumbuhnya ialah karena hujan yang curah dari langit.
“Apakah mereka tidak melihat?"
Padahal hal itu bisa saja kejadian sewaktu-waktu dan di mana-mana.
Ayat 28
“Dan mereka berkata, “Bilakah kemenangan itu? Jika memang kamu orang-orang yang benar?"
Sebagai orang yang teguh aqidah, teguh iman dan keyakinan, Rasulullah ﷺ dan orang-orang yang beriman beserta beliau sangat percaya bahwa kemenangan pasti akan dicapai. Mereka yakin demikian itu iaiah karena apa yang mereka perjuangkan adalah benar, padahal yang dipertahankan oleh pihak musyrikin adalah batil. Oleh sebab itu. walaupun di saat kelihatan masih lemah, masih golongan kecil di Mekah dan jahiliyah masih sangat berpengaruh, mereka tetap percaya, bahwa akan tiba saatnya mereka pasti menang. Orang-orang musyrikin itu hanya tertawa mencemooh. Tidak makan di akal mereka, bahwa pihak Islam akan menang, sebab mereka tidak memegang kekuasaan. Sebab itulah mereka bertanya, “Bilakah kemenangan itu, jika memang kamu orang-orang benar, bukan orang yang hanya berkhayat."
Mereka tidak menampak tanda-tanda Islam akan menang itu. Muhammad ﷺ dan pengikutnya lemah, miskin, terdiri dari orang-orang kecil yang tidak berpengaruh.
Ayat 29
“Katakanlah, — hai Rasul Kami — “Pada hari kemenangan itu tidaklah bermanfaat bagi orang-orang yang kafir itu iman mereka."
Apa faedahnya lagi kalau pada masa itu menyatakan iman. Kalau hendak beriman, berimanlah sekarang, agar sama-sama merasakan nikmat kemenangan itu. jangan hanya berdiri di tepi jalan, atau dilanda dan disapu oleh kemenangan Islam.
“Dan tidaklah mereka akan diberi tangguh."
Baik kemenangan yang pertama di dunia, karena itu pun pasti datang, atau kemenangan kelak di akhirat. Kejahatan dan kedurhakaan mereka sudah pasti beroleh pem-balasan.
Ayat 30
“Maka berpalinglah engkau dari mereka."
Artinya janganlah diladeni lagi segala sanggahan dan bangkangan yang tidak ber-ketentuan dari kaum musyrikin itu, dan teruskanlah kewajiban engkau menyampaikan dak-wah, melakukan seruan memberi peringatan dan ancaman kepada yang durhaka dan memberikan berita gembira untuk yang percaya. “Dan tunggulah." Yaitu tunggulah hasil dari usaha engkau itu karena usaha itu pasti berhasil dan kemenangan yang ditunggu-tunggu itu pasti akan datang.
“Sesungguhnya mereka pun menunggu."
Engkau menunggu kemenangan dan pertolongan Allah ﷻ yang pasti datang, sebab agama ini tidak akan dapat mereka tahan-tahan lagi kemajuannya dan orang akan berbondong-bondong masuk ke dalamnya. Sedang mereka menunggu pula, yaitu menunggu kekalahan demi kekalahan, sampai daerah tempat berkisar mereka kian lama kian sempit dan akhirnya pasti habis.
Selesai Tafsir Surah as-Sajdah. Alhamdulillah.