Ayat
Terjemahan Per Kata
وَإِذۡ
dan ketika
أَخَذَ
mengambil
ٱللَّهُ
Allah
مِيثَٰقَ
perjanjian
ٱلنَّبِيِّـۧنَ
para Nabi
لَمَآ
sungguh apa
ءَاتَيۡتُكُم
Aku berikan kepadamu
مِّن
dari
كِتَٰبٖ
Kitab
وَحِكۡمَةٖ
dan hikmah
ثُمَّ
kemudian
جَآءَكُمۡ
datang kepadamu
رَسُولٞ
seorang Rasul
مُّصَدِّقٞ
membenarkan
لِّمَا
terhadap apa
مَعَكُمۡ
bersamamu/ada padamu
لَتُؤۡمِنُنَّ
sungguh kamu akan beriman
بِهِۦ
dengannya
وَلَتَنصُرُنَّهُۥۚ
dan sungguh kamu menolongnya
قَالَ
Dia berfirman
ءَأَقۡرَرۡتُمۡ
apakah kamu mengakui
وَأَخَذۡتُمۡ
dan kamu mengambil
عَلَىٰ
atas
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
إِصۡرِيۖ
perjanjianKu
قَالُوٓاْ
mereka berkata
أَقۡرَرۡنَاۚ
kami mengakui
قَالَ
Dia berfirman
فَٱشۡهَدُواْ
maka saksikanlah
وَأَنَا۠
dan Aku
مَعَكُم
bersama kamu
مِّنَ
dari
ٱلشَّـٰهِدِينَ
para saksi
وَإِذۡ
dan ketika
أَخَذَ
mengambil
ٱللَّهُ
Allah
مِيثَٰقَ
perjanjian
ٱلنَّبِيِّـۧنَ
para Nabi
لَمَآ
sungguh apa
ءَاتَيۡتُكُم
Aku berikan kepadamu
مِّن
dari
كِتَٰبٖ
Kitab
وَحِكۡمَةٖ
dan hikmah
ثُمَّ
kemudian
جَآءَكُمۡ
datang kepadamu
رَسُولٞ
seorang Rasul
مُّصَدِّقٞ
membenarkan
لِّمَا
terhadap apa
مَعَكُمۡ
bersamamu/ada padamu
لَتُؤۡمِنُنَّ
sungguh kamu akan beriman
بِهِۦ
dengannya
وَلَتَنصُرُنَّهُۥۚ
dan sungguh kamu menolongnya
قَالَ
Dia berfirman
ءَأَقۡرَرۡتُمۡ
apakah kamu mengakui
وَأَخَذۡتُمۡ
dan kamu mengambil
عَلَىٰ
atas
ذَٰلِكُمۡ
demikian itu
إِصۡرِيۖ
perjanjianKu
قَالُوٓاْ
mereka berkata
أَقۡرَرۡنَاۚ
kami mengakui
قَالَ
Dia berfirman
فَٱشۡهَدُواْ
maka saksikanlah
وَأَنَا۠
dan Aku
مَعَكُم
bersama kamu
مِّنَ
dari
ٱلشَّـٰهِدِينَ
para saksi
Terjemahan
(Ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, “Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah kepadamu, lalu datang kepada kamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya.” Allah berfirman, “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu?” Mereka menjawab, “Kami mengakui.” Allah berfirman, “Kalau begitu, bersaksilah kamu (para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.”
Tafsir
(Dan) ingatlah (tatkala) ketika (Allah mengambil ikrar nabi-nabi) atau janji mereka ("Sungguh apa saja) lam baris di atas sebagai ibtida dan untuk taukid dengan makna sumpah yang terdapat dalam pengambilan ikrar. Dan baris di bawah yang berkaitan dengan mengambil ikrar sedangkan maa isim maushul yang berarti: bagi yang (yang Kuberikan kepadamu) menurut satu qiraat 'Kami berikan padamu' (berupa Kitab dan hikmah lalu datang kepadamu seorang rasul yang membenarkan apa yang ada padamu) berupa kitab dan hikmah itu dan dia adalah Nabi Muhammad ﷺ (bahwa kamu sungguh-sungguh akan beriman kepadanya serta akan membelanya) sebagai jawaban daripada sumpah tadi, yakni jika kamu menjumpai mereka dalam hal itu. (Firman-Nya) Allah ﷻ kepada mereka (Apakah kamu berikrar) atas hal itu (dan menerima perjanjian terhadap yang demikian itu?") (Kata mereka, "Kami berikrar," dan Allah berfirman, "Maka saksikanlah) atas dirimu dan pengikut-pengikutmu tentang hal itu (dan Aku turut menjadi saksi pula bersama kamu") baik terhadap dirimu maupun terhadap mereka.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 81-82
Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, "Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah, kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman, "Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku ini atas yang demikian itu." Mereka menjawab, "Kami mengakui." Allah berfirman, "Kalau begitu, bersaksilah kalian (wahai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian."
Barang siapa yang berpaling sesudah itu, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
Ayat 81
Allah ﷻ memberitakan bahwa Dia telah mengambil janji dari setiap nabi yang diutus-Nya sejak dari Adam a.s. hingga Isa a.s., ketika Allah memberikan kepada seseorang di antara mereka kitab dan hikmah, lalu ia menyampaikannya kepada manusia di masanya. Kemudian datanglah seorang rasul lain sesudahnya, maka ia benar-benar akan beriman kepada rasul yang baru ini dan membantunya, dan ilmu serta kenabian yang telah disandangnya tidak boleh menjadi penghalang baginya untuk mengikuti rasul yang baru dan membantunya.
Untuk itu Allah ﷻ berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi, ‘Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepada kalian berupa kitab dan hikmah’." (Ali Imran: 81)
Yakni betapapun juga Aku telah memberikan kepada kalian kitab dan hikmah.
"Kemudian datang kepada kalian seorang rasul yang membenarkan apa yang ada pada kalian, niscaya kalian akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya." Allah berfirman, "Apakah kalian mengakui dan menerima perjanjian dengan-Ku ini atas yang demikian itu?" (Ali Imran: 81)
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Ar-Rabi' ibnu Anas, Qatadah, dan As-Suddi, makna isri adalah perjanjian dengan-Ku.
Muhammad ibnu Ishaq mengatakan bahwa isri artinya beban yang kalian pikul akibat dari perjanjian dengan-Ku, yakni ikrar kalian kepada-Ku yang berat lagi dikukuhkan.
Ayat 82
"Mereka menjawab, ‘Kami mengakui.’ Allah berfirman, ‘Kalau begitu, bersaksilah kalian (wahai para nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kalian’. Barang siapa yang berpaling sesudah itu’." (Ali Imran: 81-82) Yaitu berpaling dari ikrar dan janji ini.
“Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” (Ali Imran: 82)
Ali ibnu Abu Thalib dan anak lelaki pamannya (yaitu Ibnu Abbas), keduanya mengatakan bahwa setiap kali Allah mengutus seorang nabi maka Allah mengambil sumpah terlebih dahulu terhadapnya, yang isinya mengatakan bahwa apabila Allah mengutus Nabi Muhammad ﷺ, sedangkan dia masih hidup, maka sungguh dia harus beriman kepadanya dan menolongnya. Allah memerintahkan kepadanya agar dia mengambil janji yang sama terhadap umatnya, yaitu "Sungguh, jika Nabi Muhammad diutus, sedangkan mereka masih hidup, maka mereka harus benar-benar beriman kepadanya dan benar-benar menolongnya."
Tawus, Al-Hasan Al-Basri, dan Qatadah mengatakan bahwa Allah mengambil perjanjian dari para nabi, hendaknya sebagian dari mereka membenarkan sebagian yang lainnya. Pendapat ini tidak bertentangan dengan apa yang telah dikatakan oleh Ali dan Ibnu Abbas, bahkan memantapkan dan mengukuhkannya. Karena itulah maka Abdur Razzaq meriwayatkan dari Ma'mar dan Ibnu Tawus, dari ayahnya hal yang serupa dengan apa yang dikatakan oleh Ali dan Ibnu Abbas.
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abdur Razzaq, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Jabir, dari Asy-Sya'bi, dari Abdullah ibnu Sabit yang mengatakan bahwa Umar datang kepada Nabi ﷺ, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku telah memerintahkan kepada seorang saudaraku yang Yahudi dari kalangan Bani Quraizah untuk menulis kumpulan kitab-kitab Taurat buatku. Bolehkah aku memaparkannya kepadamu?" Maka wajah Rasulullah ﷺ berubah, dan Abdullah ibnu Sabit berkata kepadanya (Umar), "Apakah engkau tidak melihat perubahan raut muka Rasulullah ﷺ?" Umar berkata, "Aku rela Allah sebagai Tuhanku, Islam sebagai agamaku, dan Muhammad sebagai rasul." Maka Rasulullah ﷺ tenang kembali dan bersabda: “Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya pagi hari ini Musa berada di antara kalian, kemudian kalian mengikutinya seraya meninggalkan diriku, niscaya kalian sesat. Sesungguhnya kalian adalah bagianku dari kalangan umat-umat, dan aku adalah bagian kalian dari para nabi.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Al-Hafizh Abu Ya'la.
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Hammad, dari Mujahid, dari Asy-Sya'bi, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda: "Janganlah kamu bertanya kepada Ahli Kitab tentang sesuatu, sesungguhnya mereka tidak akan memberikan petunjuk kepada kamu, mereka itu telah sesat. Maka kamu akan membenarkan kebatilan atau mendustakan kebenaran. Demi Allah, kalau saja Musa masih hidup di antara kamu, maka tidak halal baginya kecuali mengikutiku." Nabi Muhammad, penutup para Nabi. Shalawat dan salam atasnya hingga hari kiamat.
Setelah ayat sebelumnya menginformasikan tuduhan-tuduhan tidak benar yang ditujukan kepada para nabi dan rasul, maka ayat ini menegaskan bahwa para nabi dan rasul itu telah diambil sumpah janjinya oleh Allah untuk membenarkan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir. Ingatlah ketika Allah mengambil perjanjian dari para nabi dan rasul, Manakala Aku memberikan kitab dan hikmah yaitu ilmu yang bermanfaat dan kemampuan untuk mengamalkannya, kepada kamu, lalu datang kepada kamu seorang Rasul, yakni Nabi Muhammad, yang membenarkan apa yang ada pada kamu berupa ajaran tauhid yang tercantum dalam kitab-kitab mereka, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolong agama-nya. Allah berfirman, Apakah kamu setuju dan menerima perjanjian dengan-Ku atas yang demikian itu, yakni membenarkan Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir' Mereka menjawab, Kami setuju. Allah berfirman, Kalau begitu bersaksilah kamu, wahai para nabi, dan Aku menjadi saksi bersama kamu bahwa Nabi Muhammad adalah rasul dan nabi terakhir. Ayat ini juga menjadi bukti bahwa manusia itu cenderung lalai terhadap aturan Ilahi, sehingga perlu diturunkan nabi dan rasul secara berkesinambungan yang berakhir pada Nabi Muhammad, saat ini dilanjutkan oleh para pewaris beliau, yaitu para ulama. Perjanjian di atas bukan saja dilakukan oleh para nabi tetapi juga mengikat para kaumnya. Maka barang siapa berpaling dari mengimani Nabi Muhammad, setelah itu, yaitu setelah diperkuat dengan sumpah, maka mereka itulah orang yang fasik, yaitu orang yang keluar dari syariat Allah.
Allah telah mengambil perjanjian dari para nabi bilamana datang seorang rasul yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, mereka akan beriman kepada rasul dan akan menolongnya, mereka akan mempercayainya, meskipun mereka sendiri telah diberi Kitab dan diberi pula hikmah, mereka tetap akan mempercayai dan mendukungnya. Hal itu disebabkan karena maksud dari diutusnya nabi-nabi dan rasul-rasul itu adalah satu, yaitu menyampaikan ajaran Allah. Oleh karena itu para rasul itu harus saling menolong.
Di samping itu, apabila syariat yang datang kemudian membawa ketentuan-ketentuan yang mengubah atau menghapuskan ketentuan-ketentuan dari syariat yang lalu, tentu harus diterima, karena ajaran yang berhubungan dengan pokok-pokok agama yang berhubungan dengan keimanan dan ketuhanan yang dibawa para nabi itu adalah sama. Tetapi yang berhubungan dengan syariat (hukum) seperti hukum pidana dan hukum perdata pada masing-masing agama dapat berbeda-beda, disesuaikan dengan keadaan waktu dan tempat.
Yang dimaksud dengan "Nabi Muhammad ﷺ membenarkan rasul-rasul terdahulu dan kitab-kitab yang dibawanya", ialah membenarkan bahwa Allah telah mengutus rasul-rasul itu dan menurunkan kitab-kitab kepada mereka, dan bukanlah berarti bahwa Muhammad ﷺ membenarkan seluruh isi kitab-kitab itu sebagai yang terdapat sekarang.
Di dalam ayat ini terdapat isyarat yang kuat bahwa tidak semestinya agama itu menjadi sumber permusuhan dan kebencian, seperti yang telah dilakukan oleh Ahli Kitab yang memusuhi Muhammad, sehingga mereka sukar diajak kembali kepada prinsip yang sama, bahkan mereka merintangi, menentang dan mengingkari ajakannya.
Dengan ringkas dapat dikatakan bahwa andaikata Ahli Kitab itu mau memahami dan memikirkan segi persamaan prinsip yang dibawa oleh para nabi, tentulah mereka dapat menerima dan mengikuti ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad serta membenarkan syariat-Nya, sesuai dengan janji yang telah diikrarkan oleh Nabi Musa dan Nabi Isa, yaitu bahwa setiap datang seorang nabi sesudah mereka, yang membenarkan kitab yang ada pada mereka, mereka akan mempercayainya.
Jika orang Yahudi dan Nasrani percaya kepada Nabi Musa dan Nabi Isa, tentu mereka percaya pula pada apa yang telah dipercayai oleh kedua nabi itu. Selanjutnya diterangkan bahwa janji nabi-nabi yang telah disepakati bersama itu telah disaksikan oleh masing-masing pihak, dan Allah menjadi saksi pula atas ikrar mereka itu.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
IKRAR NABI-NABI
Ayat 81
“Dan (ingatlah) tatkala Allah mengadakan perjanjian dengan nabi-nabi, ‘jika datang kepada kamu Kitab dan hikmah, kemudian datang pula kepada kamu seorang rasul, yang membenarkan apa yang ada pada kamu, bahwa kamu akan sungguh-sungguh percaya kepadanya dan sungguh-sungguh akan membelanya!"“
Pangkal ayat ini menjelaskan bahwa nabi-nabi yang dahulu itu senantiasa diberi tahu oleh Allah bahwa kemudian akan datang pula seorang rasul lagi. Rasul penutup. Menurut penafsiran dari Sa'ad bin Jubair, Qatadah, Thawus, Al-Hasan, dan as-Suddy, perjanjian di antara nabi-nabi dan Allah itu ialah supaya yang setengah membenarkan dan mengakui yang setengahnya lagi dengan iman.
Alhasil ialah bahwa Allah mengambil janji dengan nabi-nabi yang terlebih dahulu datang, supaya dia pun beriman kepada nabi yang akan datang kemudian dan membelanya.
Di dalam ayat ini disebutkan “datang kepada kamu", padahal Muhammad ﷺ belumlah datang pada masa nabi-nabi itu. Maka, yang menjadi maksud dari firman Allah ini ialah bahwa meskipun di waktu mereka hidup Muhammad belum lahir ke dunia, tetapi isi pokok dari ajaran yang akan dibawanya tidaklah berbeda dengan ajaran yang mereka bawa, bahkan membenarkan ajaran itu. Sama-sama memusatkan kepercayaan kepada Allah Yang Satu, sehingga jika dimisalkan beliau datang pada waktu itu maka pokok ajarananya jua. Akan tetapi, kelebihan dari ajaran Muhammad itu ialah bahwa yang dibawanya adalah penyempurnaan dan perlengkapan.
Kemudian lanjutan ayat, “Dia bertanya, ‘Sudahkah kamu berikrar dan kamu terima petjanjian-Ku itu!" Demikianlah pertanyaan Allah kepada nabi-nabi itu sebagai pengunci perjanjian yang telah mereka adakan dengan Allah."Mereka menjawab, ‘Kami telah berikrar!" Ikrar itu telah kita ambil menjadi bahasa kita sendiri, dan pengertian asli Arabnya tidaklah berubah setelah kita ambil. Ikrar ialah sikap hidup. Setelah sekalian nabi-nabi itu menyatakan ikrar masing-masing, pertama bantu-membantu di antara satu dan yang lain, Kedua sama-sama hidup akan percaya dan membantu, dan menyampaikan itu pula kepada umat masing-masing, maka,
“Berfirmanlah Dia, ‘Maka saksikan olehmu dan Aku pun bersama-sama dengan kamu dari golongan yang menyaksikan.'"
Apa kesan yang kita dapat dengan ujung ayat sebagai patri ikrar perjanjian ini? Kesan yang kita dapat ialah sekalian nabi dan rasul, meskipun masa hidup mereka berlain-lain dan umat yang mereka datangi pun berlain-lain pula, tetapi inti sari ajaran mereka hanya satu, yaitu penyerahan diri manusia kepada Allah, yang di dalam bahasa Arab disebut “Islam". Nabi dan rasul Allah semua bekerja di bawah naungan Allah. Di antara mereka dengan Allah telah berteguh-teguhan janji.
Ayat 82
“Maka barangsiapa yang berpaling sesudah yang demikian itu maka itulah mereka-mereka yang fasik."
Berpaling dari kesatuan itu adalah fasik, yaitu durhaka. Tidak lagi menuruti jalan yang lurus. Fasiklah orang kalau telah dibentuknya suatu macam agama, lalu didasarkannya kepada nama seorang nabi, lalu menyisihkan diri dari golongan yang lain, yang ajaran mereka pun berasal dari seorang nabi pula, tidak ada maksud hendak menggabungkan semuanya dalam satu ajaran. Nabi-nabi bersatu dan umat-umat di belakang mereka berpecah.
Ayat 83
"Apakah yang lain dari agama Allah yang mereka kehendaki?"
Tadi sudah nyata apa yang dikatakan agama Allah, yaitu menyerah dengan tulus ikhlas kepada Allah, menerima ajaran Allah yang dibawa sekalian nabi dan memandang sekalian nabi itu sama-sama nabi Allah. Kalau tidak begitu, bukan agama Allah lagi namanya. Kalau seorang nabi diterima dan yang lain ditolak, itu bukan lagi agama Allah. Apakah yang lain dari agama Allah itu yang mereka kehendaki? Yaitu tidak menyerah diri dengan sepenuhnya? “Padahal kepada-Nyalah menyerah apa-apa yang ada di semua langit dan bumi, dengan suka sendiri atau dengan terpaksa." Tengoklah alam sekeliling! Semuanya telah duduk menyerah kepada Allah, dengan suka ataupun dengan tidak suka, tetapi mau ataupun tidak mau, tidak ada jalan lain melainkan tunduk kepada Allah. Matahari, bumi, bulan, dan bintang-bintang, semuanya beredar dengan teratur, taat-setia kepada garis yang ditentukan Allah. Manusia pun mungkin ada yang tidak mau menyerah kepada Allah, tetapi dia tidak dapat memilih jalan lain daripada menyerah juga. Orang yang muda mau tidak mau mesti tua. Orang yang hidup mau tidak mau mesti mati. Alam semesta mau tidak mau mesti tunduk kepada peraturan perimbangan. Maka, bahagialah manusia yang insaf akan hai ini sehingga dia tidak merasa keberatan menerima ketentuan Allah. Lalu tunduk dengan patuhnya.
“Dan kepada-Nyalah mereka akan dikembalikan."
Mau tidak mau, tha'uan atau karhan, akhirnya mesti kembali kepada Allah juga. Apakah yang lebih baik daripada mematuhi Allah dari sekarang? Alangkah bahagianya kita pada waktu itu kelak, setelah kita kembali ke hadirat Allah bahwa kita telah membuktikan kepatuhan dan penyerahan diri?
Setelah menguraikan hal itu semuanya, sampai perjanjian nabi-nabi dengan Allah dan ucapan ikrar mereka maka kemudiannya Allah menyuruhkan kepada Nabi-Nya menjelaskan risalah yang dibawanya dengan tegas, menuruti ikrar nabi-nabi itu yang akan jadi pegangan bagi umat yang beriman,
Ayat 84
“Katakanlah, ‘Kami percaya kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim dan Ismail, dan Ishaq dan Ya'kub dan anak –cucu."
Yang diturunkan kepada beliau-beliau itu ialah berupa wahyu dan hikmah, isi ajarannya tetap satu, yaitu menolak segala penyembahan kepada yang selain Allah, seumpama berhala."Dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa dan nabi-nabi dari Tuhan mereka." Musa diberi kitab Taurat dan Isa diberi kitab Injil, nabi-nabi yang lain pun ada pula yang diberikan kepada mereka wahyu dan Zabur, seumpama yang diterima Dawud. Semuanya itu kami terima, kami junjung tinggi, dan tidak kami berpilih kasih, sebab isi semua hanya bermaksud satu, yaitu menyerahkan diri kepada Allah, tidak kepada yang lain."Tidaklah Kami memperbeda-bedakan di antara seorang pun dari mereka itu." Sehingga bagi kami segala nabi itu adalah nabi kami, segala ajaran mereka yang asli adalah pegangan kami, tidak ada nabi atau rasul yang sangat lebih kami hormati dan kurang kami hormati, atau seorang rasul kami katakan palsu, atau seorang lain dikatakan anak Allah atau Allah yang menjelma. Tidak begitu! Nabi bagi kami adalah sama mulianya, sama tugas kewajibannya, dan sama jasanya dan sama pendapat kepercayaan dan dipilih oleh Allah, mujtaba dan mushthafa.
“Dan kami, kepada-Nyalah kami menyerah."
Menyerah diri kepada Allah, Islam, sebab itulah yang diajarkan oleh sekalian nabi yang tidak kami perbeda-bedakan itu.
Kemudian sebagai penegasan lagi dari penyerahan diri itu, berfirmanlah Allah,
Ayat 85
“Dan barangsiapa yang menginginkan selain dari islam menjadi agama maka sekali-kali tidaklah akan diterima darinya. Dan, dia pada hari akhirat adalah seorang dari orang-orang yang rugi."
Berulang-ulang telah diterangkan bahwasanya agama yang sebenar-benar agama ialah menyerah diri kepada Allah, tidak bercabang kepada yang lain. Maka, sekalian mereka yang telah sampai kepada taraf penyerahan diri kepada Allah, walaupun dia bangsa apa, dalam saat penyerahan dirinya itu dia telah mencapai Islam. Berjalan selangkah lagi, sebagai akibat dari penyerahan diri kepada Allah, percayatah kepada sekalian rasul-Nya, dan dengan sendirinya percaya kepada risalah wahyu yang mereka bawa. Sebab itu, dapatlah kita pahami kalau pujangga Jerman yang besar, yaitu Goethe, yang berkata, “Kalau ini yang Islam, mengapa aku tidak dimasukkan ke dalam golongannya?"
Oleh sebab itu, bolehlah dikatakan bahwasanya Islam itu adalah persatuan umat manusia dalam penyerahan diri kepada Allah. Islam dalam hakikat aslinya tidaklah mengenal perbedaan kulit atau perbedaan keturunan dan tidak mengenal “benar atau salah, dia adalah golonganku".
Kerap kali telah terdengar anjuran hendak mencari jalan persatuan seluruh agama.
H.G. Wells, pujangga Inggris, pernah mengajarkan ini, bahkan di India orang mendirikan gerakan Theosofie, dengan maksud hendak mempersatukan agama-agama juga. Bahkan yang paling lucu adalah pengikut kaum Bahai. Mereka tinggalkan Islam agama mereka yang asli, lalu mereka tambah satu lagi, mereka namai agama Bahai untuk mempersatukan segala agama. Setiap timbul gerakan persatuan agama yang baru, dia pun tumbuh sebagai agama yang berdiri sendiri. Padahal kalau diperhatikan Islam itu dengan saksama, inilah dia hakikat persatuan agama, hasil pekerjaan mereka tidaklah lebih dari apa yang telah diajarkan oleh Islam. Akan tetapi, kalau Islam telah dijadikan oleh umat yang menampung dan memakainya menjadi golongan sendiri pula, karena terlepas dari mengambil pimpinan Allah dan Rasul, tentulah mereka ini menjadi golongan sendiri pula, sebagaimana Yahudi dan Nasrani tadi. Islam yang begini pun sama-sama diajak kepada islam yang sebenarnya, penyerahan diri kepada Allah. Maka, segala orang yang tidak lagi langsung menyerahkan diri kepada Allah meskipun dia memakai nama Islam, padahal dia jauh dari penyerahan diri kepada Allah, mungkin akan lebih parah kerugiannya di akhirat. Sebab, dipakainya nama Islam, padahal dia musyrik