Ayat
Terjemahan Per Kata
فَأَقِمۡ
maka tegakkan/hadapkanlah
وَجۡهَكَ
wajahmu
لِلدِّينِ
kepada agama
حَنِيفٗاۚ
yang lurus
فِطۡرَتَ
fitrah/ciptaan
ٱللَّهِ
Allah
ٱلَّتِي
yang
فَطَرَ
menciptakan
ٱلنَّاسَ
manusia
عَلَيۡهَاۚ
atasnya (menurut fitrah)
لَا
tidak ada
تَبۡدِيلَ
perubahan
لِخَلۡقِ
bagi ciptaan
ٱللَّهِۚ
Allah
ذَٰلِكَ
demikian itu
ٱلدِّينُ
agama
ٱلۡقَيِّمُ
yang lurus
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَ
kebanyakan
ٱلنَّاسِ
manusia
لَا
tidak
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
فَأَقِمۡ
maka tegakkan/hadapkanlah
وَجۡهَكَ
wajahmu
لِلدِّينِ
kepada agama
حَنِيفٗاۚ
yang lurus
فِطۡرَتَ
fitrah/ciptaan
ٱللَّهِ
Allah
ٱلَّتِي
yang
فَطَرَ
menciptakan
ٱلنَّاسَ
manusia
عَلَيۡهَاۚ
atasnya (menurut fitrah)
لَا
tidak ada
تَبۡدِيلَ
perubahan
لِخَلۡقِ
bagi ciptaan
ٱللَّهِۚ
Allah
ذَٰلِكَ
demikian itu
ٱلدِّينُ
agama
ٱلۡقَيِّمُ
yang lurus
وَلَٰكِنَّ
akan tetapi
أَكۡثَرَ
kebanyakan
ٱلنَّاسِ
manusia
لَا
tidak
يَعۡلَمُونَ
mereka mengetahui
Terjemahan
Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.
Tafsir
(Maka hadapkanlah) hai Muhammad (wajahmu dengan lurus kepada agama Allah) maksudnya cenderungkanlah dirimu kepada agama Allah, yaitu dengan cara mengikhlaskan dirimu dan orang-orang yang mengikutimu di dalam menjalankan agama-Nya (fitrah Allah) ciptaan-Nya (yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu) yakni agama-Nya. Makna yang dimaksud ialah, tetaplah atas fitrah atau agama Allah. (Tidak ada perubahan pada fitrah Allah) pada agama-Nya. Maksudnya janganlah kalian menggantinya, misalnya menyekutukan-Nya. (Itulah agama yang lurus) agama tauhid itulah agama yang lurus (tetapi kebanyakan manusia) yakni orang-orang kafir Mekah (tidak mengetahui) ketauhidan atau keesaan Allah.
Tafsir Surat Ar-Rum: 30-32
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui, dengan kembali bertobat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah salat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Ar-Rum: 30-32)
Ayat 30
Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, bahwa luruskanlah wajahmu menghadap kepada agama yang telah disyariatkan oleh Allah bagimu, yaitu agama yang hanif, agama Ibrahim, yang telah ditunjukkan oleh Allah kepadamu dan disempurnakan-Nya bagimu dengan sangat sempurna. Selain dari itu kamu adalah orang yang tetap berada pada fitrahmu yang suci yang telah dibekalkan oleh Allah kepada semua makhluk-Nya. Karena sesungguhnya Allah telah membekalkan kepada semua makhluk-Nya pengetahuan tentang keesaan-Nya, dan bahwa tidak ada Tuhan selain Dia, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam pembahasan yang terdahulu dalam tafsir firman-Nya: dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab, "Betul (Engkau Tuhan kami)" (Al-A'raf: 172) Di dalam sebuah hadis disebutkan: Sesungguhnya Aku menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif kemudian setan-setan menyesatkan mereka dari agamanya.
Dalam pembahasan berikutnya yang menjelaskan hadis-hadis mengenai hal ini akan disebutkan bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa membekali fitrah Islam kepada makhluk-Nya, kemudian sebagian dari mereka dirasuki oleh agama-agama yang telah rusak, seperti agama Yahudi, Nasrani, serta Majusi. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah 'janganlah kalian mengubah ciptaan Allah, karenanya kalian mengubah manusia dari fitrah mereka yang telah dibekalkan oleh Allah kepada mereka.' Dengan demikian, berarti kalimat ini merupakan kalimat berita, tetapi bermakna perintah, sama dengan pengertian yang terdapat di dalam firman-Nya: barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia. (Ali-Imran: 97) Ini merupakan pendapat yang baik dan sahih.
Ulama tafsir lainnya mengatakan bahwa makna ayat ini adalah kalimat berita sesuai dengan apa adanya, yang berarti bahwa Allah subhaanahu wa ta’aalaa memberikan fitrah-Nya secara sama rata di antara semua makhluk-Nya, yaitu fitrah (pembawaan) yang lurus. Tiada seorang pun yang dilahirkan melainkan dibekali dengan fitrah tersebut dalam kadar yang sama dengan yang lain, tiada perbedaan di antara manusia dalam hal ini. Karena itulah Ibnu Abbas, Ibrahim An-Nakha'i, Sa'id ibnu Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, Adh-Dhahhak, dan Ibnu Zaid mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Yakni agama Allah.
Imam Al-Bukhari mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Ar-Rum: 30) Yaitu agama Allah; fitrah orang-orang dahulu artinya agama orang-orang dahulu, agama dan fitrah maksudnya ialah Islam. Telah menceritakan kepada kami Abdan, telah menceritakan kepada kami Abdullah, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Az-Zuhri, telah menceritakan kepadaku Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, bahwa Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu pernah mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: Tidak ada seorang bayi pun yang dilahirkan melainkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, atau Nasrani atau Majusi.
Sama halnya dengan hewan ternak yang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna, maka apakah kalian melihat adanya kecacatan pada anak hewan itu. Setelah itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam membacakan firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; (Ar-Rum: 30) Imam Muslim meriwayatkannya melalui hadis Abdullah ibnu Wahb, dari Yunus ibnu Yazid Al-Aili, dari Az-Zuhri dengan sanad yang sama. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Hammam, dari Abu Hurairah radhiyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam Semakna dengan hadis ini ada hadis-hadis lain yang diriwayatkan oleh sejumlah sahabat, antara lain Al-Aswad ibnu Sari' At-Tamimi.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Yunus, dari Al-Hasan, dari Al-Aswad ibnu Sari' yang menceritakan bahwa ia datang menghadap kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berperang bersama-sama beliau; dalam perang itu ia memperoleh banyak ganimah. Hari itu perang terjadi amat seru sehingga pasukan kaum muslim membunuhi anak-anak. Ketika berita itu sampai kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, "Apakah gerangan yang dilakukan oleh kaum muslim? Pada hari ini mereka melampaui batas dalam berperang sehingga mereka membunuhi anak-anak kecil?" Seorang lelaki bertanya, "Wahai Rasulullah, bukankah mereka adalah anak-anak kaum musyrik?" Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab, "Tidak, sesungguhnya anak-anak kaum musyrik itu harus dihindari oleh kalian." Beliau melanjutkan sabdanya, "Jangan membunuh anak-anak, jangan membunuh anak-anak." Pada akhirnya beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: Setiap diri itu dilahirkan atas dasar fitrah sehingga ia dapat berbicara mengutarakan keinginan dirinya, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi atau seorang Nasrani.
Imam An-Nasai di dalam Kitabus Siyar-nya telah meriwayatkan hadis ini melalui Ziad ibnu Ayyub, dari Hasyim, dari Yunus ibnu Ubaid, dari Al-Hasan Al-Basri dengan sanad yang sama. Di antara sahabat yang meriwayatkan hadis ini ialah Jabir ibnu Abdullah Al-Ansari. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim, telah menceritakan kepada kami Abu Ja'far, dari Ar-Rabi' ibnu Anas, dari Al-Hasan, dari Jabir ibnu Abdullah yang mengatakan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda: Semua anak dilahirkan atas dasar fitrah, sehingga lisannya dapat mengutarakan keinginan dirinya. Apabila lisannya telah dapat mengungkapkan kemauan dirinya, maka adakalanya ia menjadi orang yang bersyukur (Islam), dan adakalanya ia menjadi orang yang pengingkar (kafir).
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Abu Uwwanah, telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas radhiyallaahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya mengenai anak-anak kaum musyrik. Maka beliau menjawab: Allah lebih mengetahui apa yang akan dilakukan oleh mereka sejak Dia menciptakan mereka. Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim mengetengahkannya melalui hadis Abu Bisyr Ja'far ibnu Iyas Al-Yasykuri, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas secara marfu' dengan teks yang sama.
Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Affan, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Salamah, telah menceritakan kepada kami Ammar ibnu Abu Ammar, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa di suatu masa dia berpendapat bahwa anak-anak kaum muslim bersama-sama kaum muslim, dan anak-anak kaum musyrik bersama-sama kaum musyrik, hingga ada si Fulan menceritakan dari si Fulan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang nasib anak-anak kaum musyrik. Maka beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam menjawab: Allah lebih mengetahui apa yang bakal dilakukan oleh mereka. Yakni apakah mereka masuk Islam ataukah sama dengan orang tua mereka yang musyrik.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ia menemui langsung lelaki yang menceritakan hadis ini, lalu lelaki itu memberitahukan kepadanya hadis ini. Maka sejak saat itu ia tidak lagi memakai pendapatnya. Di antara mereka adalah Iyad ibnu Himar Al-Mujasyi'i.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id, telah menceritakan kepada kami Hisyam, dari Qatadah, dari Mutarrif, dari Iyad ibnu Himar, bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam di suatu hari berkhotbah. Isi khotbahnya antara lain: Sesungguhnya Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk memberitahukan kepada kalian apa yang tidak kalian ketahui dari apa yang telah diberitahukan oleh-Nya kepadaku hari ini. (Dia telah berfirman), "Semua yang telah Kuberikan kepada hamba-hamba-Ku halal; dan sesungguhnya Aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (cenderung kepada perkara yang hak dan benci kepada perkara yang batil) semuanya.
Dan sesungguhnya mereka didatangi oleh setan, lalu setan menyesatkan mereka dari agamanya, dan setan mengharamkan atas mereka apa yang telah Kuhalalkan bagi mereka, dan setan memerintahkan kepada mereka untuk mempersekutukan Aku (dengan sesuatu) yang Aku tidak pernah menurunkan keterangan tentangnya. Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, bahwa sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa memandang kepada penduduk bumi, maka Dia murka terhadap mereka semua yang Arab maupun non Arab kecuali sisa-sisa dari kaum Ahli Kitab. Dan Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, "Sesungguhnya Aku mengutusmu hanya untuk mengujimu dan menjadikanmu sebagai batu ujian (bagi yang lain), dan Aku turunkan kepadamu sebuah Al-Kitab yang tidak terhapuskan oleh air (karena kandungannya dihafal di dalam dada, bukan berupa tulisan), kamu dapat membacanya sambil tiduran dan sambil bangun." Kemudian sesungguhnya Allah subhaanahu wa ta’aalaa telah memerintahkan kepadaku untuk membakar orang-orang Quraisy, maka aku berkata, "Wahai Tuhanku, kalau begitu tentu mereka akan menguliti kepalaku dan membiarkannya menjadi seperti roti." Allah subhaanahu wa ta’aalaa berfirman, "Usirlah mereka sebagaimana mereka mengusirmu; dan perangilah mereka, Kami akan membantumu; dan berinfaklah, maka Kami akan menggantimu; dan kirimkanlah pasukan, maka Kami akan membantumu dengan pasukan yang jumlahnya lima kali lipat dari pasukanmu, dan berperanglah bersama orang yang taat kepadamu untuk menghadapi orang-orang yang durhaka kepadamu." Ahli surga itu ada tiga macam orang, yaitu: Penguasa yang berlaku adil, pemberi sedekah yang sukses dan seorang lelaki yang penyayang dan berhati lembut terhadap kaum kerabatnya dan setiap orang muslim, dan seorang lelaki yang memelihara kehormatan dirinya lagi tidak mau meminta-minta lagi banyak mempunyai anak.
Ahli neraka itu ada lima macam orang, yaitu: Orang lemah yang tidak punya prinsip, yakni mereka yang menjadi pengikut di kalangan kalian; mereka tidak pernah menginginkan punya keluarga dan tidak pula harta; pengkhianat yang tiada suatu keinginan sekecil apa pun melainkan dia pasti berkhianat kepadanya, dan seorang lelaki yang tidak pernah melewati waktu pagi dan tidak pula waktu sore melainkan dia selalu menipumu terhadap keluarga dan harta bendamu.
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menyebutkan pula pendusta, buruk perangai, dan orang yang bermulut kotor. Imam Muslim mengetengahkan hadis ini secara tunggal, dan dia meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Qatadah dengan sanad yang sama. Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: (Itulah) agama yang lurus. (Ar-Rum: 30) Yakni berpegang kepada syariat dan fitrah yang utuh merupakan agama yang tegak dan lurus. tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (Ar-Rum: 30) Karena itulah maka kebanyakan orang tidak mengetahuinya, dan mereka berpaling darinya, sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: Dan sebagian besar manusia tidak akan beriman, walaupun kamu sangat menginginkannya. (Yusuf: 103) Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. (Al-An'am: 116), hingga akhir ayat.
Ayat 31
Adapun firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: dengan kembali bertobat kepada-Nya. (Ar-Rum: 31) Ibnu Zaid dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa makna inabah ialah kembali kepada-Nya. dan bertakwalah kepada-Nya. (Ar-Rum: 31) Artinya, takutlah kepada-Nya dan selalulah kalian merasa diawasi olehNya. serta dirikanlah salat. (Ar-Rum: 31) Salat merupakan ketaatan yang paling besar. dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah. (Ar-Rum: 31) Tetapi jadilah kalian orang-orang yang mengesakan-Nya, mengikhlaskan diri hanya kepada-Nya dalam beribadah, dan tiada yang kalian kehendaki dalam ibadah itu selain hanya karena-Nya.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Ishaq, dari Zaid ibnu Abu Maryam yang mengatakan bahwa Umar radhiyallaahu ‘anhu bersua dengan Mu’adz ibnu Jabal, lalu Umar bertanya, "Apakah yang menjaga keutuhan tegaknya umat ini?" Mu’adz menjawab, "Ada tiga perkara yang semuanya dapat menyelamatkan mereka, yaitu tetap pada fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu; salat yang merupakan agama; dan taat yang merupakan pemelihara diri (dari perbuatan yang diharamkan)." Maka Umar berkata, "Engkau benar." Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan pula kepadaku Ya'qub, telah menceritakan kepada kami Ibnu Ulayyah, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, bahwa Umar radhiyallaahu ‘anhu pernah bertanya kepada Mu’adz, "Apakah yang melestarikan tegaknya agama ini?" Lalu disebutkan hal yang semisal.
Ayat 32
Firman Allah subhaanahu wa ta’aalaa: yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka. (Ar-Rum: 32) Janganlah kalian menjadi seperti orang-orang musyrik yang telah memecah belah agama mereka, yakni mengganti dan mengubahnya, serta beriman kepada sebagiannya dan ingkar kepada sebagian yang lainnya. Sebagian ulama membacanya yang artinya menjadi seperti berikut, bahwa mereka meninggalkan agamanya di belakang punggung mereka.
Mereka adalah seperti orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang Majusi, para penyembah berhala serta para pemeluk agama yang batil lainnya, selain agama Islam. Seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikit pun tanggung jawabmu terhadap mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah (terserah) kepada Allah. (Al-An'am: 159), hingga akhir ayat. Agama-agama lain sebelum agama kita berselisih pendapat di antara sesamanya menjadi beberapa golongan yang masing-masing berpegang kepada pendapat-pendapat dan prinsip-prinsip yang batil.
Setiap golongan mengira bahwa dirinyalah yang benar. Umat kita berselisih pendapat pula di antara sesama mereka menjadi beberapa golongan. Semuanya sesat kecuali satu golongan, mereka adalah ahli sunnah wal jama'ah yang berpegang teguh kepada Kitabullah dan sunnah Rasul-Nya, serta berpegang kepada apa yang biasa diamalkan di abad pertama Islam, yaitu di masa para sahabat, para tabi'in, dan para Imam kaum muslim, sejak zaman dahulu hingga masa sekarang.
Imam Hakim telah meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang golongan yang selamat di antara golongan-golongan itu. Maka beliau bersabda: Yaitu orang-orang yang berpegang kepada apa yang biasa diamalkan olehku sekarang dan juga (yang biasa diamalkan) oleh para sahabatku.".
Setelah memaparkan bukti-bukti keesaan dan kekuasaan Allah serta meminta Rasul dan umatnya bersabar dalam berdakwah, melalui ayat berikut Allah meminta mereka agar selalu mengikuti agama Islam, agama yang sesuai fitrah. Maka hadapkanlah wajahmu, yakni jiwa dan ragamu, dengan lurus kepada agama Islam. Itulah fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Manusia diciptakan oleh Allah dengan bekal fitrah berupa kecenderungan mengikuti agama yang lurus, agama tauhid. Inilah asal penciptaan manusia dan tidak boleh ada seorang pun yang melakukan perubahan pada ciptaan Allah tersebut. Itulah agama yang lurus, agama tauhid, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui dan menyadari bahwa mengikuti agama Islam merupakan fitrahnya. 31. Berpegangteguhlah pada agama yang lurus itu dengan mendekat dan kembali bertobat kepada-Nya dengan sepenuh hati, dan bertakwalah kepada-Nya dengan melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta laksanakanlah salat secara konsisten dan sempurna, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah dalam beribadah atau mempersekutukan-Nya dengan mengikuti agama yang menyimpang.
Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad meneruskan tugasnya dalam menyampaikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrik yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah", terdapat perintah Allah kepada Nabi Muhammad untuk mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah dijadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" diartikan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surah yang lain:
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (adz-dzariyat/51: 56)
Menghadapkan wajah (muka) artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. "Wajah" atau "muka" dikhususkan penyebutan di sini karena merupakan tempat berkumpulnya semua panca indera, dan bagian tubuh yang paling terhormat.
Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi:
Tidak ada seorang anak pun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan, atau memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan anaknya dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya. Kemudian Abu Hurairah berkata, "Bacalah ayat ini yang artinya: ? fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah." Dalam riwayat lain, "Sehingga kamu merusaknya (binatang itu)." Para sahabat bertanya, "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil?" Rasul menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat." (Riwayat al-Bukhari dan Muslim)
Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah. Ada yang berpendapat bahwa fithrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah, Ibnu Syihab, dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan utama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat (30) dan hadis Abu Hurairah di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis bahwa Rasulullah ﷺ bersabda kepada manusia pada suatu hari:
Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram . "(Riwayat Ahmad dari hammad)
Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi ﷺ tatkala beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik, beliau menjawab, "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka ketahui," yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis al-Bukhari dari Samurah bin Jundub dari Nabi ﷺ Sebagian dari hadis yang panjang itu berbunyi sebagai berikut:
Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata, "Maka Rasulullah ditanya, 'Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? Rasulullah menjawab, 'Dan anak-anak musyrik." (Riwayat al-Bukhari dari Samurah bin Jundub)
Sebagian ulama lain mengartikan "fithrah" dengan "kejadian" yang dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dikatakan, "Tiap-tiap anak dilahirkan atas kejadiannya." Dengan kejadian itu, sang anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujjah bahwa "fithrah" itu berarti "kejadian" dan "fathir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:
Katakanlah, "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi." (az-Zumar/39: 46)
Dan tidak ada alasan bagiku untuk tidak menyembah (Allah) yang telah menciptakanku. (Yasin/36: 22)
Dia (Ibrahim) menjawab, "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan (pemilik) langit dan bumi; (Dialah) yang telah menciptakannya." (al-Anbiya'/21: 56)
Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tidak ada perubahan. Allah tidak akan mengubah fitrah-Nya. Tidak ada sesuatu pun yang menyalahi aturan itu maksudnya ialah tidak akan sengsara orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut Mujahid, artinya ialah tidak ada perubahan bagi agama Allah. Pendapat ini didukung oleh Qatadah, Ibnu Jubair, adh-ahhak, Ibnu Zaid, dan an-Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan keyakinan. 'Ikrimah meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa Umar bin Khaththab berkata, "Tidak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan." Perkataan ini maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.
Ungkapan "itulah agama yang lurus", menurut Ibnu 'Abbas, bermakna "itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan bahwa itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa agama yang lurus itu ialah agama Islam, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tidak mau memikirkan bahwa agama Islam itu adalah agama yang benar. Oleh karena itu, mereka tidak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka, dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusan-Nya.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
TEGAKKANLAH WAJAH KEPADA AGAMA
Ayat 30
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama, dalam keadaan lurus “
Tegakkanlah wajahmu, artinya berjalanlah tetap di atas jalan agama yang telah dijadikan syari'at oleh Allah ﷻ untuk engkau. Agama itu adalah agama yang disebut hanif, yang sama artinya dengan al-Mustaqim, yaitu lurus. Tidak membelok ke kiri kanan. Hanif ini pulalah yang disebut untuk agama Nabi Ibrahim. Bahkan dijelaskan bahwa yang ditegakkan oleh Muhammad ﷺ sekarang ini ialah agama hanif itu atau ash-Shirathal Mustaqim itu, sesudah banyak diselewengkan atau dibelokkan dari tujuan semula oleh anak cucunya. Baik anak cucu yang keturunan Bani Israil, atau anak cucu dari keturunan Bani Isma'il.
Yang keturunan dari pihak Bani Israil menyelewengkan agama Ibrahim itu jadi agama keluarga, lalu mereka beri nama Yahudi, dibangsakan kepada anak tertua dari Ya'qub yang bernama Yahuda. Nama Ya'qub di waktu kecil ialah Israil.
Kemudian itu keturunan selanjutnya dari Bani Israil menyelewengkan pula dengan memasukkan ajaran mitos agama-agama kuno trimurti atau trinitas ke dalam agama, lalu mereka katakan bahwa Tuhan itu adalah tiga dalam yang satu dan satu dalam yang tiga, yaitu Allah Bapa, Allah Putra, dan Allah ruh Suci.
Keturunan dari Bani Isma'il menyelewengkan pula. Ibrahim mendirikan Ka'bah sebagai rumah pertama di dunia ini yang diuntukkan bagi menyembah Allah Yang Maha Esa. Namun lama-kelamaan oleh anak cucu Ibrahim dari turunan Isma'il, yang menjadi bangsa Arab, tidak lagi mereka sembah langsung Allah Yang Maha Esa, melainkan mereka sembah berhala-berhala. Mulanya dua tiga berhala, berangsur empat dan lima berhala, kemudian jadi berpuluh berhala. Akhirnya setelah Nabi Muhammad ﷺ datang, didapati mereka itu telah menyembah 360 berhala. Sebagian besar mereka dirikan pada dinding-dinding Ka'bah itu. Bahkan dalam Ka'bah sendiri didapati berhala Maryam sedang memangku Isa al-Masih di waktu masih sarat menyusu. Semuanya itu jadi bukti, bahwa jalan telah banyak dialih orang yang datang kemudian, disadari ataupun tidak. Oleh sebab itu, tegakkanlah mukamu, ya Rasul-Ku, kepada agama ini, agama yang lurus! “Fitrah yang telah Dia fitrahkan manusia atasnya." Artinya lazimilah atau tetaplah pelihara fitrahmu sendiri, yaitu rasa asli murni dalam jiwamu sendiri yang belum kemasukan pengaruh dari yang lain, yaitu mengakui adanya kekuasaan tertinggi dalam alam ini, Yang Mahakuasa, Mahaperkasa, Maharaya, mengagumkan, penuh kasih sayang, indah, dan elok.
“Sekali-kali tidaklah ada pergantian pada ciptaan Allah." Artinya bahwa Allah ﷻ telah menentukan demikian. Yaitu kepercayaan atas adanya Yang Mahakuasa adalah fitri dalam jiwa dan akal manusia. Itu tidak dapat diganti dengan yang lain. Pada pokoknya seluruh manusia, tidak pandang kedudukan, tidak pandang bangsa dan iklim tempat dilahirkan, benua tempat dia berdiam, namun mereka dilahirkan ke dunia adalah atas keadaan yang demikian itu.
“Itulah agama yang lurus." Atau itulah agama yang bernilai tinggi. Berharga buat direnungkan. Yaitu berpegang teguh dengan syari'at yang telah diatur oleh Allah ﷻ berdasar kepada fitrah yang bersih,
“Tetapi banyaklah manusia yang tidak mengetahui."
Tertutup bagi mereka jalan buat mengetahui hakikat yang benar itu. Adakalanya karena hawa nafsu, adakalanya karena segan melepaskan pegangan lama yang telah di-pusakai dari nenek moyang, adakalanya karena kesombongan karena merasa dilintasi.
Ayat 31
“Dalam keadaan pulang kembali kepada-Nya."
Karena kita ini pada hakikatnya adalah datang dari Dia. Sebab itu akan datang masa-nya kita kembali kepada-Nya.
Yang perlu ialah kesadaran bahwa kita adalah dalam perjalanan pulang. Yang men-celakakan kita ialah kalau kita tidak sadar, bahwa kita dalam perjalanan kembali. Apabila gelora hawa nafsu masih belum tertahankan juga, an-Nafsul Lawwamah dan an-NafsuI Ammarah belum teratasi, jalan buat kembali belumlah kita sadari. Tetapi bilamana telah banyak pengalaman pahit dalam hidup, kegagalan dan kejayaan, gembira bergantian dengan ratap tangis, tercapailah an-Nafsul Muthma'innah, di waktu itulah akan terdengar panggilan Allah ﷻ
“Dan takwalah." Artinya takwa ialah memelihara hubungan yang baik dengan Allah SWT, menuntut ridha-Nya, mengharapkan kasih-Nya, menakuti siksa-Nya, dan ingat selalu kepada-Nya (dzikir) sehingga gerak-gerik hidup terpelihara dari gangguan musuh-musuh diri, yaitu hawa dan nafsu, dunia dan setan."Dan dirikanlah shalat." Karena shalat itulah tanda taat setia yang sejati.
“Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan."
Apabila shalat lima waktu telah dikerjakan dengan sungguh-sungguh, dipahamkan dan dihayati, akan terhindar sendirilah seseorang dari mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ Sejak mengangkat takbir “Allahu Akbar" saja pun telah jelas tujuan hanya satu. Yang Mahabesar hanya Allah SWT, ke sana jiwa dihadapkan. Dan jika dihayati lagi permulaan al-Faatihah, yaitu “Alhamdulillah", segala apa jua pun pujian hanya teruntuk bagi Allah SWT, dan Dia yang Pengasih. Dia yang Penyayang dan hanya Dia yang akan menentukan pembalasan dan ganjaran di Hari Kemudian (Maliki yaumiddin), niscaya tidaklah orang akan jadi musyrik.
Lalu dijelaskan lagi siapakah dan apakah ciri-ciri dari orang-orang yang mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
Ayat 32
“(Yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan jadilah mereka beberapa golongan."
Pokok agama hanya satu, tidak dua. Kedatangan rasul-rasul membawa syari'at, sejak Nabi Nuh sampai nabi-nabi yang lain, sampai Nabi Muhammad ﷺ adalah membawa inti agama yang satu, yaitu mengakui bahwa tidak ada Tuhan selain Allah ﷻ Nabi datang silih berganti, namun seruan mereka hanya kepada jalan yang satu itu. Tetapi seketika datang Nabi Isa yang mengakui dengan tulus ikhlas bahwa kedatangan beliau adalah menggenapkan syari'at Nabi Musa, orang yang mengakui diri pengikut ajaran Musa menolak dia, bahkan menuduh bahwa kelahirannya ke dunia adalah dalam cara yang tidak halal.
Nabi Isa mengatakan pula bahwa sesudah dia kelak akan datang lagi nabi yang lain menyempurnakan ajaran itu, itulah Paraclit. Orang yang Terpuji. Demi setelah dia datang, umat yang mengaku pengikut Nabi Isa menuduhnya nabi palsu dan perusak. Dan yang mengikuti Nabi Musa tadi pun membenci dia, bahkan di kala hidupnya pernah bersekongkol hendak membunuh dia. Itulah contoh dari orang yang mempersekutukan Allah SWT, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama, lalu menjadi beberapa golongan. Kemudian dari golongan itu terpecah-pecah lagi menjadi beberapa golongan, sekte-sekte, kelompok-kelompok.
“Tiap-tiap kelompok dengan apa yang ada pada mereka merasa bangga."
Merasa diri benar sendiri dan orang lain salah belaka, dan tidak ada yang ingin mencari atau kembali kepada titik pertemuan, yaitu iman kepada Keesaan Allah ﷻ
***
(35)
Ayat 33
“Dan apabila suatu bahaya menyentuh manusia, mereka setulah Tuhan mereka, mereka kembali kepada-Nya."
Tegasnya ialah bilamana bahaya datang, mereka bergegas menyeru Allah ﷻ Waktu itu mereka ingat Allah ﷻ Waktu itu mereka benar-benar ingin kembali kepada Allah ﷻ Karena sudah terang dan nyata banyak soal dalam hidup ini yang tenaga manusia tidak dapat lagi mengatasinya.
“Kemudian apabila Atlah mengenyamkan rahmat dari-Nya, tiba-tiba sebagian dari mereka mempersekutukan."
Mereka tidak ingat lagi, bahwa rahmat itu semata-mata datang dari Allah SWT, ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan pemimpinnya, bahwa pemimpin itulah yang berjasa. Ada yang mempersekutukan Allah ﷻ dengan keris yang dia pakai atau dengan jimat bertuah pusaka nenek moyangnya, atau mereka puji hari dan tanggal. Kadang-kadang memuja benda lebih daripada semestinya.
Ayat 34
“Jadilah mereka kafir dengan apa yang didatangkan Allah kepada mereka."
Artinya dengan terang-terangan mereka memungkiri peranan ilahi dalam kenangan yang mereka dapati dan terlepasnya mereka dari bahaya. Seakan-akan Allah ﷻ tidak ada campur tangan dalam kebahagiaan yang dia capai. Dia bersuka ria menyambut kemenangan, tetapi Allah ﷻ mereka lupakan. Bahkan kerapkali kejadian bahwa dengan sebab rahmat Allah ﷻ yang mereka terima, mereka lupa sama sekali berterima kasih kepada Ilahi yang menurunkan rahmat “Ber-senang-senanglah kamu!" Sehingga lantaran bersenang-senang, gembira ria, kamu lupa bahwa keadaan berubah dan Allah ﷻ bisa saja mencabut kembali nikmat rahmat yang Dia berikan itu.
“Maka akan tahu sendirilah kamu “
Akan tahu sendirilah kamu bahaya lain yang akan menimpa kelak, yang kamu tidak pula akan sanggup mengatasi dan menyelesaikannya kalau tidak dengan pertolongan Allah ﷻ
Ayat 35
“Atau apakah pernah Kami menurunkan alasan kuat kepada mereka?"
Di dalam ayat disebutkan Sulthan, lalu kita tafsirkan dengan alasan kuat. Sulthan banyak artinya. Kadang-kadang artinya ialah penguasa atau kepala negara dan kadang-kadang diartikan juga dengan kekuatan atau dengan alasan yang kuat Kadang-kadang diartikan juga dengan keterangan yang cukup dan bisa diterima. Dalam ayat ini kita ambil arti alasan yang kuat Maka maksud pangkal ayat ini ialah bertanya, pernahkah Allah ﷻ menurunkan kepada mereka alasan atau perintah yang dapat dipertanggungjawabkan, bahwa Atlah ﷻ dapat dipersekutukan dengan yang lain? Pernahkah ada perintah dan keterangan dari Allah ﷻ bahwa Allah ﷻ melimpahkan wewenang atau membagi kuasa dengan makhluk-Nya dalam menguasai alam ini?
“Lalu dia berkata dengan apa yang telah mereka pensekutukan itu."
Artinya, bahwa Sulthan atau alasan kuat itulah yang berkata, tegasnya lagi memberikan keterangan bahwa pekerjaan mereka itu adalah benar.
Tentu saja pertanyaan ini adalah istifham inkari, yaitu pertanyaan yang mengandung sendiri arti bantahan. Bahwa Allah ﷻ tidak pernah menurunkan wahyu atau perintah bahwa selain dari Allah ﷻ patut disembah dan dipuja. Itu hanya karangan dan khayat manusia saja sebab kelam otaknya dari sinar kebenaran.
Ayat 36
“Dan apabila Kami berikan kepada manusia suatu rahmat, bergembiralah mereka dengan dia."
Ini pun suatu kritik kepada perangai kebanyakan manusia. Yaitu kalau rahmat datang, keuntungan tiba, mereka bergembira-ria. Saking gembiranya kadang-kadang dia lupa dari mana nikmat rahmat itu dia terima, dari mana sumber tempat datangnya
“Dan jika menimpa kepada mereka kesusahan, tersebab dari tangan mereka sendiri, tiba-tiba mereka pun putus asa."
Di saat kesusahan itu banyaklah orang yang putus asa. Kadang-kadang kita melihat kejadian itu serentak berdekatan. OKB (Orang Kaya Baru) menyelimpangkan kakinya di mobil yang mewah, dengan tangannya disangkutkannya di tempat berpegangan dalam mobil dengan megah dan sombongnya. Anak-anak dan istri nya duduk dengan pongah karena berenang di atas uang banyak, entah dari mana asal didapat. Mereka melayang menderu di atas jembatan. Sedang di bawah jembatan itu bergelimpangan tidur orang-orang yang telah putus asa dari hidup, yang telah tertutup pintu pencarian, urban (pindah dari desa ke kota) karena di desa pun hidup sudah sangat sulit. Mereka putus asa, yang laki-laki jadi pencopet pencuri kain jemuran. Yang perempuan siang tidur-tiduran, malam menjadi kupu-kupu ma-lam, menyebarkan penyakit sipilis.
Kekosongan jiwa dari yang terlompat ke atas mobil mewah dengan yang jatuh ter-sungkur ke bawah jembatan, sebenarnya sama saja.
Ayat 37
“Dan apakah mereka tidak melihat bahwa Allah membentangkan rezeki untuk banangsiapayang Dia kehendaki dan mengagokkan".
Ini adalah tanda kekayaan dari Allah ﷻ itu sendiri. Allah ﷻ menentukan pemberian rezeki, dan rezeki itu bukanlah semata-mata kekayaan harta benda, bahkan terutama sekali pikiran, cita-cita, kecerdasan, dan seumpamanya. Ada orang yang terbentang lebar rezekinya, sebab itu ada orang yang berpikiran tinggi, bercita-cita besar, filsuf, pemimpin negara, pemimpin bangsa, jenderal memimpin peperangan. Sebaliknya ada orang yang bodoh, yang cita-citanya, hidupnya hanya sekadar mencari makan, prajurit yang dikerahkan dan mati di medan perang sebagai prajurit yang tidak dikenal. Ada orang bernasib baik jadi sultan, jadi presiden dan jadi menteri, ada pula yang hanya jadi sopir presiden, jadi tukang membersihkan kamar atau tukang rumput. Ada orang yang mendapat rezeki kekayaan berlimpah, tetapi ada yang hanya diagakkan saja, sekadar dapat makan, itu pun susah mencarinya.
“Sesungguhnya pada yang demikian adalah tanda-tanda bagi kaum yang beriman."
Pintar dan bodoh, jenderal dan prajurit, filsuf dan si goblok, kaya raya dan miskin papa, semuanya itu adalah tanda bahwa alam ini ada Yang Mengatur. Itulah Allah ﷻ Terdapatnya pertimbalan di antara dua yang berlawanan, yaitu di antara yang tinggi dengan yang rendah, adalah tanda Allah Mahasem-purna. Kalau Allah ﷻ hanya Mahakuasa menciptakan yang tinggi, sehingga tidak ada yang rendah, atau hanya Mahakuasa men-ciptakan yang besar-besar, sehingga tidak ada yang kecil, dan seterusnya dan seterusnya, di manakah kita akan dapat mengenal kekayaan Allah SWT? Tidaklah mungkin manusia sama rata kayanya, atau miskin melarat semua. Karena kalau demikian dapatlah dikatakan bahwa Allah ﷻ itu tidak kaya dan di dunia ini tidak ada perjuangan hidup dan berusaha.
Di ujung ayat ini Allah ﷻ menjelaskan bahwa jika Allah ﷻ membentangkan atau mengembangkan rezeki seluas-luasnya kepada setengah hamba-Nya dan yang setengahnya lagi dihinggakan terbatas, atau diagakkan, bahwa itu adalah salah satu dari tanda-tanda Kebesaran Ilahi juga. Kalau tidak ada begitu, maka tidaklah ada lagi di dunia ini persoalan yang dinamai perikemanusiaan.
Ayat 38
“Maka berikanlah kepada kaum kerabat akan haknya dan orang miskin dan anak perjalanan."
Disebut terlebih dahulu, atau diprioritaskan kaum kerabat, keluarga yang terdekat, hendaklah mereka terlebih dahulu ditolong. Sebelum menolong orang lain, tolonglah yang terdekat.
Lanjutan ayat ialah,
“Itulah yang baik bagi orang yang menghendaki wajah Allah." Yaitu kalau Allah ﷻ telah memberikan keluasan pada rezeki, sehingga telah mendapat kehidupan yang layak, janganlah lupa membantu dan menolong orang yang berkekurangan, karena Allah ﷻ Bukan karena mengharapkan dipuji orang, bukan beramal karena riya. Ingatlah bahwa kekayaan dan kelebihan yang ada padamu, adalah semata-mata anugerah dari Allah ﷻ Bersyukurlah atas nikmat itu dengan menolong orang lain.
“Dan itulah orang-orang yang beruntung."
Orang yang dermawan karena Allah SWT, adalah orang yang beruntung. Dia tidak dibenci orang karena bakhilnya. Malahan orang yang diberi bantuan akan mendoakannya, moga-moga diberi Allah ﷻ dia rezeki yang berlipat ganda. Tetapi orang kaya yang bakhil senantiasa akan diomeli dan diumpat orang, apa lagi orang kaya yang memberi tetapi selalu menyebut-nyebut pemberiannya.
Ayat 39
“Dan apa yang kamu berikan dari rtiba supaya dibungai pada harta benda manusia, maka tidaklah dia berbunga di sisi Allah ﷻ"
Arti riba sudah sama kita ketahui, yaitu meminjami orang harta dengan janji ketika membayar pinjaman itu diberinya bunganya, atau rente-nya. Riba yang demikian sudah nyata terlarang. Tetapi ada lagi semacam riba, tidak begini tidak terlarang, karena tidak dijadikan syarat. Yaitu kita memberikan pertolongan, baik tenaga, atau benda kepada orang lain, tetapi ada harapan tersembunyi, moga-moga kelak dibalasinya pula sebagai balas jasa, dengan balasan yang lebih besar. Maka bertalian dengan ayat 38 yang sebelumnya, diperingatkanlah kepada seseorang yang hendak menolong orang lain moga-moga kelak dia membalas jasa, membalas terima kasih dengan berlipat ganda; tidaklah baik. Maka arti ayat ini ialah jika kamu menolong orang lain dengan harapan moga-moga suatu waktu orang itu tidak lupa akan jasa kamu, moga-moga dia membalas, maka cara yang demikian itu kuranglah baiknya. Karena tidak selalu orang itu akan terkenang membalas jasa, atau akan sanggup membalas jasa. Misalnya menolong seorang miskin. Apa balasan yang akan diharap dari orang miskin? Apakah diharapkan, bahwa dia suka datang ke rumah untuk membersihkan pekarangan rumah kita? Alangkah rendahnya dasar cita ketika kita memberi kalau demikian halnya.
Sebab itu dalam ayat ditegaskan, kalau orang memberi pertolongan mengharapkan balas jasa dari orang itu, maka di sisi Allah ﷻ pertolongannya itu tidak akan diberi penghargaan.
“Tetapi apa yang kamu berikan dari zakat, yang kamu harapkan wajah Allah, maka itulah dia mereka yang melipatgandakan."
Tetapi jika kamu berbuat sebaliknya, yaitu kamu keluarkan hartamu berupa zakat, baik zakat wajib atau zakat tathawwu', timbul dari keikhlasan hati, karena zakat itu sendiri artinya ialah bersih, timbul dari hati yang bersih, membersihkan jiwa dari mengharapkan manusia, membersihkan harta dari hak yang wajib diterima oleh fakir miskin. Maka kalau harta itu dikeluarkan bersifat zakat, bukan mengharapkan balasan manusia, melainkan mengharap wajah Allah SWT, dijelaskanlah di ujung ayat bahwa orang yang berbuat demikian itu telah memperlipatgandakan hartanya itu. Dia telah kaya. Rezeki yang diberikan Allah ﷻ itu telah diperbuatnya bernilai tinggi sekali. Karena harta benda yang dipergunakan untuk meratakan jalan Allah SWT, adalah harta yang bernilai sangat tinggi. Dan pahala di sisi Allah ﷻ pun akan diterimanya pula berlipat ganda.
Ayat 40
“Allah-lah yang telah menciptakan kamu."
Menciptakan kamu dari tanah, kemudian menjadi manusia yang bertebaran di muka bumi, seperti tersebut pada ayat 20 yang telah lalu. “Kemudian itu memberimu rezeki, “sebagai jaminan hidup, selama kamu masih hidup di atas dunia ini." Kemudian itu mematikan kamu, apabila ajalmu telah sampai. “Kemudian itu menghidupkan kamu," dengan datangnya panggilan kepada kamu yang disebut hari Kiamat. Kiamat artinya kebangkitan.
“Apakah dari apa-apa yang kamu persekutukan itu yang berbuat semacam yang demikian itu agak secuil?" Adakah berhala yang kamu sembah itu yang sanggup membuat manusia? Adakah kuburan yang kamu puja itu yang sanggup memberimu rezeki? Adakah barang yang kamu anggap sakti itu yang sanggup memberimu hidup atau menentukan ajal-mu? Jika kamu kelak dibangunkan kembali di hari Kiamat, ikut sertakah yang kamu puja itu membangunkan kamu kembali?
“Mahasuci Dia dan Mahaagung, dari apa yang kamu pensekutukan itu."
Satu tantangan yang tegas sekali terhadap orang-orang yang memperbodoh dan mem-perhina diri sendiri dengan mempersekutukan yang lain dengan Allah ﷻ
***
Ayat 41
“Telah nyata kerusakan di darat dan di laut dari sebab buatan tangan manusia."
Allah ﷻ telah mengirimkan manusia ke atas bumi ini ialah untuk menjadi Khalifah Allah, yang berarti pelaksana dari kemauan Allah ﷻ Banyaklah rahasia kebesaran dan kekuasaan Ilahi menjadi jelas dalam dunia karena usaha manusia. Sebab itu maka menjadi khalifah hendaklah menjadi Mushiih, berarti suka memperbaiki dan memperindah.
Janganlah kita terpesona melihat berdirinya bangunan-bangunan raksasa, jembatan-jembatan panjang, gedung-gedung bertingkat menjulang langit, menara Eiffel, sampainya manusia ke bulan di penggal kedua dari abad kedua puluh ini. Janganlah dikatakan bahwa itu pembangunan, kalau kiranya jiwa bertambah jauh dari Allah ﷻ Terasa dan dikeluhkan oleh manusia seisi alam di zaman sekarang dalam kemajuan ilmu pengetahuan ini hidup mereka bertambah sengsara. Kemajuan teknik tidak membawa bahagia, melainkan cahaya. Perang selalu mengancam. Perikemanusiaan tinggal dalam sebutan lidah, namun niat jahat bertambah subur hendak menghancurkan orang lain.
Di daratan memang telah maju pengangkutan, jarak dunia bertambah dekat. Namun hati bertambah jauh. Heran! Banyak orang membunuh diri karena bosan dengan hidup yang serba mewah dan serba mudah ini. Banyak orang yang dapat sakit jiwa. Tepat sambungan ayat, “Supaya mereka deritakan setengah dari apa yang mereka kerjakan “ Dalam sambungan ayat ini terang sekali, bahwa tidaklah semua pekerjaan manusia jahat, bahkan hanya setengah. Seumpama kemajuan kecepatan kapal udara; yang setengah ada faedahnya bagi manusia, sehingga mudah berhubungan. Tetapi yang setengahnya lagi kapal udara itu telah digunakan untuk melemparkan bom, bahkan bom atom, bom hidrogen dan senjata-senjata nuklir.
Kadang-kadang termenung kagum kita memikirkan ayat ini. Sebab dia dapat saja di-tafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini. Ahli-ahli pikir yang memikirkan apa yang akan terjadi kelak, ilmu yang diberi nama futurologi, yang berarti pengetahuan tentang yang akan kejadian karena memperhitungkan perkembangan yang sekarang. Misalnya tentang kerusakan yang terjadi di darat karena bekas buatan manusia ialah apa yang mereka namai polusi, yang berarti pe-ngotoran udara, akibat asap dari zat-zat pem-bakar, minyak tanah, bensin, solar, dan se-bagainya. Bagaimana bahaya dari asap pabrik-pabrik yang besar-besar bersama dengan asap mobil dan kendaraan bermotor yang jadi kendaraan orang ke mana-mana. Udara yang telah kotor itu diisap tiap saat sehingga paru-paru manusia penuh dengan kotoran.
Kemudian diperhitungkan orang pula kerusakan yang timbul di lautan. Air laut yang rusak karena kapal tangki yang besar-besar membawa minyak tanah atau bensin pecah di laut. Demikian pula air dari pabrik-pabrik kimia yang mengalir melalui sungai-sungai menuju lautan, kian lama kian banyak. Hingga air laut penuh racun dan ikan-ikan jadi mati. Pernah Sungai Seine di Eropa mengempaskan bangkai seluruh ikan yang hidup dalam air itu, terdampar ke tepi sungai jadi membusuk, tidak bisa dimakan. Demikian pula pernah beratus ribu, berjuta ikan mati terdampar ke tepi Pantai Selat Teberau di antara Ujung Semenanjung Tanah Melayu dan pulau Singapura. Besar kemungkinan bahwa ikan-ikan itu keracunan.
Di ujung ayat disampaikan seruan agar manusia berpikir,
“Mudah-mudahan mereka kembali."
Arti kembali itu tentu sangat dalam. Bukan maksudnya mengembalikan jarum sejarah ke belakang. Melainkan kembali menilik diri dari mengoreksi niat, kembali memperbaiki hubungan dengan Allah ﷻ Jangan hanya ingat akan keuntungan diri sendiri, lalu me-rugikan orang lain. Jangan hanya ingat laba sebentar dengan merugikan bersama, tegasnya dengan meninggalkan kerusakan di muka bumi. Dengan ujung ayat mudah-mudahan, di-tampakkanlah bahwa harapan belum putus.
Ayat 42
“Katakanlah! Mengembaralah di bumi, maka perhatikanlah betapa adanya akibat orang-orang yang terdahulu."
Di sinilah timbul pepatah Minang, “Melihat tuah pada yang menang, melihat celaka pada yang kalah." Bahwasanya sejarah jalan hidup manusia itu adalah sama. Barang mana pun manusia yang sanggup memikul tanggung jawab menjadi Khalifah Allah di muka bumi, bertemulah bekas peninggalan mereka yang baik-baik, akan jadi kenangan dan suri teladan bagi anak cucu. Tetapi barangsiapa yang melalaikan tugasnya, lalu bekas buruk yang mereka tinggalkan, maka akan jelas pulalah bekas yang buruk itu. Umat yang datang kemudian tidak pula akan berubah dari demikian, karena manusia tetaplah manusia dahulu dan sekarang dan nanti.
“Adalah kebanyakan mereka itu musyrik"
Yang berarti bahwa selama mereka itu masih mengingat Allah SWT, masih bertuhan satu, tidaklah mereka akan ditimpa keruntuhan sehancur itu.
Sesudah itu sekali lagi Allah ﷻ berpesan kepada Rasul-Nya,
Ayat 43
“Maka tegakkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus."
Di samping Rasul ﷺ disuruh menyampaikan dakwah yang tegas kepada kaumnya dan umat manusia seluruhnya, Allah ﷻ pun memperingatkan kembali supaya dia selalu memperkuat diri, membuat pribadi sendiri jadi teguh dan tabah. Jalannya ialah dengan selalu menegakkan wajah kepada agama yang lurus, agama Islam. Penyerahan diri yang bulat-bulat semata kepada Allah ﷻ"Sebelum bahwa datang hari yang tidak dapat menolaknya dari Allah." Hari yang tidak dapat menolaknya jika Allah ﷻ telah menentukan adalah dua, pertama untuk diri sendiri, kedua untuk alam seluruhnya. Yang bagi diri ialah maut. Maka sampai nyawa bercerai dengan badan janganlah lelah dari muraaqabah, yaitu selalu menegakkan muka dengan penuh kesadaran meneguhkan iman dalam agama itu, jangan dipalingkan muka kepada yang lain, agar mati dalam husnul khatimah.
Yang kedua, ialah bila Kiamat datang. Jika hari itu datang dan dia pun pasti sepasti mati bagi tiap orang, tidaklah dunia ini dapat dielakkan dari saat itu. Bumi ini hanya laksana sebutir pasir kecil saja di samping berjuta bintang di ruang angkasa. Semua kecil di hadapan Allah ﷻ
"Di hari itu mereka akan bercerai-berai." Masing-masing orang akan dibawa untungnya masing-masing menurut timbangan amalnya di dunia. Bercerai-berai, yang masuk surga dan yang masuk neraka. Walaupun ayah dengan anak, suami dengan istri dan keluarga dekat dan jauh, berpisah dibawa untung. Kalau nasib baik, masuk juga ke dalam surga bersama-sama, di sanalah baru bertemu.
Ayat 44
“Barangsiapa yang kafir, maka atasnyalah kafirnya."
Artinya bahwa barangsiapa yang kafir, akibat dari kekafirannya itu akan ditanggung-nya sendiri.
“Dan barangsiapa yang beramal yang saleh, maka mereka telah menyiapkan jalan bagi diri mereka sendiri."
Jelas sekali maksud ayat ini, yaitu bilamana seseorang mengerjakan amalan yang saleh ketika hidup di dunia ini, berarti mereka telah menyiapkan sendiri jalan yang akan ditempuhnya di akhirat kelak, yaitu jalan bahagia, jalan masuk ke dalam surga.
Ayat 45
“Karena itu, “yaitu Allah, “Akan memberikan ganjaran bagi orang-orang yang beriman dan beramal yang saleh-saleh dari karunia-Nya."
Kemudian itu sebaliknya,
“Sesungguhnya Dia tidak suka kepada orang-orang yang kufur."