Ayat
Terjemahan Per Kata
وَمَآ
dan apa
ءَاتَيۡتُم
yang kamu berikan
مِّن
dari
رِّبٗا
riba
لِّيَرۡبُوَاْ
untuk menambah
فِيٓ
pada
أَمۡوَٰلِ
harta
ٱلنَّاسِ
manusia
فَلَا
maka tidak
يَرۡبُواْ
ia menambah
عِندَ
pada sisi
ٱللَّهِۖ
Allah
وَمَآ
dan apa
ءَاتَيۡتُم
yang kamu berikan
مِّن
dari
زَكَوٰةٖ
zakat
تُرِيدُونَ
kamu menghendaki
وَجۡهَ
wajah/keridaan
ٱللَّهِ
Allah
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡمُضۡعِفُونَ
orang-orang yang melipat-gandakan
وَمَآ
dan apa
ءَاتَيۡتُم
yang kamu berikan
مِّن
dari
رِّبٗا
riba
لِّيَرۡبُوَاْ
untuk menambah
فِيٓ
pada
أَمۡوَٰلِ
harta
ٱلنَّاسِ
manusia
فَلَا
maka tidak
يَرۡبُواْ
ia menambah
عِندَ
pada sisi
ٱللَّهِۖ
Allah
وَمَآ
dan apa
ءَاتَيۡتُم
yang kamu berikan
مِّن
dari
زَكَوٰةٖ
zakat
تُرِيدُونَ
kamu menghendaki
وَجۡهَ
wajah/keridaan
ٱللَّهِ
Allah
فَأُوْلَٰٓئِكَ
maka mereka itu
هُمُ
mereka
ٱلۡمُضۡعِفُونَ
orang-orang yang melipat-gandakan
Terjemahan
Riba yang kamu berikan agar berkembang pada harta orang lain, tidaklah berkembang dalam pandangan Allah. Adapun zakat yang kamu berikan dengan maksud memperoleh keridaan Allah, (berarti) merekalah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya).
Tafsir
(Dan sesuatu riba atau tambahan yang kalian berikan) umpamanya sesuatu yang diberikan atau dihadiahkan kepada orang lain supaya orang lain memberi kepadanya balasan yang lebih banyak dari apa yang telah ia berikan; pengertian sesuatu dalam ayat ini dinamakan tambahan yang dimaksud dalam masalah muamalah (agar dia menambah pada harta manusia) yakni orang-orang yang memberi itu, lafal yarbuu artinya bertambah banyak (maka riba itu tidak menambah) tidak menambah banyak (di sisi Allah) yakni tidak ada pahalanya bagi orang-orang yang memberikannya. (Dan apa yang kalian berikan berupa zakat) yakni sedekah (untuk mencapai) melalui sedekah itu (keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan) pahalanya sesuai dengan apa yang mereka kehendaki. Di dalam ungkapan ini terkandung makna sindiran bagi orang-orang yang diajak bicara atau mukhathabin.
Tafsir Surat Ar-Rum: 38-40
Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah; dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki, kemudian mematikanmu, kemudian menghidupkanmu (kembali). Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? Mahasucilah Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan. (Ar-Rum: 38-40)
Ayat 38
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, memerintahkan (kepada kaum muslim) agar memberikan kepada kerabat terdekat mereka akan haknya, yakni berbuat baik dan menghubungkan silaturahmi, juga orang miskin. Yang dimaksud orang miskin ialah orang yang tidak mempunyai sesuatu pun untuk ia belanjakan buat dirinya; atau memiliki sesuatu, tetapi masih belum mencukupinya.
Juga kepada ibnu sabil, yaitu seorang musafir yang memerlukan biaya dan keperluan hidupnya dalam perjalanan, karena biayanya kehabisan di tengah jalan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah. (Ar-Rum: 38) Yang dimaksud dengan wajhullah ialah Zat Allah, yakni melihat Allah kelak di hari kiamat. Hal ini merupakan tujuan utama yang paling tinggi. dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. (Ar-Rum: 38) Yakni beruntung di dunia dan akhirat.
Ayat 39
Dalam firman selanjurnya disebutkan: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. (Ar-Rum: 39) Artinya, barangsiapa yang memberi orang lain dengan tujuan agar orang itu balas memberinya dengan lebih banyak daripada apa yang ia berikan kepadanya, maka perbuatan seperti ini tidak ada pahalanya di sisi Allah bagi orang yang bersangkutan. Demikianlah menurut tafsir yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, Adh-Dhahhak, Qatadah, Ikrimah, Muhammad ibnu Ka'b, dan Asy-Sya'bi.
Perbuatan seperti itu hukumnya boleh, sekalipun tidak ada pahalanya, hanya saja larangan ini hanya ditujukan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam secara khusus. Demikianlah menurut pendapat Adh-Dhahhak, ia mengatakan demikian dengan berdalilkan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (Al-Muddassir: 6) Yakni janganlah kamu menghadiahkan suatu pemberian dengan tujuan untuk mendapatkan yang lebih banyak daripada itu. Ibnu Abbas mengatakan bahwa riba itu ada dua macam: 1. Riba yang tidak dibenarkan, yaitu riba jual beli. 2. Riba yang tidak berdosa, yaitu seseorang yang menghadiahkan sesuatu dengan tujuan mendapat balasan hadiah yang lebih banyak.
Kemudian Ibnu Abbas membacakan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. (Ar-Rum: 39) Sesungguhnya pahala di sisi Allah itu hanyalah pahala zakat. Karena itu, disebutkan dalam firman selanjutnya: Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipatgandakan (pahalanya). (Ar-Rum: 39) Merekalah orang-orang yang dilipatgandakan pahalanya oleh Allah, sebagaimana yang disebutkan di dalam kitab sahih melalui sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: Tidaklah seseorang menyedekahkan sesuatu yang semisal dengan sebiji kurma dari hasil yang halal, melainkan Tuhan Yang Maha Pemurah menerimanya dengan tangan kanan-Nya, lalu mengembangkannya buat pemiliknya sebagaimana seseorang di antara kalian memelihara anak kudanya atau anak untanya, hingga sebiji kurma itu menjadi lebih besar daripada Bukit Uhud.
Ayat 40
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Allah-lah yang menciptakan kamu, kemudian memberimu rezeki. (Ar-Rum: 40) Yakni Dialah yang menciptakan dan yang memberi rezeki. Dia mengeluarkan bayi dari perut ibunya dalam keadaan telanjang, tidak berilmu, tidak mempunyai pendengaran, penglihatan, tidak pula kekuatan. Kemudian Dia memberinya rezeki kesemuanya itu, juga pakaian, perhiasan, harta benda, properti, dan usaha. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Ahmad: telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, telah menceritakan kepada kami Al-A'masy, dari Salam ibnu Syurahbil, dari Habbah dan Sawa (keduanya anak Khalid).
Mereka berdua mengatakan, "Kami masuk ke dalam rumah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam yang saat itu sedang membetulkan sesuatu, lalu kami membantunya. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: 'Janganlah kamu berputus asa dari mendapat rezeki selama kepalamu masih bisa bergoyang, karena sesungguhnya manusia itu dilahirkan oleh ibunya dalam keadaan berkulit merah tidak berlapiskan sesuatu apa pun, kemudian Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberinya rezeki'."
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: kemudian mematikanmu. (Ar-Rum: 40) Yaitu sesudah kehidupan ini. kemudian menghidupkanmu (kembali). (Ar-Rum: 40) Yakni kelak di hari kiamat. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Adakah di antara yang kamu sekutukan dengan Allah itu. (Ar-Rum: 40) Maksudnya, sembahan-sembahan yang kalian sembah selain Allah itu. yang dapat berbuat sesuatu dari yang demikian itu? (Ar-Rum: 40) Yakni pasti tidak ada seorang pun dari mereka yang dapat berbuat sesuatu dari itu, bahkan Allah-lah yang menciptakan, yang memberi rezeki, yang menghidupkan, dan yang mematikan, kemudian Dia membangkitkan semua makhluk menjadi hidup kembali di hari kiamat kelak.
Karena itulah disebutkan dalam firman selanjutnya: Mahasucilah Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan. (Ar-Rum: 40) Mahatinggi, Mahasuci, lagi Mahabesar Allah subhaanahu wa ta’aalaa dari mempunyai sekutu, tandingan atau yang setara dengan-Nya, atau beranak atau diperanakkan. Bahkan Dia adalah Yang Maha Esa lagi bergantung kepada-Nya segala sesuatu, tidak beranak dan tidak diperanakkan, serta tiada seorang pun yang setara dengan Dia.
Setelah menginformasikan cara membantu orang lain dengan benar melalui zakat, infak, dan sedekah yang dilandasi keikhlasan, melalui ayat ini Allah memperingatkan para pemakan riba dan orang yang menyembunyikan tujuan buruk di balik bantuannya. Dan sesuatu riba yang kamu berikan kepada orang yang terbiasa memakan riba agar harta manusia yang diberi itu semakin bertambah, maka sesungguhnya harta tersebut tidak bertambah dalam pandangan Allah dan tidak pula diberkahi. Dan apa yang kamu berikan kepada orang lain berupa zakat, infak, dan sedekah yang kamu maksudkan untuk memperoleh keridaan Allah, maka itulah orang-orang yang melipatgandakan pahalanya dengan cara yang benar dan bermartabat. 40. Jika pemberian yang baik harus dilandasi keikhlasan, sudah seha-rusnya setiap muslim mengembalikan balasan pemberian itu kepada Allah, karena Dia-lah yang menciptakan kamu dari tiada, kemudian memberimu rezeki sesuai ketentuan dan kebijaksanaan-Nya, bukan semata berkat usahamu, lalu mematikanmu setelah sampai ajalmu, kemudian menghidupkanmu kembali setelah kematianmu. Adakah di antara mereka, yakni berhala-berhala atau apa pun yang kamu sekutukan dengan Allah itu yang dapat berbuat sesuatu yang demikian itu, yaitu memberi rezeki, menghidupkan, dan mematikan' Mahasuci Dia dan Mahatinggi dari apa yang mereka persekutukan.
Ayat ini menerangkan riba yang dimaksudkan sebagai hadiah atau memberi untuk memperoleh lebih. Riba adalah pengembalian lebih dari utang. Kelebihan itu adakalanya dimaksudkan sebagai hadiah, dengan harapan bahwa hadiah itu akan berkembang di tangan orang yang menghutangi, lalu orang itu akan balik memberi orang yang membayar utangnya itu dengan lebih banyak daripada yang dihadiahkan kepadanya. Riba seperti itu sering dipraktekkan pada zaman jahiliah. Dalam ayat ini ditegaskan bahwa perilaku bisnis seperti itu tidak memperoleh berkah dari Allah. Ia tidak memperoleh pahala dari-Nya karena pemberian itu tidak ikhlas. Oleh karena itu, para ulama memandang ayat ini sebagai ayat pertama dalam tahap pengharaman riba sampai pengharamannya secara tegas. (Tahap keduanya adalah pada Surah an-Nisa'/4: 161, yang berisi isyarat tentang keharaman riba; tahap ketiga adalah ali 'Imran/3: 130, bahwa yang diharamkan itu hanyalah riba yang berlipat ganda; tahap keempat adalah al-Baqarah/2: 278, yang mengharamkan riba sama sekali dalam bentuk apa pun).
Ada pula yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kepada seseorang untuk maksud memperoleh balasan lebih. Balasan lebih itu di antaranya terhadap pengembalian utang. Itulah yang disebut riba dalam ayat di atas, dan banyak ulama membolehkannya berdasarkan hadis:
Rasulullah menerima hadiah dan memberi balasan atas hadiah itu. Beliau memberikan balasan atas hadiah seekor unta perahan yang diberikan kepadanya, dan beliau tidak menyangkal pemiliknya ketika dia meminta balasan. Beliau hanya mengingkari kemarahan pemberian hadiah itu karena pembalasan itu nilainya lebih dari nilai hadiah. (Riwayat al-Bukhari dari 'Aisyah)
Akan tetapi, berdasarkan hadis itu, yang dibenarkan sesungguhnya adalah membalas dengan lebih suatu pemberian, bukan membayar utang lebih dari seharusnya.
Memberi dengan maksud memperoleh balasan lebih dari yang diberikan menunjukkan ketidakikhlasan yang memberi. Hal ini juga tidak dibenarkan. Firman Allah:
Dan janganlah engkau (Muhammad) memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. (al-Muddassir/74: 6)
Salah satu bentuk pemberian yang dimaksudkan untuk memperoleh balasan lebih adalah memberi dengan maksud agar orang itu patuh pada yang memberi, mau membantunya, dan sebagainya. Itu juga tidak dibenarkan, karena tidak ikhlas.
Secara lahiriah, larangan dalam ayat itu ditujukan kepada Nabi ﷺ Akan tetapi, juga dimaksudkan untuk seluruh umatnya.
Adapun yang akan dilipatgandakan oleh Allah baik pahalanya maupun harta itu sendiri adalah pemberian secara tulus, yang dalam ayat ini diungkapkan dengan istilah zakat (secara harfiah berarti suci). Zakat di sini maksudnya sedekah yang hukumnya sunah, bukan zakat yang hukumnya wajib. Orang yang bersedekah karena mengharapkan pahala dari Allah, pasti akan dilipatgandakan pahala atau balasannya oleh Allah minimal tujuh ratus kali lipat, sebagaimana difirmankan-Nya dalam al-Baqarah/2: 261:
Perumpamaan orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah seperti sebutir biji yang menumbuhkan tujuh tangkai, pada setiap tangkai ada seratus biji. Allah melipatgandakan bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Mahaluas, Maha Mengetahui. (al-Baqarah/2: 261)
Di samping itu, sedekah juga akan melipatgandakan kekayaan pemilik modal, karena memperkuat daya beli masyarakat secara luas. Kuatnya daya beli masyarakat akan meminta pertambahan produksi. Pertambahan produksi akan meminta pertambahan lembaga-lembaga produksi (pabrik, perusahaan, dan sebagainya). Pertambahan lembaga-lembaga produksi akan membuka lapangan kerja sehingga dengan sendirinya akan meminta pertambahan tenaga kerja. Pertambahan tenaga kerja akan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga meningkatkan daya beli mereka, dan seterusnya. Demikianlah terjadi siklus peningkatan daya beli, produksi, tenaga kerja, dan sebagainya, sehingga ekonomi yang didasarkan atas pemberdayaan masyarakat luas itu akan selalu meningkatkan kemajuan perekonomian. Sedangkan perekonomian yang didasarkan atas riba, yaitu pengembalian lebih dari utang, selalu mengandung eksploitasi, yang lambat laun akan memundurkan perekonomian.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TEGAKKANLAH WAJAH KEPADA AGAMA
Ayat 30
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama, dalam keadaan lurus “
Tegakkanlah wajahmu, artinya berjalanlah tetap di atas jalan agama yang telah dijadikan syari'at oleh Allah ﷻ untuk engkau. Agama itu adalah agama yang disebut hanif, yang sama artinya dengan al-Mustaqim, yaitu lurus. Tidak membelok ke kiri kanan. Hanif ini pulalah yang disebut untuk agama Nabi Ibrahim. Bahkan dijelaskan bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad ﷺ sekarang ini ialah agama hanif itu atau ash-Shirathal Mustaqim itu, sesudah banyak diselewengkan atau dibelokkan dari tujuan semula oleh anak cucunya. Baik anak cucu yang keturunan Bani Israil, atau anak cucu dari keturunan Bani Isma'il.
Yang keturunan dari pihak Bani Israil menyelewengkan agama Ibrahim itu jadi agama keluarga, lalu mereka beri nama Yahudi, dibangsakan kepada anak tertua dari Ya'qub yang bernama Yahuda. Nama Ya'qub di waktu kecil ialah Israil.
Kemudian itu keturunan selanjutnya dari Bani Israil menyelewengkan pula dengan memasukkan ajaran mitos agama-agama kuno trimurti atau trinitas ke dalam agama, lalu mereka katakan bahwa Tuhan itu adalah tiga dalam yang satu dan satu dalam yang tiga, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah ruh Suci.
Keturunan dari Bani Isma'il menyelewengkan pula. Ibrahim mendirikan Ka'bah sebagai rumah pertama di dunia ini yang diuntukkan bagi menyembah Allah Yang Maha Esa. Namun lama-kelamaan oleh anak cucu Ibrahim dari turunan Isma'il, yang menjadi bangsa Arab, tidak lagi mereka sembah langsung Allah Yang Maha Esa, melainkan mereka sembah berhala-berhala. Mulanya dua tiga berhala, berangsur empat dan lima berhala, kemudian jadi berpuluh berhala. Akhirnya setelah Nabi Muhammad ﷺ datang, didapati mereka itu telah menyembah 360 berhala. Sebagian besar mereka dirikan pada dinding-dinding Ka'bah itu. Bahkan dalam Ka'bah sendiri didapati berhala Maryam sedang memangku Isa al-Masih di waktu masih sarat menyusu. Semuanya itu jadi bukti, bahwa jalan telah banyak dialih orang yang datang kemudian, disadari ataupun tidak. Oleh sebab itu, tegakkanlah mukamu, ya Rasul-Ku, kepada agama ini, agama yang lurus! “Fitrah yang telah Dia fitrahkan manusia atasnya." Artinya lazimilah atau tetaplah pelihara fitrahmu sendiri, yaitu rasa asli murni dalam jiwamu sendiri yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu mengakui adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Maharaya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah, dan elok.
“Sekali-kali tidaklah ada pergantian pada ciptaan Allah." Artinya bahwa Allah ﷻ telah menentukan demikian. Yaitu kepercayaan atas adanya Yang Mahakuasa adalah fitri dalam jiwa dan akal manusia. Itu tidak dapat diganti dengan yang lain. Pada pokoknya seluruh manusia, tidak pandang kedudukan, tidak pandang bangsa dan iklim tempat dilahirkan, benua tempat dia berdiam, namun mereka dilahirkan ke dunia adalah atas keadaan yang demikian itu.
“Itulah agama yang lurus." Atau itulah agama yang bernilai tinggi. Berharga buat direnungkan. Yaitu berpegang teguh dengan syari'at yang telah diatur oleh Allah ﷻ berdasar kepada fitrah yang bersih,
“Tetapi banyaklah manusia yang tidak mengetahui."
Tertutup bagi mereka jalan buat mengetahui hakikat yang benar itu. Adakalanya karena hawa nafsu, adakalanya karena segan melepaskan pegangan lama yang telah di-pusakai dari nenek moyang, adakalanya karena kesombongan karena merasa dilintasi.
Ayat 31
“Dalam keadaan pulang kembali kepada-Nya."
Karena kita ini pada hakikatnya adalah datang dari Dia. Sebab itu akan datang masa-nya kita kembali kepada-Nya.
Yang perlu ialah kesadaran bahwa kita adalah dalam perjalanan pulang. Yang men-celakakan kita ialah kalau kita tidak sadar, bahwa kita dalam perjalanan kembali. Apabila gelora hawa nafsu masih belum tertahankan juga, an-Nafsul Lawwamah dan an-NafsuI Ammarah belum teratasi, jalan buat kembali belumlah kita sadari. Tetapi bilamana telah banyak pengalaman pahit dalam hidup, kegagalan dan kejayaan, gembira bergantian dengan ratap tangis, tercapailah an-Nafsul Muthma'innah, di waktu itulah akan terdengar panggilan Allah ﷻ
“Dan takwalah." Artinya takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT, menuntut ridha-Nya, mengharapkan kasih-Nya, menakuti siksa-Nya, dan ingat selalu kepada-Nya (dzikir) sehingga gerak-gerik hidup terpelihara dari gangguan musuh-musuh diri, yaitu hawa dan nafsu, dunia dan setan."Dan dirikanlah shalat." Karena shalat itulah tanda taat setia yang sejati.
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan."
Apabila shalat lima waktu telah dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dipahamkan dan dihayati, akan terhindar sendirilah seseorang dari mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ Sejak mengangkat takbir “Allahu Akbar" saja pun telah jelas tujuan hanya satu. Yang Mahabesar hanya Allah SWT, ke sana jiwa dihadapkan. Dan jika dihayati lagi permulaan al-Faatihah, yaitu “Alhamdulillah", segala apa jua pun pujian hanya teruntuk bagi Allah SWT, dan Dia yang Pengasih. Dia yang Penyayang dan hanya Dia yang akan menentukan pembalasan dan ganjaran di Hari Kemudian (Maliki yaumiddin), niscaya tidaklah orang akan jadi musyrik.
Lalu dijelaskan lagi siapakah dan apakah ciri-ciri dari orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
Ayat 32
“(Yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka beberapa golongan."
Pokok agama hanya satu, tidak dua. Kedatangan rasul-rasul membawa syari'at, sejak Nabi Nuh sampai nabi-nabi yang lain, sampai Nabi Muhammad ﷺ adalah membawa inti agama yang satu, yaitu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ﷻ Nabi datang silih berganti, namun seruan mereka hanya kepada jalan yang satu itu. Tetapi seketika datang Nabi Isa yang mengakui dengan tulus ikhlas bahwa kedatangan beliau adalah menggenapkan syari'at Nabi Musa, orang yang mengakui diri pengikut ajaran Musa menolak dia, bahkan menuduh bahwa kelahirannya ke dunia adalah dalam cara yang tidak halal.
Nabi Isa mengatakan pula bahwa sesudah dia kelak akan datang lagi nabi yang lain menyempurnakan ajaran itu, itulah Paraclit. Orang yang Terpuji. Demi setelah dia datang, umat yang mengaku pengikut Nabi Isa menuduhnya nabi palsu dan perusak. Dan yang mengikuti Nabi Musa tadi pun membenci dia, bahkan di kala hidupnya pernah bersekongkol hendak membunuh dia. Itulah contoh dari orang yang mempersekutukan Allah SWT, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama, lalu menjadi beberapa golongan. Kemudian dari golongan itu terpecah-pecah lagi menjadi beberapa golongan, sekte-sekte, kelompok-kelompok.
“Tiap-tiap kelompok dengan apa yang ada pada mereka merasa bangga."
Merasa diri benar sendiri dan orang lain salah belaka, dan tidak ada yang ingin mencari atau kembali kepada titik pertemuan, yaitu iman kepada Keesaan Allah ﷻ
***
(35)
Ayat 33
“Dan apabila suatu bahaya menyentuh manusia, mereka setulah Tuhan mereka, mereka kembali kepada-Nya."
Tegasnya ialah bilamana bahaya datang, mereka bergegas menyeru Allah ﷻ Waktu itu mereka ingat Allah ﷻ Waktu itu mereka benar-benar ingin kembali kepada Allah ﷻ Karena sudah terang dan nyata banyak soal dalam hidup ini yang tenaga manusia tidak dapat lagi mengatasinya.
“Kemudian apabila Atlah mengenyamkan rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan."
Mereka tidak ingat lagi, bahwa rahmat itu semata-mata datang dari Allah SWT, ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan pemimpinnya, bahwa pemimpin itulah yang berjasa. Ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan keris yang dia pakai atau dengan jimat bertuah pusaka nenek moyangnya, atau mereka puji hari dan tanggal. Kadang-kadang memuja benda lebih daripada semestinya.
Ayat 34
“Jadilah mereka kafir dengan apa yang didatangkan Allah kepada mereka."
Artinya dengan terang-terangan mereka memungkiri peranan ilahi dalam kenangan yang mereka dapati dan terlepasnya mereka dari bahaya. Seakan-akan Allah ﷻ tidak ada campur tangan dalam kebahagiaan yang dia capai. Dia bersuka ria menyambut kemenangan, tetapi Allah ﷻ mereka lupakan. Bahkan kerapkali kejadian bahwa dengan sebab rahmat Allah ﷻ yang mereka terima, mereka lupa sama sekali berterima kasih kepada Ilahi yang menurunkan rahmat “Ber-senang-senanglah kamu!" Sehingga lantaran bersenang-senang, gembira ria, kamu lupa bahwa keadaan berubah dan Allah ﷻ bisa saja mencabut kembali nikmat rahmat yang Dia berikan itu.
“Maka akan tahu sendirilah kamu “
Akan tahu sendirilah kamu bahaya lain yang akan menimpa kelak, yang kamu tidak pula akan sanggup mengatasi dan menyelesaikannya kalau tidak dengan pertolongan Allah ﷻ
Ayat 35
“Atau apakah pernah Kami menurunkan alasan kuat kepada mereka?"
Di dalam ayat disebutkan Sulthan, lalu kita tafsirkan dengan alasan kuat. Sulthan banyak artinya. Kadang-kadang artinya ialah penguasa atau kepala negara dan kadang-kadang diartikan juga dengan kekuatan atau dengan alasan yang kuat Kadang-kadang diartikan juga dengan keterangan yang cukup dan bisa diterima. Dalam ayat ini kita ambil arti alasan yang kuat Maka maksud pangkal ayat ini ialah bertanya, pernahkah Allah ﷻ menurunkan kepada mereka alasan atau perintah yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa Atlah ﷻ dapat dipersekutukan dengan yang lain? Pernahkah ada perintah dan keterangan dari Allah ﷻ bahwa Allah ﷻ melimpahkan wewenang atau membagi kuasa dengan makhluk-Nya dalam menguasai alam ini?
“Lalu dia berkata dengan apa yang telah mereka pensekutukan itu."
Artinya, bahwa Sulthan atau alasan kuat itulah yang berkata, tegasnya lagi memberikan keterangan bahwa pekerjaan mereka itu adalah benar.
Tentu saja pertanyaan ini adalah istifham inkari, yaitu pertanyaan yang mengandung sendiri arti bantahan. Bahwa Allah ﷻ tidak pernah menurunkan wahyu atau perintah bahwa selain dari Allah ﷻ patut disembah dan dipuja. Itu hanya karangan dan khayat manusia saja sebab kelam otaknya dari sinar kebenaran.
Ayat 36
“Dan apabila Kami berikan kepada manusia suatu rahmat, bergembiralah mereka dengan dia."
Ini pun suatu kritik kepada perangai kebanyakan manusia. Yaitu kalau rahmat datang, keuntungan tiba, mereka bergembira-ria. Saking gembiranya kadang-kadang dia lupa dari mana nikmat rahmat itu dia terima, dari mana sumber tempat datangnya
“Dan jika menimpa kepada mereka kesusahan, tersebab dari tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka pun putus asa."
Di saat kesusahan itu banyaklah orang yang putus asa. Kadang-kadang kita melihat kejadian itu serentak berdekatan. OKB (Orang Kaya Baru) menyelimpangkan kakinya di mobil yang mewah, dengan tangannya disangkutkannya di tempat berpegangan dalam mobil dengan megah dan sombongnya. Anak-anak dan istri nya duduk dengan pongah karena berenang di atas uang banyak, entah dari mana asal didapat. Mereka melayang menderu di atas jembatan. Sedang di bawah jembatan itu bergelimpangan tidur orang-orang yang telah putus asa dari hidup, yang telah tertutup pintu pencarian, urban (pindah dari desa ke kota) karena di desa pun hidup sudah sangat sulit. Mereka putus asa, yang laki-laki jadi pencopet pencuri kain jemuran. Yang perempuan siang tidur-tiduran, malam menjadi kupu-kupu ma-lam, menyebarkan penyakit sipilis.
Kekosongan jiwa dari yang terlompat ke atas mobil mewah dengan yang jatuh ter-sungkur ke bawah jembatan, sebenarnya sama saja.
Ayat 37
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Allah membentangkan rezeki untuk banangsiapayang Dia kehendaki dan mengagokkan".
Ini adalah tanda kekayaan dari Allah ﷻ itu sendiri. Allah ﷻ menentukan pemberian rezeki, dan rezeki itu bukanlah semata-mata kekayaan harta benda, bahkan terutama sekali pikiran, cita-cita, kecerdasan, dan seumpamanya. Ada orang yang terbentang lebar rezekinya, sebab itu ada orang yang berpikiran tinggi, bercita-cita besar, filsuf, pemimpin negara, pemimpin bangsa, jenderal memimpin peperangan. Sebaliknya ada orang yang bodoh, yang cita-citanya, hidupnya hanya sekadar mencari makan, prajurit yang dikerahkan dan mati di medan perang sebagai prajurit yang tidak dikenal. Ada orang bernasib baik jadi sultan, jadi presiden dan jadi menteri, ada pula yang hanya jadi sopir presiden, jadi tukang membersihkan kamar atau tukang rumput. Ada orang yang mendapat rezeki kekayaan berlimpah, tetapi ada yang hanya diagakkan saja, sekadar dapat makan, itu pun susah mencarinya.
“Sesungguhnya pada yang demikian adalah tanda-tanda bagi kaum yang beriman."
Pintar dan bodoh, jenderal dan prajurit, filsuf dan si goblok, kaya raya dan miskin papa, semuanya itu adalah tanda bahwa alam ini ada Yang Mengatur. Itulah Allah ﷻ Terdapatnya pertimbalan di antara dua yang berlawanan, yaitu di antara yang tinggi dengan yang rendah, adalah tanda Allah Mahasem-purna. Kalau Allah ﷻ hanya Mahakuasa menciptakan yang tinggi, sehingga tidak ada yang rendah, atau hanya Mahakuasa men-ciptakan yang besar-besar, sehingga tidak ada yang kecil, dan seterusnya dan seterusnya, di manakah kita akan dapat mengenal kekayaan Allah SWT? Tidaklah mungkin manusia sama rata kayanya, atau miskin melarat semua. Karena kalau demikian dapatlah dikatakan bahwa Allah ﷻ itu tidak kaya dan di dunia ini tidak ada perjuangan hidup dan berusaha.
Di ujung ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa jika Allah ﷻ membentangkan atau mengembangkan rezeki seluas-luasnya kepada setengah hamba-Nya dan yang setengahnya lagi dihinggakan terbatas, atau diagakkan, bahwa itu adalah salah satu dari tanda-tanda Kebesaran Ilahi juga. Kalau tidak ada begitu, maka tidaklah ada lagi di dunia ini persoalan yang dinamai perikemanusiaan.
Ayat 38
“Maka berikanlah kepada kaum kerabat akan haknya dan orang miskin dan anak perjalanan."
Disebut terlebih dahulu, atau diprioritaskan kaum kerabat, keluarga yang terdekat, hendaklah mereka terlebih dahulu ditolong. Sebelum menolong orang lain, tolonglah yang terdekat.
Lanjutan ayat ialah,
“Itulah yang baik bagi orang yang menghendaki wajah Allah." Yaitu kalau Allah ﷻ telah memberikan keluasan pada rezeki, sehingga telah mendapat kehidupan yang layak, janganlah lupa membantu dan menolong orang yang berkekurangan, karena Allah ﷻ Bukan karena mengharapkan dipuji orang, bukan beramal karena riya. Ingatlah bahwa kekayaan dan kelebihan yang ada padamu, adalah semata-mata anugerah dari Allah ﷻ Bersyukurlah atas nikmat itu dengan menolong orang lain.
“Dan itulah orang-orang yang beruntung."
Orang yang dermawan karena Allah SWT, adalah orang yang beruntung. Dia tidak dibenci orang karena bakhilnya. Malahan orang yang diberi bantuan akan mendoakannya, moga-moga diberi Allah ﷻ dia rezeki yang berlipat ganda. Tetapi orang kaya yang bakhil senantiasa akan diomeli dan diumpat orang, apa lagi orang kaya yang memberi tetapi selalu menyebut-nyebut pemberiannya.
Ayat 39
“Dan apa yang kamu berikan dari rtiba supaya dibungai pada harta benda manusia, maka tidaklah dia berbunga di sisi Allah ﷻ"
Arti riba sudah sama kita ketahui, yaitu meminjami orang harta dengan janji ketika membayar pinjaman itu diberinya bunganya, atau rente-nya. Riba yang demikian sudah nyata terlarang. Tetapi ada lagi semacam riba, tidak begini tidak terlarang, karena tidak dijadikan syarat. Yaitu kita memberikan pertolongan, baik tenaga, atau benda kepada orang lain, tetapi ada harapan tersembunyi, moga-moga kelak dibalasinya pula sebagai balas jasa, dengan balasan yang lebih besar. Maka bertalian dengan ayat 38 yang sebelumnya, diperingatkanlah kepada seseorang yang hendak menolong orang lain moga-moga kelak dia membalas jasa, membalas terima kasih dengan berlipat ganda; tidaklah baik. Maka arti ayat ini ialah jika kamu menolong orang lain dengan harapan moga-moga suatu waktu orang itu tidak lupa akan jasa kamu, moga-moga dia membalas, maka cara yang demikian itu kuranglah baiknya. Karena tidak selalu orang itu akan terkenang membalas jasa, atau akan sanggup membalas jasa. Misalnya menolong seorang miskin. Apa balasan yang akan diharap dari orang miskin? Apakah diharapkan, bahwa dia suka datang ke rumah untuk membersihkan pekarangan rumah kita? Alangkah rendahnya dasar cita ketika kita memberi kalau demikian halnya.
Sebab itu dalam ayat ditegaskan, kalau orang memberi pertolongan mengharapkan balas jasa dari orang itu, maka di sisi Allah ﷻ pertolongannya itu tidak akan diberi penghargaan.
“Tetapi apa yang kamu berikan dari zakat, yang kamu harapkan wajah Allah, maka itulah dia mereka yang melipatgandakan."
Tetapi jika kamu berbuat sebaliknya, yaitu kamu keluarkan hartamu berupa zakat, baik zakat wajib atau zakat tathawwu', timbul dari keikhlasan hati, karena zakat itu sendiri artinya ialah bersih, timbul dari hati yang bersih, membersihkan jiwa dari mengharapkan manusia, membersihkan harta dari hak yang wajib diterima oleh fakir miskin. Maka kalau harta itu dikeluarkan bersifat zakat, bukan mengharapkan balasan manusia, melainkan mengharap wajah Allah SWT, dijelaskanlah di ujung ayat bahwa orang yang berbuat demikian itu telah memperlipatgandakan hartanya itu. Dia telah kaya. Rezeki yang diberikan Allah ﷻ itu telah diperbuatnya bernilai tinggi sekali. Karena harta benda yang dipergunakan untuk meratakan jalan Allah SWT, adalah harta yang bernilai sangat tinggi. Dan pahala di sisi Allah ﷻ pun akan diterimanya pula berlipat ganda.
Ayat 40
“Allah-lah yang telah menciptakan kamu."
Menciptakan kamu dari tanah, kemudian menjadi manusia yang bertebaran di muka bumi, seperti tersebut pada ayat 20 yang telah lalu. “Kemudian itu memberimu rezeki, “sebagai jaminan hidup, selama kamu masih hidup di atas dunia ini." Kemudian itu mematikan kamu, apabila ajalmu telah sampai. “Kemudian itu menghidupkan kamu," dengan datangnya panggilan kepada kamu yang disebut hari Kiamat. Kiamat artinya kebangkitan.
“Apakah dari apa-apa yang kamu persekutukan itu yang berbuat semacam yang demikian itu agak secuil?" Adakah berhala yang kamu sembah itu yang sanggup membuat manusia? Adakah kuburan yang kamu puja itu yang sanggup memberimu rezeki? Adakah barang yang kamu anggap sakti itu yang sanggup memberimu hidup atau menentukan ajal-mu? Jika kamu kelak dibangunkan kembali di hari Kiamat, ikut sertakah yang kamu puja itu membangunkan kamu kembali?
“Mahasuci Dia dan Mahaagung, dari apa yang kamu pensekutukan itu."
Satu tantangan yang tegas sekali terhadap orang-orang yang memperbodoh dan mem-perhina diri sendiri dengan mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
***
Ayat 41
“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab buatan tangan manusia."
Allah ﷻ telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi Khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Allah ﷻ Banyaklah rahasia kebesaran dan kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia karena usaha manusia. Sebab itu maka menjadi khalifah hendaklah menjadi Mushiih, berarti suka memperbaiki dan memperindah.
Janganlah kita terpesona melihat berdirinya bangunan-bangunan raksasa, jembatan-jembatan panjang, gedung-gedung bertingkat menjulang langit, menara Eiffel, sampainya manusia ke bulan di penggal kedua dari abad kedua puluh ini. Janganlah dikatakan bahwa itu pembangunan, kalau kiranya jiwa bertambah jauh dari Allah ﷻ Terasa dan dikeluhkan oleh manusia seisi alam di zaman sekarang dalam kemajuan ilmu pengetahuan ini hidup mereka bertambah sengsara. Kemajuan teknik tidak membawa bahagia, melainkan cahaya. Perang selalu mengancam. Perikemanusiaan tinggal dalam sebutan lidah, namun niat jahat bertambah subur hendak menghancurkan orang lain.
Di daratan memang telah maju pengangkutan, jarak dunia bertambah dekat. Namun hati bertambah jauh. Heran! Banyak orang membunuh diri karena bosan dengan hidup yang serba mewah dan serba mudah ini. Banyak orang yang dapat sakit jiwa. Tepat sambungan ayat, “Supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan “ Dalam sambungan ayat ini terang sekali, bahwa tidaklah semua pekerjaan manusia jahat, bahkan hanya setengah. Seumpama kemajuan kecepatan kapal udara; yang setengah ada faedahnya bagi manusia, sehingga mudah berhubungan. Tetapi yang setengahnya lagi kapal udara itu telah digunakan untuk melemparkan bom, bahkan bom atom, bom hidrogen dan senjata-senjata nuklir.
Kadang-kadang termenung kagum kita memikirkan ayat ini. Sebab dia dapat saja di-tafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. Ahli-ahli pikir yang memikirkan apa yang akan terjadi kelak, ilmu yang diberi nama futurologi, yang berarti pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan yang sekarang. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi di darat karena bekas buatan manusia ialah apa yang mereka namai polusi, yang berarti pe-ngotoran udara, akibat asap dari zat-zat pem-bakar, minyak tanah, bensin, solar, dan se-bagainya. Bagaimana bahaya dari asap pabrik-pabrik yang besar-besar bersama dengan asap mobil dan kendaraan bermotor yang jadi kendaraan orang ke mana-mana. Udara yang telah kotor itu diisap tiap saat sehingga paru-paru manusia penuh dengan kotoran.
Kemudian diperhitungkan orang pula kerusakan yang timbul di lautan. Air laut yang rusak karena kapal tangki yang besar-besar membawa minyak tanah atau bensin pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabrik kimia yang mengalir melalui sungai-sungai menuju lautan, kian lama kian banyak. Hingga air laut penuh racun dan ikan-ikan jadi mati. Pernah Sungai Seine di Eropa mengempaskan bangkai seluruh ikan yang hidup dalam air itu, terdampar ke tepi sungai jadi membusuk, tidak bisa dimakan. Demikian pula pernah beratus ribu, berjuta ikan mati terdampar ke tepi Pantai Selat Teberau di antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura. Besar kemungkinan bahwa ikan-ikan itu keracunan.
Di ujung ayat disampaikan seruan agar manusia berpikir,
“Mudah-mudahan mereka kembali."
Arti kembali itu tentu sangat dalam. Bukan maksudnya mengembalikan jarum sejarah ke belakang. Melainkan kembali menilik diri dari mengoreksi niat, kembali memperbaiki hubungan dengan Allah ﷻ Jangan hanya ingat akan keuntungan diri sendiri, lalu me-rugikan orang lain. Jangan hanya ingat laba sebentar dengan merugikan bersama, tegasnya dengan meninggalkan kerusakan di muka bumi. Dengan ujung ayat mudah-mudahan, di-tampakkanlah bahwa harapan belum putus.
Ayat 42
“Katakanlah! Mengembaralah di bumi, maka perhatikanlah betapa adanya akibat orang-orang yang terdahulu."
Di sinilah timbul pepatah Minang, “Melihat tuah pada yang menang, melihat celaka pada yang kalah." Bahwasanya sejarah jalan hidup manusia itu adalah sama. Barang mana pun manusia yang sanggup memikul tanggung jawab menjadi Khalifah Allah di muka bumi, bertemulah bekas peninggalan mereka yang baik-baik, akan jadi kenangan dan suri teladan bagi anak cucu. Tetapi barangsiapa yang melalaikan tugasnya, lalu bekas buruk yang mereka tinggalkan, maka akan jelas pulalah bekas yang buruk itu. Umat yang datang kemudian tidak pula akan berubah dari demikian, karena manusia tetaplah manusia dahulu dan sekarang dan nanti.
“Adalah kebanyakan mereka itu musyrik"
Yang berarti bahwa selama mereka itu masih mengingat Allah SWT, masih bertuhan satu, tidaklah mereka akan ditimpa keruntuhan sehancur itu.
Sesudah itu sekali lagi Allah ﷻ berpesan kepada Rasul-Nya,
Ayat 43
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus."
Di samping Rasul ﷺ disuruh menyampaikan dakwah yang tegas kepada kaumnya dan umat manusia seluruhnya, Allah ﷻ pun memperingatkan kembali supaya dia selalu memperkuat diri, membuat pribadi sendiri jadi teguh dan tabah. Jalannya ialah dengan selalu menegakkan wajah kepada agama yang lurus, agama Islam. Penyerahan diri yang bulat-bulat semata kepada Allah ﷻ"Sebelum bahwa datang hari yang tidak dapat menolaknya dari Allah." Hari yang tidak dapat menolaknya jika Allah ﷻ telah menentukan adalah dua, pertama untuk diri sendiri, kedua untuk alam seluruhnya. Yang bagi diri ialah maut. Maka sampai nyawa bercerai dengan badan janganlah lelah dari muraaqabah, yaitu selalu menegakkan muka dengan penuh kesadaran meneguhkan iman dalam agama itu, jangan dipalingkan muka kepada yang lain, agar mati dalam husnul khatimah.
Yang kedua, ialah bila Kiamat datang. Jika hari itu datang dan dia pun pasti sepasti mati bagi tiap orang, tidaklah dunia ini dapat dielakkan dari saat itu. Bumi ini hanya laksana sebutir pasir kecil saja di samping berjuta bintang di ruang angkasa. Semua kecil di hadapan Allah ﷻ
"Di hari itu mereka akan bercerai-berai." Masing-masing orang akan dibawa untungnya masing-masing menurut timbangan amalnya di dunia. Bercerai-berai, yang masuk surga dan yang masuk neraka. Walaupun ayah dengan anak, suami dengan istri dan keluarga dekat dan jauh, berpisah dibawa untung. Kalau nasib baik, masuk juga ke dalam surga bersama-sama, di sanalah baru bertemu.
Ayat 44
“Barangsiapa yang kafir, maka atasnyalah kafirnya."
Artinya bahwa barangsiapa yang kafir, akibat dari kekafirannya itu akan ditanggung-nya sendiri.
“Dan barangsiapa yang beramal yang saleh, maka mereka telah menyiapkan jalan bagi diri mereka sendiri."
Jelas sekali maksud ayat ini, yaitu bilamana seseorang mengerjakan amalan yang saleh ketika hidup di dunia ini, berarti mereka telah menyiapkan sendiri jalan yang akan ditempuhnya di akhirat kelak, yaitu jalan bahagia, jalan masuk ke dalam surga.
Ayat 45
“Karena itu, “yaitu Allah, “Akan memberikan ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh-saleh dari karunia-Nya."
Kemudian itu sebaliknya,
“Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang kufur."