Ayat

Terjemahan Per Kata
لَن
belum
تَنَالُواْ
kamu mencapai
ٱلۡبِرَّ
kebaikan
حَتَّىٰ
sehingga (sebelum)
تُنفِقُواْ
kamu menafkahkan
مِمَّا
dari apa (harta)
تُحِبُّونَۚ
kamu mencintai
وَمَا
dan apa
تُنفِقُواْ
kamu nafkahkan
مِن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِهِۦ
dengannya
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
لَن
belum
تَنَالُواْ
kamu mencapai
ٱلۡبِرَّ
kebaikan
حَتَّىٰ
sehingga (sebelum)
تُنفِقُواْ
kamu menafkahkan
مِمَّا
dari apa (harta)
تُحِبُّونَۚ
kamu mencintai
وَمَا
dan apa
تُنفِقُواْ
kamu nafkahkan
مِن
dari
شَيۡءٖ
sesuatu
فَإِنَّ
maka sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
بِهِۦ
dengannya
عَلِيمٞ
Maha Mengetahui
Terjemahan

Kamu sekali-kali tidak akan memperoleh kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Apa pun yang kamu infakkan, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui tentangnya.
Tafsir

(Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian) artinya pahalanya yaitu surga (sebelum kamu menafkahkan) menyedekahkan (sebagian dari apa yang kamu cintai) berupa harta bendamu (dan apa yang kamu nafkahkan dari sesuatu maka sesungguhnya Allah mengetahuinya) dan akan membalasnya. Ketika orang-orang Yahudi mengatakan kepada Nabi ﷺ, "Anda mengakui diri Anda dalam agama Ibrahim padahal ia tidak memakan daging unta dan susunya," turunlah ayat:.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 92
Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai. Dan apa saja yang kalian infakkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
Ayat 92
Waki' di dalam kitab tafsirnya meriwayatkan dari Syarik, dari Abu Ishaq, dari Amr ibnu Maimun sehubungan dengan firman-Nya: “Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna.” (Ali Imran: 92) Yang dimaksud dengan al-birr (kebajikan yang sempurna) adalah surga.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Rauh, telah menceritakan kepada kami Malik, dari Ishaq, dari Abdullah ibnu Abu Talhah yang pernah mendengar dari Anas ibnu Malik, bahwa Abu Talhah adalah seorang Anshar yang paling banyak memiliki harta di Madinah, dan tersebutlah bahwa harta yang paling dicintainya adalah Bairuha (sebuah kebun kurma) yang letaknya berhadapan dengan Masjid Nabawi.
Nabi ﷺ sering memasuki kebun itu dan meminum airnya yang segar lagi tawar. Sahabat Anas melanjutkan kisahnya, bahwa setelah diturunkan firman-Nya yang mengatakan: “Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan yang sempurna sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 92) Lalu Abu Talhah berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: 'Kalian sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai' (Ali Imran: 92), dan sesungguhnya hartaku yang paling aku cintai adalah kebun Bairuha ini, dan sekarang Bairuha aku sedekahkan agar aku dapat mencapai kebajikan melaluinya dan sebagai simpananku di sisi Allah ﷻ. Maka aku mohon sudilah engkau, wahai Rasulullah, memanfaatkannya menurut apa yang ditunjukkan oleh Allah kepadamu." Maka Nabi ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Wah, wah, itu harta yang menguntungkan, itu harta yang menguntungkan; dan aku telah mendengarnya, tetapi aku berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada kaum kerabatmu.” Abu Talhah menjawab, "Akan aku lakukan sekarang, wahai Rasulullah." Lalu Abu Talhah membagi-bagikannya kepada kaum kerabatnya dan anak-anak pamannya.
Hadits ini juga diketengahkan oleh Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan: bahwa sahabat Umar mengatakan, "Wahai Rasulullah, aku belum pernah memperoleh harta yang paling aku cintai dari semua harta yang ada padaku selain bagianku dari ghanimah Khaibar. Apakah yang harus aku lakukan terhadapnya menurutmu?" Maka Rasulullah ﷺ menjawab: “Tahanlah pokoknya dan sedekahkanlah (di jalan Allah) buah (hasil)nya.”
Al-Hafidzh Abu Bakar Al-Bazzar mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul Khattab (yaitu Ziyad ibnu Yahya Al-Hassani), telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr, dari Abu Amr ibnu Hammas, dari Hamzah ibnu Abdullah ibnu Umar yang menceritakan bahwa telah sampai kepadanya ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Kalian sekali-kali tidak akan sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kalian menginfakkan sebagian harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 92) Maka ia teringat kepada pemberian Allah yang paling ia cintai, yaitu seorang budak wanita Romawi. Aku (Ibnu Umar) berkata, "Dia merdeka demi karena Allah. Seandainya aku menarik kembali sesuatu yang telah kujadikan sebagai amal taqarrub kepada Allah, niscaya aku akan menikahinya.”
Pada ayat sebelumnya dijelaskan bahwa orang yang meninggal dalam kekufuran, maka sebesar apa pun harta dan infak yang mereka keluarkan, tidak akan bisa dijadikan tebusan agar mereka bebas dari azab Allah. Pada ayat ini dijelaskan tentang harta dan infak yang bermanfaat hendaknya harta yang dicintai, karena kamu tidak akan memperoleh kebajikan yang paling utama dan sempurna sebelum kamu menginfakkan, dengan cara yang baik dan tujuan yang benar, sebagian harta yang kamu cintai, yang paling bagus dari apa yang kamu miliki. Dan apa pun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui niat dan tujuan kamu berinfak, apakah karena ingin dipuji atau dilihat orang (riya'), ingin dipuji orang yang mendengar (sum'ah), atau semata-mata karena Allah. Jika infak dilaksanakan hanya karena Allah maka Allah akan membalasnya dengan kebaikan di dunia maupun akhirat.
Setelah ayat sebelumnya Allah menjelaskan harta dan infak yang bermanfaat, maka pada ayat ini Allah menjelaskan makanan yang halal atau haram bagi Bani Israil. Semua makanan itu pada dasarnya halal bagi Bani Israil sebagaimana halal juga bagi selain mereka, kecuali makanan yang diharamkan oleh Israil (Yakub) atas dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan dalam rangka meraih kebajikan dan mendekatkan diri kepada Allah. Makanan tersebut adalah daging dan susu unta. Ada satu riwayat menyebutkan bahwa Nabi Yakub pernah sakit dan bernazar kalau Allah memberinya kesembuhan, maka dia tidak akan makan daging unta dan tidak minum susunya, meskipun kedua makanan tersebut sangat disukainya. Pengharaman Nabi Yakub atas kedua jenis makanan tersebut lalu diikuti oleh keturunannya.
Setelah Taurat diturunkan ada beberapa makanan yang diharamkan bagi mereka sebagai hukuman atas pelanggaran yang mereka lakukan (Lihat: Surah an-Nisa''/4: 160 dan al-Ana'm/6: 146), tetapi kaum Yahudi membuat kebohongan dengan mengatakan bahwa ada makanan yang diharamkan Allah untuk mereka sebelum Kitab Taurat diturunkan. Oleh karena itu Allah menjawab, Katakanlah, wahai Nabi Muhammad, jika kamu berkata demikian, maka bawalah Taurat lalu bacalah, dan tunjukkan kepada kami keterangan Taurat tentang pengharaman makanan itu jika kamu orang-orang yang benar. Ternyata tidak seorang pun di antara mereka mampu menunjukkkan ayat Taurat yang mendukung kebohongan mereka.
Seseorang tidak akan mencapai tingkat kebajikan di sisi Allah, sebelum ia dengan ikhlas menafkahkan harta yang dicintainya di jalan Allah. Yang dimaksud dengan harta yang dicintai adalah harta yang kita cintai. Ayat ini erat hubungannya dengan firman Allah.
Wahai orang-orang yang beriman! Infakkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik ? (al-Baqarah/2:267).
Setelah ayat ini diturunkan, para sahabat Nabi berlomba-lomba berbuat kebaikan. Di antaranya, Abu thalhah al-Anshari, seorang hartawan di kalangan Ansar datang kepada Nabi ﷺ memberikan sebidang kebun kurma yang sangat dicintainya untuk dinafkahkan di jalan Allah.
Pemberian itu diterima oleh Nabi dengan baik dan memuji keikhlasannya. Rasulullah menasihatkan agar harta itu dinafkahkan kepada karib kerabatnya, maka thalhah membagi-bagikannya kepada karib kerabatnya. Dengan demikian ia mendapat pahala sedekah dan pahala mempererat hubungan silaturrahmi dengan keluarganya. Setelah itu datang pula Umar bin al-Khaththab menyerahkan sebidang kebunnya yang ada di Khaibar, Nabi ﷺ menyuruh pula agar kebun itu tetap dipelihara, hanya hasil dari kebun itu merupakan wakaf dari Umar.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Setelah panjang lebar dibicarakan perbedaan antara kufur dan kaum beriman, dan dibicarakan pula tentang orang yang kufur sesudah iman, dari hal orang yang tobat sungguh-sungguh dan memperbaiki, orang yang sama sekali tidak mau mengenal iman, bahkan sampai mati tetap dalam kufur, sekarang di-tunjukkanlah bekas dan bukti iman yang sejati, yaitu
Ayat 92
“Sekali-kali tidaklah kamu akan mencapai kebaikan, sebelum kamu mendermakan sebagian dari harta yang kamu sayangi."
Menyebut iman adalah mudah, tetapi mencapai hasil iman yang mulia adalah suatu ujian hati yang berat. Orang belum akan mencapai kebaikan (birr) atau hidup yang baik atau jiwa yang baik, kalau dia belum sanggup mendermakan barang yang paling dicintainya.
Dalam surah al-Baqarah dahulu (ayat 176) telah diterangkan bahwa kebaikan bukanlah semata-mata buat menghadapkan muka ke Timur ataupun ke Barat, tetapi antara syarat-syarat untuk menjadi orang baik adalah sudi mengeluarkan harta benda, padahal kita cinta kepadanya. Di dalam surah al-Baqarah juga, ayat 267 dipimpinkan lagi, jangan sampai memberikan derma apa pun kepada orang lain, yang jika misalnya engkau sendiri yang me-nerimanya, engkau akan memicingkan mata, hanya karena terpaksa saja. Sekarang dijelaskanlah bahwa kebaikan tidak akan tercapai kalau belum sanggup mendermakan apa yang paling dicintai. Kalau martabat ini telah tercapai, baru boleh diakui bahwa dia seorang baik yang telah mencapai kebaikan.
Kemudian, datanglah sambungan ayat,
“Dan apa jua pun dari sesuatu yang kamu dermakan itu, sesungguhnya Allah mengetahui"
Bernilai maupun tidak, derma dan pengorbanan yang kamu keluarkan, barang yang sangat engkau cintaikah atau barang yang telah bosan engkau memakainya, barang mahalkah atau murah, ikhlaskah atau riya, mungkin orang lain tidak tahu apa maksudnya, tetapi Allah tetap mengetahuinya.
Setelah ayat ini turun, bukan main besar pengaruhnya kepada sahabat-sahabat Nabi dan selanjutnya menjadi pendidikan batin yang mendalam sekali di hati Muslim yang hendak mempertinggi mutu imannya. Seorang sahabat Nabi dari kaum Anshar bernama Abu Thalhah mempunyai kekayaan satu-satunya yang amat dibanggakannya, yaitu sebuah kebun bernama Bairuhaa' tidak berapa jauh dari Masjid Madinah. Nabi ﷺ kerap kali singgah ke kebun itu meminum airnya yang sejuk. Nama Abu Thalhah amat terkenal karena kebunnya yang subur itu. Akan tetapi, setelah ayat ini turun, menyelinaplah pengaruhnya ke dalam hati Abu Thalhah. Dia terus menemui Nabi ﷺ dan berkata, “Aku ingin mengamalkan wahyu Ilahi itu, ya Rasulullah! Kekayaan yang paling aku cintai sehingga tidak ada yang lain lagi adalah kebun yang di Bairuhaa'. Terimalah dia sebagai sedekahku, ya Rasulullah, dan Rasulullah aku kuasakan menyerahkannya kepada siapa yang patut menerimanya."
Dengan amat gembira Rasulullah menerima sedekah itu dan menghargai tinggi iman Abu Thalhah. Lalu beliau menguasakan kepada Abu Thalhah membagikan harta yang amat dicintainya itu kepada keluarga yang dekat. Menurut riwayat hadits Muslim, harta itu telah diberikannya kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka'ab.
Demikian pula, bekas anak angkat Nabi ﷺ yang terkenal, Zaid bin Haritsah, datang kepada beliau membawa kuda tunggangannya yang amat dikasihinya yang diberinya nama Subul. Berkata dia kepada Nabi ﷺ, “Aku ingin mengamalkan ayat itu, ya Rasulullah! Inilah kuda tungganganku yang engkau tahu, adalah yang paling aku sayangi. Terimalah dia sebagai sedekahku dan sudilah Rasulullah memberikannya kepada yang patut me-nerimanya, moga-moga diterima Allah."
Kuda tunggangan yang tangkas itu diterima oleh Rasulullah sampai beliau melihat pada wajah Zaid membayangkan kesedihan berpisah dengan kuda itu. Terbuktilah, bahwa kuda itu benar-benar dicintainya. Akan tetapi, pimpinan Rasulullah memanglah pimpinan yang amat tinggi dan mulia serta bijaksana. Setelah kuda tunggangan itu terpautdi hadapan beliau, dia suruh orang menjemput Usamah, anak Zaid sendiri, yang dicintai Rasulullah pula seperti mencintai ayahnya. Setelah dia hadir, bersabdalah Rasulullah, “Kuda tunggangan yang cantik ini, telah diserahkan Zaid kepadaku, aku telah menerimanya dan berhak menyerahkannya kepada siapa yang kukehendaki. Sekarang kuda ini aku serahkan kepada Usamah."
Demikianlah bijaksana Rasul ﷺ Kebun yang amat dicintai oleh Abu Thalhah dise-dekahkannya dan dimintanya Nabi ﷺ menyerahkannya kepada siapa yang patut. Lalu beliau kuasakan Abu Thalhah menyerahkan kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka'ab. Kuda tunggangan Zaid bin Haritsah beliau serahkan kepada Usamah anak Zaid sehingga kedua barang yang dicintai itu tidak jauh dari yang memberikan.
Pada suatu hari, Rasul saw, kedatangan seorang tamu di masjid, senja hari. Tamu itu ikut berjamaah Maghrib dan Isya. Setelah selesai shalat Isya, Rasulullah ﷺ bertanya, siapa di antara sahabat beliau yang sudi membawa tamu itu ke rumahnya. Abu Thalhah (bukan Abu Thalhah yang mendermakan kebun) menyanggupi, lalu membawa' tamu itu ke rumahnya. Setiba di rumah, terus diberitahukannya kepada istrinya. Dengan terus terang istrinya memberitahukan bahwa persediaan makanan malam yang ada hanyalah untuk Abu Thalhah saja. Akan tetapi, kedua suami istri itu, dalam kesanggupannya yang terbatas, ingin juga mengamalkan ayat, Lantaraalu. Mereka sediakan makanan itu dan Abu Thalhah mengajak tamunya yang terhormat itu makan bersama-sama. Istrinya sangat sibuk menyediakannya dan dia sendiri yang menambahkan makanan itu. Mulailah tamunya makan, dan istri Abu Thalhah terus sibuk mengambil tambahan makanan lagi. Tiba-tiba sebuah pelita yang ada di tangan istri Abu Thalhah padam, sedang api tiada ada. Ini telah diatur oleh kedua suami istri itu. Tamu meneruskan makan dan Abu Thalhah pun seperti orang makan pula, kedengaran mulutnya mengunyah-ngunyah, padahal dia tidak makan sebab hidangan seluruhnya diberikan kepada tamu. Istri Abu Thalhah pun tidak makan. Sampai waktu Shubuh suami istri itu tidak makan sebab makanan telah diberikan semua kepada tamu. Selesai makan, dipersilakannya tamu itu tidur.
Pada waktu Shubuh dibangunkannya tamu itu dan diajaknya shalat Shubuh ke masjid. Sesampai di masjid, bertemulah dia dengan Rasul ﷺ. Tentu saja kejadian tadi malam tidak dibukakannya kepada beliau. Akan tetapi, Rasulullah ﷺ yang berkata, ‘Allah amat kagum melihat perbuatanmu menyelenggarakan tamumu tadi malam, wahai Abu Tbalhah." Inilah sebabnya turun ayat dalam surah al-Hasyr, ayat 9. “Mereka utamakan (mereka itu) di atas diri mereka sendiri, walaupun ada pada mereka kepapaan."
Sayyidina Umar bin Khaththab memesan seorang dayang yang manis ke negeri Persia. Namun, setelah dayang itu beliau terima, beliau terkenang akan ayat Lantaraalu. Langsung dayang itu beliau merdekakan.
Putra beliau, Abdullah bin Umar, mempunyai pula seorang dayang (hamba sahaya) yang cantik didatangkan dari negeri Rum. Tergetar pula hatinya demi membaca ayat Lantaraalu, hamba sahaya yang cantik itu langsung beliau merdekakan. Memerdekakan budakyang dicintai adalah suatu pengorbanan. Bolehlah budak itu dimerdekakan dan kemerdekaannya itu menjadi maharnya, lalu dikawini. Namun, Abdullah bin Umar setelah memerdekakan budak cantik itu, terus menawarkannya menjadi istri maulanya, Naafi, Sedangkan Naafi, maula Abdullah bin Umar pun, bekas budak tawanan perang, beliau merdekakan budak cantik itu dan menganggap sebagai anak kandung. Namanya amat terkenal sebab hadits-hadits Nabi yang dirawikan dari Ibnu Umar selalu melalui Naafi.
Abdullah bin Umar ini juga. Suatu waktu beliau ditimpa sakit agak berat. Setelah beliau sembuh, beliau ingin benar memakan ikan. Ketika itu ikan amat sulit didapat. Disuruhnya orang mencari ke mana-mana, hingga dapat, lalu dibawa pulang dan dimasak, tinggal beliau akan memakannya saja. Beliau masih berbaring di tempat tidur. Tiba-tiba di kala beliau akan makan kedengaran di luar orang mengemis meminta makan. Beliau berkata kepada khadamnya, “Bungkus ikan itu dengan rotinya sekali dan berikan kepada orang yang meminta makanan itu!" Oleh si khadam ikan dan roti itu disembunyikannya ke belakang, lalu dibawa uang satu dirham kepada si pe-minta-minta itu. Baginya, pemberian satu dirham sudah sangat menggembirakan dan dengan muka girang dia pun keluar.
Si khadam kembali lagi membawa ikan dan roti tadi kepada Abdullah bin Umar dan menceritakan perbuatannya, bahwa roti dan ikan itu telah digantinya dengan dirham. Dengan marah Abdullah bin Umar menyuruh khadam itu menjemput orang tadi kembali dan menyerahkan ikan dan roti itu kepadanya. Dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah ﷺ pernah berkata,
“Kalau ada orang yang sangat ingin akan sesuatu yang membuka selera, lalu dia tekan keinginannya itu, sehingga tidak dipentingkannya dirinya, akan diampuni Allah dosanya." (HR Ibnu Hibban, Abu Syaikh dari Naafi, dan Ibnu Umar dan ad-Daruquthni)
Menurut yang dinukilkan oleh Abi Thalib al-Makki dalam kitabnya, Qutul Quluub dan Imam Ghazali dalam al-Ihya', bahwa Umar bin Khaththab pernah menghadiahkan sebuah kepala kambing yang telah dimasak dengan enaknya kepada seorang sahabatnya. Sesampai di tangan orang yang diberi itu, merasalah dia bahwa sahabatnya si anu barangkah lebih ingin akan makanan yang enak itu, lalu dikirimkannya ke sana. Oleh sahabat itu dikirimkannya pula ke rumah sahabatnya yang lain, yang dirasanya mungkin lebih menginginkan sehingga kepala kambing itu pindah berpindah sampai tujuh buah rumah sehingga akhirnya rumah yang ketujuh memandang pula bahwa Umar bin Khaththab barangkali lebih menginginkan gulai yang enak ini. Tibalah kembali kepala kambing itu dengan tidak kurang suatu apa pun ke rumah Umar bin Khaththab.
Padahal, seketika Umar bin Khaththab mengirimkan kepala kambing itu, bukanlah karena dia tidak menyukai, melainkan karena seleranya sangat terbuka membauinya dan merasa tentu makanan yang enak seperti inilah yang patut diberikan kepada sahabat. Berpindahlah dari satu rumah ke rumah yang lain, sampai tujuh rumah, itu pun adalah karena semua amat ingin. Oleh karena amat ingin, teringatlah kawan. Akhirnya kembali ke rumah Umar.
Menurut kisah yang dikisahkan oleh ahli tasawuf yang terkenal, Abu Hasan al-Anthaki, pada suatu hari berkumpullah lebih dari 30 orang ahli ketuhanan di satu desa di dekat Raiy (dekat Teheran sekarang) Hari telah malam, semuanya lapar, sedang roti hanya beberapa potong saja, tidak cukup buat makanan orang lebih dari 30 orang itu. Ada antara mereka mengambil roti yang sedikit itu dan memecahnya, lalu meletakkan di tengah-tengah, sedang lampu mereka padamkan. Setelah lampu padam kedengaran ada yang pergi mengambil roti itu berganti-ganti, cimpang-cimpung kedengaran mulut mereka makan. Yang telah selesai makan terus pergi tidur dan mengatakan kepada yang belum makan bahwa persediaan masih banyak. Akan tetapi, setelah hari siang, kelihatanlah bahwa roti itu tidak rusak, walaupun sepotong. Tidak seorang juga yang makan, hanya pura-pura makan, hanyalah menenggang kawan saja.