Ayat
Terjemahan Per Kata
ظَهَرَ
telah nampak
ٱلۡفَسَادُ
kerusakan
فِي
di
ٱلۡبَرِّ
darat
وَٱلۡبَحۡرِ
dan di laut
بِمَا
dengan apa/sebab
كَسَبَتۡ
perbuatan
أَيۡدِي
tangan-tangan
ٱلنَّاسِ
manusia
لِيُذِيقَهُم
untuk Dia merasakan kepada mereka
بَعۡضَ
sebagian
ٱلَّذِي
yang
عَمِلُواْ
mereka perbuat
لَعَلَّهُمۡ
agar mereka
يَرۡجِعُونَ
mereka kembali
ظَهَرَ
telah nampak
ٱلۡفَسَادُ
kerusakan
فِي
di
ٱلۡبَرِّ
darat
وَٱلۡبَحۡرِ
dan di laut
بِمَا
dengan apa/sebab
كَسَبَتۡ
perbuatan
أَيۡدِي
tangan-tangan
ٱلنَّاسِ
manusia
لِيُذِيقَهُم
untuk Dia merasakan kepada mereka
بَعۡضَ
sebagian
ٱلَّذِي
yang
عَمِلُواْ
mereka perbuat
لَعَلَّهُمۡ
agar mereka
يَرۡجِعُونَ
mereka kembali
Terjemahan
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar).
Tafsir
(Telah tampak kerusakan di darat) disebabkan terhentinya hujan dan menipisnya tumbuh-tumbuhan (dan di laut) maksudnya di negeri-negeri yang banyak sungainya menjadi kering (disebabkan perbuatan tangan manusia) berupa perbuatan-perbuatan maksiat (supaya Allah merasakan kepada mereka) dapat dibaca liyudziiqahum dan linudziiqahum; kalau dibaca linudziiqahum artinya supaya Kami merasakan kepada mereka (sebagian dari akibat perbuatan mereka) sebagai hukumannya (agar mereka kembali) supaya mereka bertobat dari perbuatan-perbuatan maksiat.
Tafsir Surat Ar-Rum: 41-42
Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). (Ar-Rum: 41-42)
Ayat 41
Ibnu Abbas, Ikrimah, Adh-Dhahhak, As-Suddi serta lain-lainnya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah al-barr dalam ayat ini ialah padang sahara, dan yang dimaksud dengan istilah bahr dalam ayat ini ialah kota-kota besar dan semua kota lainnya.
Menurut riwayat lain dari Ibnu Abbas dan Ikrimah, al-bahr artinya negeri-negeri dan kota-kota yang terletak di pinggir sungai. Ulama lainnya mengatakan, yang dimaksud dengan al-barr ialah daratan seperti yang kita kenal ini, dan yang dimaksud dengan al-bahr ialah lautan. Zaid ibnu Rafi' mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah tampak kerusakan. (Ar-Rum: 41) Yakni dengan terputusnya hujan yang tidak menyirami bumi, akhirnya timbullah paceklik; sedangkan yang dimaksud dengan al-bahr ialah hewan-hewan bumi.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim. Ibnu Abi Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Yazid ibnul Muqri, dari Sufyan, dari Hamid ibnu Qais Al-A'raj, dari Mujahid sehubungan dengan makna firman-Nya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut. (Ar-Rum: 41) Bahwa yang dimaksud dengan rusaknya daratan ialah terbunuhnya banyak manusia, dan yang dimaksud dengan rusaknya lautan ialah banyaknya perahu (kapal laut) yang dirampok.
Menurut ‘Atha’Al-Khurrasani, yang dimaksud dengan daratan ialah kota-kota dan kampung-kampung yang ada padanya, dan yang dimaksud dengan lautan ialah pulau-pulaunya. Pendapat pertama merupakan pendapat yang lebih kuat dan didukung oleh kebanyakan ulama, serta diperkuat oleh apa yang dikatakan oleh Muhammad ibnu Ishaq di dalam kitab Sirah-nya yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah mengadakan perjanjian perdamaian dengan Raja Ailah dan menetapkan jizyah atas bahr-nya, yakni negerinya. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Ar-Rum: 41) Yaitu dengan berkurangnya hasil tanam-tanaman dan buah-buahan karena banyak perbuatan maksiat yang dikerjakan oleh para penghuninya.
Abul Aliyah mengatakan bahwa barangsiapa yang berbuat durhaka kepada Allah di bumi, berarti dia telah berbuat kerusakan di bumi, karena terpeliharanya kelestarian bumi dan langit adalah dengan ketaatan. Karena itu, disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud yang bunyinya: Sesungguhnya suatu hukuman had yang ditegakkan di bumi lebih disukai oleh para penghuninya daripada mereka mendapat hujan selama empat puluh hari.
Dikatakan demikian karena bila hukuman-hukuman had ditegakkan, maka semua orang atau sebagian besar dari mereka atau banyak dari kalangan mereka yang menahan diri dari perbuatan maksiat dan perbuatan-perbuatan yang diharamkan. Apabila perbuatan-perbuatan maksiat ditinggalkan, maka hal itu menjadi penyebab turunnya berkah dari langit dan juga dari bumi. Oleh sebab itulah kelak di akhir zaman bila Isa putra Maryam ‘alaihissalaam diturunkan dari langit, ia langsung menerapkan hukum syariat yang suci ini (syariat Islam), antara lain membunuh semua babi, semua salib ia pecahkan, dan jizyah (upeti) ia hapuskan. Maka tidak diterima lagi upeti, melainkan Islam atau perang.
Dan bila di masanya Allah telah membinasakan Dajjal beserta para pengikutnya, juga Ya'juj dan Ma'juj telah dimusnahkan, maka dikatakan kepada bumi, "Keluarkanlah semua berkah (kebaikan)mu!" Sehingga sebuah delima dapat dimakan oleh sekelompok orang, dan kulitnya dapat mereka pakai untuk berteduh. Hasil perahan seekor sapi perah dapat mencukupi kebutuhan minum sejumlah orang. Hal itu tiada lain berkat dilaksanakannya syariat Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam Manakala keadilan ditegakkan, maka berkah dan kebaikan akan banyak di dapat. Karena itulah disebutkan di dalam kitab Sahihain melalui salah satu hadisnya yang mengatakan, "Apabila seorang pendurhaka mati, maka merasa gembiralah semua hamba, negeri, pepohonan, dan hewan-hewan dengan kematiannya itu." Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad dan Al-Husain.
Keduanya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Auf, dari Abu Mikhdam, bahwa pernah ada seorang lelaki di masa Ziad atau Ibnu Ziad menemukan sebuah kantung berisikan biji-bijian, yakni biji jewawut yang besarnya seperti biji buah kurma setiap bijinya, tertuliskan padanya kalimat berikut, "Ini adalah hasil tanaman di suatu masa yang ditegakkan padanya prinsip keadilan." Malik telah meriwayatkan dari Zaid ibnu Aslam, bahwa yang dimaksud dengan kerusakan dalam ayat ini ialah kemusyrikan, tetapi pendapat ini masih perlu diteliti lagi.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka. (Ar-Rum: 41) Maksudnya, agar Allah menguji mereka dengan berkurangnya harta dan jiwa serta hasil buah-buahan, sebagai suatu kehendak dari Allah buat mereka dan sekaligus sebagai balasan bagi perbuatan mereka. agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (Ar-Rum: 41) Yakni agar mereka tidak lagi mengerjakan perbuatan-perbuatan maksiat, sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain melalui firman-Nya: Dan Kami coba mereka dengan (nikmat) yang baik-baik dan (bencana) yang buruk-buruk, agar mereka kembali (kepada kebenaran). (Al-A'raf: 168)
Ayat 42
Kemudian Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman dalam ayat selanjutnya: Katakanlah, "Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang dahulu. (Ar-Rum: 42) Yaitu orang-orang dahulu sebelum kalian. Kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah). (Ar-Rum: 42) Maka lihatlah apa yang telah menimpa mereka disebabkan mendustakan para rasul dan mengingkari nikmat-nikmat Allah.".
Bila pada ayat-ayat sebelumnya Allah menjelaskan sifat buruk orang musyrik Mekah yang menuhankan hawa nafsu, melalui ayat ini Allah menegaskan bahwa kerusakan di bumi adalah akibat mempertuhankan hawa nafsu. Telah tampak kerusakan di darat dan di laut, baik kota maupun desa, disebabkan karena perbuatan tangan manusia yang dikendalikan oleh hawa nafsu dan jauh dari tuntunan fitrah. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan buruk mereka agar mereka kembali ke jalan yang benar dengan menjaga kesesuaian perilakunya dengan fitrahnya. 42. Perbuatan buruk manusia akan mendatangkan azab sebagaimana azab yang telah menimpa umat-umat terdahulu. Azab itu juga akan datang kepada umat-umat di masa sekarang maupun yang akan datang sebagai sunatullah jika mereka memiliki karakter yang sama. Karena itu, katakanlah, wahai Nabi Muhammad, kepada siapa saja yang meragukan hakikat ini, 'Bepergianlah di muka bumi, di mana saja yang bisa kamu jangkau, lalu lihatlah bagaimana kesudahan orang-orang dahulu yang dihancurkan akibat perilaku buruk mereka. Itu semua karena kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang mempersekutukan Allah dan menuhankan hawa nafsu. '.
Dalam ayat ini diterangkan bahwa telah terjadi al-fasad di daratan dan lautan. Al-Fasad adalah segala bentuk pelanggaran atas sistem atau hukum yang dibuat Allah, yang diterjemahkan dengan "perusakan". Perusakan itu bisa berupa pencemaran alam sehingga tidak layak lagi didiami, atau bahkan penghancuran alam sehingga tidak bisa lagi dimanfaatkan. Di daratan, misalnya, hancurnya flora dan fauna, dan di laut seperti rusaknya biota laut. Juga termasuk al-fasad adalah perampokan, perompakan, pembunuhan, pemberontakan, dan sebagainya.
Perusakan itu terjadi akibat prilaku manusia, misalnya eksploitasi alam yang berlebihan, peperangan, percobaan senjata, dan sebagainya. Prilaku itu tidak mungkin dilakukan orang yang beriman dengan keimanan yang sesungguhnya karena ia tahu bahwa semua perbuatannya akan dipertanggungjawabkan nanti di depan Allah.
Dalam ayat ini, Allah menegaskan bahwa tidak seluruh akibat buruk perusakan alam itu dirasakan oleh manusia, tetapi sebagiannya saja. Sebagian akibat buruk lainnya telah diatasi Allah, di antaranya dengan menyediakan sistem dalam alam yang dapat menetralisir atau memulihkan kerusakan alam. Hal ini berarti bahwa Allah sayang kepada manusia. Seandainya Allah tidak sayang kepada manusia, dan tidak menyediakan sistem alam untuk memulihkan kerusakannya, maka pastilah manusia akan merasakan seluruh akibat perbuatan jahatnya. Seluruh alam ini akan rusak dan manusia tidak akan bisa lagi menghuni dan memanfaatkannya, sehingga mereka pun akan hancur. Allah berfirman:
Dan sekiranya Allah menghukum manusia disebabkan apa yang telah mereka perbuat, niscaya Dia tidak akan menyisakan satu pun makhluk bergerak yang bernyawa di bumi ini, tetapi Dia menangguhkan (hukuman)-nya, sampai waktu yang sudah ditentukan. Nanti apabila ajal mereka tiba, maka Allah Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya. (al-Fathir/35: 45)
Dengan penimpaan kepada mereka sebagian akibat perusakan alam yang mereka lakukan, Allah berharap manusia akan sadar. Mereka tidak lagi merusak alam, tetapi memeliharanya. Mereka tidak lagi melanggar ekosistem yang dibuat Allah, tetapi mematuhinya. Mereka juga tidak lagi mengingkari dan menyekutukan Allah, tetapi mengimani-Nya. Memang kemusyrikan itu suatu perbuatan dosa yang luar biasa besarnya dan hebat dampaknya sehingga sulit sekali dipertanggungjawabkan oleh pelakunya. Bahkan sulit dipanggul oleh alam, sebagaimana dinyatakan firman-Nya:
Hampir saja langit pecah, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh, (karena ucapan itu). (Maryam/19: 90)
Seluruh langit dan bumi adalah satu sistem yang bersatu di bawah perintah Allah. Sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur'an bahwa semua yang ada dalam sistem ini diberikan untuk kepentingan hidup manusia, yang dilanjutkan dengan suatu peringatan spiritual untuk tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain.
Sebagai khalifah, manusia harus mengikuti dan mematuhi semua hukum Allah, termasuk tidak melakukan kerusakan terhadap sumber daya alam yang ada. Mereka juga harus bertanggung jawab terhadap keberlanjutan kehidupan di bumi ini. Bumi ditundukkan Allah untuk menjadi tempat kediaman manusia. Akan tetapi, alih-alih bersyukur, manusia malah menjadi makhluk yang paling banyak merusak keseimbangan alam. Contoh yang merupakan peristiwa-peristiwa alam yang terjadi di tanah air karena ulah manusia adalah kebakaran hutan dan banjir.
Dengan ditunjuknya manusia sebagai khalifah, di samping memperoleh hak untuk menggunakan apa yang ada di bumi, mereka juga memikul tanggung jawab yang berat dalam mengelolanya. Dari sini terlihat pandangan Islam bahwa bumi memang diperuntukkan bagi manusia. Namun demikian, manusia tidak boleh memperlakukan bumi semaunya sendiri. Hal ini ditunjukkan oleh kata-kata bumi (453 kali) yang lebih banyak disebutkan dalam Al-Qur'an daripada langit atau surga (320 kali). Hal ini memberi kesan kuat tentang kebaikan dan kesucian bumi. Debu dapat menggantikan air dalam bersuci. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
Bumi diciptakan untukku sebagai masjid dan sebagai alat untuk bersuci. (Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Ada semacam kesakralan dan kesucian dari bumi, sehingga merupakan tempat yang baik untuk memuja Tuhan, baik dalam upacara formal maupun dalam perikehidupan sehari-hari.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TEGAKKANLAH WAJAH KEPADA AGAMA
Ayat 30
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama, dalam keadaan lurus “
Tegakkanlah wajahmu, artinya berjalanlah tetap di atas jalan agama yang telah dijadikan syari'at oleh Allah ﷻ untuk engkau. Agama itu adalah agama yang disebut hanif, yang sama artinya dengan al-Mustaqim, yaitu lurus. Tidak membelok ke kiri kanan. Hanif ini pulalah yang disebut untuk agama Nabi Ibrahim. Bahkan dijelaskan bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad ﷺ sekarang ini ialah agama hanif itu atau ash-Shirathal Mustaqim itu, sesudah banyak diselewengkan atau dibelokkan dari tujuan semula oleh anak cucunya. Baik anak cucu yang keturunan Bani Israil, atau anak cucu dari keturunan Bani Isma'il.
Yang keturunan dari pihak Bani Israil menyelewengkan agama Ibrahim itu jadi agama keluarga, lalu mereka beri nama Yahudi, dibangsakan kepada anak tertua dari Ya'qub yang bernama Yahuda. Nama Ya'qub di waktu kecil ialah Israil.
Kemudian itu keturunan selanjutnya dari Bani Israil menyelewengkan pula dengan memasukkan ajaran mitos agama-agama kuno trimurti atau trinitas ke dalam agama, lalu mereka katakan bahwa Tuhan itu adalah tiga dalam yang satu dan satu dalam yang tiga, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah ruh Suci.
Keturunan dari Bani Isma'il menyelewengkan pula. Ibrahim mendirikan Ka'bah sebagai rumah pertama di dunia ini yang diuntukkan bagi menyembah Allah Yang Maha Esa. Namun lama-kelamaan oleh anak cucu Ibrahim dari turunan Isma'il, yang menjadi bangsa Arab, tidak lagi mereka sembah langsung Allah Yang Maha Esa, melainkan mereka sembah berhala-berhala. Mulanya dua tiga berhala, berangsur empat dan lima berhala, kemudian jadi berpuluh berhala. Akhirnya setelah Nabi Muhammad ﷺ datang, didapati mereka itu telah menyembah 360 berhala. Sebagian besar mereka dirikan pada dinding-dinding Ka'bah itu. Bahkan dalam Ka'bah sendiri didapati berhala Maryam sedang memangku Isa al-Masih di waktu masih sarat menyusu. Semuanya itu jadi bukti, bahwa jalan telah banyak dialih orang yang datang kemudian, disadari ataupun tidak. Oleh sebab itu, tegakkanlah mukamu, ya Rasul-Ku, kepada agama ini, agama yang lurus! “Fitrah yang telah Dia fitrahkan manusia atasnya." Artinya lazimilah atau tetaplah pelihara fitrahmu sendiri, yaitu rasa asli murni dalam jiwamu sendiri yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu mengakui adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Maharaya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah, dan elok.
“Sekali-kali tidaklah ada pergantian pada ciptaan Allah." Artinya bahwa Allah ﷻ telah menentukan demikian. Yaitu kepercayaan atas adanya Yang Mahakuasa adalah fitri dalam jiwa dan akal manusia. Itu tidak dapat diganti dengan yang lain. Pada pokoknya seluruh manusia, tidak pandang kedudukan, tidak pandang bangsa dan iklim tempat dilahirkan, benua tempat dia berdiam, namun mereka dilahirkan ke dunia adalah atas keadaan yang demikian itu.
“Itulah agama yang lurus." Atau itulah agama yang bernilai tinggi. Berharga buat direnungkan. Yaitu berpegang teguh dengan syari'at yang telah diatur oleh Allah ﷻ berdasar kepada fitrah yang bersih,
“Tetapi banyaklah manusia yang tidak mengetahui."
Tertutup bagi mereka jalan buat mengetahui hakikat yang benar itu. Adakalanya karena hawa nafsu, adakalanya karena segan melepaskan pegangan lama yang telah di-pusakai dari nenek moyang, adakalanya karena kesombongan karena merasa dilintasi.
Ayat 31
“Dalam keadaan pulang kembali kepada-Nya."
Karena kita ini pada hakikatnya adalah datang dari Dia. Sebab itu akan datang masa-nya kita kembali kepada-Nya.
Yang perlu ialah kesadaran bahwa kita adalah dalam perjalanan pulang. Yang men-celakakan kita ialah kalau kita tidak sadar, bahwa kita dalam perjalanan kembali. Apabila gelora hawa nafsu masih belum tertahankan juga, an-Nafsul Lawwamah dan an-NafsuI Ammarah belum teratasi, jalan buat kembali belumlah kita sadari. Tetapi bilamana telah banyak pengalaman pahit dalam hidup, kegagalan dan kejayaan, gembira bergantian dengan ratap tangis, tercapailah an-Nafsul Muthma'innah, di waktu itulah akan terdengar panggilan Allah ﷻ
“Dan takwalah." Artinya takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT, menuntut ridha-Nya, mengharapkan kasih-Nya, menakuti siksa-Nya, dan ingat selalu kepada-Nya (dzikir) sehingga gerak-gerik hidup terpelihara dari gangguan musuh-musuh diri, yaitu hawa dan nafsu, dunia dan setan."Dan dirikanlah shalat." Karena shalat itulah tanda taat setia yang sejati.
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan."
Apabila shalat lima waktu telah dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dipahamkan dan dihayati, akan terhindar sendirilah seseorang dari mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ Sejak mengangkat takbir “Allahu Akbar" saja pun telah jelas tujuan hanya satu. Yang Mahabesar hanya Allah SWT, ke sana jiwa dihadapkan. Dan jika dihayati lagi permulaan al-Faatihah, yaitu “Alhamdulillah", segala apa jua pun pujian hanya teruntuk bagi Allah SWT, dan Dia yang Pengasih. Dia yang Penyayang dan hanya Dia yang akan menentukan pembalasan dan ganjaran di Hari Kemudian (Maliki yaumiddin), niscaya tidaklah orang akan jadi musyrik.
Lalu dijelaskan lagi siapakah dan apakah ciri-ciri dari orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
Ayat 32
“(Yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka beberapa golongan."
Pokok agama hanya satu, tidak dua. Kedatangan rasul-rasul membawa syari'at, sejak Nabi Nuh sampai nabi-nabi yang lain, sampai Nabi Muhammad ﷺ adalah membawa inti agama yang satu, yaitu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ﷻ Nabi datang silih berganti, namun seruan mereka hanya kepada jalan yang satu itu. Tetapi seketika datang Nabi Isa yang mengakui dengan tulus ikhlas bahwa kedatangan beliau adalah menggenapkan syari'at Nabi Musa, orang yang mengakui diri pengikut ajaran Musa menolak dia, bahkan menuduh bahwa kelahirannya ke dunia adalah dalam cara yang tidak halal.
Nabi Isa mengatakan pula bahwa sesudah dia kelak akan datang lagi nabi yang lain menyempurnakan ajaran itu, itulah Paraclit. Orang yang Terpuji. Demi setelah dia datang, umat yang mengaku pengikut Nabi Isa menuduhnya nabi palsu dan perusak. Dan yang mengikuti Nabi Musa tadi pun membenci dia, bahkan di kala hidupnya pernah bersekongkol hendak membunuh dia. Itulah contoh dari orang yang mempersekutukan Allah SWT, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama, lalu menjadi beberapa golongan. Kemudian dari golongan itu terpecah-pecah lagi menjadi beberapa golongan, sekte-sekte, kelompok-kelompok.
“Tiap-tiap kelompok dengan apa yang ada pada mereka merasa bangga."
Merasa diri benar sendiri dan orang lain salah belaka, dan tidak ada yang ingin mencari atau kembali kepada titik pertemuan, yaitu iman kepada Keesaan Allah ﷻ
***
(35)
Ayat 33
“Dan apabila suatu bahaya menyentuh manusia, mereka setulah Tuhan mereka, mereka kembali kepada-Nya."
Tegasnya ialah bilamana bahaya datang, mereka bergegas menyeru Allah ﷻ Waktu itu mereka ingat Allah ﷻ Waktu itu mereka benar-benar ingin kembali kepada Allah ﷻ Karena sudah terang dan nyata banyak soal dalam hidup ini yang tenaga manusia tidak dapat lagi mengatasinya.
“Kemudian apabila Atlah mengenyamkan rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan."
Mereka tidak ingat lagi, bahwa rahmat itu semata-mata datang dari Allah SWT, ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan pemimpinnya, bahwa pemimpin itulah yang berjasa. Ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan keris yang dia pakai atau dengan jimat bertuah pusaka nenek moyangnya, atau mereka puji hari dan tanggal. Kadang-kadang memuja benda lebih daripada semestinya.
Ayat 34
“Jadilah mereka kafir dengan apa yang didatangkan Allah kepada mereka."
Artinya dengan terang-terangan mereka memungkiri peranan ilahi dalam kenangan yang mereka dapati dan terlepasnya mereka dari bahaya. Seakan-akan Allah ﷻ tidak ada campur tangan dalam kebahagiaan yang dia capai. Dia bersuka ria menyambut kemenangan, tetapi Allah ﷻ mereka lupakan. Bahkan kerapkali kejadian bahwa dengan sebab rahmat Allah ﷻ yang mereka terima, mereka lupa sama sekali berterima kasih kepada Ilahi yang menurunkan rahmat “Ber-senang-senanglah kamu!" Sehingga lantaran bersenang-senang, gembira ria, kamu lupa bahwa keadaan berubah dan Allah ﷻ bisa saja mencabut kembali nikmat rahmat yang Dia berikan itu.
“Maka akan tahu sendirilah kamu “
Akan tahu sendirilah kamu bahaya lain yang akan menimpa kelak, yang kamu tidak pula akan sanggup mengatasi dan menyelesaikannya kalau tidak dengan pertolongan Allah ﷻ
Ayat 35
“Atau apakah pernah Kami menurunkan alasan kuat kepada mereka?"
Di dalam ayat disebutkan Sulthan, lalu kita tafsirkan dengan alasan kuat. Sulthan banyak artinya. Kadang-kadang artinya ialah penguasa atau kepala negara dan kadang-kadang diartikan juga dengan kekuatan atau dengan alasan yang kuat Kadang-kadang diartikan juga dengan keterangan yang cukup dan bisa diterima. Dalam ayat ini kita ambil arti alasan yang kuat Maka maksud pangkal ayat ini ialah bertanya, pernahkah Allah ﷻ menurunkan kepada mereka alasan atau perintah yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa Atlah ﷻ dapat dipersekutukan dengan yang lain? Pernahkah ada perintah dan keterangan dari Allah ﷻ bahwa Allah ﷻ melimpahkan wewenang atau membagi kuasa dengan makhluk-Nya dalam menguasai alam ini?
“Lalu dia berkata dengan apa yang telah mereka pensekutukan itu."
Artinya, bahwa Sulthan atau alasan kuat itulah yang berkata, tegasnya lagi memberikan keterangan bahwa pekerjaan mereka itu adalah benar.
Tentu saja pertanyaan ini adalah istifham inkari, yaitu pertanyaan yang mengandung sendiri arti bantahan. Bahwa Allah ﷻ tidak pernah menurunkan wahyu atau perintah bahwa selain dari Allah ﷻ patut disembah dan dipuja. Itu hanya karangan dan khayat manusia saja sebab kelam otaknya dari sinar kebenaran.
Ayat 36
“Dan apabila Kami berikan kepada manusia suatu rahmat, bergembiralah mereka dengan dia."
Ini pun suatu kritik kepada perangai kebanyakan manusia. Yaitu kalau rahmat datang, keuntungan tiba, mereka bergembira-ria. Saking gembiranya kadang-kadang dia lupa dari mana nikmat rahmat itu dia terima, dari mana sumber tempat datangnya
“Dan jika menimpa kepada mereka kesusahan, tersebab dari tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka pun putus asa."
Di saat kesusahan itu banyaklah orang yang putus asa. Kadang-kadang kita melihat kejadian itu serentak berdekatan. OKB (Orang Kaya Baru) menyelimpangkan kakinya di mobil yang mewah, dengan tangannya disangkutkannya di tempat berpegangan dalam mobil dengan megah dan sombongnya. Anak-anak dan istri nya duduk dengan pongah karena berenang di atas uang banyak, entah dari mana asal didapat. Mereka melayang menderu di atas jembatan. Sedang di bawah jembatan itu bergelimpangan tidur orang-orang yang telah putus asa dari hidup, yang telah tertutup pintu pencarian, urban (pindah dari desa ke kota) karena di desa pun hidup sudah sangat sulit. Mereka putus asa, yang laki-laki jadi pencopet pencuri kain jemuran. Yang perempuan siang tidur-tiduran, malam menjadi kupu-kupu ma-lam, menyebarkan penyakit sipilis.
Kekosongan jiwa dari yang terlompat ke atas mobil mewah dengan yang jatuh ter-sungkur ke bawah jembatan, sebenarnya sama saja.
Ayat 37
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Allah membentangkan rezeki untuk banangsiapayang Dia kehendaki dan mengagokkan".
Ini adalah tanda kekayaan dari Allah ﷻ itu sendiri. Allah ﷻ menentukan pemberian rezeki, dan rezeki itu bukanlah semata-mata kekayaan harta benda, bahkan terutama sekali pikiran, cita-cita, kecerdasan, dan seumpamanya. Ada orang yang terbentang lebar rezekinya, sebab itu ada orang yang berpikiran tinggi, bercita-cita besar, filsuf, pemimpin negara, pemimpin bangsa, jenderal memimpin peperangan. Sebaliknya ada orang yang bodoh, yang cita-citanya, hidupnya hanya sekadar mencari makan, prajurit yang dikerahkan dan mati di medan perang sebagai prajurit yang tidak dikenal. Ada orang bernasib baik jadi sultan, jadi presiden dan jadi menteri, ada pula yang hanya jadi sopir presiden, jadi tukang membersihkan kamar atau tukang rumput. Ada orang yang mendapat rezeki kekayaan berlimpah, tetapi ada yang hanya diagakkan saja, sekadar dapat makan, itu pun susah mencarinya.
“Sesungguhnya pada yang demikian adalah tanda-tanda bagi kaum yang beriman."
Pintar dan bodoh, jenderal dan prajurit, filsuf dan si goblok, kaya raya dan miskin papa, semuanya itu adalah tanda bahwa alam ini ada Yang Mengatur. Itulah Allah ﷻ Terdapatnya pertimbalan di antara dua yang berlawanan, yaitu di antara yang tinggi dengan yang rendah, adalah tanda Allah Mahasem-purna. Kalau Allah ﷻ hanya Mahakuasa menciptakan yang tinggi, sehingga tidak ada yang rendah, atau hanya Mahakuasa men-ciptakan yang besar-besar, sehingga tidak ada yang kecil, dan seterusnya dan seterusnya, di manakah kita akan dapat mengenal kekayaan Allah SWT? Tidaklah mungkin manusia sama rata kayanya, atau miskin melarat semua. Karena kalau demikian dapatlah dikatakan bahwa Allah ﷻ itu tidak kaya dan di dunia ini tidak ada perjuangan hidup dan berusaha.
Di ujung ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa jika Allah ﷻ membentangkan atau mengembangkan rezeki seluas-luasnya kepada setengah hamba-Nya dan yang setengahnya lagi dihinggakan terbatas, atau diagakkan, bahwa itu adalah salah satu dari tanda-tanda Kebesaran Ilahi juga. Kalau tidak ada begitu, maka tidaklah ada lagi di dunia ini persoalan yang dinamai perikemanusiaan.
Ayat 38
“Maka berikanlah kepada kaum kerabat akan haknya dan orang miskin dan anak perjalanan."
Disebut terlebih dahulu, atau diprioritaskan kaum kerabat, keluarga yang terdekat, hendaklah mereka terlebih dahulu ditolong. Sebelum menolong orang lain, tolonglah yang terdekat.
Lanjutan ayat ialah,
“Itulah yang baik bagi orang yang menghendaki wajah Allah." Yaitu kalau Allah ﷻ telah memberikan keluasan pada rezeki, sehingga telah mendapat kehidupan yang layak, janganlah lupa membantu dan menolong orang yang berkekurangan, karena Allah ﷻ Bukan karena mengharapkan dipuji orang, bukan beramal karena riya. Ingatlah bahwa kekayaan dan kelebihan yang ada padamu, adalah semata-mata anugerah dari Allah ﷻ Bersyukurlah atas nikmat itu dengan menolong orang lain.
“Dan itulah orang-orang yang beruntung."
Orang yang dermawan karena Allah SWT, adalah orang yang beruntung. Dia tidak dibenci orang karena bakhilnya. Malahan orang yang diberi bantuan akan mendoakannya, moga-moga diberi Allah ﷻ dia rezeki yang berlipat ganda. Tetapi orang kaya yang bakhil senantiasa akan diomeli dan diumpat orang, apa lagi orang kaya yang memberi tetapi selalu menyebut-nyebut pemberiannya.
Ayat 39
“Dan apa yang kamu berikan dari rtiba supaya dibungai pada harta benda manusia, maka tidaklah dia berbunga di sisi Allah ﷻ"
Arti riba sudah sama kita ketahui, yaitu meminjami orang harta dengan janji ketika membayar pinjaman itu diberinya bunganya, atau rente-nya. Riba yang demikian sudah nyata terlarang. Tetapi ada lagi semacam riba, tidak begini tidak terlarang, karena tidak dijadikan syarat. Yaitu kita memberikan pertolongan, baik tenaga, atau benda kepada orang lain, tetapi ada harapan tersembunyi, moga-moga kelak dibalasinya pula sebagai balas jasa, dengan balasan yang lebih besar. Maka bertalian dengan ayat 38 yang sebelumnya, diperingatkanlah kepada seseorang yang hendak menolong orang lain moga-moga kelak dia membalas jasa, membalas terima kasih dengan berlipat ganda; tidaklah baik. Maka arti ayat ini ialah jika kamu menolong orang lain dengan harapan moga-moga suatu waktu orang itu tidak lupa akan jasa kamu, moga-moga dia membalas, maka cara yang demikian itu kuranglah baiknya. Karena tidak selalu orang itu akan terkenang membalas jasa, atau akan sanggup membalas jasa. Misalnya menolong seorang miskin. Apa balasan yang akan diharap dari orang miskin? Apakah diharapkan, bahwa dia suka datang ke rumah untuk membersihkan pekarangan rumah kita? Alangkah rendahnya dasar cita ketika kita memberi kalau demikian halnya.
Sebab itu dalam ayat ditegaskan, kalau orang memberi pertolongan mengharapkan balas jasa dari orang itu, maka di sisi Allah ﷻ pertolongannya itu tidak akan diberi penghargaan.
“Tetapi apa yang kamu berikan dari zakat, yang kamu harapkan wajah Allah, maka itulah dia mereka yang melipatgandakan."
Tetapi jika kamu berbuat sebaliknya, yaitu kamu keluarkan hartamu berupa zakat, baik zakat wajib atau zakat tathawwu', timbul dari keikhlasan hati, karena zakat itu sendiri artinya ialah bersih, timbul dari hati yang bersih, membersihkan jiwa dari mengharapkan manusia, membersihkan harta dari hak yang wajib diterima oleh fakir miskin. Maka kalau harta itu dikeluarkan bersifat zakat, bukan mengharapkan balasan manusia, melainkan mengharap wajah Allah SWT, dijelaskanlah di ujung ayat bahwa orang yang berbuat demikian itu telah memperlipatgandakan hartanya itu. Dia telah kaya. Rezeki yang diberikan Allah ﷻ itu telah diperbuatnya bernilai tinggi sekali. Karena harta benda yang dipergunakan untuk meratakan jalan Allah SWT, adalah harta yang bernilai sangat tinggi. Dan pahala di sisi Allah ﷻ pun akan diterimanya pula berlipat ganda.
Ayat 40
“Allah-lah yang telah menciptakan kamu."
Menciptakan kamu dari tanah, kemudian menjadi manusia yang bertebaran di muka bumi, seperti tersebut pada ayat 20 yang telah lalu. “Kemudian itu memberimu rezeki, “sebagai jaminan hidup, selama kamu masih hidup di atas dunia ini." Kemudian itu mematikan kamu, apabila ajalmu telah sampai. “Kemudian itu menghidupkan kamu," dengan datangnya panggilan kepada kamu yang disebut hari Kiamat. Kiamat artinya kebangkitan.
“Apakah dari apa-apa yang kamu persekutukan itu yang berbuat semacam yang demikian itu agak secuil?" Adakah berhala yang kamu sembah itu yang sanggup membuat manusia? Adakah kuburan yang kamu puja itu yang sanggup memberimu rezeki? Adakah barang yang kamu anggap sakti itu yang sanggup memberimu hidup atau menentukan ajal-mu? Jika kamu kelak dibangunkan kembali di hari Kiamat, ikut sertakah yang kamu puja itu membangunkan kamu kembali?
“Mahasuci Dia dan Mahaagung, dari apa yang kamu pensekutukan itu."
Satu tantangan yang tegas sekali terhadap orang-orang yang memperbodoh dan mem-perhina diri sendiri dengan mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
***
Ayat 41
“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab buatan tangan manusia."
Allah ﷻ telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi Khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Allah ﷻ Banyaklah rahasia kebesaran dan kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia karena usaha manusia. Sebab itu maka menjadi khalifah hendaklah menjadi Mushiih, berarti suka memperbaiki dan memperindah.
Janganlah kita terpesona melihat berdirinya bangunan-bangunan raksasa, jembatan-jembatan panjang, gedung-gedung bertingkat menjulang langit, menara Eiffel, sampainya manusia ke bulan di penggal kedua dari abad kedua puluh ini. Janganlah dikatakan bahwa itu pembangunan, kalau kiranya jiwa bertambah jauh dari Allah ﷻ Terasa dan dikeluhkan oleh manusia seisi alam di zaman sekarang dalam kemajuan ilmu pengetahuan ini hidup mereka bertambah sengsara. Kemajuan teknik tidak membawa bahagia, melainkan cahaya. Perang selalu mengancam. Perikemanusiaan tinggal dalam sebutan lidah, namun niat jahat bertambah subur hendak menghancurkan orang lain.
Di daratan memang telah maju pengangkutan, jarak dunia bertambah dekat. Namun hati bertambah jauh. Heran! Banyak orang membunuh diri karena bosan dengan hidup yang serba mewah dan serba mudah ini. Banyak orang yang dapat sakit jiwa. Tepat sambungan ayat, “Supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan “ Dalam sambungan ayat ini terang sekali, bahwa tidaklah semua pekerjaan manusia jahat, bahkan hanya setengah. Seumpama kemajuan kecepatan kapal udara; yang setengah ada faedahnya bagi manusia, sehingga mudah berhubungan. Tetapi yang setengahnya lagi kapal udara itu telah digunakan untuk melemparkan bom, bahkan bom atom, bom hidrogen dan senjata-senjata nuklir.
Kadang-kadang termenung kagum kita memikirkan ayat ini. Sebab dia dapat saja di-tafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. Ahli-ahli pikir yang memikirkan apa yang akan terjadi kelak, ilmu yang diberi nama futurologi, yang berarti pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan yang sekarang. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi di darat karena bekas buatan manusia ialah apa yang mereka namai polusi, yang berarti pe-ngotoran udara, akibat asap dari zat-zat pem-bakar, minyak tanah, bensin, solar, dan se-bagainya. Bagaimana bahaya dari asap pabrik-pabrik yang besar-besar bersama dengan asap mobil dan kendaraan bermotor yang jadi kendaraan orang ke mana-mana. Udara yang telah kotor itu diisap tiap saat sehingga paru-paru manusia penuh dengan kotoran.
Kemudian diperhitungkan orang pula kerusakan yang timbul di lautan. Air laut yang rusak karena kapal tangki yang besar-besar membawa minyak tanah atau bensin pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabrik kimia yang mengalir melalui sungai-sungai menuju lautan, kian lama kian banyak. Hingga air laut penuh racun dan ikan-ikan jadi mati. Pernah Sungai Seine di Eropa mengempaskan bangkai seluruh ikan yang hidup dalam air itu, terdampar ke tepi sungai jadi membusuk, tidak bisa dimakan. Demikian pula pernah beratus ribu, berjuta ikan mati terdampar ke tepi Pantai Selat Teberau di antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura. Besar kemungkinan bahwa ikan-ikan itu keracunan.
Di ujung ayat disampaikan seruan agar manusia berpikir,
“Mudah-mudahan mereka kembali."
Arti kembali itu tentu sangat dalam. Bukan maksudnya mengembalikan jarum sejarah ke belakang. Melainkan kembali menilik diri dari mengoreksi niat, kembali memperbaiki hubungan dengan Allah ﷻ Jangan hanya ingat akan keuntungan diri sendiri, lalu me-rugikan orang lain. Jangan hanya ingat laba sebentar dengan merugikan bersama, tegasnya dengan meninggalkan kerusakan di muka bumi. Dengan ujung ayat mudah-mudahan, di-tampakkanlah bahwa harapan belum putus.
Ayat 42
“Katakanlah! Mengembaralah di bumi, maka perhatikanlah betapa adanya akibat orang-orang yang terdahulu."
Di sinilah timbul pepatah Minang, “Melihat tuah pada yang menang, melihat celaka pada yang kalah." Bahwasanya sejarah jalan hidup manusia itu adalah sama. Barang mana pun manusia yang sanggup memikul tanggung jawab menjadi Khalifah Allah di muka bumi, bertemulah bekas peninggalan mereka yang baik-baik, akan jadi kenangan dan suri teladan bagi anak cucu. Tetapi barangsiapa yang melalaikan tugasnya, lalu bekas buruk yang mereka tinggalkan, maka akan jelas pulalah bekas yang buruk itu. Umat yang datang kemudian tidak pula akan berubah dari demikian, karena manusia tetaplah manusia dahulu dan sekarang dan nanti.
“Adalah kebanyakan mereka itu musyrik"
Yang berarti bahwa selama mereka itu masih mengingat Allah SWT, masih bertuhan satu, tidaklah mereka akan ditimpa keruntuhan sehancur itu.
Sesudah itu sekali lagi Allah ﷻ berpesan kepada Rasul-Nya,
Ayat 43
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus."
Di samping Rasul ﷺ disuruh menyampaikan dakwah yang tegas kepada kaumnya dan umat manusia seluruhnya, Allah ﷻ pun memperingatkan kembali supaya dia selalu memperkuat diri, membuat pribadi sendiri jadi teguh dan tabah. Jalannya ialah dengan selalu menegakkan wajah kepada agama yang lurus, agama Islam. Penyerahan diri yang bulat-bulat semata kepada Allah ﷻ"Sebelum bahwa datang hari yang tidak dapat menolaknya dari Allah." Hari yang tidak dapat menolaknya jika Allah ﷻ telah menentukan adalah dua, pertama untuk diri sendiri, kedua untuk alam seluruhnya. Yang bagi diri ialah maut. Maka sampai nyawa bercerai dengan badan janganlah lelah dari muraaqabah, yaitu selalu menegakkan muka dengan penuh kesadaran meneguhkan iman dalam agama itu, jangan dipalingkan muka kepada yang lain, agar mati dalam husnul khatimah.
Yang kedua, ialah bila Kiamat datang. Jika hari itu datang dan dia pun pasti sepasti mati bagi tiap orang, tidaklah dunia ini dapat dielakkan dari saat itu. Bumi ini hanya laksana sebutir pasir kecil saja di samping berjuta bintang di ruang angkasa. Semua kecil di hadapan Allah ﷻ
"Di hari itu mereka akan bercerai-berai." Masing-masing orang akan dibawa untungnya masing-masing menurut timbangan amalnya di dunia. Bercerai-berai, yang masuk surga dan yang masuk neraka. Walaupun ayah dengan anak, suami dengan istri dan keluarga dekat dan jauh, berpisah dibawa untung. Kalau nasib baik, masuk juga ke dalam surga bersama-sama, di sanalah baru bertemu.
Ayat 44
“Barangsiapa yang kafir, maka atasnyalah kafirnya."
Artinya bahwa barangsiapa yang kafir, akibat dari kekafirannya itu akan ditanggung-nya sendiri.
“Dan barangsiapa yang beramal yang saleh, maka mereka telah menyiapkan jalan bagi diri mereka sendiri."
Jelas sekali maksud ayat ini, yaitu bilamana seseorang mengerjakan amalan yang saleh ketika hidup di dunia ini, berarti mereka telah menyiapkan sendiri jalan yang akan ditempuhnya di akhirat kelak, yaitu jalan bahagia, jalan masuk ke dalam surga.
Ayat 45
“Karena itu, “yaitu Allah, “Akan memberikan ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh-saleh dari karunia-Nya."
Kemudian itu sebaliknya,
“Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang kufur."