Ayat
Terjemahan Per Kata
رَبَّنَآ
ya Tuhan kami
إِنَّكَ
sesungguhnya Engkau
جَامِعُ
mengumpulkan
ٱلنَّاسِ
manusia
لِيَوۡمٖ
untuk hari
لَّا
tidak ada
رَيۡبَ
keraguan
فِيهِۚ
padanya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُخۡلِفُ
Dia menyalahi
ٱلۡمِيعَادَ
janji
رَبَّنَآ
ya Tuhan kami
إِنَّكَ
sesungguhnya Engkau
جَامِعُ
mengumpulkan
ٱلنَّاسِ
manusia
لِيَوۡمٖ
untuk hari
لَّا
tidak ada
رَيۡبَ
keraguan
فِيهِۚ
padanya
إِنَّ
sesungguhnya
ٱللَّهَ
Allah
لَا
tidak
يُخۡلِفُ
Dia menyalahi
ٱلۡمِيعَادَ
janji
Terjemahan
Wahai Tuhan kami, sesungguhnya Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya.” Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.
Tafsir
(Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau akan mengumpulkan manusia) menghimpun mereka (untuk suatu hari) maksudnya pada suatu hari (yang tak ada keraguan) atau kebimbangan (padanya) yakni hari kiamat, maka Engkau balas amal perbuatan mereka sebagaimana telah Engkau janjikan. (Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.") yakni janji-Nya tentang saat berbangkit. Di sini terdapat peralihan pembicaraan dan kemungkinan ia merupakan firman Allah ﷻ Adapun maksud dari doa seperti itu ialah untuk menyatakan bahwa pusat perhatian mereka ialah soal akhirat. Oleh sebab itulah mereka memohon agar tetap berada dalam hidayah atau petunjuk Allah hingga beroleh pahala. Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim melalui Aisyah r.a. katanya, "Rasulullah ﷺ membaca ayat, 'Dialah yang telah menurunkan kepadamu kitab, di antara isinya ialah ayat-ayat yang muhkamat...' dan seterusnya lalu sabdanya, 'Apabila kamu lihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat mereka itulah yang disebutkan oleh Allah, maka waspadalah terhadap mereka.'" Diriwayatkan pula oleh Thabrani dalam Al-Kabir melalui Abu Musa Al-Asyari, bahwa ia mendengar Nabi ﷺ bersabda, "Tidak ada yang aku khawatirkan terhadap umatku, kecuali tiga perkara yang di antaranya ialah akan dimudahkan bagi mereka mempelajari Al-Qur'an, tetapi orang mukmin mencari-cari takwil yang mutasyabihat, padahal tidak ada yang tahu akan takwilnya itu kecuali Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan, 'Kami beriman padanya, semuanya dari sisi Tuhan kami dan tidaklah yang beroleh peringatan kecuali orang-orang yang berakal.'" (Hadis).
Tafsir Surat Ali-'Imran: 7-9
Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu (Muhammad). Di antara isinya ada ayat-ayat yang muhkamat, itulah Ummul Kitab (pokok-pokok isi Al-Qur'an); dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan Kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.
(Mereka berdoa), "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada Kami rahmat dari sisi-Mu; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi.”
“Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia (untuk menerima pembalasan pada) pada hari yang tak ada keraguan padanya." Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji.
Ayat 7
Allah ﷻ memberitakan bahwa di dalam Al-Qur'an terdapat ayat-ayat muhkam, yang semuanya merupakan Ummul Kitab, yakni terang dan jelas pengertiannya, tiada seorang pun yang mempunyai pemahaman yang keliru tentangnya. Bagian yang lain dari kandungan Al-Qur'an adalah ayat-ayat mutasyabih (yang samar) pengertiannya bagi kebanyakan orang atau sebagian dari mereka. Barang siapa yang mengembalikan hal yang mutasyabih kepada dalil yang jelas dari Al-Qur'an, serta memutuskan dengan ayat yang muhkam atas ayat yang mutasyabih, maka sesungguhnya dia mendapat petunjuk.
Barang siapa yang terbalik, yakni memutuskan yang mutasyabih atas yang muhkam, maka terbaliklah dia. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Itulah Ummul Kitab (pokok-pokok isi Al-Qur'an).” (Ali Imran: 7)
Yaitu pokok dari isi Al-Qur'an yang dijadikan rujukan di saat menjumpai yang mutasyabih.
“Dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” (Ali Imran: 7)
Yakni ayat-ayat yang pengertiannya terkadang mirip dengan ayat-ayat yang muhkam dan terkadang mirip dengan pengertian lainnya bila ditinjau dari segi lafal dan susunannya, tetapi tidak dari segi makna yang dimaksud. Mereka berselisih pendapat mengenai muhkam dan mutasyabih, berbagai pendapat banyak diriwayatkan dari kalangan ulama Salaf.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat yang muhkam adalah ayat-ayat yang me-nasakh (merevisi), ayat-ayat yang menerangkan tentang halal dan haram, batasan-batasan dari Allah, serta semua hal yang berpengaruh dan diamalkan.
Disebutkan pula dari Ibnu Abbas bahwa ayat-ayat muhkam (antara lain) ialah firman Allah ﷻ: "Katakanlah, ‘Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kalian oleh Tuhan kalian, yaitu janganlah kalian mempersekutukan sesuatu dengan Dia’.” (Al-An'am: 151)
Dan ayat-ayat lain yang sesudahnya, juga firman Allah ﷻ: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kalian jangan menyembah selain Dia.” (Al-Isra: 23) serta ketiga ayat sesudahnya.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya pula; dia meriwayatkannya dari Said ibnu Jubair dengan lafal yang sama. Ibnu Abu Hatim mengatakan: Telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, dari Ishaq ibnu Suwaid, bahwa Yahya ibnu Ya'mur dan Abu Fakhitah melakukan perdebatan sehubungan dengan makna ayat ini, yaitu firman-Nya: “Itulah Ummul Kitab (pokok-pokok isi Al-Qur'an) dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” (Ali Imran: 7). Maka Abu Fakhitah berkata, "Yang dimaksud dengan ayat-ayat mutasyabihat adalah pembukaan tiap-tiap surat (yang terdiri atas rangkaian huruf-huruf hijaiyah)." Sedangkan menurut Yahya ibnu Ya'mur, makna yang dimaksud dengan Ummul Kitab adalah yang menyangkut fardu-fardu, perintah, dan larangan, serta halal dan haram.
Ibnu Luhai'ah meriwayatkan dari ‘Atha’ ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: “Itulah Ummul Kitab (pokok-pokok isi Al-Qur'an).” (Ali Imran: 7) Dinamakan Ummul Kitab karena ayat-ayat tersebut tertulis di dalam semua kitab.
Muqatil ibnu Hayyan mengatakan bahwa dikatakan demikian karena tiada seorang pemeluk agama pun melainkan ia rida dengannya.
Menurut pendapat yang lain sehubungan dengan ayat-ayat mutasyabihat, yang dimaksud adalah ayat yang di-mansukh, hal yang didahulukan dan hal yang diakhirkan, semua perumpamaan yang terdapat di dalam Al-Qur'an, semua qasam (sumpah) dan hal-hal yang hanya diimani tetapi tidak diamalkan. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ali ibnu Abu Talhah dari Ibnu Abbas.
Menurut pendapat yang lain, ayat-ayat mutasyabihat ialah huruf-huruf hijaiyah yang ada pada permulaan tiap-tiap surat. Demikian menurut Muqatil ibnu Hayyan.
Telah diriwayatkan dari Mujahid, bahwa sebagian ayat-ayat mutasyabihat membenarkan sebagian yang lain. Hal ini hanyalah menyangkut tafsir firman-Nya: “Yaitu sebuah kitab (Al-Qur'an) yang serupa lagi berulang-ulang.” (Az-Zumar: 23) Dalam tafsir ayat ini mereka menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan mutasyabih ialah suatu kalam yang berada dalam konteks yang sama; sedangkan yang dimaksud dengan masani ialah kalam yang menggambarkan dua hal yang berlawanan, seperti gambaran surga dan gambaran neraka, dan keadaan orang-orang yang bertakwa dengan keadaan orang-orang yang durhaka, begitulah seterusnya.
Yang dimaksud dengan istilah mutasyabih dalam ayat ini (Ali Imran: 7) adalah lawan kata dari muhkam. Pendapat yang paling baik sehubungan dengan masalah ini ialah apa yang telah kami sebut di atas, yaitu yang dinaskan oleh Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar ketika ia mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya: “Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat.” (Ali Imran: 7) Ayat-ayat yang muhkam merupakan hujah (argumen) Tuhan, dan pemeliharaan bagi hamba-hamba Allah, serta untuk mematahkan hujah lawan yang batil.
Ayat-ayat ini tidak dapat dibelokkan pengertiannya dan tidak dapat ditakwilkan dengan pengertian yang menyimpang dari apa adanya. Muhammad ibnu Ishaq ibnu Yasar mengatakan bahwa mutasyabihat dalam hal kebenarannya tidak memerlukan adanya pengertian lain dan takwil yang terkandung di balik makna lahiriahnya; Allah menguji hamba-hamba-Nya dengan ayat-ayat mutasyabihat ini, sebagaimana Dia menguji mereka dengan masalah halal dan haram.
Pada garis besarnya ayat-ayat mutasyabihat tidak boleh dibelokkan ke pengertian yang batil dan tidak boleh diselewengkan dari kebenaran. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan.” (Ali Imran: 7)
Yakni kesesatan dan menyimpang dari perkara yang hak, menyukai perkara yang batil.
“Maka mereka mengikuti ayat yang mutasyabihat darinya.” (Ali Imran: 7)
Yaitu sesungguhnya mereka hanya mau mengambil yang mutasyabihnya saja, karena dengan yang mutasyabih itu memungkinkan bagi mereka untuk membelokkannya sesuai dengan tujuan-tujuan mereka yang rusak, lalu mereka mengartikannya dengan pengertian tersebut, mengingat lafaznya mirip dengan pengertian mereka yang menyimpang.
Terhadap yang muhkam, maka tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan penyimpangan-penyimpangan padanya, karena yang muhkam merupakan hujah (argumen) yang mematahkan alasan mereka dan dapat membungkam mereka. Karena itulah Allah ﷻ berfirman:
“Untuk menimbulkan fitnah.” (Ali Imran: 7)
Yaitu untuk menyesatkan para pengikut mereka dengan cara memakai Al-Qur'an sebagai hujah mereka untuk mengelabui para pengikutnya terhadap bid'ah yang mereka lakukan. Padahal kenyataannya hal tersebut merupakan hujah yang menghantam mereka dan sama sekali bukan hujah yang mereka peralat.
Keadaannya sama dengan masalah seandainya orang-orang Nasrani mengemukakan hujah 'Al-Qur'an yang menyebutkan bahwa Isa adalah ruh (ciptaan) Allah dan kalimat (perintah)-Nya yang Dia sampaikan kepada Maryam dan ruh dari Allah', tetapi mereka mengesampingkan firman-Nya yang mengatakan: “Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya nikmat (kenabian).” (Az-Zukhruf: 59) “Sesungguhnya perumpamaan (penciptaan) Isa di sisi Allah adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya, ‘Jadilah’ (seorang manusia), maka jadilah dia.” (Ali Imran: 59)
Dan ayat-ayat lainnya yang muhkam lagi jelas menunjukkan bahwa Isa adalah salah seorang dari makhluk Allah, dan merupakan seorang hamba serta seorang rasul di antara rasul-rasul Allah.
Firman Allah ﷻ: “Dan untuk mencari-cari takwilnya.” (Ali Imran: 7)
Yakni penyimpangannya menurut yang mereka kehendaki.
Muqatil ibnu Hayyan dan As-Suddi mengatakan bahwa mereka ingin mencari tahu apa yang bakal terjadi dan bagaimana akibat dari berbagai hal melalui Al-Qur'an.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ismail, telah menceritakan kepada kami Ya'qub, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ membacakan firman-Nya: “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah pokok-pokok isi Al-Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat.” (Ali Imran: 7) sampai dengan firman-Nya: “Orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7) Lalu beliau ﷺ bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang berbantah-bantahan tentang ayat-ayat mutasyabihat maka merekalah orang-orang yang dimaksudkan oleh Allah. Karena itu, hati-hatilah kalian terhadap mereka.”
Demikianlah bunyi hadits ini menurut yang terdapat di dalam Musnad Imam Ahmad melalui riwayat Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah tanpa ada seorang perawi pun di antara keduanya (antara Ibnu Abu Mulaikah dengan Siti Aisyah).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Ismail ibnu Ulayyah dan Abdul Wahhab As-Saqafi, keduanya dari Ayyub dengan lafal yang sama.
Muhammad ibnu Yahya Al-Abdi meriwayatkan pula di dalam kitab musnadnya melalui Abdul Wahhab As-Saqafi dengan lafal yang sama. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh Abdur Razzaq, dari Ma'mar, dari Ayyub. Hal yang sama diriwayatkan pula oleh tidak hanya seorang, dari Ayyub.
Ibnu Hibban meriwayatkan pula di dalam kitab sahihnya melalui hadits Ayyub dengan lafal yang sama. Abu Bakar ibnul Munzir meriwayatkannya di dalam kitab tafsirnya melalui dua jalur, yaitu dari Abun Nu'man, Muhammad ibnul Fadl As-Sudusi yang laqab-nya (julukannya) adalah Arim, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Ayyub, dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama.
Ayyub (yaitu Abu Amir Al-Kharraz) dan lain-lain mengikutinya, dari Ibnu Abu Mulaikah; lalu Imam At-Tirmidzi meriwayatkannya dari Bandar, dari Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Abu Amir Al-Kharraz, kemudian ia menuturkan hadits ini. Sa'id ibnu Mansur meriwayatkannya pula di dalam kitab sunnah-nya, dari Hammad ibnu Yahya, dari Abdullah ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadits Rauh ibnul Qasim dan Nafi' ibnu Umar Al-Jumahi; keduanya dari Ibnu Abu Mulaikah, dari Aisyah.
Nafi' mengatakan dalam riwayatnya dari Ibnu Abu Mulaikah, bahwa Siti Aisyah pernah menceritakan kepadaku, lalu ia (Ibnu Abu Mulaikah) menuturkan hadits ini. Imam Al-Bukhari meriwayatkan pula hadits ini dalam tafsir ayat ini, sedangkan Imam Muslim meriwayatkannya di dalam Kitabul Qadar dari kitab sahihnya, dan Abu Dawud di dalam kitab sunnahnya; ketiganya meriwayatkan hadits ini dari Al-Aqnabi, dari Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi dari Ibnu Abu Mulaikah dari Al-Qasim ibnu Muhammad dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ membaca ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Dialah yang menurunkan Al-Kitab (Al-Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamat.” (Ali Imran: 7), sampai dengan firman-Nya: “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7) Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah itu Rasulullah ﷺ bersabda: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih darinya, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah; maka hati-hatilah kalian terhadap mereka.”
Demikianlah menurut lafal Imam Al-Bukhari. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi melalui Bandar, dari Abu Dawud Ath-Thayalisi, dari Yazid ibnu Ibrahim dengan lafal yang sama. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Imam At-Tirmidzi menuturkan bahwa Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi sendirilah yang menyebut Al-Qasim dalam sanad ini, sedangkan menurut yang lainnya yang tidak hanya seorang meriwayatkannya dari Ibnu Abu Mulaikah langsung dari Siti Aisyah, tanpa menyebut Al-Qasim. Demikian komentar Imam At-Tirmidzi.
Ibnu Abu Hatim meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Abul Walid Ath-Thayalisi, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Ibrahim At-Tusturi dan Hammad ibnu Abu Mulaikah, dari Al-Qasim ibnu Muhammad, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai makna firman-Nya: “Adapun orang-orang yang di dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya.” (Ali Imran: 7) Maka Rasulullah ﷺ menjawab melalui sabdanya: “Apabila kalian melihat orang-orang yang mengikuti hal-hal yang mutasyabih dari Al-Qur'an, maka mereka itulah orang-orang yang disebutkan oleh Allah (dalam ayat ini); maka hati-hatilah (waspadalah) kalian terhadap mereka.”
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ali ibnu Sahl, telah menceritakan kepada kami Al-Walid ibnu Muslim, dari Hammad ibnu Salamah, dari Abdur Rahman ibnul Qasim, dari ayah-nya, dari Siti Aisyah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai ayat ini, yaitu firman-Nya: “Maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya untuk menimbulkan fitnah.” (Ali Imran: 7) Kemudian beliau ﷺ bersabda: “Allah telah memperingatkan kalian. Maka apabila kalian melihat mereka, waspadalah kalian terhadap mereka.”
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih melalui jalur yang lain, dari Al-Qasim, dari Siti Aisyah dengan lafal yang sama.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kamil, telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Abu Galib yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Umamah menceritakan hadits berikut dari Nabi ﷺ sehubungan dengan firman-Nya: “Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat darinya.” (Ali Imran: 7) bahwa mereka adalah golongan Khawarij. Juga firman-Nya: “Pada hari yang di waktu itu ada muka yang menjadi putih berseri, dan ada pula muka yang menjadi hitam muram.” (Ali Imran: 106). Mereka (yang mukanya menjadi hitam muram) adalah golongan Khawarij.
Ibnu Mardawaih meriwayatkannya pula melalui jalur yang lain, dari Abu Galib, dari Abu Umamah, lalu ia menuturkan hadits ini. Minimal hadits ini berpredikat mauquf karena dikategorikan sebagai perkataan seorang sahabat, tetapi makna yang dikandungnya shahih (benar). Karena sesungguhnya mula-mula bid'ah yang terjadi dalam permulaan masa Islam ialah fitnah Khawarij. Pada mulanya mereka muncul disebabkan masalah duniawi, yaitu ketika Nabi ﷺ membagi-bagi hasil ganimah Perang Hunain. Dalam akal mereka yang tidak sehat seakan-akan mereka melihat bahwa Nabi ﷺ tidak berlaku adil dalam pembagian ganimah. Lalu mereka mengejutkan Nabi ﷺ dengan suatu ucapan yang tidak pantas. Maka seseorang dari mereka (Khawarij) yang dikenal dengan julukan "Zul Khuwaisirah" (si pinggang kecil, semoga Allah merobek pinggangnya) berkata, "Berlaku adillah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak adil." Lalu Rasulullah ﷺ menjawab: “Sungguh kecewa dan merugilah aku jika aku tidak adil. Allah mempercayakan aku untuk penduduk bumi, maka mengapa engkau tidak percaya kepadaku?” Ketika lelaki itu pergi, Umar ibnul Khattab menurut riwayat yang lain Khalid ibnul Walid meminta izin kepada Nabi ﷺ untuk membunuh lelaki yang mengatakan demikian itu. Tetapi Nabi ﷺ bersabda: “Biarkanlah dia, sesungguhnya kelak akan muncul dari golongan lelaki ini suatu kaum yang shalat dan bacaan Al-Qur'annya sebegitu dahsyat hingga kalian memandang kecil salat kalian bila dibandingkan dengan shalat mereka, dan kalian memandang kecil bacaan Al-Qur'an kalian bila dibandingkan dengan bacaan mereka. Mereka menembus agama sebagaimana anak panah menembus sasarannya. Maka dimana pun kalian jumpai mereka, perangilah mereka, karena sesungguhnya orang yang membunuh mereka akan mendapat pahala.
Mereka baru muncul dalam masa Khalifah Ali ibnu Abu Thalib dan ia memerangi mereka di Nahrawan. Kemudian bercabanglah dari mereka berbagai kabilah dan puak serta berbagai aliran dan sekte yang cukup banyak. Lalu muncullah aliran Qadariyah, Mu'tazilah, Jahmiyah, dan aliran-aliran bid'ah lainnya yang jauh sebelum itu telah diberitakan oleh Nabi ﷺ dalam salah satu sabdanya: “Umat ini kelak akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk neraka kecuali satu golongan.” Mereka (para sahabat) bertanya, "Siapakah mereka yang satu golongan itu, ya Rasulullah?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Orang-orang yang berpegang kepada tuntunanku dan tuntunan para sahabatku.” Hadits diketengahkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya dengan tambahan ini.
Al-Hafidzh Abu Ya'la mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Musa, telah menceritakan kepada kami Amr Ibnu ‘Ashim, telah menceritakan kepada kami Al-Mu'tamir, dari ayahnya, dari Qatadah, dari Al-Hasan ibnu Jundub ibnu Abdullah; telah disampaikan kepadanya sebuah hadits dari Huzaifah atau dia mendengarnya langsung dari Huzaifah, dari Rasulullah ﷺ . Disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah menuturkan hal berikut: “Sesungguhnya di dalam umatku terdapat suatu kaum, mereka membaca Al-Qur'an dengan bacaan yang sangat lancar seperti menebar anak panah, tetapi mereka menakwilkannya bukan dengan takwil yang sebenarnya.”
Firman Allah ﷻ: “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah.” (Ali Imran: 7)
Para ahli qurra berselisih pendapat mengenai bacaan waqaf dalam ayat ini. Menurut suatu pendapat, waqaf dilakukan pada lafzul Jalalah, seperti yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Tafsir itu ada empat macam, yaitu tafsir yang tidak sulit bagi seseorang untuk memahaminya, tafsir yang diketahui oleh orang-orang Arab melalui bahasanya, tafsir yang hanya diketahui oleh orang-orang yang berilmu mendalam, dan tafsir yang tiada yang mengetahuinya selain Allah." Pendapat yang sama diriwayatkan pula dari Siti Aisyah, Urwah, Abusy Sya'sa, Abu Nuhaik, dan lain-lain.
Al-Hafidzh Abul Qasim di dalam kitab Mu'jamul Kabir-nya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Hasyim ibnu Marsad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Iyasy, telah menceritakan kepadaku ayahku, telah menceritakan kepadaku Damdam ibnu Zur'ah, dari Syuraih ibnu Ubaid, dari Abu Malik Al-Asy'ari, bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Aku tidak mengkhawatirkan umatku kecuali terhadap tiga perkara, yaitu bila harta bertambah banyak bagi mereka, lalu mereka saling mendengki, dan akhirnya mereka saling berperang; dan bila dibukakan bagi mereka (pemahaman) Al-Qur'an, lalu orang mukmin mengambilnya dengan tujuan mencari-cari takwilnya, "Padahal tidak ada yang mengetahui takwil-nya melainkan Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata, 'Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat'." (Ali Imran: 7), hingga akhir ayat. Dan bilamana ilmu mereka makin bertambah, pada akhirnya mereka menyia-nyiakannya dan mereka tidak menanyakannya.” Hadits ini gharib (aneh) sekali.
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Amr, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Hatim, dari ayahnya, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari Ibnul As, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya Al-Qur'an itu sebagian darinya tidaklah diturunkan untuk mendustakan sebagian yang lainnya. Maka apa saja darinya yang kalian ketahui, amalkanlah; dan apa saja darinya yang mutasyabih, maka berimanlah kalian kepadanya.”
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Tawus, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Ibnu Abbas membaca ayat ini dengan bacaan seperti berikut: “Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya, melainkan Allah. Sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya (hanya) mengatakan, ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat’.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dari Umar ibnu Abdul Aziz dan Malik ibnu Anas, bahwa mereka (orang-orang yang mendalam ilmunya) hanya beriman kepadanya, sedangkan mereka tidak mengetahui takwilnya.
Ibnu Jarir meriwayatkan bahwa di dalam qiraat Abdullah ibnu Mas'ud disebutkan takwil ayat-ayat mutasyabihat hanya ada pada Allah, sedangkan orang-orang yang mendalam ilmunya hanya mengatakan, "Kami beriman kepada yang disebutkan oleh ayat-ayat mutasyabihat." Hal yang sama diriwayatkan dari Ubay ibnu Ka'b, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir.
Di antara mereka ada yang melakukan waqaf pada firman-Nya: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” (Ali Imran: 7) Pendapat ini diikuti oleh banyak ahli tafsir dan ahli Ushul, dan mereka mengatakan bahwa khitab dengan memakai ungkapan yang tidak dimengerti merupakan hal yang mustahil.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa ia pernah mengatakan, "Aku termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya, yaitu mereka yang mengetahui takwilnya." Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan pula dari Mujahid, bahwa orang-orang yang mendalam ilmunya mengetahui takwilnya dan mereka mengatakan, "Kami beriman kepadanya." Hal yang sama dikatakan oleh Ar-Rabi' ibnu Anas.
Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Muhammad ibnu Ja'far ibnuz Zubair, bahwa makna yang dimaksud ialah tidak ada seorang pun yang mengetahui makna yang dimaksud kecuali hanya Allah. Orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan, "Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabih." Kemudian mereka yang mendalam ilmunya dalam menakwilkan ayat-ayat yang mutasyabihat merujuk kepada yang telah mereka ketahui dari takwil ayat-ayat muhkamat yang semua orang mempunyai takwil yang sama mengenainya.
Dengan demikian, maka semua isi Al-Qur'an serasi berkat pendapat mereka, sebagian di antaranya membenarkan sebagian yang lain; sehingga hujah (argumen) pun menembus sasarannya dan tiada suatu alasan pun untuk mengelak darinya, serta semua kebatilan tersisihkan dan semua kekufuran tertolak berkat Al-Qur'an. Di dalam sebuah hadits disebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah mendoakan sahabat Ibnu Abbas dengan doa berikut: “Ya Allah, berilah dia pemahaman dalam agama dan ajarkanlah kepadanya takwil (Al-Qur'an).”
Di antara ulama ada yang merincikan masalah ini; mereka mengatakan bahwa takwil Al-Qur'an mempunyai dua pengertian. Salah satunya ialah takwil dengan pengertian hakikat sesuatu dan merupakan kesimpulan darinya. Termasuk ke dalam pengertian ini ialah firman-Nya: “Dan berkata Yusuf, ‘Wahai ayahku, inilah tabir mimpiku yang dahulu itu’." (Yusuf: 100)
Dan firman-Nya: “Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al-Qur'an itu. Pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al-Qur'an itu.” (Al-A'raf: 53) Yakni hakikat dari apa yang diberitakan kepada mereka menyangkut perkara akhirat, apabila yang dimaksud dengan takwil seperti di atas maka berarti waqaf-nya pada lafzul Jalalah.
Karena hakikat dan kenyataan segala sesuatu itu tidak ada seorang pun yang mengetahuinya dengan jelas kecuali hanya Allah ﷻ. Dengan demikian, berarti firman-Nya: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” (Ali Imran: 7) berkedudukan sebagai mubtada. Sedangkan firman-Nya: “Mengatakan, ‘Kami beriman kepadanya’." (Ali Imran: 7) berkedudukan sebagai khabar-nya. Adapun jika yang dimaksud dengan takwil ialah pengertian yang lain, yaitu seperti tafsir, penjelasan, dan keterangan mengenai sesuatu, seperti makna yang terdapat di dalam firman-Nya: “Berikanlah kepada kami takwilnya.” (Yusuf: 36) Yakni tafsir dari mimpinya itu. Jika yang dimaksud adalah seperti ini, maka berarti waqaf-nya pada firman-Nya: “Dan orang-orang yang mendalam ilmunya.” (Ali Imran: 7) Karena mereka mengetahui dan memahami apa yang di-khitab-kan oleh Al-Qur'an dengan ungkapannya itu, sekalipun pengetahuan mereka tidak meliputi hakikat segala sesuatu seperti apa adanya.
Berdasarkan analisis ini, berarti firman-Nya: “Mengatakan,’Kami beriman kepadanya’." (Ali Imran: 7) berkedudukan sebagai hal yang menggambarkan keadaan mereka. Hal ini memang diperbolehkan; dan ia merupakan bagian dari ma'tuf, bukan ma'tuf 'alaih, seperti pengertian yang terkandung di dalam firman-Nya: “(Juga) bagi orang fakir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan harta benda mereka.” (Al-Hasyr: 8) sampai dengan firman-Nya: “Mereka berdoa, ‘Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami’." (Al-Hasyr: 10), hingga akhir ayat.
Dan seperti firman Allah ﷻ: “Dan datanglah Tuhanmu, dan (datang pula) malaikat dengan berbaris-baris.” (Al-Fajr: 22)
Firman Allah ﷻ yang memberitakan tentang mereka yang mendalam ilmunya, bahwa mereka mengatakan, "Kami beriman kepadanya," yakni kepada ayat-ayat mutasyabihat itu. Semuanya yakni yang muhkam dan yang mutasyabih berasal dari sisi Tuhan kami mengandung kebenaran. Masing-masing dari keduanya membenarkan yang lainnya dan mempersaksikannya, karena semuanya berasal dari sisi Allah; Tiada sesuatu pun dari sisi Allah yang berbeda dan tidak pula berlawanan, seperti yang disebutkan oleh firman-Nya: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur'an? Kalau sekiranya Al-Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Karena itulah Allah ﷻ berfirman: “Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali Imran: 7)
Dengan kata lain, sesungguhnya orang yang mengerti dan dapat memahaminya dengan pemahaman yang sebenarnya hanyalah orang-orang yang berakal sehat dan berpemahaman yang lurus.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Auf Ahimsi, telah menceritakan kepada kami Nu'aim ibnu Hammad, telah menceritakan kepada kami Fayyad Ar-Riqqi, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnu Yazid (seseorang yang pernah bertemu dengan sahabat-sahabat Nabi ﷺ, yaitu Anas, Abu Umamah, dan Abu Darda), bahwa Rasulullah ﷺ pernah ditanya mengenai pengertian orang-orang yang mendalam ilmunya. Maka beliau ﷺ bersabda: “Orang yang menunaikan sumpahnya, jujur lisannya dan hatinya lurus, serta orang yang memelihara kehormatan perut dan farji (kemaluan)nya. Maka yang bersifat demikian itu termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya.”
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ma'mar, dari Az-Zuhri, dari Amr ibnu Syu'ab, dari ayahnya, dari kakeknya yang pernah menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ mendengar suatu kaum yang sedang berbantah-bantahan. Maka beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian karena hal ini; mereka mempertentangkan sebagian dari Kitabullah dengan sebagian yang lain. Dan sesungguhnya Kitabullah itu diturunkan hanyalah untuk membenarkan sebagian darinya dengan sebagian yang lain. Karena itu, janganlah kalian mendustakan sebagian darinya dengan sebagian yang lain. Hal-hal yang kalian ketahui darinya, maka katakanlah ia; dan hal-hal yang kalian tidak mengetahuinya, maka serahkanlah hal itu kepada yang mengetahuinya.”
Dalam pembahasan terdahulu hadits ini telah disebutkan dalam riwayat Ibnu Mardawaih melalui jalur Hisyam ibnu Ammar, dari Abu Hazim, dari Amr ibnu Syu'aib dengan lafal yang sama.
Abu Ya'la Al-Mausuli mengatakan di dalam kitab musnadnya, telah menceritakan kepada kami Zuhair ibnu Harb, telah menceritakan kepada kami Anas ibnu Iyad, dari Abu Hazim, dari Abu Salamah yang mengatakan bahwa ia tidak mengetahui hadits ini melainkan dari Abu Hurairah yang isinya menyebutkan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Al-Qur'an diturunkan dengan memakai tujuh dialek, berdebat dalam masalah Al-Qur'an merupakan kekufuran sebanyak tiga kali. Apa saja yang kalian ketahui darinya, maka amalkanlah hal itu; dan apa saja yang kalian tidak ketahui darinya, maka kembalikanlah hal itu kepada Yang Maha Mengetahuinya.
Sanad hadits ini shahih, tetapi di dalamnya terdapat illat (cela) disebabkan ucapan perawi yang mengatakan, "Aku tidak mengetahuinya kecuali dari Abu Hurairah."
Ibnul Munzir di dalam kitab tafsirnya mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Abdul Hakam, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Nafi' ibnu Yazid yang mengatakan bahwa menurut suatu pendapat, orang-orang yang mendalam ilmunya ialah orang-orang yang tawadu' kepada Allah, lagi rendah diri kepada Allah demi memperoleh rida-Nya. Mereka tidak meninggikan diri terhadap orang yang berada di atas mereka, dan tidak pula menghina orang yang berada di bawah mereka.
Ayat 8
Kemudian Allah ﷻ memberitakan perihal mereka, bahwa mereka selalu berdoa kepada Tuhan mereka seraya mengucapkan:
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami.” (Ali Imran: 8)
Yakni janganlah Engkau menjadikannya menyimpang dari petunjuk sesudah Engkau meluruskannya pada jalan hidayah. Dan janganlah Engkau jadikan kami seperti orang-orang yang di dalam hati mereka terdapat kesesatan, yaitu mereka mengikuti ayat-ayat Al-Qur'an yang mutasyabih, tetapi tetapkanlah (teguhkanlah) kami pada jalan-Mu yang lurus dan agama-Mu yang lurus.
“Dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau.” (Ali Imran: 8)
Agar hati kami menjadi teguh, dan kesatuan kami terhimpun, serta iman dan keyakinan kami bertambah karenanya. “Karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8)
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Amr ibnu Abdullah Al-Audi; dan Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib. Keduanya mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Waki', dari Abdul Hamid ibnu Bahrain, dari Syar ibnu Hausyab, dari Ummu Salamah, bahwa Nabi ﷺ mengucapkan doa berikut: “Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu.” Kemudian membaca ayat berikut: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (karunia).” (Ali Imran: 8)
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Mardawaih dari jalur Muhammad ibnu Bakkar, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, dari Syahr ibnu Hausyab, dari Ummu Salamah, dari Asma binti Yazid ibnus Sakan; aku pernah mendengar Asma binti Yazid ibnus Sakan menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ acapkali mengucapkan doa berikut: “Ya muqallibal quluub tsabbit qalbi ‘alaa diinik (Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu).”
Ummu Salamah melanjutkan kisahnya, bahwa ia bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah hati itu benar-benar berbolak-balik?" Rasul ﷺ menjawab: “Ya, tidak sekali-kali Allah menciptakan seorang manusia melainkan hati manusia itu berada di antara dua jari (kekuasaan) Allah ﷻ. Jika Dia menghendaki untuk meluruskannya, maka Dia menjadikannya lurus. Dan jika Dia menghendaki untuk menyesatkannya, maka Dia menjadikannya sesat. Kami memohon kepada Allah, Tuhan kami, semoga Dia tidak menjadikan hati kami sesat sesudah Dia memberinya petunjuk. Dan kami memohon kepada-Nya semoga Dia menganugerahkan kepada kami rahmat dari sisi-Nya, karena sesungguhnya Dia Maha Pemberi karunia.”
Begitu pula menurut yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui hadits Asad ibnu Musa, dari Abdul Hamid ibnu Bahram, disebutkan hal yang serupa. Ibnu Jarir meriwayatkannya pula dari Al-Musanna, dari Al-Hajjaj ibnu Minhal, dari Abdul Hamid ibnu Bahram dengan lafal yang serupa. Tetapi di dalam riwayat ini ditambahkan seperti berikut: Aku (Ummu Salamah) berkata, "Wahai Rasulullah, maukah engkau mengajarkan kepadaku suatu doa yang aku panjatkan buat diriku sendiri?" Rasulullah ﷺ menjawab, "Baiklah. Ucapkanlah, 'Ya Allah, Tuhan Muhammad yang menjadi nabi, ampunilah dosa-dosaku, lenyapkanlah luapan (emosi) hatiku, dan lindungilah aku dari fitnah-fitnah yang menyesatkan'." .
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Sulaiman ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Harun ibnu Bakkar Ad-Dimasyqi, telah menceritakan kepada kami Al-Abbas ibnul Walid Al-Khallal, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Yahya ibnu Ubaidillah, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Basyir, dari Qatadah, dari Hassan Al-A'raj, dari Aisyah yang mengatakan bahwa doa yang sering dibaca oleh Rasulullah ﷺ adalah seperti berikut: “Ya muqallibal quluub tsabbit qalbi ‘alaa diinik (Ya Tuhan Yang membolak-balikkan hati, tetapkanlah hatiku pada agama-Mu).” Siti Aisyah melanjutkan kisahnya, lalu ia bertanya, "Wahai Rasulullah, engkau sering sekali membaca doa ini." Maka beliau ﷺ menjawab: “Tidak ada suatu hati pun melainkan ia berada di antara kedua jari (kekuasaan) Tuhan Yang Maha Pemurah. Jika Dia menghendaki meluruskannya, niscaya Dia membuatnya lurus; dan jika Dia menghendaki menyesatkannya, niscaya Dia membuatnya sesat. Tidakkah engkau pernah mendengar firman-Nya, ‘Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami; dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau, karena sesungguhnya Engkaulah Maha Pemberi (rahmat)’." (Ali Imran: 8).
Hadits ini gharib bila ditinjau dari lafal ini, tetapi asalnya ada di dalam kitab Shahihain dan kitab-kitab hadits lainnya yang diriwayatkan melalui berbagai jalur yang cukup banyak tanpa tambahan ayat ini.
Hadits ini diriwayatkan pula oleh Abu Dawud, An-Nasai, dan Ibnu Mardawaih melalui riwayat Abu Abdur Rahman Al-Maqbari. Imam An-Nasai, Ibnu Hibban, dan Abdullah ibnu Wahb menambahkan bahwa keduanya meriwayatkan hadits ini dari Sa'id ibnu Abu Ayyub, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnul Walid At-Tajibi, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Siti Aisyah, bahwa Rasulullah ﷺ apabila terbangun di malam hari mengucapkan doa berikut: “Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau, aku memohon ampun kepada-Mu atas dosa-dosaku, dan aku memohon rahmat kepada-Mu. Ya Allah, tambahkanlah ilmu kepadaku dan janganlah Engkau sesatkan hatiku sesudah Engkau memberinya petunjuk; dan karuniakanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi karunia.”
Lafal hadits ini berdasarkan apa yang ada pada Ibnu Mardawaih.
Abdur Razzaq meriwayatkan dari Malik, dari Abu Ubaid maula Sulaiman ibnu Abdul Malik, dari Ubadah ibnu Nissi yang menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Qais ibnul Haris mengatakan bahwa Abu Abdullah As-Sanabiji menceritakan kepadanya bahwa ia pernah shalat bermakmum di belakang sahabat Abu Bakar As-Siddiq dalam shalat Magrib. Lalu sahabat Abu Bakar dalam dua rakaat pertamanya membaca Ummul Qur'an dan dua surat mufassal yang pendek. Dalam rakaat yang ketiganya ia membaca Al-Qur'an pula. Abu Abdullah As-Sanabiji melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia mendekatkan dirinya kepada Abu Bakar, sehingga bajunya hampir saja bersentuhan dengan baju Abu Bakar. Maka ia mendengarnya membaca Ummul Qur'an (surat Al-Fatihah) dan ayat berikut, yaitu firman-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau memberi petunjuk kepada kami.” (Ali Imran: 8), hingga akhir ayat.
Abu Ubaid mengatakan, telah menceritakan kepadaku Ubadah ibnu Nissi, bahwa ia pernah berada di sisi Umar ibnu Abdul Aziz dalam .masa kekhalifahannya. Lalu Umar berkata kepada Qais, "Apakah yang engkau sampaikan kepadaku dari Abu Abdullah?" Umar berkata pula, "Sejak aku mendengar ayat ini darinya, maka aku tidak pernah meninggalkannya, sekalipun sebelum itu aku tidak membaca demikian." Kemudian ada seorang lelaki bertanya, "Wahai Amirul Mukminin, apakah yang engkau baca sebelum itu (sebelum mendengar atsar tersebut)?" Umar ibnu Abdul Aziz menjawab bahwa ia sebelumnya selalu membaca: Katakanlah, "Dialah Allah Yang Maha Esa." (Al-Ikhlas: 1), hingga akhir surat.
Atsar ini diriwayatkan pula oleh Al-Walid ibnu Muslim, dari Malik dan Al-Auza'i; keduanya dari Abu Ubaid dengan kisah yang sama. Atsar ini diriwayatkan pula oleh Al-Walid, dari Ibnu Jabir, dari Yahya ibnu Yahya Al-Gassani, dari Mahmud ibnu Labid, dari As-Sanabiji, bahwa ia shalat di belakang Abu Bakar dalam shalat Magrib-nya. Maka Abu Bakar membaca surat Al-Fatihah dan sebuah surat yang pendek dengan bacaan yang keras dalam dua rakaat pertamanya. Ketika ia bangkit dalam rakaat yang ketiganya dan memulai membaca Al-Qur'an, maka aku mendekat kepadanya hingga bajuku benar-benar menyentuh bajunya, dan ternyata dia membaca ayat ini, yaitu firman-Nya: “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan.” (Ali Imran: 8), hingga akhir ayat.
Ayat 9
Firman Allah ﷻ: Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau mengumpulkan manusia (untuk menerima pembalasan) pada hari yang tak ada keraguan padanya.” (Ali Imran: 9)
Mereka mengatakan pula dalam doanya: “Sesungguhnya Engkau, ya Tuhan kami, akan menghimpun semua makhluk-Mu di hari kiamat nanti; dan kelak Engkau akan memutuskan peradilan di antara mereka serta memutuskan perihal yang mereka perselisihkan di antara mereka, lalu Engkau membalas tiap-tiap orang sesuai dengan amal perbuatannya dan kebaikan serta keburukan yang dikerjakannya selama di dunia."
Mereka tidak hanya mengajukan permohonan yang berkaitan dengan kehidupan di dunia, tetapi juga menegaskan keyakinan tentang keniscayaan hari Akhir. Ya Tuhan kami, Engkaulah yang mengumpulkan manusia pada hari yang tidak ada keraguan padanya, yaitu pada hari kiamat. Sungguh, Allah tidak menyalahi janji. Sesungguhnya orang-orang yang kafir, yang menutupi tanda-tanda keesaan dan kebesaran Allah serta mengingkari petunjuk-petunjukNya, bagi mereka tidak akan berguna sedikit pun harta benda yang Allah berikan kepada mereka walau sebanyak apa pun, dan demikian pula anak-anak mereka walau sebanyak dan sehebat apa pun, terhadap azab Allah di dunia. Mereka juga tidak dapat menolak siksa-Nya di akhirat kelak, dan bahkan mereka itu menjadi bahan bakar api neraka.
Dalam doa orang-orang yang ilmu pengetahuannya telah mendalam itu tergambar pula keyakinan mereka, yaitu mereka meyakini kedatangan hari kiamat, dan setelah itu Allah mengumpulkan seluruh makhluk-Nya untuk diperhitungkan segala amal perbuatannya yang telah mereka perbuat selama mereka hidup di dunia. Mereka yakin bahwa pada hari itu Allah membalas amal baik dengan pahala yang berlipat ganda, dan membalas semua perbuatan dosa dengan azab yang setimpal.
Kedatangan hari akhirat dan pengumpulan makhluk pada hari itu, merupakan janji Allah kepada manusia. Orang-orang yang ilmu pengetahuannya mendalam, yakin benar bahwa Allah pasti menepati janji-Nya.
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
AYAT MUHKAM DAN MUTASYABIH
Ayat 7
“Dia yang telah menurunkan kepada engkau sebuah kitab, sebagian darinya adalah ayat-ayat yang muhkam, yaitulah ibu dari Kitab, dan yang lain adalah (ayat-ayat) yang mutasyabih."
Di sini dijelaskanlah bahwasanya ayat-ayat dalam Al-Qur'an itu ada dua macam: pertama muhkam, kedua mutasyabih, Misalnya ayat-ayat yang mengenai hukum, memerintahkan shalat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan naik haji, dan sebagainya. Demikian juga tentang pembagian waris harta pusaka, muhkam, sebab jelas diterangkan, misalnya laki-laki mendapat dua kali sebanyak yang diterima oleh perempuan. Ayat-ayat yang muhkam disebut sebagai ibu dari Kitab. Ibu Kitab artinya menjadi sumber hukum, yang tidak bisa diartikan lain lagi. Akan tetapi, ada lagi ayat yang mutasyabih. Arti yang asli dari kata mutasyabih ialah serupa-serupa, macam-macam, tidak tepat kepada suatu arti. Panjang lebar perbincangan ulama tentang maksud mutasyabih itu.
Kita ambil suatu misal, yaitu ayat-ayat yang mengenai penyendirian hubungan bercampur gaul di antara suami dan istri. Tidak berjumpa satu ayat pun dalam Al-Qur'an yang menerangkan hal bersetubuh dengan terang-terang. Yang ada hanyalah perkataan seumpama au lamastumun nisaa', yang berarti ‘atau menyentuh kamu akan perempuan' atau ma lam tamassuhunna, yang berarti ‘selama belum kamu sentuh mereka' atau rafatsu ila nisa'ikum, yang asal arti kata rafats itu ialah bercakap ‘main-main' antara suami-istri ketika akan seketiduran, atau libasun, artinya yang asli ialah ‘pakaian'. Kata-kata yang demikian mengandung dua arti, yaitu arti yang tersurat dan arti yang tersirat. Sebab itu, tidak heran kalau ada ulama fiqih yang berpaham bahwa wudhu baru batal kalau bersetubuh dan setengah ulama fiqih lagi berpaham bahwa wudhu telah batal karena bersentuhan saja.
Dimasukkan orang juga dalam ayat-ayat mutasyabih, huruf-huruf yang ada di pangkal surah, sebagaimana Alif-Lam-Mim, Alif-Lam-Ra, Ha-Mim, dan sebagainya itu. Ini karena mungkin dia hanya semata-mata huruf untuk permulaan surah dan mungkin juga dia me-ngandungarti sendiri di belakang yang tertulis.
Akan tetapi, yang lebih masyhur dimasukkan ke dalam ayat yang mutasyabih ialah membicarakan beberapa hal berkenaan dengan ketuhanan. Seumpama ayat yang menerangkan bahwa Allah mempunyai tangan atau Allah mempunyai banyak tangan, atau mempunyai dua tangan, atau Allah mempunyai banyak mata, atau Allah duduk bersemayam di atas ‘Arsy.
Satu keterangan dari Imam asy-Syaukani di dalam tafsiran Fathul Qadir tentang muhkam dan mutasyabih ini, yakni setelah beliau memperbincangkan pendapat ulama tentang ini, menarik hati kami untuk melengkapkan tafsir ini. Kata beliau, (kita simpulkan) kalau kita renungkan, dapatlah kita mengambil kesimpulan bahwa seluruh ayat di dalam Al-Qur'an itu adalah muhkam, yaitu apabila kita meniliknya dan segi ayat-ayat yang lain. Di ayat lain Allah berfirman,
“Kita yang telah dijelaskan ayat-ayatnya." (Huud: 1)
Dan firman Allah lagi,
“Itulah ayat-ayat dari Kitab Yang Hakim." (Yuunus: 1)
Kitab yang penuh dengan kebijaksanaan. Kata Imam asy-Syaukani selanjutnya,"Mak-sud muhkam di sini ialah benar ucapannya, jitu maknanya, penuh dengan balaghah fashahah, melebihi segala perkataan."
Ada pula ayat yang menerangkan bahwa seluruh ayat-ayat Al-Qur'an itu mutasyabih. Ada firman Allah di ayat lain,
“Kitab yang berserupa-serupaan." (az-Zumar: 23)
Maksud mutasyabih dengan makna ini ialah bahwa ayat yang satu menyerupai ayat yang lain dalam kebenarannya, dalam kefasihannya, dalam keindahan, dan dalam balaghah-nya. Demikian kesan asy-Syaukani.
Setengah ahli ilmu berkata bahwa terdapatnya ayat-ayat yang mutasyabih dalam Al-Qur'an banyak pula faedahnya. Di antaranya, bahwa untuk mencapai arti dan maksudnya serta kebenaran yang terkandung di dalam-nya, lebih sukar daripada ayat yang muhkam. Dengan sebab yang demikian, niscaya lebih besarlah pahala bagi orang-orang yang mujtahid, yang bersungguh-sungguh mengajinya.
Penafsir az-Zamakhsyari dan penafsir ar-Razi setelah menguraikan beberapa pendapat tentang muhkam dan mutasyabih ini akhirnya sampai kepada kesimpulan yang seperti ini. Yang maksudnya, adanya ayat yang mutasyabih bukanlah menutup pintu buat berpikir, melainkan menambah pahala bagi kesungguhan.
“Adapun orang-orang yang di dalam hatinya ada kesesatan maka mereka cari-carilah yang mutasyabih darinya itu, karena hendak membuat fitnah dan karena hendak menak-wil!' Ayat ini menjelaskan bahwa ayat yang mutasyabih itu dapat dipergunakan oleh orang yang di dalam hatinya sudah ada bibit kesesatan untuk membuat fitnah atau untuk mencari penafsiran sendiri. Takwil artinya ialah tafsir. Misalnya bertemu ayat bahwa Allah bersemayam di Arsy. Lalu dibuatnya arti sendiri sehingga terbayanglah seakan-akan Allah itu seorang raja yang sedang duduk enak-enak di atas kursi singgasana mahligai. Atau Allah bertangan, dibuatnya takwil menurut seenaknya sendiri sehingga melanggar hak Allah. Maksudnya salah satu dari dua, pertama karena membuat fitnah, membuat onar, sehingga itikad orang jadi rusak; kedua hendak menunjukkan bahwa maksud itu timbul dari hati yang sesat dan jahat."Padahal tidaklah mengetahui akan takwilnya itu melainkan Allahr
Oleh sebab itu, takwil yang sah dari ayat Allah hanyalah takwil yang datang dari Allah sendiri. Adapun segala takwil yang timbul dari hati yang sesat, pasti tidak benar. Dengan ini, bukanlah berarti semua orang dilarang menakwilkan ayat yang mutasyabih. Dia boleh ditakwilkan asalkan menurut tuntunan Allah. Itulah sebabnya, lanjutan ayat berbunyi, “Dan orang-orang yang telah mendalam kepadanya ilmu, berkata mereka, ‘Kamipercaya kepadanya, semuanya itu adalah dari sisi Tuhan kami!"
Artinya, ayat-ayat yang mutasyabih itu diterimanya dalam keseluruhan dan tidak dia mencari takwil yang timbul dari hati tersesat, tetapi dengan hati tunduk kepada Allah. Dan, selalu ia memohon kepada Allah agar Allah menambah lagi ilmunya,
“Ya, Tuhanku! Tambahlah untukku ilmu."
Ar-rasikhuna fil-'ilmi, orang yang telah rasikh ilmunya, artinya telah mendalam, telah berurat, telah dianugerahi Allah segala kunci-kunci ilmu. Maka, menurut kebiasaannya, apabila orang yang telah amat mendalam ilmunya, mengakuilah dia akan kekurangannya. Sebagaimana Imam Syafi'i yang termasuk barisan orang rasikh, pernah berkata,
“Tiap-tiap Tuhan menambah ilmuku, bertambahlah aku paham akan kejahilanku."
Oleh sebab itu, pada pokoknya, Allah sendiri yang tahu akan takwil ayat-ayat-Nya. Allah pun bisa memberikan ilmu takwil itu kepada barangsiapa yang Dia kehendaki daripada hamba-Nya. Nabi kita ﷺ pernah memohonkan kepada Allah agar Ibnu Abbas diberi ilmu,
“Ya, Tuhan! Berilah dia paham tentang agama dan ajarlah kiranya dia menakwilkan."
Itu pula sebabnya, ulama-ulama dan penganut Madzhab Salaf tidak mau mencari takwil atau tafsir dari ayat-ayat yang mengenai sifat Allah tadi. Misalnya tentang Allah bertangan, Allah mempunyai banyak mata, Allah bersemayam di ‘Arsy. Ketika Imam Malik ditanyai orang tentang tafsir ayat Allah bersemayam di ‘Arsy itu, beliau berkata, ‘Arti Arsy kita tahu, arti bersemayam kita paham, tetapi bagaimana caranya Allah bersemayam itu tidaklah dapat kita ketahui. Sedang menanyakan hal yang demikian adalah haram."
Dengan demikian, dapatlah kita memahami bahwa kalau Allah menyatakan bahwa ada ayat-Nya yang muhkam yang jelas dengan sahaja yang mengerti takwilnya, bukanlah berarti bahwa Al-Qur'an ada ayat-ayat yang tidak bisa dipahamkan oleh manusia. Peringatan Allah tentang ayat mutasyabih bukanlah berarti yang mutasyabih itu tidak bisa dipelajari. Peringatan ini ialah menyuruh bersungguh-sungguh menuntut ilmu Al-Qur'an dan memohon petunjuk dari Allah, sampai menjadi orang yang berilmu rasikh. Sebab, kalau ilmu telah rasikh, tidaklah berbahaya lagi. Yang berbahaya ialah orang yang setengah-setengah berilmu. Sebagai pepatah orang Minang “kepalang tukang, binasa kayu; kepalang cerdik, binasa negeri; kepalang alim, binasa agama"
Rahasia ini dibuka kembali oleh lanjutan ayat,
“Dan tidaklah akan mengerti kecuali orang-orang yang mempunyai isi pikrian jua."
Oleh sebab itu, ilmu Al-Qur'an adalah ilmu yang meminta pikiran yang berisi dan mendalam. Menyediakan diri untuk itu, agar Allah memberikan taufik dan hidayah, diberi-Nya tuntunan sehingga dapat menjadi,
“Ulama ialah penjawat waris nabi-nabi!'
Ada seorang ulama yang berpengalaman berkata bahwasanya dia telah mempelajari Al-Qur'an itu, muhkam dan mutasyabih, sejak waktu masih muda. Akan tetapi, meskipun dia telah tahu artinya, tetapi paham dan tafsir
serta takwil diberikan Allah dengan berangsur-angsur, dari tahun ke tahun, masa ke masa. Kadang-kadang satu ayat setelah bertahun-tahun baru dia mendapat penafsiran yang baru. Sebabnya ialah karena tidak bermaksud hendak sesat atau zaighun. Dan, menurut fatwa dari Imam Waki kepada muridnya Imam Syafi'i bahwasanya ingatan tentang hakikat ilmu itu akan bertambah bersinar apabila diperbanyak taat beribadah, dan sebaliknya cahaya itu kian lama kian dicabut apabila telah berbuat maksiat.
Sebab itu, lanjutan ayat ialah doa kita kepada Allah,
Ayat 8
“Wahai, Tuhan kami! Janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kinanya kepada kami rahmat langsung dari Engkau. Sesungguhnya, Engkau adalah pemberi karunia."
Dengan doa seperti inilah kita menghadapi segala soal di dalam hidup ini. Selama petunjuk Allah masih membimbing kita, akan selamatlah kita. Jangan kita berani berjalan dengan kemauan sendiri, memperturutkan kehendak hawa nafsu, niscaya kita akan sesat. Moga-moga Allah akan menjauhkan kita dari kesesatan itu. Tidaklah hidup di dunia yang paling sengsara daripada sesat sesudah petunjuk atau kepadaman suluh di tengah )alan. Teringat kepada nikmat iman yang pernah dirasai, sekarang telah hilang dan payah buat kembali ke sana. Orang lain kelihatan maju terus menuju ridha Allah, sedangkan diri sendiri telah terbenam ke dalam lumpur kesesatan. Itu sebabnya, selalu kita hendaknya memohonkan rahmat yang datang langsung dari Allah, rahmat ke dalam hati dan sikap hidup, yang memancar kepada amal dan perbuatan. Sampai kelak kita meninggal dunia dengan husnul-khatimah.
Min ladunka rahmatan ‘rahmat yang langsung dari Engkau' Pada hakikatnya, tidak
Ayat 9
“Wahai, Tuhan kami! Sesungguhnya, Engkaulah yang akan mengumpulkan manusia pada hari yang tidak diragukan lagi padanya."
Yaitu Hari Akhirat, tempat berhitung dosa dan pahala, amal dan ibadah, cita baik dan niat buruk. Moga-moga perhitungan yang baiklah yang akan didapati pada hari yang tidak diragukan itu.
“Sesungguhnya, Allah tidaklah menyalahi janji."
Karena janji yang telah Dia janjikan itulah maka kita senantiasa berusaha menempuh jalan yang diridha-Nya, mengambil pimpinan dari Rasul-Nya, berpedoman pada kitab-Nya, dengan ayat-ayat-Nya, yang muhkam dan mutasyabih.