Ayat
Terjemahan Per Kata
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱصۡبِرُواْ
bersabarlah kamu
وَصَابِرُواْ
dan tingkatkan kesabaranmu
وَرَابِطُواْ
dan waspadalah kamu
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُفۡلِحُونَ
(kamu) beruntung
يَٰٓأَيُّهَا
wahai
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
ءَامَنُواْ
beriman
ٱصۡبِرُواْ
bersabarlah kamu
وَصَابِرُواْ
dan tingkatkan kesabaranmu
وَرَابِطُواْ
dan waspadalah kamu
وَٱتَّقُواْ
dan bertakwalah
ٱللَّهَ
Allah
لَعَلَّكُمۡ
agar kalian
تُفۡلِحُونَ
(kamu) beruntung
Terjemahan
Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu, kuatkanlah kesabaranmu, tetaplah bersiap siaga di perbatasan (negerimu), dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.
Tafsir
(Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah) melakukan taat dan menghadapi musibah serta menghindari maksiat (dan teguhkanlah kesabaranmu) menghadapi orang-orang kafir hingga mereka tidak lebih sabar daripada kamu (dan tetaplah waspada serta siap siaga) dalam perjuangan (serta bertakwalah kepada Allah) dalam setiap keadaan (supaya kamu beruntung) merebut surga dan bebas dari neraka.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 199-200
Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.
Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah agar kalian beruntung.
Ayat 199
Allah ﷻ memberitakan perihal segolongan Ahli Kitab, bahwa mereka beriman kepada Allah dengan iman yang sebenarnya, beriman pula kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ﷺ serta kitab-kitab terdahulu yang ada di tangan mereka. Bahwa mereka selalu taat kepada Allah, tunduk patuh di hadapan-Nya, dan tidak pernah memperjualbelikan ayat-ayat Allah dengan harga murah. Yakni mereka tidak menyembunyikan berita gembira tentang Nabi Muhammad ﷺ yang ada di dalam kitab-kitab mereka. Mereka menyebutkan sifat dan ciri khasnya, serta tempat beliau diutus dan sifat umatnya. Mereka adalah orang-orang yang terpilih dari kalangan Ahli Kitab dan merupakan orang-orang paling baik di antara mereka, baik dari kalangan orang-orang Yahudi ataupun orang-orang Nasrani.
Allah ﷻ telah berfirman di dalam surat Al-Qashash: "Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al-Kitab sebelum Al-Qur'an mereka beriman pula dengan Al-Qur'an itu. Dan apabila dibacakan (Al-Qur'an) itu pada mereka, mereka berkata, ‘Kami beriman kepadanya, sesungguhnya Al-Qur'an itu adalah suatu kebenaran dari Tuhan kami. sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang membenarkannya.’ Mereka itu diberi pahala dua kali lipat disebabkan kesabaran mereka, dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan mereka infakkan sebagian dari apa yang telah Kami rezekikan kepada mereka." (Al-Qashash: 52-54)
Allah ﷻ telah berfirman dalam ayat yang lain, yaitu: “Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang benar, mereka itu beriman kepadanya.” (Al-Baqarah: 121)
“Dan di antara kaum Musa itu terdapat suatu umat yang memberi petunjuk (kepada manusia) dengan kebenaran, dan dengan kebenaran itulah mereka menjalankan keadilan.” (Al-A'raf: 159)
“Mereka itu tidak semuanya sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, mereka membaca ayat-ayat Allah di malam hari, sedangkan mereka juga bersujud (shalat).”(Ali imran: 113) .
“Katakanlah, ‘Berimanlah kalian kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah).’ Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila Al-Qur'an dibacakan kepada mereka, mereka menyungkur dengan muka di bawah sambil bersujud, dan mereka berkata, ‘Maha Suci Tuhan kami; sesungguhnya janji Tuhan kami pasti ditepati.’ Dan mereka menyungkur dengan muka di bawah sambil menangis dan mereka bertambah khusyuk.” (Al-Isra: 107-109)
Sifat-sifat tersebut diatas memang dijumpai di kalangan orang-orang Yahudi, tetapi sedikit. Seperti yang ada pada diri Abdullah ibnu Salam dan orang-orang Yahudi yang serupa dengannya dari kalangan rahib-rahib Yahudi yang beriman, tetapi jumlah mereka tidak sampai sepuluh orang. Adapun di kalangan orang-orang Nasrani, sifat-sifat tersebut banyak dijumpai; di kalangan mereka banyak orang yang mendapat petunjuk dan mengikuti kebenaran. Sebagaimana yang disebutkan oleh firman-Nya: “Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatan dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: ‘Sesungguhnya kami ini orang Nasrani’." (Al-Maidah: 82) sampai dengan firman-Nya: “Maka Allah memberi mereka pahala atas perkataan yang mereka ucapkan, (yaitu) berupa surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sedangkan mereka kekal di dalamnya.” (Al-Maidah: 85)
Demikian pula yang dikatakan oleh Allah ﷻ dalam surat ini melalui firman-Nya: “Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya.” (Ali lmran: 199), hingga akhir ayat.
Di dalam sebuah hadits telah disebutkan bahwa ketika Ja'far ibnu Abu Thalib membacakan surat kaf ha ya 'ain sad di hadapan Raja Najasyi, Raja negeri Habsyah yang saat itu di hadapannya banyak terdapat para patrik dan pendeta, maka Raja Najasyi menangis, dan mereka ikut menangis pula bersamanya hingga air mata membasahi jenggot mereka.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan, ketika Raja Najasyi meninggal dunia, maka Nabi ﷺ mengucapkan belasungkawa kepada para sahabatnya, lalu beliau ﷺ bersabda: “Sesungguhnya seorang saudara kalian di Habsyah telah meninggal dunia, maka salatkanlah ia oleh kalian.” Kemudian Nabi ﷺ keluar menuju tanah lapang, lalu mengatur saf mereka (sahabat-sahabatnya) dan menyalatkan (jenazah)nya (secara gaib).
Ibnu Abu Hatim dan Al-Hafidzh Abu Bakar ibnu Mardawaih meriwayatkan dari hadits Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Anas ibnu Malik yang menceritakan bahwa ketika Raja Najasyi meninggal dunia, Rasulullah ﷺ bersabda: “Mohonkanlah ampun buat saudara kalian!” Maka sebagian orang ada yang mengatakan, "Apakah beliau memerintahkan kita agar memintakan ampun buat orang kafir yang mati di negeri Habsyah ini?" Maka turunlah firman-Nya: “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah.” (Ali Imran: 199), hingga akhir ayat.
Abdu ibnu Humaid dan Ibnu Abu Hatim meriwayatkannya melalui jalur lain dari Hammad ibnu Salamah, dari Sabit, dari Al-Hasan, dari Nabi ﷺ. Ibnu Mardawaih meriwayatkannya melalui berbagai jalur dari Humaid, dari Anas ibnu Malik hadits mirip dengan hadits di atas.
Ibnu Jarir meriwayatkannya pula melalui hadits Abu Bakar Al-Huzali, dari Qatadah, dari Sa'id ibnul Musayyab, dari Jabir yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah berkata kepada kami ketika Raja Najasyi meninggal dunia: “Sesungguhnya Ashamah Raja Najasyi saudara kalian telah meninggal dunia.” Lalu Rasulullah ﷺ keluar dan melakukan shalat sebagaimana menyalatkan jenazah, yaitu dengan empat kali takbir. Orang-orang munafik berkata, "Apakah dia menyalatkan seorang kafir yang mati di negeri Habsyah?" Maka Allah menurunkan firman-Nya: “Sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 199), hingga akhir ayat.
Abu Dawud mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Amr Ar-Razi, telah menceritakan kepada kami Salamah ibnul Fadl, dari Muhammad ibnu Ishaq, telah menceritakan kepadaku Yazid ibnu Rauman, dari Urwah, dari Siti Aisyah yang mengatakan, "Ketika Raja Najasyi meninggal dunia, kami memperbincangkan bahwa di atas kubur Raja Najasyi terus-menerus masih kelihatan ada nur (cahaya)nya.”
Al-Hafidzh Abu Abdullah Al-Hakim meriwayatkan di dalam kitab Mustadrak-nya, telah menceritakan kepada kami Abul Abbas As-Sayyari di Marwin, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Ali Al-Gazal, telah menceritakan kepada kami Ali ibnul Hasan ibnu Syaqiq, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Sabit, dari Amir ibnu Abdullah ibnuz Zubair, dari ayahnya yang menceritakan bahwa Raja Najasyi mendapat ancaman dari musuh dalam negerinya. Maka kaum Muhajirin datang menghadapnya dan berkata, "Sesungguhnya kami suka bila engkau keluar memerangi mereka hingga kami dapat berperang bersamamu untuk membantumu, dan kamu dapat melihat keberanian kami serta membalas budimu yang telah kamu berikan kepada kami." Maka Raja Najasyi menjawab: “Sesungguhnya penyakit yang diakibatkan karena pertolongan Allah ﷻ adalah lebih baik daripada obat karena pertolongan manusia." Abdullah ibnuz Zubair mengatakan bahwa sehubungan dengan dialah ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang-orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kalian dan yang diturunkan kepada mereka, sedangkan mereka berendah hati kepada Allah.” (Ali Imran: 199), hingga akhir ayat.
Imam Hakim mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih, tetapi keduanya (Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim) tidak mengetengahkannya.
Ibnu Abu Nujaih meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan firman-Nya: “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab.” (Ali Imran: 199) Yakni orang-orang muslim dari kalangan Ahli Kitab.
Abbad ibnu Mansur mengatakan bahwa ia pernah bertanya kepada Al-Hasan Al-Basri mengenai makna firman-Nya: “Dan sesungguhnya di antara Ahli Kitab ada orang yang beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 199) hingga akhir ayat. Maka Al-Hasan Al-Basri menjawab bahwa mereka adalah Ahli Kitab yang telah ada sebelum Nabi Muhammad ﷺ. Lalu mereka mengikuti Nabi Muhammad dan masuk Islam. Allah memberi mereka pahala dua kali lipat, yaitu pahala untuk iman mereka sebelum Nabi Muhammad ﷺ dan pahala mereka mengikuti Nabi Muhammad ﷺ. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim.
Di dalam kitab Shahihain disebutkan sebuah hadits melalui Abu Musa yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Ada tiga macam orang yang pahala mereka diberi dua kali.” Kemudian Nabi ﷺ menyebutkan salah satu di antara mereka, yaitu seorang lelaki dari kalangan Ahli Kitab yang beriman kepada nabinya, lalu ia beriman kepadaku.
Firman Allah ﷻ: “Mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga murah.” (Ali Imran: 199)
Mereka tidak menyembunyikan pengetahuan yang ada pada mereka. tidak seperti apa yang dilakukan oleh segolongan orang yang hina dari kalangan mereka, melainkan mereka memberikan ilmu itu dengan cuma-cuma, yakni secara suka rela.
Karena itulah Allah ﷻ menyebutkan mereka di dalam firman berikutnya: “Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Sesungguhnya Allah amat cepat perhitungan-Nya.” (Ali Imran: 199) Mujahid mengatakan bahwa makna sari'ul hisab ialah amat cepat perhitungan-Nya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan lain-lainnya.
Ayat 200
Firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian).”(Ali Imran: 200)
Al-Hasan Al-Basri mengatakan bahwa mereka diperintahkan untuk bersabar dalam menjalankan agama mereka yang diridai oleh Allah, yaitu agama Islam. Janganlah mereka meninggalkannya,baik dalam keadaan suka maupun duka dan dalam keadaan miskin maupun kaya, hingga mereka mati dalam keadaan memeluk agama Islam. Hendaklah mereka bersabar serta teguh dalam menghadapi musuh-musuh yang menyembunyikan agama mereka. Hal yang sama dikatakan pula oleh tidak hanya seorang dari kalangan ulama Salaf. Al-murabatah artinya menetapi suatu tempat ibadah dan tidak bergeming darinya.
Menurut pendapat lain, yang dimaksud dengan murabatah ialah menunggu waktu shalat lain sesudah mengerjakan shalat. Demikianlah menurut Ibnu Abbas, Sahl ibnu Hanif dan Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, dan lain-lainnya.
Dalam bab ini Ibnu Abu Hatim meriwayatkan sebuah hadits yang diketengahkan oleh Imam Muslim dan Imam An-Nasai melalui hadits Malik ibnu Anas, dari Al-Ala ibnu Abdur Rahman, dari Ya'qub maula Al-Hirqah, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang suatu hal yang membuat Allah menghapuskan kesalahan-kesalahan karenanya dan meninggikan derajat disebabkannya? Yaitu menyempurnakan wudu di waktu-waktu yang tidak disukai, banyak melangkah menuju ke masjid-masjid, dan menunggu waktu shalat sesudah menunaikan shalat. Maka itulah yang dinamakan ribat, maka itulah yang dinamakan ribat, maka itulah yang dinamakan ribat.”
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Musa ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Abu Juliaifah Ali ibnu Yazid Al-Kufi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Karimah, dari Muhammad ibnu Yazid, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman yang menceritakan bahwa sahabat Abu Hurairah datang kepada kami di suatu hari, lalu ia berkata, "Tahukah engkau, wahai anak saudaraku berkenaan dengan apakah ayat ini diturunkan?" Yaitu: "Ingatlah, sesungguhnya di masa Nabi ﷺ tidak ada peperangan yang memerlukan mereka untuk bersiap siaga di perbatasan negerinya. Akan tetapi ayat ini diturunkan berkenaan dengan suatu kaum yang meramaikan masjid-masjid, menunaikan shalat di waktunya masing-masing dan mereka melakukan zikir kepada Allah di dalamnya." Berkenaan dengan merekalah ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian).” (Ali Imran: 200)
“Bersabarlah kalian.” (Ali Imran: 200) dalam menunaikan shalat lima waktu.
“Dan kuatkanlah kesabaran kalian.” (Ali Imran: 200) dalam menahan keinginan dan hawa nafsu kalian.
“Dan tetaplah kalian.” (Ali Imran: 200) di masjid-masjid kalian.
“Dan bertakwalah kepada Allah.” (Ali Imran: 200) terhadap semua hal yang membahayakan diri kalian. “Supaya kalian beruntung.” (Ali Imran: 200)
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui jalur Sa'id ibnu Mansur, dari Mus'ab ibnu Sabit, dari Daud ibnu Saleh, dari Abu Salamah, dari Abu Hurairah dengan lafal yang srupa.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Abus Saib, telah menceritakan kepadaku Ibnu Fudail, dari Abdullah ibnu Sa'id Al-Maqbari, dari kakeknya, dari Syurahbil, dari Ali yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan tentang hal-hal yang dapat menghapuskan dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan? Yaitu menyempurnakan wudu di waktu-waktu yang tidak disukai dan menunggu shalat lain sesudah menunaikan shalat. Maka yang demikian itulah yang dinamakan ribat.”
Ibnu Jarir mengatakan pula, telah menceritakan kepadaku Musa ibnu Sahl Ar-Ramli, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Wadih, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Muhajir, telah menceritakan kepadaku Yahya ibnu Yazid ibnu Abu Anisah, dari Syurahbil, dari Jabir ibnu Abdullah yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Maukah kalian aku tunjukkan tentang hal-hal yang membuat Allah memaafkan kesalahan-kesalahan dan menghapuskan dosa-dosa karenanya? Kami berkata: “Tentu saja mau wahai Rasulullah." Rasulullah ﷺ bersabda, "Menyempurnakan wudu di tempatnya masing-masing, banyak melangkah menuju ke masjid-masjid, dan menunggu shalat lain sesudah menunaikan shalat. Maka itulah yang dinamakan ribat.”
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Abdullah ibnu Salam Al-Barmusi, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Galib Al-Intaki, telah menceritakan kepada kami Usman ibnu Abdur Rahman, telah menceritakan kepada kami Al-Wa-zi' ibnu Naff, dari Abu Salamah ibnu Abdur Rahman, dari Abu Ayyub yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ bertamu ke kami, lalu beliau bersabda: "Maukah kalian aku tunjukkan tentang hal-hal yang membuat Allah menghapuskan dosa-dosa dan membesarkan pahala karenanya?" Kami menjawab, "Ya, wahai Rasulullah. Apakah itu?" Beliau bersabda, "Menyempurnakan wudu di saat-saat yang tidak disukai, banyak melangkah menuju ke masjid-masjid, dan menunggu shalat lain sesudah mengerjakan shalat." Abu Ayyub mengatakan bahwa itulah yang disebutkan di dalam firman Allah ﷻ: “Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah kalian (di tempat ibadah kalian), dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung.” (Ali Imran: 200) Maka itu adalah ribat di masjid-masjid.
Bila ditinjau dari segi ini, maka hadits ini berpredikat garib (aneh) sekali.
Abdullah ibnul Mubarak meriwayatkan dari Mus'ab ibnu Sabit ibnu Abdullah ibnuz Zubair, telah menceritakan kepadaku Daud ibnu Saleh yang mengatakan bahwa Abu Salamah ibnu Abdur Rahman pernah berkata kepadaku, "Wahai anak saudaraku, tahukah kamu berkenaan dengan apakah ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: 'Bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan berribatlah kalian’.” (Ali Imran: 200) Aku menjawab, "Tidak tahu." Dia berkata: “Wahai anak saudaraku sesungguhnya di zaman Rasulullah ﷺ belum pernah ada peperangan yang memerlukan kesiagaan di perbatasan, tetapi yang dimaksud ialah menunggu shalat lain sesudah mengerjakan shalat." Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
Dalam pembahasan di atas sehubungan dengan riwayat Ibnu Mardawaih terhadap hadits ini disebutkan bahwa hal tersebut adalah perkataan Abu Hurairah. Menurut pendapat yang lain, makna yang dimaksud dengan murabatah dalam ayat ini ialah bersiap siaga di perbatasan negeri terhadap ancaman musuh, menjaga tapal batas negeri Islam, dan melindunginya dari serangan musuh yang hendak menjarah negeri-negeri Islam. Banyak hadits yang menganjurkan hal ini, dan disebutkan bahwa tugas ini pahalanya besar sekali.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan di dalam kitab sahihnya melalui Sahl ibnu Sa'd As-Sa'idi, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Bersiap siaga di perbatasan selama sehari dalam jihad di jalan Allah lebih baik daripada dunia dan semua yang ada di dalamnya.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Muslim melalui Salman Al-Farisi, dari Rasulullah ﷺ bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Bersiaga di perbatasan negeri selama sehari semalam lebih baik daripada puasa sebulan berikut qiyamnya. Dan jika ia gugur, maka dialirkan kepadanya semua amal perbuatan yang biasa diamalkannya, dan dialirkan kepadanya rezekinya serta selamatlah ia dari fitnah (siksa kubur).”
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Al-Mubarak, dari Haiwah ibnu Syuraih, telah menceritakan kepadaku Abu Hani Al-Khaulani, bahwa Amr ibnu Malik Al-Haini pernah menceritakan kepadanya bahwa ia pernah mendengar Fudalah ibnu Ubaid mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap mayat amal perbuatannya terputus, kecuali orang yang mati dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, maka sesungguhnya amal perbuatannya terus dikembangkan hingga hari kiamat, dan ia selamat dari siksa kubur.” Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan Imam At-Tirmidzi melalui hadits Abu Hani" Al-Khaulani.
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. Ibnu Hibban mengetengahkannya pula di dalam kitab sahihnya.
Hadits lain. Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Ishaq, telah menceritakan kepada kami Hasan ibnu Musa dan Abu Sa'id serta Abdullah ibnu Yazid, semuanya dari Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepada kami Masyrah ibnu Ahan, bahwa ia pernah mendengar Uqbah ibnu Amir mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap mayat amal perbuatannya terputus kecuali orang yang bersiap siaga dijalan Allah, dialirkan kepadanya amal perbuatannya hingga ia dibangkitkan dan ia selamat dari siksa kubur.”
Al-Haris ibnu Muhammad ibnu Abul Hammah meriwayatkannya di dalam kitab musnad, dari Al-Maqbari (yaitu Abdullah ibnu Yazid) sampai dengan kalimat "hingga ia dibangkitkan, tetapi tanpa memakai kalimat "ia selamat dari siksa kubur.” Ibnu Luhai'ah apabila dijelaskan namanya dalam periwayatan hadits, maka predikatnya adalah hasan, terlebih lagi dengan adanya syawahid (bukti-bukti) yang disebut di atas.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah di dalam kitab sunnah-nya: Telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abdul A'la, telah menceritakan kepada kami Abdullah ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Al-Al-Laits, dari Zuhrah ibnu Ma'bad, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Barang siapa yang mati dalam keadaan bersiap siaga di jalan Allah, maka dialirkan kepadanya amal salehnya yang biasa ia amalkan dan dialirkan kepadanya rezekinya, dan amanlah ia dari siksa kubur serta Allah ﷻ membangkitkannya di hari kiamat dalam keadaan selamat dari huru-hara yang terbesar.”
Jalur lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Musa, telah menceritakan kepada kami Ibnu Luhai'ah, dari Musa ibnu Wardan, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah ﷺ yang bersabda: “Barang siapa yang mati dalam keadaan bersiap siaga (di jalan Allah), maka ia dipelihara dari siksa kubur, dan aman dari huru-hara yang terbesar serta bertiuplah angin membawa rezekinya dari surga, dan dicatatkan baginya pahala orang yang bersiap siaga (di jalan Allah) sampai hari kiamat.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad: Telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnu Isa, telah menceritakan kepada kami Ismail ibnu Iyasy, dari Muhammad ibnu Amr ibnu Halhalah Ad-Daili, dari Ishaq ibnu Abdullah, dari Ummu Darda yang me-rafa'-kan hadits berikut. Ia mengatakan: “Barang siapa yang bersiap siaga di suatu pos perbatasan negeri kaum muslim selama tiga hari, maka hal itu dapat mencukupi (pahala) bersiap siaga selama satu tahun baginya.”
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ja'far, telah menceritakan kepada kami Kahmas, telah menceritakan kepada kami Mus'ab ibnu Sabit ibnu Abdullah ibnuz Zubair yang mengatakan bahwa Khalifah Usman ketika berada di atas mimbarnya mengatakan, "Sesungguhnya aku akan menceritakan sebuah hadits yang pernah kudengar dari Rasulullah ﷺ, tiada sesuatu pun yang menghalang-halangi aku untuk menceritakannya kepada kalian selain berprasangka buruk terhadap kalian. Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: ‘Berjaga semalam di jalan Allah lebih utama daripada seribu malam dengan melakukan shalat (sunat) pada malam harinya dan berpuasa pada siang harinya’."
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Rauh. dari Kahmas, dari Mus'ab ibnu Sabit dari Usman.
Ibnu Majah meriwayatkannya dari Hisyam ibnu Ammar, dari Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam, dari ayahnya, dari Mus'ab ibnu Sabit, dari Abdullah ibnuz Zubair yang menceritakan bahwa Khalifah Usman berkhotbah kepada orang-orang banyak. Isinya mengatakan, "Wahai manusia, sesungguhnya aku pernah mendengar dari Rasulullah ﷺ suatu hadits yang tiada sesuatu pun menghalang-halangi diriku untuk menceritakannya kepada kalian selain prasangka yang bukan-bukan terhadap kalian dan terhadap predikat sahabat kalian. Maka hendaklah seseorang memilihnya buat dirinya sendiri atau meninggalkannya. Aku pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Barang siapa yang bersiap siaga selama satu malam di jalan Allah, maka hal itu sama (pahalanya) dengan seribu malam melakukan shalat sunat dan puasa (di siang harinya)'."
Jalur lain diriwayatkan dari Usman Imam At-Tirmidzi mengatakan, telah menceritakan kepada kami Al-Hasan ibnu Ali Al-Khallal, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Abdul Malik, telah menceritakan kepada kami Al-Al-Laits ibnu Sa'd, telah menceritakan kepada kami Abu Uqail (yaitu Zahrah ibnu Ma'bad), dari Abu Saleh maula Usman ibnu Affan, bahwa ia pernah mendengar Usman mengatakan di atas mimbarnya, "Sesungguhnya aku menyembunyikan dari kalian sebuah hadits yang pernah kudengar dari Rasulullah ﷺ karena aku khawatir kalian akan berpisah denganku karenanya. Kemudian aku sadar bahwa aku harus menceritakannya kepada kalian, agar setiap orang dapat memilih untuk dirinya sendiri apa yang sesuai. Aku pemah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: 'Bersiap siaga di jalan Allah selama sehari lebih baik daripada seribu hari yang dilewatkan di tempat-tempat yang lain'."
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan garib bila ditinjau dari segi ini. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa menurut Muhammad (Imam Al-Bukhari), Abu Saleh (maula Usman) nama aslinya adalah Burkan. Menurut selain Imam At-Tirmidzi, nama aslinya adalah Al-Haris.
Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Ahmad melalui hadits Al-Al-Laits ibnu Sa'd dan Abdullah ibnu Luhai'ah, tetapi di dalam riwayatnya terdapat tambahan di akhirnya, yaitu Usman mengatakan, "Maka hendaklah seseorang bersiap siaga di jalan Allah, selama yang dikehendakinya. Bukankah aku telah menyampaikan?" Mereka menjawab, "Ya." Usman berkata, "Ya Allah, persaksikanlah."
Hadits lain diriwayatkan oleh Abu Isa At-At-Tirmidzi, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Umar, telah menceritakan kepada kami Sufyan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnul Munkadir yang mengatakan bahwa Salman Al-Farisi berjumpa dengan Syurahbil ibnus Simt yang sedang berjaga di tempat tugasnya, saat itu ia dan kawan-kawannya dalam keadaan berat. Maka Salman berkata, "Wahai Ibnus Simt, maukah kamu jika aku ceritakan kepadamu sebuah hadits yang pernah kudengar dari Rasulullah ﷺ?" Ibnus Simt menjawab, "Tentu saja mau." Salman Al-Farisi mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Bersiap siaga selama satu hari di jalan Allah lebih utama atau lebih baik daripada puasa satu bulan berikut qiyam (shalat sunat)nya. Dan barang siapa yang mati di dalamnya, niscaya akan dipelihara dari siksa kubur dan dikembangkan baginya amalnya itu sampai hari kiamat.”
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi bila ditinjau dari segi ini. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan. Menurut salah satu salinan terdapat tambahan. tetapi sanadnya tidak muttasil mengingat Ibnul Munkadir tidak pemah bertemu dengan Salman.
Menurut hemat kami. pada lahiriahnya Muhammad Ibnu Munkadir ini mendengarnya dari Syurahbil ibnus Simt. Karena Imam Muslim dan Imam An-Nasai telah meriwayatkannya melalui hadits Makhul dan Abu Ubaidah ibnu Uqbah, keduanya menerima hadits ini dari Syurahbil ibnus Simt. Syurahbil ibnus Simt mempunyai predikat sahabat. Dia meriwayatkannya dari Salman Al-Farisi, dari Rasulullah ﷺ, bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Melakukan ribat (bersiap siaga di jalan Allah) selama sehari semalam lebih baik daripada puasa satu bulan berikut qiyamnya. Dan jika seseorang mati (dalam keadaan ribat), maka dialirkan kepadanya amal perbuatan yang sedang diamalkannya, dan dialirkan pula kepadanya rezekinya, serta amanlah ia dari siksa kubur.” Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan hadits mufrad Imam Muslim mengenai masalah ini.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ismail ibnu Samurah, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ya'la As-Sulami, telah menceritakan kepada kami Amr ibnus Sabih, dari Abdur Rahman ibnu Amr, dari Makhul, dari Ubay ibnu Ka'b yang menceritakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Berjaga selama semalam untuk melindungi kelemahan kaum muslim karena mengharapkan rida Allah lebih besar pahalanya daripada ibadah seratus tahun, selain bulan Ramadan, termasuk puasa dan qiyamnya. Dan melakukan ribat selama sehari di jalan Allah untuk melindungi aurat kaum muslim, karena mengharapkan pahala Allah, lebih utama dan lebih baik pahalanya di sisi Allah; menurut perawi, beliau mengatakan daripada ibadah seribu tahun puasa berikut qiyamnya. Dan jika Allah mengembalikan dia kepada keluarganya dalam keadaan selamat, maka tidak dicatatkan atas dirinya suatu keburukan pun selama seribu tahun, dan dicatatkan baginya kebaikan-kebaikan, serta dialirkan kepadanya pahala ribat sampai hari kiamat.” Hadits ini garib (aneh) bila ditinjau dari segi ini, bahkan munkar, karena Umar ibnu Sabih orangnya dicurigai dalam periwayatan hadisnya.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dikatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus Ar-Ramli, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Syu'aib ibnu Syabur, dari Sa'id ibnu Khalid ibnu Abu Tawil; ia pernah mendengar Anas ibnu Malik mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Berjaga selama semalam di jalan Allah lebih baik daripada puasa seorang lelaki dan qiyamnya di rumah keluarganya selama seribu tahun; yang satu tahunnya adalah tiga ratus hari, satu hari sama dengan seribu tahun.” Hadits ini juga garib. Sa'id ibnu Khalid yang disebutkan di atas orangnya dinilai dha’if oleh Abu Dzar'ah dan lain-lainnya dari kalangan para Imam yang tidak hanya seorang. Al-Uqaili mengatakan bahwa Sa'id ibnu Khalid hadisnya tidak dapat dipakai. Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadisnya tidak dapat dipakai sebagai hujah. Imam Hakim mengatakan bahwa Sa'id ibnu Khalid banyak meriwayatkan hadits maudhu' (palsu) yang ia nisbatkan kepada sahabat Anas bin Malik.
Hadits lain diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Sabbbah, telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz ibnu Muhammad dari Muhammad ibnu Zaidah, dari Umar ibnu Abdul Aziz dari Uqbah Ibnu Amir Al-Juhani yang menceritakan bahwa Rasululah ﷺ bersabda: “Semoga Allah merahmati orang yang bersiap siaga (di jalan Allah).” Akan tetapi, di dalam sanadnya terdapat inqita' (mata rantai yang terputus) antara Urnar ibnu Abdul Aziz dengan Uqbah ibnu Amir, karena sesungguhnya Umar ibnu Abdul Aziz tidak menjumpai masa sahabat Uqbah ibnu Amir.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Abu Taubah, telah menceritakan kepada kami Mu'awiyah (yakni Ibnu Salam), telah menceritakan kepadaku As-Saluli, bahwa Sahl ibnu Hanzalah pernah menceritakan kepadanya bahwa mereka (para sahabat) berjalan bersama Rasulullah ﷺ dalam Perang Hunain hingga waktu Isya. Lalu aku ikut shalat bermakmum kepada Rasulullah ﷺ. Kemudian datanglah seorang penunggang kuda, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku berangkat dari hadapanmu hingga naik ke bukit anu dan anu. Tiba-tiba aku melihat kabilah Hawazin semuanya tanpa ada yang ketinggalan sedang berkemah bersama kendaraan mereka, ternak, dan kambing-kambing mereka." Maka Nabi ﷺ tersenyum dan bersabda: “Semuanya itu akan menjadi ganimah kaum muslim besok, insya Allah.” Selanjutnya beliau ﷺ bersabda, "Siapakah yang akan bertugas piket untuk menjaga kita semua?" Anas ibnu Abu Marsad menjawab, "Aku, wahai Rasulullah." Rasulullah ﷺ bersabda, "Pakailah kudamu." Lalu Anas ibnu Marsad menaiki kudanya dan datang menghadap Rasulullah ﷺ. Maka Rasulullah ﷺ bersabda kepadanya, "Kamu harus mendaki lereng ini hingga berada di puncaknya, dan kami tidak akan berperang malam ini sebelum ada isyarat darimu." Pada pagi harinya Rasulullah ﷺ keluar menuju tempat shalat, lalu melakukan shalat (sunat subuh) dua rakaat, sesudah itu beliau bertanya, "Apakah kalian telah melihat penjaga kalian yang berkuda?" Seseorang menjawab, "Kami belum melihat kedatangannya, wahai Rasulullah." Maka shalat diiqamahkan (didirikan), dan Nabi ﷺ shalat seraya memandang ke arah lereng tersebut, hingga selesai dari salatnya. Setelah itu beliau bersabda, "Bergembiralah kalian, kini penjaga berkuda kalian telah datang." Kami semua memandang ke arah lereng itu. Tiba-tiba si penjaga muncul di antara pohon-pohonan, hingga ia menghadap kepada Nabi ﷺ, lalu melapor, "Sesungguhnya aku berangkat menuju ke sasaran yang diperintahkan oleh engkau, yaitu di puncak lereng bukit itu. Pada pagi harinya aku menaiki kedua lereng tersebut, lalu aku melayangkan pandanganku ke segala penjuru, ternyata aku tidak melihat seorang manusia pun." Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya, "Apakah engkau turun istirahat tadi malam?" Dia menjawab, "Tidak, kecuali hanya menunaikan shalat dan membuang hajat." Maka Rasulullah ﷺ bersabda: “Sudah pasti (kamu mendapat pahalanya) maka sesudah itu tidak akan membahayakanmu bila kamu tidak beramal lagi.” Hadits diriwayatkan oleh Imam An-Nasai melalui Muhammad ibnu Yahya ibnu Muhammad ibnu Kasir Al-Harrani, dari Abu Taubah (yaitu Ar-Rabi' ibnu Nafi') dengan lafal yang sama.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Zaid ibnul Habbab, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahman ibnu Syuraih, ia pernah mendengar Muhammad ibnu Syamir Ar-Ru'aihi mengatakan bahwa ia mendengar dari Abu Amir Al-Bujairi. Imam Ahmad mengatakan selain dirinya menambahkan Abu Ali al-Hanafi yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Abu Raihanah mengatakan bahwa kami (sahabat) pernah bersama Nabi ﷺ dalam suatu peperangan, di suatu malam kami mendaki tempat yang tinggi, lalu kami menginap disana, dan kami merasa sangat kedinginan. Hingga aku melihat ada seseorang yang menggali tanah, lalu ia masuk ke dalamnya dan menutup bagian atas galian dengan tamengnya. Ketika Rasulullah ﷺ melihat sebagian orang ada yang berbuat demikian, maka beliau berseru: “Siapakah yang mau menjaga kita malam ini, maka aku akan berdoa untuknya dengan doa yang membuatnya mendapat keutamaan.” Maka ada seorang lelaki dari kalangan Anshar berkata, "Akulah. wahai Rasulullah.” Rasulullah ﷺ bersabda, “Kemarilah.” Lelaki itu mendekat kepada Rasulullah ﷺ, lalu Rasulullah ﷺ bertanya, "Siapakah kamu?” Lelaki itu menyebutkan namanya, bahwa dia dari kalangan Anshar. Lalu Rasulullah ﷺ memulai doanya dan banyak berdoa untuknya. Abu Raihanah melanjutkan kisahnya, bahwa setelah ia mendengar apa yang didoakan oleh Nabi ﷺ, maka ia berkata, "Akulah orang berikutnya." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, "Kemarilah kamu." Aku mendekat kepadanya dan beliau bertanya, "Siapakah kamu?" Aku menjawab, "Abu Raihanah." Rasulullah ﷺ membacakan doa lain yang berbeda dengan doa yang telah beliau ucapkan buat orang Anshar tadi. Sesudah itu beliau ﷺ bersabda: “Neraka diharamkan atas mata yang mengeluarkan air mata atau menangis karena takut kepada Allah. Neraka diharamkan atas mata yang begadang karena bersiaga di jalan Allah.”
Imam An-Nasai meriwayatkan sebagian darinya, yaitu: "Diharamkan neraka," hingga akhir hadits, melalui Ismah ibnul Fadl, dari Zaid ibnul Hubab dengan lafal yang sama. Juga dari Al-Haris ibnu Miskin, dari Ibnu Wahb, dari Abdur Rahman ibnu Syuraih dengan lafal yang sama dan lebih lengkap.
Imam An-Nasai dalam kedua riwayat tersebut mengatakan dari Abu Ali Al-Bujaini. Hadits lain diriwayatkan oleh Imam At-Tirmidzi. Dinyatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Nasr ibnu Ali Al-Jahdami, telah menceritakan kepada kami Bisyr ibnu Ammar dan telah menceritakan kepada kami Syu'aib ibnu Zuraiq atau Syaibah, dari ‘Atha’ Al-Khurrasani, dari ‘Atha’ ibnu Abu Rabah, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada dua macam mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka, yaitu mata yang menangis karena takut kepada Allah, dan mata yang begadang semalaman karena berjaga di jalan Allah.”
Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan garib, kami tidak mengenalnya melainkan hanya melalui hadits Syu'aib ibnu Zuraiq. Imam At-Tirmidzi mengatakan bahwa dalam bab ini terdapat sebuah hadits melalui Usman dan Abu Raihanah. Menurut kami, kedua hadits tersebut telah kami sebutkan di atas.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Gailan, telah menceritakan kepada kami Rasyidin, dari Ziyad, dari Sahl ibnu Mu'az, dari ayahnya (yaitu Mu'az ibnu Anas), dari Rasulullah ﷺ yang bersabda:”Barang siapa yang berjaga di barisan belakang kaum muslim dengan suka rela, bukan dengan gaji dari sultan, niscaya ia tidak akan melihat neraka dengan kedua matanya kecuali hanya untuk membebaskan diri dari sumpah, karena sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman, ‘Dan tidak ada seorang pun dari kalian, melainkan mendatangi neraka itu’." (Maryam: 71). Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Imam Ahmad sendiri.
Hadits lain diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari di dalam kitab shahih-nya, dari Abu Hurairah yang mengatakan bahwa Rasulullah ﷺ pernah bersabda: “Celakalah pengabdi dinar, pengabdi dirham, dan pengabdi perut; jika diberi, dia suka; jika tidak diberi, dia marah; celaka dan hinalah dia; dan apabila terkena duri, semoga saja durinya tidak dapat dicabut. Beruntunglah seorang hamba yang memegang kendali kudanya di jalan Allah dalam keadaan rambut yang awut-awutan dan kedua kakinya berdebu. Jika ia berada di dalam pos penjagaan, maka ia tetap berada di pos penjagaan; dan jika ia bertugas di belakang pasukan, maka ia tetap berada di belakang pasukan. Jika meminta izin, ia tidak diberi izin; dan jika meminta pertolongan, maka ia tidak diberi pertolongan; (namun ia tetap menjalankan tugasnya)”
Demikianlah akhir hadits-hadits yang berkaitan dengan masalah ini yang sudah kami ketengahkan, hanya bagi Allah-lah segala puji atas nikmat-nikmat-Nya yang berlimpah dan berlalunya tahun dan hari-hari.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Mutarrif ibnu Abdullah Al-Madini, telah menceritakan kepada kami Malik ibnu Zaid ibnu Aslam yang menceritakan bahwa Abu Ubaidah pernah mengirim surat kepada Umar ibnul Khattab untuk memperingatkan adanya sejumlah besar pasukan Romawi dan hal-hal yang perlu dikhawatirkan berupa ancaman dari mereka. Maka Khalifah Umar ibnul Khattab membalas suratnya yang isinya mengatakan, "Amma Ba'du, sesungguhnya betapapun seorang hamba yang mukmin menempati suatu tempat yang kritis, niscaya Allah akan menjadikan jalan keluar baginya sesudah itu. Karena sesungguhnya satu kesulitan itu tidak akan dapat mengalahkan dua kemudahan. Sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: 'Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah kalian dan kuatkanlah kesabaran kalian dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negeri kalian) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kalian beruntung'.” (Ali lmran: 200).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Al-Hafidzh Ibnu Asakir di dalam autobiografi Abdullah ibnul Mubarak melalui jalur Muhammad ibnu Ibrahim ibnu Abu Sakinah yang menceritakan, telah mendiktekan kepadaku Abdullah ibnul Mubarak bait-bait syair berikut di Tarsus, lalu aku berpamitan kepadanya untuk berangkat. Dia mengirimkannya kepada Al-Fudail ibnu Iyad melaluiku; hal ini terjadi pada tahun 170 Hijriah. Menurut riwayat yang lain terjadi pada tahun 177 Hijriah. Bait-bait syair tersebut adalah sebagai berikut:
“Wahai ahli ibadah di tanah haramain (dua kota suci), sekiranya engkau melihat kami, niscaya engkau mengetahui bahwa engkau dalam ibadahmu bermain-main. Wahai orang yang membasahi pipinya dengan air matanya, maka leher kami berlumuran dengan darah kami. Apakah dia melelahkan kudanya dalam kesia-siaan, tetapi kuda-kuda kami pada hari peperangan kelelahan. Bau wewangian adalah bagi kalian, sedangkan bau kami adalah debu-debu teracak kuda, dan debu memang lebih wangi. Dan sesungguhnya telah datang kepada kami sebagian dari sabda Nabi kami, yaitu sabda yang benar, shahih, dan tidak dusta, (bahwa) tidak sama menurut penciuman seseorang antara debu kuda (di jalan) Allah dengan asap neraka yang menyala-nyala. Ini adalah Kitabullah yang berbicara di antara kita tanpa dusta, bahwa orang yang mati syahid itu tidak mati.”
Muhammad ibnu Ibrahim melanjutkan kisahnya, bahwa lalu ia menemui Al-Fudail ibnu Iyad di Masjidil Haram dengan membawa surat dari Abdullah ibnul Mubarak. Setelah ia membaca surat tersebut, kedua matanya mengalirkan air mata, lalu berkata, "Memang benar apa yang dikatakan oleh Abu Abdur Rahman (nama julukan Abdullah ibnul Mubarak). Ia telah menasihati diriku." Kemudian ia bertanya, "Apakah kamu termasuk orang yang biasa menulis hadits?" Aku menjawab, "Ya." Ia berkata, "Tulislah hadits berikut sebagai imbalan dari apa yang engkau bawakan kepadaku dari Abu Abdur Rahman." Al-Fudail ibnu Iyad mendiktekan kepadaku hadits berikut, bahwa telah menceritakan kepada kami Mansur ibnul Mu'tamir, dari Abu Saleh, dari Abu Hurairah bahwa ada seorang lelaki bertanya: "Wahai Rasulullah, ajarkanlah kepadaku suatu amal yang dengan melaluinya aku dapat memperoleh pahala orang-orang yang berjihad di jalan Allah." Maka Rasulullah ﷺ bersabda, “Apakah engkau mampu melakukan shalat tanpa henti-hentinya dan puasa tanpa berbuka.” Lelaki itu menjawab, "Wahai Rasulullah, aku adalah orang yang sangat lemah untuk mampu melakukan hal tersebut." Kemudian Nabi ﷺ bersabda, "Demi Tuhan yang jiwaku berada di dalam genggaman kekuasaan-Nya, seandainya engkau mampu secara paksa melakukan hal tersebut engkau masih belum mencapai tingkatan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Apakah kamu tidak tahu bahwa sungguh bila kuda dipakai di jalan Allah, maka dicatatkan bagi pemiliknya pahala kebaikan.”
Firman Allah ﷻ: “Dan bertakwalah kepada Allah.” (Ali Imran: 200) Yakni dalam semua urusan dan dalam semua keadaan kalian. Seperti yang dikatakan oleh Nabi ﷺ kepada sahabat Mu'az ketika beliau mengutusnya ke negeri Yaman, yaitu: “Bertakwalah kamu kepada Allah di mana pun kamu berada dan iringilah perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik dan berakhlaklah terhadap orang lain dengan akhlak yang mulia.”
“Supaya kalian beruntung.” (Ali Imran: 200) Yaitu di dunia dan akhirat.
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Yunus, telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepada kami Abu Sakhr, dari Muhammad ibnu Ka'b Al-Qurazi, bahwa ia pernah mengatakan sehubungan dengan firman Allah ﷻ: “Dan bertakwalah kepada Allah supaya kalian beruntung.” (Ali Imran: 200) Takutlah kalian kepada-Ku dalam hal-hal yang ada antara Aku dengan kalian, supaya kalian beruntung kelak bila kalian bertemu dengan-Ku.
Telah selesai tafsir surat Ali Imran, dan hanya milik Allah-lah segala puji dan anugerah. Kami memohon kepada Allah, semoga Dia mematikan kita dalam keadaan berpegang kepada Al-Qur'an dan sunnah. Amin.
Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu semua dalam taat kepada Allah dengan meninggalkan perbuatan maksiat dan segala larangan dengan cara menjauhinya serta bertobatlah, dan kuatkanlah kesabaranmu terhadap musibah yang menimpamu maupun tingkah laku orang yang mungkin terasa menyakitkan. Dan tetaplah bersiap siaga dalam menghadapi musuh-musuh di perbatasan negerimu dengan selalu komitmen di jalan Allah, dan bertakwalah kepada Allah dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya agar kamu termasuk orang-orang yang beruntung, yakni mendapatkan imbalan yang besar dan abadi, atas ketaatan dan kesabaran kalian. Pada akhir ayat ini Allah memperingatkan orang mukmin dengan empat perintah, yaitu bersabar, memperteguh kesabaran, komitmen di jalan Allah, dan bertakwa. Empat hal ini akan mengantarkan seseorang memperoleh keberuntungan Setelah pada surah sebelumnya Allah menjelaskan bahwa kitab suci merupakan petunjuk jalan menuju kebahagiaan dan bahwa inti seluruh kegiatan adalah tauhid, pada surah ini Allah menjelaskan bahwa untuk meraih tujuan tersebut manusia perlu menjalin persatuan dan kesatuan, serta menanamkan kasih sayang antara sesama. Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu dengan menaati perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, mensyukuri karunia dan tidak mengkufuri nikmat-Nya. Dialah Allah yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu yaitu Adam, dan Allah menciptakan pasangannya yaitu Hawa dari diri-nya yakni dari jenis yang sama dengan Adam; dan dari keduanya, pasangan Adam dan Hawa, Allah memperkembangbiakkan menjadi beberapa keturunan dari jenis laki-laki dan perempuan yang banyak kemudian mereka berpasang-pasangan sehingga berkembang menjadi beberapa suku bangsa yang berlainan warna kulit dan bahasa (Lihat: Surah arRum/30: 22). Oleh karena itu, bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta pertolongan antar sesama, dengan saling membantu, dan juga peliharalah hubungan kekeluargaan dengan tidak memutuskan tali silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu karena setiap tindakan dan perilaku kamu tidak ada yang samar sedikit pun dalam pandangan Allah. Menjalin persatuan dan menjaga ikatan kekeluargaan adalah dasar ketakwaan yang dapat mengantarkan manusia ke tingkat kesempurnaan.
Setelah membicarakan berbagai macam hikmah dan hukum sejak awal surah ini, maka untuk menjaga dan memantapkan pelaksanaan hal-hal tersebut, surah ini (Ali 'Imran) ditutup dengan anjuran agar orang beriman, sabar dan tabah melakukan segala macam perintah Allah, mengatasi semua gangguan dan cobaan, menghindari segala larangan-Nya, terutama bersabar dan tabah menghadapi lawan-lawan dan musuh agama. Jangan sampai musuh-musuh agama itu lebih sabar dan tabah dari kita sehingga kemenangan berada di pihak mereka. Hendaklah orang mukmin selalu bersiap siaga dengan segala macam cara dan upaya, berjihad, menghadapi kemungkinan-kemungkinan yang akan mengurangi kewibawaan dan kemurnian serta keagungan agama Islam. Dan sebagai sari patinya orang mukmin dianjurkan agar benar-benar bertakwa kepada Allah dengan sebenar-benar takwa di mana saja mereka berada, karena dengan bekal takwa itulah segala sesuatu dapat dilaksanakan dengan baik, diberkahi, dan diridai oleh Allah ﷻ
Demikianlah, barang siapa di antara orang-orang yang beriman melaksanakan 4 macam anjuran tersebut, pasti akan mendapat kemenangan dan kebahagiaan, di dunia dan di akhirat.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dalam permulaan pembangunan Islam, kaum Muslimin hidup melarat. Yang baru hijrah dari Mekah tidak dapat membawa harta benda. Penderitaan terlalu banyak, perang tidak henti-hentinya karena selalu diganggu. Memang, Allah telah mengabulkan doa mereka bahwa di akhirat mereka akan mendapat kedudukan yang mulia, akan masuk ke surga yang mengalir di bawahnya air sungai. Akan tetapi, kenyataan dunia yang dilihat waktu itu ialah hidup orang-orang kafir itu serbasenang dan harta mereka banyak sehingga leluasa saja mereka menentang Islam. Lalu datanglah ayat ini, tujuan kepada umat, tetapi dihadapkan kepada Rasul ﷺ
Ayat 196
“Janganlah engkau terpesona oleh keleluasaan orang-orang yang kafir di dalam negeri-negeri."
Baik Yahudi di negeri Madinah maupun kafir musyrikin di Mekah atau kafir kabilah-kabilah Arab di luar Mekah dan Madinah, misalnya di Thaif dan di negeri-negeri lain. Janganlah terpesona, tertipu oleh kulit luar dan jangan kecil hati.
Itu hanya,
Ayat 197
“Kesenangan yang sedikit! Kemudian tempat kembali mereka ialah Jahannam, dan alangkah buruknya tempat ketetapan itu."
Tadi kita katakan bahwa kedua ayat ini ialah peringatan kepada kaum yang beriman sebagai lanjutan obat penawar hati bagi mereka, sebagai lanjutan permohonan mereka yang dikabulkan. Bukanlah Rasulullah ﷺ sendiri yang ditegur jangan terpesona oleh keleluasaan kafir-kafir itu. Menurut riwayat dari Qatadah, sampai beliau menutup mata, tidak pernah sekali pun beliau terpesona oleh keleluasaan dan kemegahan orang-orang yang kafir.
Kata ahli tafsir, turunnya ayat ini ialah karena kaum musyrikin Mekah luas perniagaan mereka, sampai ke Thaif dan ke Syam, dan banyak yang kaya. Sedang orang-orang Muslimin tidak dapat berbuat demikian sebab selalu diintip dan dijaga oleh kaum musyrikin dan selalu diganggu kalau terjadi yang demikian. Sehingga ada orang Muslimin yang mengeluh berkata, “Musuh-musuh Allah hidup senang, banyak harta, padahal kita sudah hampir mati kurang makan dan kepayahan" Lalu turunlah ayat ini sebagai bujuk penawar bagi kaum yang beriman.
Dikatakanlah dalam ayat ini bahwa keleluasaan dan kemegahan mereka jangan memesona kamu, karena itu hanyalah kesenangan yang sedikit atau bekal kekayaan yang sedikit saja. Sedikit jika diingat bahwa kedaulatan mereka tidak lama lagi pasti runtuh. Kalau mereka mati sebelum kedaulatan mereka runtuh, sedikit juga namanya kesenangan itu sebab mereka tidak mendapati zaman kejayaan iman. Apatah lagi kalau mereka berusia panjang hingga dapat melihat dengan mata kepala sendiri kenaikan Islam dan keruntuhan mereka. Keleluasaan dan kesenangan mereka itu hanya sedikit sebab hidup di dunia pun hanya sebentar. Di akhirat, Jahannamlah yang tersedia untuk mereka karena tujuan hidup dunia mereka hanya semata-mata dunia.
Ayat ini pun dapat menjadi benteng peneguh hati bagi kaum yang beriman dalam menegakkan cita-cita, sedang mereka berhadapan dengan kesombongan orang yang sedang mendapat angin. Di dalam Al-Qur'an, Allah telah menceritakan Si Qarun yang kaya-raya (surah al-Qashash ayat 76 sampai ayat 83) Bagaimana pongahnya Qarun, hilir-mudik dengan hartanya. Demikian kaya rayanya sehingga untuk mengangkut anak kunci per-bendaharaannya saja diperlukan satu rombongan orang-orang yang kuat teguh yang terbungkuk punggung mereka memikulnya. Banyaklah orang yang lemah iman terpesona oleh kekayaan Qarun dan timbul angan dalam hati, kapankah agaknya mereka akan dapat kesempatan seperti kesempatan Qarun. Akan tetapi, orang yang berilmu dan berpengalaman karena iman tidaklah terpesona oleh kenaikan Qarun yang tidak wajar. Dia pasti runtuh. Tidak berapa lama kemudian runtuhlah Qarun, terbenam dia bersama harta bendanya ke dalam lumpur kehinaan yang tidak dapat dibangkitkan lagi. Tidak seorang pun yang datang menolongnya. Orang-orang yang tadi berebut-rebut mengerumuninya, laksana semut mengerumuni manisan, karena manisan telah habis, mereka pun lari.
Iman memberi cahaya dalam hati seseorang sehingga dia tidak akan terpesona oleh mondar-mandirnya orang yang telah memungkiri Allah di muka bumi. Orang yang beriman tahu bahwa hal yang demikian tidak akan lama.
Teringatlah saya sebuah kisah yang disampaikan kepada saya oleh sahabat saya, Almarhum Kiai H. A. Wahid Hasyim, tentang sesuatu hal yang beliau saksikan berkenaan dengan ayah dan guru saya Syekh Abdulkarim Amrullah pada zaman Jepang. Kiai Wahid Hasyim berkata, “Ketika itu Jepang di puncak kemegahan dan kesombongannya. Atas anjuran Jepang kami para ulama harus mengikuti latihan-latihan yang diadakan. Mereka mengajarkan kepada kami tentang perang Asia Timur Raya, tentang Hakko Iciu dan lain-lain. Akan tetapi, kami sendiri pun tidak ketinggalan mengambil peluang mendatangkan ulama-ulama yang kami cintai untuk menyelang-nyelingi kursus Jepang dengan pegangan agama yang sejati. Lalu tibalah giliran kami untuk mendatangkan ayah saudara." Demikian Kiai H.A. Wahid Hasyim, “Beliau pun datang dan kami semuanya telah duduk di tempat kami masing-masing hendak mendengarkan ceramah yang akan beliau berikan. Opsir-opsir Jepang dengan pedang-pedang samurainya turut hadir. Beliau tampil ke depan akan memberikan ceramah dan kami telah duduk hendak mendengar. Kami semuanya hening."
Dalam hati bertanya, apa gerangan yang akan disampaikan oleh orang tua ini, dalam suasana yang seperti ini, dalam keadaan hidup.
Berkata Kiai H.A. Wahid Hasyimseterusnya, “Kami semuanya terpaku mendengarkan ayat ini beliau baca. Satu demi satu kalimat itu laksana dituangkan ke dalam hati kami. Ada beberapa kawan yang menangis. Sesudah itu beliau meneruskan sepatah demi sepatah dalam bahasa Arab, menafsirkan ayat itu."
Kata Kiai Wahid selanjutnya, “Orang-orang Jepang yang hadir terdiam saja dan tidak ada yang berani menanyakan apakah yang sedang diceramahkan oleh ayah saudara. Tidak pula seorang jua pun antara mereka yang menanyakan kepada kami apa isi ceramah itu sebab dilihatnya wajah kami semuanya sangat terpesona. Tidak pula ada antara kami yang menerangkan kepada Jepang-Jepang apa isi ceramah itu."
Sekian ingatan saya tentang cerita Kiai A, Wahid Hasyim almarhum tentang berapa besar pengaruh ayat ini kepada orang-orang Mukmin yang dipaksa keadaan harus hidup dalam suasana yang dipaksakan atas diri mereka. Betapa pun keadaan, tetapi persediaan jiwa mereka masih tetap ada. Mereka tidak terpesona dan tidak silau oleh keleluasaan orang yang kafir yang sedang dapat angin.
Iman mereka memberi petunjuk bahwa itu tidak akan lama. Namun yang akan menang dan kekal hanyalah kebenaran jua. Kadang-kadang kita saksikan kejatuhan itu, dengan mata kepala kita sendiri, sebagaimana orang Islam pada zaman Nabi menyaksikan kucar-kacirnya kemegahan Quraisy sesudah kekalahan mereka di Perang Badar. Sejak itu mereka terus menurun dan menurun. Harta mereka yang mereka kumpulkan bertahun-tahun menjadi rampasan kaum Muslimin.
Setengah kaum Muslimin mati lebih dahulu sebelum melihat kehancuran musuh-musuh Allah. Lalu datanglah ayat lanjutan ini,
Ayat 198
“Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan, untuk mereka surga, yang mengalir di bawahnya air sungai, kekal mereka di dalamnya, sebagai pemberian dari sisi Allah."
Di dalam ayat ini dikemukakan sekali lagi tujuan hidup dan perjuangan orang yang beriman. Mereka berjuang karena takwa. Mereka hanya mengharapkan ridha dari Allah. Mereka tidak mempunyai tujuan mencapai kemenangan untuk diri sendiri. Yang mereka perjuangkan ialah cita-cita, menegakkan kebenaran dan keadilan yang datang dari Allah. Mereka tahu akibat dari perjuangan itu— (berperang)—lalu membunuh atau terbunuh. Dalam suatu perjuangan ada masa suka dan diperhitungkan juga masa duka. Nasib bergiliran datangnya. Musuh-musuh Allah yang kita hadapi kadang-kadang mendapat keleluasaan bertindak dan dari pihak kita ada yang meninggal sebelum berhasil yang dicita-citakan. Namun orang yang bertakwa tidaklah gentar lantaran itu. Sebab, betapa pun suatu masa yang batil naik dengan megahnya, tetapi akhirnya kebenaran juga yang akan menang. Orang yang bertakwa ingat benar bahwa yang mereka perjuangkan bukanlah kepentingan diri sendiri. Mereka ridha meninggal lantaran itu. Seperti Ummi Yasir syahid di Mekah dan Hamzah bin Abdul Muthalib syahid di Uhud, tidaklah mereka melihat hasil perjuangan itu dengan mata kepala mereka sendiri. Sebab, mereka mati dalam perjuangan. Mereka ridha menerima kematian sebab Allah telah menjanjikan bahwa mereka akan mendapat tempat yang baik di sisi Allah, yaitu surga. Bukan satu surga, melainkan banyak surga. Di sanalah hidup yang khulud.
Adapun orang yang tinggal hidup dan dapat mengecap hasil kemenangan tidak pula mereka terpesona kemegahan dunia. Yang mereka harapkan hanya ridha Allah juga. Mereka tidak akan terpesona atau terfitnah kesenangan dunia. Kesenangan dunia yang tidak diberi alas dasar dengan takwa, tidak lain dari racun yang membunuh perkembangan jiwa menuju Allah. Dia adalah neraka di dalam jiwa karena batin kehilangan ketenteramannya.
“Dan yang di sisi Allah itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti."
Memang, harta benda kemegahan yang didapati di dunia ini pun dari sisi Allah juga. Akan tetapi, kalau cara mencapainya tidak dengan wajar, tidaklah dia menjadi anugerah dan kurnia, tetapi menjadi kutuk. Karena itu, pemberian yang datang dari sisi Allah, baik yang halal di dunia ini, apatah lagi ganjaran di akhirat, adalah anugerah yang mengandung bahagia, sebab diberikan dengan ridha. Ridha Allah adalah puncak segala kurnia bahkan itulah sari yang sejati dari surga.
Teranglah bahwasanya hidup duniawi yang kelihatannya melarat, tetapi jiwa berisi iman, lebih baik daripada kehidupan yang dipenuhi kufur walaupun di luar kelihatan kaya dan mampu. Sebab, mereka hanya mampu harta, tetapi yang di dalam adalah kosong, tiada berisi apa-apa.
Kemudian, Allah pun menunjukkan dengan adil bahwa di kalangan Ahlul Kitab ada juga yang sudi menerima kebenaran.
Ayat 199
“Sesungguhnya sebagian dari Ahlul Kitab, ada (Juga) yang beriman kepada Allah dan (kepada) yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka."
Ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun ketika datang berita dari Habsyi, bahwa Najasyi (Negus) Ashamah telah meninggal. Sebelum itu beliau telah memeluk Islam dan pernah dijadikan wakil oleh Rasulullah ﷺ menikahi Ummi Habibah binti
Abu Sufyan. Sesampai berita ini, Rasulullah mengajak shalat gaib untuk beliau. Untuk menghilangkan keraguan sahabat-sahabat Rasulullah, turunlah ayat ini, yang telah terang isinya menyebutkan bahwa ada juga Ahlul Kitab yang beriman kepada Allah, beriman kepada Muhammad dan beriman pula kepada pegangan mereka sendiri, ajaran al-Masih. Bahkan imannya kepada Muhammad tersebab mereka beriman kepada kitab mereka tidak terpengaruh oleh rasa benci atau dengki. Itulah dia Najasyi, yang berlinang-linang air matanya ketika Ja'far bin Abi Thalib membacakan dan menerjemahkan surah Maryam yang membela kesucian dara suci Maryam binti Imran. Betapa dia tidak beriman, sedang dalam kitab Injil yang empat sendiri, tidaklah ada keterangan yang demikian jelasnya, sejelas Al-Qur'an dalam membela kesucian Maryam.
Bukan Najasyi saja; Adiy bin Hatim, putra budiman dan dermawan, Hatim Thaiy, datang sendiri ke Mekah dan karena iman Nasraninyalah dia masuk Islam. Pada waktu dia baru datang, salib emas masih tergantung di lehernya dan dibukanya di hadapan Rasulullah setelah dia mengucapkan kalimat syahadat. Abdullah bin Salam, sudah mencapai martabat pendeta (ahbar) dalam agama Yahudi. Karena imannya kepada Tauratlah, dia beriman kepada Nabi. Salman anak Persia, berpindah-pindah agama karena mencari pegangan yang teguh, akhirnya masuk Islam karena menuruti nasihat dari seorang pendeta Nasrani. Bahkan sampai kepada zaman kita sekarang ini pun, dalam abad kelima belas Hijriyah, banyak Ahlul Kitab yang membebaskan diri dari ikatan tradisi—karena beriman pada kitabnya sendiri—dengan sendirinya percaya kepada risalah Muhammad. Seperti Leopold Weiss, orang Yahudi dari Austria, masuk Islam dan menjadi pembela Islam dengan nama Muhammad Asad.
Mereka menyatakan iman, “Dalam keadaan khusyu kepada Allah." Artinya menjadi Muslim yang benar-benar, yang taat mengerjakan ibadah kepada Allah menurut ajaran Islam, bukan Islam di mulut saja. “Tidak mereka jual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit." Yaitu tidak mereka sembunyikan kebenaran karena misalnya mencari kehormatan dan kedudukan. Sebab, kehormatan dan kedudukan adalah harga yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan hidup mempertahankan kebenaran. Seumpama Najasyi yang meninggal dan dishalatgaibkan, baginda adalah seorang raja besar. Baginda tidak takut kerajaannya akan jatuh karena dia memeluk Islam, bahkan sampai wafatnya baginda masih tetap jadi raja. “Mereka itu memperoleh ganjaran di sisi Allah." Artinya surga Jannatun Nairn jugalah yang menanti mereka seperti Muslim yang taat yang lain juga.
“Sesungguhnya Allah cepat sekali perkiraan-Nya."
Artinya diperkirakan Allah-lah perubahan hidup itu, dari kufur kepada iman dengan cepat sekali. Gelap hilang terang pun datang. Dosa yang lama semuanya hapus dan mereka memperoleh bahagia hidup yang baru dalam iman.
Setelah semuanya ini diuraikan dengan terang dan jelas bahwa iman kepada Allah meminta pengorbanan harta dan jiwa supaya sanggup menderita, diperingatkan bahwa kemenangan orang yang kafir jangan sampai memesona Mukmin, bahwa dalam kalangan Ahlul Kitab pun ada teman kita, orang yang sudi menampung kebenaran asal mendapat keterangan yang jelas, akhirnya diberikanlah pegangan teguh bagi Mukmin dalam per-juangan menuju cita.
Ayat 200
‘Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaran kamu, bersiap-siagalah dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat kemenangan."
Telah kamu lihat dan ketahui bahwa perjuanganmu suci adanya. Menegakkan iman kepada Allah bukanlah mudah rupanya. Bertambah suci tujuan, bertambah banyaklah kesulitan yang dihadapi. Musuh ada dari luar, yaitu kaum kafir yang selalu menentang. Akan tetapi, ada lagi musuh yang lebih berbahaya dari itu, yaitu lawan yang mengaku dirinya jadi kawan, yaitu kaum munafik. Lalu menipu daya kamu. Ada lagi musuh yang berbahaya dari itu, yaitu hawa nafsumu sendiri kalau tidak terkendali.
Namun, kamu ada mempunyai modal yang tidak akan habis, yaitu iman. Bahkan iman itulah yang mereka musuhi. Supaya imanmu terpelihara dan citamu berhasil, yaitu kalimat Allah tertegak tinggi dan kalimat kafir runtuh ke bawah, hendaklah kamu memegang teguh empat perkara.
1. Sabar. Tahan hati, teguh, sabar menahan nafsu, sabar mengendalikan diri baik waktu bertahan maupun waktu menyerang, sabar saat cobaan menimpa, dan sabar melakukan perintah Allah.
2. Menangkis atau melawan sabar, yaitu sabar yang setingkat lagi. Atau memperkuat kesabaran. Sebab, pihak musuh pun tentu akan memakai alat sabar pula dalam menghadapimu. Karena itu, tangkislah sabar mereka dengan sabarmu, artinya kesabaranmu harus lebih kuat karena ba-rangsiapa yang lebih lama tahan, itulah yang akan menang, laksana menahan napas menyelam dalam air. Barangsiapa yang lebih singkat napasnya, dialah yang lebih dahulu keluar dari dalam air.
3. Hendaklah bersiap terus atau bersiap siaga. Perkuat penjagaan, kukuhkan kewaspadaan. Termasuk juga di dalamnya mengawasi batas-batas negeri Darul Islam jangan sampai dimasuki oleh musuh dari Darul Kufur. Termasuk juga di dalamnya mengawasi batas-batas negeri Darul Islam jadi halaman rumah sehingga kalau ada penyerbuan tiba-tiba, kita telah siap selalu. (Seumpama tentara yang berkendaraan mobil, hendaklah bensin selalu penuh dan kunci mobil jangan jangan lepas dari tangan, selalu diperiksa kekurangannya sehingga kalau, misalnya, terpaksa berangkat tengah malam dalam sesaat saja sudah siap)
4. Hendaklah bertakwa kepada Allah. Di sinilah terletak kunci sebenarnya daripada yang tiga sebelumnya. Karena barangsiapa yang tidak lupa akan Allah, dengan kehendak Allah, tidaklah dia akan lupa dirinya.
Keempat inilah syarat mutlak. “Supaya kamu mendapat kemenangan."
Memang dalam menghadapi musuh-musuh yang empat lapis tadi, musuh yang paling dekat ialah hawa nafsu sendiri. Hendaklah menang pula dalam menuju tujuan terakhir, yaitu ridha Allah ﷻ
Selesai
Tafsir surah Aali ‘Imraan Di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun
Rabu,18 Muharram 1385/19 Mei 1965