Ayat
Terjemahan Per Kata
لَا
jangan
يَغُرَّنَّكَ
kamu terperdaya
تَقَلُّبُ
hilir mudik
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
فِي
dalam
ٱلۡبِلَٰدِ
negeri
لَا
jangan
يَغُرَّنَّكَ
kamu terperdaya
تَقَلُّبُ
hilir mudik
ٱلَّذِينَ
orang-orang yang
كَفَرُواْ
kafir/ingkar
فِي
dalam
ٱلۡبِلَٰدِ
negeri
Terjemahan
Jangan sekali-kali kamu teperdaya oleh bolak-balik perjalanan orang-orang yang kufur di seluruh negeri.
Tafsir
(Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh keleluasaan orang-orang kafir bepergian) artinya bergerak ke mana mereka sukai (di dalam negeri) untuk berniaga dan berusaha.
Tafsir Surat Ali-'Imran: 196-198
Janganlah sekali-kali kamu terpedaya oleh keleluasaan aktifitas orang-orang kafir di dalam negeri.
Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.
Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedangkan mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.
Ayat 196
Allah ﷻ berfirman bahwa janganlah kamu memandang kepada keadaan orang-orang kafir yang serba mewah, bergelimangan di dalam kenikmatan dan kekayaan serta kegembiraan. Karena tidak lama kemudian hal itu pasti lenyap semuanya dari mereka, kemudian mereka disandera oleh amal perbuatan mereka yang buruk. Sesungguhnya Kami sengaja melakukan hal tersebut kepada mereka untuk memperdayakan mereka.
Ayat 197
Dan semua yang ada pada mereka “Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah tempat yang seburuk-buruknya.” (Ali Imran: 197) Ayat ini sama maknanya dengan ayat yang lain, yaitu firman-Nya:
“Tidak ada yang memperdebatkan ayat-ayat Allah, kecuali orang-orang yang kafir. Karena itu, janganlah keleluasaan aktifitas pulang balik mereka dengan bebas dari suatu kota ke kota yang lain menipu kamu.”(Al-Mumin: 4) “Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidak beruntung. (Bagi mereka) kesenangan (sementara) di dunia, kemudian kepada Kamilah mereka kembali, kemudian Kami rasakan kepada mereka siksa yang berat, disebabkan kekafiran mereka.” (Yunus: 69-70)
“Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.” (Luqman: 24)
“Karena itu, beri tangguhlah orang-orang kafir itu yaitu beri tangguhlah mereka itu sebentar.” (At-Tariq: 17) Yakni dalam waktu yang sebentar.
Dan firman Allah ﷻ yang mengatakan: “Maka apakah orang yang Kami janjikan kepadanya suatu janji yang baik (surga) lalu ia memperolehnya sama dengan orang yang Kami berikan kepadanya kenikmatan hidup duniawi kemudian dia pada hari kiamat termasuk orang-orang yang diseret (ke dalam neraka).” (Al-Qashash: 61)
Demikianlah, setelah Allah menuturkan keadaan orang-orang kafir dalam kehidupan dunia ini, Dia menuturkan bahwa tempat kembali mereka adalah neraka.
Ayat 198
Maka dalam firman selanjutnya disebutkan: “Akan tetapi, orang-orang yang bertakwa kepada Tuhannya, bagi mereka surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, sedangkan mereka kekal di dalamnya sebagai tempat tinggal (anugerah) dari sisi Allah. Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (Ali Imran: 198)
Ibnu Mardawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Nasr, telah menceritakan kepada kami Abu Tahir Sahl ibnu Abdullah, telah menceritakan kepada kami Hisyam ibnu Ammar, telah menceritakan kepada kami Sa'id, telah menceritakan kepada kami Yahya, telah menceritakan kepada kami Ubaidillah ibnul Walid Ar-Rassafi, dari Muharib ibnu Disar, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As, dari Nabi ﷺ yang bersabda: “Sesungguhnya mereka dinamakan orang-orang yang berbakti, karena mereka berbakti kepada orang-orang tua dan anak-anaknya. Sebagaimana kedua orang tuamu mempunyai hak atas dirimu; maka demikian pula bagi anakmu, ada hak atas dirimu.”
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih, dari Abdullah ibnu Amr ibnul As secara marfu'.
Ibnu Abu Halim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Janab, telah menceritakan kepada kami Isa ibnu Yunus, dari Abdullah ibnul Walid Ar-Rassafi, dari Muharib ibnu Disar, dari Abdullah ibnu Amr yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah menamakan mereka orang-orang yang berbakti, karena mereka berbakti kepada ayah-ayah mereka, juga berbuat baik kepada anak-anak mereka. Sebagaimana kedua orang tuamu mempunyai hak atas dirimu, begitu pula anakmu mempunyai hak atas dirimu.
Pendapat ini lebih mendekati kebenaran.
Selanjutnya Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku, telah menceritakan kepada kami Muslim ibnu Ibrahim, telah menceritakan kepada kami Hisyam Ad-Dustuwai, dari seorang lelaki, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa orang-orang yang berbakti itu adalah mereka yang tidak pernah menyakiti keturunannya.
Ibnu Abu Hatim mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Sinan, telah menceritakan kepada kami Abu Mu'awiyah, dari Al-A'masy, dari Khaisamah, dari Al-Aswad yang menceritakan bahwa Abdullah ibnu Mas'ud pernah berkata, "Tidak sekali-kali diri orang yang berbakti dan tidak pula diri orang yang durhaka melainkan maut lebih baik baginya. Jika dia benar-benar orang yang berbakti, maka sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: "Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (Ali Imran: 198).
Hal yang sama diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dari Ats-Tsauri, dari Al-Amasy dengan lafal yang sama, lalu ia membacakan firman-Nya: “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka, dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (Ali Imran: 178)
Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq, telah menceritakan kepada kami Ibnu Abu Ja'far, dari Nuh ibnu Fudalah, dari Luqman dari Abu Darda, bahwa ia pernah mengatakan: “Tiada seorang mukmin pun melainkan mati lebih baik baginya.
Dan tiada seorang kafir pun melainkan mati lebih baik baginya. Barang siapa yang tidak percaya kepadaku, maka sesungguhnya Allah ﷻ telah berfirman: ‘Dan apa yang di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti’.(Ali Imran: 198). ‘Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kafir menyangka bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka dan bagi mereka azab yang menghinakan' (Ali Imran: 178).
Jangan sekali-kali kamu, wahai Rasul, teperdaya atau tertipu oleh kegiatan orang-orang kafir yang bergerak dengan bebas kesana kemari di seluruh negeri dengan mengiming-imingi pangkat, harta, dan kenikmatan-kenikmatan sementara yang cepat sirnaSemua yang ditawarkan orang-orang kafir berupa pangkat, harta benda, dan kemewahan itu hanyalah kesenangan sementara yang tidak bernilai jika dibanding dengan pahala Allah di surga kelak yang penuh kenikmatan dan abadi. Kemudian Allah menetapkan bagi orang-orang kafir tersebut tempat kembali mereka setelah mati, ialah neraka Jahanam agar mereka merasakan azab Allah. Neraka Jahanam itu adalah seburuk buruk tempat tinggal bagi orang-orang kafir dan mereka yang melakukan perbuatan keji selama di dunia.
Meskipun ayat ini ditujukan kepada Nabi Muhammad ﷺ namun dimaksudkan pula untuk umatnya, sebagaimana kita lihat banyak ayat yang menurut bunyinya ditujukan kepada Nabi saw, tetapi pada hakikatnya ditujukan pula kepada semua pengikutnya. Nabi Muhammad ﷺ selama hidupnya tidak pernah teperdaya oleh bujukan dan tipuan siapa pun, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah, ia berkata, "Demi Allah mereka tidak pernah berhasil memperdayakan Nabi ﷺ sampai beliau wafat."
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kaum Muslimin tidak boleh teperdaya oleh kehidupan mewah orang-orang kafir yang tujuan hidupnya hanyalah mencari kekayaan dunia semata.
Kaum Muslimin hendaklah tabah dan sabar menghadapi hal yang seperti ini dan tetap berjuang untuk kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sebagaimana firman Allah:
Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. (al-Qasas/28:77).
.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Belum tersedia. Dibutuhkan biaya untuk menambahkan tafsir ini.
Dalam permulaan pembangunan Islam, kaum Muslimin hidup melarat. Yang baru hijrah dari Mekah tidak dapat membawa harta benda. Penderitaan terlalu banyak, perang tidak henti-hentinya karena selalu diganggu. Memang, Allah telah mengabulkan doa mereka bahwa di akhirat mereka akan mendapat kedudukan yang mulia, akan masuk ke surga yang mengalir di bawahnya air sungai. Akan tetapi, kenyataan dunia yang dilihat waktu itu ialah hidup orang-orang kafir itu serbasenang dan harta mereka banyak sehingga leluasa saja mereka menentang Islam. Lalu datanglah ayat ini, tujuan kepada umat, tetapi dihadapkan kepada Rasul ﷺ
Ayat 196
“Janganlah engkau terpesona oleh keleluasaan orang-orang yang kafir di dalam negeri-negeri."
Baik Yahudi di negeri Madinah maupun kafir musyrikin di Mekah atau kafir kabilah-kabilah Arab di luar Mekah dan Madinah, misalnya di Thaif dan di negeri-negeri lain. Janganlah terpesona, tertipu oleh kulit luar dan jangan kecil hati.
Itu hanya,
Ayat 197
“Kesenangan yang sedikit! Kemudian tempat kembali mereka ialah Jahannam, dan alangkah buruknya tempat ketetapan itu."
Tadi kita katakan bahwa kedua ayat ini ialah peringatan kepada kaum yang beriman sebagai lanjutan obat penawar hati bagi mereka, sebagai lanjutan permohonan mereka yang dikabulkan. Bukanlah Rasulullah ﷺ sendiri yang ditegur jangan terpesona oleh keleluasaan kafir-kafir itu. Menurut riwayat dari Qatadah, sampai beliau menutup mata, tidak pernah sekali pun beliau terpesona oleh keleluasaan dan kemegahan orang-orang yang kafir.
Kata ahli tafsir, turunnya ayat ini ialah karena kaum musyrikin Mekah luas perniagaan mereka, sampai ke Thaif dan ke Syam, dan banyak yang kaya. Sedang orang-orang Muslimin tidak dapat berbuat demikian sebab selalu diintip dan dijaga oleh kaum musyrikin dan selalu diganggu kalau terjadi yang demikian. Sehingga ada orang Muslimin yang mengeluh berkata, “Musuh-musuh Allah hidup senang, banyak harta, padahal kita sudah hampir mati kurang makan dan kepayahan" Lalu turunlah ayat ini sebagai bujuk penawar bagi kaum yang beriman.
Dikatakanlah dalam ayat ini bahwa keleluasaan dan kemegahan mereka jangan memesona kamu, karena itu hanyalah kesenangan yang sedikit atau bekal kekayaan yang sedikit saja. Sedikit jika diingat bahwa kedaulatan mereka tidak lama lagi pasti runtuh. Kalau mereka mati sebelum kedaulatan mereka runtuh, sedikit juga namanya kesenangan itu sebab mereka tidak mendapati zaman kejayaan iman. Apatah lagi kalau mereka berusia panjang hingga dapat melihat dengan mata kepala sendiri kenaikan Islam dan keruntuhan mereka. Keleluasaan dan kesenangan mereka itu hanya sedikit sebab hidup di dunia pun hanya sebentar. Di akhirat, Jahannamlah yang tersedia untuk mereka karena tujuan hidup dunia mereka hanya semata-mata dunia.
Ayat ini pun dapat menjadi benteng peneguh hati bagi kaum yang beriman dalam menegakkan cita-cita, sedang mereka berhadapan dengan kesombongan orang yang sedang mendapat angin. Di dalam Al-Qur'an, Allah telah menceritakan Si Qarun yang kaya-raya (surah al-Qashash ayat 76 sampai ayat 83) Bagaimana pongahnya Qarun, hilir-mudik dengan hartanya. Demikian kaya rayanya sehingga untuk mengangkut anak kunci per-bendaharaannya saja diperlukan satu rombongan orang-orang yang kuat teguh yang terbungkuk punggung mereka memikulnya. Banyaklah orang yang lemah iman terpesona oleh kekayaan Qarun dan timbul angan dalam hati, kapankah agaknya mereka akan dapat kesempatan seperti kesempatan Qarun. Akan tetapi, orang yang berilmu dan berpengalaman karena iman tidaklah terpesona oleh kenaikan Qarun yang tidak wajar. Dia pasti runtuh. Tidak berapa lama kemudian runtuhlah Qarun, terbenam dia bersama harta bendanya ke dalam lumpur kehinaan yang tidak dapat dibangkitkan lagi. Tidak seorang pun yang datang menolongnya. Orang-orang yang tadi berebut-rebut mengerumuninya, laksana semut mengerumuni manisan, karena manisan telah habis, mereka pun lari.
Iman memberi cahaya dalam hati seseorang sehingga dia tidak akan terpesona oleh mondar-mandirnya orang yang telah memungkiri Allah di muka bumi. Orang yang beriman tahu bahwa hal yang demikian tidak akan lama.
Teringatlah saya sebuah kisah yang disampaikan kepada saya oleh sahabat saya, Almarhum Kiai H. A. Wahid Hasyim, tentang sesuatu hal yang beliau saksikan berkenaan dengan ayah dan guru saya Syekh Abdulkarim Amrullah pada zaman Jepang. Kiai Wahid Hasyim berkata, “Ketika itu Jepang di puncak kemegahan dan kesombongannya. Atas anjuran Jepang kami para ulama harus mengikuti latihan-latihan yang diadakan. Mereka mengajarkan kepada kami tentang perang Asia Timur Raya, tentang Hakko Iciu dan lain-lain. Akan tetapi, kami sendiri pun tidak ketinggalan mengambil peluang mendatangkan ulama-ulama yang kami cintai untuk menyelang-nyelingi kursus Jepang dengan pegangan agama yang sejati. Lalu tibalah giliran kami untuk mendatangkan ayah saudara." Demikian Kiai H.A. Wahid Hasyim, “Beliau pun datang dan kami semuanya telah duduk di tempat kami masing-masing hendak mendengarkan ceramah yang akan beliau berikan. Opsir-opsir Jepang dengan pedang-pedang samurainya turut hadir. Beliau tampil ke depan akan memberikan ceramah dan kami telah duduk hendak mendengar. Kami semuanya hening."
Dalam hati bertanya, apa gerangan yang akan disampaikan oleh orang tua ini, dalam suasana yang seperti ini, dalam keadaan hidup.
Berkata Kiai H.A. Wahid Hasyimseterusnya, “Kami semuanya terpaku mendengarkan ayat ini beliau baca. Satu demi satu kalimat itu laksana dituangkan ke dalam hati kami. Ada beberapa kawan yang menangis. Sesudah itu beliau meneruskan sepatah demi sepatah dalam bahasa Arab, menafsirkan ayat itu."
Kata Kiai Wahid selanjutnya, “Orang-orang Jepang yang hadir terdiam saja dan tidak ada yang berani menanyakan apakah yang sedang diceramahkan oleh ayah saudara. Tidak pula seorang jua pun antara mereka yang menanyakan kepada kami apa isi ceramah itu sebab dilihatnya wajah kami semuanya sangat terpesona. Tidak pula ada antara kami yang menerangkan kepada Jepang-Jepang apa isi ceramah itu."
Sekian ingatan saya tentang cerita Kiai A, Wahid Hasyim almarhum tentang berapa besar pengaruh ayat ini kepada orang-orang Mukmin yang dipaksa keadaan harus hidup dalam suasana yang dipaksakan atas diri mereka. Betapa pun keadaan, tetapi persediaan jiwa mereka masih tetap ada. Mereka tidak terpesona dan tidak silau oleh keleluasaan orang yang kafir yang sedang dapat angin.
Iman mereka memberi petunjuk bahwa itu tidak akan lama. Namun yang akan menang dan kekal hanyalah kebenaran jua. Kadang-kadang kita saksikan kejatuhan itu, dengan mata kepala kita sendiri, sebagaimana orang Islam pada zaman Nabi menyaksikan kucar-kacirnya kemegahan Quraisy sesudah kekalahan mereka di Perang Badar. Sejak itu mereka terus menurun dan menurun. Harta mereka yang mereka kumpulkan bertahun-tahun menjadi rampasan kaum Muslimin.
Setengah kaum Muslimin mati lebih dahulu sebelum melihat kehancuran musuh-musuh Allah. Lalu datanglah ayat lanjutan ini,
Ayat 198
“Tetapi orang-orang yang bertakwa kepada Tuhan, untuk mereka surga, yang mengalir di bawahnya air sungai, kekal mereka di dalamnya, sebagai pemberian dari sisi Allah."
Di dalam ayat ini dikemukakan sekali lagi tujuan hidup dan perjuangan orang yang beriman. Mereka berjuang karena takwa. Mereka hanya mengharapkan ridha dari Allah. Mereka tidak mempunyai tujuan mencapai kemenangan untuk diri sendiri. Yang mereka perjuangkan ialah cita-cita, menegakkan kebenaran dan keadilan yang datang dari Allah. Mereka tahu akibat dari perjuangan itu— (berperang)—lalu membunuh atau terbunuh. Dalam suatu perjuangan ada masa suka dan diperhitungkan juga masa duka. Nasib bergiliran datangnya. Musuh-musuh Allah yang kita hadapi kadang-kadang mendapat keleluasaan bertindak dan dari pihak kita ada yang meninggal sebelum berhasil yang dicita-citakan. Namun orang yang bertakwa tidaklah gentar lantaran itu. Sebab, betapa pun suatu masa yang batil naik dengan megahnya, tetapi akhirnya kebenaran juga yang akan menang. Orang yang bertakwa ingat benar bahwa yang mereka perjuangkan bukanlah kepentingan diri sendiri. Mereka ridha meninggal lantaran itu. Seperti Ummi Yasir syahid di Mekah dan Hamzah bin Abdul Muthalib syahid di Uhud, tidaklah mereka melihat hasil perjuangan itu dengan mata kepala mereka sendiri. Sebab, mereka mati dalam perjuangan. Mereka ridha menerima kematian sebab Allah telah menjanjikan bahwa mereka akan mendapat tempat yang baik di sisi Allah, yaitu surga. Bukan satu surga, melainkan banyak surga. Di sanalah hidup yang khulud.
Adapun orang yang tinggal hidup dan dapat mengecap hasil kemenangan tidak pula mereka terpesona kemegahan dunia. Yang mereka harapkan hanya ridha Allah juga. Mereka tidak akan terpesona atau terfitnah kesenangan dunia. Kesenangan dunia yang tidak diberi alas dasar dengan takwa, tidak lain dari racun yang membunuh perkembangan jiwa menuju Allah. Dia adalah neraka di dalam jiwa karena batin kehilangan ketenteramannya.
“Dan yang di sisi Allah itu adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti."
Memang, harta benda kemegahan yang didapati di dunia ini pun dari sisi Allah juga. Akan tetapi, kalau cara mencapainya tidak dengan wajar, tidaklah dia menjadi anugerah dan kurnia, tetapi menjadi kutuk. Karena itu, pemberian yang datang dari sisi Allah, baik yang halal di dunia ini, apatah lagi ganjaran di akhirat, adalah anugerah yang mengandung bahagia, sebab diberikan dengan ridha. Ridha Allah adalah puncak segala kurnia bahkan itulah sari yang sejati dari surga.
Teranglah bahwasanya hidup duniawi yang kelihatannya melarat, tetapi jiwa berisi iman, lebih baik daripada kehidupan yang dipenuhi kufur walaupun di luar kelihatan kaya dan mampu. Sebab, mereka hanya mampu harta, tetapi yang di dalam adalah kosong, tiada berisi apa-apa.
Kemudian, Allah pun menunjukkan dengan adil bahwa di kalangan Ahlul Kitab ada juga yang sudi menerima kebenaran.
Ayat 199
“Sesungguhnya sebagian dari Ahlul Kitab, ada (Juga) yang beriman kepada Allah dan (kepada) yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka."
Ada suatu riwayat yang menyatakan bahwa ayat ini turun ketika datang berita dari Habsyi, bahwa Najasyi (Negus) Ashamah telah meninggal. Sebelum itu beliau telah memeluk Islam dan pernah dijadikan wakil oleh Rasulullah ﷺ menikahi Ummi Habibah binti
Abu Sufyan. Sesampai berita ini, Rasulullah mengajak shalat gaib untuk beliau. Untuk menghilangkan keraguan sahabat-sahabat Rasulullah, turunlah ayat ini, yang telah terang isinya menyebutkan bahwa ada juga Ahlul Kitab yang beriman kepada Allah, beriman kepada Muhammad dan beriman pula kepada pegangan mereka sendiri, ajaran al-Masih. Bahkan imannya kepada Muhammad tersebab mereka beriman kepada kitab mereka tidak terpengaruh oleh rasa benci atau dengki. Itulah dia Najasyi, yang berlinang-linang air matanya ketika Ja'far bin Abi Thalib membacakan dan menerjemahkan surah Maryam yang membela kesucian dara suci Maryam binti Imran. Betapa dia tidak beriman, sedang dalam kitab Injil yang empat sendiri, tidaklah ada keterangan yang demikian jelasnya, sejelas Al-Qur'an dalam membela kesucian Maryam.
Bukan Najasyi saja; Adiy bin Hatim, putra budiman dan dermawan, Hatim Thaiy, datang sendiri ke Mekah dan karena iman Nasraninyalah dia masuk Islam. Pada waktu dia baru datang, salib emas masih tergantung di lehernya dan dibukanya di hadapan Rasulullah setelah dia mengucapkan kalimat syahadat. Abdullah bin Salam, sudah mencapai martabat pendeta (ahbar) dalam agama Yahudi. Karena imannya kepada Tauratlah, dia beriman kepada Nabi. Salman anak Persia, berpindah-pindah agama karena mencari pegangan yang teguh, akhirnya masuk Islam karena menuruti nasihat dari seorang pendeta Nasrani. Bahkan sampai kepada zaman kita sekarang ini pun, dalam abad kelima belas Hijriyah, banyak Ahlul Kitab yang membebaskan diri dari ikatan tradisi—karena beriman pada kitabnya sendiri—dengan sendirinya percaya kepada risalah Muhammad. Seperti Leopold Weiss, orang Yahudi dari Austria, masuk Islam dan menjadi pembela Islam dengan nama Muhammad Asad.
Mereka menyatakan iman, “Dalam keadaan khusyu kepada Allah." Artinya menjadi Muslim yang benar-benar, yang taat mengerjakan ibadah kepada Allah menurut ajaran Islam, bukan Islam di mulut saja. “Tidak mereka jual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit." Yaitu tidak mereka sembunyikan kebenaran karena misalnya mencari kehormatan dan kedudukan. Sebab, kehormatan dan kedudukan adalah harga yang sangat sedikit jika dibandingkan dengan hidup mempertahankan kebenaran. Seumpama Najasyi yang meninggal dan dishalatgaibkan, baginda adalah seorang raja besar. Baginda tidak takut kerajaannya akan jatuh karena dia memeluk Islam, bahkan sampai wafatnya baginda masih tetap jadi raja. “Mereka itu memperoleh ganjaran di sisi Allah." Artinya surga Jannatun Nairn jugalah yang menanti mereka seperti Muslim yang taat yang lain juga.
“Sesungguhnya Allah cepat sekali perkiraan-Nya."
Artinya diperkirakan Allah-lah perubahan hidup itu, dari kufur kepada iman dengan cepat sekali. Gelap hilang terang pun datang. Dosa yang lama semuanya hapus dan mereka memperoleh bahagia hidup yang baru dalam iman.
Setelah semuanya ini diuraikan dengan terang dan jelas bahwa iman kepada Allah meminta pengorbanan harta dan jiwa supaya sanggup menderita, diperingatkan bahwa kemenangan orang yang kafir jangan sampai memesona Mukmin, bahwa dalam kalangan Ahlul Kitab pun ada teman kita, orang yang sudi menampung kebenaran asal mendapat keterangan yang jelas, akhirnya diberikanlah pegangan teguh bagi Mukmin dalam per-juangan menuju cita.
Ayat 200
‘Wahai orang-orang yang beriman! Bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaran kamu, bersiap-siagalah dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu mendapat kemenangan."
Telah kamu lihat dan ketahui bahwa perjuanganmu suci adanya. Menegakkan iman kepada Allah bukanlah mudah rupanya. Bertambah suci tujuan, bertambah banyaklah kesulitan yang dihadapi. Musuh ada dari luar, yaitu kaum kafir yang selalu menentang. Akan tetapi, ada lagi musuh yang lebih berbahaya dari itu, yaitu lawan yang mengaku dirinya jadi kawan, yaitu kaum munafik. Lalu menipu daya kamu. Ada lagi musuh yang berbahaya dari itu, yaitu hawa nafsumu sendiri kalau tidak terkendali.
Namun, kamu ada mempunyai modal yang tidak akan habis, yaitu iman. Bahkan iman itulah yang mereka musuhi. Supaya imanmu terpelihara dan citamu berhasil, yaitu kalimat Allah tertegak tinggi dan kalimat kafir runtuh ke bawah, hendaklah kamu memegang teguh empat perkara.
1. Sabar. Tahan hati, teguh, sabar menahan nafsu, sabar mengendalikan diri baik waktu bertahan maupun waktu menyerang, sabar saat cobaan menimpa, dan sabar melakukan perintah Allah.
2. Menangkis atau melawan sabar, yaitu sabar yang setingkat lagi. Atau memperkuat kesabaran. Sebab, pihak musuh pun tentu akan memakai alat sabar pula dalam menghadapimu. Karena itu, tangkislah sabar mereka dengan sabarmu, artinya kesabaranmu harus lebih kuat karena ba-rangsiapa yang lebih lama tahan, itulah yang akan menang, laksana menahan napas menyelam dalam air. Barangsiapa yang lebih singkat napasnya, dialah yang lebih dahulu keluar dari dalam air.
3. Hendaklah bersiap terus atau bersiap siaga. Perkuat penjagaan, kukuhkan kewaspadaan. Termasuk juga di dalamnya mengawasi batas-batas negeri Darul Islam jangan sampai dimasuki oleh musuh dari Darul Kufur. Termasuk juga di dalamnya mengawasi batas-batas negeri Darul Islam jadi halaman rumah sehingga kalau ada penyerbuan tiba-tiba, kita telah siap selalu. (Seumpama tentara yang berkendaraan mobil, hendaklah bensin selalu penuh dan kunci mobil jangan jangan lepas dari tangan, selalu diperiksa kekurangannya sehingga kalau, misalnya, terpaksa berangkat tengah malam dalam sesaat saja sudah siap)
4. Hendaklah bertakwa kepada Allah. Di sinilah terletak kunci sebenarnya daripada yang tiga sebelumnya. Karena barangsiapa yang tidak lupa akan Allah, dengan kehendak Allah, tidaklah dia akan lupa dirinya.
Keempat inilah syarat mutlak. “Supaya kamu mendapat kemenangan."
Memang dalam menghadapi musuh-musuh yang empat lapis tadi, musuh yang paling dekat ialah hawa nafsu sendiri. Hendaklah menang pula dalam menuju tujuan terakhir, yaitu ridha Allah ﷻ
Selesai
Tafsir surah Aali ‘Imraan Di Rumah Sakit Persahabatan, Rawamangun
Rabu,18 Muharram 1385/19 Mei 1965