Ayat
Terjemahan Per Kata
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَرَوۡاْ
mereka memperhatikan
أَنَّ
bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
يَبۡسُطُ
melapangkan
ٱلرِّزۡقَ
rizki
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيَقۡدِرُۚ
dan Dia menyempitkan
إِنَّ
sesungguhnya
فِي
pada
ذَٰلِكَ
yang demikian itu
لَأٓيَٰتٖ
benar-benar tanda-tanda
لِّقَوۡمٖ
bagi kaum
يُؤۡمِنُونَ
yang beriman
أَوَلَمۡ
ataukah tidak
يَرَوۡاْ
mereka memperhatikan
أَنَّ
bahwasanya
ٱللَّهَ
Allah
يَبۡسُطُ
melapangkan
ٱلرِّزۡقَ
rizki
لِمَن
bagi siapa
يَشَآءُ
Dia kehendaki
وَيَقۡدِرُۚ
dan Dia menyempitkan
إِنَّ
sesungguhnya
فِي
pada
ذَٰلِكَ
yang demikian itu
لَأٓيَٰتٖ
benar-benar tanda-tanda
لِّقَوۡمٖ
bagi kaum
يُؤۡمِنُونَ
yang beriman
Terjemahan
Tidakkah mereka memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki dan membatasi(-nya). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang beriman.
Tafsir
(Dan apakah mereka tidak memperhatikan) tidak mengetahui (bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki) meluaskannya (bagi siapa yang dikehendaki-Nya) sebagai ujian (dan Dia pula yang membatasinya) yang menyempitkannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya sebagai cobaan buatnya. (Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang yang percaya) pada tanda-tanda kekuasaan Allah itu.
Tafsir Surat Ar-Rum: 33-37
Dan apabila manusia disentuh oleh suatu bahaya, mereka menyeru Tuhannya dengan kembali bertobat kepada-Nya, kemudian apabila Tuhan merasakan kepada mereka barang sedikit rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan Tuhannya, sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu). Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan, lalu keterangan itu menunjukkan (kebenaran) apa yang mereka selalu mempersekutukan dengan Tuhan? Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu. Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa. Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman. (Ar-Rum: 33-37)
Ayat 33
Allah subhaanahu wa ta’aalaa menceritakan perihal manusia; sesungguhnya mereka itu apabila tertimpa keadaan darurat (bahaya), mereka menyeru kepada Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Apabila diberikan kepada mereka kenikmatan, tiba-tiba sebagian dari mereka yang telah membaik keadaannya mempersekutukan Allah dan menyembah Dia bersama yang lain-Nya.
Ayat 34
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. (Ar-Rum: 34) Huruf lam dalam ayat ini menurut sebagian ulama bahasa disebut lamul 'aqibah, sedangkan menurut sebagian yang lain adalah lamut talil, tetapi ta'lil ini berdasarkan apa yang telah ditakdirkan oleh Allah terhadap mereka. Kemudian Allah mengancam mereka melalui firman-Nya: kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu). (Ar-Rum: 34) Sebagian ulama mengatakan, "Seandainya ada seorang pengawal (tentara) yang kejam mengancamku, tentulah aku merasa takut. Maka terlebih lagi jika yang mengancam itu adalah Tuhan Yang mengatakan kepada sesuatu, 'Jadilah kamu', maka jadilah ia."
Ayat 35
Selanjutnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, mengingkari perbuatan orang-orang musyrik karena mereka menyembah selain Allah tanpa dalil, tanpa alasan, dan tanpa keterangan: Atau pernahkah Kami menurunkan kepada mereka keterangan. (Ar-Rum: 35) Yang dimaksud dengan sultan ialah alasan. lalu keterangan itu menunjukkan (kebenaran). (Ar-Rum: 35) Yakni membicarakan atau mengungkapkan apa yang mereka selalu mempersekutukan dengan Tuhan? (Ar-Rum: 35) Istifham (kata tanya) dalam ayat ini mengandung makna ingkar, yakni tiada suatu keterangan pun yang membuktikan kebenaran perbuatan mereka itu. Selanjutnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: Dan apabila Kami rasakan sesuatu rahmat kepada manusia, niscaya mereka gembira dengan rahmat itu.
Ayat 36
Dan apabila mereka ditimpa sesuatu musibah (bahaya) disebabkan kesalahan yang telah dikerjakan oleh tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka itu berputus asa. (Ar-Rum: 36) Ini merupakan pengingkaran yang ditujukan kepada manusia dipandang dari segi tabiatnya, terkecuali orang-orang yang dipelihara oleh Allah dan diberi-Nya taufik. Karena sesungguhnya manusia itu bangga apabila diberi suatu nikmat, lalu mengatakan seperti apa yang disitir oleh firman-Nya: "Telah hilang bencana-bencana itu dariku, sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga. (Hud: 10) Yakni dia merasa gembira dan berbangga diri terhadap yang lainnya.
Tetapi apabila ia tertimpa suatu kesengsaraan, maka berputus asalah dia dari mendapat kebaikan sesudahnya. Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman: kecuali orang-orang yang sabar (terhadap bencana) dan mengerjakan amal-amal shalih. (Hud: 11) Yakni sabar dalam menghadapi kesengsaraan dan rajin beramal shalih dalam keadaan makmur dan senang, sebagaimana yang disebutkan di dalam hadis sahih melalui sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam: Sungguh menakjubkan orang mukmin itu, tidak sekali-kali Allah menetapkan suatu takdir baginya melainkan hal itu baik baginya. Jika ia mendapat kesenangan, ia bersyukur; dan bersyukur itu adalah baik baginya. Dan jika tertimpa kesusahan, ia bersabar; dan bersabar itu adalah baik baginya.
Ayat 37
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah melapangkan rezeki bagi siapa yang dikehendaki-Nya dan Dia (pula) yang menyempitkan (rezeki itu). (Ar-Rum: 37) Artinya, Dialah yang mengatur dan yang melakukan itu dengan kebijaksanaan dan keadilan-Nya; Dia melapangkan rezeki suatu kaum dan menyempitkan rezeki yang lainnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang beriman. (Ar-Rum: 37)
Allah memperingatkan mereka atas keputusasaan itu. Dan tidakkah mereka melihat dengan mata kepala beberapa fenomena yang terjadi, tidak terkecuali pada diri mereka sendiri, bahwa Allah yang melapangkan rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, bukan semata hasil usaha mereka, dan Dia pula yang membatasi rezeki bagi siapa yang Dia kehendaki, meski ia telah berusaha keras untuk meraih rezeki sebanyak-banyaknya' Sungguh, pada yang demikian itu, yakni lapang dan sempitnya rezeki, benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi kaum yang beriman yang meyakini keesaan dan kekuasaan-Nya yang sempurna sehingga mereka menyerahkan segala urusan kepada-Nya. 38. Usai menjelaskan bahwa lapang-sempitnya rezeki merupakan ketentuan Allah dan sarana untuk menguji keimanan hamba-Nya, kemudian pada ayat ini Allah meminta orang mukmin tidak hanya berinfak dan bersedekah, melainkan juga melakukan kebaikan apa pun bentuknya kepada siapa saja, khususnya kaum kerabat. Maka berikanlah haknya kepada kerabat dekat dengan menjaga hubungan silaturahmi, berbuat kebajikan, dan berkorban untuknya, juga kepada orang miskin dengan meringankan beban hidupnya dan orang-orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridaan Allah melalui usaha-usaha baiknya. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Melalui pemberian dan pengorbanan, dalam lingkup terbatas, kerabat akan tercukupi kebutuhannya, dan dalam lingkup yang lebih luas, perbuatan itu akan melahirkan sikap tolong-menolong di antara sesama muslim.
Perilaku cepat lupa diri ketika memperoleh kesenangan dan putus asa ketika memperoleh kesusahan itu terjadi karena mereka menjauh dari Allah. Akibatnya mereka tidak menyadari bahwa yang mengatur rezeki manusia adalah Allah. Allah-lah yang melapangkan rezeki seseorang dan menahan rezeki yang lain sesuai dengan kebijaksanaan-Nya. Perbedaan rezeki itu terjadi karena perbedaan kemampuan, dan perbedaan kemampuan mengakibatkan perbedaan posisi manusia dalam kehidupan. Karena perbedaan posisi itulah, maka seluruh lapangan pekerjaan dapat diisi manusia sesuai dengan kemampuannya itu. Allah berfirman:
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kamilah yang menentukan penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (az-Zukhruf/43:32)
Kenyataan itu bagi yang beriman memberikan pelajaran bahwa Allah ada dan Mahakuasa serta Mahabijaksana. Baik kelapangan maupun keterbatasan rezeki keduanya adalah ujian dari Allah, mampukah yang diberi-Nya rezeki menggunakannya sesuai dengan yang dikehendaki Allah, dan mampukah yang rezekinya terbatas menyadari keterbatasannya.
Di samping itu, nikmat Allah tidak hanya bersifat materi, tetapi juga non-materi, seperti kesehatan, ketenangan hidup, nama baik, dan sebagainya. Sering terjadi bahwa Allah mencurahkan nikmat yang bersifat materi kepada seseorang, tetapi membatasi nikmat non-materi. Sebaliknya sering Allah membatasi nikmat yang bersifat materi kepada seseorang, tetapi mencurahkan nikmat non-materi-Nya. Itu menunjukkan bahwa Allah Mahakuasa dan Mahabijaksana, sehingga manusia seharusnya mengimani-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TEGAKKANLAH WAJAH KEPADA AGAMA
Ayat 30
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama, dalam keadaan lurus “
Tegakkanlah wajahmu, artinya berjalanlah tetap di atas jalan agama yang telah dijadikan syari'at oleh Allah ﷻ untuk engkau. Agama itu adalah agama yang disebut hanif, yang sama artinya dengan al-Mustaqim, yaitu lurus. Tidak membelok ke kiri kanan. Hanif ini pulalah yang disebut untuk agama Nabi Ibrahim. Bahkan dijelaskan bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad ﷺ sekarang ini ialah agama hanif itu atau ash-Shirathal Mustaqim itu, sesudah banyak diselewengkan atau dibelokkan dari tujuan semula oleh anak cucunya. Baik anak cucu yang keturunan Bani Israil, atau anak cucu dari keturunan Bani Isma'il.
Yang keturunan dari pihak Bani Israil menyelewengkan agama Ibrahim itu jadi agama keluarga, lalu mereka beri nama Yahudi, dibangsakan kepada anak tertua dari Ya'qub yang bernama Yahuda. Nama Ya'qub di waktu kecil ialah Israil.
Kemudian itu keturunan selanjutnya dari Bani Israil menyelewengkan pula dengan memasukkan ajaran mitos agama-agama kuno trimurti atau trinitas ke dalam agama, lalu mereka katakan bahwa Tuhan itu adalah tiga dalam yang satu dan satu dalam yang tiga, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah ruh Suci.
Keturunan dari Bani Isma'il menyelewengkan pula. Ibrahim mendirikan Ka'bah sebagai rumah pertama di dunia ini yang diuntukkan bagi menyembah Allah Yang Maha Esa. Namun lama-kelamaan oleh anak cucu Ibrahim dari turunan Isma'il, yang menjadi bangsa Arab, tidak lagi mereka sembah langsung Allah Yang Maha Esa, melainkan mereka sembah berhala-berhala. Mulanya dua tiga berhala, berangsur empat dan lima berhala, kemudian jadi berpuluh berhala. Akhirnya setelah Nabi Muhammad ﷺ datang, didapati mereka itu telah menyembah 360 berhala. Sebagian besar mereka dirikan pada dinding-dinding Ka'bah itu. Bahkan dalam Ka'bah sendiri didapati berhala Maryam sedang memangku Isa al-Masih di waktu masih sarat menyusu. Semuanya itu jadi bukti, bahwa jalan telah banyak dialih orang yang datang kemudian, disadari ataupun tidak. Oleh sebab itu, tegakkanlah mukamu, ya Rasul-Ku, kepada agama ini, agama yang lurus! “Fitrah yang telah Dia fitrahkan manusia atasnya." Artinya lazimilah atau tetaplah pelihara fitrahmu sendiri, yaitu rasa asli murni dalam jiwamu sendiri yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu mengakui adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Maharaya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah, dan elok.
“Sekali-kali tidaklah ada pergantian pada ciptaan Allah." Artinya bahwa Allah ﷻ telah menentukan demikian. Yaitu kepercayaan atas adanya Yang Mahakuasa adalah fitri dalam jiwa dan akal manusia. Itu tidak dapat diganti dengan yang lain. Pada pokoknya seluruh manusia, tidak pandang kedudukan, tidak pandang bangsa dan iklim tempat dilahirkan, benua tempat dia berdiam, namun mereka dilahirkan ke dunia adalah atas keadaan yang demikian itu.
“Itulah agama yang lurus." Atau itulah agama yang bernilai tinggi. Berharga buat direnungkan. Yaitu berpegang teguh dengan syari'at yang telah diatur oleh Allah ﷻ berdasar kepada fitrah yang bersih,
“Tetapi banyaklah manusia yang tidak mengetahui."
Tertutup bagi mereka jalan buat mengetahui hakikat yang benar itu. Adakalanya karena hawa nafsu, adakalanya karena segan melepaskan pegangan lama yang telah di-pusakai dari nenek moyang, adakalanya karena kesombongan karena merasa dilintasi.
Ayat 31
“Dalam keadaan pulang kembali kepada-Nya."
Karena kita ini pada hakikatnya adalah datang dari Dia. Sebab itu akan datang masa-nya kita kembali kepada-Nya.
Yang perlu ialah kesadaran bahwa kita adalah dalam perjalanan pulang. Yang men-celakakan kita ialah kalau kita tidak sadar, bahwa kita dalam perjalanan kembali. Apabila gelora hawa nafsu masih belum tertahankan juga, an-Nafsul Lawwamah dan an-NafsuI Ammarah belum teratasi, jalan buat kembali belumlah kita sadari. Tetapi bilamana telah banyak pengalaman pahit dalam hidup, kegagalan dan kejayaan, gembira bergantian dengan ratap tangis, tercapailah an-Nafsul Muthma'innah, di waktu itulah akan terdengar panggilan Allah ﷻ
“Dan takwalah." Artinya takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT, menuntut ridha-Nya, mengharapkan kasih-Nya, menakuti siksa-Nya, dan ingat selalu kepada-Nya (dzikir) sehingga gerak-gerik hidup terpelihara dari gangguan musuh-musuh diri, yaitu hawa dan nafsu, dunia dan setan."Dan dirikanlah shalat." Karena shalat itulah tanda taat setia yang sejati.
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan."
Apabila shalat lima waktu telah dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dipahamkan dan dihayati, akan terhindar sendirilah seseorang dari mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ Sejak mengangkat takbir “Allahu Akbar" saja pun telah jelas tujuan hanya satu. Yang Mahabesar hanya Allah SWT, ke sana jiwa dihadapkan. Dan jika dihayati lagi permulaan al-Faatihah, yaitu “Alhamdulillah", segala apa jua pun pujian hanya teruntuk bagi Allah SWT, dan Dia yang Pengasih. Dia yang Penyayang dan hanya Dia yang akan menentukan pembalasan dan ganjaran di Hari Kemudian (Maliki yaumiddin), niscaya tidaklah orang akan jadi musyrik.
Lalu dijelaskan lagi siapakah dan apakah ciri-ciri dari orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
Ayat 32
“(Yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka beberapa golongan."
Pokok agama hanya satu, tidak dua. Kedatangan rasul-rasul membawa syari'at, sejak Nabi Nuh sampai nabi-nabi yang lain, sampai Nabi Muhammad ﷺ adalah membawa inti agama yang satu, yaitu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ﷻ Nabi datang silih berganti, namun seruan mereka hanya kepada jalan yang satu itu. Tetapi seketika datang Nabi Isa yang mengakui dengan tulus ikhlas bahwa kedatangan beliau adalah menggenapkan syari'at Nabi Musa, orang yang mengakui diri pengikut ajaran Musa menolak dia, bahkan menuduh bahwa kelahirannya ke dunia adalah dalam cara yang tidak halal.
Nabi Isa mengatakan pula bahwa sesudah dia kelak akan datang lagi nabi yang lain menyempurnakan ajaran itu, itulah Paraclit. Orang yang Terpuji. Demi setelah dia datang, umat yang mengaku pengikut Nabi Isa menuduhnya nabi palsu dan perusak. Dan yang mengikuti Nabi Musa tadi pun membenci dia, bahkan di kala hidupnya pernah bersekongkol hendak membunuh dia. Itulah contoh dari orang yang mempersekutukan Allah SWT, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama, lalu menjadi beberapa golongan. Kemudian dari golongan itu terpecah-pecah lagi menjadi beberapa golongan, sekte-sekte, kelompok-kelompok.
“Tiap-tiap kelompok dengan apa yang ada pada mereka merasa bangga."
Merasa diri benar sendiri dan orang lain salah belaka, dan tidak ada yang ingin mencari atau kembali kepada titik pertemuan, yaitu iman kepada Keesaan Allah ﷻ
***
(35)
Ayat 33
“Dan apabila suatu bahaya menyentuh manusia, mereka setulah Tuhan mereka, mereka kembali kepada-Nya."
Tegasnya ialah bilamana bahaya datang, mereka bergegas menyeru Allah ﷻ Waktu itu mereka ingat Allah ﷻ Waktu itu mereka benar-benar ingin kembali kepada Allah ﷻ Karena sudah terang dan nyata banyak soal dalam hidup ini yang tenaga manusia tidak dapat lagi mengatasinya.
“Kemudian apabila Atlah mengenyamkan rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan."
Mereka tidak ingat lagi, bahwa rahmat itu semata-mata datang dari Allah SWT, ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan pemimpinnya, bahwa pemimpin itulah yang berjasa. Ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan keris yang dia pakai atau dengan jimat bertuah pusaka nenek moyangnya, atau mereka puji hari dan tanggal. Kadang-kadang memuja benda lebih daripada semestinya.
Ayat 34
“Jadilah mereka kafir dengan apa yang didatangkan Allah kepada mereka."
Artinya dengan terang-terangan mereka memungkiri peranan ilahi dalam kenangan yang mereka dapati dan terlepasnya mereka dari bahaya. Seakan-akan Allah ﷻ tidak ada campur tangan dalam kebahagiaan yang dia capai. Dia bersuka ria menyambut kemenangan, tetapi Allah ﷻ mereka lupakan. Bahkan kerapkali kejadian bahwa dengan sebab rahmat Allah ﷻ yang mereka terima, mereka lupa sama sekali berterima kasih kepada Ilahi yang menurunkan rahmat “Ber-senang-senanglah kamu!" Sehingga lantaran bersenang-senang, gembira ria, kamu lupa bahwa keadaan berubah dan Allah ﷻ bisa saja mencabut kembali nikmat rahmat yang Dia berikan itu.
“Maka akan tahu sendirilah kamu “
Akan tahu sendirilah kamu bahaya lain yang akan menimpa kelak, yang kamu tidak pula akan sanggup mengatasi dan menyelesaikannya kalau tidak dengan pertolongan Allah ﷻ
Ayat 35
“Atau apakah pernah Kami menurunkan alasan kuat kepada mereka?"
Di dalam ayat disebutkan Sulthan, lalu kita tafsirkan dengan alasan kuat. Sulthan banyak artinya. Kadang-kadang artinya ialah penguasa atau kepala negara dan kadang-kadang diartikan juga dengan kekuatan atau dengan alasan yang kuat Kadang-kadang diartikan juga dengan keterangan yang cukup dan bisa diterima. Dalam ayat ini kita ambil arti alasan yang kuat Maka maksud pangkal ayat ini ialah bertanya, pernahkah Allah ﷻ menurunkan kepada mereka alasan atau perintah yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa Atlah ﷻ dapat dipersekutukan dengan yang lain? Pernahkah ada perintah dan keterangan dari Allah ﷻ bahwa Allah ﷻ melimpahkan wewenang atau membagi kuasa dengan makhluk-Nya dalam menguasai alam ini?
“Lalu dia berkata dengan apa yang telah mereka pensekutukan itu."
Artinya, bahwa Sulthan atau alasan kuat itulah yang berkata, tegasnya lagi memberikan keterangan bahwa pekerjaan mereka itu adalah benar.
Tentu saja pertanyaan ini adalah istifham inkari, yaitu pertanyaan yang mengandung sendiri arti bantahan. Bahwa Allah ﷻ tidak pernah menurunkan wahyu atau perintah bahwa selain dari Allah ﷻ patut disembah dan dipuja. Itu hanya karangan dan khayat manusia saja sebab kelam otaknya dari sinar kebenaran.
Ayat 36
“Dan apabila Kami berikan kepada manusia suatu rahmat, bergembiralah mereka dengan dia."
Ini pun suatu kritik kepada perangai kebanyakan manusia. Yaitu kalau rahmat datang, keuntungan tiba, mereka bergembira-ria. Saking gembiranya kadang-kadang dia lupa dari mana nikmat rahmat itu dia terima, dari mana sumber tempat datangnya
“Dan jika menimpa kepada mereka kesusahan, tersebab dari tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka pun putus asa."
Di saat kesusahan itu banyaklah orang yang putus asa. Kadang-kadang kita melihat kejadian itu serentak berdekatan. OKB (Orang Kaya Baru) menyelimpangkan kakinya di mobil yang mewah, dengan tangannya disangkutkannya di tempat berpegangan dalam mobil dengan megah dan sombongnya. Anak-anak dan istri nya duduk dengan pongah karena berenang di atas uang banyak, entah dari mana asal didapat. Mereka melayang menderu di atas jembatan. Sedang di bawah jembatan itu bergelimpangan tidur orang-orang yang telah putus asa dari hidup, yang telah tertutup pintu pencarian, urban (pindah dari desa ke kota) karena di desa pun hidup sudah sangat sulit. Mereka putus asa, yang laki-laki jadi pencopet pencuri kain jemuran. Yang perempuan siang tidur-tiduran, malam menjadi kupu-kupu ma-lam, menyebarkan penyakit sipilis.
Kekosongan jiwa dari yang terlompat ke atas mobil mewah dengan yang jatuh ter-sungkur ke bawah jembatan, sebenarnya sama saja.
Ayat 37
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Allah membentangkan rezeki untuk banangsiapayang Dia kehendaki dan mengagokkan".
Ini adalah tanda kekayaan dari Allah ﷻ itu sendiri. Allah ﷻ menentukan pemberian rezeki, dan rezeki itu bukanlah semata-mata kekayaan harta benda, bahkan terutama sekali pikiran, cita-cita, kecerdasan, dan seumpamanya. Ada orang yang terbentang lebar rezekinya, sebab itu ada orang yang berpikiran tinggi, bercita-cita besar, filsuf, pemimpin negara, pemimpin bangsa, jenderal memimpin peperangan. Sebaliknya ada orang yang bodoh, yang cita-citanya, hidupnya hanya sekadar mencari makan, prajurit yang dikerahkan dan mati di medan perang sebagai prajurit yang tidak dikenal. Ada orang bernasib baik jadi sultan, jadi presiden dan jadi menteri, ada pula yang hanya jadi sopir presiden, jadi tukang membersihkan kamar atau tukang rumput. Ada orang yang mendapat rezeki kekayaan berlimpah, tetapi ada yang hanya diagakkan saja, sekadar dapat makan, itu pun susah mencarinya.
“Sesungguhnya pada yang demikian adalah tanda-tanda bagi kaum yang beriman."
Pintar dan bodoh, jenderal dan prajurit, filsuf dan si goblok, kaya raya dan miskin papa, semuanya itu adalah tanda bahwa alam ini ada Yang Mengatur. Itulah Allah ﷻ Terdapatnya pertimbalan di antara dua yang berlawanan, yaitu di antara yang tinggi dengan yang rendah, adalah tanda Allah Mahasem-purna. Kalau Allah ﷻ hanya Mahakuasa menciptakan yang tinggi, sehingga tidak ada yang rendah, atau hanya Mahakuasa men-ciptakan yang besar-besar, sehingga tidak ada yang kecil, dan seterusnya dan seterusnya, di manakah kita akan dapat mengenal kekayaan Allah SWT? Tidaklah mungkin manusia sama rata kayanya, atau miskin melarat semua. Karena kalau demikian dapatlah dikatakan bahwa Allah ﷻ itu tidak kaya dan di dunia ini tidak ada perjuangan hidup dan berusaha.
Di ujung ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa jika Allah ﷻ membentangkan atau mengembangkan rezeki seluas-luasnya kepada setengah hamba-Nya dan yang setengahnya lagi dihinggakan terbatas, atau diagakkan, bahwa itu adalah salah satu dari tanda-tanda Kebesaran Ilahi juga. Kalau tidak ada begitu, maka tidaklah ada lagi di dunia ini persoalan yang dinamai perikemanusiaan.
Ayat 38
“Maka berikanlah kepada kaum kerabat akan haknya dan orang miskin dan anak perjalanan."
Disebut terlebih dahulu, atau diprioritaskan kaum kerabat, keluarga yang terdekat, hendaklah mereka terlebih dahulu ditolong. Sebelum menolong orang lain, tolonglah yang terdekat.
Lanjutan ayat ialah,
“Itulah yang baik bagi orang yang menghendaki wajah Allah." Yaitu kalau Allah ﷻ telah memberikan keluasan pada rezeki, sehingga telah mendapat kehidupan yang layak, janganlah lupa membantu dan menolong orang yang berkekurangan, karena Allah ﷻ Bukan karena mengharapkan dipuji orang, bukan beramal karena riya. Ingatlah bahwa kekayaan dan kelebihan yang ada padamu, adalah semata-mata anugerah dari Allah ﷻ Bersyukurlah atas nikmat itu dengan menolong orang lain.
“Dan itulah orang-orang yang beruntung."
Orang yang dermawan karena Allah SWT, adalah orang yang beruntung. Dia tidak dibenci orang karena bakhilnya. Malahan orang yang diberi bantuan akan mendoakannya, moga-moga diberi Allah ﷻ dia rezeki yang berlipat ganda. Tetapi orang kaya yang bakhil senantiasa akan diomeli dan diumpat orang, apa lagi orang kaya yang memberi tetapi selalu menyebut-nyebut pemberiannya.
Ayat 39
“Dan apa yang kamu berikan dari rtiba supaya dibungai pada harta benda manusia, maka tidaklah dia berbunga di sisi Allah ﷻ"
Arti riba sudah sama kita ketahui, yaitu meminjami orang harta dengan janji ketika membayar pinjaman itu diberinya bunganya, atau rente-nya. Riba yang demikian sudah nyata terlarang. Tetapi ada lagi semacam riba, tidak begini tidak terlarang, karena tidak dijadikan syarat. Yaitu kita memberikan pertolongan, baik tenaga, atau benda kepada orang lain, tetapi ada harapan tersembunyi, moga-moga kelak dibalasinya pula sebagai balas jasa, dengan balasan yang lebih besar. Maka bertalian dengan ayat 38 yang sebelumnya, diperingatkanlah kepada seseorang yang hendak menolong orang lain moga-moga kelak dia membalas jasa, membalas terima kasih dengan berlipat ganda; tidaklah baik. Maka arti ayat ini ialah jika kamu menolong orang lain dengan harapan moga-moga suatu waktu orang itu tidak lupa akan jasa kamu, moga-moga dia membalas, maka cara yang demikian itu kuranglah baiknya. Karena tidak selalu orang itu akan terkenang membalas jasa, atau akan sanggup membalas jasa. Misalnya menolong seorang miskin. Apa balasan yang akan diharap dari orang miskin? Apakah diharapkan, bahwa dia suka datang ke rumah untuk membersihkan pekarangan rumah kita? Alangkah rendahnya dasar cita ketika kita memberi kalau demikian halnya.
Sebab itu dalam ayat ditegaskan, kalau orang memberi pertolongan mengharapkan balas jasa dari orang itu, maka di sisi Allah ﷻ pertolongannya itu tidak akan diberi penghargaan.
“Tetapi apa yang kamu berikan dari zakat, yang kamu harapkan wajah Allah, maka itulah dia mereka yang melipatgandakan."
Tetapi jika kamu berbuat sebaliknya, yaitu kamu keluarkan hartamu berupa zakat, baik zakat wajib atau zakat tathawwu', timbul dari keikhlasan hati, karena zakat itu sendiri artinya ialah bersih, timbul dari hati yang bersih, membersihkan jiwa dari mengharapkan manusia, membersihkan harta dari hak yang wajib diterima oleh fakir miskin. Maka kalau harta itu dikeluarkan bersifat zakat, bukan mengharapkan balasan manusia, melainkan mengharap wajah Allah SWT, dijelaskanlah di ujung ayat bahwa orang yang berbuat demikian itu telah memperlipatgandakan hartanya itu. Dia telah kaya. Rezeki yang diberikan Allah ﷻ itu telah diperbuatnya bernilai tinggi sekali. Karena harta benda yang dipergunakan untuk meratakan jalan Allah SWT, adalah harta yang bernilai sangat tinggi. Dan pahala di sisi Allah ﷻ pun akan diterimanya pula berlipat ganda.
Ayat 40
“Allah-lah yang telah menciptakan kamu."
Menciptakan kamu dari tanah, kemudian menjadi manusia yang bertebaran di muka bumi, seperti tersebut pada ayat 20 yang telah lalu. “Kemudian itu memberimu rezeki, “sebagai jaminan hidup, selama kamu masih hidup di atas dunia ini." Kemudian itu mematikan kamu, apabila ajalmu telah sampai. “Kemudian itu menghidupkan kamu," dengan datangnya panggilan kepada kamu yang disebut hari Kiamat. Kiamat artinya kebangkitan.
“Apakah dari apa-apa yang kamu persekutukan itu yang berbuat semacam yang demikian itu agak secuil?" Adakah berhala yang kamu sembah itu yang sanggup membuat manusia? Adakah kuburan yang kamu puja itu yang sanggup memberimu rezeki? Adakah barang yang kamu anggap sakti itu yang sanggup memberimu hidup atau menentukan ajal-mu? Jika kamu kelak dibangunkan kembali di hari Kiamat, ikut sertakah yang kamu puja itu membangunkan kamu kembali?
“Mahasuci Dia dan Mahaagung, dari apa yang kamu pensekutukan itu."
Satu tantangan yang tegas sekali terhadap orang-orang yang memperbodoh dan mem-perhina diri sendiri dengan mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
***
Ayat 41
“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab buatan tangan manusia."
Allah ﷻ telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi Khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Allah ﷻ Banyaklah rahasia kebesaran dan kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia karena usaha manusia. Sebab itu maka menjadi khalifah hendaklah menjadi Mushiih, berarti suka memperbaiki dan memperindah.
Janganlah kita terpesona melihat berdirinya bangunan-bangunan raksasa, jembatan-jembatan panjang, gedung-gedung bertingkat menjulang langit, menara Eiffel, sampainya manusia ke bulan di penggal kedua dari abad kedua puluh ini. Janganlah dikatakan bahwa itu pembangunan, kalau kiranya jiwa bertambah jauh dari Allah ﷻ Terasa dan dikeluhkan oleh manusia seisi alam di zaman sekarang dalam kemajuan ilmu pengetahuan ini hidup mereka bertambah sengsara. Kemajuan teknik tidak membawa bahagia, melainkan cahaya. Perang selalu mengancam. Perikemanusiaan tinggal dalam sebutan lidah, namun niat jahat bertambah subur hendak menghancurkan orang lain.
Di daratan memang telah maju pengangkutan, jarak dunia bertambah dekat. Namun hati bertambah jauh. Heran! Banyak orang membunuh diri karena bosan dengan hidup yang serba mewah dan serba mudah ini. Banyak orang yang dapat sakit jiwa. Tepat sambungan ayat, “Supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan “ Dalam sambungan ayat ini terang sekali, bahwa tidaklah semua pekerjaan manusia jahat, bahkan hanya setengah. Seumpama kemajuan kecepatan kapal udara; yang setengah ada faedahnya bagi manusia, sehingga mudah berhubungan. Tetapi yang setengahnya lagi kapal udara itu telah digunakan untuk melemparkan bom, bahkan bom atom, bom hidrogen dan senjata-senjata nuklir.
Kadang-kadang termenung kagum kita memikirkan ayat ini. Sebab dia dapat saja di-tafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. Ahli-ahli pikir yang memikirkan apa yang akan terjadi kelak, ilmu yang diberi nama futurologi, yang berarti pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan yang sekarang. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi di darat karena bekas buatan manusia ialah apa yang mereka namai polusi, yang berarti pe-ngotoran udara, akibat asap dari zat-zat pem-bakar, minyak tanah, bensin, solar, dan se-bagainya. Bagaimana bahaya dari asap pabrik-pabrik yang besar-besar bersama dengan asap mobil dan kendaraan bermotor yang jadi kendaraan orang ke mana-mana. Udara yang telah kotor itu diisap tiap saat sehingga paru-paru manusia penuh dengan kotoran.
Kemudian diperhitungkan orang pula kerusakan yang timbul di lautan. Air laut yang rusak karena kapal tangki yang besar-besar membawa minyak tanah atau bensin pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabrik kimia yang mengalir melalui sungai-sungai menuju lautan, kian lama kian banyak. Hingga air laut penuh racun dan ikan-ikan jadi mati. Pernah Sungai Seine di Eropa mengempaskan bangkai seluruh ikan yang hidup dalam air itu, terdampar ke tepi sungai jadi membusuk, tidak bisa dimakan. Demikian pula pernah beratus ribu, berjuta ikan mati terdampar ke tepi Pantai Selat Teberau di antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura. Besar kemungkinan bahwa ikan-ikan itu keracunan.
Di ujung ayat disampaikan seruan agar manusia berpikir,
“Mudah-mudahan mereka kembali."
Arti kembali itu tentu sangat dalam. Bukan maksudnya mengembalikan jarum sejarah ke belakang. Melainkan kembali menilik diri dari mengoreksi niat, kembali memperbaiki hubungan dengan Allah ﷻ Jangan hanya ingat akan keuntungan diri sendiri, lalu me-rugikan orang lain. Jangan hanya ingat laba sebentar dengan merugikan bersama, tegasnya dengan meninggalkan kerusakan di muka bumi. Dengan ujung ayat mudah-mudahan, di-tampakkanlah bahwa harapan belum putus.
Ayat 42
“Katakanlah! Mengembaralah di bumi, maka perhatikanlah betapa adanya akibat orang-orang yang terdahulu."
Di sinilah timbul pepatah Minang, “Melihat tuah pada yang menang, melihat celaka pada yang kalah." Bahwasanya sejarah jalan hidup manusia itu adalah sama. Barang mana pun manusia yang sanggup memikul tanggung jawab menjadi Khalifah Allah di muka bumi, bertemulah bekas peninggalan mereka yang baik-baik, akan jadi kenangan dan suri teladan bagi anak cucu. Tetapi barangsiapa yang melalaikan tugasnya, lalu bekas buruk yang mereka tinggalkan, maka akan jelas pulalah bekas yang buruk itu. Umat yang datang kemudian tidak pula akan berubah dari demikian, karena manusia tetaplah manusia dahulu dan sekarang dan nanti.
“Adalah kebanyakan mereka itu musyrik"
Yang berarti bahwa selama mereka itu masih mengingat Allah SWT, masih bertuhan satu, tidaklah mereka akan ditimpa keruntuhan sehancur itu.
Sesudah itu sekali lagi Allah ﷻ berpesan kepada Rasul-Nya,
Ayat 43
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus."
Di samping Rasul ﷺ disuruh menyampaikan dakwah yang tegas kepada kaumnya dan umat manusia seluruhnya, Allah ﷻ pun memperingatkan kembali supaya dia selalu memperkuat diri, membuat pribadi sendiri jadi teguh dan tabah. Jalannya ialah dengan selalu menegakkan wajah kepada agama yang lurus, agama Islam. Penyerahan diri yang bulat-bulat semata kepada Allah ﷻ"Sebelum bahwa datang hari yang tidak dapat menolaknya dari Allah." Hari yang tidak dapat menolaknya jika Allah ﷻ telah menentukan adalah dua, pertama untuk diri sendiri, kedua untuk alam seluruhnya. Yang bagi diri ialah maut. Maka sampai nyawa bercerai dengan badan janganlah lelah dari muraaqabah, yaitu selalu menegakkan muka dengan penuh kesadaran meneguhkan iman dalam agama itu, jangan dipalingkan muka kepada yang lain, agar mati dalam husnul khatimah.
Yang kedua, ialah bila Kiamat datang. Jika hari itu datang dan dia pun pasti sepasti mati bagi tiap orang, tidaklah dunia ini dapat dielakkan dari saat itu. Bumi ini hanya laksana sebutir pasir kecil saja di samping berjuta bintang di ruang angkasa. Semua kecil di hadapan Allah ﷻ
"Di hari itu mereka akan bercerai-berai." Masing-masing orang akan dibawa untungnya masing-masing menurut timbangan amalnya di dunia. Bercerai-berai, yang masuk surga dan yang masuk neraka. Walaupun ayah dengan anak, suami dengan istri dan keluarga dekat dan jauh, berpisah dibawa untung. Kalau nasib baik, masuk juga ke dalam surga bersama-sama, di sanalah baru bertemu.
Ayat 44
“Barangsiapa yang kafir, maka atasnyalah kafirnya."
Artinya bahwa barangsiapa yang kafir, akibat dari kekafirannya itu akan ditanggung-nya sendiri.
“Dan barangsiapa yang beramal yang saleh, maka mereka telah menyiapkan jalan bagi diri mereka sendiri."
Jelas sekali maksud ayat ini, yaitu bilamana seseorang mengerjakan amalan yang saleh ketika hidup di dunia ini, berarti mereka telah menyiapkan sendiri jalan yang akan ditempuhnya di akhirat kelak, yaitu jalan bahagia, jalan masuk ke dalam surga.
Ayat 45
“Karena itu, “yaitu Allah, “Akan memberikan ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh-saleh dari karunia-Nya."
Kemudian itu sebaliknya,
“Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang kufur."